BAB I
PENDAHULUAN
Pada
dasarnya penegakan hukum merupakan upaya yang secara sengaja dilakukan untuk
mewujudkan cita-cita hukum dalam rangka menciptakan keadilan dan kedamaian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal itu telah sesuai
dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia yaitu untuk mencapai suatu kedaan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara merata baik materiil maupun
spiritual yang berdasarkan Pancasila dan UUD1945.. Oleh karena itu, Indonesia
sebagai Negara hukum telah menjamin segala warga negaranya bersamaaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Perlindungan
hukum bagi masyarakat Indonesia merupakan kewajiban mutlakdari Bangsa
Indonesia. Hal itu dikarenakan Negara Indonesia adalah negara yangberdasarkan
atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penyelenggaraankekuasaan
haruslah bertumpu atas sendi-sendi negara hukum dan demokrasi. Rasa aman yang
diberikan oleh pemerintah tidak hanya ditujukan bagi rakyatmereka yang benar
saja, akan tetapi bagi mereka yang melakukan kesalahan ataupunbagi mereka yang
diduga melakukan kesalahan juga berhak memperoleh jaminan rasa aman terhadap diri
mereka. Seseorang yang melakukan kesalahan, dalam hal inimelakukan tindak
pidana di dalam Negara Indonesia yang berlandaskan hukum, makasudah sepantasnya
untuk diproses secara hukum yang berlaku di Negara Indonesiapula. Proses yang
berlaku untuk menahan seorang tersangka ataupun terdakwa harussesuai prosedur
yang berlaku.
Prosedur
yang berlaku tidak boleh bertentangan dan melanggar hak asasimanusia. Prosedur
harus bisa memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasimanusia khususnya
hak kemerdekaan. Di dalam Praperadilan, pejabat yangmelakukan penahanan atas
diri tersangka ataupun terdakwa baik polisi maupun jaksaharus bisa membuktikan
bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum(illegal) atau
tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.Hal ini
untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaanterhadap seorang
tersangka ataupun terdakwa itu benar-benar telah memenuh ketentuan hukum yang
berlaku maupun jaminan untuk tidak melangar hak asasimanusia.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Praperadilan?
2. Bagaimana
proses pemeriksaan Praperadilan?
3. Bagaimanakah
kedudukan Praperadilan di Indonesia?
C.
Tujuan
1. Untuk
mendeskripsikan tentang Praperadilan.
2. Untuk
mendeskripsikan proses pemeriksaan Praperadilan.
3. Untuk
mendeskripsikan tentang kedudukan Praperadilan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TINJAUAN
UMUM MENGENAI PRAPERADILAN
1. Pengertian
Praperadilan
Praperadilan
merupakan hal baru dalam dunia peradilan di Indonesia. Praperadilan merupakan
lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan
hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam Ba X bagian kesatu. Menurut
Andi Hamzah, secara harfiah kata “Praperadilan” berasal dari kata “Pra” yang
berarti sebelum dan “peradilan”, atau dengan kata lain Praperadilan adalah
merupakan pemeriksaan sebelum di sidang pengadilan[1].
Pengertian
Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 butir ke-10 KUHAP, Pra Peradilan adalah
wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
undang-undang ini tentang[2] :
a) Sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka.
b) Sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c) Permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Menurut
M. Yahya Harahap ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan,
Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai
instansi tingkat peradilan yang memberi putusan akhir atas suatu kasus
peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan
eksistensinya[3]:
a) berada
dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negari, dan sebagai lembaga
Pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pegadilan Negeri sebagai satuan tugas
yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,
b) dengan
demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping Pengadilan Negeri,
tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,
c) administratif
yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri,
dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan
Negeri,
d) tata
laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan
Negeri itu sendiri.
Dari
gambaran di atas, eksistensi dan kehadiran praperadilan bukan merupakan lembaga
peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan fungsi baru
yang dilimpahkan KUHP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi tambahan pengadilan negeri yang
telah ada selama ini.
2. Tujuan
Praperadilan
Seperti
yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak
pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum
untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan
dan sebagainya. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak
hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka,
tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum
dan undang-undang yang berlaku. Tindakan upaya paksa yang dilakukan
bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perampasan terhadap hak
asasi tersangka.
Pada
prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan bertujuan untuk mengawasi
tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian
upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakkan hukum di masa
HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang
dilakukan penyidik pada waktu itu, semuanya hilang oleh kewenangan yang tidak
terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga manapun[4].
Lembaga
yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan
pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntutan inilah yang
dilimpahkan KUHAP kepada Pra Peradilan. Kalau begitu, pada prinsipnya tujuan
utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan ”pengawasan
horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama
ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar
tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang[5].
3. Wewenang
Praperadilan
Wewenang yang
diberikan undang-undang kepada Praperadilan adalah[6]:
a) Memeriksa
dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama yang
diberikan undang-undang kepada Pra Peradilan. Memeriksa dan memutus sah atau
tidaknya penangkapan dan penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta
kepada Pra Peradilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan
penyidik kepadanya.
b) Memeriksa
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Penyidik
maupun penuntut umum berwenang menghentikan pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan. Alasan penghentian penyidikan yaitu hasil pemeriksaan penyidikan
atau penuntutan tidak cukup bukti untuk meneruskan perkaranya ke sidang
pengadilan. Atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan
kejahatan atau pelanggaran tindak pidana.
Dimungkinkan
juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut
umum atas alasan nebis in idem, karena ternyata apa yang disangkakan
kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan
diadili, dan putusan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bisa juga
penghentian dilakukan penyidik atau penuntut umum, disebabkan dalam perkara
yang disangkakan kepada tersangka terdapat unsur kadaluarsa untuk menuntut.
3)
Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Pasal 94 KUHAP mengatur tentang
tuntutan ganti kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat
hukumnya kepada Pra Peradilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan tersangka
berdasarkan alasan:
a) Karena
penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
b) Atau
oleh karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang;
c) Karena
kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau
diperiksa;
4)
Memeriksa permintaan rehabilitasi.
Pra
Peradilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan
tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan
tanpa dasar hukum yang orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak
diajukan ke sidang pengadilan.
5)
praperadilan terhadap tindakan penyitaan
Sehubungan
dengan permasalahan hukum ini dapat dijelaskan pendaat berikut. Pada dasarnya,
setiap upaya paksa dalam penegakan hukum mengandung nilai ham yang sangat asasi.
Oleh karena itu harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati, sehingga
perampasan atasnya harus sesuai dengan acara yang berlaku. Ditinjau dari
standar universal maupun KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM
atau hak privasi perseorangan yang dilakukan penguasa dalam melaksanakan fungsi
peradilan dalam sistem peradilan pidana, yang dapat diklarifikasikan meliputi:
a) Penangkapan
b) Penahanan
c) Penggeledahan
d) Penyitaan,
perampasan.
B.
Proses
Pemeriksaan Praperadilan
Tata
cara atau proses pemeriksaan sidang Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X,
Bagian kesatu mulai dari pasal 79 sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan
pasal-pasal tersebut, telah diatur tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan
di sidang Praperadilan. Tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan
dalam uraian berikut[7]:
1. Yang
berhak mengajukan permohonan
Siapa yang dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan Praperadilan mengenai sah atau tidaknya penagkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan atau mengenai sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan? Atau siap saja yang dapat mengajukan
tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi ke Praperadilan? Untuk menjelaskan
hal itu akan dikemukakan sesuai dengan alasan yang menjadi dasar pengajuan
permintaan pemeriksaan Praperadilan dan sekaligus dikaitkan dengan pihak yang
berhak mengajukan permintaan:
a. Tersangka,
keluarganya atau kuasanya
Tersangka, keluarganya atau
kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya:
1) Penangkapan
2) Penahanan
3) Penyitaan
4) Penggeledahan.
Demikian
menurut ketentuan Pasal 79 KUHAP yang menyatakan bahwa “Permintaan pemeriksaan
tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh
tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri.”
b. Penuntut
umum dan pihak ketiga yang berkepentingan
Berdasarkan ketentuan Pasal 80
KUHAP maka yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan berkaitan dengan permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan.
c. Penyidik
atau pihak ketiga yang berkepentingan
Di dalam Pasal 81 KUHAP telah
dijelaskan bahwa akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat
tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka tersangka atau pihak
ketiga dapat mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi kepada
ketua Pengadilan Negeri disertai dengan penyebutan alasan-alasannya.
d. Tersangka,
Ahli warisnya atau kuasanya
Hal ini sesuai dengan ketentuan
pasal 95 ayat 2 KUHAP menurut ketentuan yang dijelaskan dalam pasal tersebut,
tersangka ahli warisnya, atau penasihat hukumnya dapat mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada Praperadilan atas alasan:
1) Penangkapan
atau penahanan yang tidak sah
2) Penggeledahan
atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau
3) Karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak
diajukan ke sidang pengadilan.
e. Tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi
Menurut ketentuan pasal 81,
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti
kerugian kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau
sahnya penghentian penuntutan.
2. Pengertian
pihak ketiga yang berkepentingan
Mengenai pengertian “pihak ketiga
yang berkepentingan”, menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan. Ada
yang menafsirkan secara sempit, hanya terbatas:
a) Saksi
korban tindak pidana, atau
b) Pelapor
Sebaliknya,
muncul pendapat lain. Pengertian pihak ketiga yang berkepentingan harus
ditafsirkan secara luas. Tidak terbatas pada saksi korban atau pelapor, tetapi
meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana menyangkut kepentingan umum.
3. Pengajuan
dan tata cara pemeriksaan Praperadilan
Segala sesuatu yang menyangkut
administrasi dan pelaksanaan tugas Praperadilan,erada dibawah ruang lingkup
kebijaksanaan dan tata laksana ketua pengadilan negeri. Berdasar kenyataan ini,
aapun yang hendak diajukan kepada Praperadilan, tidak terlepas dari tubuh
pengadilan Negeri. Semua permintaan yang diajukan kepada Praperadilan, melalui
ketua pengadilan Negeri. Pengajuan permintaan pemeriksaan Praperadilan, dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Permohonan
ditujukan kepada ketua pengadilan negeri
Semua
permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan
kepada ketua pengadilan Negeri yang meliputi daerah hukum tempat dimana
penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau
diajukan kepada ketua pengadilan Negeri tempat dimana penyidik atau penuntut
umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan.
b. Permohonan
diregister dalam perkara Praperadilan
Setelah
panitera menerima permohonan, diregister dalam perkara Praperadilan. Segala
permohonan yang ditujukan kepada Praperadilan, dipisahkan registrasinya dari
perkara pidana biasa.
c. Ketua
pengadilan negeri segera menunjuk hakim dan panitera
Penunjukan
sesegera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan, merujuk
kepada ketentuan pasal 82 ayat (1) huruf a, yang menegaskan bahwa dalam waktu 3
hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang.
d. Pemeriksaan
dilakukan dengan hakim tunggal
Hakim
yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan adalah hakim tunggal. Semua
permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim
tunggal. Hal ini ditegaskan dalam pasal 78 ayat 2 yang berbunyi: Praperadilan
dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan
dibantu oleh seorang panitera.
e. Tata
cara pemeriksaan Praperadilan
Mengenai
tata cara pemeriksaan sidang Praperadilan, diatur dalam pasal 82 serta pasal
berikutnya. Bertitik tolak dari ketentuan dimaksud, pemeriksaan sidang
Praperadilan dapat dirinci sebagai berikut:
1) Penetapan
hari sidang 3 hari setelah diregister
2) Pada
hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan
3) Selambat-lambatnya
7 hari putusan sudah dijatuhkan
C.
Kedudukan
Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Di Indonesia
Sistem peradilan pidana (criminal
justice system) merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk dapat
menanggulangi masalah kejahatan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri
dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Lembaga
Pemasyarakatan. Indonesia sebagai negara hukum menganut sistem peradilan pidana
yang dinamakan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice
system)[8].
Pengadilan
Negeri sebagai peradilan umum diberikan wewenang tambahan oleh KUHAP berupa
praperadilan. Dalam menjalankan wewenang tambahan tersebut, praperadilan tetap
berada dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
Lembaga praperadilan diakui dalam pasal
1 butir 10 pasal 77 KUHAP yaitu: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa
dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini
tentang[9]:
1) Sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan
2) Ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkaranya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan
Berdasarkan pasal 78 KUHAP yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
butir 10 pasal 77 KUHAP adalah
praperadilan. Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Selanjutnya mengenai
pihak-pihak yang berhak mengajukan pemeriksaan praperadilan yaitu[10]:
1) Tersangka, keluarga
atau kuasanya terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan
dapat diajukan (pasal 79 KUHAP)
2) Penyidik, penuntut
umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan terkait sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan (pasal 80 KUHAP)
3) Tersangka atau pihak
ketiga yang berkepentingan mengenai tuntutan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi terkait tidak sahnya penangkapan atau penahanan maupun akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (pasal 81 KUHAP).
Permohonan pemeriksaan praperadilan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam waktu tiga hari
setelah permohonan diterima, hakim yang ditunjuk menetapakan hari sidang sesuai
dengan ketentuan pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP. Selanjutnya menurut pasal 82
ayat (1) huruf c KUHAPditegaskan bahwa pemeriksaan praperadilan dilakukan
secara cepat dan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari hakim yang
memeriksa perkara praperadilan harus sudah menjatuhkan putusan.
Terhadap putusan hakim tersebut tidak
dapat diajukan upaya hukum banding kecuali putusan yang menetapkan sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan putusan akhir
ke pengadilan tinggi sesuai dengan ketentuan pasal 83 ayat (2) KUHAP. Akan
tetapi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 65/PUU-IX/201, ketentuan
pasal 83 ayat (2) KUHAP dicabut sehingga terhadap putusan praperadilan tidak
dapat diajukan banding.
Selanjutnya tujuan Praperadilan seperti
yang tersirat dalam pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan
kebenaran melalui pengawasan horisontal. Pengawasan horisontal disini adalah
untuk mengawasi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut
umum terhadap tersangka. Tindakan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang
bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Hal tersebut untuk
meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam
pelaksanaan proses penegakan hukum[11].
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
memiliki tujuan untuk menyelesaikan kasus kejahatan sehingga keadilan dapat
ditegakkan. Oleh karena itu lembaga praperadilan sebagai lembaga pengawas oleh
hakim terhadap tindakan yang dilakukan oleh kepolisian maupun kejaksaan akan
mewujudkan tercapainya tujuan yang dikehendaki oleh sistem peradilan pidana
tersebut.
Adapun tujuan pengawasan secara
horisontal yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka atau
terdakwa. Perlindungan terhadap hak-hak tersangka yang diberikan oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak terlepas dari asas praduga tak bersalah
(presumption of innocence) sebagiamana diatur dalam KUHAP. Dalam
ketentuan tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam kenyataannya, lembaga praperadilan
ternyata belum efektif sebagai sarana pengawasan horizontal dalam melindungi
hak asasi tersangka maupun terdakwa, lembaga praperadilan memiliki kelemahan
dan kekurangan.
Berdasarkan kewenangan pada pasal 77
KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih terbatas.
Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas
pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun
pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP, sehingga menimbulkan
ketidakjelasan siapa yang berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran.
Tidak hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80 KUHAP yaitu mengenai
pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun
penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini
KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud
dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. Hal tersebut
mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap interpretasi mengenai pihak
ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim praperadilan bersifat
pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan dari pihak-pihak yang
berhak memohon pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian, meskipun terdapat
suatu penyimpangan secara nyata dan jelas dalam upaya paksa, tetapi pihak-pihak
yang dirugikan tidak mengajukan permohonan maka hakim praperadilan tidak dapat
menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa tersebut.
Dibatasinya waktu dalam proses beracara
merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan pasal 82 ayat (1) huruf c
ditentukan bahwa pemeriksaan dilakukan secara cepat dan selambat-lamatnya tujuh
hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Jika proses beracara perkara
praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara praperadilan
dianggap gugur.
Dengan demikian perkara pokok sudah
mulai diperiksa oleh pengadilan negeri. Dibatasinya waktu tersebut mengacu pada
salah satu asas dalam sistem peradilan pidana yaitu asas peradilan cepat
sederhana dan biaya ringan.
Dalam praktek praperadilan, hakim lebih
banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya paksa
tanpa memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai ada atau tidaknya surat
perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada tidaknya surat perintah
penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering diabaikan oleh hakim
praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut merupakan urusan penilaian
subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum. Akibatnya masih sering
terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum.
Selain itu perbedaan dasar pertimbangan
hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga sering terjadi.
Perkara yang diajukan dalam praperadilan banyak yang mempunyai dasar permohonan
dan jenis perkara yang sama. Namun nantinya dalam penetapan sering
berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan hakim-hakim yang melakukan
pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai persepsi yang berbeda-beda dalam
memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap kasus-kasus praperadilan. Selain itu
juga karena kurangnya pemahaman hakim terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.
BAB
III
ANALISIS
Untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada penyidik
dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan,
penahanan, penyitaan dan sebagainya. Seorang aparat sebagai penegak hukum dalam
melaksanakan kewajibannya tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat sesuatu
yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan untuk pemeriksaan demi terciptanya ketertiban dan keadilan
masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka,
atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin
perlindungan hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka KUHAP mengatur sebuah lembaga
yang dinamakan praperadilan.
Pra Peradilan merupakan inovasi
(lembaga baru) dalam KUHAP bersamaan dengan inovasi-inovasi yang lain. Dalam
penerapan upaya-upaya paksa, sebagaimana dimungkinkan dalam proses peradilan
pidana seperti penangkapan dan penahanan, tidak merendahkan harkat dan martabat
manusia, maka diperkenankanlah lembaga baru untuk melakukan pengawasan, yaitu
lembaga pra peradilan.Hadirnya praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan
tersendiri, tetapi hanya merupakan pembagian wewenang dan fungsi yang baru
dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang telah ada selama ini.
Dalam
kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana
pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa,
lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.Praperadilan hanya
memeriksa dan memutus tentang upaya paksa hanya terbatas pada penangkapan dan
penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan penyitaan ataupun pemeriksaan surat
tidak dijelaskan oleh KUHAP, sehingga menimbulkan ketidakjelasan siapa yang
berwenang memeriksa apabila terjadi pelanggaran. Tidak hanya itu, mengenai
pengajuan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun
penuntutan yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini
KUHAP tidak memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud
dengan pihak ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. Hal tersebut
mempengaruhi perbedaan penafsiran hakim terhadap interpretasi mengenai pihak
ketiga yang berkepentingan.
Selain itu hakim
praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan
dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. Dengan demikian,
meskipun terdapat suatu penyimpangan secara nyata dan jelas dalam upaya paksa,
tetapi pihak-pihak yang dirugikan tidak mengajukan permohonan maka hakim
praperadilan tidak dapat menguji dan memutus kebenaran dari upaya paksa
tersebut.
Dibatasinya
waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Jika proses
beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka perkara
praperadilan dianggap gugur. Hal ini termasuk masalah dalam praperadilan. Waktu
yang terbatas membuat para petugas merasa di desak untuk secepatnya memutuskan
perkara. Padahal setiap masalah bobotnya tidak sama.
Dalam praktek
praperadilan, hakim lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil
dari suatu upaya paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. Misalnya mengenai
ada atau tidaknya surat perintah penangkapan (pasal 18 KUHAP), atau ada
tidaknya surat perintah penahanan (pasal 21 ayat (2) KUHAP). Hal ini sering
diabaikan oleh hakim praperadilan karena hal adanya kekhawatiran tersebut
merupakan urusan penilaian subjektif dari pihak penyidik maupun penuntut umum.
Akibatnya masih sering terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Selain itu
perbedaan dasar pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan
praperadilan juga sering terjadi. Perkara yang diajukan dalam praperadilan
banyak yang mempunyai dasar permohonan dan jenis perkara yang sama. Namun
nantinya dalam penetapan sering berbeda-beda. Keadaan seperti ini disebabkan
hakim-hakim yang melakukan pemeriksaan permohonan praperadilan mempunyai
persepsi yang berbeda-beda dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan terhadap
kasus-kasus praperadilan. Selain itu juga karena kurangnya pemahaman hakim
terhadap ketentuan yang ada dalam KUHAP.
BAB
IV
KESIMPULAN
Praperadilan adalah merupakan
pemeriksaan sebelum di sidang pengadilan. Eksistensi dan kehadiran praperadilan
bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian
wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan
negeri, sebagai wewenang dan fungsi
tambahan pengadilan negeri yang telah ada selama ini. Praperadilan bertujuan untuk mengawasi
tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
undang-undang, dan benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum serta tidak
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Wewenang Praperadilan adalah
(1) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa Inilah wewenang pertama
yang diberikan undang-undang kepada Pra Peradilan. (2) Memeriksa sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. (3) Berwenang
memeriksa tuntutan ganti rugi Pasal 94 KUHAP mengatur tentang tuntutan ganti
kerugian yang diajukan keluarganya, tersangka atau penasehat hukumnya kepada
Pra Peradilan.
Tata cara atau proses pemeriksaan sidang
Praperadilan diatur oleh KUHAP dalam Bab X, Bagian kesatu mulai dari pasal 79
sampai dengan pasal 83. Berdasarkan ketetuan pasal-pasal tersebut, telah diatur
tata cara pengajuan dan proses pemeriksaan di sidang Praperadilan. Tata cara
pengajuan dan proses pemeriksaan dijelaskan dalam uraian berikut: (1) Yang
berhak mengajukan permohonan: (a) Tersangka, keluarganya atau kuasanya, (b)
Penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan, (c) Penyidik atau pihak
ketiga yang berkepentingan, (d) Tersangka, Ahli warisnya atau kuasanya, (e)
Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti rugi. (2)
Pengajuan dan tata cara pemeriksaan Praperadilan: (a) Permohonan ditujukan
kepada ketua pengadilan negeri, (b) Ketua pengadilan negeri segera menunjuk
hakim dan panitera, (c) Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal, (d) Tata
cara pemeriksaan Praperadilan: Penetapan hari sidang 3 hari setelah diregister,
pada hari penetapan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan,
selambat-lambatnya 7 hari putusan sudah dijatuhkan.
Dalam
kenyataannya, lembaga praperadilan ternyata belum efektif sebagai sarana
pengawasan horizontal dalam melindungi hak asasi tersangka maupun terdakwa,
lembaga praperadilan memiliki kelemahan dan kekurangan.Berdasarkan kewenangan
pada pasal 77 KUHAP, pengawasan praperadilan terhadap upaya paksa masih
terbatas. (1) Praperadilan hanya memeriksa dan memutus tentang upaya paksa
hanya terbatas pada penangkapan dan penahanan. Untuk tindakan penggeledahan dan
penyitaan ataupun pemeriksaan surat tidak dijelaskan oleh KUHAP. (2) Tidak
hanya itu, terkait dengan ketentuan pasal 80 KUHAP yaitu mengenai pengajuan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan maupun penuntutan
yang diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal ini KUHAP tidak
memberikan interpretasi yang jelas mengenai siapa yang dimaksud dengan pihak
ketiga yang berkepentingan dalam pasal tersebut. (3) Selain itu hakim
praperadilan bersifat pasif, artinya tidak ada sidang tanpa adanya tuntutan
dari pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan praperadilan. (4) Dibatasinya
waktu dalam proses beracara merupakan masalah dalam praperadilan. Berdasarkan
pasal 82 ayat 1 huruf c ditentukan bahwa pemeriksaan dilakukan secara cepat dan
selambat-lamatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya. Jika
proses beracara perkara praperadilan tidak selesai dalam 7(tujuh) hari maka
perkara praperadilan dianggap gugur. (5) Dalam praktek praperadilan, hakim
lebih banyak memperhatikan tidak dipenuhinya syarat formil dari suatu upaya
paksa tanpa memperhatikan syarat materiil. (6) Selain itu perbedaan dasar
pertimbangan hakim praperadilan dalam menjatuhkan putusan praperadilan juga
sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Andi
Hamzah. 2000.Hukum Acara Pidana Indonesia.
Jakarta : Sinar Grafika.
Anggun
Prastawa. (“Tinjauan Yuridis Keberadaan
Sistem Hakim Komisaris
Sebagai
Alternatif Pengganti Sistem Pra Peradilan Untuk Memberikan
Keadilan Dan
Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Secara Efektif Dan
Prospek
Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Yang Akan
Datang”, Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret,
2010)
Devi
Kartika Sari dkk. Analisis Yuridis Kedudukan
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia. Malang: Uiversitas Brawijaya.
M.
Yahya Harahap. 2012.Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Sinar Grafika.
Ismu
Gunadi, Jonaedi Efendi. 2014. Cepat dan
Mudah Memahami Hukum Pidana.
Jakarta: Kencana.
[1] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta :
Sinar Grafika, 2000), hlm 183.
[2]Anggun
Prastawa, (“Tinjauan Yuridis Keberadaan
Sistem Hakim Komisaris Sebagai Alternatif Pengganti Sistem Pra Peradilan Untuk
Memberikan Keadilan Dan Kepastian Hukum Bagi Masyarakat Secara Efektif Dan
Prospek Pengaturannya Dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana Yang Akan Datang”,
Skripsi, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010)
[3] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012) hlm 1.
[4]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 3.
[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 4
[6]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 1.
[7]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, hlm 8
[8] Devi
Kartika Sari dkk, Analisis Yuridis Kedudukan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan Sebagai Upaya Pembaharuan Lembaga Praperadilan Dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya.
[9]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 2.
[10] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 8.
[11]M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
hlm 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar