BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam peradaban ummat
Islam, Bani Abbasiyah merupakan salah satu bukti sejarah peradaban ummat Islam
yang terjadi. Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang
memperoleh masa kejayaan yang gemilang. Pada masa ini banyak kesuksesan yang
diperoleh Bani Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu
pengetahuan. Hal inilah yang perlu untuk kita ketahui sebagai acuan semangat
bagi generasi ummat Islam bahwa peradaban ummat Islam itu pernah memperoleh
masa keemasan yang melampaui kesuksesan negara-negara Eropa. Dengan
kita mengetahui bahwa dahulu peradaban ummat Islam itu diakui oleh seluruh
dunia, maka akan memotifasi sekaligus menjadi ilmu pengetahuan kita
mengenai sejarah peradaban ummat Islam sehingga kita akan mencoba untuk
mengulangi masa keemasan itu kembali nantinya oleh generasi ummat Islam saat
ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana sejarah
berdirinya Bani Abbasiyah?
2.
Seperti apa masa
kekuasaan Bani Abbasiyah?
3.
Apa saja yang
diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah?
4.
Apa faktor-faktor
yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah?
5.
Bagaimana akhir masa
kekuasaan Bani Abbasiyah?
C.
TUJUAN
1.
Menjelaskan bagaimana
berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga berhasil menguasai ke khalifahan yang
sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2.
Mendeskripsikan masa
kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola pemerintahan.
3.
Mendeskripsikan
kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani Abbasiyah memengang ke khalifahan,
baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan.
4.
Mendeskripsikan
faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiayah.
5.
Menjelaskan bagaimana
akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiayah.
BAB II
Peranan Dinasti Bani
Abbasiyah
Dalam Pembentukan
Peradaban Islam
A. Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah
didirikan pada tahun 132 H/750 M oleh Abul Abbas Ash-shaffah, dan sekaligus
sebagai khalifah pertama. Kekuasaan Bani Abbas melewati rentang waktu yang
sangat panjang, yaitu lima abad dimulai dari tahun 132-656 H/750-1258 M.
Berdirinya pemerintahan ini dianggap sebagai kemenangan pemikiran yang pernah
dikumandangkan oleh bani Hasyim (alawiyun ) setelah meninggalnya Rasulullah
dengan mengatakan bahwa yang berhak berkuasa adalah keturunan Rasulullah dan
anak-anaknya.[1]
Kelahiran bani
Abbasiyah erat kaitannya dengan gerakan oposisi yang di lancarkan oleh golongan
syi’ah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Golongan Syi’ah selama
pemerintahan Bani Umayyah merasa tertekan dan tersingkir karena
kebijakan-kebijakan yang di ambil pemerintah. Hal ini bergejolak sejak
pembunuhan terhadap Husein Bin Ali dan pengikutnya di Karbala.
Gerakan oposisi
terhadap Bani Umayyah dikalangan orang syi’ah dipimpin oleh Muhammad Bin Ali,
ia telah di bai’at oleh orang-orang syi’ah sebagai imam. Tujuan utama dari
perjuangan Muhammad Bin Ali untuk merebut kekuasaan dan jabatan khalifah dari
tangan Bani Umayyah, karena menurut keyakinan orang syi’ah keturunan Bani
Umayyah tidak berhak menjadi imam atau khalifah, yang berhak adalah keturunan
dari Ali Bin Abi Thalib, sedangkan bani umayyah bukan berasal dari keturunan
Ali Bin Abi Thalib. Pada awalnya golongan ini memakai nama Bani
Hasyim, belum menonjolkan nama Syi’ah atau Bani Abbas, tujuannya adalah untuk
mencari dukungnan masyarakat. Bani Hasyim yang tergabung dalam gerakan ini
adalah keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Abbas Bin Abdul Muthalib. Keturunan ini
bekerjasama untuk menghancurkan Bani Umayyah.[2]
Strategi yang
digunakan untuk menggulingkan Bani Umayyah ada dua tahap:
1.
Gerakan secara
rahasia
Propoganda Abbasiyah
dilaksakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia, akan
tetapi Imam Ibrahim pemimpin abbasiyah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan
Abbasiyah, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin
Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti umayyah dan
dipenjarakan di Haran sebelum akhirnya di eksekusi. Ia mewasiatkan kepada
adiknya Abul Abbas untuk menggantikan kedudukannya ketika ia telah mengetahui
bahwa ia akan di eksekusi dan memerintahkan untuk pindah ke kuffah.
2.
Tahap terang-terangan
dan terbuka secara umum
Tahap ini dimulai
setelah terungkap surat rahasia Ibrahim bin Muhammad yang ditujukan kepada Abu
Musa Al-Khurasani Agar membunuh setiap orang yang berbahasa Arab di Khurasan.
Setelah khalifah Marwan bin Muhammad mengetahi isi surat rahasia tersebut ia
menangkap Ibrahim bin Muhammad dan membunuhnya. Setelah itu pimpinan gerakan
oposisi dipegang oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad as-saffah, saudara
Ibrahim bin Muhammad.
Abul Abbas sangat
beruntung, karena pada masanya pemerintahan Marwan bin Muhammad telah mulai
lemah dan sebaliknya gerakan oposisi semakin mendapat dukungan dari rakyat dan
bertambah luas pengaruhnya. Keadaan ini tambah mendorong semangat Abul Abbas
untuk menggulingkan khalifah Marwan bin Muhammad dari jabatannya. Untuk
maksud tersebut Abul Abbas mengutus pamannya Abdullah bin Ali untuk menumpas
pasukan Marwan bin Muhammad. Pertempuran terjadi antara pasukan yang dipimpin
oleh khalifah Marwan bin Muhammad dengan pasukan Abdullah bin Ali di tepi
sungai Al-Zab Al-Shagirdi, Iran. Marwan bin Muhammad terdesak dan melarikan
diri ke Mosul, kemudian ke palestina, Yordania dan terakhir di Mesir. Abdullah
bin Ali terus mengejar pasukan Marwan bin Muhammad sampai ke Mesir dan akhirnya
terjadi pertempuran disana. Marwan bin Muhammad pun akhirnya tewas karena
pasukannya sudah sangat lemah yaitu pada tanggal 27 Zulhijjah 132 H/750 M. Pada
tahun 132 H/ 750 M Abul Abbas Abdullah bin Muhammad diangkat dan di bai’ah
menjadi khalifah, dalam pidato pembiatan tersebut, ia antara lain mengatakan
“saya berharap semoga pemerintahan kami (Bani Abbas) akan
mendatangkan kebaikan dan kedamaian pada kalian. Wahai penduduk koufah, bukan
intimidasi, kezaliman, malapetaka dan sebagainya. Keberhasilan kami beserta ahlul
Bait adalah berkat pertolongan Allah swt. Hai penduduk koufah, kalian
adalah tumpuan kasih sayang kami, kalian tidak pernah berubah dalam pandangan
kami, walaupun penguasa yang zalim (Bani Umayyah) telah menekan dan menganiaya
kalian. Kalian telah dipertemukan oleh Allah dengan Bani Abbas, maka jadilah
kalian orang-orang yang berbahagia dan yang paling kami muliakan.....
ketahuilah, hai penduduk koufah, saya adalah al-saffah”. Setelah
Abul Abbas resmi menjadi khalifah ia tidak lagi mengambil Damaskus sebagai
pusat pemerintahan tetapi ia memilih Koufah sebagai pusat pemerintahannya,
dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
a.
Para pendukung Bani
Umayyah masih banyak yang tinggal di Damaskus
b.
Kota Koufah jauh dari
Persia, walaupun orang-orang Persia merupakan tulang punggung
Bani Abbas dalam menggulingkan Bani Umayyah
c.
Kota Damaskus terlalu
dekat dengan wilayah kerajaan Bizantium yang merupakan ancaman bagi
pemerintahannnya, akan tetapi pada masa pemerintahan khalifah Al-Mansur
(754-775 M ) dibangun kota Baghdad sebagai ibu kota Dinasti Bani Abbas yang
baru.[3]
B. Masa Kekuasaan Bani Abbasiyah
Selama dinasti Bani
Abbasiyah berdiri pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerinthan itu, para
sejarawan biasanya membagi kekuasaan Bani Abbasiyah pada empat periode :
1.
Masa Abbasiyah I,
yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H/750 M sampai meninggalnya
khalifah Al-Watsiq 232 H/847 M.
2.
Masa Abbasiayah II,
yaitu mulai khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 232 H/847 M sampai berdirinya
Daulah Buwaihiyah di Baghdad tahun 334 H/946 M.
3.
Masa Abbasiyah III,
yaitu dari berdirinya Daulah Buwaihiyah tahun 334 H/946 M sampai masuknya kaum
Saljuk ke Baghdad Tahun 447 H/1055 M
4.
Masa Abbasiyah IV,
yaitu masuknya kaum saljuk di Baghdad tahun 447 H/1055 M sampai jatuhnya
Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656
H/1258 M.[4]
1.
Masa Abbasiyah I (
132 H/750 M-232 H/847 M )
Masa ini diawali
sejak Abul Abbas menjadi khalifah dan berlangsung selama satu abad hingga
meninggalnya khalifah Al-Watsiq. Periode ini dianggap sebagai zaman keemasan
Bani Abbasiyah, karena keberhasilannya memperluas wilayah kekuasaan.
Wilayah kekuasaannya
membentang dari laut Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga
ke sungai Nil. Pada masa ini ada sepuluh orang khalifah yang cukup berprestasi
dalam penyebaran Islam mereka adalah khalifah Abul Abbas ash-Shaffah (750-754
M), Al-Mansyur (754-775 M), Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (785-786 M), Harun
Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Ibrahim (817 M),
Al-Mu’tasim (833-842 M), dan Al-Wasiq (842-847 M).
2.
Masa Abbasiyah II (
232 H/847 M-334 H/946 M)
Periode ini diawali
dengan meninggalnya khalifah Al-Wasiq dan berakhir ketika keluarga Buwaihiyah
bangkit memerintah. Sepeninggal Al-Wasiq, Al-Mutawakkil naik tahta menjadi
khalifah, masa ini ditandai dengan bangkitnya pengaruh Turki.
Setelah Al-Mutawakkil
meninggal dunia, para jendral yang berasal dari Turki berhasil mengontrol
pemerintahan. Ada empat khalifah yang dianggap hanya sebagai simbol
pemerintahan dari pada pemerintahan yang efektif, keempat pemerintahan itu
adalah Al-Muntasir (861-862 M ), Al-Musta’in (862-866 M), Al-Mu’taz (866-896
M), dan Al-Muhtadi (869-870 M). Masa pemerintahan ini dinamakan masa
disintegrasi, dan akhirnya menjalar keseluruh wilayah sehinngga banyak wilayah
yang memisahkan diri dari wilayah Bani Abbas dan menjadi wilayah merdeka
seperti Spanyol, Persia, dan Afrika Utara.
3.
Masa Abbasiyah III
(334 H/946 M -447 H/1055 M)
Masa ini ditandai
dengan berdirinya Dinasti Buwaihiyah, yaitu Pada masa ini jatuhnya Khalifah
Al-Muktafi (946 M) sampai dengan khalifah Al-Qaim (1075 M). Kekuasaaan
Buwaihiyah sampai ke Iraq dan Persia barat, sementara itu Persia timur,
Transoxania, dan Afganistan yang semula dibawah kekuasaan Dinasti Samaniah
beralih kepada Dinasti Gaznawi. Kemudian sejak tahun 869 M, dinasti Fatimiyah
berdiri di Mesir.
Kekhalifahan Baghdad
jatuh sepenuhnya pada suku bangsa Turki. Untuk keselamatan, khalifah meminta
bantuan kepada Bani Buwaihiyah. Dinasti Buwaihiyah cukup kuat dan berkuasa
karena mereka masih menguasai Baghdad yang merupakan pusat dunia Islam dan
menjadi kediaman Khalifah.
Pada akhir Abad
kesepuluh, kedaulatan Bani Abbasiyah telah begitu lemah hingga tidak memiliki
kekuasaan diluar kota Baghdad. Kekuasaan Bani Abbasiyah berhasil dipecah
menjadi dinasti Buwaihiyah di Persia (932-1055 M), dinasti Samaniyah di
Khurasan (874-965 M), dinasti Hamdaniayah di Suriah (924-1003 M), dinasti
Umayyah di Spanyol (756-1030 M), dinasti Fatimiyah di Mesir (969-1171 M), dan
dinasti Gaznawi di Afganistan (962-1187 M)
4.
Masa Abbasiyah IV
(447 H/1055 M -656 H/1258 M )
Masa ini ditandai
dengan ketika kaum Seljuk menguasai dan mengambil alih pemerintahan Abbasiyah.
Masa seljuk berakhir pada tahun 656 H/1258 M, yaitu ketika tentara mongol
menyerang serta menaklukkan Baghdad dan hampir seluruh dunia Islam terutama
bagian timur.[5]
C. Masa Kejayaan Peradaban Bani Abbasiyah
Pada periode pertama
pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasan, secara politis para
khalifah memang orang-orang yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik
sekaligus Agama. Disisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan Filsafat dan
ilmu pengetahan dalam Islam.
Peradaban dan
kebudayyan Islam berkembang dan tumbuh mencapai kejayaan pada masa Bani
Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan pada masa ini Abbasiyah lebih menekankan
pada perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah.
Disinilah letak perbedaan pokok dinasti Abbasiyah dengan dinasti Umayyah.
Puncak kejayaan
dinasti Abbasiyah terjadi pada masa khalifah Harun Al- Rasyid (786-809 M) dan
anaknya Al-Makmun (813-833 M). Ketika Al-Rasyid memerintah, negara dalam
keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin walaupun ada juga
pemberontakan dan luas wilayahnya mulai dari Afrika Utara sampai ke India.
Lembaga pendidikan
pada masa Bani Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat,
hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa
pengetahuan, selain itu juga ada dua hal yang tidak terlepas dari kemajuan ilmu
pengetahuan yaitu :
a.
Terjadinya asimilasi
antara bahasa Arab dengan bahasa bangsa lain yang telah lebih dulu mengalami
kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Abbas, bangsa-bangsa
non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan
bernilai guna. Bangsa-bagssa itu memberi saham tertentu bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia sangat kuat dalam bidang ilmu
pengetahuan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan
ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dari bidang kedokteran,
ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani terlihat dari
terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama Filsafat.
b.
Gerakan penerjemahan berlangsung
selama tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansyur hingga Hasrun
Al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemah adalah buku-buku dibidang ilmu
Astronomi dan Mantiq. Fase kedua terjadi pada masa khalifah Al-Makmun hingga
tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemah adalah bidang filsafat, dan
kedokteran. Dan pada fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama
setelah adanya pembuatan kertas. Selanjutnya bidang-biadang ilmu yang
diterjemahkan semakin meluas.[6]
Di zaman khalifah
Harun al- Rasyid (786-809 H) adalah zaman yang gemilang bagi Islam. Zaman ini
kota baghdad mencapai puncak kemegahannya yang belum pernah dicapai sebelumnya,
Harun sangat cinta pada sastrawan, ulama, Filosof yang datang dari segala
penjuru ke Baghdad. Salah satu pendukung utama tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan
tersebut adalah didirikannya pabrik kertas di Baghdad. Orang Islam pada awalnya
membawa kertas dari Tiongkok, usaha pembuatan kertas erat kaitannya dengan
perkembangan Universitas Islam.
Pabrik kertas ini
memicu pesatnya penyalinan dan pembuatan naskah-naskah, dimasa itu seluruh buku
ditulis tangan. Ilmu cetak muncul pada tahun 1450 M ditemukan oleh gubernur di
Jerman. Dikota-kota besar islam muncul toko-toko buku yang sekaligus juga
berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran non-formal.[7]
Popularitas Bani Abbasiyah
ini juga ditandai dengan kekayaan yang dimanfaatkan oleh khalifah Al-Rasyid
untuk keperluan sosial seperti Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan
faramasi didirikan, dan pada masannya telah ada sekitar 800 orang dokter,
selain itu pemandian-pemandian umum didirikan. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada
zaman keemasannya. Pada zaman inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi.[8]
D.
Peranan Dinasti
Abbasiyah
1.
Revolusi Ilmu
Pengetahuan
Adapun ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut :
a.
Ilmu Kedokteran
Pada mulanya Ilmu
Kedokteran telah ada pada saat Bani Umayyah, ini terbukti dengan adannya
sekolah tinggi kedokteran Yundisapur dan Harran.[9]
Dinasti Abbasiyah telah banyak melahirkan dokter terkenal diantaranya sebagai
berikut
1)
Hunain Ibnu Ishaq
(804-874 M) terkenal segai dokter yang ahli dibidang mata dan penerjema
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
2)
Ar-Razi (809-1036 M)
terkenal sebagai dokter yang ahli dibidang penyakit cacar dan campak. Ia adalah
kepala dokter rumah sakit di Baghdad. Buku karangannya dibidang ilmu kedokteran
adalah Al-Ahwi.
3)
Ibnu Sina (980-1036
M), yang karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun Fi At-Tibb dan
dijadikan sebagai buku pedoman bagi Universitas di Eropa dan negara-negara
Islam.
4)
Ibnu Rusyd (520-595
M) terkenal sebagai dokter perintis dibidang penelitian pembuluh darah dan
penyakit cacar. Dll[10]
b.
Ilmu tafsir
Pada masa ini muncul
dua alirang yaitu ilmu tafsir Al-matsur dan Tafsir Bir
ra’yi, aliran yang pertama lebih menekan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadist dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Sedangkan aliran tafsir yang kedua
lebih menekan pada logika (rasio) dan Nash. Diantara ulama tafsir yang terkenal
pada masa ini adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karangannya jami’
al-bayan fi tafsir Al-Qur’an, Al-Baidhawi dengan karangannya Ma’alim
al-tanzil, al-Zakhsyari dengan karyanyaal-kassyaf, Ar-Razi(865-925
M) dengan karangannya al-Tafsir al-Kabir, dan lain-lainnya.
c.
Ilmu Hadist
Pada masa
pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz (717-720 M) dari Bani Umayyah sudah
mulai usaha untuk mengumpulkan dan membukukan Hadist. Akan tetapi perkembangan
ilmu hadist yang paling menonjol pada amasa Bani Abbasiyah, sebab pada masa
inilah muncul ulama-ulama hadist yang belum ada tandingannya sampai sekarang.
Diantara yang terkenal ialah Imam Bukhari (W.256 H) ia telah mampu mangumpulkan
sebanyak 7257 Hadits dan setelah diteliti terdapat 4000 hadist Shahih dari yang
telah berhasil dikumpulkan oleh imam Bukhari yang disusun dalam kitabnya Shahih
Bukhari. Imam Muslim ( W. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadist dengan
bukunya Shahih Muslim, buku karangan imam Bukhari dan Muslim diatas
lebih berpengaruh bagi umat Islam dari pada buku-buku hadist lainnya, seperti Sunan
Abu Daud oleh Abu Daud (W.257 H) sunan Al- Turmizi oleh
imam Al-Turmizi (W.287 H) Sunan Al-Nasa’i oleh Al-Nasa’i (
W.303 H) dan sunan Ibnu-Majah oleh Imam Ibnu Majah ( W.275 H)
keenam buku hadist tersebut lebih dikenal dengan sebutan Al- Kutub
Al-Sittah.
d.
Ilmu Kalam
Bukanlah hal yang
berlebihan jika dikatakan pada masa Bani Abbasaiyah merupakan dasar-dasar Ilmu
Fiqh. Ilmu ini disusun oleh ulama-ualama yang terkenal pada masa itu dan masih
besar pengaruhnya sampai sekarang, Dikalangan Ulama Ahlu al-Sunnah wal
jamaah. Muncul Imam Abu Hanifah (810-150 H) yang lebih cendrung
memakai akal (rasio) dan Ijtihad, Imam Malik Bin Anas (93-179 H) yang lebih
cendrung memakai hadist dan menjauhi sampai batas tertentu pemakaian Rasio,
Imam Syafi’i (150-204 H) yang berusaha mengkompromikan aliran Ahl
al-Ra’yi, dengan Ahl al-Hadist dalam Fiqh, dan Imam Ahmad
bin Hambal(164-241 H) yang merupakan tokoh aliran Fiqh yang keras, ketat dan
kurang luwes dari aliran-aliaran fiqh yang lainnya. Buku karang mereka masih
dapat kita temukan sampai sekarang yaitu al-muawatta, al-umm, al-risalah,
dan sebagainya.
e.
Ilmu Thasawuf
Dalam bidang ilmu
Tashawuf juga muncul ulama-ulama yang terkenal pada masa pemerintahn Daulah
Bani Abbasiyah. Imam Al-Ghazali sebagai seorang ulama sufi pada masa Daulah
Bani Abbasiyah meninggalkan karyanya yang masih beredar sampai sekarang yaitu
buku Ihya’ Al-Din, yang terdiri dari lima jilid. Al-Hallaj
(858-922 M) menulis buku tentang Tashawuf yang berjudul Al-Thawasshin,
Al-Thusi menulis buku al-lam’u fi al-Tashawuf, Al-Qusyairi (W. 465
H) dengan bukunya al-risalat al-Qusyairiyat fi il’m al-Tashawuf.[11]
f.
Ilmu Matematika
Terjemahan dari
bahasa asing ke bahasa Arab menghasilkan karya dibidang matematika. Diantara
ahli matematika islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, adalah seorang
pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu
angka Nol. Tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad Bin Muhammad Bin Ismail
Bin Al-Abbas terkenal sebagi ahli ilmu matematika.
g.
Ilmu Farmasi
Diantara ahli farmasi
pada masa Bani Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi
tentang obat-obatan), jami’ al-mufradat al-adawiyah (berisi
tentang obat-obatan dan makanan bergizi).[12]
Sebenarnya masih banyak
lagi ilmu yang berkembang pada masa Bani Abbasiyah berkuasa, hal ini terlihat
bahwa saat Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M) memerintah ia mendirikan
Universitas Mustansiriah di Baghdad yang dapat dibanggakan karena telah mampu
melampaui Universitas di Eropa. Mereka mempunyai Fakultas-fakultas yang
sempurna, maha guru digaji berdasarkan banyak mahasiswa yang terdapat dalam
Fakultasnya, setiap Mahasiswa dan Maha guru mendapatkan satu dinar emas setiap
bulannya, dan rata-rata setiap Fakultas tidak ada yang kurang dari 3000
Mahasiswa didalamnya. Setiap Mahasiswa boleh makan ke dapur umum Mahasiswa
dengan cuma-cuma, sebuah perpustakaan besar terdapat dalam Universitas itu.
Setiap mahasiswa yang berkeinginan menyalin buku-buku atau ingin menyusun buku
baru, ada sebuah kantor yang mengurus persediaan kertas, pena dan tinta untuk
keperluan itu. Disamping Universitas dibangun sebuah rumah sakit untuk
mahasiswa diperiksa kesehatannya, hal inilah yang menyebabakan berbagai
Universitas di Eropa mengambil contoh pada Universitas Mustansiriah itu.[13]
2.
Kebangkitan Barat
Banyak
orang mengatakan bahwa pusat ilmu pengetahuan dan symbol kesuksesannya adalah
barat, tetapi pada kenyataannya tidak semua yang diungkapkan tersebut benar
karena pusat ilmu pengetahuanjuga symbol kesuksesan yang sebenarnya adalah
dunia islam khususnya pada zaman dinasti abbasiyah dimana umat islam
mendapatkan masa kejayaannya (golden age of islam). Pada saat tersebut islam
menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan sehingga mengundang para pelajar
dari seluruh dunia khususnya para pelajar barat untuk menuntut ilmu ditempat
tersebut.
Kesuksesan
pelajar barat dalam menuntut ilmu didunia islam merupakan cikal bakal
kebangkitan dunia barat hingga kkesuksesan mereka dalam menguasai ilmu
pengetahuan dan memunculkan apresiasi tersendiri bagi dunia islam dengan
banyaknya pengakuan dari mereka atas kesuksesan umat muslim untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan.
a. Kembalinya
Para Pelajar Barat
Ketika
dinasti Abbasiyah mempunyai kontribusi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan,
maka banyak pula pelajar yang datang dari berbagai macam bangsa, bahasa,
budaya, suku, warna kulit, dll., termasuk para pelajar yang berasal dari barat
yang menuntut ilmu di dunia islam khususnya pada zaman dinasti Abbasiyah.
b. Transmisi
Ilmu Pengetahuan
Banyak
para ahli yang mangungkapkan pendapat mereka tentang transmisi ilmu pengetahuan
dari dunia Arab ke barat khususnya pada zaman Abbasiyah, diantara mereka adalah
J.W. Draper, Robert Briffault, George Sarton, H.G. Wells.
E. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemunduran Bani Abbasiyah
Menurut W.
Montgomery, bahwa beberapa faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah adalah :
1.
Luasnya wilayah
kekuasaan Bani Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya antara penguasa dan
pelaksana pemerintah sudah sangat rendah.
2.
Dengan
profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3.
Keuangan negara
sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar.
Pada saat iu kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.[14]
Sedangkan menurut Dr.
Badri Yatim, M. A diantara hal yang menyebabkan kemunduran Daulah Bani
Abbasiayah Adalah :
1.
Persaingan antar
bangsa
Khalifah Abbasiyah
didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia, persekutuan
dilatar belakangi oleh persamaan nasib pada saat pemerintahan Bani Umayyah,
keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti Abbasiyah berdiri Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada masa ini persaingan antar bangsa
menjadi pemicu untuk saling berkuasa. Kecendrungan masing-masing bangsa untuk
berkuasa telah dirasakan sejak awal pemerintahan Bani Abbas.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyah
juga mengalami kemerosotan Ekonomi bersamaan dengan Kemunduran dibidang
Politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan
pemerintahan yang kaya, dan keuangan yang masuk lebih besar dari pada yang
keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan Harta. Setelah khalifah mengalami
periode kemunduran, pendapatan negara menurun, dengan demikian terjadi
kemerosotan ekonomi.
3.
Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan
berkaitan erat dengan masalah kebangsaan. Pada periode Abbasiyah, konflik
keagamaan yang muncul menjadi isu sentra sehingga terjadi perpecahan. Berbagai
Aliran keagaam seperti Mu’tazillah, Syi’ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok
lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk
mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4.
Perang Salib
Perang salib
merupakan sebab dari eksternal ummat Islam. Pernag salib yang terjadi beberapa
gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian Bani Abbasiyah
terpecah belah untuk menghadapi tentara salib sehingga memunculkan
kelemahan-kelemahan.
5.
Serangan Bangsa
Mongol
Serangan tentara
mongol ke wilayah Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi
serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuasaan
Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah pada kekuatan Mongol.[15]
F. Masa Akhir Kekuasaan Bani Abbasiyah
Akhir dari kekuasaan
Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh pasukan Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah saudara dari Kubilay Khan
yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan saudaranya Mongke Khan yang
menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina
kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Pada mulanya
Hulagu Khan mengirim suatu tawaran kepada Khalifah Bani Abbasiyah
yang terakhir Al-Mu’tashim Billah untuk bekerja sama menghancurkan gerakan
Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh khalifah. Oleh karena itu
timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan september 1257 M,
Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah Khurasan, dan mengadakan penyerangan
didaerah itu. Khulagu Khan memberikan ultimatum kepada khalifah untuk menyerah,
namun khalifah tidak mau menyerah dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara
Mongol melakukan penyerangan.[16]
Pada waktu
penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu daerah
dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya
membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota
Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak
ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga
berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena
lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bani Abbasiyah
merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan masa keemasan dan
kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada masa Bani Abbasiyah
kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi. Pusat
peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa
ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik
itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah
mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada
masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam
bidang matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu
angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu
tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan
tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun
Al-rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak
dari kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik
pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.
Namun diakhir
pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami keterpurukan yang sangat
parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol yang telah mengahncurkan
pusat peradaban Ummat Islam di Baghdad dan mengahancurkan Pusat ilmu
pengetahuan yaitu Baitul Hikmah, yang berisi buku-buku karangan pakar ilmu
ummat Islam yang tak ternilai harganya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Harun, Maidir dan Firdaus. Sejarah Peradaban Islam jilid II, Padang:
IAIN-IB Press, 2001.
Ismail, Chadijah. Sejarah Pendidikan Islam. Padang: IAIN-IB Press,
1999.
Wahid, N. Abbas dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudaan Islam,
Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II) (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
[1] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 138.
[2] Maidir Harun dan
Firdaus, Sejarah Peradaban Islam Jilid II ( Padang : IAIN-IB Press,
2001 ) hlm. 1
[5] N. Abbas Wahid dan
Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayyan Islam, (Solo: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2009) hlm. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar