Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH TENTANG PRAPERADILAN

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya penegakan hukum merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu telah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia yaitu untuk mencapai suatu kedaan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara merata baik materiil maupun spiritual yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945.. Oleh karena itu, Indonesia sebagai Negara hukum telah menjamin segala warga negaranya bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Perlindungan hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlakdari Bangsa Indonesia. Hal itu dikarenakan Negara Indonesia adalah negara yangberdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penyelenggaraankekuasaan haruslah bertumpu atas sendi-sendi negara hukum dan demokrasi. Rasa aman yang diberikan oleh pemerintah tidak hanya ditujukan bagi rakyatmereka yang benar saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan ataupunbagi mereka yang diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri mereka. Seseorang yang melakukan kesalahan, dalam hal inimelakukan tindak pidana di dalam Negara Indonesia yang berlandaskan hukum, makasudah sepantasnya untuk diproses secara hukum yang berlaku di Negara Indonesiapula. Proses yang berlaku untuk menahan seorang tersangka ataupun terdakwa harussesuai prosedur yang berlaku.
Prosedur yang berlaku tidak boleh bertentangan dan melanggar hak asasimanusia. Prosedur harus bisa memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasimanusia khususnya hak kemerdekaan. Di dalam Praperadilan, pejabat yangmelakukan penahanan atas diri tersangka ataupun terdakwa baik polisi maupun jaksaharus bisa membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum(illegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaanterhadap seorang tersangka ataupun terdakwa itu benar-benar telah memenuh ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan untuk tidak melangar hak asasimanusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Praperadilan?
2.      Bagaimana proses pemeriksaan Praperadilan?
3.      Bagaimanakah kedudukan Praperadilan di Indonesia?
C.    Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan tentang Praperadilan.
2.      Untuk mendeskripsikan proses pemeriksaan Praperadilan.
3.      Untuk mendeskripsikan tentang kedudukan Praperadilan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    TINJAUAN UMUM MENGENAI PRAPERADILAN
1.      Pengertian Praperadilan
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Praperadilan merupakan lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam Ba X bagian kesatu. Menurut Andi Hamzah, secara harfiah kata “Praperadilan” berasal dari kata “Pra” yang berarti sebelum dan “peradilan”, atau dengan kata lain Praperadilan adalah merupakan pemeriksaan sebelum di sidang pengadilan[1].
Pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-undang ini tentang[2] :
a)      Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan       tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b)      Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c)      Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menurut M. Yahya Harahap ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya[3]:
a)      berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negari, dan sebagai lembaga Pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pegadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,
b)      dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,
c)      administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,
d)     tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Dari gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang  dan fungsi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini. 
2.      Tujuan Praperadilan
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perampasan terhadap hak asasi tersangka.
Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun[4].
Lembaga yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada Pra Peradilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan ”pengawasan horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang[5].

3.      Wewenang Praperadilan
Wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan adalah[6]:
a)      Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada Pra Peradilan. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Pra Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya.
b)      Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Penyidik maupun penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana.
Dimungkinkan juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut.
3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada Pra Peradilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka berdasarkan alasan:
a)      Karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
b)      Atau oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
c)      Karena kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa;
4) Memeriksa permintaan rehabilitasi.
Pra Peradilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
5) praperadilan terhadap tindakan penyitaan
Sehubungan dengan permasalahan hukum ini dapat dijelaskan pendaat berikut. Pada dasarnya, setiap upaya paksa dalam penegakan hukum mengandung nilai ham yang sangat asasi. Oleh karena itu harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan acara yang berlaku. Ditinjau dari standar universal maupun KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak privasi perseorangan yang dilakukan penguasa dalam melaksanakan fungsi peradilan dalam sistem peradilan pidana, yang dapat diklarifikasikan meliputi:
a)      Penangkapan
b)      Penahanan
c)      Penggeledahan
d)     Penyitaan, perampasan.

B.     Proses Pemeriksaan Praperadilan
Tata cara atau proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian kesatu mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan. Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut[7]:
1.      Yang berhak mengajukan permohonan
Siapa yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan Praperadilan mengenai sah atau tidaknya penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan atau mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan? Atau siap saja yang dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ke Praperadilan? Untuk menjelaskan hal itu akan dikemukakan sesuai dengan alasan yang menjadi dasar pengajuan permintaan pemeriksaan Praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang berhak mengajukan permintaan:
a.       Tersangka, keluarganya atau kuasanya
Tersangka, keluarganya atau kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya:
1)      Penangkapan
2)      Penahanan
3)      Penyitaan
4)      Penggeledahan.
Demikian menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri.”
b.      Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
Berdasarkan ketentuan Pasal 80 KUHAP maka yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan berkaitan dengan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan.
c.       Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
Di dalam Pasal 81 KUHAP telah dijelaskan bahwa akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka tersangka atau pihak ketiga dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi kepada ketua Pengadilan Negeri disertai dengan penyebutan alasan-alasannya.
d.      Tersangka, Ahli warisnya atau kuasanya
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 95 ayat 2 KUHAP menurut ketentuan yang dijelaskan dalam pasal tersebut, tersangka ahli warisnya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Praperadilan atas alasan:
1)      Penangkapan atau penahanan yang tidak sah
2)      Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau
3)      Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
e.       Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi
Menurut ketentuan pasal 81, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penuntutan.
2.      Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan
Mengenai pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan”, menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan. Ada yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas:
a)      Saksi korban tindak pidana, atau
b)      Pelapor
Sebaliknya, muncul pendapat lain. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus ditafsirkan secara luas. Tidak terbatas pada saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum.
3.      Pengajuan dan tata cara pemeriksaan Praperadilan
Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas Praperadilan,erada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana ketua pengadilan negeri. Berdasar kenyataan ini, aapun yang hendak diajukan kepada Praperadilan, tidak terlepas dari tubuh pengadilan Negeri. Semua permintaan yang diajukan kepada Praperadilan, melalui ketua pengadilan Negeri. Pengajuan permintaan pemeriksaan Praperadilan, dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Permohonan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada ketua pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada ketua pengadilan Negeri tempat dimana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan.
b.      Permohonan diregister dalam perkara Praperadilan
Setelah panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara Praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan kepada Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari perkara pidana biasa.
c.       Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera
Penunjukan sesegera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan, merujuk kepada ketentuan pasal 82 ayat (1) huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3 hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
d.      Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal
Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. Hal ini ditegaskan dalam pasal 78 ayat 2 yang berbunyi: Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
e.       Tata cara pemeriksaan Praperadilan
Mengenai tata cara pemeriksaan sidang Praperadilan, diatur dalam pasal 82 serta pasal berikutnya. Bertitik tolak dari ketentuan dimaksud, pemeriksaan sidang Praperadilan dapat dirinci sebagai berikut:
1)      Penetapan hari sidang 3 hari setelah diregister
2)      Pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan
3)      Selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan


C.    Kedudukan Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Di Indonesia
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk dapat menanggulangi masalah kejahatan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem peradilan pidana yang dinamakan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system)[8].
Pengadilan Negeri sebagai peradilan umum diberikan wewenang tambahan oleh KUHAP berupa praperadilan. Dalam menjalankan wewenang tambahan tersebut, praperadilan tetap berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
Lembaga praperadilan diakui dalam pasal 1 butir 10 pasal 77 KUHAP yaitu: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang[9]:
1)       Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
2)       Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Berdasarkan pasal 78 KUHAP yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 10  pasal 77 KUHAP adalah praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Selanjutnya mengenai pihak-pihak yang berhak mengajukan pemeriksaan praperadilan yaitu[10]:
1)       Tersangka, keluarga atau kuasanya terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan dapat diajukan (pasal 79 KUHAP)
2)       Penyidik, penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan terkait sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan (pasal 80 KUHAP)
3)       Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan mengenai tuntutan ganti kerugian dan atau rehabilitasi terkait tidak sahnya penangkapan atau penahanan maupun akibat sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal 81 KUHAP).
Permohonan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam waktu tiga hari setelah permohonan diterima, hakim yang ditunjuk menetapakan hari sidang sesuai dengan ketentuan pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP. Selanjutnya menurut pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAPditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari hakim yang memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan putusan.
Terhadap putusan hakim tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum banding kecuali putusan yang menetapkan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi sesuai dengan ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP. Akan tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU-IX/201, ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP dicabut sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan banding.
Selanjutnya tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan kebenaran melalui pengawasan horisontal. Pengawasan horisontal disini adalah untuk mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka. Tindakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal tersebut untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum[11].
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia memiliki tujuan untuk menyelesaikan kasus kejahatan sehingga keadilan dapat ditegakkan. Oleh karena itu lembaga praperadilan sebagai lembaga pengawas oleh hakim terhadap tindakan yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan akan mewujudkan tercapainya tujuan yang dikehendaki oleh sistem peradilan pidana tersebut.
Adapun tujuan pengawasan secara horisontal yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagiamana diatur dalam KUHAP. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.
Berdasarkan kewenangan pada pasal 77 KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih terbatas. Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran. Tidak hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80 KUHAP yaitu mengenai pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. Hal tersebut mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap interpretasi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian, meskipun terdapat suatu penyimpangan secara nyata dan jelas dalam upaya paksa, tetapi pihak-pihak yang dirugikan tidak mengajukan permohonan maka hakim praperadilan tidak dapat menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa tersebut.
Dibatasinya waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf c ditentukan bahwa pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lamatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Jika proses beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan dianggap gugur.
Dengan demikian perkara pokok sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri. Dibatasinya waktu tersebut mengacu pada salah satu asas dalam sistem peradilan pidana yaitu asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan.
Dalam praktek praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya surat perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering diabaikan oleh hakim praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum. Akibatnya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu perbedaan dasar pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi. Perkara yang diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan dan jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam penetapan sering berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim yang melakukan pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain itu juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.


BAB III
ANALISIS

Untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga yang dinamakan praperadilan.
Pra Peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain. Dalam penerapan upaya-upaya paksa, sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu lembaga pra peradilan.Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran. Tidak hanya itu, mengenai pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. Hal tersebut mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap interpretasi mengenai pihak ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian, meskipun terdapat suatu penyimpangan secara nyata dan jelas dalam upaya paksa, tetapi pihak-pihak yang dirugikan tidak mengajukan permohonan maka hakim praperadilan tidak dapat menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa tersebut.
Dibatasinya waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Jika proses beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan dianggap gugur. Hal ini termasuk masalah dalam praperadilan. Waktu yang terbatas membuat para petugas merasa di desak untuk secepatnya memutuskan perkara. Padahal setiap masalah bobotnya tidak sama.
Dalam praktek praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya surat perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering diabaikan oleh hakim praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum. Akibatnya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu perbedaan dasar pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi. Perkara yang diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan dan jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam penetapan sering berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim yang melakukan pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain itu juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.

BAB IV
KESIMPULAN

Praperadilan adalah merupakan pemeriksaan sebelum di sidang pengadilan. Eksistensi dan kehadiran praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang  dan fungsi tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini.  Praperadilan bertujuan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Wewenang Praperadilan adalah (1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada Pra Peradilan. (2) Memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. (3) Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada Pra Peradilan.
Tata cara atau proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian kesatu mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan. Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut: (1) Yang berhak mengajukan permohonan: (a) Tersangka, keluarganya atau kuasanya, (b) Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan, (c) Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan, (d) Tersangka, Ahli warisnya atau kuasanya, (e) Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi. (2) Pengajuan dan tata cara pemeriksaan Praperadilan: (a) Permohonan ditujukan kepada ketua pengadilan negeri, (b) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera, (c) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal, (d) Tata cara pemeriksaan Praperadilan: Penetapan hari sidang 3 hari setelah diregister, pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan, selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.Berdasarkan kewenangan pada pasal 77 KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih terbatas. (1) Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP. (2) Tidak hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80 KUHAP yaitu mengenai pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. (3) Selain itu hakim praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. (4) Dibatasinya waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan pasal 82 ayat 1 huruf c ditentukan bahwa pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lamatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Jika proses beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan dianggap gugur. (5) Dalam praktek praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. (6) Selain itu perbedaan dasar pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2000.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Anggun Prastawa. (“Tinjauan Yuridis Keberadaan Sistem Hakim Komisaris
Sebagai Alternatif Pengganti Sistem Pra Peradilan Untuk Memberikan
Keadilan Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Secara Efektif Dan
Prospek Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Yang Akan Datang”, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
Devi Kartika Sari dkk.  Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia. Malang: Uiversitas Brawijaya.
M. Yahya Harahap. 2012.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika.
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi. 2014. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana.
Jakarta: Kencana.



[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm 183.
[2]Anggun Prastawa, (“Tinjauan Yuridis Keberadaan Sistem Hakim Komisaris Sebagai Alternatif Pengganti Sistem Pra Peradilan Untuk Memberikan Keadilan Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Secara Efektif Dan Prospek Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana Yang Akan Datang”, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
[3]  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 2012) hlm 1.
[4]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 3.
[5]  M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 4
[6]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 1.
[7]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,  hlm 8
[8]  Devi Kartika Sari dkk,  Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya.
[9]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 2.
[10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 8.
[11]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar