A. Aliran
progresifisme
1. Sejarah
Munculnya Aliran Progresifisme
Aliran progresivisme adalah salah satu aliran dalam
filsafat pendidikan yang memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
menghadapi dan memecahkan masalah.[1]
Aliran Progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang
berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam
pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan
experimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga penyebutan
nama progressivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi.
Progressivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian
"the liberal road to cultural" yakni liberal dimaksudkan sebagai
fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin
mengetahuidan menyelidiki demi pengembangan pengalaman. Progressivisme disebut
sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya
adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritual dari supernatural).[2]
Naturalisme dapat menjadi materialisme karena
memandang jiwa manusia dapat menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat
seperti unsur-unsur materi. Dan progressivisme identik dengan experimentalisme
berarti aliran ini menyadari dan memperaktekkan bahwa experiment (percobaan
ilmiah) adalah alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori dan suatu ilmu
pengetahuan. Disebut juga dengan instrumentalisme karena aliran ini menganggap
bahwa potensi intelegensi manusia (merupakan alat, instrument) sebagai kekuatan
utama untuk menghadapi dan memecahkan problem kehidupan manusia.
Dengan sebutan lain yakni environtalisme, karena
aliran ini menganggap lingkungan hidup sebagai medan tempat untuk berjuang
menghadapi tantangan dalam hidup baik lingkungan fislk maupun lingkungan
sosial. Manusia diuji sejauh mana berinteraksi dengan lingkungan, menghadapi
realita dan perubahan. Sedangkan disebut sebajai aliran pragmatisme dan
dianggap aliran ini pelaksana terbesar dari progressivisme dan merupakan
petunjuk bahwa pelaksanaan pendidikan lebih maju dari sebelumnya. Dari
pemikiran yang demikian ini maka tidaklah heran kalau pendidikan progressivisme
selalu menekankan akan tumbuh dan
berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah
maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau
kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Juga
kemajuan adalah di dalamnya mengandung nilai dapat mendorong untuk mencapai
tujuan. Kemajuan nampak kalau tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu
tujuan tertentu itu dapat menjadi alat jika ingin dipakai untuk mencapai tujuan
lain lagi. misalnya faedah kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan
bagi masyarakat.[3]
2. Ciri-ciri
Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat
menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu
progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik
yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat
diperkirakan mem punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik),
karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada
kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal semuanya itu
adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan
atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti
perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari
kebudayaan. Kelompok ini meliputi: Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu
Alam.[4]
3. Pandangan-pandangan Aliran
Progresivisme
a. Pandangan progresivisme tentang
pendidikan
Istilah
progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan
pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara
harmonis dan sistematis dalam hal mendidik.Keyakinan¬keyakinan yang didasarkan
pada sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatism,
instrumentalisme, dan eksperimentalisme.
Progresivisme
sebagai filsafat dan progresifisme sebagai pendidikan eras sekali hubungannya
dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey
memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasanya tentang pendidikan, serta
mempraktekkannya disekolah-sekolah yang ia dirikan Menurut Dewey tujuan umum
pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikanya lebih
mengutamakan bidang studi yang berguna atau langsung bisa dirasakan oleh
masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan keterampilan.Progresivisme tidak
menghendaki adanya mats pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan
hams diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu terjadi
maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak
menghindar, dari perubahan, tidak terikat le suatu dokrin tertentu, bersifat
ingin tabu, toleran, berpandangan luas serfs terbuka.
b. Pandangan
Mengenai Kurikulum
Dewey menyatakan bahwa "thr good school is
cocerned with every kind of learning that helps student, young and old, to
grow" (2: 124). "sekolah yang baik ialah yang memperhatikan dengan
sunguh-sungguh semua jenis belajar (dan bahannya) yang membantu murid, pemuda
dan orang dewasa, untuk berkembang."[5]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu
berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin
dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif,
bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan
pikiran ini akan diuraikan serba singkat. Yang dimaksud dengan pengalaman yang
edukatif adalah peng alaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip
yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang
universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya
peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi
pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya
masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat
direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang "berpusat pada
pengalaman".
Selain jenis ini, menurut progresivisme, yang dapat
dipandang maju adalah tipe yang disebut "Core Curriculum", ialah
sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.
Core curriculum maupun kurikulum yang bersendikan
peng alaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini
diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak
mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Maka, jelaslah
bahwa lingkungan dan penga laman yang diperlukan dan yang dapat menunjang
pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah
ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini di antaranya adalah yang di
susun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptakan oleh William
Heard Kilpatrick.[6]
c. Pandangan
Progressivisme Terhadap Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam
berbagai bentuk dan menifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik
manusia yang tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Filsafat
progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina
manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan
tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman
tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu
berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan
dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kuilitas hidup yang semakin terus
maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di
pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang
mengendalikan manusia. De ngan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa
keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya
telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
4. Perkembangan
Aliran Progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran
pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis
perkembangannya dapat ditarik jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani purba.
Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates (469 - 399), Protagoras (480 -
410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai
unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut prag
matisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari
realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya
berubah-ubah, kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan
epistemologi dengan axiologi. la mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci
untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan
pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan
(perbuatan yang baik). la percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik.
Dalam asas modern - sejak abad ke-16 - Francis
Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat disebut sebagai
penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya aliran
pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbang an dengan usahanya
untuk memperbaiki dan memperhalus motode experimentil (metode ilmiah dalam
pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan
keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang
baik dari para manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang
baik. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia,
memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa
alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak,
dalam proses perubahan dm penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh
pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Tkinas Paine dan Thomas
Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan
demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama.
Charles S. Peirce mengemuka kan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran
itu hanya berguna
atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu "bekerja", yaitu
memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada
membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan)
adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal
itu tak dapat di pisahkan dari kegiatan intelek (berpikir).[7]
5. Tokoh
Progressivisme
Adapun tokoh Progressivisme ini yang dapat diambil
sebagai contoh yaitu John Dewey. Pemikiran Dewey dalam dunia filsafat
pendidikan termasuk dalam daftar tokoh aliran progresivisme. Progresivisme pendidikan adalah sebuah aliran filsafat pendidikan yang
berorientasi ke depan dan memosisikan peserta didik sebagai salah satu subjek
pendidikan yang memiliki bekal atau potensi dalam pengembangan dirinya serta
berpotensi untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Progresivisme
pendidikan John Dewey berarti teori-teori progresivisme pendidikan yang
dikemukakan oleh John Dewey, seorang filsuf Amerika yang pragmatis.
Progresivisme bersifat evolusionistis
dan percaya pada anggapan tentang adanya kemampuan manusia untuk mengadakan
perubahan. Progresivisme beranggapan bahwa dalam merintis sebuah perubahan ke
arah kemajuan, manusia dibantu oleh jiwa dan akalnya. Dalam progresivisme,
kurikulum bersifat eksperimental, sedangkan isinya harus mencerminkan pengalaman yang edukatif. Oleh karena pengalaman bisa diperoleh di dalam
maupun di luar kelas, maka sekolah harus menghindarkan diri dari sifat-sifat
konvensional, yakni pemisahan dikotomis antara problem kelas dengan problem
luar kelas. Dengan demikian garis pemisah antara sekolah dan masyarakat atau
pendidikan formal dan non formal tidak diperlukan lagi.[8]
Kurikulum pendidikan harus berisi
tentang berbagai pengetahuan dan kebenaran. Dewey menegaskan bahwa muatan
kurikulum bagi peserta didik tidak boleh terlalu banyak. Dia mengkritik
keberadaan sekolah kuno yang terlalu banyak muatan materi yang diberikan kepada
peserta didik. Sekolah kuno bertujuan agar para siswa menduduki jabatan
intelektual di kemudian hari, sehingga
bahan pelajaran menjadi pusat (matter-centris). Hal ini jelas tidak
realistis, sebab hanya sedikit saja yang dapat memenuhi tujuan tersebut.
Menurut Dewey, materi ajar kepada siswa harus dikurangi dan diganti dengan
latihan dan bekerja. Tidak hanya dengan berhitung orang dididik untuk berfikir
tetapi juga dengan bekerja, begitu kata Dewey. Materi pada sekolah kuno juga
sering terpisah dari realitas sosial, sehingga bersifat text book centris,
ini jelas tidak banyak berguna bagi pemecahan persoalan sosial peserta didik.
Mestinya, materi pendidikan juga berorientasi pada integrasi antara realitas
sosial dengan teori-teori yang ada.
Dewey kemudian merekomendasikan
kurikulum pendidikan yang berisi tentang berbagai materi pelajaran yang
mempunyai nilai guna dalam hidup atau memberikan impulse bagi peserta didik. Materi ini antara lain terdiri dari manajemen pelaksanaan perusahaan dan
industri, IPS dan IPA, materi liberal dan humanistik serta kesenian.[9]
Semuanya diarahkan untuk mencapai
tujuan pendidikan melalui proses yang membebaskan.
Pelaksanaan pendidikan Dewey
didasarkan pada aspek psikologi dan sosiologi. Dari aspek psikologis, kurikulum pendidikan harus memuat masalah yang diambilkan dari kehidupan
anak dalam masyarakatnya sendiri, sejajar dengan perkembangan anak, sehingga
pelajaran itu hidup. Misalnya: mengenai makanan, peternakan, pertanian,
sejarah, penerangan, dan lain sebagainya. Sementara dari aspek sosiologis, mata
pelajaran harus dipusatkan pada masalah yang bernilai fungsional untuk peserta
didik. Dengan demikian harus ada kesesuaian antara teori dan praktik; juga
tidak boleh terpisah secara dikotomis antara sekolah dan masyarakat.[10] Proses
Pendidikan Progresivisme John Dewey Pandangan progresivisme mengenai proses
pendidikan atau belajar dalam pendidikan bertumpu pada pandangan mengenai
peserta didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lain. Di samping itu, menipisnya dinding pemisah antara sekolah
dan masyarakat menjadi pijakan pengembangan ide-ide proses pendidikan bagi
progresivisme. Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang
merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Dengan kecerdasan serta
sifatnya yang dinamis dan kreatif, peserta didik mempunyai bekal untuk
menghadapi dan memecahkan problem-problem yang ada. Terkait dengan itu, usaha
untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam pendidikan. Peserta
didik hendaklah dipandang tidak sekadar sebagai makhluk yang berkesatuan
jasmani dan ruhani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan
perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan ruhani –terutama
kecerdasan- perlu difungsikan secara aktif dalam memanfaatkan lingkungannya
secara optimal. Ia perlu mendapat kebebasan dalam mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Di sini, agar sekolah dapat
berlaku wajar, maka perlu terbuka dan tidak perlu ada dinding pemisah dengan
masyarakat. Sekolah merupakan miniatur masyarakat kecil.
Dengan demikian diharapkan bahwa peserta didik dapat menghayati belajar yang edukatif dan
bukan mis-edukatif. Yang pertama, belajar edukatif, adalah belajar yang secara
bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang konstruktif, yang
nilai-nilai dan syarat-syaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi yang baik,
yang dikehendaki oleh kebudayaan negara atau bangsa. Sementara yang kedua,
belajar mis-edukatif, ialah belajar yang ditentukan oleh nilai-nilai yang
kurang mendorong ke arah perkembangan yang dinamis, yang mengandung unsur-unsur yang berlawanan. Belajar model kedua bersifat tidak serasi
dengan tujuan. Untuk suasana belajar edukatif, bisa dilaksanakan di dalam kelas
maupun di luar kelas, sehingga pendidikan merupakan hidup itu sendiri.
Dewey menentang keberadaan
sekolah kuno yang dalam proses pendidikannya terlalu meninggikan posisi guru,
sehingga cenderung berperan sangat menentukan terhadap segala sesuatu
(teacher-centris). Ini jelas kurang mendidik terhadap kebebasan berfikir siswa,
dan yang terjadi adalah model paksaan dari guru kepada siswa. Bagi Dewey, ini
tidak perlu terjadi. Guru hanyalah sebagai motivator, fasilitator, pendamping,
dan penunjuk bagi minat siswa. Misal, peserta didik berminat terhadap ilmu
alam, tetapi malas untuk berhitung, maka tugas guru adalah membimbing dan
menunjukkan bahwa untuk bisa memahami ilmu alam, haruslah belajar untuk bisa
berhitung, dan begitu seterusnya.
Di sekolah kuno, murid hanya
mendengarkan (it is made for listening). Dewey menamai sekolah tradisional
dengan sebutan sekolah duduk, sekolah dengar, sekolah percaya, sekolah pasif,
juga sekolah buku karena anak dipaksa megambil hal yang telah lengkap dituturkan dan
difikirkan dalam buku. Keadaan ini harus diubah, anak harus bekerja sendiri,
mengamati, dan berfikir sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya, dan
pada akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Inilah makna istilah learning by
doing yang dikehendaki Dewey dalam do school.
Menurut Dewey, metode pendidikan
perlu dilakukan dengan disiplin; tetapi bukan disiplin otoritas, namun disiplin
yang berorientasi pada aktivitas peserta didik. Cara yang ditempuh di sini adalah sebagai berikut. 1) Semua paksaan harus dibuang; guru harus bisa
membangkitkan kekuatan internal peserta didik sehingga bisa mencapai mastery
(ketuntasan). 2) Guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap peserta
didik; tidak ada minat universal, yang ada adalah plural, sehinggga beragam dan
berbeda, 3) Guru harus bisa menciptakan situasi di kelas, sehingga setiap
peserta didik bisa berpartisipasi dalam proses belajar. Dengan demikian, cara
mengajar harus diperhatikan oleh guru dan mendapat perhatian peserta didik.
Guru harus memperhatikan insting yang dipunyai peserta didik dan guru juga
perlu memperhatikan perkembangan jiwa peserta didik. Tujuan Pendidikan Progresivisme
John Dewey
Pendidikan bertujuan untuk
memberikan nilai-nilai bagi peserta didik sebagai pegangan dalam hidupnya. Dewey memandang bahwa sekolah merupakan lingkungan masyarakat kecil, dan
cerminan daripadanya. Ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan
sekolah terhadap masyarakat. Setidaknya, sekolah jangan hanya sebagai ”menara
gading” yang menjulang jauh di atas masyarakat. Keduanya perlu saling
berinteraksi secara positif. Pandangan ini perlu dipegang dengan teguh disertai
harapan terwujud, meskipun realisasinya tidak semata hasil terjemahan harfiah.[11] Dengan
demikian, tujuan pendidikan dalam progresivisme pendidikan Dewey adalah untuk
memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik agar dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Dewey menulis bahwa pendidikan
itu mengehendaki (dalam tingkatan yang urgen) adanya filsafat pendidikan yang berlandaskan pada filsafat pengalaman. Secara singkat
Dewey menyinggung adanya kesatuan rangkaian pengalaman. Kesatuan rangkaian
pengalaman ini mempunyai dua aspek penting bagi pendidikan; 1) hubungan
kelanjutan di antara individu dan masyarakat, dan 2) hubungan kelanjutan di
antara fikiran dan benda. Dalam hal ini, Dewey sejalan dengan Plato, bahwa
tidak ada individu atau masyarakat yang lepas antara satu dengan yang lain.
Fikiran pun tidak bisa lepas dari aktivitas mental dan pengalaman. Maka
pendidikan juga harus bertujuan untuk menghilangkan skat antara ruang kelas dan
masyarakat. Dalam artian, ruang pendidikan di kelas merupakan forum untuk
mendiskusikan berbagai persoalan di masyarakat.
Dewey juga melihat arti pentingnya bekerja. Bekerja memberikan pengalaman, dan
pengalaman memimpin orang untuk berfikir, sehingga orang dapat bertindak
bijaksana dan benar. Pengalaman mempengaruhi pula budi pekerti orang. Ada pengalaman
positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman positif merupakan pengalaman
yang benar, pengalaman yang berguna dan dapat diterapkan dalam kehidupan.
Sementara pengalaman negatif adalah pengalaman yang tidak benar, merugikan,
atau menghambat kehidupan dan tidak perlu dipakai lagi.[12] Pengalaman dalam suatu
waktu terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan dan sebagai rentetan
kejadian. Sebuah pengalaman harus bisa dibuktikan berguna atau tidak; yang
tidak berguna harus dibuang.
Dengan begitu, pendidikan
bertujuan untuk memberikan hal-hal yang berguna bagi peserta didik berdasar pada pengalaman-pengalaman yang ada. Pengalaman-pengalaman yang tidak
membawa guna sebaiknya tidak dipakai lagi. Sekolah harus merupakan sekolah
kerja, agar peserta didik selalu aktif dalam permainan dan bekerja. Pendidikan
juga bertujuan untuk mencari dan mencari pengetahuan yang benar. The truth is
in the making.
Menurut Dewey, pendidikan juga
memberikan kesempatan hidup. Hidup itu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan
diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam
berfikir kritis secara produktif dan berbuat susila. Sekolah yang dikehendaki
Dewey adalah “sekolah kerja”. Masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang
dibutuhkan warganya untuk pendidikannya, agar tidak bergantung pada dogma,
melainkan berfikir secara bebas, disiplin, obyektif, kreatif, dan dinamis. Bagi
Dewey peserta didik memiliki empat (4) insting; yakni insting sosial,
membentuk/membangun, menyelidiki, dan kesenian.
Bagi Dewey, pendidikan bahkan
merupakan kebutuhan hidup. Pendidikan merupakan suatu transmisi yang dilakukan
melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari pernyataan empiris dan proses modifikasi watak, sehingga menjadi suatu keadaan pribadi.
Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting
dari sebuah kelompok, dari yang tertua hingga yang termuda. Sebagai sebuah
masyarakat yang sangat kompleks dalam struktur maupun sumber daya, manusia
membutuhkan pengajaran formal serta proses pembelajaran. Maka pendidikan
bermaksud untuk memberikan kesiapan hidup bagi peserta didiknya agar mudah
dalam menjalani hidup.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan
itu “preparing or getting ready for some future duty or privilege” (mempersiapkan atau mendapat kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung
jawab di masa mendatang). Lebih lanjut, Dewey menegaskan, “The notion that
education is an unfolding from within appears to have more likeness to the
conception of growth which has been set forth. Dengan demikian,
pemikiran Dewey tentang pendidikan lebih condong kepada suatu konsepsi
pendidikan yang harus dibentangkan dari yang tampak dan memiliki banyak
kesamaan dengan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya.
Progresivisme pendidikan Dewey mengehendaki adanya asas fleksibilitas demi
memajukan pendidikan. Untuk tujuan itu, pendidikan harus bersifat demokratis;
dan untuk mencapai demokratisasi pendidikan diperlukan modal yang besar, sehingga
–bisa dikatakan- Dewey sangat mendukung terhadap program-program kapitalisme
demi mewujudkan tatanan yang demokratis, baik dalam lingkup pendidikan maupun
tatanan yang lebih luas. Dewey menegaskan:
“We still find a view put forth as to an intrinsic and necessary connection between
democracy and capitalism which has a psychological foundation and temper. For
it is only because of belief in ascertain theory of human nature that the two
are said to be siamese twins, so that attack upon one is threat directed at the
life of the other.”
[1] Abdul Khobir, Filsafat
Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007). Hlm. 53
[2]
Uyoh Sadullah. Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandumg: ALFABETA, 2007). Hlm. 141-142
[3] Djumberansyah Indar. Filsafata
Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994). Hlm. 131-132
[4] Imam Barnadib. Filsafat
Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 28
[5] M. Noor Syam, Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1998) Hlm. 252
[6] Imam Barnadib. Filsafat
Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 36
[7] Zuhairini dkk, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1975) Hlm. 22-24
[8] Imam Barnadib. Filsafat
Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 29.
[9] Imam Barnadib. Filsafat
Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 81-82
[10] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan
Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 77-78
[11] Imam Barnadib. Filsafat
Pendidikan. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002), hlm. 61-62.
[12] Soejono. Aliran Baru dalam
Pendidikan. Bagian 1. (Bandung: CV. Ilmu, 1978), hlm. 128-130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar