BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kurikulum dalam pendidikan Islam,
dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh
pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mereka. Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu
program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai
pendidikan.[1]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum
pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh
pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan
Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam
hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan
secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia
paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam
kurikulum pendidikan Islam.[2]
Dalam buku muhaimin tujuan utama
pendidikan agama (Islam) ialah keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan
terutama pada pemahaman tentang agama. Dengan perkataan lain, yang diutamakan
oleh pendidikan agama (Islam) bukan hanya knowing
(mengetahui tentang ajaran dan nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekan apa yang diketahui) setelah diajarkannya
disekolah, tetapi justru menngutamakan being-nya
(beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena
itu, pendidikan agama (Islam) harus lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik
tidak hanya berhenti pada tataran kompeten (competence),
tetapi sampai memiliki kemauan (will),
dan memiliki kebiasaan (habit) dalam
mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.[3]
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan islam?
2. Apa
yang dimaksud dengan model pengembangan religion
culture?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum
Pendidikan Agama Islam
Secara etimologis, istilah kurikulum
(curriculum) berasal dari bahasa Yunani yaitu curir yang artinya “pelari” dan
curene yang berarti “tempat berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia
olahraga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam
bahasa Prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti
berlari (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperoleh
medali atau penghargaan. Jarak yang harus di tempuh tersebut kemudian diubah
menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Program
tersebut berisi mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh oleh peserta didik
selama kurun waktu tertentu, seperti SD/MI (enam tahun), SMP/MTs (tiga tahun).
SMA/MA (tiga tahun) dan seterusnya.
Secara terminologis istilah kurikulum
(dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau
diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.[4]
Tujuan pendidikan yang ingin di capai itulah yang menentukan kurikulum dan isi
pendidikan yang diberikan. Selain itu tujuan pendidikan dapat mempengaruhi stategi
pemilihan teknik penyajian pendidikan yang dipergunakan untuk memberikan
pengalaman belajar pada anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang sudah
dirumuskan. Dengan kurikulum dan isi
pendidikan inilah kegiatan pendidikan itu dapat dilaksanakan secara benar
seperti apa yang telah dirumuskan.[5]
S. Nasution menyatakan, ada beberapa
penafsiran lain tentang kurikulum. Diantaranya:Pertama, kurikulum sebagai
produk (hasil pengembangan kurikulum), Kedua, kurikulum sebagai hal-hal yang
diharapkan akan dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan
Ketiga, kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa.[6]
Pengertian kurikulum dalam pandangan
modern merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang tidak
hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya saja, akan tetapi meliputi
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi
siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat
meningkatkan mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah
tetapi juga di luar sekolah.[7]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum
pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh
pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan
Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam
hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan
secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia
paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam
kurikulum pendidikan Islam.[8]
Sistem pendidikan Islam menuntut
pengkajian kurikulum yang Islami yang tercermin dari sifat dan
karakteristiknya. Kurikululum seperti itu hanya mungkin, apabila bertopang dan
mengacu pada dasar pemikiran yang Islami pula, serta bertolak dari pandangan
tentang manusia (pandangan antropologis) serta diarahkan pada tujuan pendidikan
yang dilandasi kaidah-kaidah Islami.
Agar kriteria kurikulum pendidikan
tersebut di atas dapat terpenuhi, maka dalam penyusunannya harus memepertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Sistem
dan perkembangan kurikulum tersebut hendaknya selaras dengan fitrah insani,
sehingga memiliki peluang untuk menyucikannya, menjaganya dari penyimpangan,
dan menyelamatkan.
2. Kurikulum
yang dimaksud hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam,
yaitu ikhlas, taat, dan beribadah kepada Allah. Disamping itu, untuk
merealisasikan pelbagai aspek tujuan
tidak lengkap seperti aspek psikis, fisik, sosial, budaya, maupun intelektual. Berbagai
aspek tujuan pendidikan tidak lengkap ini, berfungsi dalam rangka meluruskan
dan mengarahkan pola hidup yang selanjutnya bermuara pada tujuan akhir atau
tujuan asasi pendidikan.
3. Penahapan
serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodisasi perkembangan
peserta didik maupun unisitas (kekhasan) nya seperti karakteristik kekanakan,
kepriaan dan kewanitaan. Demikian pula fungsi serta peranan dan tugas
masing-masing dalam dalam kehidupan sosial.
4. Dalam
berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nashnya, hendaknya kurikulum
memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat dan tetap bertopang pada
jiwa dan cita ideal Islaminya, seperti rasa syukur serta harga diri sebagai
umat Islam serta tetap mendukung dengan kesadaran dan harapan akan pertolongan
Allah, serta ketaatan kepada Rasul-Nya yang diutus untuk ditaati dengan izin
Allah. Dalam hal tersebut, kurikulum tersebut tetap memeperhatikan dan
memelihara berbagai kepentingan umat sesuai dengan kondisi dan lingkungannya
yang dilimpahkan Allah, seperti iklim tropis ataupun kondisi alam yang
memungkinkan pola kehidupan agraris, industrial ataupun masyarakat dagang, baik
perdagangan laut maupun darat, dan seterusnya.
5. Secara
keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum tersebut hendaknya tidak
bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan, bahkan sebaliknya terarah pada
pola hidup islami. Dengan kata lain kurikulum tersebut berpulang untuk menempuh
kesatuan. Kepada mereka diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pengalaman dalam menggali dan menyingkap rahasia segala yang ada serta
keberadaannya, hukum aturan dan keteraturannya serta kejadiannya.
6. Hendaknya
kurikulum itu realistik, dalam arti bahwa ia dapat dilaksanakan sesuai dengan
situasi dan kondisi serta batas kemungkinan yang terdapat di Negara yang akan
melaksanakannya.
7. Hendaknya
metode pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum itu bersifat luwes/ fleksibel
sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi tempat, dengan
mengingat pula faktor perbedaan individual yang menyangkut bakat, minat serta
kemampuan siswa untuk menangkap, mencerna dan mengolah bahan pelajaran yang
bersangkutan.
8. Hendaknya
kurikulum itu efektif, dalam arti menyampaikan dan menggugah perangkat nilai
edukatif yang membuahkan tingkat laku positif serta meningkatkan dampak efektif
(sikap) yang positif pula dalam jiwa generasi muda. Untuk itu diperlukan
pemanfaatan metode pendidikan yang memadai sehingga melahirkan dampak mendalam,
berupa berbagai kegiatan islam yang efisien. Dengan kata lain, metode
pendidikan yang digunakan itu hendaknya memungkinkan pelaksanaannya, mudah
ditangkap dan diserap siswa, serta membuahkan hasil yang manfaat.
9. Kurikulum
itu hendaknya, memeperhatikan pula tingkat perkembangan siswa yang
bersangkutan, misalnya bagi suatu fase perkembangan tertentu diselaraskan
dengan pola kehidupan dan tahap perkembangan keagamaan dan pertumbuhan bahwa
bagi fase tersebut[9]
B. Model
Pengembangan Religious Culture
Religious
secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memiliki perbedaan
makna, yakni religi, religiusitas, dan religious.
Religi berasal dari kata religion
sebagaai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercaan akan adanya
sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Religiusitas berasal dari kata religious yang berkenaan dengan
religi atau sifat religi yang melekat
pada diri seseorang.[10]
Muhaimin menjelaskan bahwa religiusitas
tidak sama dengan agama. Religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk
hati nurani pribadi, sikap personal yang misterius karena menapaskan intimitas
jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya)
ke dalam pribadi manusia.[11]
Kata kebudayaan dan culture. Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta
“buddhayah”yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau
kekal. Kata asing culture yangberasal
dari kata latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, dan terutama
berhubungan dengan pengolahantanah memiliki arti yang sama dengan kebudayaan.
Arti culture berkembang sebagai
segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Jika diingat sebagai konsep,
kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasaknnya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya
itu.
Religious
culture atau budaya beragama memiliki makna yang
sama dengan “suasana religius atau suasana keagamaan”. Adapun makna
menurut M. Saleh Muntasir adalah suasana
yang memungkinkan setiap anggota keluarga beribadah, kontak dengan tuhan dengan
cara-cara yang telah ditetapkan agama, dengan suasana tenang, bersih, hikmat.
Sarananya adalah selera religius, selera etis, estetis, kebersihan, I’tikad
religius dan ketenangan. [12]
Model adalah suatu yang dianggap benar,
tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religius
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan
besrta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya.
1. Model
Struktural
Yaitu penciptaan suasana religius yang
disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembanguna kesan, baik dari dunia
luar atas kepemimpinan atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu
organisasi. Model ini biasanya bersifat top-down,
yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari pejabat/
pimpinan atasan.
2. Model
formal
Model ini biasanya menggunakan cara
pendekatan yang bersifat keagamaan yang normative, doktriner, dan absolutis.
Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal, memiliki sifat
commitment, dan dedikasi. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat
empiris, rasional, analitis krisis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga
perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang bersifat normative dan doktriner.
3. Model
Mekanik
Adalah penciptaan suasana religius yang
didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan
pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai
kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
Model mekanik tersebut berimplikasi
terhadap pengembangan pendidikan agama yang lebih menonjolkan fungsi moral dan
spiritual atau dimensi efektif daripada kognitif dan psikomotor. Artinya
dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan efektif (moral dan
spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
4. Model
organic
Yaitu penciptaan suasana religius yang
disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau
sebagai system (yang tersiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha
mengembangkan pandangan/semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap
hidup dan keterampilan hidup yang religius.
Religious
culture atau budaya beragama di sekolah
merupakan cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas
nilai-nilai religius (keberagamaan).[13]
Adapun macam-macam budaya beragama (religious
culture) yang dapat ditanamkan di sekolah antara lain:
1. Senyum,
salam, sapa
2. Saling
hormat dan toleran
3. Puasa
senin kamis
4. Shalat
dhuha
5. Tadarrus
Al-Qur’an
6. Istighosan
dan do’a bersama[14]
Budaya beragama (religious culture) yang diterapkan di sekolah ini memiliki tujuan
yang ingin dicapai, salah satunya adalah menanamkan akhlak mulia pada diri
pribadi peserta didik. Adapun nilai-nilai akhlak yang seharusnya di kembangkan
di sekolah atau madrasah, antara lain:
1. Terbiasa
berperilaku bersih, jujur dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong, serta
terbiasa dengan etika belajar, makan dan minum
2. Berperilaku
rendah hati, rajin, sederhana, dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji, serta
hormat kepada orang tua
3. Tekun,
percaya dan tidak boros
4. Terbiasa
hidup disiplin, hemat tidak lalai serta suka menolong
5. Bertanggung
jawab.[15]
Ada beberapa strategi yang dapat
dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius di
sekolah, antara lain:
1. Memberikan
contoh
2. Membiasakan
hal-hal yang baik
3. Menegakkan
disiplin
4. Memberikan
motifasi dan dorongan
5. Memberikan
hadiah
6. Menghukum
(mungkin dalam rangka kedisiplinan)
7. Penciptaan
suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[16]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. kurikulum
pendidikan agama islam yaitu kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman yang
digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan
tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan,
keterampilan dan sikap.
2. Dalam
proses pembelajaran bukan hanya terjadi transfer ilmu pengetahuan dari guru
kepada peserta didik atau dari peserta didik kepada peserta didik lainnya,
namun juga terjadi proses transfer kebudayaan yaitu terjadinya penanaman
nilai-nilai, norma-norma, atau adat kebiasaan. Peserta didik adalah subjek yang
melakukan akulturasi kebudayaan. Peserta didik mempelajari dan mengamalkan
nilai, norma, atau kebiasaan yang ada di masyarakat. Untuk itu dilakukan
kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama
Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan
pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler. Dalam
rangka menindaklanjuti hal tersebut maka dilaksanakan kegiatan yang langsung
melibatkan pelaku utama pendidikan yaitu peserta didik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani.
2012. Pendidikan Karakter Perspektif
Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ahmad Tafsir. 2004. metodologi Pengajaran agama Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Arifin, Zainal. 2011. Konsep & Model Pengembangan Kurikulum.
Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Darajat, Zakiyah 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara
Djamaludin Ancok dan Fuad Nasori
Suroso, 1995. Psikologi Islam (solusi
Islamatas problem-problem Psikologi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hamdani, Ihsan. 2001. Filsafat Peendidikan Islam: untuk fakultas
Tarbiyah komponen MKK. Yogyakarta: Pustaka Setia
Jalaluddin, Abdullah Idi, 2002. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan
Pendidikan). Jakarta: Gaya Media Pratama
M. Saleh Muntasir, 1985. Mencari Evidensi Islam (Analisa Awal Sistim
Filsafat, Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam), Jakarta: Rajawali
Muhaimin, 2002. Paradigma pendidikan islam
(upaya mengefektifkan pendidikan agama islam di sekolah).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
_______, 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
Jakarta: RajaGrafindo Perkasa
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia
S.Nasution, 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi
Aksara
Sahlan, Asmauun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya
Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi). Malang: UIN Maliki Press
[1] Zakiyah Daradjat,
dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996), Cet.ke-3, hal. 122
[2] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2006), Cet. Ke-5, 152
[3] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang
Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2006), hal. 147
[4] Zainal Arifin. Konsep & Model Pengembangan Kurikulum,
(Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 2-3
[5] Jalaluddin, Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan(Manusia,
Filsafat dan Pendidikan), (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.), hal. 124-125
[6] S.Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi
Aksara,1994), Cet.I, hal. 5-9.
[7] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2006), Cet. Ke-5, hal. 152
[8] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2006), Cet. Ke-5, hal. 152
[9] Hamdani, Ihsan. Filsafat Peendidikan Islam: untuk
fakultas Tarbiyah komponen MKK. (Yogyakarta: Pustaka Setia, 2001), hal.
148-150.
[10] Djamaludin Ancok dan
Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islam
(solusi Islamatas problem-problem Psikologi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hal. 76
[11] Muhaimin, paradigm pendidikan islam (upaya
mengefektifkan pendidikan agama islam di sekolah), (bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), hal. 287
[12] M. Saleh Muntasir, Mencari Evidensi Islam (Analisa Awal Sistim
Filsafat, Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam), (jakrta: Rajawali,
1985), hal. 120
[13] Asmauun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya
Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi), (Malang: UIN Maliki Press, 2010),
hal.75
[14] Asmauun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya
Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi), (Malang: UIN Maliki Press, 2010),
hal. 117
[15] Abdul Majid dan Dian
Andayani,Pendidikan Karakter Perspektif
Islam, (bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 169
[16] Ahmad Tafsir, metodologi Pengajaran agama Islam,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar