A.
Aliran Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata
perennial, yang dalam Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing
throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”– abadi atau kekal.[1] Dari
makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat
bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme
memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” regresive road to culture. Oleh sebab
itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup
ideal yang telah teruji ketangguhan nya. [2]
1.
Sejarah Perkembangan Aliran
perenialisme
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20.
Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.[3]
Solusi yang
ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar
budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad.[4]
Perenialisme memandang
bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu
dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap
ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan
tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu
merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini
perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu
berguna bagi abad sekarang ini.
2.
Tokoh Aliran Perenialisme
Pendiri utama dari
aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan
dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam
abad ke-13. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis
zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep
filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu
akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk
kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan
yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan
bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Pendapat di atas
sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat
pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang
sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST.
Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama
Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama
Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham
gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama
perenialisme.
Pandangan-pandangan
Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan
aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari
itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme. Neo-Scholastisisme
atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas
dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu
pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya.
Namun semua yang
bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang
fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai
manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat
spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya,
manusia dapat mengerti dan memaham’i
kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi. Jadi aliran perenialisme dipakai untuk
program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T
Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama
Katholik atau diluarnya.
3.
Prinsip-prinsip Pendidikan
Perennialisme
Dibidang pendidikan,
perennialisme sangat dipengaruhi oleh
tokoh tokohnya salah satunya yaitu Thomas Aquinas. St. Thomas Aquinas dianggap
sebagai filosof skolastik terbesar. Dalam semua institusi pendidikan Katolik
yang mengajarkan filsafat, sistemnya diajarkan sebagai satu-satunya sistem yang
benar, ini sudah menjadi aturan baku yang ditetapkan oleh Leo XIII pada tahun
1879. Oleh karena itu, St. Thomas Aquinas tidak hanya penting dalam sejarah,
tetapi pengaruhnya tetap hidup seperti Plato, Aristoteles,
Kant dan Hegel.[5] Dalam banyak hal, St. Thomas Aquinas lebih dipengaruhi oleh filsafat
Aristoteles. Ia memberi tempat khusus atas pemikiran Aristotelian dalam tradisi
Kristen dengan memberikan penghargaan yang relatif tinggi terhadap dunia alamiah dan pengetahuan manusia.[6] St.
Thomas Aquinas memadukan sistem alam Aristoteles yang komprehensif dengan teologi dan etika Kristen dan menetapkan kerangka
konseptual yang tetap tak terbantahkan selama abad pertengahan.[7]
Karya terpenting St. Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, ditulis
selama tahun 1259-1264.[8] Adapun
target ajaran Summa Contra Gentiles adalah kecenderungan naturalistik
yang dilihatnya dengan jelas terdapat pada filsuf-filsuf Arab tertentu.[9]
Menurutnya, tidak ada pertentangan antara rasio, akal budi dengan wahyu Tuhan. Sebuah aliran yang disandarkan padanya adalah Thomisme.
Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai
ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Menurut
epistemologi Thomisme sebagian besar ilmu pengetahuan berpusat pada pengolahan
tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila
pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan
untuk menampilkan tenaganya secara penuh.[10]
Pendidikan menurut St. Thomas Aquinas adalah menuntun kemampuan-kemampuan
yang masih tidur agar menjadi
aktif atau nyata. St. Thomas Aquinas meyakini bahwa manusia mempunyai pembawaan
baik. Kejahatan adalah tidak disengaja, bukan esensi dan mempunyai sebab
aksidental yang baik.[11] Menurutnya,
tujuan pendidikan adalah mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar
menjadi aktualitas aktif dan nyata.[12] Dalam hal ini guru memberi
bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada.
St. Thomas Aquinas mempunyai pengaruh besar
terhadap gagasan-gagasan psikologi yang muncul dari doktrin mengenai kemauan
bebas (free will). Menurut St. Thomas Aquinas, setiap manusia
dikuasai oleh jiwa yang baka, dan jiwa itu bukan dari dunia fana. Pada
hakekatnya, jiwa tersebut berada dalam dunia fana, tetapi bukan milik
dunia ini. Itulah sebabnya, jiwa tidak tunduk pada hukum alam atau
terbatas pada hukum sebab-akibat. Bila demikian, maka keyakinan bahwa
kita bebas menentukan perilaku kita masing-masing dan mengadakan pilihan yang
konkrit sebagai manusia, memang merupakan suatu kenyataan. Bila kemauan bebas merupakan suatu kenyataan,
maka itu berarti mengerikan dan menyenangkan. Mengerikan karena kita
memikul beban berat pada bahu kita. Pada akhirnya kita bertangungjawab
atas setiap pilihan dan tindakan. Dan menyenangkan karena kita bukan robot atau
benda. Will atau kemauan diartikan sebagai kemampuan mental yang
memungkinkan individu dapat menentukan pilihan secara sadar.[13]
Pola pikir filosofis St. Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode
skolastik dan analisa falsafatinya.
Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad
Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina
lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran
filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas
mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu
yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah
Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis). [14]
Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi
debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar
menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro”
dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan
yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih
sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom. [15]
St. Thomas Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus
yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami
secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha
membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai
batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan St. Thomas
Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk
meluruskan iman Kristiani. Dia melihat keberadaan Tuhan, yang dapat
menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di
satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat
dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk
akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.
Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara
teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun
berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir
yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan
articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian.
Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan.
Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber
jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf
pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf
Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas
memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang
bersangkutan.[16] St.
Thomas Aquinas bersifat sintetis-deduktif. Menjalankan metode ini berarti
bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan
sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.
Pandangan-pandangan aliran
perenialisme
a.
Pandangan tentang realita
(ontologis)
Peremialisme memandang bahwa
realita itu bersifat universal dan ada dimana saja, juga sama disetiap waktu.
Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni
bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau
pristiwa-pristiwa yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[17]
Relitas bersumber dan
berujan akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas supernatural). Relitas
mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk
dan materi (hylemorphisme). Dalam
pengalaman, kita menemukan individual ting.
Contohnya, batu, rumput, orang,
sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Didalam individual
ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident). Contohnya,
batu yang kasar atau halus, sapi yang
gemuk, orang berbakat olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas tersebut terdapat sifat asasi sebagai
identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita yang embedakan dia dari jenis
yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad
adalah mahluk berfikir. Esensi tersebut membedakan Ahmad sebangai
manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal dimana pun
ada dan sama disetiap waktu.
Ontologi perennialisme
terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden
dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek
perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah benda
sebagaimana nampak dihadapan manusia dan
yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam
bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia
ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah
keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting
dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau
suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap
individu, misalnya partikular dan uni versal, material dan spiritual.
b.
Pandangan tentang
pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat
bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa
yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan
kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya
adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian
mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah
bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan
pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme
filsafat yang tertinggi adalah ilmu
metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif
yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran
probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological
analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki
dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum
pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh karena itu, menurut
perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk
diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-prinsip yang di kemukakan
oleh Aristoteles diatas.
c.
Pandangan tentang nilai (Aksiologi)
Pandangan tentang hakikat
nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat
spiritual. Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh
karna itu nilai selalu bersifat teologis.Menurut perenialisme, hakikat manusia juga
menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama
tergantung pada jiwanya.
Jadi persoalan nilai berarti
juga persoalan spiritual. Hakikat manusia adalah emansipasi (pancaran) yang
potensial lang yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk
itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang didukung haruslah teologis.[18]
d.
Pandangan tentang pendidikan
1)
Pendidikan
Perenialisme memandang
edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses
mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau
yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan
pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang
terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas,
perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins
mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran
mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun
dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu
sendiri.
2)
Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang
harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya
adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai
kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
3)
Sekolah
Sekolah merupakan lembaga
tempat latihan elite itelektual yang
mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar
yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau
orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bago perenialist merupakan
peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil
yang paling baik dari warisan sosial budaya.
4)
Kurikulum
Kurikulum pendidikan
bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi
pelajaran haris bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu materi
pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab
demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi
adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
5)
Metode
Metode pendidikan atau
metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan
diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang
dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
6)
Peranan guru dan peserta
didik
Peran guru bukan sebagai
perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “mirid”
yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan
potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas
murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifietdan superior dibandingkan muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.
[1] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 27
[2] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 28
[3] Sa’dullah,
Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[4] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,
(Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[5]
Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
). Cet. 2. Hlm. 598
[6]
Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 110
[7]
Suhar. Filsafat Umum. (Jakarta: Persada Press, 2009). Hlm. 122
[8] Bertrand Russell. 2004. Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 600
[9]
Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme.
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 100
[10]
Kukuh Silautama. 2009. Aliran Perenialisme dalam Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com
[11]
Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
). Cet. 2. Hlm. 606
[12]
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008). Hlm. 29
[13]
Anonim Aquinas (Thomas Aquinas). http://psiko-edu.blogspot.com
[14]
Davies, Brian. 1993. The Thought of Thomas Aquinas. Oxford : Clarendon Press. Hlm. 6
[15] Davies,
Brian. 1993. The Thought of Thomas
Aquinas. Oxford : Clarendon Press.
Hlm. 10
[16]Etienne Gilson. 1948. The Philosophy of St. Thomas Aquinas.
New York: Dorset Press. Hlm 37-38.
[17]
Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm.
72
[18]
Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm.
74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar