Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Islam
A. PENDAHULUAN
Keterpurukan pendidikan nasional saat
ini, tentu memiliki dampak yang signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan
islam. Walaupun pada dasarnya, kalau ditinjau dari aspek historis, pendidikan
Islam di Indonesia saat ini sudah melakukan perubahan-perubahan yang
menggembirakan dibandingkan era-era sebelumnya. Hal ini dapat kita analisis
dari proses kemunculan dan berkembangnya pendidikan Islam di Indonesia yang
setiap saat melakukan perbaikan dan pembaharuan.
Perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia telah nampak maju pada abab ke-19, sebagai akibat lahirnya model
sekolah yang dikembangkan oleh Belanda di Indonesia. Adapun gerakan modernisasi
terhadap pendidikan Islam berkembang pesat sekitar dasawarsa kedua abad ke-20
dengan berdirinya madrasah atau sekolah-sekolah model Barat yang dikembangkan
oleh ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU.
Kemudian , realitas kemajuan
pendidikan Islam Indonesia nampak lebih berkembang ketika
dikeluarkannya SKB 3 Menteri yaitu Menteri Pendidikan, Menteri Agama dan
Menteri Kebudayaan. Keputusan ini dapat di anggap sebagai tonggak sejarah
modernisasi madrasah setelah keluarnya kebijakan pemerintah tentang program
madrasah Wajib belajar (1958 ) sebagai penjabaran ide dari UU No. 4 tahun 1950.
Saat itu diberlakukan integrasi kurikulum dengan melakukan penambahan pelbagai
macam ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Dalam makalah ini, penulis
mencoba menjabarkan paradigma tentang pendidikan islam menurut beberapa Ahli
yang kompeten dalam pendidikan.Thomas S. Kuhn dalam bukunya The
Structure of Scientific Revolutions, yang pertama kali mempopulerkan
makna paradigma di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tingkah laku manusia
di dalam kehidupan sehari-hari.Konsep paradigma bermula dari kajian filsafat
sejarah dan filsafat sains dan kemudian konsep serta pengertianparadigma juga telah digunakan oleh para pakar
ilmu tingkah laku(behavioral sciences).
Pengertian paradigma secara etimologi berasal dari bahasa Inggris“paradigm” yang
berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu,
model, pola). Secara terminologi sebagaimana dikemukakan Robert
Friedrichs, orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian paradigma, bahwa
paradigma adalah sebuah pandangan dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang
menjadi pokok persoalannya(paradigm is a fundamental image a discipline has
of its subject matter).[1]
Thomas Kuhn sendiri mengartikan paradigma
sebagai “serangkaian konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur
yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial
untuk memberikan konsepsi dan menafsirkan realitas sosial tersebut”.[2]
George Ritzer dengan mensintesakan pandangan
kedua pakar tersebut merumuskan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari
ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari
oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, menurutnya paradigma
berfungsi: 1) membantu merumuskan apa yang harus dipelajari, 2)
pertanyaan-pertanyaan apa yang semestinya dijawab, 3) bagaimana selayaknya
pertanyaan-pertanyaan itu diajukan, dan 4) aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menafsirkan informasi yang diperoleh.[3]
Berdasarkan rumusan di atas, dalam konteks
pendidikan, paradigma bisa diartikan sebagai serangkaian konstalasi teori,
pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka membangun
suatu sistem pendidikan yang ideal.Sistem pendidikan yang ideal dalam hal ini
adalah sistem pendidikan yang Islami, yaitu sistem pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai Islam yang secara umum termaktub dalam al-Qur’an dan Hadits
sebagai sumber rujukan pertama umat Islam.Penggunaan nilai-nilai Islam dalam
pendidikan Islam ini adalah “sebagai sudut pandang secara menyeluruh (total
outlook)mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gejala-gejala
pendidikan dalam rangka membangun manusia terdidik, berkualitas dan bertaqwa
kepada Allah swt.
Term “rekonstruksi” di dalam sub bab ini
mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada paradigma yang digunakan dalam
kegiatan pendidikan Islam. Hanya saja, paradigma tersebut kini harus dirancang
atau diperbaharui kembali agar pendidikan Islam mampu membangun masyarakat yang
demokratis, religius, inovatif, taat hukum, menghargai pluralitas, hak-hak asasi
manusia dan siap untuk menghadapi tantangan globalisasi. Di antara
paradigma-paradigma tersebut adalah:
a. Paradigma Dualisme
Paradigma ini memandang segala sesuatu dari
dua sisi secara berlawanan dan kata kuncinya adalah “dikotomi”.Dari sini kemudian
berkembang pandangan aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan
rohani, pendidikan keagamaan dan non-keagamaan, pendidikan keislaman dan
non-keislaman, demikian seterusnya.
Paradigma semacam ini berimplikasi pada
penyempitan makna pendidikan Islam.Pendidikan Islam diletakkan pada aspek
akhirat, keagamaan dan keislaman saja.Ia dianggap terpisah dari persoalan
ekonomi, politik, hukum, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
semuanya itu dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak ada hubungannya dengan
pendidikan Islam. Akibatnya, output pendidikan Islam semacam ini dianggap tidak
memiliki skill untuk menghadapi kehidupan riil di masyarakat. Untuk bisa eksis
dan survive di masyarakatnya, mereka terpaksa harus memulai dari nol
lagi.
Jika ditelaah secara seksama, maka akan
ditemukan bahwa akar munculnya dualisme atau dikotomik pendidikan Islam di
Indonesia sebenarnya berasal dari warisan kolonialisme Belanda. Pada zaman itu,
Belanda telah memulai membedakan pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan
“agama” di pihak lain. Dualitas ini tentunya memiliki dampak serius terhadap
perwajahan pendidikan Islam di Indonesia.Di antaranya adalah terjadinya
penyempitan makna agama seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama
ini.
Karenanya, dalam pelaksanaan pendidikan Islam,
pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan, normatif, doktriner dan
absolutisme, sehingga peserta didik diarahkan untuk memiliki sikapcommitment dan
dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajarinya.Sementara kajian-kajian
keilmuan yang bersifat empiris, rasional, dan analitis-kritis, dianggap dapat
menggoyahkan iman.
Pandangan serupa juga dikemukakan Azyumardi
Azra. Menurutnya, paradigma dualisme ini muncul ketika umat Islam Indonesia
mengalami masa penjajahan yang sangat panjang, di mana umat Islam mengalami
keterbelakangan dan disintegrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,
serta terjadi pembenturan antara umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan
Barat yang memunculkan kaum intelektual baru yang sering disebut “cendekiawan
sekuler”.[4]
Terlepas dari kolonialisme yang melanda bangsa
Indonesia, menurut survei historis yang dilakukan oleh Abdurrahman Mas’ud,
paradigma dualisme pengetahuan telah muncul pada akhir abad ke-11 menjelang
abad ke-12.Artinya, sebelum abad itu tidak ada dualisme atau dikotomi ilmu
pengetahuan dalam peradaban Islam.Penyebabnya, kata Mas’ud, memang cukup
kompleks, yang meliputi sikap mental umat yang dikotomis sewaktu di dalam
maupun di luar institusi pendidikan, serta tribalisme baru berupa fanatisme
madzhab yang berlebihan.[5]
Selain itu tidak sedikit umat Islam yang
terbelenggu pemikirannya dengan paham bahwa ilmu-ilmu yang dikejar hanyalah
ilmu agama. Ini terjadi karena misinterpretasi terhadap Hadits Nabi Muhammad
yang menjelaskan bahwa “mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Hadits ini
acapkali hanya diartikan sebagai ajaran pahala dan dosa.Karena itu, hadits
tersebut seharusnya ditafsirkan bahwa apabila etos “gila ilmu” umat Islam
mengendur (termasuk dalam sains dan teknologi) maka jangan menangis apabila
mereka berada di barisan belakang.[6]
Tesis Mas’ud ini cukup beralasan apabila
melihat kembali lembaran sejarah Islam di masa silam.Tanpa bermaksud untuk
beromantisme pada sejarah masa lalu, pendidikan Islam terbukti pernah mencapai
puncak kejayaannya.Ketika itu dunia Islam mampu melahirkan tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan yang berkaliber dunia dan bersama dengan perkembangan ilmu
tersebut, Islam menorehkan peradaban kelas wahid di seantero jagat raya ini.
Hal itu diperoleh karena generasi-generasi muslim di zaman itu memiliki
heroisme untuk terus menggali dan mengembangkan kemampuan ilmu pengetahuannya.
Mereka tidak membedakan antara ilmu agama dan non-agama.
Dalam bidang astronomi, misalnya, kaum muslim
menemukan teropong bintang yang dapat menambah pengetahuan kita tentang
benda-benda langit. Abu Raihan al-Biruni (971-1048) mengembangkan metode yang
luar biasa dalam menentukan posisi matahari dan bahkan menyempurnakan
dasar-dasar pengetahuan tentang garis bujur dan garis lintang jauh sebelum
sebagian penduduk dunia mengetahuinya.[7]Philip K. Hitti juga
mencatat bahwa seseorang dapat menemukan ahli astronomi yang sangat brilian dan
terkenal semisal Umar al-Khayyam (1048-1131), pengarang karya sastra yang
berjudul Rubaiyah.[8]
Dalam dunia arsitektur, kaum muslim telah
membangun beberapa struktur gedung-gedung megah seperti Taj Mahal dan Masjid
Biru. Hitti juga menggambarkan tentang kubah al-Zahrah yang terdapat di
Yerussalem, sebuah monumen arsitektural yang sangat indah dan tiada
bandingannya.[9] Dia
juga menggambarkan tentang Masjid bani Ummayah di Damaskus yang berhiaskan
dengan arsitektur permata yang sangat indah.[10]
Di dunia medis pada pemerintahan Harun Al-Rasyid
didirikan untuk pertama kalinya sebuah rumah sakit umum.Putranya, Khalifah
al-Ma’mun (813-833) menyusun dasar-dasar standarisasi profesional untuk para
dokter dan ahli farmasi yang mana standar itu kemudian dijadikan standar umum
pada pemerintahan setelahnya. Penetapan dasar-dasar standarisasi tersebut
disebabkan karena seringkali terjadi kesalahan dalam mengobati pasien (dalam
bahasa sekarang: malapraktik).[11]Hitti juga melansir
“seorang dokter yang terpilih dari berbagai daerah akan dikumpulkan untuk diuji
kemampuan medisnya dalam sebuah ujian, dan yang lulus seleksi akan diberikan
sertifikat oleh khalifah. Kurang lebih 860 orang dapat melewati tes tersebut,
dan dengan adanya sertifikat itu dapat dibedakan antara dokter asli dan dokter
gadungan”.[12]
Abu Bakar al-Razi (865-924) yang di dunia
Barat dikenal dengan nama Razes menulis sebuah ensiklopedi tentang ilmu medis
dan sebuah buku tentang ilmu kimia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin. Buku-buku tersebut pada akhirnya menjadi teori-teori dasar dalam
ilmu-ilmu medis dan kimia di Eropa pada abad pertengahan.[13]
Tokoh muslim lainnya yang terkenal dengan
karya-karyanya di bidang filsafat adalah Ibnu Sina (980-1037), dunia Barat
menyebut namanya dengan Avecina. Dia mengarang tentang ilmu medis yang kemudian
terkenal di kalangan dokter-dokter Eropa dari abad ke-12 hingga abad
ke-17.Filosof yang juga berprofesi sebagai dokter adalah Ibnu Rusyd yang juga
dikenal dengan sebutan Averroes (1128-1198) yang juga memiliki kontribusi dalam
dunia medis.[14]
Dalam bidang matematika, seorang ahli
matematika pada abad ke-9 yang bernama Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi
(790-850) menyusun dasar-dasar tertua tentang aritmatika dan Aljabar, yang
kemudian juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.Sampai abad ke-16, karya
tersebut masih dipakai sebagai buku rujukan tentang matematika di Universitas
Eropa. Ilmu ini kemudian dikenal dengan namaal-Jaber wal-Muqabilah dan al-Goritma yang
berasal dari namanya sendiri al-Khawarizmi.[15]
Nama-nama di atas hanyalah sebagian kecil dari
sekian banyak ilmuwan dan filosof muslim yang telah menghiasi dinding-dinding
peradaban dunia. Ini sekaligus merupakan fakta historis bahwa masa
keemasan (golden age) yang telah diraih umat Islam tidak
didasarkan pada paradigma dualisme atau dikotomik. Terbukti, mereka tidak hanya
menguasai ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga ilmu-ilmu sains dan teknologi.
Sebaliknya, paradigma dualisme yang menurut Abdurrahman Mas’ud muncul di akhir
abad ke-11 malah mendamparkan umat Islam ke pinggiran samudera peradaban dunia
seperti yang dialami umat Islam saat ini.
b. Paradigma Islamisasi
Paradigma ini pertama kali di-launching oleh
Ismail Raji Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International
Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang 1980-an.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas
(Malaysia), Fazlur Rahman (Pakistan), dan belakangan juga muncul Ziauddin
Sardar (juga dari Malaysia).
Paradigma ini berangkat dari postulat bahwa
prinsip asasi dalam pendidikan Islam adalah “tidak menyekutukan
Allah” (tauhid).Dengan asas ini pada hakikatnya memerdekakan manusia
dari otoritas-otoritas selain Allah.Pemerdekaan manusia semacam ini dapat
menumbuhkan semangat dinamis dan kreatif dalam diri peserta didik, sehingga
memiliki kemampuan potensial untuk menjadi khalifah di muka bumi.[16]
Melalui asas tersebut peserta didik dapat
mengembangkan kepribadian di atas kesadarannya yang fitri dan hanif (cenderung
terhadap kebenaran ilahi), sehingga di dalam dirinya tertanam jihad,dalam
arti mampu mengubah tatanan dunia fisik dan mengembangkan intelektualnya
sendiri dalam menjawab dunia yang senantiasa berubah dengan cepat. Manusia yang
demikian ini adalah manusia yang secara potensial memiliki keberdayaan atau
kebebasan sejati.
Dalam perspektif Islam, yang harus
diinternalisasikan dalam proses pendidikan hendaknya memiliki signifikansi
dengan makna pendidikan. Dalam konteks ini Islam dapat dilihat dari pengertian
kata kerja bukan kata benda. Islam merupakan sebuah proses “Islamisasi”. Islamisasi
adalah proses pasrah diri dan penghambaan diri secara total kepada Allah yang
Maha Esa (prinsip tauhid).
Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat
Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan
pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Menurut Al-Faruqi,
dari tauhid akan ada lima prinsip pokok yang merupakan esensi dari Islam,
yaitu: (1) kesatuan Allah, (2) kesatuan alam semesta baik tata kosmis,
penciptaan maupun ketundukannya pada manusia, (3) kesatuan kebenaran dan pengetahuan,
(4) kesatuan hidup, dan (5) kesatuan umat manusia.
Kelima prinsip dasar tersebut oleh Kuntowiyoyo
disederhanakan menjadi tiga macam kesatuan, yakni kesatuan pengetahuan,
kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak memiliki metode
sendiri, umat Islam akan selalu dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya
pengetahuan harus menuju kepada kebenaran yang satu.Kesatuan hidup berarti
hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang bebas
nilai.Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi kepada umat dan pada
manusia. Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid,
ataukonteks pada teks agar pengetahuan tidak lepas
dari iman.[17]
Pentingnya islamisasi pengetahuan, bagi
Al-Attas, berangkat dari fenomena umat Islam yang lebih suka mengadopsi dan
menggunakan bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep dalam pemikiran
Islam. Hal ini lambat laun akan mengarah pada proses sekularisasi[18]yang mengembangkan
ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Menurutnya, ilmu
pengetahuan seperti ini tidak akan benar-benar bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim, demikian pula tidak akan bisa menyentuh
akar-akar masalah sosial dunia muslim.[19]
Islamisasi ilmu pengetahuan ini, menurut
Fazlur Rahman, memiliki dua tujuan utama, yaitu: 1) upaya membentuk watak
pelajar dan mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan
masyarakatnya, dan 2) para ahli yang berpendidikan modern mampu menamai bidang
kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang
lebih untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka.[20]
Rahman menambahkan sebenarnya upaya
modernisasi pendidikan Islam adalah bagaimana membuatnya mampu menciptakan
produktivitas intelektual muslim yang kreatif dalam semua bidang usaha
intelektual bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam.
Menurutnya, esensi pendidikan Islam adalah apa yang disebut dengan
“intelektualisme Islam”, artinya mempunyai makna pertumbuhan suatu pemikiran Islam
yang asli dan memadai yang dapat dan harus memberikan kriteria untuk menilai
keberhasilan dan kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Di sini diperlukan
kemampuan dan metode yang tepat dalam memahami al-Qur’an sebagai titik
intelektualisme Islam, sebab al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan
linnas).[21]
Di sini jelas bahwa islamisasi pengetahuan
yang dikembangan Rahman seluruhnya merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits. Dalam
salah satu artikelnya yang berjudul The Qur’anic Solution of Pakistan’s
Educational Problem Rahman menawarkan empat langkah —sebagai penerapan
metode double movement-nya— dalam melakukan modernisasi pendidikan
Islam, yaitu: langkah pertama identifikasi terhadap pendidikan
Islam di masa kejayaan Islam; langkah keduaadalah menemukan problem
pendidikan di negara yang bersangkutan (baca: Indonesia); langkah
ketiga adalah mencari rujukan pada al-Qur’an dan Hadits; dan langkah
terakhir adalah berusaha memberikan alternatif solusi atas problem
tersebut berdasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits.[22]
Sementara itu Al-Faruqi menjelaskan bahwa
terdapat lima sasaran islamisasi pengetahuan, antara lain: (1) menguasai
disiplin-disiplin modern, (2) menguasai khazanah Islam, (3) menentukan
relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, (4)
mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu
pengetahuan modern, dan (5) mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintas yang
mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[23]
Masih menurut Al-Faruqi, sasaran di atas bisa
dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada
islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
1.Penguasaan
terhadap disiplin-disiplin modern. Al-Faruqi mengatakan bahwa disiplin-disiplin
harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip,
metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema —pemilah-milahan yang
mencerminkan “daftar isi” suatu buku teks klasik,
2. Survei
disiplin. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu
survei menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu. Langkah ini
diperlukan agar sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern,
3. Penguasaan
terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama.
Tetapi di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan
pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap disiplin,
4. Penguasaan
terhadap khazanah Islam untuk setiap analisa. Jika antologi-antologi sudah
disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif
masalah-masalah masa kini,
5. Penentuan
relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata Al-Faruqi,
dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan:pertama, apa yang
telah disumbangkan oleh Islam dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh
disiplin modern?Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkan dengan hasil-hasil telah diperoleh oleh disiplin-disiplin modern
tersebut? Sambil di mana tingkat pemenuhan, kekurangan, serta kelebihan
khazanah Islam itu jika dibandingkan dengan visi dan scope disiplin-disiplin
modern? Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit
diperhatikan atau sama sekali diabaikan oleh khazanah Islam, ke arah manakah
kaum muslim harus berusaha mengisi kekurangan itu, juga untuk mereformulasi
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut?
6.
Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam untuk semua
disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak
Islam,
7. Penilaian
kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang
kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan,
8.
Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi sistematis
harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual,
kultural, moral, spiritual dan kaum muslim,
9. Survei mengenai problem-problem umat manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus
diselesaikan,
10. Analisa
kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para sarjana muslim harus sudah siap
melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern, serta
untuk menjembatani jurang kejumudan yang berabad-abad. Dari sini khazanah
pemikiran Islam harus tetap sinambung dengan prestasi-prestasi modern dan harus
mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas
daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern,
11. Merumuskan
kembali disiplin-disiplin di dalam kerangka Islam. Sekali kesinambungan antara
khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks
universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam
catatan Islam, dan
12. Penyebarluasan
ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah
diproduk dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan,
menerangi dan memperkaya umat manusia.[24]
Tentunya tidak semua
orang muslim bisa menerapkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh Al-Faruqi
tersebut. Yang paling pas untuk melakukan itu barangkali adalah Perguruan
Tinggi Agama Islam.Dalam hal ini Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami
dalam buku mereka The Concept of Islamic University menulis
bahwa tujuan utama PTAI adalah “melakukan islamisasi terhadap semua cabang ilmu
pengetahuan, mengsilamisasikan buku-buku ajar dan bahkan metode-metode
pengajarannya. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga harus mempertahankan
sifat keterbukaan yang esensial pada universitas tersebut”.[25]
Lebih lanjut mereka menyatakan, para mahasiswa
harus dilatih berpikir mandiri, tetapi iman mereka harus diperkuat sejak awal,
sehingga sikap hormat dan penghargaannya kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad saw mendorong mereka untuk memperlakukan kitab Allah dan Sunnah itu
dengan rendah hati, rasa cinta yang dalam, dan dibarengi dengan pengakuan
terhadap betapa kecilnya ilmu pengetahuan yang mereka miliki dibandingkan
dengan yang dimiliki oleh Allah maupun Rasul-Nya. Itulah sebabnya, para
mahasiswa harus mengetahui semua perspektif yang ada dan harus menilai
kesempurnaan, kebenaran dan ciri perspektif Islam yang bermanfaat itu.[26]
c. Paradigma Antroposentrime-Transendental;
Sebuah Tawaran
Paradigma ini bertolak dari argumentasi bahwa segala sesuatu yang
ada di alam ini adalah ciptaan Allah, dan manusia sendiri diciptakan tidak lain
sebagai khalifah Allah di muka bumi [Q.S. al-Baqarah: 30]. Sebagai
khalifah Allah tentunya manusia wajib membekali dirinya dengan segenap
kecakapan skill dan ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan agama tetapi juga
sains dan teknologi.Hal ini sangat penting mengingat peran vital yang dimainkan
manusia di dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai leader dan manager sesama
manusia dan ciptaan Allah lainnya.
Artinya, manusia memiliki
dua tanggungjawab sekaligus, yaitu tanggungjawab vertikal dan tanggungjawab
horizontal. Tanggungjawab vertikal adalah tanggungjawab manusia sebagai hamba
Allah yang diserahi amanat untuk menjadi wakilnya di muka bumi, sedangkan
tanggungjawab horizontal adalah tanggungjawab manusia untuk selalu memberikan
yang terbaik kepada semua makhluk Allah yang ada di jagat raya ini [Q.S.
al-Mukminun: 115]. Dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam tidak lain
adalah untuk menyiapkan manusia agar mampu menunaikan tanggungjawab tersebut
secara optimal.
Dalam
kaitannya dengan pendidikan Islam, setidak-tidaknya ada dua implikasi dari
paradigma antroposentrisme-transendental ini, yaitu:
Pertama, tidak perlu upaya
islamisasi ilmu pengetahuan, sebab segala sesuatu berasal dari Allah swt, ilmu
pengetahuan.Karenanya, ungkap Thoha Hamim, tidak ada ilmu pengetahuan yang
tidak Islam. Sebab ilmu pengetahuan adalah kebenaran—meskipun kebenaran itu
relatif dan didasarkan pada obyektivitas, sedangkan obyektivitas merupakan
pantulan dari realitas yang sudah ditakdirkan secara normatif oleh Tuhan—maka
dengan sendirinya ilmu pengetahuan tidak akan menyalahi ketentuan-ketentuan
agama. “Sering kali dikatakan ada ilmu yang tidak Islami.Saya tidak
setuju.Semua ilmu itu Islam”, kata Hamim.[27]
Menurutnya, islamisasi ilmu
pengetahuan sebetulnya untuk memberikan frame yang lebih
konkret kepada ilmuwan muslim yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam.
Jadi, islamisasi tidak menyentuh pada substansi ilmunya. Karenanyaframe tersebut
tidak berarti bahwa tingkat kebenaran kajian yang dilakukan oleh ilmuwan muslim
itu lebih tinggi daripada nonmuslim.[28]
Kedua, kegiatan pendidikan
merupakan kegiatan yang memiliki nilai ibadah. Dasar argumentasinya adalah
al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw, di antaranya: “Allah akan
mengangkat derajat manusia yang beriman di antara kalian serta mereka yang
dikaruniai ilmu” [Q.S. al-Mujadalah: 11], “Tinta para pelajar sama
nilainya dengan dara para syuhada di hari kiamat nanti”[Hadits]. Ini menegaskan
bahwa aktivitas pendidikan bukan sebatas aktivitas profan semata, tetapi di
dalamnya sarat dengan nilai-nilai transcendental. Jaminan al-Qur’an dan Hadits
ini seharusnya menjadi pemicu semangat umat Islam untuk selalu terlibat dalam
aktivitas-aktivitas pendidikan, baik dengan cara menjadi pelajar, guru ataupun
penyandang dana.
Karena
itu, di dalam menuntut ilmu pengetahuan pelajar muslim jangan sekali-kali
berorientasi (hanya) untuk kepentingan duniawi semata, seperti untuk
mendapatkan pekerjaan atau jabatan tertentu. Tujuan menuntut ilmu pengetahuan
menurut Islam adalah untuk menghilangkan kebodohan (li izalat al-jahl)dan
agar bisa melaksanakan amanat Allah dengan sebaik-baiknya.
Sekalipun
tidak bertujuan untuk kepentingan dunia, para penuntut ilmu tidak perlu
khawatir akan rahmat Allah di dalam kehidupan dunia. Bukankah Allah telah
berjanji bahwa Dia akan mengangkat derajat manusia yang
beriman dan berilmu pengetahuan [Q.S. al-Mujadalah: 11], dan Allah juga
menjamin akan memudahkannya jalan menuju Surga [Hadits].
Derajat yang
dijanjikan Allah itu tidak hanya diberikan di akhirat tetapi juga di dalam
kehidupan dunia.Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, seseorang bisa
mendapatkan pekerjaan mudah, baik dan halal (halalan thayyibah).
Ada pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan keuntungan duniawi, akan
tetapi masih belum mendapat “stempel” halal dan baik. Misalnya kekayaan atau
jabatan yang didapat dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, hasil berjudi,
memeras atau merampok. Semua itu bisa dengan mudah didapatkan, akan tetapi
sangat dimurkai oleh Allah swt. Orang yang demikian, jika tidak bertobat,
jangan bermimpi untuk mendapatkan derajat dan kemudahan menuju surga.Derajat
yang diperolehnya hanya derajat di mata manusia, bukan derajat di sisi Allah.
Demikian
halnya dengan guru.Profesi yang dijalaninya juga harus diletakkan di atas
semangat untuk mendapatkan ridlo Allah swt. Dengan demikian, menjadi pendidik
bukan semata-mata karena materi, akan tetapi karena panggilan hati untuk
mentransmisikan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Hal semacam ini sangat
jarang ditemukan dalam kehidupan globalisasi seperti sekarang ini.Menjadi guru
hampir selalu diukur dengan nominal gaji yang didapatnya selama sebulan.
Ketiga, tidak ada dualisme ilmu pengetahuan.Di muka telah disinggung
bahwa paradigma dualisme baru muncul di akhir abad ke sebelas. Artinya,
paradigma dualisme merupakan sesuatu yang temporal, dan karenanya ia bisa
diganti dengan paradigma yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang
sebenarnya. Keempat, integralitas kurikulum pendidikan
Islam.
B. MENGGAGAS
PENDIDIKAN IDEAL DI MASA DEPAN
Apa yang terjadi di masa lalu dan saat ini
merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan bahan refleksi di dalam merumuskan
pendidikan Islam yang ideal di masa mendatang. Dengan melihat laju perubahan
zaman yang berjalan begitu cepat, kita tentunya sadar bahwa persoalan yang
dihadapi oleh pendidikan Islam di masa mendatang sangat kompleks, baik
persoalan internal maupun eksternal.
Rumusan pendidikan Islam yang ideal di masa
mendatang tentu harus merujuk kepada al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama
kegiatan pendidikan Islam.Namun demikian, kedua sumber tersebut tetap harus
didialogkan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini.Tampa itu,
gagasan pendidikan Islam yang dirumuskan bisa jadi tidak relevan dan tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan krusial yang dihadapi umat Islam.
Dalam
hal ini penulis menawarkan beberapa rumusan pendidikan Islam yang diharapkan
bisa dijadikan alternatif di dalam menyelenggarakan pendidikan Islam, antara
lain:
1. Pendidikan Islam
sebagai strategi pemberdayaan umat
Kata pemberdayaan
dalam sub judul ini mengandaikan bahwa umat Islam (walaupun tidak seluruhnya)
tidak berdaya. Ketidakberdayaan masyarakat, khususnya umat Islam,
setidak-tidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu kemiskinan dan kebodohan.
Pada tanggal 10 Juni
2006, harian Kompas menurunkan berita bahwa sebanyak 60.000-an
orang diberitakan terancam kelaparan di Kabupaten Sikka, NTT. Kemudian tanggal
14 Juli 2006 Kompas, Suara Pembaruan, dan Solo
Pos memberitakan bahwa sedikitnya lima daerah di Jawa Tengah rawan
pangan. Bahkan, akibat paceklik di musim kemarau, warga Kelurahan Bolan,
Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak terpaksa makan nasi aking (nasi
dari singkong yang telah dikeringkan terlebih dahulu).Ini hanya potret kecil
dari segudang derita akibat kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia.
Begitu juga dengan kebodohan yang menimpa
masyarakat Indonesia.Ini bisa dilihat dari tingginya buta aksara yang terjadi
di sejumlah daerah. Di Jawa Timur, misalnya, angka buta aksara mencapai 21,8 %,
kemudian disusul Jawa Tengah dengan 14 % dan Jawa Barat 10 %. Tingginya angka
buta aksara ini tentunya sangat ironis mengingat bangsa ini sudah merdeka sejak
61 tahun yang lalu.
2. Pendidikan Islam
sebagai proses pembangunan sumber daya masyarakat
Pengembangan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) seutuhnya
merupakan faktor pokok sekaligus penentu bagi keberlangsungan kehidupan suatu
bangsa.Demikian halnya bagi bangsa Indonesia. Proses untuk mempersiapkan SDM
bangsa Indonesia telah dimulai sebelum bangsa ini memproklamirkaan
kemerdekaannya. Hanya saja optimalisasi upaya ini secara terarah baru terlihat
pada masa pemerintahan Orde Baru.[29] Namun demikian,
pembangunan SDM seutuhnya di era Orba pada perkembangannya mengalami
polarisasi, sebab pendidikan dijadikan sebagai alat kontrol dan indoktrinasi
idiologi penguasa.
Untuk membangun dan
melahirkan profil SDM yang berkualitas, baik material maupun spiritual,
diperlukan sebuah sistem pendidikan yang senantiasa berpijak pada paradigma
antroposentrisme-transendental. Hal ini setidaknya didasarkan pada tiga
argumentasi, yaitu: pertama, peserta didik merupakan makhluk
Allah swt yang mulitidimensi dan dibekali dengan multi-potensi yang dinamis dan
potensial. Kedua, peserta didik merupakan manusia yang dinamis
dan berkembang secara merdeka sesuai dengan potensinya yang diatur lewat
sunatullah, bukan sebagai benda mati yang bisa dibongkar pasang sesuai dengan
keinginan pembuat program. Ketiga, pendidikan dilakukan tidak
lain adalah untuk membekali peserta didik agar mampu melaksanakan amanat dan
tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah swt.
Pokok
pikiran di atas memberikan gambaran bahwa baik secara teoritis dan praktis
pendidikan Islam yang ditawarkan harus mampu mengakomodir semua dimensi dan
potensi tersebut dalam sebuah sistem pendidikan yang integral dan utuh. Dengan
berpijak pada acuan ini, pendidikan Islam akan mampu memainkan perannya dalam
menciptakan manusia berkualitas, baik secara material maupun spiritual. Jika
tidak, berbagai upaya tersebut akan mengalami stagnasi dan kegagalan dalam
upaya memadukan potensi-potensi tersebut.
3. Pendidikan Islam sebagai proses mengatasi krisis akhlak
Krisis akhlak yang
semula hanya menerpa sebagian kecil elit politik, kini telah menjalar kepada
masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar.Krisis akhlak pada kaum elit politik
terlihat dengan adanya penyelewengan, korupsi, penindasan, saling menjegal, adu
domba, fitnah, menjilat dan sebagainya. Bahkan beberapa waktu yang lalu
headline harian Rakyat Merdekamengangkat tulisan Pimpinan
Berwibawa Sudah Lenyap Semua.Pernyataan ini memberi petunjuk bahwa akhlak
sebagian besar elit politik yang pernah dan sedang berkuasa saat ini
benar-benar telah merosot dan berdampak pada hilangnya wibawa mereka.
Sementara itu krisis
akhlak pada masyarakat umum terlihat pada sebagian sikap mereka yang mudah
merampas hak orang lain (menjarah), main hakim sendiri, melanggar peraturan
tanpa rasa bersalah dan sebagainya. Sedangkan krisis akhlak yang menimpa
kalangan pelajar terlihat dari banyaknya keluhan orang tua, ahli didik dan
orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial berkenaan dengan
ulah sebagian pelajar yang sukar diatur, nakal, sering membuat keonaran,
tawuran, mabuk-mabukan, pesta narkoba, bahkan melakukan pembajakan,
pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya.
Krisis akhlak menjadi
pangkal penyebab timbulnya krisis dalam berbagai kehidupan bangsa saat ini
belum ada tanda-tanda untuk berakhir. Kebobrokan moral semacam inilah yang
dihadapi Rasulullah saw pada awal perjuangannya. Itulah sebabnya fokus
perhatian dakwah beliau diarahkan pada upaya penyempurnaan akhlak.Dalam salah
satu haditsnya yang sangat terkenal Nabi bersabda Innama bu’itstu li
utammima makarima al-akhlak (aku diutus (Allah) ke muka bumi ini
semata-mata untuk menyempurnakan akhlak.
Krisis akhlak tersebut
sering kali dialamatkan kepada pendidikan. Pendidikan dianggap gagal mencetak
manusia dan generasi bangsa yang menjunjung tinggi norma agama dan norma-norma
sosial lainnya. Dunia pendidikan benar-benar tercoreng wajahnya dan tanpak
tidak berdaya menghadapi tuduhan tersebut.Hal ini bisa dimengerti mengingat
pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia
yang berkualitas, dan secara moral memang harus demikian.
Itulah sebabnya
belakangan ini banyak sekali seminar yang digelar kalangan pendidik yang
bertekad mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak itu. Para pemikir
pendidikan menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral,
pendidikan agama dan pendidikan moral harus siap menghadapi tantangan global,
pendidikan harus memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat
terdidik yang dilandasi dengan akhlak yang baik.
Gagasan pentingnya
pendidikan akhlak ini sebetulnya bukan hal yang baru dalam perbincangan
pendidikan Islam. Jauh sebelum krisis akhlak yang melanda bangsa Indonesia,
Al-Ghazali (w.1111 M) misalnya pernah menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
mengembangkan budi pekerti yang mencakup penanaman kualitas moral dan etika
seperti kepatuhan, kemanusiaan, kesederhanaan, dan membenci terhadap perbuatan
buruk seperti pola hidup yang berfoya-foya dan kemungkaran lainnya.[30]
Hal senada juga
dikemukakan oleh Ibn Miskawih (w.1030 M). Menurutnya, akhlak tidak bersifat
natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan secara bertahap, antara
lain melalui pendidikan.[31]
Barangkali terbersit
dalam pikiran kita, apa gerangan akan penyebab terjadinya krisis akhlak di
masyarakat kita? Jawabannya adalah: pertama, krisis akhlak
terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya
kontrol dari (self control) individu masyarakat. Alat
pengontrolnya adalah aturan hukum yang tegas, adil dan tanpa pandang bulu.
Meminjam istilah Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW),
Teten Masduki, selagi penegakan hukum di negara ini masih “tebang pilih”, maka
keadilan dan ketenteraman masyarakat tidak akan tercipta. Karenanya, supremasi
hukum merupakan start awal untuk membina tatanan sosial yang dihiasi dengan
akhlak al-karimah.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang
tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif.Ketiga institusi pendidikan
ini sudah terbawa oleh arus kehidupan yang lebih mengutamakan materi tanpa
diimbangi dengan pembinaan mental dan spiritual yang apik.Dalam bukunya yang
berjudul Peranan Agama dan Kesehatan Mental, Zakiah Daradjat mengatakan
akhlak bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja,
tanpa melakukan pembiasan sejak kecil.Akhlak itu tumbuh dari tindakan kepada
pengertian, bukan sebaliknya.
Ketiga, krisis akhlak terjadi
disebabkan karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedopnistik dan
sekularistik.Derasnya arus budaya yang demikian itu didukung oleh para
penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan
memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak.Berbagai
produk budaya yang bernuansa demikian dapat dilihat dalam bentuk semakin
banyaknya tempat-tempat hiburan yang mengundang selera biologis, peredaran
obat-obatan terlarang, buku-buku atau VCD-VCD porno, alat-alat kontrasepsi dan
sebagainya.
Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh
dari pemerintah. Kekuasaan, dana, teknologi, sumber daya manusia, peluang dan
sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan
pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian diperparah oleh adanya ulah sebagian
elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya
dengan cara-cara yang tidak mendidik seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme.Masyarakat yang melihat perilaku pemimpinnya yang demikian, kemudian
ikut-ikutan meniru, dan akibatnya wibawa pemerintah semakin menurun.Ini terjadi
mengingat bangsa ini masih cenderung bersikap paternalistik.
Karena itu upaya untuk
membendung laju dekadensi moral yang menimpa masyarakat Indonesia ini tampaknya
harus diawali dengan pendidikan akhlak baik di tingkat keluarga, sekolah maupun
masyarakat (pemerintah termasuk di dalamnya).
Telah diakui semua
kalangan bahwa keluarga merupakan media paling awal yang membentuk karakter,
kepribadian dan pilihan nilai seorang anak.Keluarga merupakan faktor determinan
dalam membantu serta mempengaruhi dinamika dan dialektika antar individu dan
masyarakatnya. Tanpa lembaga keluarga, seorang anak tidak akan mampu menjadi
seseorang yang dapat mengenai jati diri insaniyahnya. Ini
sesuai dengan pertumbuhan seorang anak yang dalam proses pendewasaannya harus
mendapatkan bimbingan orang tua dan keluarga.[32]
Dalam lingkup sekolah,
sudah saatnya sistem pendidikan kita perlu dirombak kembali.Saat ini kita harus
membuka ruang kreativitas yang lebih banyak lagi bagi para siswa.Dengan ruang
kreativitas tersebut, para siswa dapat menyalurkan bakat dan kemampuannya
masing-masing.Tugas guru adalah membantu siswa dengan jalur kecenderungan itu.
Dengan ini setiap siswa akan mendapatkan apresiasi dari para mentornya di
sekolah. Dengan kesibukan ini, para siswa akan kehabisan waktu untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
Selain itu, sekolah
juga harus menciptakan lingkungan yang bernuansa religius, seperti pembiasaan
melaksanakan shalat berjamaah, menegakkan kedisiplinan, memelihara kebersihan,
ketertiban, kejujuran, tolong-menolong dan sebagainya, sehingga nilai-nilai
agama menjadi kebiasaan, tradisi dan budaya seluruh siswa.Sikap dan perilaku
guru yang kurang terpuji atau menyimpang dari norma-norma akhlak hendaknya
tidak segan-segan untuk ditindak.
Selanjutnya,
masyarakat juga harus berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pembentukan akhlak, seperti menciptakan lingkungan yang tertib, bebas dari
peredaran obat-obat terlarang, perkumpulan perjudian dan lain
sebagainya.Masyarakat harus menyiapkan tempat bagi kepentingan pengembangan
bakat, hobi, keterampilan dan kesejahteraan bagi para remaja dan warganya.
Tidak kalah pentingnya
adalah pemimpin masyarakat, dari level terbawah hingga yang paling tinggi, juga
dituntut untuk memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sulit kiranya untuk
menciptakan sebuah tatanan masyarakat yang berakhlak al-karimah apabila
pemimpin masyarakatnya ternyata menyajikan tontotan yang sama sekali jauh dari
nilai-nilai akhlak mulia.
Figur pemimpin yang
bisa melahirkan masyarakat berakhlak adalah figur yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad saw dengan sifat shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Memang
betul bahwa Muhammad adalah seorang rasul yang mendapat perlakuan berbeda dari
Allah swt.Akan tetapi dia juga manusia seperti manusia kebanyakan.Artinya,
sekalipun kita tidak bisa mencontoh kepribadian Nabi dengan 100 persen,
setidak-tidaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk menerapkan sikap mulia
beliau dalam praktik kehidupan sehari-hari. Apabila ini dilakukan, saya yakin
bangsa ini akan menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur
C.
KESIMPULAN
Banyaknya persoalan
yang dihadapi dunia pendidikan saat ini, khususnya dunia pendidikan islam, janganlah
menjadikan kita semua larut kemudian acuh dan patah semangat dalam
mepertahankan tradisi keilmuan yang pernah diukir oleh Rosulullah, para Sahabat
serta para filosof islam. Kerusakan akhlak pada masa modern khususnya
Indonesia, tidak jauh berbeda dengan zaman Rosulullah SAW.Islam, yang di
dalamnya sudah terkafer pendidikan, sudah menjadi harga mati untuk selalu
diusahakan, tidak hanya oleh pendidik dan tenaga kependidikan, ulama’ dan
umarok, pelajar dan mahasiswa, namun semua pemangku kepentingan di negeri ini.
Nilai-nilai islam haruslah mengkristal dalam jiwa umat islam. Sehingga semua
itu akan menjadikan sebagai sebuah system dan melahirkan sub-sub system yang
semuanya berjalan pada tataran dan tatanan al-Quran dan Hadits. Insya-Allah…
DAFTAR PUSTAKA
A Malik Haramain, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik
Gerakan PMII),Yogyakarta, Fajar Pustaka, 2003,
Abdul Moqsith Ghazali, Meningkatkan Pendidikan
Akhlak Bagi Pelajar, PENDAIS Jurnal Komunikasi Pendidikan Agama Islam,
Vol. 1 No. 3 September 2000, hlm. 45
Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
non-Dikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 121-2
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi
Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia), Jakarta, Kencana, 2003, hlm. 221
Azyumardi Asra, Pendidikan Islam: Tradisi dan
Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999,
hlm. 159-160
Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Kontemporer,Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2000, hlm. 223
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi
Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1985, hlm. 155-6
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.III, hlm. 6
Pilip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Regnery
Publishing, 1996, hlm. 145
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi,
Metodologi dan Etika), Mizan, Teraju Mizan, 2005, hlm. 8
Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, terj.Mun’im
A. Sirry, Jakarta, Paramadina, 2003, hlm. 182
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta,
Gama Media Pratama, 2001, hlm. 189
Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami, Konsep
Universitas Islam, terj. Machnun Husein, Yogyakarta, Tiara Wacana,
1989, hlm. 80
Sutrisno, Fazlurrahman; Kajian terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006,
hlm. 26
Thoha Hamim, Naif, Masjid Jadi Pusat Pendidikan, dalam
Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, Vol. 06 No. 03 Februari-April,
2000, hlm. 32
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter
Sains Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998, hlm. 44
[1]George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, Cet.III, hlm. 6
[2]A.Malik Haramain, Sketsa Gerakan (Kritik-Otokritik Gerakan
PMII),Yogyakarta, Fajar
Pustaka, 2003, hlm. 43
[3]Ritzer, Sosiologi Ilmu hlm. 6-7
[4]Azyumardi Asra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 159-160
[5]Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
non-Dikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 121-2
[6]Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
non-Dikotomik, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hlm. 120
[7]Robert Spencer, Islam Ditelanjangi, terj.Mun’im
A. Sirry, Jakarta, Paramadina, 2003, hlm. 182
[13]Spencer, Islam Ditelanjangi, hlm. 184
[15]Spencer, Islam Ditelanjangi, hlm. 182
[16]Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Kontemporer,Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2000, hlm. 223
[17]Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Epistemologi, Metodologi dan Etika), Mizan, Teraju Mizan, 2005, hlm. 8
[18]Sutrisno, Fazlurrahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006, hlm. 26
[19]Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998, hlm. 44
[20]Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1985,
hlm. 155-6
[22]Sutrisno, Fazlurrahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006, hlm. 151
[23]Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual; Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1998, hlm. 47
[25]Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami, Konsep Universitas Islam, terj. Machnun Husein, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1989, hlm. 80
[27]Thoha Hamim, Naif, Masjid Jadi Pusat Pendidikan, dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan
Demokrasi, Vol. 06 No. 03 Februari-April, 2000, hlm. 32
[28]Hamim, Naif, Masjid Jadi Pusat Pendidikan, dalam Gerbang Jurnal Pemikiran Agama dan
Demokrasi, hlm. 32
[29]Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gama Media Pratama, 2001, hlm. 189
[30]Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan (Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia), Jakarta, Kencana,
2003, hlm. 221
[32]Abdul Moqsith Ghazali, Meningkatkan Pendidikan Akhlak Bagi Pelajar, PENDAIS Jurnal Komunikasi Pendidikan Agama
Islam, Vol. 1 No. 3 September 2000, hlm. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar