BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum,[1]
dimana dalam penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan hukum. Negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan oleh
karena itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga
negara yang baik. Konsep dasar negara hukum di Indonesia yakni konsep rechtsstaat
mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi rechtmatigheid.
Adapun ciri-ciri negara hukum rechtsstaat yaitu:[2]
1.
Adanya
perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM).
2.
Adanya
pemisahan dan pembagian kekuasaan Negara untuk menjamin perlindungan HAM.
3.
Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4.
Adanya
peradilan administrasi.
Dari uraian di atas nahwa penting adanya sebuah perlindungan untuk
menjamin hak-hak dasar warga negara, yang dikenal dengan sebutan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), dimana secara sederhana Franken memberi
pengertian hak-hak dasar sebagai hak-hak yang dimiliki setiap orang dan dijamin
bebas dari suasana campur tangan negara.[3]
Permasalahan yang penting kiranya untuk membahas perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dalam segala bidang aspek kehidupan, khususnya
perlindungan terhadap anak di Indonesia. Banyaknya bermunculan
permasalahan-permasalahan tindak pidana terhadap anak seperti maraknya
perbuatan asusila, kekerasan seksual dan perbuatan cabul terhadap anak, menjadi
perhatian bagi masyarakat Indonesia juga masyarakat dunia. Dimana saat sekarang
ini banyak sekali pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik yang
memberitakan kejadian tentang kekerasan seksual terhadap anak.
Anak sebagai makhluk sosial yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa, harus dilindungi sejak dalam kandungan hingga sampai saat dilahirkan,
selain itu anak juga mempunyai hak untuk hidup, merdeka, serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat behkan perlindungan dari
negara, sehingga tidak ada seorang pun manusia maupun pihak lainnya yang dapat
merampas hak hidup dan merdeka tersebut, termasuk para paedofil.Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang wacana hukuman kebiri bagi paedofil
demi kehidupan anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa
Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan paedofil?
2.
Apa
dampak yang ditimbulkan bagi korban pelaku paedofil?
3.
Bagaimana
peran negara dalam menangani paedofil di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan definisi dari paedofil.
2.
Untuk
mengetahui dampak yang ditimbulkan bagi korban pelaku paedofil.
3.
Untuk
menjelaskan peran negara dalam menangani paedofil di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
kekerasan Seksual Paedofil dan Penyebabnya
Anak-anak diibaratkan seperti kertas putih yang belum ternoda,
watak yang masih polos dan masa inilah permainan serta canda tawa adalah dunia
mereka, dunia anak-anak. Namun, bagaimana seandainya di masa itu mereka harus
menerima kenyataan diperlakukan kasar secara fisik maupun mental yang dapat
mencidrai mereka, seperti maraknya kejahatan paedofil terhadap anak.
Paedofil adalah orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak.[4]
Penderita paedofil memiliki perilaku menyimpang dimana ia memilih anak-anak di
bawah umur sebagai obyek pemuasan kebutuhan seksualnya.
Manurut Marzuki Umar Sa’abah, paedofil adalah penyakit kejiwaan
dimana seseorang mempunyai penyimpangan seksual, yakni mempunyai kecenderungan
seksual terhadap anak.[5]
Menurut kamus kesehatan, paedofil adalah aktivitas seksual yang
melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13 tahun. Penderita paedofil
berusia lebih dari 16 tahun dan minimal 5 tahun lebih tua dari si anak.
Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada laki-laki. Individu dengan
gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk mendapatkan akses dan
kepercayaan dari anak-anak.[6]
Pedofilia adalah
gangguan psikoseksual di mana orang dewasa memiliki keinginan untuk terlibat
dalam tindakan seksual dengan anak dibawah umur yang sama atau lawan jenis.
Tiga puluh persen dari anak-anak korban kejahatan
pedofilia dilecehkan oleh anggota keluarga dan 60 persen oleh orang
dewasa yang mereka kenal dan bukan anggota keluarga. Itu berarti hanya 10
persen anak-anak yang mengalami kejahatan seksual menjadi sasaran orang asing.[7]
Seringkali pelaku
pedofilia adalah orang yang pernah menjadi korban pedofilia ketika pelaku masih
berusia anak-anak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak yang
sekarang menjadi korban pedofilia, di kemudian hari bisa berubah menjadi pelaku
pedofilia.
Oleh karena itu maka
dapat dikatakan bahwa perilaku pedofilia berkaitan erat dengan mental dan
pengaruh lingkungan yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku sebagai
seorang pedofilia. Kenangan buruk di masa kanak-kanak, terutama dalam hal yang
bersifat seksualitas, akan sangat berpengaruh kepada sikap mental dan perilaku
dari pelaku seseorang di kemudian hari, yang semakin mendorong seseorang
menjadi seorang pedofilia.
Kedua orangtua yang
terlibat aktif dalam masyarakat industri, misalnya sebagai pekerja yang
seringkali meninggalkan rumah, dapat berdampak pada melalaikan kewajiban
mendidik anak, sehingga anak telantar. Ketidakmampuan orangtua
melaksanakan kewajiban terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor
ekonomi. Misalnya anaknya banyak sementara penghasilan minim, sehingga
perhatian terhadap anak tidak penuh. Ketiadaan orang tua sebagai panutan
di dalam kehidupan anak-anak, menjadikan anak-anak tersebut mencari pehatian di
luar rumah, yang tentu saja sangat rawan mengingat sang anak akan berhadapan
dengan berbagai macam perilaku yang mungkin saja perilaku tersebut tidak akan
ditemui di lingkungan keluarganya.
Kehidupan dan perilaku
di luar rumah yang banyak menyimpang tersebut, misalkan adalah merokok, minum
minuman keras, perilaku sex bebas termasuk di dalamnya adalah penyimpangan
perilaku seksual yaitu praktek hubungan sejenis dan perilaku pedofilia. Hal-hal
tersebut yang seringkali luput dari perhatian dan pemahaman dari orang tua,
bahwa apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari
keluarganya, akan mencoba selalu mencari perhatian di luar lingkungan
keluargnya.
Khusus terhadap
perilaku pedofilia, seringkali diberitakan terjadi pada masyarakat golongan
ekonomi bawah namun tidak menutup kemungkinan terjadi pula pada masyarakat yang
perekonomiannya telah mapan, sebab fenomena perilaku pedofilia ini ditakutkan
hanyalah sebagai puncak gunung es, yang hanya kita ketahui puncaknya, namun
ternyata menyimpan begitu banyak fakta yang belum terungkap. Hal inilah yang
kiranya perlu mendapatkan perhatian, bukan hanya dari setiap keluarga namun
juga dari pemerintah sebagai stake holder dari pengambil kebijakan bagi
perlindungan anak di Indonesia.terlebih pada saat ini, perilaku seorang anak
juga dipengaruhi dari berbagai informasi dari media eletronik maupun media
online yang seringkali menyebarkan berita yang tidak mendidik bagi perkembangan
anak.
Berbagai hal tersebut,
kiranya dapat menjelaskan mengapa seseorang dapat berperilaku sebagai
pedofilia, akan tetapi pengalaman buruk merupakan faktor utama yang menjadi
penyebab seseorang berperilaku menyimpang sebagai seorang pedofilia, hal ini
disebabkan timbulnya rasa sakit hati dan dendam dalam diri seorang anak yang
secara terpaksa pernah mengalami penyimpangan seksual, sehingga muncul
keinginan untuk melakukaan hal yang sama di kemudian hari ketika anak tersebut
telah dewasa. Bagi seorang anak yang menjadi korban pedofilia, tentunya akan
sangat sulit untuk melupakan kejadian yang menimpanya dan kenangan buruk
tersebut akan terus membekas sepanjang hidupnya sehingga diperlukan peranan
keluarga di dalam mencegah terjadi praktek pedofilia. Kasih sayang dari orang
tua merupakan hal yang mutlak yang harus terpenuhi demi menjaga seorang anak
sehingga terhindar menjadi korban pedofilia.
B.
Teori
Perlindungan Anak
Salah satu upaya untuk menciptakan kesejahteraan anak adalah dengan
meningkatkan perlindungan anak. Dalam rangka peningkatan perlindungan anak ini,
maka pemahaman terhadap hak-hak anak yang terdapat dalam ketentuan hukum
menjadi penting dan perlu mendapat perhatian khusus. Sehingga tepat pada
tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Persidangan Bangsa-Bangsa telah
mengesahkan Hak-Hak Anak. Secara garis besar di dalam deklarasinya tersirat 10
asas tentang hak anak dimana salah satunya adalah hak memperoleh perlindungan
khusus.[8]
Tentang aspek hukum perlindungn anak, beberapa sarjana memberikan
batasan-batasan sebagai berikut:
Menurut Arif Gosita, sebagaimana yang dikutip oleh Irma bahwa hukum
perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin
anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.[9]
Menurut Bismar Siregar, sebagaimana yang dikutip oleh Irma
menyebutkan aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak
yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak
belum dibebani kewajiban.[10]
Menurut Mr. J.E. Doek dan Mr. Drewes memberi pengertian sebagaimana
yang dikutip oleh Irma, jengdrecht (hukum (perlindungan) anak muda) dalam 2
pengertian masing-masing yaitu pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam
pengertian luas yaitu segala aturan hidup yang memberi perlindungan kepada
mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang.
Dalam pengertian sempit meliputi perlindungan hukum yang terdapat dalam:
1.
Ketentuan
hukum perdata (regels van civilel recht)
2.
Ketentuan
hukum pidana (regels van strafrecht)
3.
Ketentuan
hukum acara (procesrechtelijke regels).[11]
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
memberikan ketentuan sanksi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual termasuk
paedofil, yang diterangkan dalam Pasal 18 yang berbunyi:
(1)
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)
Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang
dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.[12]
Kebiri (al ikhsha`, castration) artinya
adalah pemotongan dua buah dzakar (al khushyatain, testis), yang dapat dibarengi
dengan pemotongan penis (dzakar). Jadi kebiri dapat berupa
pemotongan testis saja, dan inilah pengertian dasar dari kebiri. Namun
adakalanya kebiri berupa pemotongan testis dan penis sekaligus. Kebiri
bertujuan menghilangkan syahwat dan sekaligus menjadikan mandul.[14]
Metode kebiri secara garis besar ada dua macam,
yaitu metode fisik dan metode hormonal (injeksi). Metode fisik dilakukan dengan
cara memotong organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis
dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan kemudian dijahit.
Dengan pemotongan testis tersebut, berarti sudah dihilangkan testosteron
sebagai hormon pembangkit gairahseks.
Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan
sekaligus menjadi mandul permanen. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Adapun metode kebiri hormonal, dilakukan bukan
dengan memotong testis atau penis, tapi dengan cara injeksi (suntikan) hormon
kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama, diinjeksikan obat yang
menekan produksi hormon testosteron. Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga
hormon testosteron seolah-olah hilang. Kedua,
diinjeksikan hormon estrogen kepada orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki
ciri-ciri fisik seperti perempuan. Hormon
testosteron akan menurun dan gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik
hormon testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan pulih
seperti semula. (Jawa Pos, 22/10/2015).
Kebiri dengan pembedahan yakni pengangkatan (amputasi) testis
sebagai tempat produksi hormon testosteron. Cara ini sudah ditinggalkan di
dunia modern karena dianggap menentang HAM. Sedangkan cara kedua dengan
menyuntikkan cairan kimiawi yang memusnahkan libido seksualnya.Kedua model
kebiri ini sama-sama melumpuhkan fungsi organ vital laki-laki dalam hal
seksualitas. Namun untuk jenis suntikan kimiawi, ada yang hanya bersifat
sementara dan bisa pulih kembali.
Catatan sejarah yang
ada menyebutkan, pengebirian yang dilakukan dengan sengaja berasal dari Kota
Lagash di Sumeria (Asiria). Mereka yang dikebiri umumnya budak lelaki yang
biasa disebut Kasim. Para kasim ini biasanya dipekerjakan dan diterima pada
kelas sosial istimewa dan biasanya menjadi pegawai birokrasi atau pengurus
rumah tanga istana.
Di Tiongkok kuno,
pengebirian merupakan salah satu bentuk hukuman tradisional (hingga Dinasti
Sui) dan sarana untuk mendapatkan pekerjaan di kalangan istana kaisar. Ketika
Dinasti Ming berakhir tahun 1644, tercatat ada 70 ribu orang kasim di istana
kaisar.Yang sangat menyedihkan adalah praktek pengebirian di China kuno yaitu
para orang tua memaksa anaknya untuk melakukan itu demi mendapat uang dan
mendapat pengakuan sebuah “kebanggan” bahwa anaknya menjadi kasim kekaisaran.
Sementara di beberapa
tempat lain, pengebirian dilakukan karena kepercayaan terhadap sekte. Seperti
para pengikut Sekte Skoptzi dari Rusia pada abad ke-18. Anggota-anggotanya
menganggap pengebirian sebagai cara untuk menolak dosa-dosa jasmani.
Orang-orang Hijra dari India masih mempraktikkan ritual pengebirian dengan
membuang penis dan buah pelirnya.
Di era modern, tujuan
pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha mendapat suara soprano pada anak
laki-laki di Italia hingga upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral pada
agama tertentu. Kebiri juga dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan
fisik dan mental serta populasi kelompok tertentu.[15]
Pidana kebiri (kastrasi) memang belum ada dalam sistem pemidanaan
di Indonesia. Di Indonesia menurut pasal 10 KUHP baru dikenal 4 sistem
pemidanaan yakni pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda,
juga ada satu lagi jenis pemidanaan baru menurut UU NO 20 Tahun 1946 tentang
pidana tutupan.
Pidana kebiri merujuk kepada keprihatinan penulis akan semakin
maraknya tindak pidana pemerkosaan di negeri ini, seakan berita di negeri ini tak ada habisnya dalam memberitakan kasus-kasus tersebut,
terlebih yang menjadi korbannya banyak juga di kalangan anak-anak.
Pidana kebiri sebetulnya sudah pernah dilakukan di beberapa Negara
seperti KORSEL, Ceko, Polandia, Jerman dan Madolva sudah melakukan pemidanaan
ini terhadap pelaku kejahatan seksual terlebih dengan korbannya anak-anak.
Pidana kebiri sekilas memang dilihat sebagai suatu jenis
pemidanaan yang sadis sepertinya, namun sesungguhnya tidaklah sesadis terhadap
apa yang dilakukan oleh si pelaku terhadap korban yang telah diperkosanya. Para
korban yang telah hancur masa depannya, mereka telah hilang kehormatannya dan
mengalami depresi yang berkepanjangan, sehingga pidana kebiri adalah hukuman
yang pantas diberikan kepada pelaku pemerkosa.
Bagi pelaku pedofilia,
kiranya juga harus kita pahami bahwa meskipun sebagai tersangka ataupun
terdakwa, namun apabila kita pahami landasan filosofis dari KUHAP adalah
sebagaimana yang dapat dibaca pada huruf a Konsideran, tiada lain adalah
Pancasila, terutama yang berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan Kemanusiaan.
Yahya Harahap
menyebutkan,[16] “Dengan
landasan sila Ketuhanan, KUHAP mengakui setiap pejabat aparat penegak hukum
maupun Tersangka/ Terdakwa adalah :
1. Sama-sama manusia yang dependen kepada Tuhan. Sama makhluk manusia yang
tergantung kepada kehendak Tuhan. Semua makhluk manusia tanpa kecuali adalah
ciptaan Tuhan yang kelahirannya di permukaan bumi semata-mata atas kehendak dan
berkat rahmat Tuhan;
2. Oleh karena semua manusia merupakan hasil ciptaan Tuhan dan tergantung
kepada kehendak Tuhan, hal ini mengandung makna bahwa:
a.
Tidak ada perbedaan asasi
di antara sesama manusia
b.
Sama-sama mempunyai
tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan
martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan
c.
Setiap manusia
mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali
d.
Fungsi dan tugas apapun
yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata-mata dalam ruang lingkup
menunaikan AMANAT Tuhan Yang Maha Esa.
Dari landasan filosofis
tersebut, kiranya telah tersirat bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia
mensyaratkan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, baik terhadap
pelaku tindak pidana maupun terhadap korban kejahatan. Sehingga dengan demikian
hal yang sama juga berlaku pada pemidanaan pelaku tindak pidana, yaitu
pemidanaan juga harus memperhatikan kepentingan dan perlindungan atas hak asasi
manusia bagi korban kejahatan tersebut.
Wacana pengebirian bagi
pelaku pedofilia, harus kita telaah kembali segi positif maupun negatifnya,
mengingat, khususnya bagi seorang Hakim, tidak boleh menjatuhkan pidana hanya
berdasarkan emosi sesaat saja atau berdasarkan tuntutan masyarakat namun tuntutan
tersebut hanyalah berdasarkan rasa ingin membalas dendam atas perilaku
pedofilia tersebut. Lebih lanjut, pernah dilakukan sebuah penelitian ilmiah,
namun tentunya perlu lebih ditelaah lebih lanjut, bahwa tindak pidana
pedofilia dalam hukum Islam, dari segi unsur-unsur perbuatannya, tindak pidana
ini sekilas memang masuk dalam kategori zina, tapi bentuk tindak pidana
pedofilia lebih menekankan pada korban yang masih anak-anak, sehingga apabila
melihat dari sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku zina, maka sanksi bagi pelaku
tidak pidana pedofilia haruslah lebih berat karena melihat pada aspek bahaya
yang ditimbulkannya juga lebih besar, sedangkan dalam hukum positif Indonesia,
sanksi penjatuhan pidana bagi pelaku pedofilia memang tidak diatur secara
khusus, akan tetapi, dalam penjatuhan pidananya, sanksi tersebut merujuk pada
penjatuhan pidana bagi pelaku kejahatan seksual, seperti pelecehan seksual atau
pun pencabulan, yang terdapat KUHP maupun peraturan lainnya.[17]
Oleh karenanya, sebelum
wacana pengebirian ditindaklanjuti lebih lanjut, perlu kiranya kita mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Meskipun perilaku pedofilia merupakan perilaku yang melanggar hak asasi manusia
dari korbannya akan tetapi pengebirian pada hakekatnya juga melanggar hak asasi
dari pelakunya, utamanya hak untuk mendapatkan keturunan, karena dalam beberapa
kasus, pelaku pedofilia adalah orang yang memiliki keluarga dalam arti memilki
istri dan anak. Jika kita melihat praktek kebiri secara kimia di India, maka
para aktivis hak asasi manusia menentang praktek kebiri kimia paksa, dan
menyebut itu sebagai sebuah tindakan melawan kebebasan dan
kemanusiaan. Sehingga apabila praktek pengebirian, baik secara fosok
maupun kimiawi dilakukan di Indonesia, bukan tidak mungkin akan menimbulkan pro
dan kontra khususnya di kalngan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia;
2. Pelaku pedofilia adalah wanita, yang juga masih mengharapkan mendapatkan
keturunan;
3. Pelaku pedofilia adalah anak-anak, maka pengebirian terhadap pelaku
pedofilia tidak serta merta dapat dilakukan, mengingat terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum tidak dapat diterapkan pidana orang dewasa;
Wacana penjatuhan
hukuman berupa pengebirian terhadap pelaku pedofilia harus melalui pertimbangan
yang matang bahwa hukuman tersebut tidak menghapuskan hak dari pelaku untuk
mendapatkan kehidupan yang normal. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya perilaku
pedofilia lebih pada rusaknya kesehatan mental dari pelaku yang menganggap
perilaku pedofilia dalah perilaku yang wajar.
Pendekatan secara
keagamaan dan secara personal kiranya lebih ampuh untuk menyembuhkan penyakit
moral dari pelaku pedofilia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
terapi-terapi secara keagamaan dengan melakukan “cuci otak” bahwa perilaku
pedofilia adalah perilaku yang dilarang oleh agama dan perilaku pedofilia dapat
disembuhkan dengan terapi secara terus-menerus, sehingga dapat memberikan
kesadaran bagi pelaku pedofilia akan segala kesalahannya.
Perilaku pedofilia
tidak semata-mata merupakan perilaku kriminal semata, akan tetapi juga
merupakan gangguan psikologis atau mental dari pelakunya yang masih bisa
disembuhkan, maka terhadap pelaku pedofilia dijatuhi pidana maksimal sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang, pelaku pedofilia harus dijatuhi pidana tambahan
berupa REHABILITASI MENTAL dalam jangka waktu tertentu. Hal ini kiranya sejalan
dengan pemikiran psikolog seksual Zoya Amirin, yang menyatakan hukuman kebiri
menurutnya tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya masalah mental pada pelaku
pedofil selain dipenjara juga ditangani dengan rehabilitasi. Rehabilitasi
mental memang tak menyembuhkan hasrat seksualnya namun mampu mengontrol ketika
hasrat tersebut datang.[18] Jangan
sampai wacana pengebirian terhadap pelaku tindak pidana hanya didasarkan pada
alasan membalas dendam dan karena emosi sesaat saja tanpa dipertimbangkan efek
jangka panjang, termasuk juga harus dipikirkan pula hak bagi korban pedofilia
yang dapat menjaga korban pedofilia tidak menjadi pelaku pedofilia di kemudian
hari.
Dengan demikian wacana
melakukan pengebirian terhadap pelaku pedofilia hendaknya dipertimbangkan
kembali dalam arti bahwa perlu adanya suatu penelitian yang mendalam terhadap
efektivitas dari tindakan pengebirian terhadap pelaku pedofilia. Perlu
dilakukan survey-survey untuk mengetahui lebih mendalam penyebab seseorang
menjadi pelaku pedofilia. Dalam pandangan penulis, penyebab seseorang bisa
menjadi pelaku pedofilia adalah selain karena sakitnya mental dari sang pelaku
tersebut akibat trauma pengalaman buruk ketika masih kanak-kanak menjadi korban
pedofilia, namun juga bisa dikarenakan makin gencarnya informasi melalui media
elektronik maupun media sosial mengenai perilaku seksual yaang menyimpang yang
terjadi di seluruh dunia. Peranan media massa baik media elektronik maupun
media online, sangat memberi peran bagi seseorang untuk melakukan perilaku
seksual menyimpang.
Dalam hal ini
diperlukan ketegasan dari pemerintah sebagai regulator dari adanya berita-berita
dari media massa baik mediaa elektronik maupun media online, untuk setidaknya
mempersempit ruang beredarnya berita-berita yang sifatnya negatif. Akan tetapi
harus diakui pula bahwa sangat sulit untuk membendung beredarnya berita,
utamanya melalui media online, penulis teringat seorang nara sumber dalam
sebuah seminar tentang informasi elektronik yang diadakan di Semarang beberapa
tahun yang lalu yang mengatakan bahwa ketika sebuah situs web akan diblokir,
maka karena kecanggihan tekhnologi informasi, maka web yang diblokir tersebut
akan memecahkan diri menjadi beberapa nama situs web baru dan ketika diblokir
lagi, maka akan memecahkan diri lagi, demikian seterusnya. Sehingga dari pihak
pemerintah, diperlukan penggunaan tekhnogi informasi yang lebih canggih lagi
dalam rangka menyaring informasi-informasi yang bersifat negatif dari media
online.
D.
Hukuman
Kebiri dalam Perspektif Islam
Menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku
pedofilia hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut:
Pertama, syariah Islam dengan
tegas telah mengharamkan kebiri pada manusia, tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah)
di kalangan fuqaha. Tiadanya khilafiyah ini diriwayatkan misalnya oleh Imam
Ibnu Abdil Barr (Al Istidzkar, 8/433), Imam Ibnu
Hajar Al Asqalani (Fathul Bari, 9/111), Imam
Badruddin Al ‘Aini (‘Umdatul Qari, 20/72), Imam Al
Qurthubi (Al
Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 5/334), dan Imam Shan’ani, (Subulus
Salam, 3/110). (Lihat Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119-120; ‘Adil Mathrudi, Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al
Syahwat, hlm. 88; Kamaluddin Jumu’ah Bakar, Masa`il wa Ahkam Yamussu Jasadal Insan,
hlm. 90).
Dalam kitab Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah dikutip
pernyataan tentang tidak adanya khilafiyah ulama mengenai
haramnya kebiri sebagai berikut:
وقال ابن حجر
: هو نهي تحريم بلا خلاف في بني آدم
“Imam Ibnu Hajar Al
Asqalani berkata,’(Hadits yang melarang kebiri) adalah larangan pengharaman
tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu
kebiri pada manusia.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/121).
Dalam kitab Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, Syekh ‘Adil
Mathrudi berkata :
أجمع العلماء
على أن خصاء بني آدم محرم ولا يجوز
“Para ulama telah
sepakat bahwa kebiri pada manusia itu diharamkan dan tidak boleh.” (‘Adil
Mathrudi,Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahwat, hlm. 88).
Dalil haramnya kebiri pada manusia adalah
hadits-hadits sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah SAW
terhadap kebiri. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash RA, dia berkata:
رد رسول الله
صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل، ولو أذن له لاختصينا
“Rasulullah
SAW telah menolak Utsman bin Mazh’un RA untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi
ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah SAW mengizinkan Utsman bin Mazh’un
untuk melakukan tabattul,
niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR Bukhari no 5073;muslim no 3390).
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata:
كنا نغزو مع
النبي صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء، فقلنا: ألا نختصي؟ فنهانا عن ذلك
“Dahulu
kami pernah berperang bersama Nabi SAW sedang kami tidak bersama isteri-isteri.
Lalu kami berkata (kepada Nabi SAW),’Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka
Nabi SAW melarang yang demikian itu.” (HR Bukhari no 4615; muslim no 1404;
Ahmad no 3650; Ibnu Hibban no 4141). (taqiyuddin
an nabhani, An
NizhamAl Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 164; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 19/119)
Kedua, syariah Islam telah
menetapkan hukuman untuk pelaku pedofilia sesuai rincian fakta perbuatannya,
sehingga tidak boleh (haram) melaksanakan jenis hukuman di luar ketentuan syariahIslam itu. Dalil
haramnya melaksanakan hukum-hukum non syariah adalah
firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ
لَهُمْ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS Al
Ahzab [33]: 36).
Ayat tersebut dengan jelas melarang muslim untuk
membuat suatu ketentuan baru apabila sudah ada ketentuan hukum yang
tertentu dari syariah Islam. Maka
dari itu haram hukumnya menerapkan hukumkebiri
untuk pelaku pedofilia, karena syariah Islam sudah
menetapkan rincian hukuman tertentu bagi pelaku pedofilia.
Adapun rincian hukuman dalam Islam untuk pelaku
pedofilia adalah sebagai berikut:
1.
Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah
perbuatan zina,
hukumannya adalah hukuman untuk pezina (had az zina), yaitu
dirajam jika sudahmuhshan (menikah) atau dicambuk seratus kali
jika bukan muhshan.
2.
Jika yang dilakukan pelaku pedofilia adalah liwath (homoseksual), maka hukumannya adalah hukuman
mati, bukan yang lain.
3.
Jika yang dilakukan adalah pelecehan seksual (at
taharusy al jinsi) yang tidak sampai pada perbuatan zinaatau
homoseksual, hukumannya ta’zir. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat,
hlm. 93).
Ketiga, dalam
hal metode kebiri yang digunakan adalah metode injeksi kedua, yakni yang
diinjeksikan adalah hormon estrogen, hukumnya juga haram dari sisi lain, karena
mengakibatkan laki-laki yang dikebiri memiliki ciri-ciri fisik seperti perempuan.
Padahal Islam telah
mengharamkan laki-laki menyerupai perempuan atau
sebaliknya perempuan menyerupai
laki-laki. Dalil keharamannya adalah hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa:
لعن رسول الله
صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء، والمتشبهات من النساء بالرجال
“Rasulullah
SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan
melaknat wanita yang
menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari, no 5546).
Hadis ini mengharamkan perbuatan laki-laki
menyerupai wanita atau
perbuatan wanita menyerupai
laki-laki. Maka, metode kebiri dengan cara injeksi hormon estrogen kepada
laki-laki pelaku pedofilia haram hukummya, karena menjadi perantaraan (wasilah)
bagi laki-laki itu untuk menyerupai lawan jenisnya (perempuan).
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:
الوسيلة إلى
الحرام محرمة
“Al-Wasilah
ila al-haram muharromah.” (Segala
perantaraan menuju yang haram hukumnya haram juga).
Berdasarkan 3 (tiga) alasan di atas,
menjatuhkan hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia hukumnya adalah haram.
Pemerintah Indonesia berencana mengeluarkan peraturan untuk menghukum
pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan cara dikebiri. Dikarenakan di
Indonesia sudah tidah dapat dihitung lagi kasus kekerasan seksual yang
mengorbankan anak-anak, sehingga hal itu akan mengancam kehidupan generasi
penerus bangsa.
Data Lembaga Perlindungan anak menunjukkan, hingga kini
terdapat 21.689.797 kasus pelanggaran hak terhadap anak, dan 58% di antaranya
merupakan kejahatan seksual. Sementara itu data Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) menyebutkan
ada 22 juta anak yang mengalami kekerasan
sepanjang 2010-2014, dan 42% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. (Koran
Tempo, 23/10/2015).
Kasus pedofilia terakhir melibatkan seorang anak perempuan berusia 9
tahun yang ditemukan sudah meninggal di dalam kardus. Dari laporan kepolisian
ditemukan bukti-bukti pemerkosaan sebelum terjadi pembunuhan.
Pernyataan
Khofifah langsung ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Berikut ini
merupakan tanggapan para tentang wacana hukuman kebiri bagi pelaku paedofil di
Indonesia:
1.
Masruchah(anggota Komnas
Perempuan)
Masruchah, anggota Komnas Perempuan menolak
hukuman kebiri untuk pedofilia. Beliau menolak huiuman kebiri karena hal itu
merupakan sebagian dari pelanggaran HAM. Jika efek jera yang dicari maka dapat
dilakukan dengan memaksimalkan hukuman yang sudah berlaku pada saat ini.
Dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, hukuman maksimal bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak
di bawah umur adalah 15 tahun penjara dan denda sekitar Rp 60.000.000 - Rp.
300.000.000.
2.
dr. Boyke Dian Nugraha (Pakar
seksologi)
Pakar seksologi dr. Boyke Dian Nugraha menilai hukuman kebiri bagi para
pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak tidak efektif.Alasannya, pelaku
kejahatan seksual pada anak masih berpotensi melakukan aksi kejahatannya selama
kondisi mentalnya tidak diobati. Menurut dr. Boyke, yang sakit itu jiwanya.
Sedangkan kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya.
Cara terbaik menghadapi pedofilia, menurut Boyke, adalah dengan
memberikan pengobatan dan rehabilitasi bagi para pelaku kejahatan
seksual terhadap anak.Kemudian anak-anak diberikan pendidikan seks sehingga
mereka bisa melindungi diri sendiri dari monster seksual (paedofil).
3.
Seto Mulyadi(Pemerhati
anak)
Seto Mulyadi meminta pemerintah untuk mengkaji ulang wacana memberikan
hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Beliau meminta agar pemerintah
mempertimbangkan hukuman kebiri berdasarkan aspek kesehatan dan psikologisnya.
Alasannya, secara psikologis, pelaku yang dikebiri ini dapat bertindak
lebih agresif. Jadi pelaku bukan sekadar menyasar kekerasan seksual, tetapi menyasar
ke kekerasan segala-galanya.
4.
Ahok (Gubernur DKI
Jakarta)
Berbeda dengan praktisi kesehatan dan aktivis perempuan, Gubernur DKI
Jakarta setuju dengan sikap pemerintah pusat tentang hukuman kastrasi atau
kebiri bagi pelaku kekerasan seksual (paedofil).
5.
HM. Prasetyo (Jaksa Agung)
Jaksa Agung HM. Prasetyo menilai kejahatan kekerasan seksual terhadap
anak harusnya menjadi kejahatan luar biasa, atau extraordinary crime, sehingga
harus ada pula penanganan proses penegakan hukum yang luar biasa.
Landasan hukum yang paling dinilai cepat yaitu Perppu (Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang). Menurut beliau jika harus ada revisi UU akan
memakan waktu yang lama.
6.
Badrodin Haiti(Kepala
Polisi RI)
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyambut baik usulan tentang hukuman
kebiri bagi pelaku paedofil. Alasannya, hukuman tambahan itu dapat memberikan
efek jera para predator anak.Hukuman tambahan tersebut nanti diusulkan masuk ke
dalam Uudang-undang atau mengeluarkan Perppu.
7.
Arist Merdeka Sirait (Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak)
Arist yakin hukuman dikebiri sebagai pemberatan hukuman pelaku
kekerasan seksual pada anak dapat mengurangi kasus kekerasan anak.Hukuman
tersebut bisa memberikan efek jera kepada predator, ditambah dengan diterapkan
sanksi sosial yakni menyebarluaskan serta menempel foto-foto pelaku di
tempat-tempat umum. Karena menurut beliau, dikebiri itu bukan diputus hasrat
seksual tetapi dikontrol sehingga tidak melakukan tindakan seksual.
Menurut beliau
kekerasan fisik dan seksual harus dimasukkan menjadi kejahatan luar biasa yang
setara dengan kejahatan narkoba, psikotropika, dan terorisme. Kejahatan seksual
pada anak, pemerkosaan, pembunuhan merupakan kejahatan luar biasa.
Pihak lainnya yang kontra adalah dari tokoh ormas Islam dan kalangan pesantren. Ketua
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar, tidak sepakat dengan
hukuman kebiri jika mengubah fisik manusia. Ketua Asosiasi Pondok Pesantren
Jawa Timur, Gus Reza Ahmad Zahid, menyatakan tak selayaknya pemerintah menerapkan hukuman kebiri. Alasannya, konsep Islam tidak mengenal kebiri. (Koran
Tempo, 23/10/2015).
F. Membangun Kesadaran Masyarakat Akan
Bahaya Paedofil
Sangat penting bagi
masyarakat khususnya bagi setiap orang tua untuk memahami perilaku pedofilia
yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam setiap kesempatan. Waspada
orang tua dari pedofilia tentunya harus selalu dilakukan, karena yang kita
tahu bahwa saat ini di Indonesia sedang marak terjadi kasus kejahatan
seksual terhadap anak-anak. Ketika kebanyakan orang membayangkan fisik
penganiaya anak seperti monster atau berwajah bengis, itu merupakan
kesalahpahaman yang telah mengakar pada kebanyakan orang. Penganiaya anak
berasal dari semua lapisan masyarakat dan dari semua kelompok sosial ekonomi.
Mereka bisa menjadi laki-laki atau perempuan, dari kalangan, agama, dan ras
apapun.
Seringkali keberaradaan
seorang anak dalam keluarga sering diabaikan, atau bahkan anak sering menjadi
obyek kekerasaan di dalam keluarga. Seorang dosen Fakulta Hukum Unversitas
Jember mengatakan bahwa fenomena kekerasan keluarga (family violence) sering
menggayuti kehidupan anak kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin
keras, terutama pada era industrialisasi, akan banyak orang mengalami
stres dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak.Lebih
lanjut dikatakan bahwa terdapat 2 (dua) upaya untuk melakukan upaya
perlindungan terhadap anak dari kekerasan keluarga, adalah:
1. Harus ada perhatian penuh dari keluarga terdekat lainnya
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat.
terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orangtuanya, dan kekuasaan orangtua atas anaknya dicabut. Pencabutan kekuasaan orangtua terhadap anaknya dapat dilakukan berdasarkan permintaan orangtua lainnya atau keluarga terdekat.
2. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang
menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak
dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Disamping itu, perlu
ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan
anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam
keluarga.
Kehangatan dari orang
tua sangat penting dalam proses tumbuh kembang seorang anak. Kehadiran kedua
orang tua akan memberikan rasa aman, nyaman dan tenang bagi anak-anak dalam
keluarga tersebut, termasuk dalam menjadi benteng pengaman bagi anak dari
pengaruh lingkungan yang bersifat negatif.
Kiranya, pelukan hangat
dari orang tua mampu menjadi wujud kasih sayang orang tua kepada anak dan
sebagai orang tua, sempatkanlah waktu walau hanya sejenak untuk bermain bersama
anak sehingga anak merasa disayang dan dilindungi oleh orang tuanya.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan:
Dari uraian mengenai hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia, maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pedofila adalah
perilaku seksual yang menyimpang yang harus diwaspadai.
2.
Seorang anak yang
pernah menjadi korban pedofilia berpotensi menjadi pelaku pedofilia ketika anak
tersebut dewasa.
3.
Peranan orang tua
sangat vital dalam rangka melindungi anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.
4.
Negara harus menjadi
lokomotif di dalam perannya melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya
melindungi anak-anak dari jangkauan kejahatan pedofilia.
DAFTAR
PUSTAKA
________. Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: Pustaka
Grahatama.
________. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka. 2011.
Fadjar,Mukthie.Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia
Publishing. 2005.
Harahap,Yahya.Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika. 2000.
Marzuki,Peter Mahmud.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana,
2009.
Mathrudi,‘Adil. Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat.
Sa’abah,Marzuki Umar.Seks dan Kita. Jakarta: Gema Insani
Press. 1997.
Soemitro,Irma Setyowati. Aspek Perlindungan Hukum Anak. Jakarta:
Bumi Aksara. 1990.
http://Apakah/Pelaku/Pedofilia/Tidak/Dapat/Dimintai/Pertanggungjawaban/Pidana//=hukumonline.com.htm.
Diakses pada tanggal 20 November 2015.
http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html tanggal 26 November 2015.
http://digilib.uin-suka.ac.id/6709/ tanggal 28 November 2015
http://health.liputan6.com/read/2350628/bukan-kebiri-ini-cara-lain-agar-pelaku-kejahatan-seksual-jera?ref=yfptanggal 28 November2015.
http://www.dakwatuna.com/2013/03/16/29374/pidana-kebirineuter-kastrasi-sebagai-alternatif-pidana-karena-semakin-maraknya-pemerkosaan-di-indonesia/#ixzz3syLbIjXP, pada tanggal 30 November
2015.
http://thayyiba.com/2015/10/22/1699/hukum-kebiri-akan-diterapkan/ pada tanggal 30 November 2015.
http://www.rappler.com/indonesia/110227-pro-kontra-hukuman-kebiri, pada tanggal 30 November 2015
[1] Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar 1945, (Yogyakarta: Pustaka Grahatama).
[2] Mukthie
Fadjar, Tipe Negara Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm.
42.
[3] Peter Mahmud
Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 189.
[4] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka,
2011).
[5] Marzuki Umar
Sa’abah, Seks dan Kita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 154.
[6]http://Apakah/Pelaku/Pedofilia/Tidak/Dapat/Dimintai/Pertanggungjawaban/Pidana//=hukumonline.com.htm. Diakses pada tanggal 20 November 2015.
[7] Diakses pada http://melindahospital.com/melinda2/artikel/2965/Waspada-orangtua-dari-pedofilia-kenali-ciri-cirinya.html tanggal 26 November 2015.
[8] Irma Setyowati
Soemitro,Aspek Perlindungan Hukum Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
hlm. 12.
[9] Ibid, hlm. 15.
[10] Ibid.,
[11] Ibid, hlm. 16.
[12] Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
[13] Diakses pada http://www.dakwatuna.com/2013/03/16/29374/pidana-kebirineuter-kastrasi-sebagai-alternatif-pidana-karena-semakin-maraknya-pemerkosaan-di-indonesia/#ixzz3syLbIjXP, pada tanggal 30 November 2015.
[14] ‘Adil
Mathrudi, Al
Ahkam Al Fiqhiyyah Al Muta’alliqah bi Al Syahawaat, hlm. 88.
[15] Diakses pada http://thayyiba.com/2015/10/22/1699/hukum-kebiri-akan-diterapkan/ pada tanggal
30 November 2015.
[16]Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2000), hlm.
20-21.
[18] Diakses pada http://health.liputan6.com/read/2350628/bukan-kebiri-ini-cara-lain-agar-pelaku-kejahatan-seksual-jera?ref=yfptanggal 28 November2015.
[19] Diakses pada http://www.rappler.com/indonesia/110227-pro-kontra-hukuman-kebiri, pada tanggal 30 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar