PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk
mencapai tujuan harus mempunyai dasar sebagai tempat berpijak yang baik dan
kuat. Begitu juga dengan pendidikan Islam sebagai usaha untuk membentuk manusia
yang berkepribadian utama harus mempunyai dasar yang baik. Dalam aktivitas
pendidikan baik dalam penyusunan konsep teoritis maupun dalam pelaksanaan
operasionalnya harus memiliki dasar kokoh. Hal ini dimaksudkan agar yang
terlingkupi dalam pendidikan mempunyai keteguhan dan keyakinan yang tegas
sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah di samping oleh
pengaruh dari luar pendidikan. Karena agama
Islam adalah agama universal yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai
berbagai aspek kehidupan,dengan sumbernya yaitu AlQuran,hadits,dan
ijtihad.Sumber-sumber ini dalam pribadi manusia bertujuan mewujudkan
kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak serta menguatkan
iman dan takwa manusia. Pendidikan islam merupakan unsur
terpenting bagi manusia untuk meningkatkan kadar keimanannya terhadap Allah
SWT, karena orang semakin banyak mengerti tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan
Islam maka kemungkinan besar mereka akan lebih tahu dan lebih mengerti akan
terciptanya seorang hamba yang beriman. Manusia hidup dalam dunia ini tanpa
mengenal tentang dasar-dasar Ilmu pendidikan Islam, maka jelas bagi mereka
sulit untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, apa lagi menjadi hamba yang
beriman. Dari
latar belakang masalah di atas, maka kita sebagai calon pendidik perlu mengetahui
bagaimana sumber dan dasar Ilmu Pendidikan Islam sebagai landasan pokok agar
pendidikan Islam tegak berdiri dan tidak mudah roboh karena pengaruh-pengaruh
ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Saja Sumber pendidikan islam itu?
2.
Apa Saja dasar pendidikan islam itu?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Agar kita dapat mengetahui apa saja sumber
pendidikan islam itu.
2.
Agar kita dapat mengetahui apa saja dasar
pendidikan islam itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Pendidikan Islam
Pendidikan
dalam menjalankan fungsinya sebagai agen of culture dan bermanfaat
bagi manusia itu sendiri, maka dibutuhkan acuan pokok yang mendasarinya. Karena
pendidikan merupakan bagian yang terpenting dari kehidupan manusia, yang secara
kodrati adalah insan pedagogik, maka acuan yang menjadi dasar bagi pendidikan
adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup masyarakat di mana pendidikan
itu dilaksanakan. Untuk itu, karena yang akan dibicarakan di sini adalah
pendidikan Islam, maka yang menjadi pandangan hidup yang mendasarinya adalah
pandangan yang Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan
internal sebagai dasar. Kata dasar dalam bahasa; (Arab; asas, Inggris; foundation; Perancis, Latin; fundamentum)
secara
etimologi berarti; alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu pendapat,
ajaran, aturan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pendidikan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991: 211).
Secara
terminologi dasar mengandung arti sebagai sumber adanya sesuatu dan proposisi
paling umum dan makna yang paling luas yang dijadikan sumber ilmu pengetahuan,
ajaran, atau hukum (Aly 1999: 19-30).
Sumber
Pendidikan Islam ada dua: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits, dan alam semesta
sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber msaniah yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena
yang muncul dan dari kajian terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global (Nizar
2001: 95). Landasan pendidikan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra yakni
al-Qur’an, Hadits, Ijtihad, serta kata-kata sahabat, kemaslahatan masyarakat
dan nilai-nilai atau tradisi (Azra 1999: 8-11 bandingkan dengan al-Faruqi 1984:
47-50). Sedangkan Yusuf Amir Faisal (1995: 118), dasar pendidikan Islam adalah
al-Qur’an,
al-Sunnah sebagai hukum tertulis, hukum yang tidak
tertulis, dan
hasil pemikiran manusia tentang hukum, .."misalnya Pancasila, UUD 1945,
atau UU SPN. Menurut Hasan langgulung, dapat dipahami bahwa sumber pendidikan
Islam menurut ia ada tiga yakni al-Qur’an, as-Sunnah serta ijtihad. Hal ini berbeda dengan Abdul Fattah Jalal yang membagi sumber ; pendidikan
Islam ke dalam dua yaitu: pertama, sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits dan alam semesta
sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang muncul
dan dari kajian
lebih lanjut terhadap sumber Ilahi yang masih bersifat global (Nizar 2000: 95). Secara eksplisit, sumber tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan kalam Allah yang telah di wahyukan-Nya kepada nabi Muhammad bagi seluruh umat manusia.
Al-Qur’an
merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang
bersifat
universal. Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi sekaligus merupakan
mulia yang
esensinya tidak dapat dimengerti, kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.
Al-Qur’an
merupakan kitab Allah SWT yang memiliki
perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan
umat manusia.
Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap,Baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral
(akhlak),
maupun spiritual (kerohanian), serta material (Kejasmanian)
dan alam
semesta. Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensinya
yang tidak pernah mengalami perubahan. Kemungkinan terjadi perubahan hanya
sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki kedinamisan
pemaknaannya, sesuai dengan konteks zaman, situasi, kondisi, dan kemampuan
manusia dalam melakukan interpretasi. Ia merupakan pedoman normatif teoritis
bagi pelaksanaan pendidikan Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi
operasional pendidikan Islam yang lebih lanjut Isinya mencakup seluruh dimensi
manusia dan mampu menyentuh seluruh potensi manusia, baik itu motivasi untuk
mempergunakan pancaindra dalam menafsirkan alam semesta bagi kepentingan
formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan Islam), motivasi agar manusia
mempergunakan akalnya, lewat tamsilan-tamsilan Allah SWT. dalam al-Qur’an,
maupun motivasi agar manusia mempergunakan hatinya untuk mentransfer
nilai-nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Semua proses ini merupakan
sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT. dalam al-Qur’an, agar manusia
dapat mencari kesimpulan dan melaksanakan kesemua petunjuk tersebut dalam
kehidupannya sebaik-baik mungkin.
Bila melihat
begitu luas dan persuasifnya al-Qur’an dalam menuntun manusia, yang kesemuanya
merupakan proses pendidikan kepada manusia, menjadikan al-Qur’an sebagai kitab
dasar utama bagi pengembangan ilmu pengetahuan manusia. Mourice Bucaille (1979:
375) kagum akan isi kandungan al-Qur’an dan mengatakan bahwa al-Qur’an
merupakan kitab suci yang obyektif dan memuat petunjuk bagi pengembangan ilmu
pengetahuan modern. Dari penafsiran terhadap ide-ide yang termuat. dalam
al-Qur’an, sains modern dapat berkembang dengan pesat dan memainkan peranannya
dalam membangun dunia ini.
Rujukan di atas
memberikan kesimpulan yang jelas akan orientasi yang dimuat dan dikembangkan
al-Qur’an bagi kepentingan manusia dalam melaksanakan amanat yang diberikan
Allah SWT. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan Islam harus mengacu pada
al-Qur’an, dengan berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an
terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan mampu mengantar dan
mengarahkan manusia bersifat dinamis dan kreatif, serta mampu mencapai lesensi
nilai-nilai ‘ubudiyah pada Khaliqnya.[1]
Dengan sikap
ini, maka proses pendidikan Islam akan senantiasa terarah dan mampu menciptakan serta mengantarkan out
putnya sebagai manusia berkualitas. Dan bertanggung jawab terhadap semua
aktivitas yang dilakukannya. Hal ini dapat dilihat bahwa
hampir dua
pertiga dari ayat al-Qur’an mengandung nilai-nilai
yang
membudayakan manusia dan memotivasi manusia untuk
mengembangkannya
lewat proses pendidikan. Bila ditinjau dari proses turunnya yang
berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi
peristiwa turunnya, merupakan proses pendidikan yang ditujukan Allah kepada manusia.
Dengan proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk dilaksanakan pendidikan secara terencana dan
berkesinambungan, layaknya proses turunnya al-Qur’an dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya. Di sisi lain, proses
pendidikan yang ditunjukkan al-Qur’an bersifat merangsang emosi dan kesan insani manusia, baik
secara induktif maupun deduktif. Dengan sentuhan
emosional
tersebut secara psikologis mampu untuk lebih mengkristal dalam diri peserta didik, yang akan terimplikasi lewat amal
perbuatannya sehari-hari yang bernuansa Islami.[2]
Pendidikan pada
dasarnya adalah proses atau tindakan untuk membentuk kepribadian manusia.
Dengan pemahaman demikian, maka pendidikan menjadi sangat strategis, karena
pendidikan ikut berperan aktif dalam menentukan corak dan bentuk aktivitas dan
kehidupan manusia secara pribadi maupun sosial. Dalam al-Qur’an terdapat banyak
ajaran yang berisi prinsip-prinsip tentang pendidikan. Misalnya ayat 13 dan 19
surat Luqman. Ayat-ayat tersebut menggariskan prinsip-prinsip materi pendidikan
yang mencakup masalah keimanan, akhlak, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.[3]
Dengan demikian
al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam harus dijadikan landasan dan sumber
utama pendidikan Islam. Firman Allah:È
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia memberi
pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar
(Q.S: 31 Luqman: 13).
Ayat lain Misalnya:
Artinya: Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui”. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah
yang dapat menerima pelajaran (Q.S.: 39 Al-Zumar: 9).
Dari rujukan
ini, terlihat bahwa seluruh dimensi yang terkandung dalam al-Qur’an memiliki
misi dan implikasi kependidikan yang bergaya imperatif, motivatif, dan persuasif; dinamis,
sebagai suatu sistem pendidikan yang utuh
dan demokratis
lcwat proses manusiawi. Proses kependidikan tersebut bertumpu pada
kemampuan rohaniah dan jasmaniah masing-masing peserta didik, secara bertahap
dan berkesinambungan, tanpa melupakan perkembangan zaman dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses
pendidikan Islam tersebut merupakan proses konservasi dan transformasi, serta
internalisasi nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan oleh ajaran Islam.
Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik mampu hidup secara serasi dan
seimbang, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
2.
Hadits (as-Sunnah)
Secara
sederhana, hadits atau as-sunnah merupakan jalan atau cara yang
pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan kehidupannya menjalankan dakwah Islam. Contoh yang
dibenkan beliau dapat dibagi kepada tiga
bagian pertama,
hadits qauliyat yaitu yang
berisikan pernyataan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Kedua, hadits
fi’liyyat yaitu yang berisi
tindakan dan perbuatan yang pernah dilakukan Nabi. Ketiga
hadits taqririyat yaitu yang
merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa yang terjadi. Semua contoh yang
ditunjukkan Nabi, merupakan sumber dan acuan yang dapat digunakan umat Islam
dalam seluruh aktivitas kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum
sebagian besar dari syariah Islam terkandung dalam al- Qur’an, namun muatan
hukum yang terkandung, tidak mengatur berbagai dimensi aktivitas kehidupan umat
secara mendetail. Penjelasan syariah terkandung dalam al-Qur’an, masih bersifat
umum dan global. Untuk itu, diperlukan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat
hukum-hukum al-Qur’an yang ada sekaligus sebagai petunjuk (pedoman) bagi
kemashlatan hidup manusia dalam semua aspeknya.[4]
Sunnah
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, termasuk pendidikan. Sunnah juga
berisi petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan hidup manusia dalam segala
aspeknya, untuk membina umat Islam menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang
beriman dan bertaqwa. Rasulullah sendiri adalah guru dan pendidik utama yang
menjadi profil setiap guru muslim. Beliau tidak hanya mengajar, mendidik, tapi
juga menunjukkan jalan. Hal ini tidak hanya diakui oleh sarjana muslim, akan
tetapi juga non muslim. Misalnya seorang Profesor dari Cleveland University,
James E. Royster, mengawali tulisannya dengan mengemukakan ; bahwa
belum ada dalam sejarah seorang manusia yang demikian sempurna diikuti,
diteladani seperti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, Sunnah dijadikan sebagai
landasan kedua dalam pendidikan Islam.[5] Salah satu hadist Rasullullah yang dapat dijadikan sebagai
landasan sekaligus dorongan dalam pendidikan Islam adalah:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. Bahwasanya Rasulullah bersabda:
Barang siapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan maka
Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (HR. Bukhari) (Ghazali dan
Djumaris 1995: 64).
Dari sini dapat
dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi sebagai sumber pendidikan Islam
yang utama setelah al-Qur’an, eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu
pengetahuan yang berisikan keputusan-keputusan dan penjelasan Nabi dari
pesan-pesan Ilahiah yang tidak terdapat dalam al- Qur’an, maupun yang terdapat
dalam al-Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara
terperinci. Untuk memperkuat kedudukan hadits sebagai sumber inspirasi ilmu
pengetahuan, dapat dilihat dari firman Allah:
Artinya: “Barang siapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya ia pun
taat kepada Allah, dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu) maka
Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (Q.S. an-Nisa’:
80)
Dari ayat di
atas dapat dilihat dengan jelas, bahwa kedudukan hadits Nabi merupakan dasar
utama yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam.
Lewat contoh dan peraturan-peraturan yang diberikan Nabi, merupakan suatu
bentuk pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan dijadikan referensi
teoritis maupun praktis. Seirama dengan batasan di atas, Robert L. Guillick
8ebagaimana disitir oleh Jalaluddin Rahmat (1991: 115) mengakui akan keberadaan
Nabi sebagai seorang pendidik yang paling berhasil dalam membimbing manusia ke
arah kebahagiaan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat dan dapat dijadikan
sebagai acuan dan dasar pendidikan islam.[6]
Dalam dataran
pendidikan Islam acuan tersebut, dapat dilihat dari dua bentuk yaitu: pertarna, sebagai acuan syariah; yang meliputi muatan-muatan pokok ajaran
Islam secara teoritis, kedua acuan operasional-aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan
peranannya sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evaluator yang profesional,
adil dan tetap menjunjung tinggi nilai- nilai ajaran Islam. Semua ini dapat
dilihat dari bagaimana cara Nabi melaksanakan proses belajar mengajar, metode
yang digunakan sehingga dalam waktu singkat diserap oleh para sahabat, evaluasi
yang dilaksanakan sehingga bernilai efektif dan efisien, kharisma dan sifat
pribadi seorang pendidik yang harus ada pada diri seorang pendidik yang telah
ditunjukkan Nabi, cara Nabi memilih materi, alat peraga dan kondisi yang
sebegitu adaptik, maupun cara Nabi menempatkan posisi peserta didiknya dan lain
sebagainya. Semua itu merupakan figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan
menjadi model bagi seluruh aktifitas manusia sebagai juswat al-hasanah (QS. 33: 21)
yang telah dibimbing langsung Allah SWT (QS. 53: 3-4), sehingga hampir tidak
mungkin melakukan kesalahan dalam proses pendidikan.[7]
Proses
pendidikan Islam yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW. merupakan bentuk
pelaksanaan pendidikan yang bersifat fleksibel dan universal, sesuai dengan
potensi yang dimiliki peserta didik, kebiasaan (adat istiadat) masyarakat,
serta kondisi alam di mana proses pendidikan tersebut berlangsung dengan
dibalut pilar-pilar aqidah Islamiah.
Dalam konteks
ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat dibagi kepada bentuk yaitu: pertama, pola
pendidikan saat Nabi di Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya
membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan Allah SWT, baik yang ada di
alam semesta maupun yang ada di dalam dirinya. Melanjutkan pembuatan
syair-syair yang indah dengan nuansa Islami, serta pembacaan ayat-ayat
al-Qur’an merubah kebiasaan masyarakat Mekkah yang selama ini memulai suatu
pekerjaan menyebut nama-nama berhala, dengan mama Allah (Basmalah), dan sebagainya. Secara kongkrit, pemetaan pendidikan Islam pada
periode ini dapat dibagi pada empat aspek utama yaitu: pendidikan akhlak budi
pekerti, dan pendidikan jasmani (kesehatan), seperti menunggang kuda, memanah
dan menjaga kebersihan. Kedua, pola
pendidikan pada saat Nabi di Madinah secara geografis Madinah merupakan daerah
agraris. Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat perdagangan. Ini membedakan
sikap dan kebiasaan masyarakat di kedua daerah tersebut. Masyarakat Madinah
merupakan masyarakat petani yang saling membantu antara satu dengan yang lain.
Mereka hidup rukun dan jarang sekali terjadi persengketaan, melihat kondisi
ini, pola pendidikan yang diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi pada
pemantapan nilai-nilai persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor pada satu
ikatan. Untuk mewujudkan ini, pertama-tama Nabi lakukan dengan mendirikan Masjid sebagai sarana yang pendidikan yang efektif. Materi
pendidikannya lebih ditekankan pada
penanaman
ketauhidan, pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan sopan
santun (adab) ke semua ini berjalan efektif karena di samping motivasi internal umat waktu itu, kharisma dan metode yang
digunakan Nabi mampu mengayomi seluruh kepentingan seluruh masyarakat secara adil dan demokratis. Dengan mengacu
pada pola ini, menjadikan pendidikan Islam sebagai piranti yang tangguh dan adaptik dalam
mengantarkan peserta didiknya membangun peradaban yang bernuansa Islami (rahmat li al amin).[8]
3.
Ijtihad
Landasan
berikutnya yang lebih bersifat praktis dan aplikatif adalah ijtihad para ulama.
Dalam hal ini hasil ijtihad para pakar pendidikan Islam. Ijtihad itu sendiri
dalam pemahaman umum adalah berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu dan
kemampuan yang dimiliki oleh ilmuwan tertentu untuk menetapkan atau menentukan
seeuatu hukum yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan
Sunnah.
Dalam
meletakkan itjihad sebagai sumber
dasar pendidikan Islam, ada dua pendapat pertama, tidak
menjadikannya sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Kelompok ini, hanya
menempatkan al-Qur’an dan hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya
sebagai upaya memahami makna ayat al- Qur’an dan hadits sesuai dengan
konteksnya. Kedua, meletakkan
ijtihad sebagai sumber dasar pendidikan Islam. Menurut kelompok ini,
meskipun ijtihad merupakan salah satu metode
istinbath hukum,
akan tetapi pendapat para ulama akan hal ini,
perlu dijadikan
sumber rujukan untuk membangun paradigma pendidikan Islam. Dalam hal ini
penulis cenderung pada pandangan kelompok kedua, tanpa bermaksud menyalahkan
atau mengingkari pendapat pertama.[9]
Secara
etimologi, ijtihad berarti usaha Jseras dan sungguh-sungguh (gigih). Yang
dilakukan oleh para ulama untuk menetapkan hukum suatu perkara atau suatu
ketetapan atas persoalan tertentu. Sementara menurut Abu Zahrah (tt: 156),
Ijtihad merupakan produk ijma (kesepakatan) para mujtahid muslim pada suatu periode tertentu
terhadap berbagai persoalan yang terjadi setelah (wafatnya) Nabi Muhammad SAW,
lintuk menetapkan hukum syara’ atas berbagai persoalan umat yang bersifat ‘amaliy.[10]
Dari batasan di
atas, dapat diketahui bahwa ijtihad, pada dasarnya adalah proses penggalian dan
penetapan hukum syar’iah yang dilakukan oleh para mujtahid muslim dengan
menggunakan pendekatan nalar dan pendekatan lainnya: qiyas, mursalih al- mursalah, urf, dan sebagainya
secara independen, guna memberikan jawaban hukum atas berbagai persoalan umat
yang ketentuan hukumnya secara syar’iah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah (an-Na’im 1994: 53). Oleh karena itu, lahan kajian analitis
ijtihad, merupakan lahan kajian yang cukup luas keluasan tersebut meliputi
seluruh aspek kehidupan manusia yang begitu bervariasi dan dinamis, seirama
dengan perkembangan tuntutan akselerasi zaman (Daradjat 1998: 21), termasuklah
aspek pendidikan di dalamnya, sebagai salah satu aspek yang tak bisa dipisahkan
dari kehidupan dinamis manusia.
Eksistensi
ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dan Hadits,
merupakan dasar hukum yang sangat dibutuhkan terutama pasca Nabi Muhammad SAW
setiap waktu guna, mengantarkan manusia dalam menjawab berbagai tantangan zaman
yang semakin mengglobal dan mendunia. Oleh karena, perkembangan zaman yang
bersifat dinamis dan senantiasa berubah maka eksistensi ijtihad harus
senantiasa diperbaharui, seirama dengan tuntutan perkembangan zaman, selama
tidak bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan hadits. Dengan proses ini
diharapkan akan diperoleh suatu dimensi kehidupan umat yang ummatik, dinamis
dan dialektis, perlunya melakukan ijtihad secara dinamis dan senantiasa
diperbaharui serta ditindaklanjuti oleh para mujtahid muslim sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan manusia, merupakan hal yang mutlak harus dilakukan.
Proses pemikiran ini berupaya menetapkan hukum Islami yang masih global. Hal
ini disebabkan karena tidak semua dimensi kehidupan manusia ini normatif hukumnya secara terperinci dalam al-Qur’an dan Hadits. Sebagian besar hanya
bersifat normatif hukum yang bersifat mutasyabihat. Untuk proses tersebut, menurut al-Sayuthi, diperlukan. setiap
periode (ashr) diperlukan seorang atau sekelompok orang yang mampu berperan
sebagai mujtahid. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin mengglobal dan mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad, terutama di bidang pendidikan, tidak hanya saja sebatas bidang materi atau isi, kurikulum metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana akan
tetapi mencakup seluruh sistem pendidikan dalam arti yang luas.[11]
Perlunya
melakukan itjihad di bidang pendidikan, karena media pendidikan merupakan saran
utama dalam membangun pranata kehidupan sosial dan kebudayaan manusia, indikasi
ini memberikan arti, bahwa maju mundurnya atau sanggup tidaknya kebudayaan
manusia berkembang secara dinamis sangat ditentukan dari dinamika sistem
pendidikan yang dilaksanakan. Dinamika itjihad dalam mengantarkan manusia pada
kehidupan yang dinamis, harus senantiasa
merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai serta prinsip pokok
al-Qur’an dan Hadits. Proses ini akan mampu mengontrol seluruh aktivitas
manusia, sekaligus sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya.[12]
Di dunia
pendidikan, itjihad dibutuhkan secara aktif untuk menata sistem pendidikan yang
dialogis, peranan dan pengaruhnya sangat besar, umpamanya dalam menetapkan
tujuan pendidikan yang ingin dicapai
meskipun secara umum rumusan sistem tersebut telah disebutkan dalam al-Qur’an
(QS. 52:56). Akan tetapi secara khusus, tujuan-tujuan tersebut memiliki dimensi
yang harus dikembangkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia pada suatu
periodisasi tertentu, yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Untuk mencapai
tujuan tersebut, diperlukan perumusan sistem pendidikan yang kondusif dan
dialektis, yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sistem pendidikan yang
dimaksud meliputi rumusan kurikulum yang digunakan, metode pendekatan
operasionalisasi dalam interaksi proses belajar mengajar, sarana dan prasarana
yang digunakan untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Diantaranya
melakukan ijtihad tentang kebolehan membuat duplikat makhluk Allah (patung),
yang sebelumnya diharamkan oleh para ulama, dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan, yaitu sebagai media pendidikan yang efektif (seperti pelajaran
biologi, geografi, dan sebagainya). Sebab, tidak semua media pendidikan dapat
dihadirkan dalam kelas ketika proses belajar mengajar berlangsung. Namun
demikian, nilai-nilai ijtihad tersebut semaksimal mungkin harus senantiasa
tidak bertentangan dengan prinsip pokok ajaran Islam, serta dibungkus rapi
dengan ruh Ilahiah. Proses yang demikian akan membimbing peserta didik semakin
meyakini Islam, sehingga seluruh aktivitas kehidupannya merupakan rangkaian
ibadah kepada Khaliqnya.[13]
Untuk perumusan
sistem pendidikan yang dialogis dan adaptik, baik karena pertimbangan
perkembangan zaman maupun perkembangan kebutuhan manusia dengan berbagai
potensi dan dimensinya yang dinamis, diperlukan upaya yang maksimal dan
sistematis. Proses ijtihad harus merupakan kerja sama yang padu dan utuh,
diantara para mujtahid.
Dalam konteks
ini, sosok mujtahid harus merupakan para ahli pada berbagai disiplin ilmu.
Dengan perpaduan tersebut, diharapkan akan lahir suatu sistem pendidikan yang
utuh dan integral dan dibungkus rapi dalam bingkai religius keagamaan. Dengan
sistematika yang demikian, akan diperoleh sistem pendidikan yang cukup
kondusif, baik bagi pengembangan kebudayaan manusia dengan berbagai fenomena
yang muncul maupun sebagai
piranti dalam mengantarkan peserta didik untuk dapat melaksanakan amanat-Nya di muka bumi. Lewat proses ini,
peserta didik akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki isecara optimal, yang pada gilirannya mampu menghasilkan berbagai macam bentuk teknologi yang bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dan segala isinya.
Bila penjelasan
di atas dicermati lebih lanjut maka akan
dapat terlihat dengan jelas, bahwa eksistensi sumber atau dasar pendidikan Islam, baik al-Qur’an, Hadits Rasulullah, maupun ijtihad para ulama merupakan suatu mata rantai yang saling berkaitan
antara satu dengan yang lainnya secara integral dan mewarnai seluruh sistem
pendidikan yang dilaksanakan. Proses ini merupakan tindak lanjut untuk
mendapatkan suatu bentuk sistem pendidikan yang ummatik, sebagai langkah lanjut
proses mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, baik kualitas
intelektual maupun kualitas moral.
Optimalisasi
upaya tersebut merupakan tanggung jawab yang cukup berat dan harus dipikul baik oleh Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama, maupun lembaga pendidikan sosial dan kemasyarakatan. Kesatuan langkah dan misi ini, akan mampu menempatkan posisi pendidikan, sebagai sarana yang
ampuh bagi proses pemberdayaan manusia. Apabila dari masing-masing komponen di atas, tidak berjalan secara bersamaan, maka akan mustahil proses pendidikan yang dilaksanakan akan mampu tugas dan fungsinya secara optimal.
Ijtihad
tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan dengan tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan bahasa lain pelaksanaan ijtihad harus tetap mengikuti koridor yang telah diatur oleh mujtahid dengan
tidak boleh bertentangan dengan kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena
itu, ijtihad dipandang sebagai salah satu landasan pendidikan islam. Ijtihad
dalam pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengikuti dan mengarahkan
perkembangan zaman yang terus berubah,
terasa semakin penting dan mendesak baik yang- menyangkut masalah ini atau
materi, sistem, dan orientasinya.[14]
Oleh sebab itu,
teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam
dan kebutuhan hidup uniat Islam. Misalnya ijtihad Ali Khalil tentang
dimensi-dimensi manusia yang harus dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ali
Khalil mengatakan: Dimensi-dimensi
manusia yang harus diperhatikan pendidikan Qur’ani adalah dimensi jasad,
dimensi akal), dimensi akidah, dimensi
akhlak, dimensi kejiwaan, dimensi estetika, dimensi sosial kemasyarakatan (al-
Ainain 1980: 159).
Ijitihad di
bidang pendidikan ternyata semakin penting. Sebab ajaran Islam yang terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah \ masih bersifat pokok dan prinsip (al-Ainain tt: 159). Bila ternyata
ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam
menerapkan prinsip dan dasarnya. Karena itu, semenjak zaman Rasulullah telah
tumbuh dan berkembang tradisi ijtihad yang dituntut oleh perubahan zaman,
situasi, dan kondisi yang terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, ajaran Islam
sendiri telah berperang mengubah kehidupan manusia menjadi kepribadian Islam.
Dewasa ini
adalah zaman yang jauh berbeda dari zaman ketika ajaran Islam baru datang.
Namun demikian, seluruh umat Islam meyakini bahwa ajaran tersebut berlaku
sepanjang masa, di segala tempat dan untuk segala kondisi sosial. Kenyataan
yang dihadirkan oleh peralihan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. menyebabkan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Sebagai langkah
untuk menyesuaikan dengan perkembangan tersebut, maka ijtihad dalam pendidikan
merupa- kan sebuah keniscayaan. Dengan demikian, ijtihad dijadikan sebagai
landasan pendidikan yang terakhir.
4.
Kata-kata
Sahabat (Madzhab Shahabi)
Sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi SAW. dalam keadaan
beriman dan mati dalam keadaan beriman juga. Para sahabat Nabi SAW.
memiliki karakteristik yang unik dibanding kebanyakan orang. Fazlur Rahman
berpendapat bahwa karakteristik sahabat Nabi SAW. antara lain: (1) Tradisi yang
di- lakukan para sahabat secara konsepsional tidak terpisah dengan Sunnah Nabi
SAW.; (2) Kandungan yang khusus dan aktual tradisi sahabat sebagian besar
produk sendiri; (3) Unsur krea'tif dari kandungan merupakan ijtihad personal
yang telah mengalami kristalisasi dalam ijma’,
yang disebut dengan madzhab shahabt (pendapat sahabat). Ijtihad ini tidak
terpisah dari petunjuk Nabi SAW. terhadap sesuatu yang bersifat spesifik; dan
(4) Praktik amaliah sahabat identik dengan ijma’
(konsensus umum).[15]
Upaya sahabat Nabi SAW. dalam pendidikan Islam sangat menentukan
bagi perkembangan pemikiran pendidikan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh
Abu Bakar al-Shiddiq, misalnya, mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf
yang dijadikan sebagai sumber utama pendidikan Islam; meluruskan keimanart masyarakat
dari pemurtadan dan memerangi pembangkang dari pembayaran zakat.
Sedangkan upaya yang dilakukan Umar bin al-Khattab adalah bahwa ia sebagai
bapak revolusioner terhadap ajaran Islam. Tindakannya dalam memperluas wilayah
Islam dan memerangi ke zaliman menjadi salah satu model dalam membangun
strategi dan perluasan pendidikan Islam dewasa ini. Sedang Utsman bin Affan
berusaha untuk menyatukan sistematika berpikir ilmiah dalam menyatukan susunan
Al-Qur’an dalam satu mushhaf, yang semua berbeda antara mushhaf
satu dengan mushhaf lainnya. Sementara Ali bin Abi Thalib banyak
merumuskan konsep-konsep kependidikan seperti bagaimana seyogianya etika
peserta didik pada pendidiknya, bagaimana ghirali
pemuda dalam belajar, dan demikian sebaliknya.[16]
Mashalil
al-tnursalah adalah
menetapkan undang-undang, peraturan dan hukum tentang pendidikan dalam hal-hal
yang sama sekali tidak disebutkan di dalam nash,
dengan pertimbangan kemaslahatan hidup bersama, dengan bersendikan asas
menarik kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Mashalil
al-mursalah dapat diterapkan jika ia benar-benar dapat menarik
maslahat dan menolak nmdarat melalui penyelidikan terlebih dahulu. Ketetapannya
bersifat umum bukan untuk kepentingan perseorangan serta tidak bertentangan
dengan nash.[17]
Para ahli
pendidikan berhak menentukan undang-undang atau peraturan pendidikan Islam
sesuai dengan kondisi lingkungan di i mma ia berada. Ketentuan yang dicetuskan
berdasarkan mashalil al-mursalah paling tidak memiliki tiga
kriteria: (1) apa yang dicetuskan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak
kerusakan setelah melalui tahapan observasi dan analisis, misalnya pembuatan tanda tamat (ijazah) dengan foto pemiliknya; (2) kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang bersifat
universal, yang mencakup seluruh lapisan masyarakat, tanpa adanya diskriminasi,
misalnya perumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di negara Islam
atau di negara yang penduduknya mayoritas Muslim; (3) keputusan yang diambil
tidak bertentangan dengan nllai dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Misalnya
perumusan tujuan pendidikan tidak menyalahi fungsi kehambaan dan kekhalifahan
inanusia di muka bumi.[18]
6.
Tradisi atau
Adat Kebiasaan Masyarakat ( Uruf)
Tradisi (uruf/‘adat) adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa
perkataan maupun perbuatan yang dilakukan secara kontinu dan seakan-akan
merupakan hukum tersendiri, sehingga jiwa merasa tenang dalam melakukannya
karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang sejahtera.[19]
Nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang multikompleks dan
dialektis. Nilai-nilai itu mencerminkan kekhasan masyarakat sekaligus sebagai
pengeja- wantahan nilai-nilai universal manusia. Nilai-nilai tradisi dapat
mempertahankan diri sejauh di dalam diri mereka terdapat nilai- nilai
kemanusiaaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi mencerminkan nilai-nilai
kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.[20]
Dalam konteks tradisi ini, masing-masing masyarakat Muslim memiliki
corak tradisi unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang
lain. Sekalipun mereka memiliki kesamaan agama, tapi dalam hidup berbangsa dan
bernegara akan membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan
Islam universal dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang diajarkan
oleh Allah dan rasuI-Nya sebagaimana adanya, yang memiliki nilai esensial dan
diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya menutup aurat bagi muslim dan
muslaimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam adaptif terhadap tradisi dan
budaya masyarakat setempat, sebagai hasil interpretasi terhadap Islam
universal, seperti bagaimana bentuk menutup aurat itu, apa memakai celana,
kebaya, jubah, atau lain sebagainya.
Kesepakatan bersama dalam tradisi dapat dijadikan acuan dalam
pelaksanaan pendidikan Islam. Penerimaan tradisi ini tentunya memiliki syarat:
(1) tidak bertentangan dengan ketentuan nash,
baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah; (2) tradisi yang berlaku tidak bertentangan dengan akal
sehat dan tabiat yang sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan,
kerusakan dan kemudaratan.[21]
B.
Dasar
Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang
dijadikan untuk merealisasikan dasar ideal/sumber pendidikan Islam. Menurut
Hasan Langgulung, dasar operasional pendidikan Islam terdapat enam macam, yaitu
historis, sosiologis, ekonomi, politik dan administrasi, psikologis, dan
filosofis, yang mana keenam macam dasar itu berpusat pada dasar filosofis.[22]
Penentuan dasar tersebut agaknya sekuler, selain tidak memasukkan dasar
religius, juga menjadikan filsafat sebagai induk dari segala dasar. Dalam
Islam, dasar operasional segala sesuatu adalah agama, sebab agama menjadi frame
bagi setiap aktivitas yang bernuansa keislaman. Dengan agama maka semua
aktivitas kependidikan menjadi bermakna, mewarnai dasar lain, dan bernilai uhudiyah.
Oleh karena itu, dasar operasional pendidikan yang enam di atas perlu
ditambahkan dasar yang ketujuh, yaitu agama.
1.
Dasar Historis
Dasar historis adalah dasar yang berorientasi pada pengalaman
pendidikan masa lalu, baik dalam bentuk undang-undang maupun
peraturan-peraturan, agar kebijakan yang ditempuh masa kini akan lebih baik.
Dasar ini juga dapat dijadikan acuan untuk memprediksi masa depan, karena dasar
ini memberi data input tentang kelebihan dan kekurangan kebijakan serta maju
mundurnya prestasi pendidikan yang telah ditempuh. Firman Allah SWT. dalam QS.
al-Hasyr ayat 18: “Dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah di-
perbuatnya untuk hari esok.” Misalnya, bangsa Arab memiliki ke- gemaran untuk
bersastra, maka pendidikan sastra di Arab menjadi penting dalam kurikulum masa
kini, sebab sastra selain menjadi identitas dan potensi akademik bagi bangsa
Arab juga sebagai sumber perekat bangsa[23]
2.
Dasar Sosiologis
Dasar sosiologis adalah dasar yang memberikan kerangka sosio-
Inidaya, yang mana dengan sosiobudaya itu pendidikan dilaksanakan. Dasar ini
juga berfungsi sebagai tolok ukur dalam prestasi belajar. Artinya, tinggi
rendahnya suatu pendidikan dapat diukur dari tingkat relevansi output
pendidikan dengan kebutuhan dan keinginan ma- syarakat. Pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang tidak ke- liilangan konteks atau tercerabut dari akar
masyarakatnya. Prestasi pendidikan hampir tidak berguna jika prestasi itu
merusak tatanan masyarakat. Demikian juga, masyarakat yang baik akan menyeleng-
tfarakan format pendidikan yang baik pula.[24]
Dasar ekonomi
adalah yang memberikan perspektif tentang potensi-potensi finansial, menggali
dan mengatur sumber-sumber, serta bertanggung jawab terhadap rencana dan
anggaran pembelanjaannya. Oleh karena pendidikan dianggap sebagai sesuatu yang
luhur, maka sumber-sumber finansial dalam menghidupkan pendidikan harus bersih
suci dan tidak bercampur dengan harta benda yang syubhat.
Ekonomi yang kotor akan menjadikan ketidakberkahan liasil pendidikan. Misalnya,
untuk pengembangan pendidikan, baik untuk kepentingan honorarium pendidik
maupun biaya operasional sekolah, suatu lembaga pendidikan mengembangkan sistem
rentenir. lioleh jadi usahanya itu secara materiil berkembang, tetapi tidak
akan berkah secara spiritual. Peningkatan ilmu pengetahuan bagi peserta didik
tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan
spiritual peserta didik. Allah SWT. berfirman kepada Nabi Dawud as. Dalam Hadis
Qudsi: “Hai Dawud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari makanan syubhat
karena sesungguhnya hati orang yang memakan makanan syubhat
itu tertutup dari-Ku.” Pada Hadis ini diisyaratkan bahwa penggunaan liarta syubhat
(tidak jelas halal-haramnya) tidak diperbolehkan, apalagi harta yang haram.[25]
4.
Dasar Politik
dan Administratif
Dasar politik dan administrasi adalah dasar yang memberikan bingkai
ideologis, yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang
dicita-citakan dan direncanakan bersama. Dasar politik menjadi penting untuk
pemerataan pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dasar ini
juga berguna untuk menentukan kebijakan umum (ammah)
dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama, bukan kemaslahatan hanya untuk
golongan atau kelompok tertentu. Sementara dasar administrasi berguna untuk
memudahkan pelayanan pendidikan, agar pendidikan dapat berjalan dengan lancar
tanpa ada gangguan teknis dalam pelaksanaannya.[26]
5.
Dasar Psikologi
Dasar psikologis adalah dasar yang memberikan informasi tentang
bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik, pendidik,
tenaga administrasi, serta sumber daya manusia yang lain. Dasar ini berguna
juga untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kesejahteraan batiniah pelaku
pendidikan, agar mereka mampu meningkatkan prestasi dan kompetisi dengan cara
yang baik dan sehat. Dasar ini pula yang memberikan suasana batin yang damai,
tenang, dan indah di lingkungan pendidikan, meskipun dalam kedamaian dan ketenangan
itu senantiasa terjadi dinamika dan gerak cepat untuk lebih maju bagi
pengembangan lembaga pendidikan.[27]
6.
Dasar Filosofis
Dasar filosofis
adalah dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu
sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional
lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar ini menjadi acuan terpenting dalam
pendidikan, sebab filsafat bagi mereka merupakan induk dari segala dasar pendidikan.
Sementara bagi masyarakat religius, seperti masyarakat Muslim, dasar ini
sekadar menjadi bagian dari cara berpikir di bidang pendidikan secara sistemik,
radikal, dan universal yang asas-asasnya diturunkan dari nilai ilahiyah.[28]
7.
Dasar Religius
Dasar religius
adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar ini secara detail telah
dijelaskan pada sumber pendidikan I,slum. Dasar ini menjadi penting dalam
pendidikan Islam, sebab dengan dasar ini maka semua kegiatan pendidikan jadi
bermakna. Konstruksi agama membutuhkan aktualisasi dalam berbagai dasar pondidikan
yang lain, seperti historis, sosiologis, politik dan administratif, ekonomi,
psikologis, dan filosofis. Agama menjadi frame
bagi semua dasar pendidikan Islam. Aplikasi dasar-dasar yang lain merupakan
bentuk realisasi diri yang bersumberkan dari agama dan bukan sebaliknya.
Apabila agama Islam menjadi frame bagi dasar pmdidikan Islam, maka semua tindakan
kependidikan dianggap sebagai suatu ibadah, sebab ibadah merupakan aktualisasi
diri (srIf-actualization) yang paling ideal dalam
pendidikan Islam.[29]
Keberadaan
agama, yang diadaptasikan dari Abdul Mujib,[30]
di antara dasar-dasar pendidikan Islam yang lain dapat diilustrasikan seperti pada
Gambar 3.1 di halaman berikut ini.
Gambar 3.1 menunjukkan bahwa agama menjadi sumbu bagi ilnsar
operasional pendidikan Islam. Gambar tersebut memiliki 4 lingkaran: (1)
lingkaran (yang paling dalam) imaniyah-ilahiyyah,
ymig intinya berupa rukun iman (iman kepada Allah, malaikat,
kllabullah, rasulullah, hari kiamat, dan takdir); (2) lingkaran (yang lu'dua
dari dalam) ‘ubudiyyah-ilahiyyah, yang intinya berupa rukun Islam
(syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji) atau dikenal dengan ibadah mahdhah
yang tata catanya sudah diatur secara permanen; (3) lingkaran (yang ketiga dari
dalam) mu’amalah-ilahiyyah disebut juga ‘ubudiyyah-insaniyyah
yang intinya berupa dasar yang muncul dari ijtihad manusia (seperti historis, sosiologis, politik dan
administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) yang pelaksanaannya didasari nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.; dan (4) lingkaran
(yang keempat dari dalam) muamalah-insaniyyah yang intinya berupa
aktivitas-aktivitas pendidikan yang pelaksanaanya didasarkan atas dasar-dasar kemanusiaan (seperti historis, sosiologis,
politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis) tanpa dikaitkan dengan dasar agama.
Gambar 3.1 Agama dalam Sistem Pendidikan Islam[31]
Keterangan:
1.
Lingkaran
terdiri atas empat macam, mulai dari yang kecil merupakan lingkaran irnaniah-ilahiah,
ubudiah-ilahiah, muamalah-ilahiah, sampai pada yang besar
merupakan lingkaran muamalah-insaniah.
2.
Setiap
lingkaran terbagi enam dasar pendidikan, yaitu historis, sosiologis, politik
dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.
3.
Gambar
pancaran. Artinya, semakin banyak wilayah yang mengenai pancaran irnaniah-ilahiah,
maka semakin baik nilai kehidupan manusia, baik pada dasar historis,
sosiologis, politik dan administratif, ekonomi, psikologis, dan filosofis.[32]
BAB
III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari
uraian di atas, pemakalah menyimpulkan dari uraian tersebut dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa sumber pendidikan Islam adalah Al-Qur’an, Sunah dan ijtihad.
Adapun perlunya ijtihad digunakan karena semakin banyaknya permasalahan yang
berkembang sekarang ini dalam bidang pendidikan, serta diperlukannya
pemikiran-pemikiran baru yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. DanTujuan utama pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup
manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang
selalu taat dan bertakwa kepadaNya, serta dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sumber pendidikan Islam harus
berpedoman pada dasar hukum Islam itu sendiri yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Dua
hal itulah yang menjadi landasan utama dalam pendidikan Islam, dan tentu saja
ditambah dengan hasil pemikiran manusia (ra’yu) sepanjang itu tidak menyalahi
Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan untuk dasar pendidikan islam itu ada 7 yaitu
dasar historis, dasar sosiologis, dasar ekonomi, dasar politik dan
administrative, dasar psikologi, dasar filosofis, dan dasar religious.
B.
Saran
Bagi seorang
muslim, terutama mereka yang bergelut dibidang pendidikan Islam, disarankan
untuk betul-betul mengetahui dan memahami dasar-dasar, norma atau etika serta
harus mampu untuk mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar agar dapat
menghasilkan intelektual muslim yang cerdas, berwawasan dan taat dalam
beribadah, sehingga tujuan penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepada
Allah serta menjadi khalifah dimuka bumi benar-benar dapat dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA
Langgulung, Hasan. 1988. Asas-asasPendidikan
Islam. Jakarta:
al-Husna
Magnis Suseno, Frans. 1991. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: Gramedia
Masjfuk Zuhdi, Masjfuk.
1990. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Haji Masagung
Mujib, Abdul. 2006. Ilmu Pendidikan Islam cet.ke-1. Jakarta:
Kencana Prenada Media
Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian
dalam Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press
Muhaimin. Mujib, Abdul. Mudzakkir, Jusuf. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Prenada Media
Rada dan Soleha. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung:
Alfabeta
[1] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 26-27
[2] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 27
[3] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 28
[4] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 29-30
[5] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 30
[6] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 31
[7] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 31-32
[8] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 32-33
[9] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 33
[10] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 33-34
[11] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 34-35
[12] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 35
[13] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 36
[14] Soleha dan Rada, Ilmu Pendidikan
Islam, (Bnadung: Alfabeta, 2011), hal 38
[15] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 40
[16] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 40
[17] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 41
[18] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 41
[19] Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf
Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hal. 201-202.
[23] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 44
[24] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 45
[25] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 45
[26] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[27] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[28] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 46
[29] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 47
[31] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), cet. Ke-1, hal 48-49
[32] Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana. 2006). Hlm. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar