BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
dasarnya, berpikir merupakan sebuah proses yang menghasilkan pengetahuan.
Proses tersebut merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan
pikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa
pengetahuan. Sejauh ini hampir semua
kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh pendekatan
filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu
digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan.
Ilmu dan pengetahuan memiliki hubungan yang
sangat erat. Sementara pengetahuan merupakan logika konseptual (conceptual
logic), atau sekumpulan ilmu-ilmu yang belum terhimpun dalam sebuah metode
tertentu, sedang ilmu secara sederhana bisa dimaknai sebagai semua pengetahuan
yang terkonstruk melalui beberapa metode-metode keilmuan. Oleh karena itu, ilmu
merupakan salah satu dari pengetahuan manusia yang harus benar-benar dihargai.
Untuk dapat menghargai ilmu pengetahuan, seseorang dituntut untuk mengerti
hakikat ilmu pengetahuan.
Pergerakan yang dialami
oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga
menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu
pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan
proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement)
yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Perlunya penilaian
dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang
dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara
umum. Sampai sejauh ini, didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan
dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses
berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat
dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
pengertian Ilmu Pengetahuan?
2.
Bagaimanakah
hakikat Ilmu pengetahuan dalam perspektif modern?
3.
Bagaimanakah
hakikat Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan
pengertian Ilmu pengetahuan.
2.
Memaparkan
hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif modern.
3.
Memaparkan
hakikat ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan
wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami
benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut science ; dari bahasa Latin scientia
(pengetahuan)-scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan
bahasa Yunani adalah episteme. Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus
bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[1]
Istilah
ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda,
yaitu mengandung lebih dari pada satu arti. Oleh karena itu, dalam memakai
istilah tersebut seseorang harus menegaskan atau sekurang-kurangnya menyadari
arti mana yang dimaksud. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu merupakan sebuah
istilah umum untuk menyebut segenap ilmu pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai
satu kebulatan. Jadi, dalam arti yang pertama ini ilmu seumumnya (science-in-general).[2]
Yang
kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang ilmu pengetahuan ilmu ilmiah yang
mempelajari sesuatu pokok soal tertentu. Dalam arti ini ilmu berarti suatu
cabang ilmu khusus seperti misalnya anthropologi, biologi, geografi, atau
sosiologi. Istilah inggris science kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu
khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistematis mengenai
dunia fisis atau material.[3]
Mulyadhi
Kartanegara mengatakan bahwa ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu
dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah
itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu
melampauinya pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika.[4]
Adapun
definisi ilmu menurut para ahli, diantaranya adalah:[5]
1.
Ralp Ross dan
Ernest Van Deen Haag, mengatakan ilmu adalah empiris, rasional, umum, dan
sistematik, dan keempatnya serentak.
2.
Karl person, mengatakan
ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang
fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
3.
Ashley Montagu,
Guru Besar Anthropologi di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah
pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi
dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
4.
Harsojo, Guru
besar Anthropologi di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa llmu adalah:
a.
Merupakan
akumulasi pengetahuan yang sistematika
b.
Suatu
pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia
yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat
diamati oleh panca indera manusia.
c.
Suatu cara
menganalisisyang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan sesuatu
proposisi dalam bentuk: “jika…, maka…”.
Dalam
bukunya, Nazir menjelaskan bahwa ilmu tidak lain adalah suatu pengetahuan, baik
natural ataupun sosial yang telah terorganisir serta tersusun secara sistematik
menurut kaidah umum yang telah disepakati.[6]
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun
melakukan penerapan.
Konsep
ilmu dalam Islam yang tertuang dalam al-Qur’an merupakan gagasan yang paling
canggih dan komprehensif. Pandangan Islam berbeda dengan idiologi lainnya
tentang ‘ilm. Selain itu, tidak ada pandangan dunia lain yang menjadikan
pencarian ilmu sebagai kewajiban individual dan sosial yang mempunyai dimensi
moral dan religious sebagai suatu ibadah.[7]
Dalam
perspektif Islam, ‘ilm adalah Islam. Islam merupakan bagian dari ilmu.
Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan. Tidak satupun agama
atau ideologi selain Islam yang menekankan akan pentingnya ilmu pengetahuan
bagi kelangsungan peradaban ummat dan perjalanan hidup manusia.[8]
Ilmu
dalam pandangan Islam merupakan suatu yang sangat diperlukan manusia dan umat
Islam diwajibkan untuk mencarinya. Tuhanpun mencintai mereka yang senantiasa
mencari ilmu. Dengan ilmu itulah manusia akan dapat menuju ke surga dengan baik.
Sedangkan
pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan ingin tahu manusia tentang apa saja
melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu. Pengetahuan ini bermacam-macam
sifatnya, ada yang langsung dan ada yang tidak langsung; ada yang bersifat
tidak tetap (berubah-ubah), subyektif, dan khusus, dan ada pula yang bersifat
tetap, obyektif dan umum. Jenis dan sifat pengetahuan ini tergantung kepada
sumbernya dan dengan cara dan alat apa pengetahuan itu diperoleh. Kemudian ada
pengetahuan yang benar dan ada pengetahuan yang salah. Tentu saja yang
dikehendaki adalah pengetahuan yang benar.[9]
Ada
sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan dengan ilmu tidaklah berbeda.
Pengetahuan (knowledge) bagi mereka tak ubahnya sebagai ilmu (science),
sehingga ilmu dengan pengetahuan tidaklah berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa
pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Sebagaimana yang dinyatakan M. Thoyibi, pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a
higher level’ dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana
kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. sementara dalam Encyclopedia of
philosophy, pengetahuan disebutnya sebagai ‘justified true belief’,
yakni kepercayaan yang benar. Sedangkan menurut Amtsal Bahtiar, pengetahuan
merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.[10]
Menurut
Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan
demikian ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di
samping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara
ontologis ilmu membatasi diri pada objek kajian yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia.[11]
Suparlan
Suhartono mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan.
Dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary, Suparlan menjelaskan
bahwa pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang menjelaskan tentang
adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui
pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science)
di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis,
sistematis, metodis, ilmiah, dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi
yang bersifat fisis (natural).[12]
Menurut
Jujun S. Suriansumantri, Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses
tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu
dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan kata lain, ilmu adalah
pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu
merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memilikisifat-sifat
tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan
inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan
“pengetahuan” (knowledge), maka kita memperguanakan istilah “ilmu” untuk “ilmu
pengetahuan”.[13]
Jadi,
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah
tentang objek tertentu, yang diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang (approach),
metode (method), dan sistem tertentu.
B.
Hakikat Ilmu
Pengetahuan
Hakikat
ialah realitas (real), artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat
adalah kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu, bukan keadaan sementara atau
keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah.[14]
Ilmu
dan pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di mana ilmu adalah
hasil dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil tahu (ilmu) manusia
terhadap sesuatu objek yang dihadapinya atau dengan kata lain, ilmu adalah
rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang
akhirnya menghasilkan pengetahuan.[15]
Kata
science dalam Webste’s New World Dictionary, berasal dari kata
Latin scire yang mempunyai arti mengetahui. Secara bahasa, science berarti
keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge).
Pada akhirnya, kata ini mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga
mempunyai pengertian “pengetahuan yang sistematis yang didapatkan melalui
observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan dari apa yang
dikaji”. Dari penelusuran makna tersebut, terjadi pergeseran makna sains, dari
“pengetahuan” menjadi “pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi
indrawi”.[16]
Dari
sinilah titik awal kehancuran terminologi Barat dalam perspektif ilmu, yang
akhirnya banyak melahirkan pendapat tentang perolehan ilmu melalui doktrin
empiris. Pada awal kemunculannya, kejadian alam semesta secara terus menerus
diukur dan dikaji melalui pengamatan. Pada masa inilah, berbagai kejadian sudah
tidak diamati atau dikaitkan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa tertentu,
seperti peradaban awal manusia dengan kesederhanaan yang mewarnai pola pikir
mereka – melainkan sudah dilakukan upaya teoritisasi yang sangat sederhana,
seperti melalui hubungan sebab akibat. Air menjadi mendidih jika dipanasi
dengan api yang suhunya 100 derajat celcius, sebaliknya air dapat menjadi es
jika dibekukan dengan suhu di bawah – 10 derajat celcius. Setelah pengalaman
empiris berjalan lama, maka muncullah upaya teoritisasi, yang merupakan
pertanda tentang ilmu teoritis. Dari upaya tersebut memunculkan metode
perolehan ilmu pengetahuan, yang terdiri atas empirisme, rasionalisme, dan
metode keilmuan.[17]
Dalam
upaya memperoleh pengakuan, maka perlu pemahaman tentang sistem kerja ilmu.
Sehingga, ilmu akan dianggap sebagai ilmu pengetahuan (science) bukan
pengetahuan saja (knowledge). Kinerja ilmu pengetahuan dapat diukur
dengan pola-pola seperti perumusan masalah, pengamatan dan deskripsi, penjelasan,
ramalan dan kontrol. Tata kerja tersebut menjadikan suatu pengetahuan dapat
terukur dan teramati dengan baik. Melalui metode keilmuan tersebut, yang
dihasilkan dari penggabungan yang baik antara data-data empiris dan pemikiran
yang rasional, memungkinkan diperoleh teori-teori ilmu pengetahuan yang sangat
bermanfaat bagi umat manusia.[18]
Dari
penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa sumber pencapaian ilmu pengetahuan di
Barat adalah rasio yang di dukung dengan data-data empirik. Dengan cara yang
demikian, dalam sejarahnya memunculkan suatu pertentangan antara ahli agama
dengan ilmuan. Sebagai contoh, krisis yang terjadi antara pihak gereja dengan
ilmuan pada abad pertengahan terhadap kasus penemuan teori bumi. Hal inilah
yang membedakan antara pengertian ilmu pengetahuan perspektif Barat dan dalam
sudut pandang Islam. walaupun di Barat telah ditemukan berbagai metode keilmuan
seperti intuisi, falsafah hidup, dan femenologi. Namun, kasus-kasus yang
sekarang bermunculan merupakan pertanda adanya dimensi kekeringan spiritual
diantara mereka.[19]
Dalam
ajaran Islam, teks al-Qur’an dan hadits serta teks nonverbal alam natural dan
sosial adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan entitas mistis
universum yang tak terpisahkan kecuali bagi kebutuhan analisis ilmiah rasional
materialistik.[20]
Ketika
dunia Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala
hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah
bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi
mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran
sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan
telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja yang memandang dunia dengan
pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari
altenatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka dari itu bermunculan
berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif.
Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul terdiri dari dua
aliran, yakni aliran rasionalis dan empiris.[21]
Kaum
rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis
yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan
dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia.
Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini
dikenal dengan nama idealisme. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru
sebaliknya, hanya dengan mengetahui, prinsip yang di dapat lewat penalaran
rasional itulah kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam
sekitar kita.[22]
Berlainan
dengan kaum rasionalis, kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu
bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak, namun lewat penalaran yang
konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indera.[23]
Gabungan
antara pendekatan rasional dan empiris dinamakan metode keilmuan. Rasionalisme
memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan empirisme
merupakan kerangkan pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Kedua metode
ini, yang dipergunaka secara dinamis, menghasilkan pengetahuan yang konsisten
dan sistematis serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan tersebut telah teruji
secara empiris.[24]
Adalah
Auguste Comte, seorang pembawa ide posotovisme dalam sains. Menurutnya, segala
sesuatu harus bersifat nyata, bermanfaat, pasti jelas serta tepat, atau
kebalikan dari segala sesuatu yang negative. Dengan demikian, bentuk pengetahuan
yang paling tinggi, menurutnya adalah segala sesuatu yang didasarkan pada
gejala atau fenomena yang tampak. Dalam hal ini, karakter sains baru muncul
ketika pengetahuan yang sistematis tersebut muncul melalui tindakan observasi
inderawi, sehingga mensyaratkan observasi sains harus bersifat empiris sehingga
bisa diukur, objek-objek ilmu haruslah bersifat fisik atau posistif, sehingga
sains akan bersifat posivistik.
Teori
ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya terpaku pada teori epistimologi.
Namun Islam memadukan in sight (pengetahuan yang dalam), ilmu pengetahuan, dan
amal sosial dalam satu rumusan untuk dikonsumsi oleh umat manusia. Rasulullah
Saw mengatakan, bahwa suatu waktu malaikat Jibril as. mendatangi Adam as, ia
menawarkan pada Adam iman, moralitas (haya) dan rasio serta meminta Adam
memilih salah satunya. Dalam hadits di bawah ini merupakan sebuah riwayat
ketika Adam memilih rasio (akal), maka moralitas dan iman diminta untuk kembali
ke surga. Moralitas dan iman berkata pada Jibril bahwa mereka diperintahkan
oleh Allah untuk menyertai rasio kemanapun ia pergi. Hadits ini mengindikasikan
betapa komprehensifnya arti intelegensia dan ilmu pengetahuan, serta betapa
kuatnya korelasi antara fakultas rasio, iman dan moralitas dalam Islam[25].
رَوى الْأَ
صْبَغُ بْن نُبَاتَة عَنْ أميرِ المؤمنين علي عليه السلام أنهُ قضالَ هَبَطَ جَبْرَئِيْلُ
عَلَى آدَمَ عليه السلام فَقَالَ: يَا آدَمُ إنِّي أُمِرْتُ أَنْ أُخَيْرَكَ وَاحِدَةً
مِنْ ثَلَاثٍ فَاخْتَرْهَا وَ دَعِ اثْنَتَيْنِ. قَالَ لَهُ آدَمُ : يَا جَبْرَئِيْلُ
وَ مَا الثَّلَاثُ؟ فَقَالَ: اْلعَقْلُ وَاْلحَيَاءِ وَالدِّيْنُ. فَقَالَ آدَمُ:
إِنِّي قَدِ اخْتَرْتُ الْعَقْلُ. فَقَالَ جَبْرَئِيْلُ لِلْحَيَاءِ وَالدِّيْنِ
النْصَرِفَا وَ دَعَاهُ. فَقالَ: يَا جَبْرَئِيْلُ إِنَّا أُمِرْنَا أَنْ نَكُونَ
مَعَ الْعَقْلُ حَيْثُ كَنَ. قَالَ: فَشَأْ نَكُمَا وَ عَرَجَ.[26]
Ali
bin Abi Thalib berkata: Jibril telah turun kepada Adam seraya berkata: Hai Adam
as. diperintahkan untuk menawarkan kepadamu tiga masalah yang haruskamu pilih
salah satu di antaranya. Adam bertanya tiga masalah apa gerangan wahai Jibril?
Jibril menjawab: akal, malu, dan agama. Adam berkata aku memilih akal. Setelah
Adam memilih akal segera Jibril menyuruh malu dan agama untuk pergi
meninggalkan tempat. Namun keduanya berkata: Wahai Jibril, kami berdua
diperintahkan untuk menyertai akal di manapun ia berada. Jibril berkata:
terserahlah kalian, kamudian Jibril naik ke langit.
Islam
tidak membedakan ilmu dan metafisika. Metafisika merupakan bagian dari ilmu.
Bahkan aspek inilah yang disebut oleh Imam Ibnu Abdil Bar sebagai al-‘ilm
al-a’la (ilmu yang tertinggi). Dikotomi ilmu dan metafisika seperti yang
terjadi pada paradigma Barat, jelas memiskinkan makna dari ilmu itu sendiri.
Jika penyempitan ilmu pada pengetahuan empiris, dan filsafat serta metafisika pada
sesuatu yang non empiris dapat dimaklumi jika hanya sebatas terminologi semata.
Tetapi jika perbedaan kedua istilah tersebut dalam rangka mendefinisikan
soal-soal filsafat dan metafisika sebagai persangkaan kosong, jelas-jelas
merupakan sebuah paradoks.[27]
Pencapaian
ilmu juga tidak terlepas dari rahmat Ilahi, proses tersebut memiliki muatan
makna yang identik dengan suatu alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai. Intelek
dalam pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan dengan rasionalisme tetapi
juga berhubungan erat dengan persoalan wahyu, sehingga bagi seorang muslim
kegiatan ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.[28]
Sebab orang yang berilmu adalah orang yang faqih atas paham terhadap
persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab seorang muslim dihadapan Allah.
Orang yang faqih atau berilmu adalah berpegang teguh pada al-Qur’an,
memahaminya, memikirkannya, dan melaksanakannya. Ibadah yang tanpa disertai
dengan ilmu maka tidak ada nilainya.
1.
Obyek Ilmu
Pengetahuan
Adapun objek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (obyek
materi) dan ada yang berupa bentuk (obyek forma).
Objek materi berupa benda-benda materiil maupun non-materiil,
bahkan bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep, dan
sebagainya. Objek materiil tidak terbatas apakah materiil konkret atau abstrak.
[29]
Sedangkan objek forma merupakan objek yang akan menjelaskan
pentingnya arti, posisi, dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Melalui
objek forma ini akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi
apa dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal
ini menandakan bahwa dengan objek forma, ruang lingkup (scope)ilmu pengetahuan
bisa ditentukan pula.[30]
Ambillah contoh, obyek materi “manusia” sendiri. Dari segi kejiwaan
keragaan, keindividuan, kesosialan, dan segi dirinya sebagai makhluk Tuhan,
masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
2.
Sumber Ilmu
Pengetahuan
a.
Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan
bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah
pengalaman inderawi.
John Locke, bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa
(sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
kemudian ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu
sederhana, lama-kelamaan menjadi kompleks, lalu tersusunlah pengetahuan
berarti. Jadi, bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat
dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan
indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber
pengetahuan yang benar.[31]
Dengan pengetahuan, kita mendapatkan pengetahuan beruapa
gejala-gejala. Oleh sebab itu, kita sering tertipu dalam bersikap dan
bertingkah laku. Pepatah bahasa Inggris mengatakan “appearance are deeving”
(apa yang kelihatan tidak selalu dapat dipercaya). Lihatlah, kita sering
tertipu dengan peristiwa-peristiwa alam, seperti fatamorgana, gaung atau gema,
ilusi, halusinasi, dan sebagainya.[32]
Namun demikian, pengetahuan indrawi ini tidak boleh diabaikan sama
sekali. terutama sumbanganya kepada penyelenggaraan hidup sehari-hari dan
eksplorasi pengetahuan selanjutnya dalam rangka memperoleh kebenaran yang
valid.
b.
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.[33]
c.
Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman
yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan
kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan
suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang
langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.[34]
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar
untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.
Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya
dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuisi
dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.[35]
Menurut ajaran tasawwuf, manusia itu dipengaruhi (ditutupi) oleh
hal-hal material, dipengaruhi oleh nafsunya. Bila nafsu dikendalikan, dari
penghalang material (hijab) dapat disingkirkan, kekuatan rasa itu mampu
bekerja, mampu menangkap objek-objek gaib. Di dalam tasawwuf ini digambarkan
sebagai dalam keadaan fana, jiwa mampu melihat alam gaib, dari situlah
diperoleh pengetahuan.[36]
Adapun perbedaan antara intuisi dalam filsafat Barat dengan makrifat
dalam Islam adalah intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang
konsisten, sedangkan dalam Islam makrifat diperoleh lewat perenungan dan
penyinaran dari Tuhan. Namun dalam pandangan Islam, sumber ilmu tidak hanya
melalui empiris, rasio, dan intuisi, melainkan terdapat pula wahyu, keyakinan,
dan alam.
d.
Wahyu
Wahyu
adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan
para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan
diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.[37]
Wahyu
Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan sseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti
latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan
inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya
dapat meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. sedangkan ilmu pengetahuan
sebaliknya, yaitu mulai mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk
sampai kepada kebenaran yang faktual.[38]
e.
Keyakinan
Keyakinan adalahkemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh
dari kepercayaan. Keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan
pematangan dari kepercayaan.[39]
f.
Alam
Dalam Islam terdapat cara-cara tertentu untuk menetapkan wujud
Allah swt., dengan merenungkan ayat-ayat, tanda-tanda dan kekuasaan Allah swt.,
yang terhampar memenuhi jagad raya ini. fenomena alam semesta ini, baik yang
ada di muka bumi maupun di langit atau yang ada pada diri setiap manusia itu
sendiri merupakan dalil Allah swt., yang akan memberikan petunjuk kepada hati
dan akal untuk menuju kepada pusat wujud yang hadir pada setiap zaman dan
tempat. [40]
Ilmu
di Barat hanya berhenti pada akal dan pengetahuan empiris. Sementara dalam
tradisi Islam, perolehan ilmu mempunyai semacam integrasi dalam berbagai aspek
perolehannya, mulai dari akal atau rasio, pengalaman sampai wahyu (intuisi), hingga pada
barakah (keberkahan ilmu) dan‘afiyah (kemanfaatan ilmu).
Akan tetapi tetap melalui jalan pembenaran yang biasa disebut
tasawwuri dan tasdiq. Dalam tradisi Yunani, hikmah (wisdom) dipandang lebih
tinggi derajatnya dibanding dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dalam Islam, ‘ilm
bukan sekedar ilmu pengetahuan, namun ‘ilm bersinonim dengan ma’rifat.
Istilah ma’rifat dipisahkan dengan ilmu pengetahuan (perolehan ilmu melalui
proses logis), atau dengan kata lain ilmu pengetahuan (knowledge) yang dianggap
memiliki derivasi dari dua sumber, yakni ‘aql dan ilmu huduri (ilmu
pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman spiritual).[41]
Dalam
sebuah hadits di ungkapkan tentang adanya tanda-tanda ilmu adalah sopan dan
diam. Sebagaimana hadits di bawah ini:
“Sesungguhnya
diantara tanda-tanda berilmu adalah sopan dan diam”.[42]
Dalam
hadits lain diungkapkan tentang ciri-ciri orang yang bodoh dan dengan
memperkuat ciri-ciri orang yang berilmu. Hadits tersebut adalah:
عَلِيُّ
بْنُ اِبْرَاهِيْمَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ مَعْبَدٍ عَمَّنْ ذَكَرَهُ عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبِي عَبْدِاللهِ عليه السلام قَالَ كَانَ أَمِيْرُ
اْلمُؤْمِنِيْنَ عليه السلام يَقُوْلُ يَا طَالِبَ اْلعِلْمِ إِنَّ لِلْعَا لِمِ ثَلَاثَ
عَلَامَاتٍ العِلْمَ وَاْلحِلْمَ وَالصَّمْتَ وَلْلمُتَكَلِّفِ ثَلَاثَ عَلَامَاتٍ
يُنَازِعُ مَنْ فَوْقَهُ بالمَعْصِيَةِ وَيَظْلِمُ مَنْ دُوْ نَهُ با لْغَلَبَةِ وَيُظَاهِرُ
اْلظَّلَمَةَ.[43]
“Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang
berilmu itu memiliki tiga ciri: memiliki ilmu, sopan, diam. Adapun orang yang pura-pura
berilmu juga memiliki tiga ciri: membantah seniornya dengan maksiat, menzalimi
juniornya dengan keunggulan, dan membantu kezaliman”.
Inilah
hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam. suatu hakikat yang tidak tersentuh oleh
perspektif barat, dimana sikap, adab dan tingkah laku juga menjadi tolak ukur
pencapaian ilmu. Konsep ilmu yang menggabungkan seluruh aspek baik secara
ruhaniyah maupun jismaniah, batiniyah dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut
memiliki kekayaan yang luar biasa ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam
aspek material semata. Akan tetapi, konsep tersebut tidak terlepas dari
pembuktian secara rasional dan empiris.
C.
Analisis
Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis
mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan
mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun
melakukan penerapan. Sains dan filsafat adalah dua hal yang berbeda, dimana
sains diletakkan untuk istilah ilmu-ilmu empiris positif dan filsafat digunakan
untuk bidang-bindang ilmu kemanusiaan yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan
lewat pengalaman inderawi, seperti metafisika. Dalam perspektif modern mencari
ilmu pengetahuan bukanlah bagian dari agama. Sehingga ilmu pengetahuan yang
diperoleh jauh dari unsur-unsur spiritual. Sumber ilmu dalam pandangan modern
berasal dari rasio, empiric, dan intuisi. Oleh karena itu pembuktian kebenaran
ilmu pengetahuan dalam perspektif modern didasarkan pada dukungan fakta-fakta
empiris. Melalui pengujian secara empirislah suatu pernyataan yang dikemukakan
dalam rangka keilmuan itu dapat diterima atau tidak.
Dalam
perspektif Islam, menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban, ini merupakan suatu
perintah agama. Kesempurnaan seseorang adalah dari ilmunya dan pengalaman
atasnya. Oleh karena itu, seorang muslim apapun kapasitas keilmuan dalam
dirinya paling tidak harus memahami persoalan keagamaan atau amalan keseharian
sebagai manifestasi keimanannya pada Allah swt. hal tersebut berkaitan dengan
manusia sebagai khalifah di bumi, maka ilmu juga identik dengan persoalan
khilafah yang disandang manusia. Dalam perspektif Islam, sumber ilmu tidak
hanya melalui rasio, empiric, dan intuisi melainkan juga wahyu yang berasal
dari Allah swt sebagai pilar keimanan dalam Islam. kenabian dan keimanan, serta
alam. Demikianlah hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana sikap, adab dan
tingkah laku juga menjadi tolak ukur pencapaian ilmu. Konsep ilmu yang
menggabungkan seluruh aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah, batiniyah
dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar biasa
ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam aspek material semata. Akan tetapi,
konsep tersebut tidak terlepas dari pembuktian secara rasional dan empiris.
PENUTUP
KESIMPULAN
· Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman,
dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami
benar-benar. Dalam bahasa Inggris disebut science; dari bahasa Latin scientia
(pengetahuan)-scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan
bahasa Yunani adalah episteme.
· Ilmu dalam perspektif modern merupakan rangkaian aktivitas manusia
yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan
tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai
gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan
penerapan.
· Dalam perspektif Islam, ‘ilm adalah Islam. Islam merupakan
bagian dari ilmu. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan.
Tidak satupun agama atau ideologi selain Islam yang menekankan akan pentingnya
ilmu pengetahuan bagi kelangsungan peradaban ummat dan perjalanan hidup
manusia.
· Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu
yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah
pemikiran yang lainnya. Atau dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan.
· pengetahuan adalah hasil dari kegiatan ingin tahu manusia tentang
apa saja melalui cara-cara dan dengan alat-alat tertentu.
· Dalam perspektif modern, sumber ilmu adalah rasio, empiric, dan
intuisi. Akan tetapi dalam perspektif Islam, sumber ilmu tidak hanya melalui
rasio, empiric, dan intuisi melainkan juga wahyu yang berasal dari Allah swt
sebagai pilar keimanan dalam Islam. kenabian dan keimanan, serta alam.
· Pembuktian kebenaran ilmu pengetahuan dalam perspektif modern
didasarkan pada dukungan oleh fakta-fakta empiris. Pengujian secar empirislah
yang mensahkan apakah suatu pernyataan yang dikemukakan dalam rangka kegiatan
keilmuan itu dapat diterima atau tidak.
· Hakikat ilmu pengetahuan dalam Islam meruapakan suatu konsep ilmu
yang menggabungkan seluruh aspek baik secara ruhaniyah maupun jismaniah,
batiniyah dan dahiriyah, sehingga konsep tersebut memiliki kekayaan yang luar
biasa ketimbang menyempitkan makna ilmu ke dalam aspek material semata. Akan
tetapi, konsep tersebut tidak terlepas dari pembuktian secara rasional dan
empiris.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu,
Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu, Jakarta: Liberty
Yogyakarta, 2010.
Fautanu, Idzam, Filsafat Ilmu
Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012.
Suryadilaga, M. Al Fatih, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis, Yogyakarta:
TERAS, 2009.
Suriansumantri, Jujun S, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2012.
Suhartono, Suparlan, Dasar-dasar
Filsafat, Surabaya: Ar Ruzz Jogjakarta, 2004.
A. Susanto, Filsafat
Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologis),
Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
[1] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 12
[2] The Liang Gie,
Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta: Liberty Yogyakarta, 2010), hlm. 85.
[4] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 12-13
[5] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 15-16
[6] Idzam Fautanu,
Filsafat Ilmu (Teori & Aplikatif), (Jakarta: Referensi, 2012), hlm.
63.
[7] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2009)…,
hlm. 103.
[8] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 101.
[9] Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, (Surabaya: Ar Ruzz Jogjakarta, 2004),
hlm. 77-78.
[10] A. Susanto, Filsafat
Ilmu (Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologi, dan Aksiologis), (Jakarta:
Bumi Aksara, 2013), hlm. 46-47.
[11] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 47.
[12] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 77.
[13] Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), hlm. 11.
[14] Idzham
Fautanu, Filsafat Ilmu…, hlm. 106.
[15] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 77-78.
[16] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 94-95.
[17] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 95-96.
[18] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 96.
[19] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.
96-97.
[20] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm.
[21] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
52.
[22] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
55.
[23] Idzam fautanu, Filsafat Ilmu …,hlm.
55-56.
[24] Jujun S.
Suriansumantri, Ilmu dalam…, hlm. 15.
[25] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 106-107.
[26] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107
[27] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 107-108.
[28] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 108.
[29] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 81.
[30] A. Susanto, Filsafat
Ilmu…, hlm. 82-83.
[31] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 99-100.
[32] Suparlan
Suhartono, Dasar-dasar…, hlm. 86-87.
[33] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 102-103
[34] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 107
[35] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 108.
[36] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109.
[37] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 109-110.
[38] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, hlm. 110.
[39] Idzam fautanu,
Filsafat Ilmu…,hlm. 71.
[40] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 176.
[41] M. Al-fatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu …, hlm. 110.
[42] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …,
hlm. 111.
[43] M. Al-fatih Suryadilaga, Konsep Ilmu …,
hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar