Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH SUMBER DAN DASAR PENDIDIKAN ISLAM


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai tujuan harus mempunyai dasar sebagai tempat berpijak yang baik dan kuat. Begitu juga dengan pendidikan Islam sebagai usaha untuk membentuk manusia yang berkepribadian utama harus mempunyai dasar yang baik. Dalam aktivitas pendidikan baik dalam penyusunan konsep teoritis maupun dalam pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar kokoh. Hal ini dimaksudkan agar yang terlingkupi dalam pendidikan mempunyai keteguhan dan keyakinan yang tegas sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah di samping oleh pengaruh dari luar pendidikan. Karena agama Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan,dengan sumbernya yaitu AlQuran,hadits,dan ijtihad.Sumber-sumber ini dalam pribadi manusia bertujuan mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak serta menguatkan iman dan takwa manusia. Pendidikan islam merupakan unsur terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar keimanannya terhadap Allah SWT, karena orang semakin banyak mengerti tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tahu dan lebih mengerti akan terciptanya seorang hamba yang beriman. Manusia hidup dalam dunia ini tanpa mengenal tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam, maka jelas bagi mereka sulit untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, apa lagi menjadi hamba yang beriman. Dari latar belakang masalah di atas, maka kita sebagai calon pendidik perlu mengetahui bagaimana sumber dan dasar Ilmu Pendidikan Islam sebagai landasan pokok agar pendidikan Islam tegak berdiri dan tidak mudah roboh karena pengaruh-pengaruh ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Saja Sumber pendidikan islam itu?
2.      Apa Saja dasar pendidikan islam itu?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Agar kita dapat mengetahui apa saja sumber pendidikan islam itu.
2.      Agar kita dapat mengetahui apa saja dasar pendidikan islam itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai agen of culture dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka dibutuhkan acuan pokok yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan yang menjadi dasar bagi pendidikan adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup masyarakat di mana pendidikan itu dilaksanakan. Untuk itu, karena yang akan dibicarakan di sini adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi pandangan hidup yang mendasarinya adalah pandangan yang Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan internal sebagai dasar. Kata dasar dalam bahasa; (Arab; asas, Inggris; foundation; Perancis, Latin; fundamentum) secara etimologi berarti; alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu pendapat, ajaran, aturan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pendidikan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991: 211).
Secara terminologi dasar mengandung arti sebagai sumber adanya sesuatu dan proposisi paling umum dan makna yang paling luas yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan, ajaran, atau hukum (Aly 1999: 19-30).
Sumber Pendidikan Islam ada dua: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber msaniah yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global (Nizar 2001: 95). Landasan pendidikan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra yakni al-Qur’an, Hadits, Ijtihad, serta kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat dan nilai-nilai atau tradisi (Azra 1999: 8-11 bandingkan dengan al-Faruqi 1984: 47-50). Sedangkan Yusuf Amir Faisal (1995: 118), dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah sebagai hukum tertulis, hukum yang tidak tertulis, dan hasil pemikiran manusia tentang hukum, .."misalnya Pancasila, UUD 1945, atau UU SPN. Menurut Hasan langgulung, dapat dipahami bahwa sumber pendidikan Islam menurut ia ada tiga yakni al-Qur’an, as-Sunnah serta ijtihad. Hal ini berbeda dengan Abdul Fattah Jalal yang membagi sumber ; pendidikan Islam ke dalam dua yaitu: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits dan alam semesta sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul dan dari kajian lebih lanjut terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global (Nizar 2000: 95). Secara eksplisit,  sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah di wahyukan-Nya kepada nabi Muhammad bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang bersifat universal. Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi sekaligus merupakan mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki  perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat manusia. Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap,Baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta material (Kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensinya yang tidak pernah mengalami perubahan. Kemungkinan terjadi perubahan hanya sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan pemaknaannya, sesuai dengan konteks zaman, situasi, kondisi, dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi. Ia merupakan pedoman normatif teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi operasional pendidikan Islam yang lebih lanjut Isinya mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia, baik itu motivasi untuk mempergunakan pancaindra dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam), motivasi agar manusia mempergunakan akalnya, lewat tamsilan-tamsilan Allah SWT. dalam al-Qur’an, maupun motivasi agar manusia mempergunakan hatinya untuk mentransfer nilai-nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Semua proses ini merupakan sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT. dalam al-Qur’an, agar manusia dapat mencari kesimpulan dan melaksanakan kesemua petunjuk tersebut dalam kehidupannya sebaik-baik mungkin.
Bila melihat begitu luas dan persuasifnya al-Qur’an dalam menuntun manusia, yang kesemuanya merupakan proses pendidikan kepada manusia, menjadikan al-Qur’an sebagai kitab dasar utama bagi pengembangan ilmu pengetahuan manusia. Mourice Bucaille (1979: 375) kagum akan isi kandungan al-Qur’an dan mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang obyektif dan memuat petunjuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern. Dari penafsiran terhadap ide-ide yang termuat. dalam al-Qur’an, sains modern dapat berkembang dengan pesat dan memainkan peranannya dalam membangun dunia ini.
Rujukan di atas memberikan kesimpulan yang jelas akan orientasi yang dimuat dan dikembangkan al-Qur’an bagi kepentingan manusia dalam melaksanakan amanat yang diberikan Allah SWT. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan Islam harus mengacu pada al-Qur’an, dengan berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan mampu mengantar dan mengarahkan manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu mencapai lesensi nilai-nilai ‘ubudiyah pada Khaliqnya.[1]
Dengan sikap ini, maka proses pendidikan Islam akan senantiasa terarah dan mampu menciptakan serta mengantarkan out putnya sebagai manusia berkualitas. Dan bertanggung jawab terhadap semua aktivitas yang dilakukannya. Hal ini dapat dilihat bahwa hampir dua pertiga dari ayat al-Qur’an mengandung nilai-nilai yang membudayakan manusia dan memotivasi manusia untuk mengembangkannya lewat proses pendidikan. Bila ditinjau dari proses turunnya yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditujukan Allah kepada manusia. Dengan proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk dilaksanakan pendidikan secara terencana dan berkesinambungan, layaknya proses turunnya al-Qur’an dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya. Di sisi lain, proses pendidikan yang ditunjukkan al-Qur’an bersifat merangsang emosi dan kesan insani manusia, baik secara induktif maupun deduktif. Dengan sentuhan emosional tersebut secara psikologis mampu untuk lebih mengkristal dalam diri peserta didik, yang akan terimplikasi lewat amal perbuatannya sehari-hari yang bernuansa Islami.[2]
Pendidikan pada dasarnya adalah proses atau tindakan untuk membentuk kepribadian manusia. Dengan pemahaman demikian, maka pendidikan menjadi sangat strategis, karena pendidikan ikut berperan aktif dalam menentukan corak dan bentuk aktivitas dan kehidupan manusia secara pribadi maupun sosial. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip tentang pendidikan. Misalnya ayat 13 dan 19 surat Luqman. Ayat-ayat tersebut menggariskan prinsip-prinsip materi pendidikan yang mencakup masalah keimanan, akhlak, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.[3]
Dengan demikian al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam harus dijadikan landasan dan sumber utama pendidikan Islam. Firman Allah:È
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar (Q.S: 31 Luqman: 13).
Ayat lain Misalnya:
Artinya: Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (Q.S.: 39 Al-Zumar: 9).
Dari rujukan ini, terlihat bahwa seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki misi dan implikasi kependidikan yang bergaya imperatif, motivatif, dan persuasif; dinamis, sebagai suatu sistem pendidikan yang utuh dan demokratis lcwat proses manusiawi. Proses kependidikan tersebut bertumpu pada kemampuan rohaniah dan jasmaniah masing-masing peserta didik, secara bertahap dan berkesinambungan, tanpa melupakan perkembangan zaman dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses pendidikan Islam tersebut merupakan proses konservasi dan transformasi, serta internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam. Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik mampu hidup secara serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
2.   Hadits (as-Sunnah)
Secara sederhana, hadits atau as-sunnah merupakan jalan atau cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya menjalankan dakwah Islam. Contoh yang dibenkan beliau dapat dibagi kepada tiga bagian pertama, hadits qauliyat yaitu yang berisikan pernyataan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits fi’liyyat yaitu yang berisi tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan Nabi. Ketiga hadits taqririyat yaitu yang merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi. Semua contoh yang ditunjukkan Nabi, merupakan sumber dan acuan yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum sebagian besar dari syariah Islam terkandung dalam al- Qur’an, namun muatan hukum yang terkandung, tidak mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat secara mendetail. Penjelasan syariah terkandung dalam al-Qur’an, masih bersifat umum dan global. Untuk itu, diperlukan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum al-Qur’an yang ada sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi kemashlatan hidup manusia dalam semua aspeknya.[4]
Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, termasuk pendidikan. Sunnah juga berisi petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat Islam menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang beriman dan bertaqwa. Rasulullah sendiri adalah guru dan pendidik utama yang menjadi profil setiap guru muslim. Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi juga menunjukkan jalan. Hal ini tidak hanya diakui oleh sarjana muslim, akan tetapi juga non muslim. Misalnya seorang Profesor dari Cleveland University, James E. Royster, mengawali tulisannya dengan mengemukakan ; bahwa belum ada dalam sejarah seorang manusia yang demikian sempurna diikuti, diteladani seperti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Sunnah dijadikan sebagai landasan kedua dalam pendidikan Islam.[5] Salah satu hadist Rasullullah yang dapat dijadikan sebagai landasan sekaligus dorongan dalam pendidikan Islam adalah:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Bahwasanya Rasulullah bersabda: Barang siapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (HR. Bukhari) (Ghazali dan Djumaris 1995: 64).
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam yang utama setelah al-Qur’an, eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan-keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan Ilahiah yang tidak terdapat dalam al- Qur’an, maupun yang terdapat dalam al-Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci. Untuk memperkuat kedudukan hadits sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dapat dilihat dari firman Allah:
Artinya: “Barang siapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya ia pun taat kepada Allah, dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S. an-Nisa’: 80)
Dari ayat di atas dapat dilihat dengan jelas, bahwa kedudukan hadits Nabi merupakan dasar utama yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Lewat contoh dan peraturan-peraturan yang diberikan Nabi, merupakan suatu bentuk pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan dijadikan referensi teoritis maupun praktis. Seirama dengan batasan di atas, Robert L. Guillick 8ebagaimana disitir oleh Jalaluddin Rahmat (1991: 115) mengakui akan keberadaan Nabi sebagai seorang pendidik yang paling berhasil dalam membimbing manusia ke arah kebahagiaan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat dan dapat dijadikan sebagai acuan dan dasar pendidikan islam.[6]
Dalam dataran pendidikan Islam acuan tersebut, dapat dilihat dari dua bentuk yaitu: pertarna, sebagai acuan syariah; yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran Islam secara teoritis, kedua acuan operasional-aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan peranannya sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evaluator yang profesional, adil dan tetap menjunjung tinggi nilai- nilai ajaran Islam. Semua ini dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melaksanakan proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga dalam waktu singkat diserap oleh para sahabat, evaluasi yang dilaksanakan sehingga bernilai efektif dan efisien, kharisma dan sifat pribadi seorang pendidik yang harus ada pada diri seorang pendidik yang telah ditunjukkan Nabi, cara Nabi memilih materi, alat peraga dan kondisi yang sebegitu adaptik, maupun cara Nabi menempatkan posisi peserta didiknya dan lain sebagainya. Semua itu merupakan figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan menjadi model bagi seluruh aktifitas manusia sebagai juswat al-hasanah (QS. 33: 21) yang telah dibimbing langsung Allah SWT (QS. 53: 3-4), sehingga hampir tidak mungkin melakukan kesalahan dalam proses pendidikan.[7]
Proses pendidikan Islam yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW. merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta didik, kebiasaan (adat istiadat) masyarakat, serta kondisi alam di mana proses pendidikan tersebut berlangsung dengan dibalut pilar-pilar aqidah Islamiah.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat dibagi kepada bentuk yaitu: pertama, pola pendidikan saat Nabi di Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah SWT, baik yang ada di alam semesta maupun yang ada di dalam dirinya. Melanjutkan pembuatan syair-syair yang indah dengan nuansa Islami, serta pembacaan ayat-ayat al-Qur’an merubah kebiasaan masyarakat Mekkah yang selama ini memulai suatu pekerjaan menyebut nama-nama berhala, dengan mama Allah (Basmalah), dan sebagainya. Secara kongkrit, pemetaan pendidikan Islam pada periode ini dapat dibagi pada empat aspek utama yaitu: pendidikan akhlak budi pekerti, dan pendidikan jasmani (kesehatan), seperti menunggang kuda, memanah dan menjaga kebersihan. Kedua, pola pendidikan pada saat Nabi di Madinah secara geografis Madinah merupakan daerah agraris. Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini membedakan sikap dan kebiasaan masyarakat di kedua daerah tersebut. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat petani yang saling membantu antara satu dengan yang lain. Mereka hidup rukun dan jarang sekali terjadi persengketaan, melihat kondisi ini, pola pendidikan yang diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi pada pemantapan nilai-nilai persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor pada satu ikatan. Untuk mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan Masjid sebagai sarana yang pendidikan yang efektif. Materi pendidikannya lebih ditekankan pada penanaman ketauhidan, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan sopan santun (adab) ke semua ini berjalan efektif karena di samping motivasi internal umat waktu itu, kharisma dan metode yang digunakan Nabi mampu mengayomi seluruh kepentingan seluruh masyarakat secara adil dan demokratis. Dengan mengacu pada pola ini, menjadikan pendidikan Islam sebagai piranti yang tangguh dan adaptik dalam mengantarkan peserta didiknya membangun peradaban yang bernuansa Islami (rahmat li al amin).[8]
3.   Ijtihad
Landasan berikutnya yang lebih bersifat praktis dan aplikatif adalah ijtihad para ulama. Dalam hal ini hasil ijtihad para pakar pendidikan Islam. Ijtihad itu sendiri dalam pemahaman umum adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh ilmuwan tertentu untuk menetapkan atau menentukan seeuatu hukum yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam meletakkan itjihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam, ada dua pendapat pertama, tidak menjadikannya sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Kelompok ini, hanya menempatkan al-Qur’an dan hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya sebagai upaya memahami makna ayat al- Qur’an dan hadits sesuai dengan konteksnya. Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Menurut kelompok ini, meskipun ijtihad merupakan salah satu metode istinbath hukum, akan tetapi pendapat para ulama akan hal ini, perlu dijadikan sumber rujukan untuk membangun paradigma pendi­dikan Islam. Dalam hal ini penulis cenderung pada pandangan kelompok kedua, tanpa bermaksud menyalahkan atau mengingkari pendapat pertama.[9]
Secara etimologi, ijtihad berarti usaha Jseras dan sungguh-sungguh (gigih). Yang dilakukan oleh para ulama untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas persoalan tertentu. Sementara menurut Abu Zahrah (tt: 156), Ijtihad merupakan produk ijma (kesepakatan) para mujtahid muslim pada suatu periode tertentu terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah (wafatnya) Nabi Muhammad SAW, lintuk menetapkan hukum syara’ atas berbagai persoalan umat yang bersifat ‘amaliy.[10]
Dari batasan di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad, pada dasarnya adalah proses penggalian dan penetapan hukum syar’iah yang dilakukan oleh para mujtahid muslim dengan menggunakan pendekatan nalar dan pendekatan lainnya: qiyas, mursalih al- mursalah, urf, dan sebagainya secara independen, guna memberikan jawaban hukum atas berbagai persoalan umat yang ketentuan hukumnya secara syar’iah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Rasulullah (an-Na’im 1994: 53). Oleh karena itu, lahan kajian analitis ijtihad, merupakan lahan kajian yang cukup luas keluasan tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang begitu bervariasi dan dinamis, seirama dengan perkembangan tuntutan akselerasi zaman (Daradjat 1998: 21), termasuklah aspek pendidikan di dalamnya, sebagai salah satu aspek yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan dinamis manusia.
Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan Hadits, merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan terutama pasca Nabi Muhammad SAW setiap waktu guna, mengantarkan manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman yang semakin mengglobal dan mendunia. Oleh karena, perkembangan zaman yang bersifat dinamis dan senantiasa berubah maka eksistensi ijtihad harus senantiasa diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan hadits. Dengan proses ini diharapkan akan diperoleh suatu dimensi kehidupan umat yang ummatik, dinamis dan dialektis, perlunya melakukan ijtihad secara dinamis dan senantiasa diperbaharui serta ditindaklanjuti oleh para mujtahid muslim sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Proses pemikiran ini berupaya menetapkan hukum Islami yang masih global. Hal ini disebabkan karena tidak semua dimensi kehidupan manusia ini normatif hukumnya secara terperinci dalam al-Qur’an dan Hadits. Sebagian besar hanya bersifat normatif hukum yang bersifat mutasyabihat. Untuk proses tersebut, menurut al-Sayuthi, diperlukan. setiap periode (ashr) diperlukan seorang atau sekelompok orang yang mampu berperan sebagai mujtahid. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal dan mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad, terutama di bidang pendidikan, tidak hanya saja sebatas bidang materi atau isi, kurikulum metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana akan tetapi mencakup seluruh sistem pendidikan dalam arti yang luas.[11]
Perlunya melakukan itjihad di bidang pendidikan, karena media pendidikan merupakan saran utama dalam membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia, indikasi ini memberikan arti, bahwa maju mundurnya atau sanggup tidaknya kebudayaan manusia berkembang secara dinamis sangat ditentukan dari dinamika sistem pendidikan yang dilaksanakan. Dinamika itjihad dalam mengantarkan manusia pada kehidupan  yang dinamis, harus senantiasa merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta prinsip pokok al-Qur’an dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol seluruh aktivitas manusia, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya.[12]
Di dunia pendidikan, itjihad dibutuhkan secara aktif untuk menata sistem pendidikan yang dialogis, peranan dan pengaruhnya sangat besar, umpamanya dalam menetapkan tujuan  pendidikan yang ingin dicapai meskipun secara umum rumusan sistem tersebut telah disebutkan dalam al-Qur’an (QS. 52:56). Akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia pada suatu periodisasi tertentu, yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perumusan sistem pendidikan yang kondusif dan dialektis, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sistem pendidikan yang dimaksud meliputi rumusan kurikulum yang digunakan, metode pendekatan operasionalisasi dalam interaksi proses belajar mengajar, sarana dan prasarana yang digunakan untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Diantaranya melakukan ijtihad tentang kebolehan membuat duplikat makhluk Allah (patung), yang sebelumnya diharamkan oleh para ulama, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan, yaitu sebagai media pendidikan yang efektif (seperti pelajaran biologi, geografi, dan sebagainya). Sebab, tidak semua media pendidikan dapat dihadirkan dalam kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung. Namun demikian, nilai-nilai ijtihad tersebut semaksimal mungkin harus senantiasa tidak bertentangan dengan prinsip pokok ajaran Islam, serta dibungkus rapi dengan ruh Ilahiah. Proses yang demikian akan membimbing peserta didik semakin meyakini Islam, sehingga seluruh aktivitas kehidupannya merupakan rangkaian ibadah kepada Khaliqnya.[13]
Untuk perumusan sistem pendidikan yang dialogis dan adaptik, baik karena pertimbangan perkembangan zaman maupun perkembangan kebutuhan manusia dengan berbagai potensi dan dimensinya yang dinamis, diperlukan upaya yang maksimal dan sistematis. Proses ijtihad harus merupakan kerja sama yang padu dan utuh, diantara para mujtahid.
Dalam konteks ini, sosok mujtahid harus merupakan para ahli pada berbagai disiplin ilmu. Dengan perpaduan tersebut, diharapkan akan lahir suatu sistem pendidikan yang utuh dan integral dan dibungkus rapi dalam bingkai religius keagamaan. Dengan sistematika yang demikian, akan diperoleh sistem pendidikan yang cukup kondusif, baik bagi pengembangan kebudayaan manusia dengan berbagai fenomena yang muncul maupun sebagai piranti dalam mengantarkan peserta didik untuk dapat melaksanakan amanat-Nya di muka bumi. Lewat proses ini, peserta didik akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki isecara optimal, yang pada gilirannya mampu menghasilkan berbagai macam bentuk teknologi yang bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dan segala isinya.
Bila penjelasan di atas dicermati lebih lanjut maka akan dapat terlihat dengan jelas, bahwa eksistensi sumber atau dasar pendidikan Islam, baik al-Qur’an, Hadits Rasulullah, maupun ijtihad para ulama merupakan suatu mata rantai yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya secara integral dan mewarnai seluruh sistem pendidikan yang dilaksanakan. Proses ini merupakan tindak lanjut untuk mendapatkan suatu bentuk sistem pendidikan yang ummatik, sebagai langkah lanjut proses mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, baik kualitas intelektual maupun kualitas moral.
Optimalisasi upaya tersebut merupakan tanggung jawab yang cukup berat dan harus dipikul baik oleh Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama, maupun lembaga pendidikan sosial dan kemasyarakatan. Kesatuan langkah dan misi ini, akan mampu menempatkan posisi pendidikan, sebagai sarana yang ampuh bagi proses pemberdayaan manusia. Apabila dari masing-masing komponen di atas, tidak berjalan secara bersamaan, maka akan mustahil proses pendidikan yang dilaksanakan akan mampu tugas dan fungsinya secara optimal.
Ijtihad tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan bahasa lain pelaksanaan ijtihad harus tetap mengikuti koridor yang telah diatur oleh mujtahid dengan tidak boleh bertentangan dengan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu landasan pendidikan islam. Ijtihad dalam pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman yang terus berubah, terasa semakin penting dan mendesak baik yang- menyangkut masalah ini atau materi, sistem, dan orientasinya.[14]
Oleh sebab itu, teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup uniat Islam. Misalnya ijtihad Ali Khalil tentang dimensi-dimensi manusia yang harus dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ali Khalil mengatakan: Dimensi-dimensi manusia yang harus diperhatikan pendidikan Qur’ani adalah dimensi jasad, dimensi akal),  dimensi akidah, dimensi akhlak, dimensi kejiwaan, dimensi estetika, dimensi sosial kemasyarakatan (al- Ainain 1980: 159).
Ijitihad di bidang pendidikan ternyata semakin penting. Sebab ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah \ masih bersifat pokok dan prinsip (al-Ainain tt: 159). Bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan prinsip dan dasarnya. Karena itu, semenjak zaman Rasulullah telah tumbuh dan berkembang tradisi ijtihad yang dituntut oleh perubahan zaman, situasi, dan kondisi yang terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, ajaran Islam sendiri telah berperang mengubah kehidupan manusia menjadi kepribadian Islam.
Dewasa ini adalah zaman yang jauh berbeda dari zaman ketika ajaran Islam baru datang. Namun demikian, seluruh umat Islam meyakini bahwa ajaran tersebut berlaku sepanjang masa, di segala tempat dan untuk segala kondisi sosial. Kenyataan yang dihadirkan oleh peralihan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. menyebabkan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Sebagai langkah untuk menyesuaikan dengan perkembangan tersebut, maka ijtihad dalam pendidikan merupa- kan sebuah keniscayaan. Dengan demikian, ijtihad dijadikan sebagai landasan pendidikan yang terakhir.
4.   Kata-kata Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat Nabi SAW. memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi SAW. antara lain: (1) Tradisi yang di- lakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan Sunnah Nabi SAW.; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar produk sendiri; (3) Unsur krea'tif dari kan­dungan merupakan ijtihad personal yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’, yang disebut dengan madzhab shahabt (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak terpisah dari petunjuk Nabi SAW. terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan (4) Praktik amaliah sahabat identik dengan ijma’ (konsensus umum).[15]
Upaya sahabat Nabi SAW. dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanart masyarakat dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat. Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia sebagai bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah Islam dan memerangi ke zaliman menjadi salah satu model dalam membangun strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan Al-Qur’an dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf satu dengan mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti bagaimana seyogianya etika peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirali pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.[16]
Mashalil al-tnursalah adalah menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash, dengan pertimbangan ke­maslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas menarik ke­maslahatan dan menolak kemudaratan. Mashalil al-mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik maslahat dan menolak nmdarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya bersifat umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan dengan nash.[17]
Para ahli pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam sesuai dengan kondisi lingkungan di i mma ia berada. Ketentuan yang dicetuskan berdasarkan mashalil al-mursalah paling tidak memiliki tiga kriteria: (1) apa yang dicetus­kan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi, misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan nllai dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan inanusia di muka bumi.[18]
6.   Tradisi atau Adat Kebiasaan Masyarakat ( Uruf)
Tradisi (uruf/‘adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera.[19] Nilai tradisi setiap masyarakat me­rupakan realitas yang multikompleks dan dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai pengeja- wantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai- nilai kemanusiaaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.[20]
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki corak tradisi unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sekalipun mereka memiliki kesamaan agama, tapi dalam hidup berbangsa dan bernegara akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasuI-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat: (1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan dan kemudaratan.[21]
B.  Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan filosofis, yang mana keenam macam dasar itu berpusat pada dasar filosofis.[22] Penentuan dasar tersebut agaknya sekuler, selain tidak memasukkan dasar religius, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar. Dalam Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama maka semua aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain, dan bernilai uhudiyah. Oleh karena itu, dasar operasional pendidikan yang enam di atas perlu ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.
1.   Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik. Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah SWT. dalam QS. al-Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah di- perbuatnya untuk hari esok.” Misalnya, bangsa Arab memiliki ke- gemaran untuk bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa Arab juga sebagai sumber perekat bangsa[23]
2.   Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosio- Inidaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan ma- syarakat. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak ke- liilangan konteks atau tercerabut dari akar masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyeleng- tfarakan format pendidikan yang baik pula.[24]
Dasar ekonomi adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali dan mengatur sumber-sumber, serta bertanggung jawab terhadap rencana dan anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pen­didikan harus bersih suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat. Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan liasil pendidikan. Misalnya, untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan mengembangkan sistem rentenir. lioleh jadi usahanya itu secara materiil berkembang, tetapi tidak akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan spiritual peserta didik. Allah SWT. berfirman kepada Nabi Dawud as. Dalam Hadis Qudsi: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari makanan syubhat karena sesungguhnya hati orang yang memakan makanan syubhat itu tertutup dari-Ku.” Pada Hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan liarta syubhat (tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan, apalagi harta yang haram.[25]
4.   Dasar Politik dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dasar ini juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah) dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.[26]
5.   Dasar Psikologi
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik, tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai, tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi pengembangan lembaga pendidikan.[27]
6.   Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pen­didikan. Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini sekadar menjadi bagian dari cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik, radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.[28]
7.   Dasar Religius
Dasar religius adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah dijelaskan pada sumber pendidikan I,slum. Dasar ini menjadi penting dalam pendidikan Islam, sebab dengan dasar ini maka semua kegiatan pendidikan jadi bermakna. Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pondidikan yang lain, seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis. Agama menjadi frame bagi semua dasar pendidikan Islam. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya. Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar pmdidikan Islam, maka semua tindakan kependidikan dianggap sebagai suatu ibadah, sebab ibadah merupakan aktualisasi diri (srIf-actualization) yang paling ideal dalam pendidikan Islam.[29]
Keberadaan agama, yang diadaptasikan dari Abdul Mujib,[30] di antara dasar-dasar pendidikan Islam yang lain dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 3.1 di halaman berikut ini.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa agama menjadi sumbu bagi ilnsar operasional pendidikan Islam. Gambar tersebut memiliki 4 lingkaran: (1) lingkaran (yang paling dalam) imaniyah-ilahiyyah, ymig intinya berupa rukun iman (iman kepada Allah, malaikat, kllabullah, rasulullah, hari kiamat, dan takdir); (2) lingkaran (yang lu'dua dari dalam) ‘ubudiyyah-ilahiyyah, yang intinya berupa rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) atau dikenal dengan ibadah mahdhah yang tata catanya sudah diatur secara permanen; (3) lingkaran (yang ketiga dari dalam) mu’amalah-ilahiyyah disebut juga ‘ubudiyyah-insaniyyah yang intinya berupa dasar yang muncul dari ijtihad manusia (seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) yang pelaksanaannya didasari nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.; dan (4) lingkaran (yang keempat dari dalam) muamalah-insaniyyah yang intinya berupa aktivitas-aktivitas pendidikan yang pelaksanaanya didasarkan atas dasar-dasar kemanusiaan (seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) tanpa dikaitkan dengan dasar agama.



Gambar 3.1 Agama dalam Sistem Pendidikan Islam[31]
Keterangan:
1.    Lingkaran terdiri atas empat macam, mulai dari yang kecil merupakan lingkaran irnaniah-ilahiah, ubudiah-ilahiah, muamalah-ilahiah, sampai pada yang besar merupakan lingkaran muamalah-insaniah.
2.     Setiap lingkaran terbagi enam dasar pendidikan, yaitu historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.
3.     Gambar pancaran. Artinya, semakin banyak wilayah yang mengenai pancaran irnaniah-ilahiah, maka semakin baik nilai kehidupan manusia, baik pada dasar historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.[32]

BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Kesimpulan dari uraian di atas, pemakalah menyimpulkan dari uraian tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sumber pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunah dan ijtihad. Adapun perlunya ijtihad digunakan karena semakin banyaknya permasalahan yang berkembang sekarang ini dalam bidang pendidikan, serta diperlukannya pemikiran-pemikiran baru yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. DanTujuan utama pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu taat dan bertakwa kepadaNya, serta dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sumber pendidikan Islam harus berpedoman pada dasar hukum Islam itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dua hal itulah yang menjadi landasan utama dalam pendidikan Islam, dan tentu saja ditambah dengan hasil pemikiran manusia (ra’yu) sepanjang itu tidak menyalahi Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan untuk dasar pendidikan islam itu ada 7 yaitu dasar historis, dasar sosiologis, dasar ekonomi, dasar politik dan administrative, dasar psikologi, dasar filosofis, dan dasar religious.
B.      Saran
Bagi seorang muslim, terutama mereka yang bergelut dibidang pendidikan Islam, disarankan untuk betul-betul mengetahui dan memahami dasar-dasar, norma atau etika serta harus mampu untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar agar dapat menghasilkan intelektual muslim yang cerdas, berwawasan dan taat dalam beribadah, sehingga tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah serta menjadi khalifah dimuka bumi benar-benar dapat dijalankan.


DAFTAR PUSTAKA

Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asasPendidikan Islam. Jakarta: al-Husna
Magnis Suseno, Frans. 1991. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: Gramedia
Masjfuk Zuhdi,  Masjfuk. 1990. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Haji Masagung
Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam cet.ke-1. Jakarta: Kencana Prenada Media
Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press
Muhaimin. Mujib, Abdul. Mudzakkir,  Jusuf. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media 
Rada dan Soleha. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Alfabeta



[1] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 26-27
[2] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 27

[3] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 28
[4] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 29-30
[5] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 30
[6] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 31
[7] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 31-32
[8] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 32-33
[9] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 33
[10] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 33-34
[11] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 34-35
[12] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 35
[13] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 36
[14] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 38
[15] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 40
[16] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 40
[17] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 41
[18] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 41
[19] Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 201-202.
[20] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat dari Konteks, (Jakarta: Gramedia, 1991), hal. 86-87.
[21] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), hal. 124.
[22] Hasan Langgulung, Asas-asasPendidikan Islam, (Jakarta: al-Husna, 1988), hal. 6-7, 12.

[23] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 44
[24] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 45
                                
[25] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 45
[26] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[27] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[28] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[29] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 47
[30] Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hal. 124-125.
[31] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 48-49
[32] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana. 2006). Hlm. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar