Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PERANAN DINASTI BANI ABBASIYAH DALAM PEMBENTUKAN PERADABAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam peradaban ummat Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban ummat Islam yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu pengetahuan. Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat bagi generasi ummat Islam bahwa peradaban ummat Islam itu pernah memperoleh masa keemasan yang melampaui  kesuksesan negara-negara Eropa. Dengan kita mengetahui bahwa dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh seluruh dunia,  maka akan memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita mengenai sejarah peradaban ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk mengulangi masa keemasan itu kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat ini.

B.       RUMUSAN MASALAH 
1.    Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah?
2.    Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah?
3.    Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah?
4.    Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani  Abbasiyah?
5.    Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah?

C.      TUJUAN
1.    Menjelaskan bagaimana berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga berhasil menguasai ke khalifahan yang sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2.    Mendeskripsikan masa kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola pemerintahan.
3.    Mendeskripsikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani Abbasiyah memengang ke khalifahan, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
4.    Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiayah.
5.    Menjelaskan bagaimana akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiayah.



BAB II
Peranan Dinasti Bani Abbasiyah
Dalam Pembentukan Peradaban Islam

A.      Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M. Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan anak-anaknya.[1]
Kelahiran bani Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan syi’ah terhadap pemerintahan  Bani Umayyah. Golongan Syi’ah  selama pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir  karena kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini bergejolak sejak pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di Karbala.
Gerakan oposisi terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi’ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali, ia telah di bai’at oleh orang-orang syi’ah sebagai imam. Tujuan utama dari perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi’ah keturunan Bani Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya  golongan ini memakai nama Bani Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.[2]
Strategi yang digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap:
1.    Gerakan secara rahasia
Propoganda Abbasiyah dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
2.    Tahap terang-terangan dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada Abu Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan. Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara Ibrahim bin Muhammad.
Abul Abbas sangat beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai’ah menjadi khalifah, dalam pidato pembiatan tersebut, ia antara lain mengatakan “saya berharap semoga pemerintahan kami  (Bani Abbas) akan mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul Bait adalah berkat pertolongan Allah swt. Hai penduduk koufah, kalian adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan kami, walaupun penguasa yang zalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami muliakan..... ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah”. Setelah Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a.    Para pendukung Bani Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
b.    Kota Koufah jauh dari Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung Bani  Abbas dalam menggulingkan Bani Umayyah
c.    Kota Damaskus terlalu dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur (754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang baru.[3]

B.       Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1.    Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2.    Masa Abbasiayah II, yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3.    Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
4.    Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H/1258 M.[4]

1.    Masa Abbasiyah I ( 132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan Bani Abbasiyah, karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-Shaffah (750-754 M), Al-Mansyur (754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2.    Masa Abbasiyah II ( 232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896 M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3.    Masa Abbasiyah III (334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur, Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia Islam dan menjadi kediaman Khalifah.
Pada akhir Abad kesepuluh, kedaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
4.    Masa Abbasiyah IV (447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah. Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama bagian timur.[5]

C.      Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis para khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan ilmu pengetahan dalam Islam.
Peradaban dan kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Disinilah letak perbedaan pokok dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah.
Puncak kejayaan dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat, hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa pengetahuan, selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yaitu :
a.     Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu mengalami kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b.    Gerakan penerjemahan berlangsung selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Hasrun Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku dibidang ilmu Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.[6]
Di zaman khalifah Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya, Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala penjuru ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan perkembangan Universitas Islam.
Pabrik kertas ini memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.[7]
Popularitas Bani Abbasiyah ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah Al-Rasyid untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan faramasi didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter, selain itu pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara  terkuat dan tak tertandingi.[8]

D.      Peranan Dinasti Abbasiyah
1.    Revolusi Ilmu Pengetahuan
Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.    Ilmu Kedokteran
Pada mulanya Ilmu Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran.[9] Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai berikut
1)   Hunain Ibnu Ishaq (804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
2)   Ar-Razi (809-1036 M) terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia adalah kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dibidang ilmu kedokteran adalah Al-Ahwi.
3)   Ibnu Sina (980-1036 M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara Islam.
4)   Ibnu Rusyd (520-595 M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar. Dll[10]
b.    Ilmu tafsir
Pada masa ini muncul dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir ra’yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang kedua lebih menekan pada logika (rasio) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang terkenal pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karangannya jami’ al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma’alim al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanyaal-kassyaf, Ar-Razi(865-925 M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.
c.    Ilmu Hadist
Pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang. Diantara yang terkenal ialah Imam Bukhari (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan sebanyak 7257 Hadits dan setelah diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan Abu Daud oleh Abu Daud (W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh imam Al-Turmizi (W.287 H) Sunan Al-Nasa’i oleh Al-Nasa’i ( W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H) keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub Al-Sittah.
d.   Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu Fiqh. Ilmu ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih besar pengaruhnya sampai sekarang, Dikalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal jamaah. Muncul Imam Abu Hanifah (810-150 H) yang lebih cendrung memakai akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih cendrung memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio, Imam Syafi’i (150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl al-Ra’yi, dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad bin Hambal(164-241 H) yang merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan kurang luwes dari aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih dapat kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-ummal-risalah, dan sebagainya.
e.    Ilmu Thasawuf
Dalam bidang ilmu Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu buku Ihya’ Al-Din, yang terdiri dari lima jilid.  Al-Hallaj (858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin, Al-Thusi menulis buku al-lam’u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465 H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il’m al-Tashawuf.[11]
f.     Ilmu Matematika
Terjemahan dari bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
g.    Ilmu Farmasi
Diantara ahli farmasi pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), jami’ al-mufradat al-adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).[12]
Sebenarnya masih banyak lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu melampaui Universitas di Eropa. Mereka mempunyai Fakultas-fakultas yang sempurna, maha guru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Maha guru mendapatkan satu dinar emas setiap bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000 Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum Mahasiswa dengan cuma-cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu. Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku baru, ada sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk keperluan itu. Disamping Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah yang menyebabakan berbagai Universitas di Eropa mengambil contoh pada Universitas Mustansiriah itu.[13]

2.    Kebangkitan Barat
Banyak orang mengatakan bahwa pusat ilmu pengetahuan dan symbol kesuksesannya adalah barat, tetapi pada kenyataannya tidak semua yang diungkapkan tersebut benar karena pusat ilmu pengetahuanjuga symbol kesuksesan yang sebenarnya adalah dunia islam khususnya pada zaman dinasti abbasiyah dimana umat islam mendapatkan masa kejayaannya (golden age of islam). Pada saat tersebut islam menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga mengundang para pelajar dari seluruh dunia khususnya para pelajar barat untuk menuntut ilmu ditempat tersebut.
Kesuksesan pelajar barat dalam menuntut ilmu didunia islam merupakan cikal bakal kebangkitan dunia barat hingga kkesuksesan mereka dalam menguasai ilmu pengetahuan dan memunculkan apresiasi tersendiri bagi dunia islam dengan banyaknya pengakuan dari mereka atas kesuksesan umat muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
a.    Kembalinya Para Pelajar Barat
Ketika dinasti Abbasiyah mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, maka banyak pula pelajar yang datang dari berbagai macam bangsa, bahasa, budaya, suku, warna kulit, dll., termasuk para pelajar yang berasal dari barat yang menuntut ilmu di dunia islam khususnya pada zaman dinasti Abbasiyah.
b.    Transmisi Ilmu Pengetahuan
Banyak para ahli yang mangungkapkan pendapat mereka tentang transmisi ilmu pengetahuan dari dunia Arab ke barat khususnya pada zaman Abbasiyah, diantara mereka adalah J.W. Draper, Robert Briffault, George Sarton, H.G. Wells.

E.       Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W. Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1.    Luasnya wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa dan pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2.    Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.    Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[14]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani Abbasiayah Adalah :
1.    Persaingan antar bangsa
Khalifah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah, keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk berkuasa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2.    Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran dibidang Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3.    Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi perpecahan. Berbagai Aliran keagaam seperti Mu’tazillah, Syi’ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4.    Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
5.    Serangan Bangsa Mongol
Serangan tentara mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.[15]

F.       Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada  Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu’tashim Billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.[16]
Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.[17]


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini  banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Namun diakhir pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami keterpurukan yang sangat parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol yang telah mengahncurkan pusat peradaban Ummat Islam di Baghdad dan mengahancurkan Pusat ilmu pengetahuan yaitu Baitul Hikmah, yang berisi buku-buku karangan pakar ilmu ummat Islam yang tak ternilai harganya.
DAFTAR PUSTAKA
           
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Harun, Maidir dan Firdaus. Sejarah Peradaban Islam jilid II,  Padang: IAIN-IB Press, 2001.
Ismail, Chadijah. Sejarah Pendidikan Islam. Padang: IAIN-IB Press, 1999.
Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II) (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1993.



[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 138.
[2] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam Jilid II ( Padang : IAIN-IB Press, 2001 ) hlm. 1
[3] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 4-8
[4] Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hlm. 141
[5] N. Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009) hlm. 45.
[6] Samsul Munir Amin, Op.Cit, hlm. 145-146
[7] Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam (Padang: IAIN-IB Press,1999), hlm.. 41.
[8] Badri Yatim, op.cit, hlm. 52-53
[9] Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hlm.. 25.
[10] N. Abbas Wahid dan Suratno, op.cit, hlm. 50
[11] Maidir Harun dan Drs. Firdaus, op.cit, hlm. 20-24
[12] Samsul Munir Amin, op.cit, hlm. 150-152
[13] Chadijah Ismail, op.cit, hlm. 45-46
[14] Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hlm. 155
[15] Badri Yatim, M. A, op.cit, hlm. 80-85
[16] Maidir Harun dan Drs. Firdaus, M. Ag, op.cit, hlm. 59- 60
[17] Samsul Munir Amin, M. A, op.cit, hlm. 156-157

Tidak ada komentar:

Posting Komentar