Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH MONOKULTURAL, SEKULER DAN OTORITER



Pemerintahan Bani Umayyah
(Monokultural, Sekuler, Otoriter)


A.  Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau kerajaan.  Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada ummat Islam. Hal ini tidak dapat berhasil karena kelicikan dari Mu’awiyah. Namun demikian, masa pemerintahan Mu’awiyah bias dibilang cemerlang dalam kemajuannya.

B.  Substansi Kajian
1.    Sejarah Bani Umayyah
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok Khawarij[1] yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Mu’awiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur  dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan–pemberontakan yang didalangi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Mu’awiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Mu’awiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Mu’awiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Untuk  itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Mu’awiyah dengan syarat antaralain:
a.       Mu’awiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
b.      Mu’awiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
c.       Mu’awiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
d.      Setelah Mu’awiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
e.       Mu’awiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Mu’awiyah. Sementara Mu’awiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang kepercayaannya  seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Mu’awiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Mu’awiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Mu’awiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Mu’awiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Mu’awiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan Mu’awiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[2]
Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية , Banu Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafa ar- Rasyidun yang memerintah dari tahun 661 sampai 750 H di Jazirah Arab dan sekitarnya, serta dari 756 sampai 1031 H di Cordoba, Spanyol. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Mu’awiyah I.[3]
Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[4]
Dinasti Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Mu’awiyah di samping sebagai pendiri daulah dinasti Umayyah, juga sekaligus sebagai khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. Mu’awiyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara arbitrasi yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dia yang mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan atau monarki).[5]
Dinasti Umayyah mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian khalifah Utsman bin Affan. Dalam peritiwa tahkim tersebut, Ali telah terpedaya oleh taktik dan siasat Mu’awiyah yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan secara politis. Sementara Mu’awiyah mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.
Keberhasilan Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah bukan hanya karena kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib saja, tetapi sejak semula Gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga bani Umayyah sendiri. Penduduk Suriah yang telah lama diperintah oleh Mu’awiyah mempunyai pasukan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah berada sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan baik moral, tenaga, maupun kekayaan. Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patut mendapat perhatian khusus, yaitu ‘Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi. Ketiga, Mu’awiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm” sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang manusia hilm seperti Mu’awiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.[6]
Situasi ketika Mu’awiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan. Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral sehingga menyebabkan hilangnya persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara  efektif melalui dasar keagamaan sejak khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas diri khalifah Ustman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa-masa yang akan datang, Mu’awiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang damai, dengan pembaiatan putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah meninggal dunia.
Nama Bani Umayyah dalam bahasa Arab berarti anak turun Umayyah, yaitu Umayyah bin Abdul Syams. Ia adalah salah satu pemimpin dalam kabilah suku Quraisy. Abdul Syams adalah saudara dari Hasyim, sama-sama keturunan Abdul Manaf. Dari Bani Hasyim inilah lahir Nabi Muhammad SAW. Di masa sebelum Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim. Pada waktu itu, Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat Mekkah. Hal ini disebabkan, mereka menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung kepada pengunjung Ka’bah[7].
Perkembangan agama Islam yang semakin meluas menyebabkan Bani Umayyah merasa bahwa kekuasaannya terancam. Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW, misalnya Abu Sufyan bin Harb. Ia adalah salah satu anggota Bani Umayyah yang beberapa kali menjadi pemimpin suku Quraisy Mekkah dalam peperangan melawan Nabi Muhammad SAW. Setelah Islam menjadi kuat dan mampu merebut Mekkah, Abu Syufyan dan pihaknya menyerah. Peristiwa itu dinamakan Fathu Makkah pada tahun 8 H.[8] Akhirnya, Abu Sufyan bin Harb dan putranya (Mu’awiyah bin Abu Sufyan) memeluk Islam. Peristiwa ini menjadi awal berperannya Bani Umayyah dalam sejarah Islam.
Berikut silsilah keluarga banu Umayyah yang juga mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad SAW.[9]

Dengan demikian teranglah bahwa Bani Umayyah itu adalah orang-orang yang terakhir masuk Agama Islam, dan merupakan musuh-musuh yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka memasukinya. Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap Agama Islam, dan agar orang lupa kepada sikap dan perlawanan mereka terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya.[10]

2.    Pemerintahan Pada Masa Bani Umayyah
Setelah Mu’awiyah memindahkan pusat pemerintahan dari kota Madinah ke Damaskus, maka pemerintahan Mu’awiyah berubah bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota.[11] Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damascus menandai era baru. Dari pusat inilah Bani Umayyah menyempurnakan perluasan wilayahnya dengan menaklukkan seluruh Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium.[12]
Kebijakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Mu’awiyah, semenjak dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umur Ibn Khatab di Suriah. Setelah Mu’awiyah meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Mu’awiyah menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbas setelah memerintah lebih kurang 90 tahun.[13]
Langkah awal yang diambil oleh Mu’awiyah adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Hal ini dapat dimaklumi karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu di Madinah sebagai pusat pemerintahan khulafaurrasyidin sebelumnya, masih terdapat sisa – sisa kelompok yang antipati terhadapnya. Sedangkan di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat, basis kekuatannya cukup kuat.[14]
Pada masa Mu’awiyah mulai diadakan perubahan – perubahan administrasi pemerintah, dibentuk pasukan bertombak pengawal raja dan dibangun bagian khusus di dalam masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat. Mu’awiyah juga memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman memorandum yang berasal dari Khalifah. Para sejarawan mengatakan bahwa di dalam sejarah Islam, Mu’awiyah lah yang pertama – tama mendirikan balai–balai pendaftaran dan menaruh perhatian atas jawatan pos, yang  tidak lama kemudian berkembang menjadi suatu susunan teratur, yang menghubungkan berbagai bagian negara.
Pada masa Bani Umayyah dibentuk semacam dewan sekertaris negara (Diwan al-kitabah) untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang sekertaris yaitu: katib ar – Rasail, katib al – Kharraj, katib al – Jund, katib asy – Syurtah dan katib al – Qodi. Untuk mengurusi administrasi pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amir al – Umara (Gubernur jenderal) yang membawahi beberapa  “amir” sebagai penguasa suatu wilayah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Mu’awiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.[15] Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh Allah.
Sejak Mu’awiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Hal lain yang berubah pada masa Bani Umayyah adalah fungsi dan kedudukan Baitul Mal. Ketika era Khulafaur Rasyidin. Baitul Mal adalah harta Negara yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pada masa Bani Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin.[16]
Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi oleh sebuah Dewan penasehat yang ikut berperan dalam setiap kebijakan-kebijakan penting Negara. Lebih dari itu, seorang rakyat biasa pun dapat menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan Khalifah secara terbuka. Tradisi positif itu tidak dilanjutkan oleh Mu’awiyah dan para penerusnya. Walapun lagi-lagi, Umar II berusaha menghidupkan kembali tradisi tersebut, namun penguasa setelahnya segera mengembalikan pada cara-cara kerajaan yang menempatkan sang raja di atas segala-galanya. Satu hal yang memprihatinkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah diabaikannya nilai-nilai ajaran Islam oleh para pejabat Negara dan keluarganya. Mereka lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi seperti itu.[17]
Politik pemerintaha seperti ini dimulai dengan masa kekuasaan Muawiyyah. Imam as-Zuhri menyatakan bahwa pada masa Rasululah saw dan khulafaurrosyidin yang empat, berlaku hokum bahwa seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan demikian pula seorang muslim tidak mewarisi seorang kafir. Tapi Muawiyyah, pada masa pemerintahannya, telah bertindak mewariskan seorang muslim dari seorang kafir tapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama) ini telah dibatalka kemudian oleh Umar bin Abdul Aziz, dimasa pemerintahannya, namun Hisyam bin Abdul Malik telah mengembalikan sebagaimana keadaannya yang semula, yakni seperti di masa Mu’awiyyah.[18]
Ibnu Katsir berkata bahwa Mu’awiyyah juga telah mengganti Sunnah Rasul saw. Dan para Khulafaurrosyidun dalam urusan diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikat perjanjian dengan Negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang muslim. Tapi Mu’awiyyah menguranginya sampai setengahnya dan ia mengambil setengahnya yang lain bagi dirinya sendiri.[19]
Dan masih ada lagi bid’ah yang buruk lainnya muncul di masa Mu’awiyyah, yaitu bahwa Mu’awiyyah sendiri dan para pejabatnya yang lain, dengan perintahnya, melaksanakan kebiasaan mengumpat dan mencaci pribadi Sayyidina Ali dalam pidato-pidato mereka di atas mimbar-mimbar kaum muslimin. Bahkan, lebih dari itu, mereka melaknatnya sedangkan ia adalah anggot kerabat Rasulullah yang paling cintai dan paling dekat dengan hati beliau yang suci, dari atas mimbar Masjid Nabawi dan di depan Raudhah nabawiyyah, disaat-saat putra-putra sayidina Ali dan kerabatnya yang terdekat mendengar kutukan-kutukan ini dengan teling-telinga mereka.[20]
Mengumpat seseorang setelah wafatnya adalah hal yang berlawanan dengan akhlak kemanusiaan, apalagi dengan syari’at. Oleh karena itu ketika Umar bin Abdul aziz memegang kekuasaan, ia segera menggantikan kebiasaan ini, sebagaimana  ia telah mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang telah dilaksanakan dan kebiasaan dan dibiasakan oleh keluarganya (bani Umayyah). Maka ia  pun melarang pelaknatan terhadap sayidina Ali dan, sebagai penggantinya, ia memerintahkan agar dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang suci : “sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari perbuatan keji, jenubfjarab dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil” (QS. 16 : 90)
Demikian pula Mu’awiyyah telah melanggar kitab Allah dan sunnah Rasul dengan pelanggaran yang nyata-nyatanya dalam soal pembagian harta rampasan perang. Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya, keduanya menetapkan keharusan menyetorkan seperlima harta  rampasan perang itu ke baitul maal dan pembagian empat perlima sisanya di antara anggota tentara yang telah terjun dalam perang dan ikut dalam pertempuran. Tapi mu’’awiyyah telah memerintahkan agar emas dan perak hasil rampasan perang itu disisihkan. Kemudian ia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Baru setelah itu, ia membagi-bagi sisa harta itu sesuai dengan aturan syari’at
Demikian pula, demi tujuan-tujuan politisnya, mu’awiyyah telah melakukan pelanggaran terhadap salah satu hal penting yang tidak diragukan dalam syariat yang suci. Yaitu ketika ia menasabkan Ziyad bin Sumarriyah sebagai saudaranya dan menghubungkannya dengan nasab mu’awiyyah sendiri. Karena itulan, maka ummul mukminin ummu habibah isteri Nabi Muhammad. Dengan tegas menolak mengakuio ziyad sebagai saudaranya, dan oleh sebab itu pula ia tidak mau bertemu dengannya tanpa hijab.
Demikian pula mu’awiyyah telah menjadikan pejabat-pejabatnya kebal hokum dan ia menolaknya dengan penolakan yang keras untuk meminta pertanggungjawaban mereka  sesuai hokum-hukum syariat atas perbuatan aniaya dan pelanggaran batas yang mereka lakukan. Pada suatu peristiwa, pejabatnya di kota Bashrah, Abdullah bin Amr bin Ghilan. Berpidato di masjid, lalu ia dilempari batu oleh seseorang dan iapun memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap orang itu dan memotong tangannya. Meskipun syariat tidak memandang perbuatan itu sebagai suatu kejahatan yang pelakunya dihukum dengan potongan tangan. Orang itu kemudian memohon pertolongan muawiyyah. Tapi Muawiyyah berkata kepadanya : “tidak ada jalan untuk menuntut bawals dari wakil-wakilku. Tapi aku akan memberimu diyat (denda hukuman) atas kejahatan tersebut.” Dan iapun membayarkan diyat itu kepadanya. Dari baitul-maal.[21]
Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Dinasti Umayah antara lain:
1.      Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
2.      Khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
3.      Kedudukan khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan haknya
4.      Dinasti ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan Negara
5.      Dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab
6.      Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
7.      Kurang melaksanakn musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walupun belum begitu menonjol.
Dengan demikian tampilnya pemerintahan Dinasti Umayah yang mengambil bentuk monarki, merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah.[22]
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa[23]:
1.      Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.      Yazid bin Mu’awiyah (60-64 M/680-683 M)
3.      Mu’awiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.      Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.      Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6.      Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.      Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.      Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9.      Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10.  Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.  Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.  Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13.  Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.  Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
Pada masa Abdul Malik ibn Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat departemen pokok (Diwan). Ke empat departemen (kementrian) itu ialah :
a.       Kementrian pajak tanah (diwan al – kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen keuangan.
b.      Kementrian khatam (diwan al – khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan ordonasi pemerintah. Sebagaimana masa Mu’awiyah telah diperkenalkan materai resmi untuk memorandumdari Kholifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu dibuat kemudian ditembus dengan benang, disegel dengan lilin, yang akhirnya dipres dengan segel kantor.
c.       Kementrian surat menyurat (diwan al – rasail), dipercayakan untuk mengontrol permasalahan di daerah – daerah dan semua komunikasi dari gebernur – gubernur.
d.      Kementrian urusan perpajakan (diwan al mustagallat)
Meskipun keberhasilan banyak dicapai pada dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Mu’awiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hassan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Mu’awiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[24]
Mu’awiyah wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan anaknya, Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Mu’awiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Nabi tersebut. Yazid menghadapi para pemberontak di mekkah dan Madinah dengan keras.[25]
Yazid wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Mu’awiyah II. Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari dan meletakkan jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat besar tersebut.
Mu’awiyah II digantikan oleh marwan bin Hakam, seorang yang memegang stempel khilafah pada masa Ustman bin Affan. Ia adalah Gubernur Madinah di masa Mu’awiyah dan penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah tersebut. Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya. Khalifah yang baru ini menghadapi kesulitan satu demi satu, yakni perpecahan di tubuh bangsa Arab sendiri ditambah dengan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang bertubi-tubi. Marwan menundukkan Palestina, Hijaz dan Irak. Namun, ia cepat pergi, hanya sempat memerintah selama 1 tahun, ia wafat pada tahun 65 h dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti sepeninggalnya secara berurutan.[26]
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah yang disebut-sebut “Pendiri Kedua”  bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai khalifah yang memiliki kedalaman dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih. Dia telah berhasil sepenuhnya mengembalikan integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Ia memerintahkan pemakaian bahasa Arab sebagai bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih menggunakan bahasa yang bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia dan bahasa Qibti di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun gedung-gedung, masjid-masjid dan saluran-saluran air.[27]
Keberhasilan khalifah Abdul malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[28]
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-719 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih baik daripada menambah perluasannya. Hal ini berarti bahwa prioritas utama adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberikan kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai kepercayaan dan keyakinannya, pajak diperingankan dan kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[29]
Sepeninggal Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan dinasti Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin Abdul Malik (719-723 M). Khalifah Yazid terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis politik, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (723-742 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan ini baru mampu menggulingkan dinasti Umayyah.[30]
Dari sini dapat disimpulkan bahwasannya kedua kosep pemerintahan baik pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya sangat bertolak belakang dengan konsep pemerintahan yang diterapkan pada masa sesudahnya yaitu Umayyah. Perbedaan tersebut dapat dilihat di bawah ini;

No
Aspek
Khulafa’
Dinasti
1
Aturan Pengangkatan Khalifah
Berdasarkan musyawarah, bai’at rakyat dengan cara sukarela dan bebas
Berdasarkan kekuatan pedang, de facto, bai’at rakyat secara terpaksa
2
Model pemerintahan
Demokratis
Otoriter
3
Cara Hidup Khalifah
Hidup di tengah-tengah rakyat yang setiap saat dapat mengkritik dan mengeluarkan pendapat
Cara hidup kisra atau kaisar, terdapat jarak antara penguasa dan rakyat
4
Kondisi Baitul Mal
Merupakan amanat Allah dan kaum Muslimin
Menjadi milik penguasa dan keluarganya
5
Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
Kritikan, hardikan dan ancaman kepada para penguasa malah mendapat pujian
Diibaratkan menutup hati  nurani rakyat, mengikat lidah mereka kecuali untuk mengucapkan pujian bagi penguasa
6
Peradilan
Hakim bebas dari segala tekanan dan ikatan kecuali ketakwaan kepada Allah, ilmu dan nurani
Dibawah kendali penguasa
7
Budaya Kesukuan/Ashabiyah qaumiyah
Sangat menghindari ashabiyah qauniyah
Mulai muncul ashabiyah qauniyah
8
Hukum
Sangat menjunjung tinggi hokum Ilahi dan tidak pernah keluar dari aturan Ilahi
Mulai agak melonggarkan apa yang telah diatur syariat

3.    Kemajuan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kemajuan Islam di masa Daulah Umayyah meliputi berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Di antaranya yang paling spektakuler adalah bertambahnya pemeluk Agama Islam secara cepat dan meluas. Semakin banyaknya jumlah kaum Muslimin ini terkait erat dengan makin luasnya wilayah pemerintahan Islam pada waktu itu. Pemerintah memang tidak memaksakan penduduk setempat untuk masuk Islam, melainkan mereka sendiri yang dengan rela hati tertarik masuk Islam. Akibat dari makin banyaknya orang masuk agama Islam tersebut maka pemerintah dengan gencar membuat program pembangunan Masjid di berbagai tempat sebagai pusat kegiatan kaum Muslimin.
Pada masa Khalifah Abdul Malik, masjid-masjid didirikan di berbagai kota besar. Selain itu, beliau juga memperbaiki kembali tiga Masjid utama umat Islam, yaitu Masjidil Haram (Mekkah), Masjidil Aqsa (Yerusalem) dan Masjid Nabawi (Madinah). Al-Walid, Khalifah setelah Abdul Malik yang ahli Arsitektur, mengembangkan Masjid sebagai sebuah bangunan yang indah. Menara Masjid yang sekarang ada dimana-mana itu pada mulanya merupakan gagasan Al-Walid ini. Perhatian pada Masjid ini juga dilakukan oleh Khalifah-Khalifah Bani Umayyah setelahnya.[31]
Selain berhasil dalam ekspansi besar-besaran, Banu Umayyah juga berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang dan tatanan administrasi yang baik, diantaranya adalah:
a.       Pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
1)      Dinas Pos Penjagaan
2)      Menertibkan anggota bersenjata
3)      Mencetak mata uang
4)      Menjadikan Qodhi (hakim) sebagai profesi tersendiri[32]
b.      Pada masa Abdul Malik bin Marwan:
1)      Merubah mata uang Bizantium dan Persia yang digunakan di daerah-daerah yang dikuasai Islam, dengan mencetak mata uang sendiri menggunakan bahasa Arab pada tahun 659 M
2)      Memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Islam
c.       Pada masa Walid bin Abdul Malik:
1)      Mengangkat Majlis Penasehat sebagai pendamping
2)      Mengangkat sekretaris (al-kuttab) diantaranya adalah, Katib ar-Rasail (bertugas mengurusi administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar setempat), Katib al-Kharraj (bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran keuangan Negara), Katib al-Jundi (bertugas menyelengggarakan hal-hal yang berkaitan dengan ketentaraan/militer), Katib as-Syurthah (bertugas menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum), Katib al-Qudat (bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim)
3)      Pembangunan panti-panti untuk orang yang cacat
4)      Memberikan gaji tetap untuk para pekerja panti
5)      Membangun jalan raya yang menghubungkan antar daerah
6)      Membangun pabrik-pabrik
7)      Membangun gedung-gedung pemerintahan
8)      Membangun Masjid-masjid yang megah
Kesuksesan dalam menata administrasi Negara juga dikarenakan Banu Umayyah membuka terjadinya kontak antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri taklukan yang dikenal memiliki tradisi yang luhur, seperti Persia, Mesir dan Eropa. Hubungan itu selalu melahirkan kreatifitas baru yang menakjubkan baik dibidang ilmu seni dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan lain yang menggembirakan adalah makin meluasnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ajaran baru, Islam sungguh menarik minat penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat tinggal ulama merupakan tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang dewasa, biasanya mereka belajar tafsir Al-Quran, hadist, dan sejarah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit. Adapun untuk anak-anak, diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Al-Quran dan Hadist. Pada masa itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami Islam secara sempurna. Jika pelajaran Al-Quran, hadist, dan sejarah dipelajari karena memang ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat dipelajari sebagai alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang waktu itu suka berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam, matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang terakhir ini muncul dan berkembang denga baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah maupun Bani Umayyah Spanyol.
Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau pada masa Nabi dan al-khulafa’ ar-Rasyidun perhatian ilmu terpusat pada usaha memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi untuk memperdalam akidah, akhlaq, ibadah, mu’amalah dan kisah-kisah Al-Qur’an, maka perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam.[33]
Ibu Kota Daulah Umayyah pindah ke Damaskus. Suatu kota di negeri Syam yang telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya. Mereka juga telah menguasai Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, sampai Benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan, diantaranya: Yunani, Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde Sahpur[34], yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan baragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster.
Setelah para ilmuwan itu masuk Islam, mereka tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, mereka mendapat perlindungan. Diantara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istana Khalifah. Ada yang menjabat sebagai dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.
Pusat pendidikan saat itu berada di Damaskus, Madinah, Mesir, Cordova, Bashrah, Kufah, Damsyik dan Palestina. Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu adalah Ilmu Kedokteran, Kimia, Sejarah/Histiografi, Arsitek, Musik dan Syair, Aliran Keagamaan, Ilmu Agama, Ilmu Bahasa, Tafsir, Fiqih dan Seni Rupa.[35] Berikut sistem pelaksanaannya:

Lembaga Pendidikan
Materi
Metode
Masjid, Kuttab/Maktab, Halaqoh, Madrasah, Pendidikan di Istana dan Rumah Guru, Badiah (Balai Bahasa), Perpustakaan, Bamaristan (Rumah sakit dan studi ilmu kesehatan), Balai Pertemuan.
Al-Qur’an, Hadits, Syair, Riwayat Hukama, Bahasa Arab, Fiqih, Nahwu, Tauhid, Akhlaq, Ibadah, Tasawuf, Filsafat, Kedokteran.
Menulis, membaca, ceramah, diskusi, Tanya jawab, praktek dan debat opini (munadzarah).[36]

Bidang seni dan budaya pada masa itu juga mengalami perkembangan yang maju. Karena ajaran Islam lahir untuk menghapuskan perbuatan syirik yang menyembah berhala, maka seni patung dan seni lukis binatang maupun lukis manusia tidak berkembang. Akan tetapi, seni kaligrafi, seni sastra, seni suara, seni bangunan, dan seni ukir berkembang cukup baik. Di masa ini sudah banyak bangunan bergaya kombinasi, seperti kombinasi Romawi-Arab maupun Persia-Arab. Apalagi, bangsa Romawi dan Persia sudah memiliki tradisi berkesenian yang tinggi. Khususnya dalam bidang seni lukis, seni patung maupun seni arsitektur bangunan. Contoh dari perkembangan seni bangunan ini, antara lain adalah berdirinya Masjid Damaskus yang dindingnya penuh dengan ukiran halus dan dihiasi dengan aneka warna-warni batu-batuan yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa untuk membangun Masjid ini, Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang ahli bangunan dari Romawi. Tetapi di antara kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah tersebut, prestasi yang paling penting dan berpengaruh hingga zaman sekarang adalah luasnya wilayah Islam. Dengan wilayah yang sedemikian luas itu ajaran Islam menjadi cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain, tidak saja bangsa Arab.[37]
Meskipun masa kepemimpinan Bani Umayyah sarat dengan intrik politik internal maupun eksternal yang kemudian menghasilkan perluasan wilayah Islam, mereka tidak melupakan aspek perkembangan intelektual mengingat masa Umayyah merupakan benih bagi munculnya the Golden Age di masa Abbasiyah nanti. Perhatian terhadap dinamika intelektual ini dapat dipahami dari table berikut ini;


No
Bidang
Bukti
1
Kedokteran
a.       Khalifah al-Walid telah memberikan sumbangan berupa pemisahan antara ahli tentang penyebab penyakit dengan ahli tentang pengobatan
b.      Khalifah Umar telah memindahkan sekolah kedokteran ari iskandariyah ke Antiokhia dan harran
2
Kimia
a.       Khalifah Khalid bin Yazid memerintahkan penerjemah buku-buku kedokteran, kimia dan astrologi dari bahasa Yunani dan Kopti ke dalam bahasa Arab
3
Sejarah/Historiografi
a.       Ubaid bin Syarya penulis sejarah dalam bentuk sirah dan maghazi dan telah menginformasikan ke Mu’awiyah tentang pemerintahan bangsa Aab dahulu dan asal usul ras mereka
b.      Muncul tokoh-tokoh sejarah seperti Wahab ibn Munabbih, Kaab al-Akhbar dan lainnya
4
Arsitek
a.       Adanya usaha untuk meningkatkan artistic masjid dengan memasukkan seni arsitectur Yunani, Syria dan Persia
b.      Adanya relief di dinding istana dann pemandian Khalifah al-Walid ibn Abd Malik
5
Musik dan Syair
a.       munculnya Said bin Miagah, orang yang pertama kali memasukkan nyanyian Presia dan Byzantium ke dalam bahasa Arab
b.      munculnya Imran bn Hattan salah seorang penyair masa Umayyah
6
Aliran Keagamaan
a.       Munculnya aliran Syi’ah, Khawarij, Murjiah dan Muktazilah
b.      munculnya Madrasah al-Ra’yi yaitu kelompok yang menggunakan pemikiran dalam penetapan hokum, dan madrasah al-Hadits, kelompok yang enggan menggunakan al-Ra’yi dalam menetapkan perbuatan hokum.

Sebagai dinasti yang berkuasa cukup lama, dinasti Umayyah telah mampu membentuk peradaban yang kontemporer di masanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Menurut As-Suyuti, dalam tatanan politik dinasti ini lebih menganggap Islam sebagai politik ketimbang ajaran atau doktrin. Oleh karena itu, institusi-institusi politik banyak dibentuk pada masa ini. Misalnya, undang-undang pemerintahan, dewan menteri, lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat-penasihat khusus di bidang politik.[38]
Dalam tatanan ekonomi dan keuangan, juga telah dibentuk jawatan ekspor dan impor, badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan (diwan al-maliyah) dan pertahanan negara. Sedangkan dalam tatanan teknologi, dinasti ini juga telah mampu menciptakan senjata-senjata perang yang cukup canggih pada masanya, sarana transportasi baik di darat maupun di laut, teknologi pertanian dan sistem pengairan.[39]
Sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidanag pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:[40]
a.       Pengembangan Bahasa Arab
Para penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara), kemudian dikuatkannya dan dikembangkan bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat menyurat harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau bahasa Persia.
b.      Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan tersebut dinamakan Marbad, kota satelit dari Damaskus. Di kota Marbad ini berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair dan cendekiawan lainnya sehingga kota ini diberi gelar ukadz-nya Islam.
c.       Ilmu Qiraat
Ilmu qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu qiraat merupakan ilmu syariat tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaur rasyidin. Kemudian masa dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang sangat penting. Pada masa ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
d.      Ilmu Hadits
Ketika kaum muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata satu hal yang juga sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut hadits. Oleh karena itu, muncul usaha untuk mengumpulkan hadits, menyelidiki asal usulnya sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu hadits. Di antara para ahli hadits yang termasyhur pada masa dinasti Umayyah adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu Abu Malikah (w. 119 H) dan Asya’bi abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
e.       Ilmu Nahwu
Pada masa dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke wilayah di luar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (non Arab) yang masuk Islam. Oleh karena itu, dibukukan ilmu nahwu dan berkembang menjadi satu cabang ilmu yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu agama.
f.          Usaha Penerjemahan
Untuk kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa dinasti Umayyah dimulai penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian, gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya baru mengalami perkembangan secara pesat pada masa dinasti Abbasiyah.

4.    Kemunduran Islam Pada Masa Bani Umayyah
Mu`awiyah mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damascus. Perpindahan ibu kota tersebut terjadi melalui proses yang panjang didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah. Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir.[41]
Dengan berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah. Pemerintahan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun melalui pemilihan, seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimipin agama sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada para ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.[42]
Selama masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat, seperti playanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.
Kalau ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Mu`awiyah Ibn Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan Ibn Muhammad. Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:[43]
a.       Mu`awiyah Bin Abu Sufyan
b.      Yazid Bin Mu`awiyah (Abu Khalid al-Umawi)
c.       Mu`awiyah Bin Yazid
d.      Abdullah Bin Zubair
e.       Abdul Malik Bin Marwan
f.       Al-Walid Bin Abdul Malik
g.      Sulaiman Bin Abdul Malik
h.      Umar Bin Abdul Malik
i.        Yazid Bin Abdul Malik Bin Marwan
j.        Hisyam Bin Abdul malik
k.      Al-Walid Bin Yazid Bin Abdul Malik
l.        Yazid An-Naqish, Abu Khalid Bin Al-Walid
m.    Ibrahim Bin Al-Walid Bin Abdul Malik
n.      Marwan Bin Muhammad, Al-Himar
Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah, Abdul Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[44]
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.[45]
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[46]
Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.[47]
Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.[48] selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[49] Tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.
Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani.[50] Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana.[51]
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
a.       Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman  Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
b.      Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa  Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
c.       Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan  Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani  Umayyah dalam memimpin umat.[52]
Factor mendasar yang menyebabkan kemunduran Bani Umayyah menurut Mahmudun Nasir adalah rapuhnya ikatan kekeluargaan Bani Umayyah, berikut diantaranya;

No
Faktor
Bukti
1
Pengangkatan lebih dari 1 putra mahkkota
1. Masa Marwan yang menunjuk 2 putranya sekaligus yaitu Abdul Malik dan Abdul Aziz
2. Abdul Malik yang menunjuk 2 putranya yaitu al-Walid 1 dan Sulaiman
2
Timbulnya Fanatisme kesukuan
Adanya pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb)
3
Kehidupan para khalifah yang melampaaui batas
Yazid III yang gemar minuman keras
4
Fanatisme kearaban Bani Umayyah
Munculnya kaum mawalli
5
Munculnya kekuatan baru baik dari golongan keagamaan (Syi’ah) dan keturunan al-Abbas

Sumber: Ensiklopedi Tematis dan Badddri Yatim

5.    Kehancuran Islam Pada Masa Bani Umayyah
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut Islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.[53]
Namun secara garis besar menurut Badri Yatim faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah[54] :
a.       Sistim pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[55]
b.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
c.       Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
d.      Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang
e.       Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[56]

6.    Pemerintahan Monokultural, Sekuler, dan Otoriter
Secara bahasa monokultural dapat diartikan sebagai budaya tunggal yang diyakini oleh masyarakat dan pemerintah sebagai acuan dalam menjalani hidup , atau dapat juga dikatakan bahwa monokultural itu merupakan bentuk adanya kesatuan budaya yang sifatnya normatif diantara masyarakat dimana setiap lapisan masyarakat dituntut untuk memakai cara yang sama, saling memahami satu sama lain dan berbagi aspirasi yang sama serta tidak memunculkan adanya pluralisme.
Awalnya pemerintahan itu dibawa oleh nabi Muhammad dan dasarnya adalah melalui musyawarah dalam memutuskan setiap perkara. Ketika Al-Qur’an sulit untuk ditafsirkan, maka Nabi melakukan musyawarah. Pada pemerintahan selanjutnya juga masih menggunakan dasar yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Nabi yaitu pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Namun berbeda ketika masa pemerintahan Bani Umayyah, Mu’awiyah tidak melakukan musyawarah karena pemerintahannya sudah berganti yang tadinya demokrasi menjadi monarchi. Budaya monarchi inilah yang dikatakan monokultural pada masa Bani Umayyah. Yang mana pada pemerintahan yang bersifat monokultural ini segala sesuatu yang menghantam Bani Umayyah menjadi tidak direstui atau ditentang. Sehingga menimbulkan demokrasi menjadi tidak ada, dan jika ada maka akan berlawanan dengan system pemerintahan yang dibuat dan digunakan oleh Bani Umayyah.
Sehinngga bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.
Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. “Sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Negara sekular didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekular juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.
Sejak Mu’awiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II).
Bani Umayyah lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi seperti itu dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. Dari segi ini juga dapat dikatakan bahwa sekuler terjadi pada masa Bani Umayyah.
Otoriter biasa disebut juga sebagai bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. Kepemimpinannya dilakukan oleh seorang pemimpin dengan perilaku otoriter dimana kekuasaan berada di tangan satu pihak saja. Pemimpin otoriter (diktator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power). Dinasti Bani Umayyah bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab.

7.    Analisis
Sebenarnya, dalam setiap pembahasan yang saya jabarkan sebelumnya sudah mencakup mengenai analisis yang bias saya uraikan. Namun dalam sub bab kali ini akan saya bahas kembali mengenai hal tersebut, yaitu sebagai berikut;
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut
Namun pada masa Bani Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya.
Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Dinasti Umayah antara lain :
a.       Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
b.      Khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
c.       Kedudukan khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan haknya
d.      Dinasti ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan Negara
e.       Dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab
f.       Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
Kurang melaksanakn musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walupun belum begitu menonjol
Secara bahasa monokultural dapat diartikan sebagai budaya tunggal yang diyakini oleh masyarakat dan pemerintah sebagai acuan dalam menjalani hidup , atau dapat juga dikatakan bahwa monokultural itu merupakan bentuk adanya kesatuan budaya yang sifatnya normatif diantara masyarakat dimana setiap lapisan masyarakat dituntut untuk memakai cara yang sama, saling memahami satu sama lain dan berbagi aspirasi yang sama serta tidak memunculkan adanya pluralisme.
Awalnya pemerintahan itu dibawa oleh nabi Muhammad dan dasarnya adalah melalui musyawarah dalam memutuskan setiap perkara. Ketika Al-Qur’an sulit untuk ditafsirkan, maka Nabi melakukan musyawarah. Pada pemerintahan selanjutnya juga masih menggunakan dasar yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Nabi yaitu pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Namun berbeda ketika masa pemerintahan Bani Umayyah, Mu’awiyah tidak melakukan musyawarah karena pemerintahannya sudah berganti yang tadinya demokrasi menjadi monarchi. Budaya monarchi inilah yang dikatakan monokultural pada masa Bani Umayyah. Yang mana pada pemerintahan yang bersifat monokultural ini segala sesuatu yang menghantam Bani Umayyah menjadi tidak direstui atau ditentang. Sehingga menimbulkan demokrasi menjadi tidak ada, dan jika ada maka akan berlawanan dengan system pemerintahan yang dibuat dan digunakan oleh Bani Umayyah.
Sehinngga bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.
Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. “Sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Negara sekular didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekular juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.
Bani Umayyah lebih suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi seperti itu dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang. Dari segi ini juga dapat dikatakan bahwa sekuler terjadi pada masa Bani Umayyah.
Otoriter biasa disebut juga sebagai bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. Kepemimpinannya dilakukan oleh seorang pemimpin dengan perilaku otoriter dimana kekuasaan berada di tangan satu pihak saja. Pemimpin otoriter (diktator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power). Dinasti Bani Umayyah bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab.
 
D.  Penutup
Berdasarkan kajian mengenai Mu’awiyah tersebut mengenai pola pemerintahannya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut;
1.      Bani Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Pada umumnya sejarah memandang negative terhadap Mu’awiyah, disamping cara perolehan legalitas kekuasaannya identic dengan tipu muslihat, kelicikan juga diperkuat dengan adanya kebijakan yang mengejutkan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya yaitu pemberlakuan system monarchihereditas (kerajaan turun temurun).
2.      Konsep pemerintahan Bani Umayyah bertolak belakang dengan konsep pemerintahan sebelumnya yaitu pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Sejak Mu’awiyah memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II). Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. mu’awiyyah telah menjadikan pejabat-pejabatnya kebal hokum dan ia menolaknya dengan penolakan yang keras untuk meminta pertanggungjawaban mereka  sesuai hokum-hukum syariat atas perbuatan aniaya dan pelanggaran batas yang mereka lakukan
3.      Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Dinasti Umayah antara lain :
a.       Unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
b.      Khalifah adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
c.       Kedudukan khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan haknya
d.      Dinasti ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau perluasan wilayah kekuasaan Negara
e.       Dinasti ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab
f.         Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
g.      Kurang melaksanakn musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walupun belum begitu menonjol.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Usairy, Ahmad. 2009. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta: AkbarMedia
Amin, Ahmad. 1972. Dhuha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah. Jilid I
Amin, Samsul Munir. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
As-Suyuthi, Imam. 2001. Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Bakar, Istiana Abu. 2008. Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi Islam dan umum,UIN malang pres.  Cet-1
Ensiklopedi Islam Vol. 3. 2003. (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove. Jakarta
Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,. Cet 1
Firdaus, Maidir Harun. 2001. Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN IB Press
Fu’adi, Imam. 2011 Sejarah Peradaban Islam Yogyakarta : Teras
Ghazali, Adeng Muchtar. 2004. Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah Bandung: CV.Pustaka setia. Cet. II
Hitti, Philip K. 1970.  History of Arabs, London: Macmillan
Juliansyah, Yusri. Politik Dan Sistem Pemerintahan Bani Umayyah. (http://yusrijuliansyah.blogspot.com)
Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Arab. Jakarta: Logos
Muslim, Sajadah. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
Salim, Muhamad. System pemerintahan Masa Bani Umayyah. (http://serbamakalah.blogspot.com)
Sawiy, Khairudin Yujah. 2005. Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, Yogyakarta: Safria Insani Press. Cet II.
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta: Prenada Media
Syalaby, Ahmad. 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, Jakarta: Pustaka Al-Husna
Yatim, Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam,Dirasah Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII



[1] Khawārij (secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah, (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia).
[2] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam,Dirasah Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, Hlm. 43
[3] Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: AkbarMedia, 2009), Hlm. 181
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 118
[6] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Hlm. 70
[7] Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[8] Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[9] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), Hlm. 13
[10] A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003). Hlm. 22-23
[11] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001). Hlm. 80
[12] Ensiklopedi Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). Cet 1. Hlm. 132
[13] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001). Hlm. 80
[14] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta : Teras, 2011) Hlm 71
[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,Dirasah Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, Hlm. 42
[16] Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[17] Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[18] Muhamad Salim. System Pemerintahan Masa Bani Umayyah. (http://serbamakalah.blogspot.com)
[19] Muhamad Salim. System Pemerintahan Masa Bani Umayyah. (http://serbamakalah.blogspot.com)
[20] Muhamad Salim. System Pemerintahan Masa Bani Umayyah. (http://serbamakalah.blogspot.com)
[21] Muhamad Salim. System Pemerintahan Masa Bani Umayyah. (http://serbamakalah.blogspot.com)
[22] Yusri Juliansyah. Politik Dan Sistem Pemerintahan Bani Umayyah. (http://yusrijuliansyah.blogspot.com)
[23]    Istiana Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi Islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1, Hlm.49
[24] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), Hlm. 45
[25] Samsul Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 123
[26] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Hlm. 75
[27] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Hlm. 78
[28] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 45
[29] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: CV Rusyda, 1987, cetakan pertama), Hlm. 104
[30] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 47
[31] Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[32] Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[33]   Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 38
[34]     Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1972), jilid I., Hlm. 262.
[35] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 39
[36] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm.43
[37] Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[38] Ajid Thohir, Op.Cit., hlm. 36
[39] Ibid., Hlm. 37
[40] Samsul Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 133-135
[41]  Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 248
[42]  Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 247
[43] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001). Hlm. 229 – 304
[44] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M). Hlm. 72
[45] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 248
[46] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 248
[47] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 45
[48]  Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 46
[49]  Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 47
[50] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 48
[51] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 47
[52] Ali Mufrodi. Islam di Kawasan Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M). Hlm. 83-84
[53] Adeng Muchtar Ghazali. Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004). Hlm. 56
[54]  Adeng Muchtar Ghazali. Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004). Hlm. 48-49
[55]   Philip K. Hitti, History of Arabs, (London: Macmillan, 1970). Hlm. 281
[56] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar