Pemerintahan Bani Umayyah
(Monokultural, Sekuler, Otoriter)
A.
Pendahuluan
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali
bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau
kerajaan. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat
kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan,
adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui
dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam
menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah
khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang
didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya
dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian
ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi
politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah
juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali)
membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh
putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau
akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada
akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, namun dengan
perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada
ummat Islam. Hal ini tidak dapat berhasil karena kelicikan dari Mu’awiyah.
Namun demikian, masa pemerintahan Mu’awiyah bias dibilang cemerlang dalam
kemajuannya.
B.
Substansi
Kajian
1. Sejarah
Bani Umayyah
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib
pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh tusukan pedang
beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok Khawarij[1]
yaitu Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan
dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada
sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu.
Orang yang pertama kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di
hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan
dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu
Muawiyyah yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya
sebagai khalifah. Hal ini disebabkan karena Mu’awiyah sendiri sudah sejak lama
mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali
tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan
persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh Mu’awiyah untuk mempengaruhi massa
untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan–pemberontakan yang didalangi oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena
itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Mu’awiyah dan menyerahkan
kekuasaannya kepada Mu’awiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Mu’awiyah disebut Aam Jama’ah karena
kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Mu’awiyah ibn Abu
Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian
kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak
mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Untuk itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali
mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Mu’awiyah
dengan syarat antaralain:
a.
Mu’awiyah menyerahkan harat
Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
b.
Mu’awiyah tak lagi melakukan cacian
dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
c.
Mu’awiyah menyerahkan pajak bumi
dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
d.
Setelah Mu’awiyah berkuasa nanti,
maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam
untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
e.
Mu’awiyah tidak boleh menarik
sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi
kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan,
Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya
kepada Mu’awiyah. Sementara Mu’awiyah sendiri untuk menjawab dan mengabulkan
semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir
bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Mu’awiyah
mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia
menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak
menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar
untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Mu’awiyah
dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya
untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari
Hasan ke Mu’awiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti
Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Proses
penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu
tempat yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan
demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin
umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali sebagai khalifah.
Meskipun Mu’awiyah tidak mendapatkan
pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Mu’awiyah sampai
akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada di
tangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti
baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya
dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas
“demokrasi” untuk menentukan pemimpin umat Islam yang menjadi pilihan mereka.
Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan Mu’awiyah dari
Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[2]
Bani Umayyah (bahasa Arab:
بنو أمية , Banu Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah
kekhalifahan
Islam
pertama setelah masa Khulafa ar- Rasyidun
yang memerintah dari tahun 661
sampai 750 H
di Jazirah Arab
dan sekitarnya, serta dari 756
sampai 1031 H
di Cordoba,
Spanyol.
Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut
dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut
juga dengan Mu’awiyah I.[3]
Nama
Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams bin Abdu Manaf. Ia
adalah salah seorang tokoh penting di tengah Quraisy pada masa Jahiliyyah. Ia
dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf selalu bertarung memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan.[4]
Dinasti
Umayyah didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb. Mu’awiyah di samping sebagai pendiri daulah dinasti
Umayyah, juga sekaligus sebagai khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota
kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus. Mu’awiyah dipandang sebagai pembangun
dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif.
Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Siffin dicapai melalui cara arbitrasi yang
curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga dituduh sebagai pengkhianat
prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam, karena dia yang mengubah sistem
pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (kerajaan
atau monarki).[5]
Dinasti
Umayyah mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada perang Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas
atas kematian khalifah Utsman bin Affan. Dalam
peritiwa tahkim tersebut, Ali telah terpedaya oleh taktik dan siasat Mu’awiyah
yang pada akhirnya ia mengalami kekalahan secara politis. Sementara Mu’awiyah
mendapat kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.
Keberhasilan
Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah bukan hanya karena kemenangan diplomasi di
Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib saja, tetapi sejak
semula Gubernur Suriah itu memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan
pembangunan politiknya di masa depan. Pertama, adalah berupa dukungan
yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga bani Umayyah sendiri. Penduduk
Suriah yang telah lama diperintah oleh Mu’awiyah mempunyai pasukan yang kokoh,
terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan Romawi. Mereka
bersama-sama dengan kelompok bangsawan kaya Mekkah dari keturunan Umayyah
berada sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasoknya dengan sumber-sumber
kekuatan baik moral, tenaga, maupun kekayaan. Kedua, sebagai seorang
administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya
pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patut mendapat perhatian khusus, yaitu
‘Amr bin Ash, Mugirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi. Ketiga, Mu’awiyah
memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat “hilm”
sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu. Seorang
manusia hilm seperti Mu’awiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan
mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan
intimidasi.[6]
Situasi
ketika Mu’awiyah naik ke kursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.
Anarkisme tidak dapat lagi dikendalikan oleh ikatan agama dan moral sehingga
menyebabkan hilangnya persatuan umat. Persekutuan yang dijalin secara efektif melalui dasar keagamaan sejak
khalifah Abu Bakar tidak dapat dielakkan dirusak oleh peristiwa pembunuhan atas
diri khalifah Ustman dan perang saudara sesama muslim di masa pemerintahan Ali.
Dengan
menegakkan wibawa pemerintahan serta menjamin integritas kekuasaan di masa-masa
yang akan datang, Mu’awiyah dengan tegas menyelenggarakan suksesi yang
damai, dengan pembaiatan putranya, Yazid, beberapa tahun sebelum khalifah
meninggal dunia.
Nama
Bani Umayyah dalam bahasa Arab berarti anak turun Umayyah, yaitu Umayyah bin Abdul Syams. Ia adalah salah satu
pemimpin dalam kabilah suku Quraisy. Abdul Syams
adalah saudara dari Hasyim, sama-sama keturunan Abdul Manaf. Dari Bani Hasyim
inilah lahir Nabi Muhammad SAW. Di masa
sebelum Islam, Bani Umayyah selalu bersaing dengan Bani Hasyim. Pada waktu itu,
Bani Umayyah lebih berperan dalam masyarakat
Mekkah. Hal ini disebabkan, mereka menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak
bergantung kepada pengunjung Ka’bah[7].
Perkembangan agama Islam
yang semakin meluas menyebabkan Bani Umayyah
merasa bahwa kekuasaannya terancam. Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama dalam perjuangan Nabi Muhammad SAW, misalnya
Abu Sufyan bin Harb. Ia adalah salah satu
anggota Bani Umayyah yang beberapa kali
menjadi pemimpin suku Quraisy Mekkah dalam peperangan melawan Nabi Muhammad
SAW. Setelah Islam menjadi kuat dan mampu merebut Mekkah, Abu Syufyan dan
pihaknya menyerah. Peristiwa itu dinamakan Fathu Makkah pada tahun 8 H.[8]
Akhirnya, Abu Sufyan bin Harb dan putranya (Mu’awiyah bin Abu Sufyan) memeluk Islam. Peristiwa ini menjadi awal berperannya Bani
Umayyah dalam
sejarah Islam.
Berikut silsilah keluarga banu Umayyah yang juga mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad SAW.[9]
Dengan demikian teranglah bahwa Bani
Umayyah itu adalah orang-orang yang terakhir masuk Agama Islam, dan merupakan
musuh-musuh yang paling keras terhadap agama ini pada masa-masa sebelum mereka
memasukinya. Tetapi setelah masuk Islam, mereka dengan segera dapat
memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya, seolah-olah
mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang
besar terhadap Agama Islam, dan agar orang lupa kepada sikap dan perlawanan
mereka terhadap Agama Islam sebelum mereka memasukinya.[10]
2.
Pemerintahan Pada Masa Bani Umayyah
Setelah Mu’awiyah memindahkan pusat
pemerintahan dari kota Madinah ke Damaskus, maka pemerintahan Mu’awiyah berubah
bentuk dari Theo-Demokrasi menjadi Manarchi (kerajaan/dinasti) hal ini berlaku
semenjak ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota.[11]
Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damascus menandai era baru. Dari
pusat inilah Bani Umayyah menyempurnakan perluasan wilayahnya dengan
menaklukkan seluruh Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium.[12]
Kebijakan yang dilakukan oleh Mu’awiyah
ini dipangaruhi oleh tradisi yang terdapat dibekas
wilayah kerajaan Bizantium yang sudah lama dikuasai oleh Mu’awiyah, semenjak
dia diangkat menjadi Gubernur oleh Umur Ibn Khatab di Suriah. Setelah Mu’awiyah
meninggal dunia orang-orang keterunan Umayyah mengangkat Yazid bin Mu’awiyah
menjadi Khalifah sebagai pengganti ayahnya. semenjak itu sistim pemerintahan
Bani umayyah memakai sistim turun-temurun sampai kepada Khalifah Marwan bin
Muhammad. Marwan bin Muhammad tewas dalam pertempuran melawan pasukan Abdul
Abbas As-Safah dari Bani Abas pada tahun 750 M. dengan demikian berakhir
Dinasti Bani Umayyah dan diganti oleh Dinasti Bani Abbas setelah memerintah
lebih kurang 90 tahun.[13]
Langkah awal yang
diambil oleh Mu’awiyah adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke
Damaskus. Hal ini dapat dimaklumi karena jika dianalisa setidaknya ada 2 faktor yang mempengaruhi, yaitu di Madinah
sebagai pusat pemerintahan khulafaurrasyidin
sebelumnya, masih terdapat sisa – sisa kelompok yang antipati terhadapnya.
Sedangkan di Damaskus pengaruhnya telah menciptakan nilai simpatik masyarakat,
basis kekuatannya cukup kuat.[14]
Pada
masa Mu’awiyah mulai diadakan perubahan – perubahan administrasi pemerintah,
dibentuk pasukan bertombak pengawal raja dan dibangun bagian khusus di dalam
masjid untuk pengamanan tatkala dia menjalankan shalat. Mu’awiyah juga memperkenalkan materai resmi untuk pengiriman
memorandum yang berasal dari Khalifah. Para sejarawan mengatakan bahwa di dalam
sejarah Islam, Mu’awiyah lah yang pertama – tama mendirikan balai–balai
pendaftaran dan menaruh perhatian atas jawatan pos, yang tidak lama kemudian
berkembang menjadi suatu susunan teratur, yang menghubungkan berbagai bagian
negara.
Pada
masa Bani Umayyah dibentuk semacam dewan sekertaris negara (Diwan al-kitabah)
untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan, yang terdiri dari lima orang
sekertaris yaitu: katib ar – Rasail, katib al – Kharraj, katib al – Jund,
katib asy – Syurtah dan katib al – Qodi. Untuk mengurusi administrasi
pemerintahan di daerah, diangkat seorang Amir al – Umara (Gubernur jenderal)
yang membawahi beberapa “amir” sebagai penguasa suatu wilayah.
Gaya dan corak kepemimpinan
pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa
sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik
yang demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung
oleh penguasa sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu
kepemimpinan yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh
melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Mu’awiyah
bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap
menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut.[15]
Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di
angkat oleh Allah.
Sejak Mu’awiyah memegang kekuasaan,
gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah hidup di dalam
benteng dengan pengawalan ketat dan
bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan
kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang
jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada
Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar
II). Hal lain yang berubah pada masa Bani Umayyah adalah fungsi dan
kedudukan Baitul Mal. Ketika era Khulafaur Rasyidin. Baitul Mal adalah harta
Negara yang harus dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun pada masa Bani
Umayyah, fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah
memiliki wewenang yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai
keinginannya. Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk
kepentingan pribadi maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua
Khalifah memperlakukan Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha
mengembalikan fungsi dan kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh
para Khulafaur Rasyidin.[16]
Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang
dirintis oleh pendahulunya. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah didampingi
oleh sebuah Dewan penasehat yang ikut berperan dalam setiap kebijakan-kebijakan
penting Negara. Lebih dari itu, seorang rakyat biasa pun dapat menyampaikan pendapatnya tentang kebijakan Khalifah secara
terbuka. Tradisi positif itu tidak dilanjutkan oleh Mu’awiyah dan para
penerusnya. Walapun lagi-lagi, Umar II berusaha menghidupkan kembali tradisi
tersebut, namun penguasa setelahnya segera mengembalikan pada cara-cara
kerajaan yang menempatkan sang raja di atas segala-galanya. Satu hal yang
memprihatinkan pada masa pemerintahan Bani Umayyah adalah diabaikannya
nilai-nilai ajaran Islam oleh para pejabat Negara dan keluarganya. Mereka lebih
suka hidup mewah, mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta
tidak segan-segan menggunakan kekerasan
untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu direstui oleh sang
Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati kondisi
seperti itu.[17]
Politik pemerintaha seperti ini
dimulai dengan masa kekuasaan Muawiyyah. Imam as-Zuhri menyatakan bahwa pada
masa Rasululah saw dan khulafaurrosyidin yang empat, berlaku hokum bahwa
seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim dan demikian pula seorang muslim
tidak mewarisi seorang kafir. Tapi Muawiyyah, pada masa pemerintahannya, telah
bertindak mewariskan seorang muslim dari seorang kafir tapi tidak mewariskan
seorang kafir dari seorang muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang
diada-adakan dalam agama) ini telah dibatalka kemudian oleh Umar bin Abdul
Aziz, dimasa pemerintahannya, namun Hisyam bin Abdul Malik telah mengembalikan
sebagaimana keadaannya yang semula, yakni seperti di masa Mu’awiyyah.[18]
Ibnu Katsir berkata bahwa Mu’awiyyah
juga telah mengganti Sunnah Rasul saw. Dan para Khulafaurrosyidun dalam urusan
diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikat
perjanjian dengan Negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang muslim.
Tapi Mu’awiyyah menguranginya sampai setengahnya dan ia mengambil setengahnya
yang lain bagi dirinya sendiri.[19]
Dan masih ada lagi bid’ah yang buruk
lainnya muncul di masa Mu’awiyyah, yaitu bahwa Mu’awiyyah sendiri dan para
pejabatnya yang lain, dengan perintahnya, melaksanakan kebiasaan mengumpat dan
mencaci pribadi Sayyidina Ali dalam pidato-pidato mereka di atas mimbar-mimbar
kaum muslimin. Bahkan, lebih dari itu, mereka melaknatnya sedangkan ia adalah
anggot kerabat Rasulullah yang paling cintai dan paling dekat dengan hati
beliau yang suci, dari atas mimbar Masjid Nabawi dan di depan Raudhah
nabawiyyah, disaat-saat putra-putra sayidina Ali dan kerabatnya yang terdekat
mendengar kutukan-kutukan ini dengan teling-telinga mereka.[20]
Mengumpat seseorang setelah wafatnya
adalah hal yang berlawanan dengan akhlak kemanusiaan, apalagi dengan syari’at.
Oleh karena itu ketika Umar bin Abdul aziz memegang kekuasaan, ia segera
menggantikan kebiasaan ini, sebagaimana
ia telah mengganti kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya yang telah
dilaksanakan dan kebiasaan dan dibiasakan oleh keluarganya (bani Umayyah). Maka
ia pun melarang pelaknatan terhadap
sayidina Ali dan, sebagai penggantinya, ia memerintahkan agar dibacakan
ayat-ayat Al-Qur’an yang suci : “sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil
dan berbuat kebajikan dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu
dari perbuatan keji, jenubfjarab dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil” (QS. 16 : 90)
Demikian pula Mu’awiyyah telah
melanggar kitab Allah dan sunnah Rasul dengan pelanggaran yang nyata-nyatanya
dalam soal pembagian harta rampasan perang. Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya,
keduanya menetapkan keharusan menyetorkan seperlima harta rampasan perang itu ke baitul maal dan
pembagian empat perlima sisanya di antara anggota tentara yang telah terjun
dalam perang dan ikut dalam pertempuran. Tapi mu’’awiyyah telah memerintahkan
agar emas dan perak hasil rampasan perang itu disisihkan. Kemudian ia
mengambilnya untuk dirinya sendiri. Baru setelah itu, ia membagi-bagi sisa
harta itu sesuai dengan aturan syari’at
Demikian pula, demi tujuan-tujuan
politisnya, mu’awiyyah telah melakukan pelanggaran terhadap salah satu hal
penting yang tidak diragukan dalam syariat yang suci. Yaitu ketika ia
menasabkan Ziyad bin Sumarriyah sebagai saudaranya dan menghubungkannya dengan
nasab mu’awiyyah sendiri. Karena itulan, maka ummul mukminin ummu habibah
isteri Nabi Muhammad. Dengan tegas menolak mengakuio ziyad sebagai saudaranya,
dan oleh sebab itu pula ia tidak mau bertemu dengannya tanpa hijab.
Demikian pula mu’awiyyah telah
menjadikan pejabat-pejabatnya kebal hokum dan ia menolaknya dengan penolakan
yang keras untuk meminta pertanggungjawaban mereka sesuai hokum-hukum syariat atas perbuatan
aniaya dan pelanggaran batas yang mereka lakukan. Pada suatu peristiwa,
pejabatnya di kota Bashrah, Abdullah bin Amr bin Ghilan. Berpidato di masjid,
lalu ia dilempari batu oleh seseorang dan iapun memerintahkan para pengawalnya
untuk menangkap orang itu dan memotong tangannya. Meskipun syariat tidak
memandang perbuatan itu sebagai suatu kejahatan yang pelakunya dihukum dengan potongan
tangan. Orang itu kemudian memohon pertolongan muawiyyah. Tapi Muawiyyah
berkata kepadanya : “tidak ada jalan untuk menuntut bawals dari wakil-wakilku.
Tapi aku akan memberimu diyat (denda hukuman) atas kejahatan tersebut.” Dan
iapun membayarkan diyat itu kepadanya. Dari baitul-maal.[21]
Ciri-Ciri Sistem
Pemerintahan Dinasti Umayah antara lain:
1.
Unsur
pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
2.
Khalifah
adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
3.
Kedudukan
khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan
karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan
haknya
4.
Dinasti
ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik atau
perluasan wilayah kekuasaan Negara
5.
Dinasti
ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab
duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang
sama luasnya dengan orang-orang Arab
6.
Qadhi
(hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti
tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap
dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
7.
Kurang
melaksanakn musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute
walupun belum begitu menonjol.
Dengan demikian tampilnya pemerintahan
Dinasti Umayah yang mengambil bentuk monarki, merupakan babak kedua dari
praktek pemerintahan umat Islam dalam sejarah.[22]
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa[23]:
1.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2.
Yazid bin Mu’awiyah (60-64 M/680-683 M)
3.
Mu’awiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4.
Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5.
Abdul Malik bin Marwan (65-86
H/685-705 M)
6.
Walid bin
Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7.
Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8.
Umar bin Abdul Aziz (99-101
H/717-720 M)
9.
Yazid bin Abdul Malik (101-105
H/720-724)
10.
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11.
Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12.
Yazid bin Walid (126-127 H/744-745
M)
13.
Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14.
Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)
Pada
masa Abdul Malik ibn Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat
departemen pokok (Diwan). Ke empat departemen (kementrian) itu ialah :
a.
Kementrian
pajak tanah (diwan al – kharraj) yang tugasnya mengawasi departemen
keuangan.
b.
Kementrian
khatam (diwan al – khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan
ordonasi pemerintah. Sebagaimana masa Mu’awiyah telah diperkenalkan materai
resmi untuk memorandumdari Kholifah, maka setiap tiruan dari memorandum itu
dibuat kemudian ditembus dengan benang, disegel dengan lilin, yang akhirnya
dipres dengan segel kantor.
c.
Kementrian
surat menyurat (diwan al – rasail), dipercayakan untuk mengontrol
permasalahan di daerah – daerah dan semua komunikasi dari gebernur – gubernur.
d.
Kementrian
urusan perpajakan (diwan al mustagallat)
Meskipun
keberhasilan banyak dicapai pada dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negeri dapat dianggap stabil. Mu’awiyah tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hassan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan
penggantian pemimpin setelah Mu’awiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam.
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.[24]
Mu’awiyah
wafat pada tahun 60 H di Damaskus karena sakit dan digantikan anaknya, Yazid
yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat
ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang dihadapinya, antara lain ialah
membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal Mu’awiyah.
Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu Nabi
tersebut. Yazid menghadapi para pemberontak di mekkah dan Madinah dengan keras.[25]
Yazid
wafat pada tahun 64 H setelah memerintah selama 4 tahun dan digantikan oleh
anaknya, Mu’awiyah II. Ia hanya memerintah kurang lebih 40 hari dan meletakkan
jabatan sebagai khalifah tiga bulan sebelum wafatnya. Ia mengalami tekanan jiwa
berat karena tidak sanggup memikul tanggung jawab jabatan khalifah yang sangat
besar tersebut.
Mu’awiyah
II digantikan oleh marwan bin Hakam, seorang yang memegang stempel khilafah
pada masa Ustman bin Affan. Ia adalah Gubernur Madinah di masa Mu’awiyah dan
penasihat Yazid di Damaskus di masa pemerintahan putra pendiri daulah Umayyah
tersebut. Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya.
Khalifah yang baru ini menghadapi kesulitan satu demi satu, yakni perpecahan di
tubuh bangsa Arab sendiri ditambah dengan pemberontakan kaum Khawarij dan
Syi’ah yang bertubi-tubi. Marwan menundukkan Palestina, Hijaz dan Irak. Namun,
ia cepat pergi, hanya sempat memerintah selama 1 tahun, ia wafat pada tahun 65
h dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebagai pengganti
sepeninggalnya secara berurutan.[26]
Khalifah
Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khalifah Bani Umayyah
yang disebut-sebut “Pendiri Kedua” bagi
kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai khalifah yang memiliki kedalaman dalam
ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih. Dia telah berhasil sepenuhnya
mengembalikan integritas wilayah dan wibawa kekuasaan keluarga Umayyah dari
segala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Ia
memerintahkan pemakaian bahasa Arab sebagai bahasa administrasi di wilayah
Umayyah, yang sebelumnya masih menggunakan bahasa yang bermacam-macam, seperti
bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia dan bahasa Qibti di Mesir. Ia
juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun gedung-gedung,
masjid-masjid dan saluran-saluran air.[27]
Keberhasilan
khalifah Abdul malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715)
seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia
membangun panti-panti untuk orang cacat. Dia juga membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[28]
Hubungan
pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan khalifah Umar
bin Abdul Aziz (717-719 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan
bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih
baik daripada menambah perluasannya. Hal ini berarti bahwa prioritas utama
adalah pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat,
dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah. Dia juga memberikan
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai kepercayaan dan
keyakinannya, pajak diperingankan dan kedudukan mawali disejajarkan
dengan muslim Arab.[29]
Sepeninggal
Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan dinasti Umayyah berada di bawah khalifah Yazid
bin Abdul Malik (719-723 M). Khalifah Yazid terlalu gandrung kepada kemewahan
dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup
dalam ketentraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan
latar belakang dan kepentingan etnis politik, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid bin Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga
masa pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul Malik (723-742 M).
Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan
berat bagi pemerintahan Umayyah. Kekuatan ini berasal dari kalangan bani Hasyim
yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat
serius. Dalam perkembangan berikutnya, kekuatan ini baru mampu menggulingkan
dinasti Umayyah.[30]
Dari sini dapat disimpulkan
bahwasannya kedua kosep pemerintahan baik pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebelumnya sangat bertolak belakang
dengan konsep pemerintahan yang diterapkan pada masa sesudahnya yaitu Umayyah.
Perbedaan tersebut dapat dilihat di bawah ini;
No
|
Aspek
|
Khulafa’
|
Dinasti
|
1
|
Aturan Pengangkatan Khalifah
|
Berdasarkan musyawarah, bai’at
rakyat dengan cara sukarela dan bebas
|
Berdasarkan kekuatan pedang, de
facto, bai’at rakyat secara terpaksa
|
2
|
Model pemerintahan
|
Demokratis
|
Otoriter
|
3
|
Cara Hidup Khalifah
|
Hidup di tengah-tengah rakyat yang
setiap saat dapat mengkritik dan mengeluarkan pendapat
|
Cara hidup kisra atau
kaisar, terdapat jarak antara penguasa dan rakyat
|
4
|
Kondisi Baitul Mal
|
Merupakan amanat Allah dan kaum
Muslimin
|
Menjadi milik penguasa dan
keluarganya
|
5
|
Kebebasan Mengeluarkan Pendapat
|
Kritikan, hardikan dan ancaman
kepada para penguasa malah mendapat pujian
|
Diibaratkan menutup hati nurani rakyat, mengikat lidah mereka
kecuali untuk mengucapkan pujian bagi penguasa
|
6
|
Peradilan
|
Hakim bebas dari segala tekanan
dan ikatan kecuali ketakwaan kepada Allah, ilmu dan nurani
|
Dibawah kendali penguasa
|
7
|
Budaya Kesukuan/Ashabiyah qaumiyah
|
Sangat menghindari ashabiyah
qauniyah
|
Mulai muncul ashabiyah qauniyah
|
8
|
Hukum
|
Sangat menjunjung tinggi hokum
Ilahi dan tidak pernah keluar dari aturan Ilahi
|
Mulai agak melonggarkan apa yang
telah diatur syariat
|
3.
Kemajuan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kemajuan Islam di masa Daulah Umayyah
meliputi berbagai bidang, yaitu politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan,
seni dan budaya. Di antaranya yang paling spektakuler adalah bertambahnya
pemeluk Agama Islam secara cepat dan meluas. Semakin banyaknya jumlah kaum
Muslimin ini terkait erat dengan makin luasnya wilayah pemerintahan Islam pada
waktu itu. Pemerintah memang tidak memaksakan penduduk setempat untuk masuk Islam,
melainkan mereka sendiri yang dengan rela hati tertarik masuk Islam. Akibat
dari makin banyaknya orang masuk agama Islam tersebut maka pemerintah dengan
gencar membuat program pembangunan Masjid di berbagai tempat sebagai pusat
kegiatan kaum Muslimin.
Pada masa Khalifah Abdul Malik,
masjid-masjid didirikan di berbagai kota besar. Selain itu, beliau juga
memperbaiki kembali tiga Masjid utama umat Islam, yaitu Masjidil Haram
(Mekkah), Masjidil Aqsa (Yerusalem) dan Masjid Nabawi (Madinah). Al-Walid,
Khalifah setelah Abdul Malik yang ahli Arsitektur, mengembangkan Masjid sebagai
sebuah bangunan yang indah. Menara Masjid yang sekarang ada dimana-mana itu
pada mulanya merupakan gagasan Al-Walid ini. Perhatian pada Masjid ini juga
dilakukan oleh Khalifah-Khalifah Bani Umayyah setelahnya.[31]
Selain
berhasil dalam ekspansi
besar-besaran, Banu Umayyah juga berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang
dan tatanan administrasi yang baik, diantaranya adalah:
a. Pada
masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
1) Dinas
Pos Penjagaan
2) Menertibkan
anggota bersenjata
3) Mencetak
mata uang
b. Pada
masa Abdul Malik bin Marwan:
1) Merubah
mata uang Bizantium dan Persia yang digunakan di daerah-daerah yang dikuasai Islam,
dengan mencetak mata uang sendiri menggunakan bahasa Arab pada tahun 659 M
2) Memberlakukan
bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Islam
c. Pada
masa Walid bin Abdul Malik:
1)
Mengangkat Majlis Penasehat sebagai
pendamping
2)
Mengangkat sekretaris (al-kuttab)
diantaranya adalah, Katib ar-Rasail (bertugas mengurusi administrasi dan
surat-menyurat dengan pembesar setempat), Katib al-Kharraj (bertugas
menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran keuangan Negara), Katib al-Jundi
(bertugas menyelengggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
ketentaraan/militer), Katib as-Syurthah (bertugas menyelenggarakan
pemeliharaan keamanan dan ketertiban umum), Katib al-Qudat (bertugas
menyelenggarakan tertib hukum melalui badan-badan peradilan dan hakim)
3)
Pembangunan panti-panti untuk orang yang
cacat
4)
Memberikan gaji tetap untuk para pekerja
panti
5)
Membangun jalan raya yang menghubungkan
antar daerah
6)
Membangun pabrik-pabrik
7)
Membangun gedung-gedung pemerintahan
8)
Membangun Masjid-masjid yang megah
Kesuksesan dalam menata
administrasi Negara juga dikarenakan Banu Umayyah membuka terjadinya kontak
antara bangsa-bangsa muslim (Arab) dengan negeri taklukan
yang dikenal memiliki tradisi yang luhur, seperti Persia, Mesir dan Eropa.
Hubungan itu selalu melahirkan kreatifitas
baru yang menakjubkan baik dibidang ilmu seni dan ilmu pengetahuan.
Perkembangan lain yang menggembirakan adalah makin meluasnya pendidikan
Agama Islam. Sebagai ajaran baru, Islam
sungguh menarik minat penduduk untuk mempelajarinya. Masjid dan tempat tinggal
ulama merupakan tempat yang utama untuk belajar agama. Bagi orang dewasa,
biasanya mereka belajar tafsir Al-Quran, hadist, dan sejarah Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, filsafat juga memiliki penggemar yang tidak sedikit. Adapun untuk
anak-anak, diajarkan baca tulis Arab dan hafalan Al-Quran dan Hadist. Pada masa
itu masyarakat sangat antusias dalam usahanya untuk memahami Islam secara
sempurna. Jika pelajaran Al-Quran, hadist, dan sejarah dipelajari karena memang
ilmu yang pokok untuk memahami ajaran Islam, maka filsafat dipelajari sebagai
alat berdebat dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang waktu itu suka
berdebat menggunakan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam,
matematika, dan ilmu social belum berkembang. Ilmu-ilmu yang terakhir ini
muncul dan berkembang denga baik pada masa dinasti Bani Abbasiyah maupun Bani
Umayyah Spanyol.
Salah satu aspek dari kebudayaan
adalah mengembangkan ilmu pengetahuan. Kalau pada masa Nabi dan al-khulafa’ ar-Rasyidun
perhatian ilmu terpusat pada usaha memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi untuk
memperdalam akidah, akhlaq, ibadah, mu’amalah dan kisah-kisah Al-Qur’an, maka
perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, tertuju pada ilmu-ilmu
yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam.[33]
Ibu Kota Daulah Umayyah pindah ke
Damaskus. Suatu kota di negeri Syam yang telah penuh dengan peninggalan
kebudayaan maju sebelumnya. Mereka juga telah menguasai Andalus, Afrika Utara,
Syam, Irak, Iran, Khurosan, sampai Benteng Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya
terdapat kota-kota pusat kebudayaan, diantaranya: Yunani, Iskandariyah,
Antiokia, Harran, Yunde Sahpur[34], yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan baragama Yahudi,
Nasrani dan Zoroaster.
Setelah para ilmuwan itu masuk Islam,
mereka tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, mereka mendapat
perlindungan. Diantara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istana
Khalifah. Ada yang menjabat sebagai dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir,
sehingga kehadiran mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pusat pendidikan saat itu berada di
Damaskus, Madinah, Mesir, Cordova, Bashrah, Kufah, Damsyik dan Palestina. Ilmu
pengetahuan yang berkembang saat itu adalah Ilmu Kedokteran, Kimia, Sejarah/Histiografi,
Arsitek, Musik dan Syair, Aliran Keagamaan, Ilmu Agama, Ilmu Bahasa, Tafsir,
Fiqih dan Seni Rupa.[35] Berikut sistem
pelaksanaannya:
Lembaga
Pendidikan
|
Materi
|
Metode
|
Masjid,
Kuttab/Maktab, Halaqoh, Madrasah, Pendidikan di Istana dan Rumah Guru, Badiah
(Balai Bahasa), Perpustakaan, Bamaristan (Rumah sakit dan studi ilmu
kesehatan), Balai Pertemuan.
|
Al-Qur’an,
Hadits, Syair, Riwayat Hukama, Bahasa Arab, Fiqih, Nahwu, Tauhid, Akhlaq,
Ibadah, Tasawuf, Filsafat, Kedokteran.
|
Menulis,
membaca, ceramah, diskusi, Tanya jawab, praktek dan debat opini (munadzarah).[36]
|
Bidang seni dan budaya pada masa itu
juga mengalami perkembangan yang maju. Karena ajaran Islam lahir untuk menghapuskan perbuatan syirik yang menyembah berhala,
maka seni patung dan seni lukis binatang maupun lukis manusia tidak berkembang.
Akan tetapi, seni kaligrafi, seni sastra, seni suara, seni bangunan, dan seni
ukir berkembang cukup baik. Di masa ini sudah banyak bangunan bergaya
kombinasi, seperti kombinasi Romawi-Arab maupun Persia-Arab. Apalagi, bangsa
Romawi dan Persia sudah memiliki tradisi berkesenian yang tinggi. Khususnya
dalam bidang seni lukis, seni patung maupun seni arsitektur bangunan. Contoh
dari perkembangan seni bangunan ini, antara lain adalah berdirinya Masjid Damaskus
yang dindingnya penuh dengan ukiran halus dan dihiasi dengan aneka warna-warni
batu-batuan yang sangat indah. Perlu diketahui bahwa untuk membangun Masjid
ini, Khalifah Walid mendatangkan 12.000 orang ahli bangunan dari Romawi. Tetapi
di antara kemajuan-kemajuan yang terjadi pada masa Daulah Bani Umayyah
tersebut, prestasi yang paling penting dan berpengaruh hingga zaman sekarang
adalah luasnya wilayah Islam. Dengan wilayah yang sedemikian luas itu ajaran Islam
menjadi cepat dikenal oleh bangsa-bangsa lain, tidak saja bangsa Arab.[37]
Meskipun masa kepemimpinan Bani
Umayyah sarat dengan intrik politik internal maupun eksternal yang kemudian
menghasilkan perluasan wilayah Islam, mereka tidak melupakan aspek perkembangan
intelektual mengingat masa Umayyah merupakan benih bagi munculnya the Golden
Age di masa Abbasiyah nanti. Perhatian terhadap dinamika intelektual ini dapat
dipahami dari table berikut ini;
No
|
Bidang
|
Bukti
|
1
|
Kedokteran
|
a.
Khalifah
al-Walid telah memberikan sumbangan berupa pemisahan antara ahli tentang
penyebab penyakit dengan ahli tentang pengobatan
b.
Khalifah
Umar telah memindahkan sekolah kedokteran ari iskandariyah ke Antiokhia dan
harran
|
2
|
Kimia
|
a.
Khalifah
Khalid bin Yazid memerintahkan penerjemah buku-buku kedokteran, kimia dan
astrologi dari bahasa Yunani dan Kopti ke dalam bahasa Arab
|
3
|
Sejarah/Historiografi
|
a.
Ubaid
bin Syarya penulis sejarah dalam bentuk sirah dan maghazi dan telah
menginformasikan ke Mu’awiyah tentang pemerintahan bangsa Aab dahulu dan asal
usul ras mereka
b.
Muncul
tokoh-tokoh sejarah seperti Wahab ibn Munabbih, Kaab al-Akhbar dan lainnya
|
4
|
Arsitek
|
a.
Adanya
usaha untuk meningkatkan artistic masjid dengan memasukkan seni arsitectur
Yunani, Syria dan Persia
b.
Adanya
relief di dinding istana dann pemandian Khalifah al-Walid ibn Abd Malik
|
5
|
Musik dan Syair
|
a.
munculnya
Said bin Miagah, orang yang pertama kali memasukkan nyanyian Presia dan
Byzantium ke dalam bahasa Arab
b.
munculnya
Imran bn Hattan salah seorang penyair masa Umayyah
|
6
|
Aliran Keagamaan
|
a.
Munculnya
aliran Syi’ah, Khawarij, Murjiah dan Muktazilah
b.
munculnya
Madrasah al-Ra’yi yaitu kelompok yang menggunakan pemikiran dalam penetapan
hokum, dan madrasah al-Hadits, kelompok yang enggan menggunakan al-Ra’yi
dalam menetapkan perbuatan hokum.
|
Sebagai
dinasti yang berkuasa cukup lama, dinasti Umayyah telah mampu membentuk
peradaban yang kontemporer di masanya, baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Menurut As-Suyuti, dalam
tatanan politik dinasti ini lebih menganggap Islam sebagai politik ketimbang
ajaran atau doktrin. Oleh karena itu, institusi-institusi politik banyak
dibentuk pada masa ini. Misalnya, undang-undang pemerintahan, dewan menteri,
lembaga sekretariat negara, jawatan pos dan giro serta penasihat-penasihat
khusus di bidang politik.[38]
Dalam
tatanan ekonomi dan keuangan, juga telah dibentuk jawatan ekspor dan impor,
badan urusan logistik, lembaga sejenis perbankan (diwan al-maliyah) dan
pertahanan negara. Sedangkan dalam tatanan teknologi, dinasti ini juga telah
mampu menciptakan senjata-senjata perang yang cukup canggih pada masanya,
sarana transportasi baik di darat maupun di laut, teknologi pertanian dan
sistem pengairan.[39]
Sementara
dalam bidang ilmu pengetahuan, dinasti Umayyah telah menemukan jalan yang lebih
luas ke arah pengembangan dan perluasan berbagai bidang ilmu pengetahuan,
dengan bahasa Arab sebagai media utamanya.
Menurut Jurji Zaidan
(George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidanag pengembangan ilmu pengetahuan
antara lain sebagai berikut:[40]
a. Pengembangan
Bahasa Arab
Para
penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai daulah (negara),
kemudian dikuatkannya dan dikembangkan bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam.
Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
dalam tata usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat menyurat
harus menggunakan bahasa Arab, yang sebelumnya menggunakan bahasa Romawi atau
bahasa Persia.
b. Marbad
Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti
Umayyah juga mendirikan kota kecil sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Pusat kegiatan ilmu dan kebudayaan tersebut dinamakan Marbad, kota
satelit dari Damaskus. Di kota Marbad ini berkumpul para pujangga, filsuf,
ulama, penyair dan cendekiawan lainnya sehingga kota ini diberi gelar ukadz-nya
Islam.
c. Ilmu
Qiraat
Ilmu
qiraat adalah ilmu seni baca Al-Qur’an. Ilmu qiraat merupakan ilmu syariat
tertua, yang telah dibina sejak zaman khulafaur rasyidin. Kemudian masa dinasti
Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang sangat
penting. Pada masa ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin
Qusair (w. 120 H) dan Ashim bin Abi Nujud (w. 127 H).
d. Ilmu
Hadits
Ketika
kaum muslimin telah berusaha memahami Al-Qur’an, ternyata satu hal yang juga
sangat mereka butuhkan, yaitu ucapan-ucapan Nabi yang disebut hadits. Oleh
karena itu, muncul usaha untuk mengumpulkan hadits, menyelidiki asal usulnya
sehingga akhirnya menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri yang dinamakan ilmu
hadits. Di antara para ahli hadits yang termasyhur pada masa dinasti Umayyah
adalah Al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w. 159 H), Hasan Basri (w. 110 H), Ibnu
Abu Malikah (w. 119 H) dan Asya’bi abu Amru Amir bin Syurahbil (w. 104 H).
e. Ilmu
Nahwu
Pada
masa dinasti Umayyah karena wilayahnya berkembang secara luas, khususnya ke
wilayah di luar Arab, maka ilmu nahwu sangat diperlukan. Hal tersebut
disebabkan pula bertambahnya orang-orang Ajam (non Arab) yang masuk Islam.
Oleh karena itu, dibukukan ilmu nahwu dan berkembang menjadi satu cabang ilmu
yang penting untuk mempelajari berbagai ilmu agama.
f. Usaha Penerjemahan
Untuk
kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa dinasti Umayyah dimulai
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa
Arab. Dengan demikian, gerakan penerjemahan telah dimulai pada zaman ini, hanya
baru mengalami perkembangan secara pesat pada masa dinasti Abbasiyah.
4.
Kemunduran
Islam Pada Masa Bani Umayyah
Mu`awiyah
mendirikan Daulah Umayyah
pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat pemerintahan Islam yang
baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke
Damascus. Perpindahan ibu kota tersebut
terjadi melalui proses yang panjang didukung oleh strategi politik yang
dibangun oleh Mu`awiyah. Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa
yang cukup lama, yakni mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang
terakhir.[41]
Dengan
berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah.
Pemerintahan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian khalifah-khalifah
sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun-temurun melalui
pemilihan, seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus pemimipin agama
sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada para
ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh
khalifah.[42]
Selama masa pemerintahan dan kekuasaan
khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak mencapai keberhasilan,
terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah,
seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa
departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat, seperti playanan
pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan
pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.
Kalau
ditelusuri lebih jauh daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya
selama 90 tahun, dengan 14 orang khalifah. Yang dimulai oleh Mu`awiyah Ibn Abi
Sufyan dan ditutup oleh Marwan Ibn Muhammad. Diantara mereka ada
pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di dalam berbagai bidang sesuai dengan
kehendak zamannya, sebaliknya ada pula khalifah yang tidak patut dan lemah.
Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah adalah sebagai
berikut:[43]
a.
Mu`awiyah
Bin Abu Sufyan
b.
Yazid
Bin Mu`awiyah (Abu Khalid al-Umawi)
c.
Mu`awiyah
Bin Yazid
d.
Abdullah
Bin Zubair
e.
Abdul
Malik Bin Marwan
f.
Al-Walid
Bin Abdul Malik
g.
Sulaiman
Bin Abdul Malik
h.
Umar
Bin Abdul Malik
i.
Yazid
Bin Abdul Malik Bin Marwan
j.
Hisyam
Bin Abdul malik
k.
Al-Walid
Bin Yazid Bin Abdul Malik
l.
Yazid
An-Naqish, Abu Khalid Bin Al-Walid
m.
Ibrahim
Bin Al-Walid Bin Abdul Malik
n.
Marwan
Bin Muhammad, Al-Himar
Empat
orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah,
Abdul Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya
memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya
sependapat bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul
Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.[44]
Untuk
memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi
kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah
sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang
akan menggantikan kedudukanya
jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk
mengamankan pencalonann itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para
pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.[45]
Namun
rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka
masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein
bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari
atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan,
melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang
pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.[46]
Setelah
Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang
goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas
dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota.
Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi
dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali
dan berkepanjangan.
Maka
setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau
menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga,
kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah
(pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali.
Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M.
namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang
tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di
kubur di Karbala.[47]
Perlawanan
kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih
keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori
kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang
mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.[48]
selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan
meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun
dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan
gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan
hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut
agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak
diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.[49]
Tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar
yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua
tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn
Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia
terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga
kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik
(724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan
berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani
Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat
serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan
Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani
Abbasiyyah.
Sepeniggal
Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah
tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya
pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan
Abu Muslim al-Khurasani.[50]
Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir,
ditangkap dan dibunuh disana.[51]
Dari
berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata
tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak
luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada
kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar lain sebagai berikut:
a.
Pertentangan
keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu
Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan
Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umayyah
persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung
kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
b.
Ketidak
puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru
dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”,
suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan
orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka
bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang
Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara
tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini
jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang
Arab.
c.
Latar
belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari
konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan
oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan
Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir
kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan,
bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.[52]
Factor
mendasar yang menyebabkan kemunduran Bani Umayyah menurut Mahmudun Nasir adalah
rapuhnya ikatan kekeluargaan Bani Umayyah, berikut diantaranya;
No
|
Faktor
|
Bukti
|
1
|
Pengangkatan
lebih dari 1 putra mahkkota
|
1.
Masa Marwan yang menunjuk 2 putranya sekaligus yaitu Abdul Malik dan Abdul
Aziz
2.
Abdul Malik yang menunjuk 2 putranya yaitu al-Walid 1 dan Sulaiman
|
2
|
Timbulnya
Fanatisme kesukuan
|
Adanya
pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan
(Bani Kalb)
|
3
|
Kehidupan
para khalifah yang melampaaui batas
|
Yazid
III yang gemar minuman keras
|
4
|
Fanatisme
kearaban Bani Umayyah
|
Munculnya
kaum mawalli
|
5
|
Munculnya
kekuatan baru baik dari golongan keagamaan (Syi’ah) dan keturunan al-Abbas
|
|
Sumber:
Ensiklopedi Tematis dan Badddri Yatim
5.
Kehancuran Islam Pada Masa Bani
Umayyah
Secara
Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah
Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya meningkatnya kekecewaan
kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa
Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk
memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut Islam baru, mawali
diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki
kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani
Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara
seharusnya dipimpin oleh penguasa
yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku
bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab
utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni
kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah
merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan
munculnya Daulah Abbasiyyah.[53]
Namun
secara garis besar menurut Badri Yatim faktor yang menyebabkan Daulah Bani
Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain
adalah[54]
:
a.
Sistim
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru
bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak
jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.[55]
b.
Latar
belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah
(pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka
seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa
pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini
banyak menyedot kekuatan pemerintah.
c.
Pada
masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani
Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam,
makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah
mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu,
sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian
timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa
Bani Umayyah
d.
Lemahnya
pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban
berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan
agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang
e.
Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan
kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[56]
6.
Pemerintahan Monokultural, Sekuler, dan Otoriter
Secara bahasa monokultural dapat
diartikan sebagai budaya tunggal yang diyakini oleh masyarakat dan pemerintah sebagai acuan dalam menjalani
hidup , atau dapat juga dikatakan bahwa monokultural itu merupakan bentuk
adanya kesatuan budaya yang sifatnya normatif diantara masyarakat dimana setiap
lapisan masyarakat dituntut untuk memakai cara
yang sama, saling memahami satu sama lain dan berbagi aspirasi yang sama serta
tidak memunculkan adanya pluralisme.
Awalnya pemerintahan itu dibawa oleh
nabi Muhammad dan dasarnya adalah melalui musyawarah dalam memutuskan setiap
perkara. Ketika Al-Qur’an sulit untuk ditafsirkan, maka Nabi melakukan
musyawarah. Pada pemerintahan selanjutnya juga masih menggunakan dasar yang
sama dengan apa yang dilakukan oleh Nabi yaitu pada pemerintahan Khulafaur
Rasyidin. Namun berbeda ketika masa pemerintahan Bani Umayyah, Mu’awiyah tidak
melakukan musyawarah karena pemerintahannya sudah berganti yang tadinya
demokrasi menjadi monarchi. Budaya monarchi inilah yang dikatakan monokultural
pada masa Bani Umayyah. Yang mana pada pemerintahan yang bersifat monokultural
ini segala sesuatu yang menghantam Bani Umayyah menjadi tidak direstui atau
ditentang. Sehingga menimbulkan demokrasi menjadi tidak ada, dan jika ada maka
akan berlawanan dengan system pemerintahan yang dibuat dan digunakan oleh Bani
Umayyah.
Sehinngga bentuk pemerintahan
dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun
temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan
mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya
keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran
umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan
yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis (kerajaan yang turun temurun).
Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan,
diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara
suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia
memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut.
Dalam
istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama
dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan
antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum
sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar
agama. Hal ini dikatakan menunjang
demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas. “Sekularisme”
adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan dari kehidupan
akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Negara sekular
didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara sekular juga dideskripsikan
sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah
agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.
Sejak Mu’awiyah memegang kekuasaan,
gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah hidup di dalam
benteng dengan pengawalan ketat dan
bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan
kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang
jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada
Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar
II).
Bani Umayyah lebih suka hidup mewah,
mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan
menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu
direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru menikmati
kondisi seperti itu
dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban
berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan
agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang. Dari segi ini juga dapat dikatakan
bahwa sekuler terjadi pada masa Bani Umayyah.
Otoriter biasa disebut juga
sebagai bentuk pemerintahan yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada
pada negara tanpa melihat derajat kebebasan individu. Kepemimpinannya dilakukan
oleh seorang pemimpin dengan perilaku otoriter dimana kekuasaan berada di
tangan satu pihak saja. Pemimpin otoriter (diktator) dalam praktik
memimpin ia mengutamakan kekuasaan (power). Dinasti Bani Umayyah bersifat eksklusif
karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan,
orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan
orang-orang Arab.
7.
Analisis
Sebenarnya, dalam setiap pembahasan
yang saya jabarkan sebelumnya sudah mencakup mengenai analisis yang bias saya
uraikan. Namun dalam sub bab kali ini akan saya bahas kembali mengenai hal
tersebut, yaitu sebagai berikut;
Bentuk pemerintahan dinasti atau
kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya
untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan
Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang
kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan
yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis
(kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan ataupun dengan cara suara terbanyak. Muawiyyah tetap
menggunakan istilah khilafah, namun dia memberikan interpretasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut
Namun pada masa Bani Umayyah,
fungsi dan kedudukan Baitul Mal telah bergeser, sebab Khalifah memiliki wewenang
yang besar untuk menggunakan harta Baitul Mal sesuai keinginannya.
Kewenangannya, khalifah menggunakan harta tersebut untuk kepentingan pribadi
maupun keluarganya. Kecuali Khalifah Umar II, semua Khalifah memperlakukan
Baitul Mal seperti itu. Khalifah Umar II berusaha mengembalikan fungsi dan
kedudukan Baitul Mal sebagaimana yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin.
Bani Umayyah juga meninggalkan tradisi musyawarah dan keterbukaan yang
dirintis oleh pendahulunya.
Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Dinasti Umayah antara lain :
a.
Unsur
pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
b.
Khalifah
adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
c.
Kedudukan
khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan
karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan
haknya
d.
Dinasti
ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik
atau perluasan wilayah kekuasaan Negara
e.
Dinasti
ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab
duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang
sama luasnya dengan orang-orang Arab
f.
Qadhi
(hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Disamping itu dinasti
tidak meninggalkan unsur agama dalam pemerintahan. Formalitas agama tetap
dipatuhi dan terkadang menampilkan citra dirinya sebagai pejuang Islam.
Kurang melaksanakn musyawarah.
Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute walupun belum begitu menonjol
Secara bahasa monokultural dapat
diartikan sebagai budaya tunggal yang diyakini oleh masyarakat dan pemerintah
sebagai acuan dalam menjalani hidup , atau dapat juga dikatakan bahwa
monokultural itu merupakan bentuk adanya kesatuan budaya yang sifatnya normatif
diantara masyarakat dimana setiap lapisan masyarakat dituntut untuk memakai cara yang sama, saling memahami satu sama lain
dan berbagi aspirasi yang sama serta tidak memunculkan adanya pluralisme.
Awalnya pemerintahan itu dibawa oleh
nabi Muhammad dan dasarnya adalah melalui musyawarah dalam memutuskan setiap
perkara. Ketika Al-Qur’an sulit untuk ditafsirkan, maka Nabi melakukan
musyawarah. Pada pemerintahan selanjutnya juga masih menggunakan dasar yang
sama dengan apa yang dilakukan oleh Nabi yaitu pada pemerintahan Khulafaur
Rasyidin. Namun berbeda ketika masa pemerintahan Bani Umayyah, Mu’awiyah tidak
melakukan musyawarah karena pemerintahannya sudah berganti yang tadinya
demokrasi menjadi monarchi. Budaya monarchi inilah yang dikatakan monokultural
pada masa Bani Umayyah. Yang mana pada pemerintahan yang bersifat monokultural
ini segala sesuatu yang menghantam Bani Umayyah menjadi tidak direstui atau
ditentang. Sehingga menimbulkan demokrasi menjadi tidak ada, dan jika ada maka
akan berlawanan dengan system pemerintahan yang dibuat dan digunakan oleh Bani
Umayyah.
Sehinngga bentuk pemerintahan
dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun
temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan
mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya
keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran
umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Pemerintahan
yang pada awalnya bersifat demokratis berubah menjadi monarchihelidetis
(kerajaan yang turun temurun). Kekhalifahan muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan ataupun dengan cara
suara terbanyak. Muawiyyah tetap menggunakan istilah khilafah, namun dia
memberikan interpretasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut.
Dalam
istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama
dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan
antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum
sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini
dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
“Sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan
memalingkan dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada
dunia. Negara sekular didefinisikan melindungi kebebasan beragama. Negara
sekular juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur
dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau
kekuatan politik.
Bani Umayyah lebih suka hidup mewah,
mengembangkan budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), serta tidak segan-segan
menggunakan kekerasan untuk tujuan politiknya. Dan tampaknya hal seperti itu
direstui oleh sang Khalifah. Bahkan, para Khalifah Bani Umayyah justru
menikmati kondisi seperti itu dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah
tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan,
disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap
perkembangan agama sangat kurang.
Dari segi ini juga dapat dikatakan bahwa sekuler terjadi pada masa Bani
Umayyah.
Otoriter biasa disebut juga sebagai bentuk pemerintahan
yang bercirikan oleh penekanan kekuasaan hanya ada pada negara tanpa melihat
derajat kebebasan individu. Kepemimpinannya dilakukan oleh seorang pemimpin
dengan perilaku otoriter dimana kekuasaan berada di tangan satu pihak
saja. Pemimpin otoriter (diktator) dalam praktik memimpin ia mengutamakan
kekuasaan (power).
Dinasti Bani Umayyah bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang
berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat
kesempatan yang sama luasnya dengan orang-orang Arab.
D.
Penutup
Berdasarkan kajian mengenai
Mu’awiyah tersebut mengenai pola pemerintahannya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut;
1.
Bani
Umayyah adalah salah satu dari keluarga suku Quraisy, keturunan Umayyah bin
Abdul Syams bin Abdul Manaf. Pada umumnya sejarah memandang negative terhadap
Mu’awiyah, disamping cara perolehan legalitas kekuasaannya identic dengan tipu
muslihat, kelicikan juga diperkuat dengan adanya kebijakan yang mengejutkan
yang tidak pernah dilakukan sebelumnya yaitu pemberlakuan system monarchihereditas
(kerajaan turun temurun).
2.
Konsep
pemerintahan Bani Umayyah bertolak belakang dengan konsep pemerintahan
sebelumnya yaitu pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan,
diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Sejak Mu’awiyah
memegang kekuasaan, gaya hidup seorang Khalifah sudah berubah drastis. Mu’awiyah
hidup di dalam benteng dengan pengawalan ketat dan
bermewah-mewah sebagai raja. Tradisi “Harem” dan perbudakan ditumbuhkan
kembali. Pesta-pesta diadakan di istana, lengkap dengan hiburan-hiburan yang
jauh dari nilai-nilai Islam. Hal seperti ini diwariskan kepada
Khalifah-Khalifah sesudahnya kecuali pada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar
II).
Bani Umayyah juga meninggalkan
tradisi musyawarah dan keterbukaan yang dirintis oleh pendahulunya. mu’awiyyah
telah menjadikan pejabat-pejabatnya kebal hokum dan ia menolaknya dengan
penolakan yang keras untuk meminta pertanggungjawaban mereka sesuai hokum-hukum syariat atas perbuatan
aniaya dan pelanggaran batas yang mereka lakukan
3.
Ciri-Ciri Sistem Pemerintahan Dinasti
Umayah antara lain :
a.
Unsur
pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik dan ekonomi
b.
Khalifah
adalah jabatan sekuler dan berfungsi sebagai kepala pemerintahan eksekutif
c.
Kedudukan
khalifah masih mengikuti tradisi kedudukan syaikh (kepala suku) Arab, dan
karenanya siapa saja boleh bertemu langsung dengan khalifah untuk mengadukan
haknya
d.
Dinasti
ini lebih banyak mengarahkan kebijaksanaan pada perluasan kekuasaan politik
atau perluasan wilayah kekuasaan Negara
e.
Dinasti
ini bersifat eksklusif karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab
duduk dalam pemerintahan, orang-orang non Arab tidak mendapat kesempatan yang
sama luasnya dengan orang-orang Arab
f.
Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam
memutuskan perkara. Disamping itu dinasti tidak meninggalkan unsur agama dalam
pemerintahan. Formalitas agama tetap dipatuhi dan terkadang menampilkan citra
dirinya sebagai pejuang Islam.
g.
Kurang
melaksanakn musyawarah. Karenanya kekuasaan khalifah mulai bersifat absolute
walupun belum begitu menonjol.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy,
Ahmad. 2009. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta:
AkbarMedia
Amin,
Ahmad. 1972. Dhuha al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah. Jilid I
Amin,
Samsul Munir. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
As-Suyuthi,
Imam. 2001. Tarikh Khulafa’, Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin,
Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Bakar,
Istiana Abu. 2008. Sejarah Peradaban Islam
untuk perguruan tinggi Islam dan umum,UIN malang pres. Cet-1
Ensiklopedi
Islam Vol. 3. 2003. (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove. Jakarta
Ensiklopedi
Islam. 1993. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,. Cet 1
Firdaus,
Maidir Harun. 2001. Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN IB Press
Fu’adi,
Imam. 2011 Sejarah Peradaban Islam Yogyakarta : Teras
Ghazali,
Adeng Muchtar. 2004. Perjalanan Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah
Bandung: CV.Pustaka setia. Cet. II
Hitti,
Philip K. 1970. History of Arabs,
London: Macmillan
Juliansyah,
Yusri. Politik Dan Sistem Pemerintahan Bani Umayyah. (http://yusrijuliansyah.blogspot.com)
Mufrodi,
Ali. 1997. Islam di Kawasan Arab.
Jakarta: Logos
Muslim,
Sajadah. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
Sawiy,
Khairudin Yujah. 2005. Perebutan Kekuasaan Khalifah: Minyingkap dinamika
dan sejarah politik kaum sunni, Yogyakarta: Safria Insani Press. Cet II.
Sunanto,
Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media
Syalaby,
Ahmad. 1993. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, Jakarta: Pustaka
Al-Husna
Yatim,
Badri. 2001. Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII
[1]
Khawārij (secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah
umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya
mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama
kali muncul pada pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan
merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan Syi'ah, (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia).
[2]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, Hlm. 43
[3]
Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[4]
Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,
(Jakarta: AkbarMedia, 2009), Hlm. 181
[5]
Samsul Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009),
Hlm. 118
[6]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), Hlm. 70
[7] Ahmad
Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[8] Ahmad
Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jil. II, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1993), Hlm. 30-34
[9]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), Hlm.
13
[10]
A. Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. (Jakarta: Pustaka Al Husna
Baru, 2003). Hlm. 22-23
[11]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN IB
Press, 2001). Hlm. 80
[12] Ensiklopedi
Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993). Cet 1. Hlm. 132
[13]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN IB
Press, 2001). Hlm. 80
[14]
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta : Teras, 2011) Hlm 71
[15]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
Islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, Hlm. 42
[16]
Sajadah Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[17] Sajadah
Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[22] Yusri
Juliansyah. Politik Dan Sistem Pemerintahan Bani Umayyah. (http://yusrijuliansyah.blogspot.com)
[23] Istiana Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi Islam dan umum,UIN
malang pres,2008, Cet-1, Hlm.49
[24]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2000), Hlm. 45
[25] Samsul
Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 123
[26] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), Hlm. 75
[27] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), Hlm. 78
[28] Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada;
Jakarta: 2001). Hlm. 45
[29]
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung: CV Rusyda, 1987, cetakan
pertama), Hlm. 104
[30] Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada;
Jakarta: 2001). Hlm. 47
[31] Sajadah
Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[32] Sajadah
Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[33] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik:
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm.
38
[34] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo:
Maktabah al-Nahdah, 1972), jilid I., Hlm. 262.
[35] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm. 39
[36] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm.43
[37] Sajadah
Muslim. Sejarah Perkembangan Islam Di Masa Bani Umayyah. (http://sajadahmuslimku.blogspot.com)
[38]
Ajid Thohir, Op.Cit., hlm. 36
[39] Ibid.,
Hlm. 37
[40] Samsul
Munir Amin, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hlm. 133-135
[41] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar
Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 248
[42] Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT.
Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 247
[43]
Imam As-Suyuthi, Tarikh
Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani
Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001). Hlm. 229 –
304
[44] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M).
Hlm. 72
[45]
Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm.
248
[46] Ensiklopedi
Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT. Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003). Hlm. 248
[47]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II,
(Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 45
[48] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II,
(Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 46
[49] Badri Yatim. Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja
Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 47
[50] Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada;
Jakarta: 2001). Hlm. 48
[51] Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam,
Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada;
Jakarta: 2001). Hlm. 47
[52]
Ali Mufrodi. Islam di Kawasan
Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M).
Hlm. 83-84
[53]
Adeng Muchtar Ghazali. Perjalanan
Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia;
Bandung: 2004). Hlm. 56
[54] Adeng Muchtar Ghazali. Perjalanan Politik Umat Islam dalam
Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia; Bandung: 2004). Hlm.
48-49
[55] Philip K. Hitti, History of Arabs,
(London: Macmillan, 1970). Hlm. 281
[56]
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II,
(Cet. XII, PT. Raja Grafindo Persada; Jakarta: 2001). Hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar