Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH MODEL PENGEMBANGAN RELIGION CULTURE


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai pendidikan.[1]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[2]
Dalam buku muhaimin tujuan utama pendidikan agama (Islam) ialah keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman tentang agama. Dengan perkataan lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan hanya knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekan apa yang diketahui) setelah diajarkannya disekolah, tetapi justru menngutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena itu, pendidikan agama (Islam) harus lebih diorientasikan pada tataran moral action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti pada tataran kompeten (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan memiliki kebiasaan (habit) dalam mewujudkan ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari.[3]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan islam?
2.       Apa yang dimaksud dengan model pengembangan religion culture?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani yaitu curir yang artinya “pelari” dan curene yang berarti “tempat berpacu”. Istilah kurikulum berasal dari dunia olahraga, terutama dalam bidang atletik pada zaman Romawi Kuno di Yunani. Dalam bahasa Prancis, istilah kurikulum berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari dari garis start sampai dengan garis finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Jarak yang harus di tempuh tersebut kemudian diubah menjadi program sekolah dan semua orang yang terlibat di dalamnya. Program tersebut berisi mata pelajaran (courses) yang harus ditempuh oleh peserta didik selama kurun waktu tertentu, seperti SD/MI (enam tahun), SMP/MTs (tiga tahun). SMA/MA (tiga tahun) dan seterusnya.
Secara terminologis istilah kurikulum (dalam pendidikan) adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan peserta didik di sekolah untuk memperoleh ijazah.[4] Tujuan pendidikan yang ingin di capai itulah yang menentukan kurikulum dan isi pendidikan yang diberikan. Selain itu tujuan pendidikan dapat mempengaruhi stategi pemilihan teknik penyajian pendidikan yang dipergunakan untuk memberikan pengalaman belajar pada anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan.  Dengan kurikulum dan isi pendidikan inilah kegiatan pendidikan itu dapat dilaksanakan secara benar seperti apa yang telah dirumuskan.[5]
S. Nasution menyatakan, ada beberapa penafsiran lain tentang kurikulum. Diantaranya:Pertama, kurikulum sebagai produk (hasil pengembangan kurikulum), Kedua, kurikulum sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari oleh siswa (sikap, keterampilan tertentu), dan Ketiga, kurikulum dipandang sebagai pengalaman siswa.[6]
Pengertian kurikulum dalam pandangan modern merupakan program pendidikan yang disediakan oleh sekolah yang tidak hanya sebatas bidang studi dan kegiatan belajarnya saja, akan tetapi meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan pribadi siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan mutu kehidupannya yang pelaksanaannya tidak hanya di sekolah tetapi juga di luar sekolah.[7]
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam kurikulum pendidikan Islam.[8]
Sistem pendidikan Islam menuntut pengkajian kurikulum yang Islami yang tercermin dari sifat dan karakteristiknya. Kurikululum seperti itu hanya mungkin, apabila bertopang dan mengacu pada dasar pemikiran yang Islami pula, serta bertolak dari pandangan tentang manusia (pandangan antropologis) serta diarahkan pada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah-kaidah Islami.
Agar kriteria kurikulum pendidikan tersebut di atas dapat terpenuhi, maka dalam penyusunannya harus memepertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Sistem dan perkembangan kurikulum tersebut hendaknya selaras dengan fitrah insani, sehingga memiliki peluang untuk menyucikannya, menjaganya dari penyimpangan, dan menyelamatkan.
2.      Kurikulum yang dimaksud hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, yaitu ikhlas, taat, dan beribadah kepada Allah. Disamping itu, untuk merealisasikan  pelbagai aspek tujuan tidak lengkap seperti aspek psikis, fisik, sosial, budaya, maupun intelektual. Berbagai aspek tujuan pendidikan tidak lengkap ini, berfungsi dalam rangka meluruskan dan mengarahkan pola hidup yang selanjutnya bermuara pada tujuan akhir atau tujuan asasi pendidikan.
3.      Penahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya memperhatikan periodisasi perkembangan peserta didik maupun unisitas (kekhasan) nya seperti karakteristik kekanakan, kepriaan dan kewanitaan. Demikian pula fungsi serta peranan dan tugas masing-masing dalam dalam kehidupan sosial.
4.      Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh dan nashnya, hendaknya kurikulum memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat dan tetap bertopang pada jiwa dan cita ideal Islaminya, seperti rasa syukur serta harga diri sebagai umat Islam serta tetap mendukung dengan kesadaran dan harapan akan pertolongan Allah, serta ketaatan kepada Rasul-Nya yang diutus untuk ditaati dengan izin Allah. Dalam hal tersebut, kurikulum tersebut tetap memeperhatikan dan memelihara berbagai kepentingan umat sesuai dengan kondisi dan lingkungannya yang dilimpahkan Allah, seperti iklim tropis ataupun kondisi alam yang memungkinkan pola kehidupan agraris, industrial ataupun masyarakat dagang, baik perdagangan laut maupun darat, dan seterusnya.
5.      Secara keseluruhan struktur dan organisasi kurikulum tersebut hendaknya tidak bertentangan dan tidak menimbulkan pertentangan, bahkan sebaliknya terarah pada pola hidup islami. Dengan kata lain kurikulum tersebut berpulang untuk menempuh kesatuan. Kepada mereka diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengalaman dalam menggali dan menyingkap rahasia segala yang ada serta keberadaannya, hukum aturan dan keteraturannya serta kejadiannya.
6.      Hendaknya kurikulum itu realistik, dalam arti bahwa ia dapat dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi serta batas kemungkinan yang terdapat di Negara yang akan melaksanakannya.
7.      Hendaknya metode pendidikan atau pengajaran dalam kurikulum itu bersifat luwes/ fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi tempat, dengan mengingat pula faktor perbedaan individual yang menyangkut bakat, minat serta kemampuan siswa untuk menangkap, mencerna dan mengolah bahan pelajaran yang bersangkutan.
8.      Hendaknya kurikulum itu efektif, dalam arti menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan tingkat laku positif serta meningkatkan dampak efektif (sikap) yang positif pula dalam jiwa generasi muda. Untuk itu diperlukan pemanfaatan metode pendidikan yang memadai sehingga melahirkan dampak mendalam, berupa berbagai kegiatan islam yang efisien. Dengan kata lain, metode pendidikan yang digunakan itu hendaknya memungkinkan pelaksanaannya, mudah ditangkap dan diserap siswa, serta membuahkan hasil yang manfaat.
9.       Kurikulum itu hendaknya, memeperhatikan pula tingkat perkembangan siswa yang bersangkutan, misalnya bagi suatu fase perkembangan tertentu diselaraskan dengan pola kehidupan dan tahap perkembangan keagamaan dan pertumbuhan bahwa bagi fase tersebut[9]
B.      Model Pengembangan Religious Culture
Religious secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memiliki perbedaan makna, yakni religi, religiusitas, dan religious. Religi berasal dari kata religion sebagaai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati di atas manusia. Religiusitas berasal dari kata religious yang berkenaan dengan religi   atau sifat religi yang melekat pada diri seseorang.[10]
Muhaimin menjelaskan bahwa religiusitas tidak sama dengan agama. Religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati nurani pribadi, sikap personal yang misterius karena menapaskan intimitas jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam pribadi manusia.[11]
Kata kebudayaan dan culture. Kata kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah”yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau kekal. Kata asing culture yangberasal dari kata latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, dan terutama berhubungan dengan pengolahantanah memiliki arti yang sama dengan kebudayaan. Arti culture berkembang sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Jika diingat sebagai konsep, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasaknnya dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu.
Religious culture atau budaya beragama memiliki makna yang sama dengan “suasana religius atau suasana keagamaan”. Adapun makna menurut  M. Saleh Muntasir adalah suasana yang memungkinkan setiap anggota keluarga beribadah, kontak dengan tuhan dengan cara-cara yang telah ditetapkan agama, dengan suasana tenang, bersih, hikmat. Sarananya adalah selera religius, selera etis, estetis, kebersihan, I’tikad religius dan ketenangan. [12]
Model adalah suatu yang dianggap benar, tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religius sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan besrta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya.
1.      Model Struktural
Yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembanguna kesan, baik dari dunia luar atas kepemimpinan atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu organisasi. Model ini biasanya bersifat top-down, yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari pejabat/ pimpinan atasan.
2.      Model formal
Model ini biasanya menggunakan cara pendekatan yang bersifat keagamaan yang normative, doktriner, dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal, memiliki sifat commitment, dan dedikasi. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis krisis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang bersifat normative dan doktriner.
3.      Model Mekanik
Adalah penciptaan suasana religius yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
Model mekanik tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi efektif daripada kognitif dan psikomotor. Artinya dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan efektif (moral dan spiritual) yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
4.      Model organic
Yaitu penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai system (yang tersiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius.
Religious culture atau budaya beragama di sekolah merupakan cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan).[13] Adapun macam-macam budaya beragama (religious culture) yang dapat ditanamkan di sekolah antara lain:
1.      Senyum, salam, sapa
2.      Saling hormat dan toleran
3.      Puasa senin kamis
4.      Shalat dhuha
5.      Tadarrus Al-Qur’an
6.       Istighosan dan do’a bersama[14]
Budaya beragama (religious culture) yang diterapkan di sekolah ini memiliki tujuan yang ingin dicapai, salah satunya adalah menanamkan akhlak mulia pada diri pribadi peserta didik. Adapun nilai-nilai akhlak yang seharusnya di kembangkan di sekolah atau madrasah, antara lain:
1.      Terbiasa berperilaku bersih, jujur dan kasih sayang, tidak kikir, malas, bohong, serta terbiasa dengan etika belajar, makan dan minum
2.      Berperilaku rendah hati, rajin, sederhana, dan tidak iri hati, pemarah, ingkar janji, serta hormat kepada orang tua
3.      Tekun, percaya dan tidak boros
4.      Terbiasa hidup disiplin, hemat tidak lalai serta suka menolong
5.       Bertanggung jawab.[15]
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius di sekolah, antara lain:
1.      Memberikan contoh
2.      Membiasakan hal-hal yang baik
3.      Menegakkan disiplin
4.      Memberikan motifasi dan dorongan
5.      Memberikan hadiah
6.      Menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan)
7.       Penciptaan suasana religius yang berpengaruh bagi pertumbuhan anak.[16]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      kurikulum pendidikan agama islam yaitu kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap.
2.      Dalam proses pembelajaran bukan hanya terjadi transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada peserta didik atau dari peserta didik kepada peserta didik lainnya, namun juga terjadi proses transfer kebudayaan yaitu terjadinya penanaman nilai-nilai, norma-norma, atau adat kebiasaan. Peserta didik adalah subjek yang melakukan akulturasi kebudayaan. Peserta didik mempelajari dan mengamalkan nilai, norma, atau kebiasaan yang ada di masyarakat. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler. Dalam rangka menindaklanjuti hal tersebut maka dilaksanakan kegiatan yang langsung melibatkan pelaku utama pendidikan yaitu peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid dan Dian Andayani. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ahmad Tafsir. 2004. metodologi Pengajaran agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Arifin, Zainal. 2011. Konsep & Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Darajat, Zakiyah 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
Djamaludin Ancok dan Fuad Nasori Suroso, 1995. Psikologi Islam (solusi Islamatas problem-problem Psikologi).  Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hamdani, Ihsan. 2001. Filsafat Peendidikan Islam: untuk fakultas Tarbiyah komponen MKK. Yogyakarta: Pustaka Setia
Jalaluddin, Abdullah Idi, 2002. Filsafat Pendidikan (Manusia, Filsafat dan Pendidikan). Jakarta: Gaya Media Pratama
M. Saleh Muntasir, 1985. Mencari Evidensi Islam (Analisa Awal Sistim Filsafat, Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam), Jakarta: Rajawali
Muhaimin, 2002. Paradigma pendidikan islam (upaya mengefektifkan pendidikan agama islam di sekolah). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
_______, 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Perkasa
Ramayulis. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia
S.Nasution, 1994. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
Sahlan, Asmauun. 2010. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi). Malang: UIN Maliki Press


[1] Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet.ke-3, hal. 122
[2] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Cet. Ke-5, 152
[3] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, 2006), hal. 147
[4] Zainal Arifin. Konsep & Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 2-3
[5] Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan(Manusia, Filsafat dan Pendidikan), (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002.),  hal. 124-125
[6] S.Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), Cet.I, hal. 5-9.
[7] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Cet. Ke-5, hal. 152
[8] H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), Cet. Ke-5, hal. 152
[9] Hamdani, Ihsan. Filsafat Peendidikan Islam: untuk fakultas Tarbiyah komponen MKK. (Yogyakarta: Pustaka Setia, 2001), hal. 148-150.
[10] Djamaludin Ancok dan Fuad Nasori Suroso, Psikologi Islam (solusi Islamatas problem-problem Psikologi), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 76
[11] Muhaimin, paradigm pendidikan islam (upaya mengefektifkan pendidikan agama islam di sekolah), (bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 287
[12] M. Saleh Muntasir, Mencari Evidensi Islam (Analisa Awal Sistim Filsafat, Strategi dan Metodologi Pendidikan Islam), (jakrta: Rajawali, 1985), hal. 120
[13] Asmauun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi), (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal.75
[14] Asmauun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Upaya Mengembangkan Pai dari Teori ke Aksi), (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal. 117
[15] Abdul Majid dan Dian Andayani,Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 169
[16] Ahmad Tafsir, metodologi Pengajaran agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar