BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an adalah kitab
suci umat Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafal dan maknanya.
Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat
Islam hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat
manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Al-Qur’an mempunyai 114
surat, dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan
terpendek terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-‘Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr.
Sebagian ulama
menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan
6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang
kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang
kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin,
Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak
mengikutsertakannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan
pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama
panjang, dan dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an).
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
proses penurunan al-qur’an?
2. Bagaimana
proses pengumpulan al-qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Penurunan (Nuzul Al-Qur’an)
Kata “Nuzul” (bahasa Arab: berasal dari nazala) secara etimologis berarti turun, jatuh, keadaan turun,
tinggal sementara, dan hal yang menimpa. Sedangkan arti terminologis nuzul ialah turunnya al-qurán kepada
nabi Muhammad saw yang dibawa oleh Malaikat Jibril ke bumi. Kata nazala dan derivasinya dipergunakan
al-qur’an sebanyak 293 kali dan sebagiannya berkaitan dengan kitab yang
diturunkan Allah kepada rasul.[1]
Allah menurunkan Al-Qurán kepada
Rasul kita Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya qur’an
merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni
langit dan penghuni bumi. Turunnya al-qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan
kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan
umat Muhammad.
Pendapat ulama mengenai cara
turunnya al-qur’an berbeda-beda, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Pendapat
yang menyatakan bahwa al-qur’an diturunkan sekaligus. Pandangan ini berdasarkan
dalil-dalil:
Artinya:
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
Artinya:
Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan
(QS. Al-Qadr: 1)
Artinya:
Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan: 3)
Ketiga ayat diatas
tidak itu bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar
dalam bulan Ramadan.tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan
kejadian nyata dalam kehidupan rasul, di mana qur’an turun kepadanya selama dua
puluh tiga tahun.[2]
2.
Pendapat kedua melihat
bahwa pendapat pertama ini bertentangan dengan kenyataan historis yang
menunjukan bahwa qur’an diturunkan berangsur-angsur sampai selama kurang lebih
dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di makkah menurut pendapat yang kuat,
dan sepuluh tahun di madinah. Penjelasan tentang turunnya secara
berangsur-angsur itu terdapat dalam firman Allah:
Artinya:
dan
Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian. (QS. Al-Isra: 106)
maksudnya: kami telah
menjadikan turunnya Al-Qur’an itu berangsur-angsur agar kamu membacakannya
kepada manusia secara perlahan dan teliti dan kami menurunkannya bagian demi
bagian sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian. Kejadian.
Adapun
kitab-kitab samawi yang lain, seperti taurat, injil, dan zabur, turunnya
sekaligus, tidak turun berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh
firman-Nya:
Artinya:
berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
(QS. Al-Furqan: 32)
diturunkannya al-qur’an secra berangsur-angsur
telah memberikan beberapa hikmah yang besar sekali kepada nabi Muhammad saw dan
para sahabat.
a. Memperkuat
hati Nabi Muhammad saw sendiri. Hal ini telah dinyatakan di dalam al-qur’an,
surat al-furqan:
Artinya:
berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
(QS. Al-furqan: 32)
b. Untuk
memberikan kemudahan kepada para sahabat dalam menyimak, mempelajari, memahami
dan menghafal al-qur’an.
Artinya:
dan
Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian. (QS. Al Isra’:106)
c. Agar
ayat-aya al-qur’an yang diturunkan selalu sesuai dengan situasi, kondisi dan
perkembangan kaum muslim sehingga ajaran-ajaran dan perubahan-perubahan yang
dibawanya tidak menimbulkan rasa antipati dan keguncangan dalam masyarakat
islam yang baru tumbuh itu. Seperti diketahui al-qur’an dating membawa berbagai
macam peraturan, perintah dan larangan, dari yang mudah sampai yang berat
dilaksanakan, padahal orang-orang yang harus melaksanakan itu, sebelumnya
berada dalam kondisi yang serba bebas.
d. Agar
ayat-ayat al-qur’an yang diturunkan dapat diterima dan dihayati oleh para
sahabat secara lebih mendalam. Seperti yang dimaklumi bahwa ayat-ayat al-qur’an
itu ada yang diturunkan untuk menjawab suatu pertanyaan atau menanggapi suatu
kasus dan peristiwa. [3]
Sedangkan bagi para
masyarakat arab ketika masa Al-Qur’an diturunkan adalah untuk
a. Mempermudah
sahabat dalam menghafal, memahami, dan mengamalkan
b. Merubah
tradisi secara bertahap sehingga tidak terjadi kejutan dan loncatan tradisi
yang mengakibatkan masyarakat antipasti terhadap ajaran al-qur’an.
Pendapat sebagian besar
ulama mengatakan bahwa tahapan turunnya al-qur’an dapat dibagi menjadi dua;
makiyah dan madaniyah, dimana penentuannya ditentukan berdasarkan dalil naqli
(menurut riwayat hadist) atau ijtihadi (berdasar ijtihat sahabat). [4]
Sementara itu, M.
Quraish Shihab membagi periodisasi turunnya Al-Qur’an secara global dalam tiga
periode.
a. Periode
pengangkatan sebagai nabi, rasul, dan selanjutnya berkisar dalam tiga hal:
1) Pendidikan
dan bimbingan dalam membentuk kepribadian Nabi saw
2) Pengetahuan-pengetahuan
dasar mengenai sifat af’al Allah
3) Keterangan
mengenai dasar-dasar akhlak islamiyah, serta bantahan-bantahan secara umum
pandangan hidup masyarakat jahiliyah.
b. Fase
dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam melawan Tradisi
jahiliyah. Pada masa yyang berlangsung antara 8 hingga 9 tahun ini, gerakan
oposisi menggunakan berbagai cara untuk menentang dakwah al-qur’an, mulai dari
fitnah, intimidasi, hingga penganiayaan fisik.
B.
Proses
Pengumpulan Al-Qur’an
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga
menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang
pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga
kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya
tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan
menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai
dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya
pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan
Nabi.
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an
pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas
Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan
membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang hafal
Al-Qur’an.[5]
Tentang penulisan wahyu pada masa
Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang
digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui
Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika
itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,
yaitu:
1. Riqa,
atau lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf,
atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah
secara horizontal lantaran panas;
3. ‘Asib,
atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4. Aktaf,
atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’
atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim,
atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan
utama untuk menulis ketika itu.[6]
Melalui data tertulis pada media seperti
di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita
gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir
susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf
tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder.
Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh
sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya
yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf
primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab,
Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu
Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf
Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf
Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn
Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat
13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf
Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid,
Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn
Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf
Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[7]
1. Pengumpulan
al-qur’an pada masa Abu Bakar
Sebelum setahun setelah
rasulullah saw wafat dan abu bakar menjadi khalifah telah terjadi peperangan
sengit di yamamah antara kaum muslim di satu pihak dan para pengikut musailamah
al kadzab di pihak lain. Mengingat akibat peristiwa tersebut khususnya yang
berkenaan dengan banyaknya para qari’ dan hafidz al-qur’an yang sahid di
peperangan itu telah menimbulkan kekhawatiran pada umar bin khatab akan banyak
lagi para qari’ dan hafid yang syahid atau wafat, baik dalam peperangan maupun
lainnya.dalam pandangan Umar, dengan banyaknya para qari’ dan hafidz al-qur’an
yang wafat akan membawa implikasi pula kepada banyaknya al-qur’an yang hilang.
Karena, dilator belakangi kekhawatiran tersebut, umar kemudian menyampaikan ide
untuk mengumpulkan al-qur’an kepada khalifah abu bakar.[8]
Menurut
riwayat, pada mulanya abu bakar merasa ragu untuk dapat merealisasikan ide umar
itu, karena menurut pandangannya, rasulullah saw sendiri tidak pernah
melaksanakannya. Namun, karena umar terus saja mendesaknya dengan mengingatkan
kebaikan yang akan diperoleh dari pengumpulan al-qur’an itu, akhirnya abu bakar
bersedia melaksanakan.
Zaid bin tsabit adalah
tokoh yang ditunjuk khalifah abu bakar untuk mengumpulkan al-qur’an. Ada
beberapa alasan mengapa zaid ditunjuk oleh khalifah untuk memikul tugas yang
berat itu dan bukan sahabat lain seperti Abdullah ibn mas’ud dan ubay ibn ka’ab
yang lebih senior, padahal mereka juga di samping hafal alqur’an, juga peulis
wahyu. Pertama, ia seorang pemuda.
Sebagai seorang pemuda tentu saja zaid memiliki tenaga yang lebih prima dalam
bekerja dari pada para sahabat yang lebih senior. Kedua, ia seorang yang cerdas dan kecerdasannya yang dimilikinya
itu telah diketahui oeh para sahabat. Ketiga¸ia
seorang amanah. Keempat, di samping
hafal seluruh isi al-qur’an, zaid juga adalah penulis wahyu al-qur’an yang
paling banyak dibandingkan dengan para sahabat yang lain.[9]
Dengan kerja keras zaid
dan para sahabat yang membantunya dalam mengumpulkan al-qur’an, maka dalam
waktu kurang satu tahun, selesailah ersusun mushaf yang direncanakan, dengan
isinya yang masih murni, tanpa adanya tambahan dan kekurngan satu perubahan dan
sesuai dengan yang telah dibacakan oleh rasulullah.
2. Pengumpulan
al-qur’an pada masa Umar
Setelah khalifah abu
bakar wafat pada 13H, maka yang menggantikannya adalah umar bin khattab. Mushaf
yang sebelumnya disimpan oleh abu bakar , kini disimpan oleh umar. Selama masa
pemerintahan umar, tidak ada langkah-langkah baru yang telah dilaksanakannya
terhadap mushaf yang telah disimpannya itu. Hal ini disebabkan oleh situasi dan
kondisi pada waktu itu belum menghendaki demikian. Selain itu, para sahabat
sendiri sudah merasa tentram dengn terkumpulnya al-qur’an dalam mushaf resmi
itu.
Meskipun demikian,
perhatian umar terhadap al-qur’an diarahkan dalam aspek pengajarannya secara
merata ke seluruh negeri islam dan pengawasan terhadap qira’at yang dipakai
oleh kaum muslimin dalam membaca al-qur’an agar tidak menyimpang dari
semestinya. Umar juga mengirim guru-guru al-qur’an ke berbagai negeri islam,
umar juga selalu mamantau dan memonitor qiraat yang dipakai oleh guru-guru
al-qur’an dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang islam yang berada di
berbagai negeri islam itu.
Demikianlah kebijakan
umar dalam melaksanakan pengajaran al-qur’an sampai dia tewas dibunuh oleh
seorang nashrani yang bernama abu lu’lu’ah. Sepeninggal umar, mushaf resmi
kemudian disimpan oleh putrinya sendiri yang bernama hafshah. Setelah hafsah
meninggal, baru mushaf resmi tersebut diambil oleh khalifahmarwan bin hakam,
salah seorang dari dinasti daulah umayah, yang kemudian membakarnya . alasan
yang dikemukakannya adalah isi dari mushaf tersebut termuat seluruhnya di dalam
Mushaf Al Imam dan dia khawatir, semakin lama nanti orang-orang akan meragukan
kebenaran mushaf ini.[10]
3. Pengumpulan
mushaf pada masa Utsman
Masa pemerintaha usman
ditandai dengan berbagai macam penaklukan. Lebih kurang enam tahun lamanya
waktu yang diperlukan untuk penaklukan-penaklukan tersebut. Oleh karena
perhatiannya pemerintah dan kaum muslimin banyak yang tercurah kepada
penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan islam, masalah pengajaran al-qur’an
diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang hafal al-qur’an dan sanggup untuk itu.
Upaya pembukuan
Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi
oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran
kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay
bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak
diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa
kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi
sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah
tersebut.
Itulah sebabnya
Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah
positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang
dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai memadamkan
dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman,
yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan
kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang
menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah,
‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan
dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu
dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya.
Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash
dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin,
kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung
pada tahun 24 H. sebelum melakukan tugas ini usman berpesan kepada mereka :
“Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit,
maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya
Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.”[11]
Setelah memahami pesan
di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan
satu Mushaf yang satu dan dianggap
sempuna. Mushhaf ini digandakan dan
dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam
perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki
Hafshah dikembalikan kepadanya.
Mengenai sistematika
surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak
dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang
pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan
surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan
ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin
Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu
berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[12]
Pendapat yang kedua
yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan
Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki
oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang
dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis
turunnya ayat.[13]
Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan
mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu
Abbas Radiallahu Anhuma berkata, Rasulullah saw. Bersabda.[14]
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh
huruf”
Dalam riwayat lain,
disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim
membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya.
Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan
Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat
tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu
selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab,
Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta!
Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama,
tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada
Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat
berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya
Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang
mudah bagimu diantaranya”.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
tahap-tahap turunnya Al-Qur’an” ialah tertib dari fase-fase disampaikan
kitab suci Al-Qur’an, mulai dari sisi Allah hingga langsung kepada Nabi
Muhammad SAW, kitab suci ini tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya. Sebab
kitab suci ini diturunkan secara bertahap, sehingga betul-betul menunjukkan
kemukjizatannya.
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari
sebuah surat atau sebuah surat ynag pendek secara lengkap. Dan penyampaian
Al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu lebih kurang 23 tahun, yakni 13
tahun waktu nabi masih tingggal di makkah sebelum hijrah dan 10 tahun waktu nabi
hijrah ke madinah.
2.
Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam
hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar,
di samping terkumpul dalam hapalan, juga
dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa
Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam
satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat
dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam
satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut
dengan Mushhaf Imam.
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman
merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam
berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.
Daftar Pustaka
Departemen
Agama Republik Indonesia, 2002, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang:
PT. Karya Toha Putra
Athaillah,
2010, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi
Tentang Otentitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Al-Qattan,
Manna Khalil, 2012, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Umar,
Nasaruddin, 2008, Ulumul Qur’an
(mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta: Al-Gazali Centre
Amal,
Taufik Adnan, 2001, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur’an, Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama
Zenrif,
MF., 2008, Sintesis Paradigma Studi
Al-Qur’an, Malang: UIN Press
[1] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an,
(Malang: UIN Press, 2008), hal. 1
[2] Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal.145
[3] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang
Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal. 153-166
[4] MF. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an,
(Malang: UIN Press, 2008), hal. 9
[5] Departemen Agama
Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 2002), hal. 19
[6] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), hal. 151
[7] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001), hal. 158-159
[8] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang
Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal.215
[9] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang
Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal.218-220
[10] H.A. Athaillah, Sejarah Al-Qur’an Verifikasi Tentang
Otentitas Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010), hal. 231-234
[11] Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 193
[12] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna
tersembunyi Al-Qur’an), (Jakarta, Al-Gazali Centre, 2008). hal. 152
[13] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna
tersembunyi Al-Qur’an), (Jakarta, Al-Gazali Centre, 2008). hal.153
[14] Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 195
[15] Manna Khalil
Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), hal. 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar