Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Selasa, 29 Mei 2018

Pemikiran pemikiran Suhrawardi

               Pemikiran Suhrawardi
Suhrawardi hidup pada masa yang sangat tidak kondusif untuk terjadinya pemikiran bebas, ia hidup pada abad ke 6 H, di mana pengaruh pengkafiran al-Ghazali masih sangat kentara, pemikiran rasional maupun irasional Syiah sangat di tentang saat itu.   Keaadan ini yang menjadikan Suhrawardi mendapat gelar al-Maqtul yang berarti dibunuh, karena pemikirannya yang bertentangan dengan ideologi negara yang dianut saat itu.
Penaklukkan Ayubiyah atas Fathimiyah yang berarti kemenangan negara Sunni terhadap negara Syiah menjadikan terjadinya gerakan sunnisasi di kawasan sentral Syiah. Kawasan-kawasan yang mulanya merupakan kawasan perkembangan pemikiran syiah, berhasil dirubah menjadi kawasan sentral pemikiran Sunni, dan kedatangan suhrawardi setelah adanya pergeseran ideologi di kawasan tersebut.   Kutipan dari Kitab al-Tazkari karya Syayid Husain Nasr ini, menunjukan latar belakang pemikiran Suhrawardi adalah untuk mengembalikan ideologi di kawasan Sunni yang dulunya berideologi Syiah.
Suhrawardi juga hidup ketika terjadi perseteruan antara Ayubiyah dan Saljuk dan ketika runtuhnya Abbasiyah di tangan Holako, pada saat itu itegrasi peradaban Islam sudah hampir tidak bisa lagi untuk dipertahankan, peradaban Islam bukan lagi peradaban sentral yang integral.  Negara-negara Islam pada masa ini mulai tidak terpusat, mereka terpecah dan saling bermusuhan. Negara-negara Islam pada masa ini tidak menyatu dan saling melengkapi lagi, sehingga sangat sulit untuk menyelamatkan peradaban.
Semua bentuk revolusi sosial pada waktu itu tidak lagi bernuansa positif rekonstruktif, orientasi manusia pada saat itu sudah banyak bergeser kepada dunia material. Suhrawardi sangat mewaspadai terhadap alam materi, alam materi hanya sebuah ilusi, sedang yang utama adalah alam immateri. Tugas dari kehidupan adalah menyibukkan diri dengan problem ukhrawi bukan mengengelamkan diri pada kehidupan duniawi.
Kondisi semacam itu tidak sepenuhnya menggiring Suhrawardi hanyut pada kondisi realita. Ia sebagai pembaharu umat, tertuntut untuk berupaya menyelasaikan problem-problem tersebut. Kontruksi pemikirannya tidak sepenuhnya bersifat negatif terhadap fenomena sosial, melainkan terkesan sebagai tawaran solutif terhadap problem-problem itu. Hal ini terlihat dari formasi pemikirannya yang menceminkan penyatuan kembali disintegrasi peradaban Islam. Alternatifnya adalah dengan menyatukan kembali semua mainstream pemikiran. Suhrawardi akhirnya, membangun filsafat iluminasinya di atas semua aliran pemikiran.
Suhrawardi mulanya adalah seorang paripatetik yang akhirnya berubah menjadi seorang sufi sejati. Pergeseran pemikiran tersebut tidak dipandang sebagai perseteruan, melainkan sekedar upaya penyempurnaan. Filsafat paripatetik sangat kering dari nuansa spiritual, tapi kaya dengan argument rasional. Pemaduan antara filsafat paripatetik dengan maistream sufistik adalah keharusan dalam menyempurnakan konstruksi pemikiran.  Upaya penyatuan itu dilakukan demi terbentuknya formasi filsafat iluminasi. Iluminasi atau yang dalam bahasa arab disebut sebagai filsafat isyraqi.
1. Pengertian Isyraq
Kata isyraq dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan sekaligus juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari timur (sharq). Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan lain-lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia menderita. Timur tidak hanya berarti secara geografis tetapi awal cahaya, realitas.
Dalam sistem filsafat iluminasi Suhrawardi menurunkan sejumlah istilah kunci bagi pemahaman sistem logika, epistemologi, fisika, psikologi, dan metafisika. Untuk epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, Suhrawardi menurunkan istilah qa’idah al-isyraqiyyah, dan terhadap kandungan filsafat ia menyebut daqiqah al-isyraqiyyah. Melalui istilah ini Suhrawardi merumuskan kembali pemikiran tentang logika, epistemologi, fisika dan metafisika. Istilah lain yang diturunkan ialah musyahadah al-isyaqiyyah (penyaksian dengan pencerahan) untuk menyebut tahap terakhir pencapaian pengetahuan hakiki. Selain istilah tersebut, Suhrawardi juga menurunkan istilah idafah al-isyraqiyyah (kaitan pencerahan) untuk menguraikan hubungan tak terduga yang timbul antara subyek (maudu’) dan asas logis teori pengetahuannya.
Menurut Syayid Hossein Nasr, sumber-sumber pengetahuan yang membentuk pemikiran isyraqi Suhrawardi terdiri atas lima aliran, yaitu: pertama, pemikiran-pemikiran sufisme, khususnya karya-karya al-Hallaj dan al-Ghazali. Salah satu karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran iluminasi Suhrawardi. Kedua, pemikiran filsafat peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina. Meski Suhrawardi mengkritik sebagiannya tetapi ia memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan isyraqi. Ketiga, pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Phithagoras, Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexanderia, kemudian dipelihara dan disebarkan di Timur dekat oleh kaum Syabiah Harran, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka. Keempat, pemikiran-pemikiran (hikmah) Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Idris (Hermes). Kelima, berdasarkan pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat.
2. Skema Sumber-sumber Pemikiran Isyraqi
Dalam bidang metafisika Suhrawardi merupakan orang pertama dalam sejarah yang menegaskan perbedaan dua corak metafisika yang jelas, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum mencakup pokok-pokok pembahasan yang baku tentang keberadaan atau kewujudan (eksistensi), kesatuan, subtansi (jauhar), eksiden, waktu, ruang dan gerak. Adapun yang termasuk dalam metafisika khusus ialah; pendekan ilmiah baru untuk menelaah masalah supra rasional (adinalar), seperti kewujudan Tuhan dan pengetahuan (al-‘Ilm), mimpi sungguhan, pengalaman pencerahan, tindakan khalqiyyah kreatif yang tercerahkan, imajinasi ahli makrifat, bukti yang nyata, dan kewujudan obyektif, ‘alam al-khyal (alam khayal) atau ‘alam al-misal (alam misal).
Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat, Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun. Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).
Dalam kerangka filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya.  Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya” disamakan dengan  “Tuhan”.
Bagi Suhrawardi realitas dibagi atas tipe cahaya dan kegelapan. Realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Keseluruhan alam adalah tingkatan-tingkatan penyinaran dan tumpahan Cahaya Pertama yang bersinar dimana-mana, sementara ia tetap tidak bergerak dan sama tiap waktu. Sebagaimana term yang digunakan oleh Suhrawardi, cahaya yang ditompang oleh dirinya sendiri disebut nur al-mujarrad. Jika cahaya bergantung pada sesuatu yang lain disebut nur al-‘ardi.
Pertama, cahaya dalam hal ini cahaya terdekat (nur al-aqrab) berasal dari cahaya segala cahaya. Cahaya pertama benar-benar diperoleh (yahsul). Cahaya pertama memiliki karakter: pertama, ada sebagai cahaya abstrak. Kedua, mempunyai gerak ganda; ia mencintai (yuhibbu) dan “melihat” (yushhidu) cahaya segala cahaya yang ada di atasnya, dan mengendalikannya (yaqharu) serta menyinari (ashraqa) apa yang ada dibawahnya. Ketiga, mempunyai “sandaran” dan sandaran ini mengimplikasikan sesuatu “zat” disebut barzakh yang mempunyai kondisi (hay’ah). Zan dan kondisi bersama-sama berperan sebagai wadah bagi cahaya. Keempat, mempunyai semisal “kualitas” atau sifat; ia “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya yang lebih rendah. Dan “miskin” dalam hubungannya dengan Cahaya segala Cahaya.
Ketika cahaya pertama diperoleh, ia mempunyai langsung terhadap Cahaya segala Cahaya tanpa durasi atau “momen” yang lain. Cahaya segala Cahaya seketika itu juga menyinarinya dan begitu juga “menyalakan” zat dan kondisi yang dihubungkan dengan cahaya yang pertama.  Cahaya yang berada pada cahaya abstrak pertama adalah “cahaya yang menyinari” (nur al-sanih) dan paling reptif (menerima) diantara semua cahaya. Proses ini terus berlanjut, dan cahaya kedua menerima dua cahaya, yang satu berasal dari Cahaya segala Cahaya langsung, yang lain dari cahaya pertama. Cahaya pertama telah menerimanya dari Cahaya segala Cahaya dan berjalan langsung karena ia bersifat tembus cahaya. Hal yang sama terjadi; cahaya abstrak ketiga menerima empat cahaya; satu langsung dari Cahaya segala Cahaya, satu lagi dari cahaya pertama, dan yang lainnya dari cahaya kedua. Proses ini berlanjut terus, dan cahaya abstrak keempat menerima delapan cahaya; cahaya abstrak kelima menerima enam belas cahaya dan seterusnya. Mengenai cahaya yang berlipat ganda ini, esensi masing-masing cahaya, yaitu kesadaran diri, sebagian adalah “cahaya-cahaya pengendali” (al-anwar al-qahirah) dan sebagian lainnya adalah cahaya-cahaya pengatur (al-anwar al-mudabbirah). 
3. Hirarki Cahaya
Manusia mempunyai kemampuan untuk menerima cahaya peringkat tertinggi lebih sempurna dibandingkan binatang dan tumbuhan. Manusia adalah alam sagir (mikro kosmos) yang di dalam dirinya mengandung citra alam yang sempurna dan tubuhnya membuka pintu bagi semua kejismian. Tubuh ini selanjutnya merupakan sarana bagi cahaya yang bersinar di atas semua unsur tubuh dan menyinari daya khayal (imajinasi) dan ingatan. Cahaya ini dihubungkan dengan tubuh oleh jiwa hewani, yang bertempat di jantung, dan meninggalkan badan pergi ke tempatnya yang asal, yaitu alam malakut (kerajaan besar, kekuasaan), apabila badan telah hancur dan kembali kepada unsur-unsur jasmaninya. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana manusia dapat memiliki kehendak. Menurut Suhrawardi, yang mendorong manusia berkehendak ialah cinta. Kalau kehendak terlalu menguasai jiwa maka timbullah amarah. Secara umum filsafat iluminasi yang diwakili oleh Suhrawardi dalam metafisikanya selalu disimbolkan dengan “cahaya”.
4. Metafisika dan cahaya
Inti filsafat illuminasion adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan QS. Al Nur: 35. Sedangkan Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri-Nya. Suhrawardi mengikuti argument yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al wujud.
Konsep terang dan gelap Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berate bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persi, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Suhrawardi.
Nur al-Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahay disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendak-Nya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta.
Dalam pemikiran falsafi Suhrawardi, unsure cinta merupakan modal dari kedinamisan gerak semua makhluk. Semua wujud dan kelangsungan pergerakan makhluk tergantung dari proses penyinaran dari Nur al-Anwar. Penyinaran adalah kunci sentral segala pergerakan. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa setiap eksistensi alam semesta menyandarkan wujudnya pada penerangan abadi-Nya.
Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Suhrawardi tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filusuf paripatetik. Menurutnya, pancaran  yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.
Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertical, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.
Salah satu ciri kekaidahan dan struktural filsafat isyraqiyyah dalam bidang metafisika yang menonjol dalah dalam hal wujud dan esensi (mahiyah). Dalam pengantar al-Talihat, Suhrawardi menulis tentang wujud dan esensi. Ia berpendirian bahwa “tidak benar partikular merupakan tambahan bagi esensinya”, karena esensi dapat dipikirkan terlepas dari wujud. Sebuah wujud dapat dipikirkan secara langsung, tanpa mengetahui apakah ia ada atau tidak pada entitas partikular yang manapun. Karena itu, wujud dan esensi itu sama (identik).
Dalam kerangka filsafat iluminasinya, pembicaraan tentang wujud tidak dapat dipisahkan dari sifat dan penggambaran cahaya. Cahaya tidak bersifat material dan juga tidak dapat didefenisikan. Sebagai realitas yang meliputi segala sesuatu, cahaya menembus ke dalam susunan setiap entitas, baik yang fisik maupun nonfisik, sebagai komponen yang esensial dari cahaya.  Sifat cahaya telah nyata pada dirinya sendiri. Ia ada, karena ketiadaannya merupakan kegelapan. Semua realitas terdiri dari tingkatan-tingkatan cahaya dan kegelapan. Segala sesuatu berasal dari cahaya yang berasal dari Cahaya segala Cahaya (nur al-Anwar). Jika tanpa cahaya semua menjadi kegelapan yang diidentifikasikan non eksistensi (‘adam). Selanjutnya “Cahaya segala Cahaya” disamakan dengan  “Tuhan”.
5. Metode Meraih Pancarahan Tuhan (Isyraq)
Suhrawardi mengemukakan beberapa metode untuk meraih pencerahan Tuhan (isyraq), yang mesti di tempuh oleh setiap orang dalam proses mendapatkan pencerahan: Pertama tahapan persiapan untuk menerima pengetahuan iluminatif. Tahapan ini dimulai dengan aktivitas-aktivitas mengasingkan diri (uzlah) paling tidak selama empat puluh hari, bersiap diri  untuk menerima nur ilahiah dan seterusnya, yang hampir sama dengan kegiatan asketis (menjauhi dunia) dan sufistik, hanya saja disini tidak ada konsep ahwal dan maqamat. Melalui aktivitas seperti ini dengan kekuatan  intuitif yang ada pada dirinya  yang disebut dengan cahaya  Tuhan (al-bariq al ilahi) seseorang mengetahui realitas eksistensi dirinya dan mengenal kebenaran intuitifnya melalui ilham dan visi (musyahadah wa mukasyafah) oleh karena itu hal ini terdiri dari 1.aktivitas tertentu, semisal zikir dan lainnya, 2.kemampuan menyadari intuisinya sendiri sampai mendapatkan cahaya ilahiah. 3.ilham.
Tahap pertama membawa seseorang ke tahap kedua yaitu tahap penerimaan dimana cahaya tuhan memasuki wujud manusia. cahaya ini mengambil bentuk sebagai serangkaian cahaya penyingkap (al-anwar al-saniah) dan melalui cahaya tersebut pengetauhan yang berfungsi sebagai fondasi ilmu sejati diperoleh.
Tahap ketiga adalah mengkontruksi pengetahuan yang valid dengan menggunakan analisis diskursif. Disini pengalaman diuji dan dibuktikan dengan sistem berfikir yang digunakan dalam demontrasi (burhan). Sehingga darinya bisa dibentuk suatu sistem dimana pengalaman tersebut dapat didudukan dan diuji validitasnya, meskipun pengalaman itu sendiri sudah berakhir. hal yang sama dapat diterapkan pada data-data yang didapat dari penangkapan indrawi, jika berkaitan dengan pengetauan iluminatif.
Tahap ke empat adalah pen-dokumentasian dalam bentuk tulisan atas pengetauan atau struktur yang dibangun dari tahap-tahap sebelumnya,dan inilah yang bisa diakses oleh orang lain.
            Dengan demikian, pengetahuan dalam isyraqi tidak hanya mengandalkan kekuatan intuitif saja, melainkan juga kekuatan rasio. Ia menggabungkan  keduanya, metode intuitif dan diskursif, dimana cara intuitif digunakan untuk meraih  segala sesuatu yamg tidak tergapai oleh kekuatan rasio sehingga hasilnya merupakan pengetahuan yang tertinggi dan terpercaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar