Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PROSES TURUN DAN PENGUMPULAN AL-QURAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Al-Qur’an mempunyai 114 surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-‘Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan 6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin, Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak mengikutsertakannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses penurunan al-qur’an?
2.      Bagaimana proses pengumpulan al-qur’an?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Proses Penurunan (Nuzul Al-Qur’an)
Kata “Nuzul” (bahasa Arab: berasal dari nazala) secara etimologis berarti turun, jatuh, keadaan turun, tinggal sementara, dan hal yang menimpa. Sedangkan arti terminologis nuzul ialah turunnya al-qurán kepada nabi Muhammad saw yang dibawa oleh Malaikat Jibril ke bumi. Kata nazala dan derivasinya dipergunakan al-qur’an sebanyak 293 kali dan sebagiannya berkaitan dengan kitab yang diturunkan Allah kepada rasul.[1]
Allah menurunkan Al-Qurán kepada Rasul kita Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya al-qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad.
Pendapat ulama mengenai cara turunnya al-qur’an berbeda-beda, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1.       Pendapat yang menyatakan bahwa al-qur’an diturunkan sekaligus. Pandangan ini berdasarkan dalil-dalil:
Artinya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (QS. Al-Qadr: 1)
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan: 3)
Ketiga ayat diatas tidak itu bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadan.tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan rasul, di mana qur’an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun.[2]
2.        Pendapat kedua melihat bahwa pendapat pertama ini bertentangan dengan kenyataan historis yang menunjukan bahwa qur’an diturunkan berangsur-angsur sampai selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di makkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di madinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur-angsur itu terdapat dalam firman Allah:
Artinya:
dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al-Isra: 106)
maksudnya: kami telah menjadikan turunnya Al-Qur’an itu berangsur-angsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian. Kejadian.
                        Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti taurat, injil, dan zabur, turunnya sekaligus, tidak turun berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya:
Artinya:
berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS. Al-Furqan: 32)
 diturunkannya al-qur’an secra berangsur-angsur telah memberikan beberapa hikmah yang besar sekali kepada nabi Muhammad saw dan para sahabat.
a.       Memperkuat hati Nabi Muhammad saw sendiri. Hal ini telah dinyatakan di dalam al-qur’an, surat al-furqan:
Artinya:
berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS. Al-furqan: 32)
b.      Untuk memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam menyimak, mempelajari, memahami dan menghafal al-qur’an.
Artinya:
dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian. (QS. Al Isra’:106)
c.       Agar ayat-aya al-qur’an yang diturunkan selalu sesuai dengan situasi, kondisi dan perkembangan kaum muslim sehingga ajaran-ajaran dan perubahan-perubahan yang dibawanya tidak menimbulkan rasa antipati dan keguncangan dalam masyarakat islam yang baru tumbuh itu. Seperti diketahui al-qur’an dating membawa berbagai macam peraturan, perintah dan larangan, dari yang mudah sampai yang berat dilaksanakan, padahal orang-orang yang harus melaksanakan itu, sebelumnya berada dalam kondisi yang serba bebas.
d.      Agar ayat-ayat al-qur’an yang diturunkan dapat diterima dan dihayati oleh para sahabat secara lebih mendalam. Seperti yang dimaklumi bahwa ayat-ayat al-qur’an itu ada yang diturunkan untuk menjawab suatu pertanyaan atau menanggapi suatu kasus dan peristiwa. [3]
Sedangkan bagi para masyarakat arab ketika masa Al-Qur’an diturunkan adalah untuk
a.       Mempermudah sahabat dalam menghafal, memahami, dan mengamalkan
b.      Merubah tradisi secara bertahap sehingga tidak terjadi kejutan dan loncatan tradisi yang mengakibatkan masyarakat antipasti terhadap ajaran al-qur’an.
Pendapat sebagian besar ulama mengatakan bahwa tahapan turunnya al-qur’an dapat dibagi menjadi dua; makiyah dan madaniyah, dimana penentuannya ditentukan berdasarkan dalil naqli (menurut riwayat hadist) atau ijtihadi (berdasar ijtihat sahabat). [4]
Sementara itu, M. Quraish Shihab membagi periodisasi turunnya Al-Qur’an secara global dalam tiga periode.
a.       Periode pengangkatan sebagai nabi, rasul, dan selanjutnya berkisar dalam tiga hal:
1)      Pendidikan dan bimbingan dalam membentuk kepribadian Nabi saw
2)      Pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat af’al Allah
3)      Keterangan mengenai dasar-dasar akhlak islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum pandangan hidup masyarakat jahiliyah.
b.      Fase dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam melawan Tradisi jahiliyah. Pada masa yyang berlangsung antara 8 hingga 9 tahun ini, gerakan oposisi menggunakan berbagai cara untuk menentang dakwah al-qur’an, mulai dari fitnah, intimidasi, hingga penganiayaan fisik.
B.     Proses Pengumpulan Al-Qur’an
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[5]
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, yaitu:
1.       Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.       Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.        ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.       Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.       Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.       Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.[6]
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut  adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[7]
1.      Pengumpulan al-qur’an pada masa Abu Bakar
Sebelum setahun setelah rasulullah saw wafat dan abu bakar menjadi khalifah telah terjadi peperangan sengit di yamamah antara kaum muslim di satu pihak dan para pengikut musailamah al kadzab di pihak lain. Mengingat akibat peristiwa tersebut khususnya yang berkenaan dengan banyaknya para qari’ dan hafidz al-qur’an yang sahid di peperangan itu telah menimbulkan kekhawatiran pada umar bin khatab akan banyak lagi para qari’ dan hafid yang syahid atau wafat, baik dalam peperangan maupun lainnya.dalam pandangan Umar, dengan banyaknya para qari’ dan hafidz al-qur’an yang wafat akan membawa implikasi pula kepada banyaknya al-qur’an yang hilang. Karena, dilator belakangi kekhawatiran tersebut, umar kemudian menyampaikan ide untuk mengumpulkan al-qur’an kepada khalifah abu bakar.[8]
            Menurut riwayat, pada mulanya abu bakar merasa ragu untuk dapat merealisasikan ide umar itu, karena menurut pandangannya, rasulullah saw sendiri tidak pernah melaksanakannya. Namun, karena umar terus saja mendesaknya dengan mengingatkan kebaikan yang akan diperoleh dari pengumpulan al-qur’an itu, akhirnya abu bakar bersedia melaksanakan.
Zaid bin tsabit adalah tokoh yang ditunjuk khalifah abu bakar untuk mengumpulkan al-qur’an. Ada beberapa alasan mengapa zaid ditunjuk oleh khalifah untuk memikul tugas yang berat itu dan bukan sahabat lain seperti Abdullah ibn mas’ud dan ubay ibn ka’ab yang lebih senior, padahal mereka juga di samping hafal alqur’an, juga peulis wahyu. Pertama, ia seorang pemuda. Sebagai seorang pemuda tentu saja zaid memiliki tenaga yang lebih prima dalam bekerja dari pada para sahabat yang lebih senior. Kedua, ia seorang yang cerdas dan kecerdasannya yang dimilikinya itu telah diketahui oeh para sahabat. Ketiga¸ia seorang amanah. Keempat, di samping hafal seluruh isi al-qur’an, zaid juga adalah penulis wahyu al-qur’an yang paling banyak dibandingkan dengan para sahabat yang lain.[9]
Dengan kerja keras zaid dan para sahabat yang membantunya dalam mengumpulkan al-qur’an, maka dalam waktu kurang satu tahun, selesailah ersusun mushaf yang direncanakan, dengan isinya yang masih murni, tanpa adanya tambahan dan kekurngan satu perubahan dan sesuai dengan yang telah dibacakan oleh rasulullah.


2.      Pengumpulan al-qur’an pada masa Umar
Setelah khalifah abu bakar wafat pada 13H, maka yang menggantikannya adalah umar bin khattab. Mushaf yang sebelumnya disimpan oleh abu bakar , kini disimpan oleh umar. Selama masa pemerintahan umar, tidak ada langkah-langkah baru yang telah dilaksanakannya terhadap mushaf yang telah disimpannya itu. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi pada waktu itu belum menghendaki demikian. Selain itu, para sahabat sendiri sudah merasa tentram dengn terkumpulnya al-qur’an dalam mushaf resmi itu.
Meskipun demikian, perhatian umar terhadap al-qur’an diarahkan dalam aspek pengajarannya secara merata ke seluruh negeri islam dan pengawasan terhadap qira’at yang dipakai oleh kaum muslimin dalam membaca al-qur’an agar tidak menyimpang dari semestinya. Umar juga mengirim guru-guru al-qur’an ke berbagai negeri islam, umar juga selalu mamantau dan memonitor qiraat yang dipakai oleh guru-guru al-qur’an dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang islam yang berada di berbagai negeri islam itu.
Demikianlah kebijakan umar dalam melaksanakan pengajaran al-qur’an sampai dia tewas dibunuh oleh seorang nashrani yang bernama abu lu’lu’ah. Sepeninggal umar, mushaf resmi kemudian disimpan oleh putrinya sendiri yang bernama hafshah. Setelah hafsah meninggal, baru mushaf resmi tersebut diambil oleh khalifahmarwan bin hakam, salah seorang dari dinasti daulah umayah, yang kemudian membakarnya . alasan yang dikemukakannya adalah isi dari mushaf tersebut termuat seluruhnya di dalam Mushaf Al Imam dan dia khawatir, semakin lama nanti orang-orang akan meragukan kebenaran mushaf ini.[10]
3.      Pengumpulan mushaf pada masa Utsman
Masa pemerintaha usman ditandai dengan berbagai macam penaklukan. Lebih kurang enam tahun lamanya waktu yang diperlukan untuk penaklukan-penaklukan tersebut. Oleh karena perhatiannya pemerintah dan kaum muslimin banyak yang tercurah kepada penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan islam, masalah pengajaran al-qur’an diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hafal al-qur’an dan sanggup untuk itu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius  serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf  itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. sebelum melakukan tugas ini usman berpesan kepada mereka :
Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.”[11]
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf  yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf  ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf  yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[12]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[13] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, Rasulullah saw. Bersabda.[14]
Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[15]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      tahap-tahap turunnya Al-Qur’an” ialah tertib dari fase-fase disampaikan kitab suci Al-Qur’an, mulai dari sisi Allah hingga langsung kepada Nabi Muhammad SAW, kitab suci ini tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya. Sebab kitab suci ini diturunkan secara bertahap, sehingga betul-betul menunjukkan kemukjizatannya.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah surat atau sebuah surat ynag pendek secara lengkap. Dan penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu lebih kurang 23 tahun, yakni 13 tahun waktu nabi masih tingggal di makkah sebelum hijrah dan 10 tahun waktu nabi hijrah ke madinah.
2.      Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.

Daftar Pustaka

Departemen Agama Republik Indonesia, 2002, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra 
Athaillah, 2010, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Al-Qattan, Manna Khalil, 2012, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa 
Umar, Nasaruddin, 2008, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta: Al-Gazali Centre
Amal, Taufik Adnan, 2001, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama
Zenrif, MF., 2008, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, Malang: UIN Press


[1] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, (Malang: UIN Press, 2008), hal. 1
[2] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal.145
[3] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal. 153-166
[4] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, (Malang: UIN Press, 2008), hal. 9
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), hal. 19
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), hal. 151
[7] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), hal. 158-159
[8] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal.215
[9] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal.218-220
[10] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal. 231-234
[11] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 193
[12] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), (Jakarta, Al-Gazali Centre, 2008). hal. 152
[13] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), (Jakarta, Al-Gazali Centre, 2008). hal.153
[14] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 195
[15] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar