Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH TENTANG PAEDOFIL


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum,[1] dimana dalam penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan hukum. Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan oleh karena itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Konsep dasar negara hukum di Indonesia yakni konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid. Adapun ciri-ciri negara hukum rechtsstaat yaitu:[2]
1.      Adanya perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
2.      Adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara untuk menjamin perlindungan HAM.
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4.      Adanya peradilan administrasi.
Dari uraian di atas nahwa penting adanya sebuah perlindungan untuk menjamin hak-hak dasar warga negara, yang dikenal dengan sebutan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dimana secara sederhana Franken memberi pengertian hak-hak dasar sebagai hak-hak yang dimiliki setiap orang dan dijamin bebas dari suasana campur tangan negara.[3]
Permasalahan yang penting kiranya untuk membahas perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam segala bidang aspek kehidupan, khususnya perlindungan terhadap anak di Indonesia. Banyaknya bermunculan permasalahan-permasalahan tindak pidana terhadap anak seperti maraknya perbuatan asusila, kekerasan seksual dan perbuatan cabul terhadap anak, menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia juga masyarakat dunia. Dimana saat sekarang ini banyak sekali pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik yang memberitakan kejadian tentang kekerasan seksual terhadap anak.
Anak sebagai makhluk sosial yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, harus dilindungi sejak dalam kandungan hingga sampai saat dilahirkan, selain itu anak juga mempunyai hak untuk hidup, merdeka, serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat behkan perlindungan dari negara, sehingga tidak ada seorang pun manusia maupun pihak lainnya yang dapat merampas hak hidup dan merdeka tersebut, termasuk para paedofil.Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang wacana hukuman kebiri bagi paedofil demi kehidupan anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan paedofil?
2.      Apa dampak yang ditimbulkan bagi korban pelaku paedofil?
3.      Bagaimana peran negara dalam menangani paedofil di Indonesia?

C.  Tujuan
1.      Untuk menjelaskan definisi dari paedofil.
2.      Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan bagi korban pelaku paedofil.
3.      Untuk menjelaskan peran negara dalam menangani paedofil di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian kekerasan Seksual Paedofil dan Penyebabnya
Anak-anak diibaratkan seperti kertas putih yang belum ternoda, watak yang masih polos dan masa inilah permainan serta canda tawa adalah dunia mereka, dunia anak-anak. Namun, bagaimana seandainya di masa itu mereka harus menerima kenyataan diperlakukan kasar secara fisik maupun mental yang dapat mencidrai mereka, seperti maraknya kejahatan paedofil terhadap anak.
Paedofil adalah orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak.[4] Penderita paedofil memiliki perilaku menyimpang dimana ia memilih anak-anak di bawah umur sebagai obyek pemuasan kebutuhan seksualnya.
Manurut Marzuki Umar Sa’abah, paedofil adalah penyakit kejiwaan dimana seseorang mempunyai penyimpangan seksual, yakni mempunyai kecenderungan seksual terhadap anak.[5]
Menurut kamus kesehatan, paedofil adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13 tahun. Penderita paedofil berusia lebih dari 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak. Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada laki-laki. Individu dengan gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk mendapatkan akses dan kepercayaan dari anak-anak.[6]
Pedofilia adalah gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk terlibat dalam tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan jenis. Tiga puluh persen dari anak-anak korban kejahatan pedofilia dilecehkan oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang dewasa yang mereka kenal dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10 persen anak-anak yang mengalami kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[7]
Seringkali pelaku pedofilia adalah orang yang pernah menjadi korban pedofilia ketika pelaku masih berusia anak-anak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak yang sekarang menjadi korban pedofilia, di kemudian hari bisa berubah menjadi pelaku pedofilia.
Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa perilaku pedofilia berkaitan erat dengan mental dan pengaruh lingkungan yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku sebagai seorang pedofilia. Kenangan buruk di masa kanak-kanak, terutama dalam hal yang bersifat seksualitas, akan sangat berpengaruh kepada sikap mental dan perilaku dari pelaku seseorang di kemudian hari, yang semakin mendorong seseorang menjadi seorang pedofilia.
Kedua orangtua yang terlibat aktif dalam masyarakat industri, misalnya sebagai pekerja yang seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak pada melalaikan kewajiban mendidik anak, sehingga anak telantar. Ketidakmampuan orangtua melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya anaknya banyak sementara penghasilan minim, sehingga perhatian terhadap anak tidak penuh. Ketiadaan orang tua sebagai panutan di dalam kehidupan anak-anak, menjadikan anak-anak tersebut mencari pehatian di luar rumah, yang tentu saja sangat rawan mengingat sang anak akan berhadapan dengan berbagai macam perilaku yang mungkin saja perilaku tersebut tidak akan ditemui di lingkungan keluarganya.
Kehidupan dan perilaku di luar rumah yang banyak menyimpang tersebut, misalkan adalah merokok, minum minuman keras, perilaku sex bebas termasuk di dalamnya adalah penyimpangan perilaku seksual yaitu praktek hubungan sejenis dan perilaku pedofilia. Hal-hal tersebut yang seringkali luput dari perhatian dan pemahaman dari orang tua, bahwa apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarganya, akan mencoba selalu mencari perhatian di luar lingkungan keluargnya.
Khusus terhadap perilaku pedofilia, seringkali diberitakan terjadi pada masyarakat golongan ekonomi bawah namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masyarakat yang perekonomiannya telah mapan, sebab fenomena perilaku pedofilia ini ditakutkan hanyalah sebagai puncak gunung es, yang hanya kita ketahui puncaknya, namun ternyata menyimpan begitu banyak fakta yang belum terungkap. Hal inilah yang kiranya perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya dari setiap keluarga namun juga dari pemerintah sebagai stake holder dari pengambil kebijakan bagi perlindungan anak di Indonesia.terlebih pada saat ini, perilaku seorang anak juga dipengaruhi dari berbagai informasi dari media eletronik maupun media online yang seringkali menyebarkan berita yang tidak mendidik bagi perkembangan anak.  
Berbagai hal tersebut, kiranya dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat berperilaku sebagai pedofilia, akan tetapi pengalaman buruk merupakan faktor utama yang menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang sebagai seorang pedofilia, hal ini disebabkan timbulnya rasa sakit hati dan dendam dalam diri seorang anak yang secara terpaksa pernah mengalami penyimpangan seksual, sehingga muncul keinginan untuk melakukaan hal yang sama di kemudian hari ketika anak tersebut telah dewasa. Bagi seorang anak yang menjadi korban pedofilia, tentunya akan sangat sulit untuk melupakan kejadian yang menimpanya dan kenangan buruk tersebut akan terus membekas sepanjang hidupnya sehingga diperlukan peranan keluarga di dalam mencegah terjadi praktek pedofilia. Kasih sayang dari orang tua merupakan hal yang mutlak yang harus terpenuhi demi menjaga seorang anak sehingga terhindar menjadi korban pedofilia.

B.  Teori Perlindungan Anak
Salah satu upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak adalah dengan meningkatkan perlindungan anak. Dalam rangka peningkatan perlindungan anak ini, maka pemahaman terhadap hak-hak anak yang terdapat dalam ketentuan hukum menjadi penting dan perlu mendapat perhatian khusus. Sehingga tepat pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Persidangan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan Hak-Hak Anak. Secara garis besar di dalam deklarasinya tersirat 10 asas tentang hak anak dimana salah satunya adalah hak memperoleh perlindungan khusus.[8]
Tentang aspek hukum perlindungn anak, beberapa sarjana memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
Menurut Arif Gosita, sebagaimana yang dikutip oleh Irma bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.[9]
Menurut Bismar Siregar, sebagaimana yang dikutip oleh Irma menyebutkan aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.[10]
Menurut Mr. J.E. Doek dan Mr. Drewes memberi pengertian sebagaimana yang dikutip oleh Irma, jengdrecht (hukum (perlindungan) anak muda) dalam 2 pengertian masing-masing yaitu pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas yaitu segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang. Dalam pengertian sempit meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam:
1.      Ketentuan hukum perdata (regels van civilel recht)
2.      Ketentuan hukum pidana (regels van strafrecht)
3.      Ketentuan hukum acara (procesrechtelijke regels).[11]

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ketentuan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual termasuk paedofil, yang diterangkan dalam Pasal 18 yang berbunyi:
(1)   Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)   Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.[12]


C.  Hukuman Kebiri bagi Paedofil[13]
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul.[14]
Metode kebiri secara garis besar ada dua macam, yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit gairahseks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Kebiri dengan pembedahan yakni pengangkatan (amputasi) testis sebagai tempat produksi hormon testosteron. Cara ini sudah ditinggalkan di dunia modern karena dianggap menentang HAM. Sedangkan cara kedua dengan menyuntikkan cairan kimiawi yang memusnahkan libido seksualnya.Kedua model kebiri ini sama-sama melumpuhkan fungsi organ vital laki-laki dalam hal seksualitas. Namun untuk jenis suntikan kimiawi, ada yang hanya bersifat sementara dan bisa pulih kembali.
Catatan sejarah yang ada menyebutkan, pengebirian yang dilakukan dengan sengaja berasal dari Kota Lagash di Sumeria (Asiria). Mereka yang dikebiri umumnya budak lelaki yang biasa disebut Kasim. Para kasim ini biasanya dipekerjakan dan diterima pada kelas sosial istimewa dan biasanya menjadi pegawai birokrasi atau pengurus rumah tanga istana.
Di Tiongkok kuno, pengebirian merupakan salah satu bentuk hukuman tradisional (hingga Dinasti Sui) dan sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana kaisar. Ketika Dinasti Ming berakhir tahun 1644, tercatat ada 70 ribu orang kasim di istana kaisar.Yang sangat menyedihkan adalah praktek pengebirian di China kuno yaitu para orang tua memaksa anaknya untuk melakukan itu demi mendapat uang dan mendapat pengakuan sebuah “kebanggan” bahwa anaknya menjadi kasim kekaisaran.
Sementara di beberapa tempat lain, pengebirian dilakukan karena kepercayaan terhadap sekte. Seperti para pengikut Sekte Skoptzi dari Rusia pada abad ke-18. Anggota-anggotanya menganggap pengebirian sebagai cara untuk menolak dosa-dosa jasmani. Orang-orang Hijra dari India masih mempraktikkan ritual pengebirian dengan membuang penis dan buah pelirnya.
Di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha mendapat suara soprano pada anak laki-laki di Italia hingga upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral pada agama tertentu. Kebiri juga dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta populasi kelompok tertentu.[15]
Pidana kebiri (kastrasi) memang belum ada dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Di Indonesia menurut pasal 10 KUHP baru dikenal 4 sistem pemidanaan yakni pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, juga ada satu lagi jenis pemidanaan baru menurut UU NO 20 Tahun 1946 tentang pidana tutupan.
Pidana kebiri merujuk kepada keprihatinan penulis akan semakin maraknya tindak pidana pemerkosaan di negeri ini, seakan berita di negeri ini tak ada habisnya dalam memberitakan kasus-kasus tersebut, terlebih yang menjadi korbannya banyak juga di kalangan anak-anak.
Pidana kebiri sebetulnya sudah pernah dilakukan di beberapa Negara seperti KORSEL, Ceko, Polandia, Jerman dan Madolva sudah melakukan pemidanaan ini terhadap pelaku kejahatan seksual terlebih dengan korbannya anak-anak.
Pidana kebiri sekilas memang dilihat sebagai suatu jenis pemidanaan yang sadis sepertinya, namun sesungguhnya tidaklah sesadis terhadap apa yang dilakukan oleh si pelaku terhadap korban yang telah diperkosanya. Para korban yang telah hancur masa depannya, mereka telah hilang kehormatannya dan mengalami depresi yang berkepanjangan, sehingga pidana kebiri adalah hukuman yang pantas diberikan kepada pelaku pemerkosa.
Bagi pelaku pedofilia, kiranya juga harus kita pahami bahwa meskipun sebagai tersangka ataupun terdakwa, namun apabila kita pahami landasan filosofis dari KUHAP adalah sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Yahya Harahap menyebutkan,[16] “Dengan landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum maupun Tersangka/ Terdakwa adalah :
1.    Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan berkat rahmat Tuhan;
2.    Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa:
a.    Tidak ada perbedaan asasi di antara sesama manusia
b.    Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan
c.    Setiap manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali
d.    Fungsi dan tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.

Dari landasan filosofis tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik terhadap pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan demikian hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi manusia bagi korban kejahatan tersebut.
Wacana pengebirian bagi pelaku pedofilia, harus kita telaah kembali segi positif maupun negatifnya, mengingat, khususnya bagi seorang Hakim, tidak boleh menjatuhkan pidana hanya berdasarkan emosi sesaat saja atau berdasarkan tuntutan masyarakat namun tuntutan tersebut hanyalah berdasarkan rasa ingin membalas dendam atas perilaku pedofilia tersebut. Lebih lanjut, pernah dilakukan sebuah penelitian ilmiah, namun tentunya perlu lebih ditelaah lebih lanjut, bahwa tindak pidana pedofilia dalam hukum Islam, dari segi unsur-unsur perbuatannya, tindak pidana ini sekilas memang masuk dalam kategori zina, tapi bentuk tindak pidana pedofilia lebih menekankan pada korban yang masih anak-anak, sehingga apabila melihat dari sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku zina, maka sanksi bagi pelaku tidak pidana pedofilia haruslah lebih berat karena melihat pada aspek bahaya yang ditimbulkannya juga lebih besar, sedangkan dalam hukum positif Indonesia, sanksi penjatuhan pidana bagi pelaku pedofilia memang tidak diatur secara khusus, akan tetapi, dalam penjatuhan pidananya, sanksi tersebut merujuk pada penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual atau pun pencabulan, yang terdapat KUHP maupun peraturan lainnya.[17]
Oleh karenanya, sebelum wacana pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut, perlu kiranya kita mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.    Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi manusia dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar hak asasi dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena dalam beberapa kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga dalam arti memilki istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara kimia di India, maka para aktivis hak asasi manusia menentang praktek kebiri kimia paksa, dan menyebut itu sebagai sebuah tindakan melawan kebebasan dan kemanusiaan. Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok maupun kimiawi dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro dan kontra khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia;
2.    Pelaku pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan keturunan;
3.    Pelaku pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku pedofilia tidak serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa;

Wacana penjatuhan hukuman berupa pengebirian terhadap pelaku pedofilia harus melalui pertimbangan yang matang bahwa hukuman tersebut tidak menghapuskan hak dari pelaku untuk mendapatkan kehidupan yang normal. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya perilaku pedofilia lebih pada rusaknya kesehatan mental dari pelaku yang menganggap perilaku pedofilia dalah perilaku yang wajar.
Pendekatan secara keagamaan dan secara personal kiranya lebih ampuh untuk menyembuhkan penyakit moral dari pelaku pedofilia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan terapi-terapi secara keagamaan dengan melakukan “cuci otak” bahwa perilaku pedofilia adalah perilaku yang dilarang oleh agama dan perilaku pedofilia dapat disembuhkan dengan terapi secara terus-menerus, sehingga dapat memberikan kesadaran bagi pelaku pedofilia akan segala kesalahannya.
Perilaku pedofilia tidak semata-mata merupakan perilaku kriminal semata, akan tetapi juga merupakan gangguan psikologis atau mental dari pelakunya yang masih bisa disembuhkan, maka terhadap pelaku pedofilia dijatuhi pidana maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, pelaku pedofilia harus dijatuhi pidana tambahan berupa REHABILITASI MENTAL dalam jangka waktu tertentu. Hal ini kiranya sejalan dengan pemikiran psikolog seksual Zoya Amirin, yang menyatakan hukuman kebiri menurutnya tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya masalah mental pada pelaku pedofil selain dipenjara juga ditangani dengan rehabilitasi. Rehabilitasi mental memang tak menyembuhkan hasrat seksualnya namun mampu mengontrol ketika hasrat tersebut datang.[18] Jangan sampai wacana pengebirian terhadap pelaku tindak pidana hanya didasarkan pada alasan membalas dendam dan karena emosi sesaat saja tanpa dipertimbangkan efek jangka panjang, termasuk juga harus dipikirkan pula hak bagi korban pedofilia yang dapat menjaga korban pedofilia tidak menjadi pelaku pedofilia di kemudian hari.
Dengan demikian wacana melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia hendaknya dipertimbangkan kembali dalam arti bahwa perlu adanya suatu penelitian yang mendalam terhadap efektivitas dari tindakan pengebirian terhadap pelaku pedofilia. Perlu dilakukan survey-survey untuk mengetahui lebih mendalam penyebab seseorang menjadi pelaku pedofilia. Dalam pandangan penulis, penyebab seseorang bisa menjadi pelaku pedofilia adalah selain karena sakitnya mental dari sang pelaku tersebut akibat trauma pengalaman buruk ketika masih kanak-kanak menjadi korban pedofilia, namun juga bisa dikarenakan makin gencarnya informasi melalui media elektronik maupun media sosial mengenai perilaku seksual yaang menyimpang yang terjadi di seluruh dunia. Peranan media massa baik media elektronik maupun media online, sangat memberi peran bagi seseorang untuk melakukan perilaku seksual menyimpang.
Dalam hal ini diperlukan ketegasan dari pemerintah sebagai regulator dari adanya berita-berita dari media massa baik mediaa elektronik maupun media online, untuk setidaknya mempersempit ruang beredarnya berita-berita yang sifatnya negatif. Akan tetapi harus diakui pula bahwa sangat sulit untuk membendung beredarnya berita, utamanya melalui media online, penulis teringat seorang nara sumber dalam sebuah seminar tentang informasi elektronik yang diadakan di Semarang beberapa tahun yang lalu yang mengatakan bahwa ketika sebuah situs web akan diblokir, maka karena kecanggihan tekhnologi informasi, maka web yang diblokir tersebut akan memecahkan diri menjadi beberapa nama situs web baru dan ketika diblokir lagi, maka akan memecahkan diri lagi, demikian seterusnya. Sehingga dari pihak pemerintah, diperlukan penggunaan tekhnogi informasi yang lebih canggih lagi dalam rangka menyaring informasi-informasi yang bersifat negatif dari media online.

D.  Hukuman Kebiri dalam Perspektif Islam
Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
Pertama, syariah Islam dengan tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al Qurthubi (Al Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus Salam, 3/110). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan, hlm. 90).
Dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai haramnya kebiri sebagai berikut:

وقال ابن حجر : هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم

“Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu kebiri pada manusia.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil Mathrudi berkata :

أجمع العلماء على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز

“Para ulama telah sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil Mathrudi,Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata:

رد رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له لاختصينا

Rasulullah SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul, niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).

Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata:

كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن ذلك

“Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri. Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; muslim no 1404; Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (taqiyuddin an nabhani, An NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)

Kedua, syariah Islam telah menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya, sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan syariahIslam itu. Dalil haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah firman Allah SWT:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al Ahzab [33]: 36).

Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang tertentu dari syariah Islam. Maka dari itu haram hukumnya menerapkan hukumkebiri untuk pelaku pedofilia, karena syariah Islam sudah menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.
Adapun rincian hukuman dalam Islam untuk pelaku pedofilia adalah sebagai berikut:
1.    Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah perbuatan zina, hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu dirajam jika sudahmuhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali jika bukan muhshan.
2.    Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman mati, bukan yang lain.
3.    Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zinaatau homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 93).

Ketiga, dalam hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan. Padahal Islam telah mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya perempuan menyerupai laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال

Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki menyerupai wanita atau perbuatan wanita menyerupai laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah) bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan).

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة إلى الحرام محرمة

“Al-Wasilah ila al-haram muharromah.” (Segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).

Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas, menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.
E.  Pro dan Kontra tentang Hukuman Kebiri bagi Paedofil[19]
Pemerintah Indonesia berencana mengeluarkan peraturan untuk menghukum pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan cara dikebiri. Dikarenakan di Indonesia sudah tidah dapat dihitung lagi kasus kekerasan seksual yang mengorbankan anak-anak, sehingga hal itu akan mengancam kehidupan generasi penerus bangsa.
Data Lembaga Perlindungan anak menunjukkan, hingga kini terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya merupakan kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) menyebutkan ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. (Koran Tempo, 23/10/2015).
Kasus pedofilia terakhir melibatkan seorang anak perempuan berusia 9 tahun yang ditemukan sudah meninggal di dalam kardus. Dari laporan kepolisian ditemukan bukti-bukti pemerkosaan sebelum terjadi pembunuhan.
Pernyataan Khofifah langsung ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Berikut ini merupakan tanggapan para tentang wacana hukuman kebiri bagi pelaku paedofil di Indonesia:
1.    Masruchah(anggota Komnas Perempuan)



Masruchah, anggota Komnas Perempuan menolak hukuman kebiri untuk pedofilia. Beliau menolak huiuman kebiri karena hal itu merupakan sebagian dari pelanggaran HAM. Jika efek jera yang dicari maka dapat dilakukan dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku pada saat ini.
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp 60.000.000 - Rp. 300.000.000.

2.      dr. Boyke Dian Nugraha (Pakar seksologi)
Pakar seksologi dr. Boyke Dian Nugraha menilai hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidak efektif.Alasannya, pelaku kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama kondisi mentalnya tidak diobati. Menurut dr. Boyke, yang sakit itu jiwanya. Sedangkan kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya.
Cara terbaik menghadapi pedofilia, menurut Boyke, adalah dengan memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.Kemudian anak-anak diberikan pendidikan seks sehingga mereka bisa melindungi diri sendiri dari monster seksual (paedofil).

3.      Seto Mulyadi(Pemerhati anak)
Seto Mulyadi meminta pemerintah untuk mengkaji ulang wacana memberikan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Beliau meminta agar pemerintah mempertimbangkan hukuman kebiri berdasarkan aspek kesehatan dan psikologisnya.
Alasannya, secara psikologis, pelaku yang dikebiri ini dapat bertindak lebih agresif. Jadi pelaku bukan sekadar menyasar kekerasan seksual, tetapi menyasar ke kekerasan segala-galanya.

4.      Ahok (Gubernur DKI Jakarta)
Berbeda dengan praktisi kesehatan dan aktivis perempuan, Gubernur DKI Jakarta setuju dengan sikap pemerintah pusat tentang hukuman kastrasi atau kebiri bagi pelaku kekerasan seksual (paedofil).

5.      HM. Prasetyo (Jaksa Agung)



Jaksa Agung HM. Prasetyo menilai kejahatan kekerasan seksual terhadap anak harusnya menjadi kejahatan luar biasa, atau extraordinary crime, sehingga harus ada pula penanganan proses penegakan hukum yang luar biasa.
Landasan hukum yang paling dinilai cepat yaitu Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Menurut beliau jika harus ada revisi UU akan memakan waktu yang lama.

6.      Badrodin Haiti(Kepala Polisi RI)
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyambut baik usulan tentang hukuman kebiri bagi pelaku paedofil. Alasannya, hukuman tambahan itu dapat memberikan efek jera para predator anak.Hukuman tambahan tersebut nanti diusulkan masuk ke dalam Uudang-undang atau mengeluarkan Perppu.

7.      Arist Merdeka Sirait (Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak)
Arist yakin hukuman dikebiri sebagai pemberatan hukuman pelaku kekerasan seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan anak.Hukuman tersebut bisa memberikan efek jera kepada predator, ditambah dengan diterapkan sanksi sosial yakni menyebarluaskan serta menempel foto-foto pelaku di tempat-tempat umum. Karena menurut beliau, dikebiri itu bukan diputus hasrat seksual tetapi dikontrol sehingga tidak melakukan tindakan seksual.
Menurut beliau kekerasan fisik dan seksual harus dimasukkan menjadi kejahatan luar biasa yang setara dengan kejahatan narkoba, psikotropika, dan terorisme. Kejahatan seksual pada anak, pemerkosaan, pembunuhan merupakan kejahatan luar biasa.

Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran Tempo, 23/10/2015).

F.   Membangun Kesadaran Masyarakat Akan Bahaya Paedofil
Sangat penting bagi masyarakat khususnya bagi setiap orang tua untuk memahami perilaku pedofilia yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Waspada orang tua dari pedofilia tentunya harus selalu dilakukan, karena yang kita tahu bahwa saat ini di Indonesia sedang marak terjadi kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak. Ketika kebanyakan orang membayangkan fisik penganiaya anak seperti monster atau berwajah bengis, itu merupakan kesalahpahaman yang telah mengakar pada kebanyakan orang. Penganiaya anak berasal dari semua lapisan masyarakat dan dari semua kelompok sosial ekonomi. Mereka bisa menjadi laki-laki atau perempuan, dari kalangan, agama, dan ras apapun.
Seringkali keberaradaan seorang anak dalam keluarga sering diabaikan, atau bahkan anak sering menjadi obyek kekerasaan di dalam keluarga. Seorang dosen Fakulta Hukum Unversitas Jember mengatakan bahwa fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering menggayuti kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami stres dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat 2 (dua) upaya untuk melakukan upaya perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah:
1.    Harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat.
2.    Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Disamping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga. 

Kehangatan dari orang tua sangat penting dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Kehadiran kedua orang tua akan memberikan rasa aman, nyaman dan tenang bagi anak-anak dalam keluarga tersebut, termasuk dalam menjadi benteng pengaman bagi anak dari pengaruh lingkungan yang bersifat negatif.
Kiranya, pelukan hangat dari orang tua mampu menjadi wujud kasih sayang orang tua kepada anak dan sebagai orang tua, sempatkanlah waktu walau hanya sejenak untuk bermain bersama anak sehingga anak merasa disayang dan dilindungi oleh orang tuanya.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Dari uraian mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pedofila adalah perilaku seksual yang menyimpang yang harus diwaspadai.
2.      Seorang anak yang pernah menjadi korban pedofilia berpotensi menjadi pelaku pedofilia ketika anak tersebut dewasa.
3.      Peranan orang tua sangat vital dalam rangka melindungi anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.
4.      Negara harus menjadi lokomotif di dalam perannya melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya melindungi anak-anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.


DAFTAR PUSTAKA

________. Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: Pustaka Grahatama.

_______­­_. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. 2011.

Fadjar,Mukthie.Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing. 2005.

Harahap,Yahya.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. 2000.

Marzuki,Peter Mahmud.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.

Mathrudi,‘Adil. Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat.

Sa’abah,Marzuki Umar.Seks dan Kita. Jakarta: Gema Insani Press. 1997.

Soemitro,Irma Setyowati. Aspek Perlindungan Hukum Anak. Jakarta: Bumi Aksara. 1990.



http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/ tanggal 28 November 2015






[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: Pustaka Grahatama).
[2] Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 42.
[3] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 189.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, 2011).
[5] Marzuki Umar Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 154.
[8] Irma Setyowati Soemitro,Aspek Perlindungan Hukum Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 12.
[9] Ibid, hlm. 15.
[10] Ibid.,
[11] Ibid, hlm. 16.
[12] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
[14] ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88.
[15] Diakses pada http://thayyiba.com/2015/10/22/1699/hukum-kebiri-akan-diterapkan/ pada tanggal 30 November 2015.
[16]Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000), hlm. 20-21.
[17] Diakses pada  http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/ tanggal 28 November 2015
[19] Diakses pada http://www.rappler.com/indonesia/110227-pro-kontra-hukuman-kebiri, pada tanggal 30 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar