BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi Islam secara sederhana dapat
dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama
Islam. Dengan perkataan lain “usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan
memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk beluk atau hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah, maupun
praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang
sejarahnya.”
Islam telah menjadi
kajian yang menarik minat banyak kalangan.Studi keislaman pun semakin
berkembang.Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan
doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks.Islam tidak hanya terdiri
dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus
memaknai kehidupannya.Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban,
komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia.Mengkaji dan
mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan
metode dan pendekatan interdisipliner.
Semua aspek kehidupan
tidak lepas dari faktor sejarah, sejarah merupakan bukti yang nyata untuk
melangkah lebih maju, karena dengan sejarah, manusia bisa belajar
kesalahan-kesalahan yang telah lalu dan mengetahui data-data yang bisa di
pertanggung jawabkan. Dalam metologi islam, diperlukan sejarah untuk mengetahui
kebenaran yang valid yang tidak dicampuri oleh orang-orang terdahulu, untuk itu
sangatlah urgan dalam penelitian sejarah.
Ibnu khaldun berkata
dalam bukunya muqaddimah sejarah merupakan hasil upaya penemuan kebenaran,
eksplansi kritis tentang sebab dan genesis kebenaran sesuatu, serta kesalaman
pengetahuan tentangbagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa terjadi. Dalam
upaya menumukan kebenaran tersebut, Ibnu khaldun meniscayakan telaah filosif
dan kritik informasi sebagai langkah metodologis yang cukup menentukan dalam
penulisan sejarah kritisnya.
Untuk itu dalam proses penulisan sejarah, harus
melalui empat proses, yaitu heurestik (teknik mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah), kritik, interprestasi, dan historiografi (teknik
penulisan hasil penelitian sejarah). Dan
agar pembahasan dalam makalah ini lebih terfokus dan terarah, maka penulis akan
membatasinya pada pentingnya pendekatan sejarah
dalam studi Islam dan eksistensinya dalam sejarah Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sejarah?
2. Bagaimana periodesasi sejarah dalam studi
Islam?
3. Bagaimanakah metode dan pendekatan dalam
studi Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian sejarah.
2. Untuk mendeskripsikan periodesai sejarah
dalam studi Islam.
3. Untuk mendeskripsikan metode dan pendekatan
sejarah dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Studi Sejarah
1. Pengertian sejarah Islam
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan
tentang asal usul kata sejarah. Sebagian ada yang berpendapat bahwa kata
sejarah berasal dari bahasa Arab Syajarah yang berarti pohon. Namun tidak
dijelaskan alasannya. Boleh jadi karena sebagai seuah pohon iasanya terdiri
dari akar, batang, ranting, dahan, daun, dan buah yang secara keseluruhan
terikat pada proses tumbuh, mulai dari kecil kemudian membesar, tegak berdiri,
berkembang, kemudian berbuah, tua, layu, dan mati. Sebagaimana sebuah pohon,
sejarah juga mengalami proses tumbuh, berkembang, berbuah, dan kemudian mati,
bahkan ada yang sebelum berbuah sudah keburu mati. Sejarah terdiri dari unsur
peristiwa atau kejadian (what), waktu (when), tempat (where), pelaku (who),
mengapa (why), dan apa (how), yang selanjutnya disingkat menjadi 5W 1H. dari
keenam unsur sejarah ini, yang paling menonjol biasanya aspek waktu atau
tanggal dan tahun. Hal ini antara lain sering terlihat pada penggunaan kata
tarikh untuk arti sejarah, yang biasa diartikan sebagai kronologi waktu. Hal
ini tidak mengherankan, karena pada mulanya, buku-buku sejarah di masa klasik
sering menggunakan pendekatan dalam memaparkan berbagai peristiwa sejarah di
masa lalu[1].
Zuhairi (1995) dalam bukunya Yatimin
Abdullah (2006) mengatakan bahwa sejarah Islam menurut bahasa berasal dari
bahasa Arab yaitu tarikh artinya ketentuan masa. Menurut istilah berarti
keterangan yang telah terjadi pada masa lampau atau pada masa yang masih ada[2].
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh
dan sirah, atau dalam bahasa inggris disebut history. Dari segi
bahasa, al-Tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedangkan ilmu tarikh
yakni ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa atau
kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab
terjadinya peristiwa tersebut[3].
Sejarah seperti yang dipahami sekarang ini,
dalam bahasa Arab Islam adalah al-tarikh. Seperti hal nya “sejarah” kata al-tarikh sudah mengalami perkembangan makna. Kalau
ingin menelusuri asal usul dan arti katanya maka adalah tidak mudah
mendefinisikan tarikh. Dalam kitab-kitab kamus bahasa Arab dan kitab
sejarawan klasik, kata itu dipandang sebagai kata bahasa Persia atau Siryani
yang diarabkan atau bahkan berasal dari bahasa Arab selatan, dan mempunyai arti
yang banyak dan berbeda-beda. Akan tetapi, yang umum diterima adalah bahwa kata
tarikh berasal dari kata Arab. Kata ini digunakan juga oleh
bahasa-bahasa Semit. Kata tarikh itu berdekatan dengan kata yarikh yang
berarti bulan/di langit yang berarti “bulan/tigapuluh hari” dalam bahasa
Ibrani. Dan diketahui bahwa bangsa-bangsa Semit menentukan kalender mereka
berdasarkan bulan, bukan matahari, sebagaimana kalender hijriyah sekarang. Dari
sini dapat diketahui bahwa kata tarikh pada mulanya berarti “penetapan
bulan” kemudian meluas menjadi kalender dalam pengertian umum.
Kata tarikh dalam pemahaman umat
Islam di masa lalu, di samping itu, mempunyai banyak arti ayng berdekatan,
diantaranya: sejarah umum seperti sejarah al-Thabari dan tarikh ibnu al-Atsir; bawliyat
yaitu pembukuan peristiwa-peristiwa tahun demi tahun, khabar, pembukuan
berita-berita secara kronologis; biografi, silsilah, dan lain sebagainya.
Menurut bahasa, tarikh berarti: (1) penentuan awal berita khusus
berdasarkan masa, (perhitungan zaman), (3) penentuan waktu terjadinya peristiwa
secara cepat.
Namun kata tarikh dalam sifat
umumnya, menunjukkan ilmu yang berusaha menggali peristiwa-peristiwa masa lalu
agar tidak dilupakan, sepadan dengan pengertian “history” yang menunjukkan ilmu
yang membahas peristiwa-peristiwa masa lalu, dan dalam pengertian itulah kata tarikh.
Hasil dari penulisan sejarah atau tarikh
inilah yang disebut historiografi.
Dengan demikian, historiografi berarti penulisan sejarah, yang didahului oleh
penelitian (analisis) terhadap peristiwa-peristiwa di masa silam.penelitian dan
penulisan sejarah itu berkaitan pula dengan latar belakang teoritis, latar
belakang wawasan, latar belakang metodologis penulisan sejarah; latar belakang
sejarawan/ penulis sumber sejarah; aliran penulisan sejarah yang digunakan; dan
lain sebagainya[4].
Selanjutnya terdapat pula teori yang
mengatakan, bahwa kata sejarah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris history
yang berasal dari bahasa Yunani, istoria yang berarti ilmu. Kata istoria,
oleh filsuf Yunani seperti Aristoteles diartikan sebagai penelaahan secara
sistematis mengenai seperangkat gejala alam, dan dalam penggunaannya, kata history
diartikan sebagai masa lampau umat manusia[5].
Dalam bahasa inggris sejarah disebut history,
yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan
tentang kejadian-kejadian masa lampau). Sejarah sebagai cabang ilmu pengetahuan
mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun
ekonomi pada suatu Negara, bangsa, benua, atau dunia. Peristiwa atau kejadian
masa silam tersebut merupakan catatan yang diabadikan dalam laporan-laporan
tertulis dan dalam lingkup yang luas[6].
Selanjutnya, dalam kamus besar bahasa
Indonesia, WJS Poerwadarminta, mengemukakan bahwa sejarah mengandung tiga
pengertian, yaitu: (1) kesustraan lama; silsilah dan asal usul; (2) kejadian
dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; dan (3) ilmu
pengetahuan, cerita pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang benar-benar
terjadi pada masa lampau[7].
Bila ditilik dari sisi dalamnya, maka
sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari
kebenaran;suatu pencelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu; sesuatu pengetahuan yang
mendalam tentang bagaimana dan mengaa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh
karena itu, sejarah berakar dalam filsafat dan ia pantas dipandang sebagai
filsafat ilmu. Ibnu Khaldun, sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk
menangkap isyarat-isyarat yang dipantulkan oleh ‘ibar (contoh moral) dalam
kejadian sejarah. Tetapi untuk menangkap isyarat-isyarat itu tidak akan
berhasil tanpa bantuan ilmu lain, yaitu ‘ilm al-umran (ilmu kultur). Ilmu ini
bertugas mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia
bertindak, disamping melacak pemahaman tentang akiat-akibat dari tindakan itu,
yaitu seperti yang tercermin dalam peristiwa-peristiwa sejarah.
Sejarah memang berbeda dengan hikayat,
kisah, legenda, dan sebagainya. Sejarah harus dibuktikan kebenarannya dan harus
logis, karena itu, semua cerita yang tidak masuk akal apalagi tidak bisa
dibuktikan kebenarannya, tidak bisa dibuktikan dengan sejarah. Dalam sejarah
berlaku hukum sebab akibat, walaupun tidak semua sebab yang sama melahirkan
akibat yang sama, demikian pula tidak selamanya akibat yang sama itu melahirkan
mesti dilahirkan oleh sebab yang sama.[8]
Secara lebih terinti, Hugiono dan P.K. Poerwantana
mendefinisikan sejarah sebagai rekonstruksi peristiwa masa lampau yang dialami
oleh manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan
dianalisis kritis, sehingga mudah untuk dimenegerti dan dipahami.
Sejalan dengan pengertian di atas,
Kuntowijoyo membuat sebuah kiasan menarik berkaitan dengan sejarah dan
sejarawan. Kata Kuntowijoyo, sejarawan itu ibarat orang naik kereta api dengan
melihat ke belakang. Ia dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Yang tidak bisa
dikerjakannya adalah melihat ke depan. Oleh karena itu, ada banyak hal yang
dapat dilihat oleh sejarawan berkaitan dengan objek yang dikajinya. Namun
demikian, tidak setiap pandangan atau penglihatan terhadap masa lalu bisa
disebut sebagai sejarah.[9]
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya
dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran
kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa pada masa lampau, tetapi juga
penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa pada masa lampau. Dengan
demikian, unsur penting dalam sejarah adalah adanya peristiwa, adanya batasan
waktu, yaitu masa lampau, adanya pelaku, yaitu manusia dan daya kritis dari
peneliti sejarah.[10]
Dari beberapa pengertian sejarah di atas,
ilmu sejarah dapat dikatakan sebagai upaya mengkontruksi peristiwa atau
kejadian di masa lampau dengan menggunakan berbagai sumber, yaitu berupa data
dan fakta yang dapat dipercaya dan di susun secara sistematis dengan
menggunakan metode dan pendekatan tertentu. Data dan fakta ini berhubungan dengan
objek kejadian, waktu, tempat, pelaku, latar belakang dan tujuan kejadian
peristiwa tersebut.
2. Faktor-faktor Pendukung perkembangan
penulisan sejarah Islam
Ada dua faktor pendukung utama
berkembangnya penulisan sejarah dalam Islam:
a. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam
memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah. Beberapa ayat Al-Qur’an
dengan jelas memerintahkan hal itu. Diantaranya adalah ayat al-Qur’an surat 30
ayat 9, surat 59 ayat 18. Alqur’an bahkan tidak hanya memerintahkan umatnya
untuk memperhatikan perkembangan sejarah manusia, tetapi Al-Qur’an juga
menyajikan banyak kisah. Sebagian ulama bahkan ada yang berpendapat bahwa dua
pertiga isi Al-Qur’an itu adalah kisah sejarah. Manna al-Qaththan membagi kisah
di dalam al-Qur’an kepada tiga golongan:
1) Kisah para nabi yang berisi usaha,
fase-fase dan perkembangan dakwah mereka, dan sikap orang-orang yang menentang
mereka; termasuk dalam golongan ini kisah nabi Adam, kisah nabi Nuh, nabi
Ibrahim, Ishak, Ismail, Musa, Harun, Isa, dan Muhammad;
2) Kisah-kisah orang-orang terdahulu yang
tidak termasuk dalam kategori nabi, seperti kisah Thalut, Jalut, dua orang
putra nabi Adam, Ashab al-Kahfi (penghuni goa), Zulkarnaen, Karun, Fir’aun, dan
Maryam;
3) Kisah-kisah yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Nabi Muhammad seperti peristiwa perang
badar, perang uhud, perang al-Ahzab, perang Hunain, perang Tabuk, Hijrah, dan
Isra’.
Kisah-kisah ini dipaparkan dengan tujuan
agar umat manusia mengambil I’tibar dari padanya. Allah berfirman dalam QS 11;
120.
Disamping itu, dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, kaum Muslimin membutuhkan pengetahuan-pengetahuan tertentu, seperti
sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an. Peristiwa yang menunjukkan turunnya dan
lain-lain yang berhubungan dengan teks al-Qur’an itu. Untuk itu semua
dibutuhkan pengetahuan sejarah tentang peristiwa-peristiwa dalam Islam. Dengan
demikian tafsir merupakan salah satu faktor yang mendorong penulisan sejarah.
Di dalam al-Qur’an juga terdapat kisah-kisah bangsa-bangsa yang telah silam,
kabilah-kabilah dan nabi-nabi. Kaum Muslimin tentu saja berminat mengetahui
kisah-kisah itu secara lebih luas dan mendalam.
b. Ilmu Hadits. Ajaran-ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an yang berkenaan muamalat bersifat umum dan hanya
dalam garis besarnya saja. Untuk kepentingan pengembangan dan pelaksanaannya
Tuhan sendiri menunjukkan bahwa adalah tugas Nabi untuk menjabarkan yang masih
dalam garis besarnya, menerangkan yang masih dipandang umum dan tersamar, dan
bahkan membuat hukum-hukum yang belum terdapat di dalam al-Qur’an. Oleh karena
itu, diawal perkembangan Islam, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling tinggi
dan paling diperlukan oleh umat Islam pada waktu itu. Ulama-ulama kemudian
bepergian dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari beberapa hadits dan
meriwayatkannya. Setelah itu muncullah beberapa kitab hadits. Dapat dikatakan
bahwa penulisan hadis inilah yang merupakan perintis jalan menuju perkembangan
ilmu sejarah. Bahkan dalam rangka menyeleksi hadits yang benar dari yang salah,
muncullah ilmu kritik hadits, baik segi periwayatannya (apakah perawinya adalah
orang yang dapat dipercaya atau tidak?) maupun segi matan atau materinya
(apakah isinya dapat diterima atau tidak). ilmu ini pula yang dijadikan metode
kritik penulisan sejarah yang paling awal.
Hadis bukan saja perkataan Nabi, tetapi
juga mencakup perbuatannya dan ketetapan-ketetapannya. Oleh karena itu, Nabi
dipandang sebagai contoh teladan yang harus diikuti oleh umat Islam. Untuk
kepentingan meneladani Nabi, umat Islam kemudian dipermudah oleh ulama hadits
yang kemudian menyusun buku semacam biografi Nabi, yang dikenal dengan namaal-sirah
dan perang-perang Nabi dikemudian hari[11].
c. Posisi Ilmu sejarah dalam ilmu-ilmu
Keislaman
Akan tetapi, meskipun umat Islam ternyata
sangat memperhatikan penulisan sejarah, para cendekiawan muslim ketika itu
tidak sepakat dalam menempatkan sejarah sebagai ilmu dalam jajaran ilmu-ilmu
lainnya. Selama periode pengambilalihan pengetahuan Yunani, sarjana-sarjana
Islam untuk pertama kalinya berkenalan dengan klasifikasi bermacam-macam cabang
ilmu pengetahuan. Klasifikasi mengenai ilmu pengetahuan yang diambil alih
orang-orang Islam tidak menentukan tempat khusus bagi sejarah. Demikianlah
klasifikasi ilmu pengetahuan yang disusun oleh al-Kindi (w 252 H), al-Farabi
(259-339 H), Ibnu Sina dan al-Ghazali. Bahkan Ibnu Khaldun yang dikenal luas
sebagai ahli sejarah dalam Islam juga tidak menyebutkan sejarah di dalam
pembidangan ilmu yang dilakukannya. Mungkin karena tidak termasuk dalam
klasifikasi Yunani itu, maka sarjana-sarjana Muslim pada waktu itu tidak begitu
yakin untuk menentukan tempat sejarah di dalam kerangka ilmu-ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, disamping ada yang tidak
menempatkannya di dalam kerangka ilmu pengetahuan, ada juga yang mencoba
menentukan posisinya. Namun mereka juga tidak bersepakat tentang posisi itu.
Ibn Nadim pada abad ke-10 dalam kitabnya al-Fibrist membagi ilmu yang
berkembang pada masanya menjadi sepuluh bagian besar. Ilmu sejarah
ditempatkannya pada bagian ketiga dari bukunya itu. Bagian ketiga itu berisi
keterangan panjang mengenai tarikh wa al-mu’arrikhun wa al-nassabun wa
al-tarajim, al-khashshah I al-hukkam wa al-qudhat wa al-wulat (sejarah,
ahli-ahli sejarah, ahli nasab, dan biografi, khususnya para penguasa politik,
para hakim, dan gubernur), yang ditempatkan diantara bab mengenai bahasa Arab
dan puisi. Al-Khawarizmi (w 997 M) dalam kitabnya mafatih al-‘Ulum membagi
ilmu menjadi dua bagian besar yaitu ‘Ulum al’Arab (ilmu-ilmu Arab/keislaman)
yang dibaginya menjadi enam bab dan ‘Ulum al-‘ajam (ilmu-ilmu bukan
Arab) yang dibaginya menjadi Sembilan bab. Dia menempatkan sejarah sebagai satu
dari enam ilmu pengetahuan Arab/keislaman itu. Ilmu-ilmu Arab atau keislaman
itu adalah fikih, teologi, gramatika bahasa Arab, menulis, sastra, dan sejarah.
Berbeda dengan para ilmuan-ilmuan muslim di
atas, Muhammad al-Zuhayli, ilmuan muslim kontemporer asal Damaskus, menempatkan
ilmu sejarah sebagai bagian penting dalam ilmu-ilmu keislaman. Bukunya yang
berjudul Marja’ al-Ulum al-Islamiyah setebal 802 halaman itu dibaginya
menjadi sepuluh pasal. Pasal pertama membahas ilmu-ilmu keislaman pada abad
pertama hijrah. Dalam pasal ini, dia menjelaskan bahwa ilmu-ilmu kaislaman pada
masa itu yang paling utama adalah ilmu tentang riwayat hidup Nabi, para
sahabat, dan para ulama dari kalangan tabi’in.
Dari sekian banyak pendapat berkenaan dengan posisi
sejarah sebagai ilmu di dalam jajaran ilmu-ilmu lainnya, baik agama maupun
umum, dalam prakteknya di lembaga-lembaga pendidikan Islam pendapat yang
menyebutkannya sebagai ilmu yang bersifat elementer mungkin yang lebih dominan.
Hal ini terbukti sejarah hanya masuk dalam bagian pendidikan dasar dan menengah
Islam pada zaman klasik dan pertengahan, tidak diperguruan tinggi. Meskipun
demikian, hal itu juga tidak berarti kemudian dalam perkembangannya sejarah
menjadi ilmu yang tidak penting karena ternyata karya-karya sejarah terus
bermunculan dan secara sistematis tetap dibaca oleh sarjana-sarjana yang
mempunyai minat besar terhadap sejarah[12].
B. Periodisasi Sejarah Islam
Dalam rangka
memudahkan seseorang dalam menelaah dan mengkaji sejarah Islam, termasuk
sejarah kebudayaan Islam, maka perlu dikumukakan pandangan para ahli tentang
periodisasi sejarah tersebut.
Dikalangan
ahli sejarah terdapat perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya sejarah
Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. di satu pihak
menyatakan bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi
Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di
lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya Negara
Madinah yang dipimpin oleh Nabi SAW berhijrah ke Madinah yang sebelumnya
bernama Yatsrib.
Masing-masing
pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri. Pihak pertama berargumentasi bahwa
sejak Nabi SAW berada di Makkah itu telah lahir masyarakat muslim meskipun
belum berdaulat dan tiga belas tahun periode Makkah tersebut haruslah dipandang
sebagai masa penggemblengan dan lahirnya masyarakat pendukung Negara Madinah,
hak mereka yang berasal dari penduduk Makkah sendiri maupun dari Madinah. Di
samping itu masyarakat berdaulat di Makkah. Karena itulah periode Makkah dan
periode Madinah tidak dapat dipisahkan, sedangkan pihak kedua berargumentasi
bahwa masyarakat yang mandiri dan berdaulat baru terbentuk di Madinah, di mana
beliau disamping berfungsi sebagai Rasul Allah sekaligus juga berperan sebagai
kepala Negara berdasarkan konstitusi bahwa masyarakat yang dikenal dengan
sebutan piagam madinah.
AA Hasymy menyatakan bahwa periodisasi
sejarah Islam adalah sebagai berikut[13]:
1. Permulaan Islam (610-661 M)
2. Daulah Ammawiyah (661-750 M)
3. Daulah Abbasiah I (750-847 M)
4. Daulah Abbasiyah II (847-946 M)
5. Daulah Abbasiyah III (946—1075 M)
6. Daulah IV (1075-1261 M)
7. Daulah Mughal (1261-1520 M)
8. Daulah Utsmaniah (1520-1801 M)
9. Kebangkitan (1801-sekarang)
Pendapat senada juga di kemukakan oleh Nourouzzaman ash-Shiddiqi yang
menyatakan bahwa pada waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil
masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara,
maka hal itu mengandung kelemahan, artinya batas Negara tidak selalu tetap. Dia
telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta
ciri-ciri sebagai berikut[14]:
1. Periode klasik, yang dimulai sejak
Rasulullah SAW menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya dinasti Abbasiyah
pada tahun 656 H/1258 M. cirinya dalah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti
kecil, dinasti Umayyah Barat yang berkedudukan di Andalusia dan Interengum
(masa peralihan dari pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu
klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang
kebudayaan.
2. Periode pertengahan yang dimulai sejarah
runtuhnya dinasti abbasiyah sampai abad ke 11 H/17 M. ciri-cirinya adalah
kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmani Turki, Mamluk
Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan
muslim yang berdaulat sendiri.
3. Periode modern yaitu sejak abad ke 12 H/18
M sampai sekarang. Dalam periode ini, umat Islam sudah tidak memiliki kekuasaan
politik yang disegani. Dinasti Turki Usmani yang pernah menggedor pintu kota
Wina sudah mendapat julukan the sick man of Europa. Bukan saja Turki
sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis, dan
Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara
kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang
kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.
Pembagian periode sejarah Islam ke dalam 3 periode tersebut memang
merupakan pembagian secara garis. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasymy,
maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai
menjelang masa berakhirnya daulah Abbasiyah IV; periode kedua (periode
pertengahan) adalah masa daulah Mongoliyah dan masa daulah Usmaniyah; sedangkan
periode ketiga (periode modern) termasuk dalam masa kebangkitan.
Dilain pihak, Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara
garis besar ke dalam tiga periode besar yaitu periode klasik (650-1250 M)
merupakan kemajuan Islam dan dibagi kedalam dua fase yaitu pertama fase
ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); dan kedua fase
disintegrasi. Periode pertengahan (1250-1800 M) juga dibagi ke dalam dua fase
yaitu pertama fase kemunduran dan fase kedua kerajaan besar yang dimulai dengan
zaman kemajuan dan zaman kemunduran. Sedangkan periode modern (1800 M dan
seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam[15].
a. Periode klasik
1) Masa kemajuan Islam I (650-1000 M)
Pada masa kemajuan Islam I ini yang memerintah daulah
Islamiyah adalah Khulafaur Rasyidin, bani Umayyah, dan Abbas. Khulafaur Rasyidin
mulai berkuasa pada tahun 632-661 M atau kurang lebih selama 29 tahun; bani
Umayyah mulai tahun 661-750 M, atau kurang lebih selama 90 tahun; dan bani
Abbas mulai berkuasa pada tahun 750-1250 M atau selama 500 tahun. Dengan
demikian, masa klasik ini jika dijumlahkan berlangsung selama 600 tahun atau
sekitar 6 abad.
2) Disintegrasi (1000-1250 M)
Menurut Harun Nasution, bahwa disintegrasi dalam arti
perpecahan politik dan sulitnya mempersatukan dunia Islam yang demikian luas
dalam sebuah pemerintahan yang berpusat di Baghdad, sesungguhnya sudah mulai
terjadi pada akhir zaman bani Umayyah, namun memuncak dizaman bani Abbas,
terutama setelah khalifah-khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara
pengawal. Daerah-daerah ayng jauh letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus
dan kemudian Baghdad mulai melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pesat dan
timbullah dinasti-dinsati kecil dintaranya:
a) Dinasti Idris
b) Dinasti Aghlabi
c) Di Mesir
d) Dinasti Ikhsyid
e) Dinasti Hamdani
f) Dinasti Thahiri
g) Dinasti Saffari
h) Dinasti Samani
i)
Dinasti Buwaihi
j)
Dinasti Saljuk
k) Di Spanyol
b. Periode pertengahan (1250-1800M)
1) Masa kemunduran I
Pada masa kemunduran ini, umat Islam bukan saja
mengalami kehancuran dalam politik dan daulat Islamiyah, melainkan juga
kehancuran dalam bidang kebudayaan, peradaban, dan ilmu pengetahuan. Islam yang
ada pada masa kemunduran I ini adalah Islam yang dikotomis antara urusan dunia
dan akhirat; ilmu agama dan umum; ulama dan ilmuan; dan Islam ayng telah
kehilangan spiritualitas dan energisitasnya.
2) Masa Tiga Kerajaan Besar
a) Fase kemajuan (1500-1700 M)
Fase kemajuan ini dapat dikatakan sebagai fase
kemajuan Islam II, yang pada masa ini terdapat tiga kerajaan besar Islam yaitu
kerajaan Usman di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan kerajaan Mughal di
India.
b) Fase Kemunduran
Disebut juga fase kemunduran II, fase ini berlangsung
dari tahun 1700 hingga 1800 M. pada masa ini, tiga kerajaan besar tersebut
sudah mualai mengalami kemunduran
c. Periode Modern (1800 M - sekarang)
Periode ini disebut sebagai zaman kebangkitan Islam.
Adanya pendudukan Napoloen di Mesir yang berakhir pada 1801 M, membuka mata
dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, terhadap kemunduran dan kelemahan umat
Islam disamping kemajuan dan kekuatan Barat. Raja dan pemuka Islam mulai
berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan yang telah
pincang dan membahayakan Islam. Hubungan Islam dengan Barat pada masa ini
berbeda dengan hubungan Islam dengan Barat sebagaimana yang terjadi zaman
klasik. Pada masa itu keadaan Islam sedang menanjak dan mengalami kemajuan,
sedangkan barat berada dalam keadaan kegelapan. Namun pada periode modern ini
berada dalam sebaliknya. Islam sedang dalam kegelapan dan kemunduran. Adapun
barat dalam keadaan menanjak dan mengalami kemajuan. Pada masa ini, Islam ingin
belajar dari Barat[16].
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periodesasi sejarah Islam
dimulai pada tahun 650 M, yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan
Islam (sejak Nabi SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan 650 M, sebagai
periode sejarah Islam. Pada masa itu (610-650 M) Nabi SAW dan umatnya (para
sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar di kalangan
masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodesasi)
sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti dan pendapat-pendapat sebelumnya
dan juga pendapat Harun Nasution tersebut, maka Muhaimin dkk membagi sejarah
Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 periode besar yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang
meliputi tiga fase yaitu fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan
Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M);
2. Periode klasik (650-1320 M), yang meliputi
dua fase yaitu fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan
fase disintegrasi (1000-1250 M);
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang
meliputi dua fase yaitu fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan
besar (1500-1800 M);
4. Periode modern (1800 M dan seterusnya),
yang merupakan zaman kebangkitan umat Islam.[17]
C. Metode dan Pendekatan Sejarah dalam studi
Islam
Metode penelitian sejarah menurut Ernst Bernheim, terdiri atas heuristic
(mencari dan menemukan sumber-sumber sejarah), kritik (menilai
otentitas dan kredibilitas atau tidaknya suatu sumber), auffassung
(sintesis fakta yang diperoleh melalui kritik sumber), dan darstellung (penyajian
dalam bentuk tertulis).
Adapun pendekatan sejarah diidentikkan dengan teori sejarah itu sendiri.
Tholfson membagi pendekatan sejarah dalam tiga kategori yaitu kesinambungan,
keragaman, dan perubahan. Ketiga pola dasar itu berguna
dalam membuat kategori-kategori dalam sejarah, termasuk di dalam membuat
periodisasi dan eksplanasi pada umumnya.
Penggunaan metodologi dan pendekatan sejarah dalam suatu penelitian,
berangkat dari satu argumentasi, bahwa salah satu jenis penelitian adalah
penelitian sejarah, baik tentang biografi, perubahan suatu masyarakat dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, dalam hubungannya
dengan masyarakat. kajian seperti itu memiliki nilai penting. Kajian itu, baik
berkenaan dengan sifat, watak, maupun pengaruh pemikiran atau ide dalam satu
masyarakat; serta termasuk menganalisis karya-karya intelektual.[18]
Adapun prosedur dalam melaksanakan penelitian sejarah agama adalah; pertama,
persiapan sebelum penelitian. Aspek yang paling penting untuk ditentukan dalam
tahap ini adalah menentukan topik penelitian. Topik yang telah dipilih
dirumuskan menjadi sebuah judul. Harus dipahami bahwa antara topic dengan judul
itu berbeda. Judul adalah abstaksi dari topik, yang biasanya dirumuskan
pernyataan. Di dalam sebuah judul mencakup unsur objek, subjek, lokasi dan
waktu.
Kedua, pengumpulan sumber sejarah (heuristik). Salah satu yang menentukan
kualitas penulisan sejarah adalah sumber sejarah yang digunakan mempunyai nilai
akurat, autentik, dan kredibel, sehingga hasil penulisannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Adapun sumber-sumber sejarah itu antara
lain:
1. Sumber tertulis, seperti prasasti, arsip,
segala dokumen, kitab-kitab, babad, hikayat, buku, majalah, dan sebagainya.
Semuanya
2. Sumber visual dan audio visual, yaitu foto,
film, video, kaset laser disk, CD ROM, dan sebagainya. Sumber semacam ini
ditelaah melalui pengamatan.
3. Benda-benda sejarah yang dapat memberikan
dan menjadi bukti sejarah
4. Sumber lisan, yaitu penuturan lisan dari
pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa sejarah. Pengumpulan data
terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode wawancara.
Ketiga, kritik terhadap sumber sejarah. Langkah ini dilakukan setelah sumber
dikumpulkan. Adapun langkahnya adalah:
1. Kritik ekstern, yaitu kritik terhadap fisik
sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli? Apakah tulisan tintanya juga asli?
Dan sebagainya. Pada intinya disini mempertanyakan keaslian (otentisitas)
sumber sejarah.
2. Kritik intern yaitu kritik terhadap isi
sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber dapat dipercaya? Caranya dengan
membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama
benar, maka sumer itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya.
Keempat, interpretasi sejarah. Langkah ini sebenarnya merupakan proses atau
kegiatan penelitian yang tak terpisahkan dari langkah penulisan sejarah. Yang
dimaksud interpretasi adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah itu
sendiri. Fakta sejarah haruslah objektif, tapi bukan berarti peneliti tidak
memiliki peluang untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori. Karena itu,
proses interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif
peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi
terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkan.
Kelima, penulisan sejarah. Selayaknya sebuah laporan penelitian, penulisan
sejarah merupakan istilah yang dipakai dalam proses pelaporan atas hasil
penelitian sejarah. Dalam hal ini, kerangka penulisan yang sudah dipersiapkan
adalah menjadi patokan, sedangkan pola penyusunan tergantung kepada penulis;
apakah berdasarkan pola yang dikembangkan secara urut waktu atau periodesasi,
ataukah berdasarkan pada tema-tema unik sesuai dengan peristiwa sejarah.
Demikian pula model pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara
deduktif maupun induktif. Satu hal yang penting dicatat bahwa penulisan sejarah
biasa dikembangkan secara kualitatif sehingga antara deskripsi dan analisis
fakta merupakan satu kesatuan di dalam pemaparan sejarah. [19]
BAB III
PENUTUP
Dalam bahasa Indonesia, sejarah sebagai istilah diangkat dari tema
bahasa Arab ’syajaratun’ yang berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran
pertumbuhan peradaban manusia dengan ”pohon”, yang tumbuh dari biji yang kecil
menjadi pohon yang rindang dan berkesinambungan. Pengertian sejarah ini yang
dikaitkan dengan masalah syajarah (pohon) juga tertuang dalam ayat-ayat A1 Quran.
AA Hasymy menyatakan bahwa periodisasi
sejarah Islam adalah sebagai berikut:
1. Permulaan Islam (610-661 M)
2. Daulah Ammawiyah (661-750 M)
3. Daulah Abbasiah I (750-847 M)
4. Daulah Abbasiyah II (847-946 M)
5. Daulah Abbasiyah III (946—1075 M)
6. Daulah IV (1075-1261 M)
7. Daulah Mughal (1261-1520 M)
8. Daulah Utsmaniah (1520-1801 M)
9. Kebangkitan (1801-sekarang)
Adapun prosedur dalam melaksanakan penelitian sejarah agama adalah;
pertama, persiapan sebelum penelitian. Kedua, pengumpulan sumber sejarah
(heuristik). Ketiga, kritik terhadap sumber sejarah. Langkah ini dilakukan
setelah sumber dikumpulkan. Keempat, interpretasi sejarah.
DAFTAR
PUSTAKA
Atang Abd Hakim & Jaih Mubarok. 2006. Metodologi
Studi Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Atho Mudzhar. 1998. Pendekatan Studi
Islam dalam teori dan praktek. Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Badri Yatim. 1997. Historiografi Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Misri A. Muchsin. 2002. Filsafat Sejarah
dalam Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press.
Muhaimin dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan
Studi Islam. Jakarta: Kencana.
Ngainun Naim. 2009. Pengantar Studi
Islam. Yogyakarta: Teras.
Suwito. 2005. Sejarah Sosial Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana.
Yatimin Abdullah. 2006. Studi Islam
Kontemporer. Jakarta: Amzah.
[1] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, ()
[2] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: AMZAH, 2006), hlm
202
[3] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, hlm 211.
[4] Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
hlm 4.
[5]Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm 337.
[6]Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, hlm 211.
[8] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana,
2005), hlm 211.
[9] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 97.
[10] Atang Abdul Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam,( Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2006), hlm 137.
[11] Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm 16.
[12]Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm 20
[13] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Hlm 216
[14]Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Hlm 216
[15] Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Hlm 217
[16] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, hlm 339.
[17]Muhaimin dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam. 218.
[18] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2002. Hlm 35.
[19] Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam. Hlm 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar