Konsep Tasawuf
Tasawuf yang di bangun oleh Suhrawardi menggunakan konsep al-Isyraq. Ia merupakan tipe tasawuf falsafi yang paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran. Kata al-Isyraq mempunyai banyak arti antara lain: terbit, bersinar atau memancarkan cahaya. Isyraqi berkaitan dengan cahaya, yang pada umumnya digunakan sebgai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan, dan hal-hal lain yang membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan, yang dijadikan lambang keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua hal yang membuat manusia menderita. Kata Isyraq dalam bahasa english mempunya arti Illumination.
Menurut Suhrawardi, sumber dari segala yang ada adalah Cahaya Yang Mutlak, yang ia sebut dengan Nur al-Anwar. Paham al-Isyraq ini menyatakan, bahwa alam ini diciptakan melalui penyinaran atau illuminasi. Kosmos ini terdiri dari susunan bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya. Cahaya yang tertinggi sebagai sumber dari segala cahaya, yanga ia namakan Nurul Anwar atau Nurul A’zham, dan inilah Tuhan yang azali. Manusia berasal dari Nurul Anwar yang diciptakan melalui pancaran cahaya dengan proses yang hampir sama dengan emanasi atau al-faidh yang di kembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Tuhan merupakan arus bolak-balik. Artinya, ada hubungan yang bersifat dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas yang kemudian terjadilah ittihad (menyatunya manusia dengan Tuhan). Konsep tasawuf Suhrawardi berujung pada konsep cahaya (iluminasi) yang lahir sebagai perpaduan antara rasio dan intuisi.
Bagi suhrawardi, apa yang disebut eksistensi hanya ada dalam pikiran. Gagasan umum maupun konsep tidak terdapat pada realitas. Sedangkan yang benar-benar ada atau realitas yang sesungguhnya hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya inilah yang nyata dengan dirinya sendiri karena ketidak adaanya berarti kegelapan yang tidak dikenali, namun demikian cahaya mempunyai hierarki- hierarki dari yang paling atas sampai terbawah. Hal ini sama dengan filsafat emanasi dalam peripatetisme. Hanya saja dalam emanasi hierarki-hierarki atau tingkatan-tingkatan itu diidentikkan dengan cahaya.
Dalam pemahaman tentang hierarki- hierarki wujud, semakin dekat pada sumber cahaya, maka intensitas cahaya suatu tingkatan wujud akan lebih banyak. Semakin jauh dari sumber cahaya maka akan lebih sedikit intensitas cahaya yang diterimanya. Yakni wujud yang lebih dekat kepada Tuhan sebagai sumber cahaya akan lebih banyak menerima pancaran dari-Nya, sementara wujud yang jauh dari-Nya semakin lemah intensitas cahayanya. Dan dengan demikian makin rendah tingkatan dalam hierarki keberadaannya.
Proses iluminasi Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar yang merupakan sumber dari segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa, sehingga tidak ada satupun yang menyerupai-Nya, Ia adalah Allah. Dalam pemaparan teori penciptaan, Suhrawardî sepakat dengan pandangan kaum Peripatetik yang meyakini bahwa Zat manunggal hanya memancarkan pada satu bentuk yang tunggal. Nur al-Anwar yang ditegaskan sebelumnya sebagai sumber penciptaan hanya memancarkan cahayaNya pada satu cahaya murni, yang juga memiliki sifat kesamaan dengan Nur al-Anwar. Pemancaran cahaya ini diakibatkan oleh aktivitas Nur al-Anwar yang senantiasa memancarkan cahaya dari substansinya. Dan sebenarnya mata rantai dari aktivitas Nur al-Anwar inilah, yang dalam pemikiran kelompok Iluminasioner mendasari perannya (Nur al-Anwar) sebagai pencipta alam semesta.
Sebagai hasil pemancaran cahaya substansinya terjadilah satu pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni pertama dan dibarengi dengan satu materi alam abadi (yang disebut dengan Huyuli) yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya Murni pertama ini, seperti Nur al-Anwar, dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu menerima pancaran cahaya Nur al-Anwar dan memancarkan Cahaya-Nya kembali dari substansinya. Tapi walaupun demikiran keduanya tetap memiliki perbedaan fundamental, baik dalam zat ataupun strata fungsionalnya.
Suhrawardi menjelaskan dalam satu contoh sederhana yang mengambarkan proses pemancaran Nur al-Anwar pada Cahaya Murni pertama. Nur al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya Murni-pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan dalam sebuah cermin, yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya sesuai kemampuanny.
Memperhatikan pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi ini, mengingatkan kepada sebuah firman Allah dalam surat al-Nur Ayat 35, artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Dalam konteks iluminasi Suhrawardi, posisi pelita besar dalam ayat di atas merupakan penjelmaan dari Nur al-Anwar yang menjadi sumber dari segala cahaya, sedangkan cahaya yang terpancar dari pelita besar itu diposisikan sebagai Nur al-Aqrab sebagai cahaya yang pertama kali terpancar dari sumber cahaya. Selanjutnya cahaya yang terpancar dari Nur al-Aqrab ini membentur dinding-dinding kaca yang kemudian menghasilkan banyak cahaya yang saling memancar dan menghasilkan cahaya lain. Dari proses seperti inilah cahaya kedua, ketiga dan seterusnya lahir.
Mansur
Daftar Laman
Selasa, 29 Mei 2018
Konsep Tasauf Suhrawardi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar