Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PERBANDINGAN ANATARA PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DENGAN PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Belajar merupakan salah satu proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sebagai makhluk yang dikaruniai dengan akal dan pikiran manusia dituntut untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan dari lahir sampai tutup usia. Banyak Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Yang menjelaskan tentang kewajiban tentang menuntut ilmu dan keistemewaan orang-orang yang menuntut ilmu. Dan menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap umat Islam.
Dalam menuntut ilmu pengetahuan, tentunya diperlukan jalan, metode, cara, atau aturan untuk memperolehnya.Proses belajar seseorang dalam mencari ilmu pengetahuan menentukan terhadap hasil yang akandiperoleh. Untuk menuju kepada sesuatu yang baik dan merealisasikan tujuan yang diinginkan, tentulah harus dengan jalan, metode, atau aturan yang baik. Begitupun dalam proses belajar, untuk memperoleh ilmu pengetahuan diperlukan konsep yang tepat serta metode-metode yang sesuai agar belajar memberikan manfaat pada pelakunya
Proses belajar memiliki dua unsur terpenting yang menjadi bagian dari terlaksananya kegiatan belajar, yaitu guru dan murid. Al-Zarnuji dan Ibnu Taimiyah sebagai ulama yang ternama, memiliki pengetahuan yang sangat luas, memiliki ilmu yang bermanfaat bagi orang lain, memiliki konsep belajar sangat menarik. Mulai dari bagaimana tujuan belajar itu seharusnya, cara-cara belajar, dan etika belajar baik sebagai guru ataupun murid. Hal-hal itulah yang akan dibahas dalam makalah ini, sehingga diharapkan makalah ini dapat memberikan suatu ide untuk mengembangkan proses pembelajaran.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep pemikiran al-Zarnuji tentang Belajar?.
2.      Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Taimiyah tentang belajar?
3.      Bagaimana perbandingan antara pemikiran al-Zarnuji dengan Ibnu Taimiyah?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Menjelaskan konsep pemikiran al-Zarnuji tentang Belajar?
2.      Menjelaskan konsep pemikiran Ibnu Taimiyah tentang belajar?
3.      Menjelaskan perbandingan antara pemikiran al-Zarnuji dengan Ibnu Taimiyah?
PEMBAHASAN

A.    Pemikiran al-Zarnuji tentang Belajar
1.      Biografi Singkat al-Zarnuji
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin al-Islam al-Zarnuji. Dikalangan ulama belum ada kepastian mengenai tanggal kelahirannya. Adapun mengenai kewafatannya, ada dua pendapat yang dikemukakan di sini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/1195 M. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H/1243 M. Sementara itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin hidup semasa dengan Rida al-Din al-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H. al-Zarnuji berasal dari Zaradj. Dalam hubungan ini Mochtar Affandi mengatakan: it is a city in Persia which was formally a capital and city of Sadjistan to the south of Heart (now Afganistan). Pendapat senada juga dikemukakan Abd al Qadir Ahmad yang mengatakan bahwa al-Zarnuji berasal dari suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afganistan.[1]
Djudi misalnya mengatakan bahwa al-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkand. Kota yang menjadi pusat kegiatan kelimuan, pengajaran, dan lain-lainnya. Masjid dikedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin al-Marginani, Syamsuddin Abd al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin ‘Abd as-Sattar al-Amidi dan lain-lainnya.bSelain itu, al-Zarnuji juga belajar kepada Burhanuddin al-Firginani, seorang ahli Fiqih, sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/1196 M, Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam di samping sebagai sastrawan dan penyair yang wafat tahun 594 H/1170 M, Rukn al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair yang wafat tahun 573 H/1177 M, dan lain-lain.[2]
Karya termasyhur al-Zarnuji adalah Ta’lim al-Muta’allim Tariq al-Ta’allum, sebuah kitab yang bisa dinikmati dan dijadikan rujukan hingga sekarang. Menurut H. Khalifah, kitab ini merupakan satu-satunya kitab yang dihasilkan oleh al-Zarnuji. Meski menurut peneliti yang lain, Ta’lim al-Muta’allim, hanyalah salah satu dari sekian banyak kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji. Seorang orientalis, M. Plessner, misalnya, mengatakan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim adalah salah satu karya al-Zarnuji yang masih tersisa. Plessner menduga kuat bahwa al-Zarnuji memiliki karya lain, tetapi banyak hilang, karena serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan terhadap kota Baghdad pada tahun 1258 M.[3]
Pendapat Plessner ini dikuatkan oleh Muhammad ‘Abd Qadir Ahmad. Menurutnya, minimal ada dua alasan bahwa al-Zarnuji menulis banyak karya. Pertama, kapasitas al-Zarnuji sebagai pengajar yang menggeluti bidang kajiannya. Ia menyusun metode pembelajaran yang dikhususkan agar pasa siswa sukses dalam belajarnya. Tidak masuk akal bagi al-Zarnuji, yang pandai dan bekerja lama di bidangnya itu, hanya menulis satu buku. Kedua, ulama-ulama yang hidup semasa al-Zarnuji telah menghasilkan banyak karya. Karena itu, mustahil bila al-Zarnuji hanya menulis satu buku.[4]
Tentang ada tidaknya karya lain yang dihasilkan al-Zarnuji sebenarnya dilukiskan al-Zarnuji sendiri dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, yang dalam salah satu bagiannya ia mengatakan “…kala itu guru kami syeikh Imam ‘Ali bin Abi Bakar semoga Allah menyucikan jiwanya yang mulia itu menyuruhku untuk menulis kitab Abu Hanifah sewaktu aku akan pulang ke daerahku, dan aku pun menulisnya…”. Hal ini bisa memberikan gambaran bahwa al-Zarnuji sebenarnya mempunyai karya lain selain kitabnya yang berjudul Ta’lim al-Muta’allim. Telepas dari perdebatan itu, al-Zarnuji merupakan tokoh yang telah memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan Islam. Karyanya, patut dikaji dan dipelajari.[5]
2.      Latar Belakang Pemikiran al-Zarnuji
Tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di bagi menjadi lima. Pertama, masa Nabi Muhammad SAW. (571-632). Kedua, masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Ketiga, masa Bani Umayyah (661-750 M). Keempat, masa Abbasyiah (750-1250 M). Kelima, masa jatuhnya kekuasaan Khalifah di Baghdad (1250-sekarang). al-Zarnuji hidup sekita akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 (591-640/1195-1243 M). dari kurun waktu tersebut dapat diketahui bahwa al-Zarnuji hidup pada masa keempat, yaitu antara tahun 750-1250 M. Periode ini merupakan zaman keemasan atau kejayaan. Peradaban Islam pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya.[6]
Pada masa tersebut, kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya berbagi lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan dengan tingkat perguruan tinggi. Di antara lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Nizham al-Muluk (457 H/106 M), Madrasah an-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki pada tahun 563 H/1167 M. di Damaskus dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus, Madrasah al-Muntasiriah yang didirikan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Muntasir Billah di Baghdad pada tahun 631 H/1234 M. Sekolah yang disebutkan terakhir ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti gedung berlantai dua, aula, perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang luas, masjid, dan balai pengobatan, serta mengajarkan ilmu fiqih dalam empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’I, dan Ahmad ibn Hambal).[7]
Kitab Ta’lim al-Muta’allim dikarang oleh al-Zarnuji karena dilatar belakangi oleh rasa keprihatinan beliau terhadap para pelajar pada masanya, yang bersungguh-sungguh dalam belajar akan tetapi mengalami kegagalan, atau kadang-kadang mereka sukses tetapi sama sekali tidak dapat memetik buah kemanfaatan dari hasil ilmu yang dipelajarinya dengan mengamalkan atau menyebarluaskan pada orang lain. Motivasi al-Zarnuji tersebut terungkap dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim yang tertera dalam Muqoddimah, sebagai berikut.
"Setelah saya mengamati banyaknya penuntut ilmu dimasa saya, mereka bersungguh-sungguh dalam belajar menekuni ilmu tetapi mereka mengalami kegagalan atau tidak dapat memetik buah manfaat ilmunya yaitu mengamalkannya dan mereka terhalang tidak mampu menyebarluaskan ilmunya. Sebab mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya. Setiap orang yang salah jalan pasti tersesat dan tidak dapat memperoleh apa yang dimaksudkan baik sedikit maupun banyak".[8]

Secara tidak langsung, tujuan dari al-Zarnuji mengarang kitab ini adalah untuk memberi bimbingan kepada para murid (orang yang menuntut ilmu) untuk mencapai ilmu yang bermanfaat dengan cara dan etika yang dapat diamalkan secara kontinyu. Al-Zarnuji menulis kitab ini agar peserta didik  tidak salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Sehingga kitab ini menjadi penjelasan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan memberikan manfaat.
3.      Pemikiran al-Zarnuji
Konsep pemikiran yang dikemukakan al-Zarnuji secara monumental dituangkan dalam karyanya Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum. Kitab ini banyak diakui sebagai suatu karya yang jenial dan monumental serta sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini banyak dipergunakan tidak saja terbatas di kalangan ilmuwan Muslim, tetapi juga oleh para orientalis dan para penulis Barat. Keistimewaan lainnya dari buku Ta’lim Muta’allim tersebut adalah terletak pada materi yang dikandungnya. Sekalipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun sebenarnya membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategibelajar dan lain sebagainya yang secara keseluruhan didasarkan pada moral religius. Dari kitab tersebut dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan al-Zarnuji. Secara umum kitab ini mencakup tiga belas pasal.[9]
a.      Hakikat Ilmu dan Keutamaannya
Belajar itu hukumnya fardu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, menurut al-Zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ‘ilm al-hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu diperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya) dan sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[10]
Manusia diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya. Manusia juga wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka wajib mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut al-Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardu kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardu kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.[11]
Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Ilmu menurut al-Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang kelembutan-kelembutan ilmu. Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, al-Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai berikut. “Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.”
Pasal ini menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim, karena ilmu dapat menjaga dari hal-hal yang buruk dan tidak memiliki manfaat, dan dalam menuntut ilmu dianjurkan untuk mendahulukan ilmu agama, kemudian ilmu yang mendukung kehidupannya, dan tidak dianjurkan mempelajari ilmu yang tidak bermanfaat. Dalam pasal ini juga diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dibanding dengan orang yang tidak memiliki ilmu.
b.      Niat Belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, al-Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah. Sehubungan dengan hal ini, al-Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[12]
Dalam pasal ini, menjelaskan tentang pentingnya niat, sebab niat itulah yang menghantarkan kepada pencapain keberhasilan. Mencari ilmu harus diawali dengan niat yang baik karena Allah SWT, niat itulahyang menunjukkan untuk apa kita belajar sesunguhnya. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dengan mengharap keridlaan Allah akan mendapatkan pahala, dan dalam mencari ilmu tidak diperkenankan dengan niat mendapatkan harta banyak, mendapatkan pangkat yang tinggi, atau mendapatkan kemegahan duniawi lainnya.
c.       Memilih Guru, Ilmu, Teman dan Ketabahan dalam Belajar
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid dan makrifat beserta dalilnya. Demikian pula, perlu memilih ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah. Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa, demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”
Al-Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting, tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.[13]
Pasal ini menjelaskan bahwa memilih ilmu yang utama adalah ilmu agama, yang didahulukan adalah ilmu tauhid, dalam memilih guru harus alim, wara', berlapang dada, penyabar dan lebih tua, dalam memilih teman dianjurkan memilih teman yang rajin, jujur, dan mampu memberikan solusi ketika ada masalah. Penjelasan tersebut memberikan anjuran kepada kita agar menciptakan lingkungan yang kondusif agar mendukung dalam proses menuntut ilmu pengetahuan.
d.      Menghormati Ilmu dan Ulama
Menurut al-Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah.
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci. Sebab ilmu adalah cahaya, wudhupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudhu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, ia selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Al-Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.
Pasal ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah sesuatu yang sangat penting dan harus direalisasikan. Karena berkat seorang guru peserta didik dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang baik dan buruk. Memuliakan guru akan menambah keberkahan atas ilmu yang dipelajari oleh peserta didik.
e.       Sungguh-sungguh, Kontinuitas, dan Minat yang Kuat
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang memberkahi.Peserta didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan  minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
Pasal ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus bersungguh-sungguh dan berkesinambungan, orang yang mencari ilmu harus tetap belajar walaupun tidak ada tugas atau menkipun sudah lulus. Orang yang mencari ilmu tidak boleh melakukan kegiatan yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dengan tujuan yang mulia.
f.       Permulaan dan Intensitas Belajar serta Tata Tertibnya
Belajar hendaknya dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah diulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Diskusi, menurut al-Zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Manfaat diskusi lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Al-Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut al-Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
Pasal ini menjelaskan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang lebih afdlal adalah hari Rabu. Dalam belajar harus sesuai dengan kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan.
g.      Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Peserta didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
Dalam Pasal ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama dalam mencari ilmu. Selama dalam mencari ilmu jangan sering mengeluhkan mengenai rejeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat kepada Allah SWT. Berdo’a dan percaya pada kehendak Allah SWT adalah hal yang tidak boleh dipisahkan dalan menuntut ilmu, dengan berusaha dan diiringi dengan do’a akan menjadikan mudah dalam menuntut ilmu.
h.      Saat Terbaik untuk Belajar
Masa belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Adapun masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
Pasal ini menjelaskan bahwa waktu untuk belajar itu tidak terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan sampai ke liang lahat, dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan antara maghrib dan isya'. Hal ini menunjukkan bahwa belajar diwaktu-waktu yang kondusif akan mempermudah untuk memahami apa yang dipelajari.
i.        Kasih Sayang dan Memberi Nasehat
Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Dengan demikian orang yang benci akan luluh sendiri. Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
Dalam pasal ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya. Pasal ini memberi penjelasan bahwa dalam memberikan penjelasan, kepada teman yang bertanya upamanya, adalah dengan sabar, telaten, dan tidak merendahkannya.
j.        Mengambil Pelajaran
Peserta didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya. Al-zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu, peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
Pasal ini menerangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu. Artinya, seseorang dalam menuntut ilmu harus bisa mengambil pelajaran, mengambil manfaat dari apa yang terjadi disekitarnya, menjadikan apa yang dialaminya sebagai pelajaran yang menjadikannya manusia yang lebih baik.
k.      Wara’ (Menjaga Diri dari yang Syubhat dan Haram) Pada Masa Belajar
Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara’, sebab dengan begitu ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ antara lain menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Di samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini al-Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang didapatkannya. Ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
Dalam pasal ini diterangkan bahwa sebagian dari wara’ adalah menjaga diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar. Artinya, seorang yang sedang menuntut ilmu haruslah tercermin dalam dirinya akhlak yang terpuji, dengan meninggalkan sesuatu yang buruk akan memberikan kemudahan dalam menuntut ilmu.
l.        Penyebab Hafal dan Lupa
Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku serta seusai menulis.Adapun penyebab mudah lupa antara lain perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
Dalam pasal ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, prihatin memikirkan perkara dunia, banyak pekerjaan dan ada sesuatu yang melekat dalam hati. Hal ini memberi peringatan kepada peserta didik agar selalu menjaga hafalannya, tidak melupakan apa yang terlah dipelajari, dan terus menambah pengetahuan-pengetahuan baru.
m.    Masalah Rezeki dan Umur
Peserta didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat, sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.Bangun pagi-pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki. Banyak bersedekah juga bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun, wajib, sunnah dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya. Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang.
Dalam pasal ini juga diterangkan bahwa sabda Rasulullah, "Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rejekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan dosa". Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, makan sambil tidur miring, meremehkan sisa makanan, membakar kulit bawang merah atau bawang putih, menyapu rumah dengan menggunakan gombal, menyapu rumah pada waktu malam, menyapu sampahnya tidak dibuang langsung, berjalan atau lewat didepan orang tua, memanggil ayah ibunya dengan sebutan namanya, menusuk-nusuk gigi dengan memakai kayu yang asal ketemu saja, membasuh tangan dengan tanah atau debu, duduk di atas tangga pintu, bersandar pada tepi pintu, berwudlu di tempat istirahat, menjahit pakaian pada waktu sedang dipakai. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua, atau membaca do'a.
Hat tersebut di atas mejelaskan kepada peserta didik agar dalam menuntut ilmu kita tidak memberikan kerugian pada orang lain, dengan bertambahnya ilmu harus semakin akhlak peserta didik, dan sedapat menghindari hal-hal kecil yang bisa merusak muruah.
B.     Pemikiran Ibnu Taimiyah
1.      Biografi singkat Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin Ibnu al-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdu al-Halim Ibnu al-Syaikh Majdi al-Din Abi al-Barakat Abdu al-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi al-Qosim al-Khadhri.[14] Syekh Ahmad Farid dalam bukunya mengatakan bahwa namanya adalah Ahmad bin Abdil Halim bin Abdissalam bin Abdillah bin Al-Khadr bin Muhammad bin Al Khadr bin Ali bin Abdillah bin Taimiyah al-Namiri al-Harrani Ad-Dimasyqi Abu Al-Abbas Taqiyuddin Syaikh Al Islam.[15]
Keluarga beliau dikenal dengan sebutan (Bani Taimiyah), sebab penamaan ini adalah karena ibu dari salah seorang kakek mereka yang bernama (Taimiyah) adalah seorang juru dakwah yang cuku terkenal, maka seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya yang kemudian dikenal dengan nama ini.[16]Adapun tentang nama Taimiyah, Ibnu al-Mutawaffi dalam tarikh irbil mengatakan, “Aku bertanya kepada al-Hafizh Abu Abdirrahman bin Umar al-Harrani tentang makna Taimiyah, ia mengatakan, “ saat ibu Ibnu Taimiyah hamil, sedang ayahnya melakukan suatu bepergian. Ketika sampai di Taima’, ia melihat seorang perempuan hamil yang keluar dari persembunyian. Setelah pulang ke Harran ia mendapati istrinya telah melahirkan. Tatkala bayi yang telah lahir diberikan kepadanya, ia mengatakan, “wahai Taimiyah wahai Taimiyah!” maksudnya, istrinya menyerupai perempuan yang ia lihat di Taima’. Oleh karena itu, bayi tersebut dinamakan Taimiyah.”[17]
Ibnu Taimiyah dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awal 661 H pada hari senin di kota Harran sebelah timur laut Negara Turki, tempat yang dulu menjadi pusat terpenting agama-agama dunia.[18]Ibnu Taimiyah meninggal pada senin. 20 Dzul Qa’dah tahun 728 H. 200.000 laki-laki dan 15.000 wanita keluar rumah untuk mengiring jenazah Ibnu Taimiyah lalu mereka menyalatkannya di ma Masjid al-Umawi Damaskus. Kehidupan dalam kota benar-benar mati, semua pasar di tutup, dan semua orang berjalan di belakang jenazahnya.[19]
Ibnu Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi kemauan dan kemampuan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal shaleh, rela berkorban dan siap berjuang untuk jalan kebenaran. Didukung oleh kesungguhan dan ketekunannya dalam menuntut ilmu, kecerdesan otak dan kepribadian yang baik Ibnu Taimiyah yang dikenal dengan wara’, zuhud, dan tawadu, ternyata mampu mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama besar yang menguasai banyak ilmu dan pengalaman, di samping juga sebagai pejuang yang tangguh.
Pendidikannya dimulai selain dengan mengaji kepada ayah dan pamannya, Ibnu Taimiyah juga belajar kepada sejumlah ulama terkemukan ketika itu, terutama yang ada di kota Damaskus dan sekitarnya, yang pada waktu itu merupakan pusat berkumpulnya para ulama besar dari berbagai mazhab atau aliran Islam yang ada pada masanya. Ilmu yang mula-mula dipelajari Ibnu Taimiyah adalah Al-Qur’an dan Hadits. Kemudian bahasa Arab, Ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, sejarah, kalam, mantik, filsafat, tasawuf, ilmu jiwa, sastra, matematika, dan berbagai disiplin ilmu lainnya, dan mengantarkannya menjadi orang yang memiliki keahlian dalam seluruh cabang ilmu tersebut.
Dalam usia yang tergolong kanak-kanak, tepatnya dalam umur tujuh tahun Ibnu Taimiyah telah berhasil menghafal seluruh Qur’an dengan amat lancar. Sejak masa kecil sampai akhir hayatnya, ia memang dikenal sebagai orang yang gemar membaca, menghafal, memahami, menghayati, mengamalkan, dan memasyarakatkan Al-Qur’an. Selain aktif dalam ilmu pengetahuan, Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai orang yang banyak terlibat dalam politik praktis sehingga ia harus keluar masuk penjara.[20]
Pemikiran dan pandangan Ibn Taimiyah dapat dijumpai dalam karya-karyanya yang menurut perkiraan para peneliti berkisar antara 300-500 buah, dalam jilid besar dan kecil. Meskipun yang bisa diselamatkan oleh Abd Rahman ibn Abd Rahman ibn Muhammad ibn Qasim dengan bantuan putranya Muhammad ibn ‘Abd Rahman hanya sebagian yang kini terhimpun dalam “Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah” berjumlah 37 jilid.[21]
2.      Latar Belakang Pemikiran Ibnu Taimiyah
Disamping fitrah untuk beragama yang ditanamkan Tuhan dalam jiwa manusia semenjak masih berada dalam rahim, manusia juga dibekali fitrah untuk berfikir yang merupakan sebuah potensi dahsyat dalam diri manusia, potensi ini bukan hanya membedakan manusia dengan makluk Tuhan yang lainnya, sebutlah tumbuhan, hewan, benda-benda mati, atau bahkan malaikat dan jin, lebih dari itu sekaligus mengantarkan manusia pada capaian-capaian kehidupan yang sangat mengagumkan secara spiritual maupun material.
Dalam ayat ini Allah menjawab keraguan malaikat yang mengkhawatirkan akibat negatif dari penciptaan manusia sebagai penguasa (khalîfah) di dunia, dengan ucapannya: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, kata-kata ini mengisyaratkan adanya potensi yang besar dalam diri manusia yang bahkan tidak diketahui para malaikat. potensi itu adalah rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas, rasionisasi yang menggerakkan spiritualitas ini, juga yang menggerakkan manusia untuk bertanya dan mencari sekian juta hal yang memenuhi kehidupannya; tentang alam, kehidupan, kematian, pencipta, masa depan dan sebagainya.[22]
Namun tidak berarti fitrah rasionalitas ini berjalan tanpa problem, dimana pada perjalanannya kita bisa melihat kasus-kasus historis yang menghadapkan kepada kita betapa kegagalan rasionalitas itu pula yang menjerumuskan manusia kedalam liang-liang penghancuran dirinya sendiri, kita bisa ambil contoh dari pengandaian sebagian manusia bahwa kemampuan akal manusia dapat mengurai dan memecahkan segala sesuatu telah melahirkan kaum atheis yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.[23]
Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al- Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma’mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani.[24]
Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu’tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan, sikap Ibn Taimiyyah ini merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio- kultural masyarakat muslim pada waktu itu.[25]
3.      Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Belajar
Beberapa konsep pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Masalah Pendidikan yang mungkin dapat diterapkan dalam pengelolaan pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
a.      Falsafah Pendidikan
Dasar ataupun azas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan adalah ilmu yang bermanfaat sebagai azas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Sementara menggunakan ilmu akan dapat menjamin kelangsungan dan kelestarian masyarakat.[26]
Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep ini didasarkan pada ilmu yang bermanfaat. Hal ini mengandung arti bahwa setiap manusia harus tetap ataupun terus untuk menuntut ilmu. Untuk menjembatani konsep tersebut pemerintah Indonesia khususnya telah membuat kebijakan yaitu adanya program wajib belajar 9 tahun. Tidak hanya itu, memperbaiki sistem pendidikan, menyediakan banyak beasiswa juga termasuk usaha mengaplikasikan kosep dari Ibnu Taimiyah ini.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat yang didasarkan atas azas kehidupan yang benar dan utama adalah ilmu yang mengajak kepada kehidupan yang baik yang diarahkan untuk berhubungan dengan al-haqserta dihubungkan dengan kenyataan makhluk serta memperteguh rasa kemanusiaan. Hal ini dibangun atas dasar sebagai berikut:
1)      Tauhid
Berdasarkan tauhid ini Ibnu Taimiyah mencoba memberikan gambaran mengenai konsep orang yang berilmu, tujuan pendidikan, kurikulum dan sebagainya. Dengan dasar tauhid ini orang alim adalah orang yang menyatakan bersaksi atas ketuhanan Allah lalu mengesakannya. Dengan demikian adanya ketentuan Tuhan mengenai iman dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju terang benderang, orang yang beriman digambarkan sebagai orang orang yang berpegang teguh pada Tuhannya baik dalam bidang pengetahuan maupun amalannya, yaitu berpegang teguh pada wahyu yang difahami melalui akal sehat, pendengaran dan hidayah Allah.
2)      Tabi`at Insaniyah (Kemanusiaan)
Seseorang tidak dapat mencapai pengembangan kecenderungan tauhidnya kecuali melalui pengajaran danpendidikan. Dengan demikian ada al-risalah (pendidikan yang tujuannya membuka hati manusia agar mau menerima sesuatu yang bermanfaat dan menolak sesuatu yang rusak) dan al-rasul (cahaya yang dilimpahkan Tuhan kepada akal manusia sehingga dapat ia gunakan untuk menimbang sesuatu yang bermanfaat dan menolak sesuatu yang berbahaya).
b.      Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Taimiyah tujuan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian. Tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Tujuan Individual
Seseorang yang menuntut ilmu agar berupaya memahami tujuan perintah dan larangan serta segala ucapan yang datang dari rasul. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa pribadi muslim yang baik adalah orang yang sempurna kepribadiannya yaitu yang lurus jalan pemikirannya serta jiwanya, bersih keyakinannya, kuat jiwanya, sanggup melaksanakan segala perintah agama dengan jelas dan sempurna.[27]
2)      Tujuan Sosial
Setiap manusia memiliki dua sisi kehidupan, yaitu sisi kehiduapan individu yang berhubungan dengan beriman kepada Allah, dan sisi kehidupan sosial yang berhubungan dengan masyarakat tempat dimana manusia hidup.
3)      Tujuan Dakwah Islamiyah
Mengarahkan umat manusia agar siap dan mampu memikul tugas dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Untuk mencapainya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, menyebarkan ilmu ma`rifat yang didatangkan dari al-Qur`an dan, kedua, berjihad yang sungguh-sungguh sehingga kalimat Allah dapat berdiri tegak.
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Taimiyah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu tujuan individual, sosial dan dakwah Islamiyah. Dari ketiga tujuan tersebut sama dengan tujuan pendidikan yang telah disepakati oleh para pemikir tentang pendidikan dan berlaku pada zaman sekarang, antara lain:
1)      Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani-rohani, kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akherat.
2)      Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya kehidupan masyarakat.
3)      Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan sebagai kegiatan masyarakat.[28]
c.       Kurikulum
Ibnu Taimiyah mencoba menjelaskan kurikulum dalam arti materi pelajaran dalam hubungannya dengan tujuan yang ingin dicapai yang secara ringkas dapat dikemukakan melalui empat tahapan, yaitu:
1)      Kurikulum yang berhubungan dengan at-Tauhid, yaitu mata pelajaran yang berkaitan dengan ayat-ayat Allah yang ada dalam kitab suci al-Qur`an dan ayat yang ada di jagat raya dan terdapat dalam diri manusia.
2)      Kurikulum yang berhubungan dengan mengetahui secara mendalam terhadap ilmu-ilmu Allah, yaitu mata pelajaranyang berkaitan dengan upaya melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap semua makhluk hidup.
3)      Kurikulum yang berhubungan dengan upaya manusia mengetahui secara mendalam terhadap kekuasaan Allah yaitu mata pelajaran yang mengetahui pembangunan makhluk hidup yang meliputi berbagai aspek.
4)      Kurikulum yang mendorong untuk mengetahui perbuatan-perbuatan Allah yaitu mata pelajaran yang berhubungan dengan melakukan penyelidikan secara cermat terhadap berbagai ragam kejadian dan peristiwa yang tampak dalam wujud yang beraneka ragam.[29]
Kurikulum yang dimaksud disini adalah kurikulum yang mencakup urusan agama dan kerja. Disini terlihat sudah ada kesamaan untuk pendidikan kontemporer, bahwa kurikulum pendidikan Islam mencakup beberapa unsur yaitu; ketauladanan, keagamaan, pengembangan potensi manusia sebagai khalifah Allah, pengembangan hubungan antar manusia dan pengembangan diri sebagai individu.[30]
Disamping itu, Ibnu Taimiyah menganjurkan agar mewajibkan menggunakan bahasa Arab dalam pengajaran dan percakapan. Sebagaimana seorang salaf mewajibkan anak-anaknya berbahasa Arab dan memandang bahasa Arab sebagai bahasa yang mulia. Hal ini memberi penjelasan bahwa dalam proses interaksi antara guru dan murid harus menggunakan bahasa yang memudahkan, paling tidak bahasa yang dimengerti guru dan juga murid. Selain itu guru juga dituntut untuk memudahkan murid dalam memahami bahasa guru atau maksud guru.
d.      Metode Pengajaran
Menurut Ibnu Taimiyah pada garis besarnya metode pengajaran dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode ilmiah yang mengandung pemikiran yang lurus dalam memahami dalil, dalam hal ini didasarkan pada tiga hal, yaitu; 1) benarnya alat untuk mencapai ilmu, 2) penguasaan secara menyeluruh terhadap seluruh proses belajar, 3) mensejajarkan antara amal dan perbuatan. Metode yang kedua adalah metode iradah yaitu metode yang mengantarkan seseorang pada pengamalan ilmu yang diajarkannya, dimana ada tiga syarat yang digunakan agar tercapainya metode ini, yaitu: 1) mengetahui maksud dari iradah, 2)mengetahui tujuan yang dikehendaki oleh iradah, 3) mengetahui tindakan yang sesuai untuk mendidik iradah.[31]
Metode yang tepat menurut Ibnu Taimiyah metode ilmiah dan iradah, dalam pendidikan sekarang metode ilmiah lebih cenderung pada metode ceramah, sedangkan untuk metode iradah lebih cenderung pada metode pemberian tugas dan diskusi.[32]
e.       Etika Guru dan Murid
Ibnu Taimiyah secara garis besar membagi etika guru dan murid pada dua bagian, yaitu; pertama, etika guru dan murid yang cocok pada zamannya, kedua, etika guru dan murid yang berlaku sepanjang zaman. Secara lebih jelas dipaparkan sebagai berikut:
1)      Etika Guru terhadap Murid.
Seseorang guru hendaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Seorang alim merupakan khulafa` yaitu orang yang menggantikan misi perjuangan para nabi dalam bidang pengajaran.
b)      Seorang alim hendaknya dapat menjadi panutan terhadap murid-muridnya dalam hal kejujuran berpegang teguh pada akhlak yang mulia, menegakkan syariat Islam.
c)      Seorang alim hendaknya membiasakan menghafal dan menambah ilmunya serta tidak melupakannya.
2)      Etika Murid terhadap Guru.
Etika yang harus dilakukan murid terhadap guru ada empat hal, yaitu:
a)      Seorang murid hendaknya memiliki niat yang baik dalam menuntut ilmu yaitu mengharapkan ridho Allah.
b)      Seorang murid hendaknya mengetahui tentang cara memuliakan gurunya serta berterima kasih terhadapnya.
c)      Seorang murid hendaknya mau menerima setiap ilmu sepanjang ia mengetahui sumbernya, jangan mengikatkan diri hanya pada satu guru.
d)     Seorang murid hendaknya tidak menolak atau menyalahkan madzhab orang lain atau memandang madzhab orang lain sebagai madzhab orang-orang yang bodoh dan sesat.[33]
Ibnu Taimiyah memandang sangat perlu sekali etika itu digunakan, hal ini tidak mencakup pada murid saja tetapi juga pada seorang guru supaya nantinya dalam proses belajar mengajar antara guru dan murid terjadi interaksi yang harmonis sehingga tidak saling menuntut haknya masing-masing. Seorang guru yang profesional apabila ia memiliki syarat yang profesional, artinya harus dapat diterapkan secara empiris, atau dengan kata lain dengan syarat yang dimiliki guru bisa mengelola pendidikan Islam. Selain syarat profesional seorang guru harus benar-benar ahli dalam bidang yang digelutinya.[34]
Dari beberapa pemikiran terhadap pendidikan di atas, Ibnu Taimiyah juga berpandangan bahwa menuntut ilmu itu merupakan ibadah dan memahaminya secara mendalam merupakan sikap ketaqwaan kepada Allah. Di sini jelas sikap Ibnu Taimiyah dalam memandang ilmu yang sifatnya teosentris. Oleh sebab itu, dalam aspek-aspek lain pun, pandangan ini sangat kental. Falsafah pendidikan, menurutnya, harus dibangun di atas landasan tauhid, keimanan kepada keesaan Tuhan. Tauhid yang menjadi asas pendidikan meliputi; tauhid rububiyah, uluhiyah dan tauhid asma wa sifat.
Pandangan tersebut di atas berangkat dari pandangan dunia Islam bahwa tauhid merupakan fondasi dari peradaban, kebudayaan Islam. Pendidikan, sebagai salah satu kelembagaan Islam yang dengan sendirinya terkait dengan Islam, haruslah dibangun di atas landasan yang benar tentang tauhid. Berdasarkan pandangan tauhid inilah kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang tujuan pendidikan, anak didik, guru, kurikulum dan sebagainya.[35]
Tabiat kemanusiaan manusia menurutnya, berkecenderungan mengesakan Tuhan (tauhid). Karena kecenderungan inilah manusia harus dididik dan diajar agar potensi, fitrah perenialnya terjaga, tetap suci danberkembang. Berangkat dari hakikat manusia ini, tujuan pendidikan menurut Ibnu Taimiyah diarahkan pada tiga hal. Pertama, tujuan individual yang diarahkan pada pembentukan pribadi muslim yang berpikir, merasa, dan bekerja seseuai dengan perintah al-Qur`an dan al-Sunnah. Kedua, tujuan sosial yang diarahkan pada terciptanya masyarakat yang baik sesuai dengan petunjuk al-Qur`an dan al-Sunnah. Ketiga, tujuan dakwah Islamiyah, yaitu tugas mengarahkan manusia agar siap dan mampu memikul tugas mengembangkan dakwah Islam.[36]
C.    Perbandingan Pemikiran al-Zarnuji dengan Pemikiran Ibnu Taimiyah
No.
Aspek
Al-Zarnuji
Ibnu Taimiyah
1.
Pandangan tentang manusia
Manusia adalah makhluk religius yang dituntut untuk membagaun dan mengembangkan diri.
Manusiacenderung mengesakan Allah, manusia adalah makhluk sosial yang religius.
2.
Pandangan tentang belajar
Belajar adalah perubahan tingkah laku, dan bertambahnya ilmu.
Belajar adalah terciptanya interaksi yang harmonis.
3.
Metode belajar
Mencatat, menghafal, memahami, diskusi, eksplorasi,
Metode ilmiah (ceramah), dan iradah (diskusi dan penugasan).
4.
Hasil belajar
Perubahan perilaku, bertambahnya ilmu, lebih dekat dengan Allah.
Perubahan perilaku, bertambahnya ilmu, lebih dekan denga Allah.
5.
Materi belajar
Ilmu agama (ilmu tauhid, akidah, syariah, fikih, dan lain-lain), ilmu yang mendukung dalam menjalani hidup.
Ilmu tauhid (mempelajari makhluk Allah, kekuasaan Allah, perbuatan Allah), ilmu kemanusian/ilmu sosial.
6.
Hukum Belajar
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.
Menuntut ilmu adalah ibadah dan bentuk ketakwaan.
7.
Pandangan tentang ilmu
Ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan, dan tanda bagi akhlak terpuji. Ilmu adalah sesuatu yang harus dihormati.
Ilmu adalaha sesuatu yang bersifat teosentris.
8.
Tujuan Belajar
Keridhaan Allah SWT, kebahagiaan dunia dan akhirat, memerangi kebodohan diri sendiri dan orang lain, melestarikan ajaran Islam.
Tujuan individual, tujuan sosial, tujuan dakwah Islamiyah.
9.
Kriteria guru
Alim, wara’, berlapang dada, penyabar, kasih sayang, pemberi nasihat, orang yang lebih tua.
Alim, menjadi panutan, selalu menambah ilmu.
10.
Kriteria murid
Menghormati guru, berkesinambungan dalam belajar, memiliki minat yang kuat. Sungguh-sungguh dakam belajar, Tawakkal.
Memiliki niat belajar yang baik, memuliakan guru, tidak terikat pada satu guru, tidak memandang rendah pemikiran orang lain.
11.
Strategi belajar
Belajar dimulai dari hal yang kecil menuju yang besar/dari yang mudah menuju yang sulit/dimulai dari dasar, belajar sesuai kemampuan siswa. Memilih waktu dalam belajar.
Menekankan penggunaan bahasa yang menimbulkan interaksi yang timbal balik, ketauladanan, pengembangan/eksplorasi
12.
Penerapan dalam PAI
Konsep pemikiran al-Zarnuji tentang belajar sangat sesuai dan bisa diterapkan dalam semua mata pelajaran PAI, bahkan bukan hanya PAI. Belajar apapun dengan konsep ini akan memberikan hasil yang memuaskan.
Konsep pemikiran Ibnu Taimiyah lebih menitik beratkan kepada pengaplikasian ilmu setelah ilmu itu didapat. Mempelajari mata pelajaran PAI akan lebih maksimal jika diterapakan dalam kehidupan dan mengakibatkan interaksi yang harmonis.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut al-Zarnuji belajar adalah perubahan tingkah laku, dan bertambahnya ilmu yang bersumber dari mempelajari ilmu agama (ilmu tauhid, akidah, syariah, fikih, dan lain-lain) dan ilmu yang mendukung dalam menjalani hidup dengan mencatat, menghafal, memahami, diskusi, eksplorasi sehingga terjadi perubahan perilaku, bertambahnya ilmu, dan menjadikan lebih dekat dengan Allah SWT yang terjadi pada manusia sebagai makhluk religius yang dituntut untuk membagaun dan mengembangkan diri.
Menurur Ibnu Taimiyah belajar adalah terciptanya interaksi yang harmonis yang bersumber dari mempelajari ilmu tauhid (mempelajari makhluk Allah, kekuasaan Allah, perbuatan Allah) dan ilmu kemanusian/ilmu sosial Manusiadengan metode ilmiah (ceramah), dan metode iradah (diskusi dan penugasan) sehingga terjadi perubahan perilaku, bertambahnya ilmu, dan menjadikan lebih dekan dengan Allah yang terjadi pada manusia sebagai makhluk sosial yang religius yang cenderung mengesakan Allah.
Dari hasil perbandingan anatara pemikiran al-Zarnuji dengan pemikiran Ibnu Taimiyah terdapat beberapa kesamaan dan dan perbedaan dalam pemikiran mereka tentang belajar. Perbedaan yang mencolok terletak pada pandangan meraka tentang strategi belajar dan pandangan mereka tentang belajar. Adapun pemikiran mereka yang memiliki kemiripan terletak pada pandangan mereka tentang tujuan belajar, metode belajar, kriteria guru dan murid, dan pandangan tentang ilmu.
DAFTAR PUSTAKA

 ‘Awad, Mahmud. 2002. Para Pemberontak di Jalan Allah. Jakarta: Cindekia Sentra Muslim.
Ahmad, Jamil.2003. Seratus Muslim Terkemuka.Pustaka Firdaus: Jakarta
Al-Jamal, Syaikh M. Hasan, 2005. Biografi 10 Imam Besar,terj. M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Zarnuji. 1995. Ta’lÄ«m al-Muta’allim TarÄ«qatta'allum, terj. Abdul Kadri al-Jufri. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Aphamudin Yandi. 2012. Biografi Syekh az-Zarnuji (http:biografiulama4.blogspot.com) diakses tanggal 1 Mei 2015 jam 20:18.
Asmuni. M. Yusran.1998. Dirasah Islamiyah III Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz media.
Farid, Syaikh Ahmad. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Ilham dan  Asmu’I Taman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Jalaluddin dan Said, Usman. 1992.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo.
________. 2004. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rahman,Fazlur. 2000. Gelombang Perubahan dalam Islam Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suwito dan Fauzan. 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Percetakan Angkasa.
Tafsir, Ahmad. 1991. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang.2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer. Malang: UIN Press.



[1] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 103-104.
[2] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 104-105.
[3] Yandi Aphamudin, Biografi Syekh al-zarnuji (http:biografiulama4.blogspot.com, 2012), diakses tanggal 1 Mei 2015 jam 20:18.
[4] Yandi Aphamudin, Biografi Syekh al-zarnuji…, diakses tanggal 1 Mei 2015 jam 20:18.
[5] Yandi Aphamudin, Biografi Syekh al-zarnuji…, diakses tanggal 1 Mei 2015 jam 20:18.
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 105-106.
[7] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 106.
[8] al-Zarnuji, Ta’lÄ«m al-Muta’allim TarÄ«qatta'allum, terj. Abdul Kadri al-Jufri (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 1.
[9]  Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…, hlm. 107-108.
[10] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer  (Malang: UIN Press, 2009), hlm. 268.
[11]Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran (Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2010), hlm. 53.
[12]Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, Teori Belajar…, hlm. 54.
[13] Tim Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang, Pendidikan Islam…, hlm. 272.
[14] Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar,terj. M. Khaled Muslih dan Imam Awaluddin(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 203.
[15] Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Ilham dan  Asmu’I Taman(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 783.
[16]Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam…, hlm. 203.
[17]Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama…, hlm. 783.
[18]Syaikh M. Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam…, hlm. 203.
[19] Mahmud ‘Awad, Para Pemberontak di jalan Allah(Jakarta: Cindekia Sentra Muslim, 2002), hlm. 111.
[20] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003), hlm. 131.
[21]Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung: Percetakan Angkasa, 2003),hlm. 229.
[22]  Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam Studi tentang Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 186.
[23] M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah III Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 142.
[24] M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah…, hlm. 143.
[25] M. Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah…, hlm. 146.
[26] Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2003), hlm. 143.
[27] Jamil Ahmad, Seratus Muslim…, hlm. 143.
[28] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 49.
[29] Jamil Ahmad, Seratus Muslim…, hlm. 145.
[30] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992), hlm: 52.
[31] Jamil Ahmad, Seratus Muslim…, hlm. 152.
[32]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam…, hlm. 131.
[33] Jamil Ahmad, Seratus Muslim…, hlm. 156.
[34]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam…, hlm. 86.
[35] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004), hlm. 254.
[36] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam…, hlm. 254-255.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar