Epistemology Ilmu:
Peran Paradigma dalam Revolusi Sains
Abstraks
Makalah yang
berjudul “ Peran Paradigma dalam Revolusi Ilmu” ini bertujuan untuk melihat
bagaimana peran paradigma dalam melahirkan sebuah ilmu baru..
The Structure
of Scientific Revolution, adalah karya yang ditulis oleh
seorang ilmuwan yang bernama Thomas S. Kuhn tahun 1962. Dalam karyanya Kuhn
menitik beratkan pada Paradigma. Paradigma
merupakan elemen primer dalam progres sains. Paradigm berperan dalam revolusi
sains. Proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat terlepas dari
apa yang disebut dengan keadaan “normal science” dan revolutionary science”.
Untuk lebih
jelasnya maka dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan siapakah Thomas S.
Kuhn dan bagaimana pemikiran Thomas Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi
sains. Selain itu dalam dunia keilmuan Islam juga telah terjadi perubahan
paradigma sehingga memperluas keilmuan Islam.
Perkembangan
dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan evolusi atau akumulatif
sebagaimana anggapan orang-orang terdahulu. Perkembangan ilmu itu tidak
disebabkan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih
disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma.
A.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu bidang garapan dari filsafat ilmu
adalah epistemologi. Secara etimologis epistemologi berasal dari bahasa Yunani epiteme
artinya pengetahuan, dan logos artinya teori, epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula, sumber,
struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam epistomologi
terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan, hal ini disebabkan
karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem dan
tingkat kebenaran yang berbeda. Jadi bisa dikatakan segala perbedaan tersebut
terutama berkembang dari perbedaan sudut pandang dan metode yang bersumber dari
empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain epistemologi merupakan suatu
bidang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat kebenaran, karena semua
pengetahuan mempersoalkan kebenaran.
Merujuk dari pengertian di atas dapat diketahui
bahwa sejarah penemuan suatu kebenaran tentang pengetahuan dimulai dari Periode
filsafat Yunani yang merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban
manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari
mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat
sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi tidak sederhana. Alam yang
selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia
yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam digunakan sebagai objek
penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah filsafat mulai berkembang.
Dalam
proses perkembangan keilmuan tersebut, paradigma keilmuan memegang peranan
penting, karena fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan,
bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam paradima ilmu, ilmu
telah mengembang menjadi seperangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam
mengungkapkan hakekat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya.
Pada
perkembangan filsafat ilmu dalam memahami beberapa kerangka teori
keilmuan dan juga paradigma keilmuan, terdapat beberapa filsuf yang
terkenal karena hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan
suatu ilmu, Salah satu tokoh filsafat yang terkenal yakni Thomas
Kuhn yang mengarang buku The Structure of Scientific revolution tahun
1962. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan filsafat ilmu,
tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana
intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang
memberi wawasan dalam
berbagai bidang disiplin ilmu dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang
jarang dapat ditandingi.
Sejalan
dengan pemikiran Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi sains, dalam
perkembangan keilmuan Islam telah terjadi perubahan paradigma. Yang mana
perubahan tersebut memberikan kontribusi untuk mengembangkan keilmuan Islam
menjadi lebih luas.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Thomas
S. Kuhn ?
2.
Bagaimana
pemikiran Thomas Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi sains?
3.
Bagaimana
perubahan paradigma dalam keilmuan Islam?
B.
PEMBAHASAN
2.1
Thomas S. Kuhn
Thomas S. Kuhn dilahirkan di Cicinnati, Ohio pada
tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur
industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika
dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Kuhn belajar
sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari
Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai
Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika
kepada sejarah (dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai
asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden
Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley
di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi
profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan
bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada
tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di
Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor
filsafat. Tetap di sini hingga 1991.[1]
Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat
banyak sambutan dari filsuf ilmu dan ilmuan adalah The Structure of
Scientific Revolution, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962, buku tersebut direkomendasikan sebagai bahan
bacaan dalam berbagai bidang keilmuan.
2.2
Pemikiran
Thomas S. Kuhn Tentang Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains
a.
Latar belakang
pemikiran Thomas S. Kuhn
Latar belakang pemikiran Kuhn tentang ilmu
dan perkembangannya, merupakan respon terhadap adanya pandangan Popper.
Popper berpendapat bahwa proses perkembangan ilmu menurutnya harus
berkemungkinan mengandung salah dengan proses yang disebut
falsifikasi (proses eksperimental untuk membuktikan salah dari
suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori). Menurut Kuhn, Popper
menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya
ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi.
Namun Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk
menjustifikasi teorinya.[2]
Kuhn menolak pandangan Popper tersebut. Kuhn memandang ilmu dari perspektif
sejarah, dalam arti sejarah ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu diharapkan
bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika
hal ini dilakukan maka jelaslah bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam
selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk
membuktikan salah satu teori atau system, melainkan terjadi melalui
revolusi-revolusi ilmiah. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan
membangun kembali ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Hal-hal
baru yang ditemukan akan menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa
berikutnya. Dengan demikian Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah itu
pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif. [3]
Perbedaan pendapat Kuhn dengan Popper adalah jika Popper menggunakan
sejarah ilmu untuk mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru menggunakan sejarah
ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Dari pendapat Kuhn tersebut bisa dikatakan
bahwa filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga seorang ilmuan
dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
b.
Paradigma menurut
Thomas S.Kuhn
Di dalam Structure
ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang
menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki
yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan
upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai
upaya pemecahan masalah didalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku. Kuhn
memakai istilah paradigma untuk menggambarkan system keyakinan yang
mendasari upaya pemecahan teka-teki didalam ilmu.[4]
Paradigma menurut Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi
teoretis yang umum (merupakan sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber
hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat
menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.[5]
Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma
berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama
oleh para komunitas ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis
unsur pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan sebagai model, pola,
atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit menjadi
dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas.
Secara singkat paradigma dapat diartikan sebagai keseluruhan konstelasi
kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam
memandang sesuatu (fenomena).
Bila kita mencermati fokus pembahasan Kuhn memang lebih banyak
menekankan pembahasannya pada apa yang disebut dengan ‘paradigma’ ini. Dalam
pandangannya, paradigma adalah landasan teori dalam natural sciences. Untuk lebih
jelasnya urgensi sebuah paradigma dan peran pentingnya Kuhn menjelaskan dalam
beberapa poin penting ;
·
Pertama, ada problematika yang sangat rumit yang kita hadapi untuk
memecahkan kaedah-kaedah yang kita temui dalam tradisi natural
sciences, yaitu problem yang sangat mirip sekali dengan yang
dihadapi seorang filsuf saat berusaha menjelaskan bagian-bagian kolektif yang
ada dalam permainan-permainan.
·
Kedua, problem dalam pengajaran ilmu (sains). Para ilmuwan tidak
mempelajari konsep, hukum dan teori-teori sebagai sesuatu yang terpisah dari
yang lain. Tapi dari pertama, mereka mendapati piranti-piranti akal ini sebagai
sebuah kesatuan yang didahului unsur sejarah dan pendidikan yang berfungsi
untuk menjelaskan piranti-piranti akal dan aplikasi ilmiahnya. Sehingga tiap
teori baru muncul dengan dibarengi dengan aplikasinya pada fenomena yang
terbatas.
·
Ketiga, sebuah paradigma bisa melihat sebuah pembahasan dengan
berinteraksi paradigma itu sendiri, dan tanpa kaedah. Tapi tidak dalam natural
sciences, karena natural sciences mungkin untuk
bertolak dengan tanpa kaedah, namun hanya pada satu kesempatan saja yaitu
disaat masyarakat ilmiah menerima sebuah pemikiran tanpa menolak sama sekali
pada hasilnya.
c.
Proses
Perkembangan Ilmu
Dalam
karyanya yang berjudul The Structure of Scienteific Revolutions yang terbit
pada tahun 1962 yang kemudian pada tahun 1970 dilengkapi dengan Postscirpt yang
memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik, Dalam
buku tersebut, Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar pada lima
tahapan yang kemudian dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:[6]
Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu
normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan
mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan
mendalam. Dalam tahapan ini, para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma
yang membimbingnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai
berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang
dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya. Inilah yang
dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya
ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap Kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan
terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan
mulai keluar dari jalur ilmu norma.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang sama dengan
memperluas dan mengembangkan suatu paradigma
tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing
aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma
baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat terlepas
dari apa yang disebut dengan keadaan “normal science” dan revolutionary
science”. Sains normal bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas
ilmiah dalam usahanya menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiahnya.
Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari para ilmuwan untuk memahami alam
untuk dipilah-pilah ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma
ilmiah, dan untuk lebih mudah dijelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai
cara menyelesaikan teka-teki.
Sebagaimana penyelesaian masalah teka-teki yang menggunakan gambar
pada kotak untuk membimbingnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, maka suatu paradigma
ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang bagaimana semestinya
bentuk dunia ilmiah mereka, yang dengan begitu semua serpihan-serpihan
penyelidikan ilmiah digabungkan satu sama lain. Kemajuan dalam sains normal
diukur menurut banyaknya serpihan dan teka-teki yang telah dikumpulkan. Semakin
banyak lingkungan ilmiah dapat diterangkan oleh suatu komunitas ilmiah semakin
besar pula kemajuan yang dicapainya.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal,
dimana para ilmuwan menjabarkan dan mengembangkan ilmu menjadi lebih terperinci
dan mendalam. Pada tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis karena paradigmalah
yang membimbing para ilmuwan dalam menjalankan penelitian tersebut, jadi dengan
kata lain para ilmuwan mengikuti alur (dalam arti teori yang sudah ada).
Pada normal sains ini bisa saja ada banyak persoalan yang tidak
dapat terselesaikan, dan bahkan inkonsistensi. Inilah keadaan yang oleh Kuhn
disebut dengan anomalies, keganjilan-keganjilan, ketidaktepatan,
ganjalan-ganjalan, penyimpangan-penyimpangan dari yang biasa. Bila suatu
komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka sejak itu
ia memasuki keadaan krisis. Krisis berlaku setelah lama mengalami sains normal
dan merupakan fase yang harus dilalui untuk menuju kemajuan ilmiah. Krisis
adalah suatu mekanisme diri yang memastikan
bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak akan berlanjut. Fase krisis ini
merupakan kelanjutan dari anomali.
Anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang
diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam keterikatan ini, Kuhn menguraikan dua
macam kegiatan ilmiah, pazzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam
pazzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi
yang tujuannya untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya
tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah
mengakibatkan konflik, suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian,
kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika
penemuan baru ini berhasil, akan terjadi perubahan besar dalam ilmu
pengetahuan. [7]
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa asing, melainkan episode-episode
yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali
dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan mengakui bahwa alam tidak sesuai harapan
yang ditentukan paradigma yang menguasai sains normal. Kemudian ia berlanjut
dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia
hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang
menyimpang itu menjadi apa yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan
baru harus ada penyelesaian antara fakta dengan teori yang baru.
Bila komunitas ilmiah menuju paradigma baru, maka ia akan memilih
nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa dan cara mengamati dan memahami
alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses dari pergeseran paradigma, yakni
suatu proses dari keadaan normal science ke wilayah revolutionary
science. Mereka para komunitas ilmiah menggunakan sumber dayanya untuk
menyempurnakan teori, menjelaskan data-data yang membingungkan, menetapkan
ketepatan ukuran-ukuran standar yang terus meningkat, dan melakukan kerja lain
yang diperlukan untuk memperluas batas-batas ilmu normal. Dalam fase revolusi
sains hampir semua istilah, konsep, cara penyelesaian persoalan, cara berpikir
dan cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya, namun tentu khazanah
intelektual yang lama masih dapat dimanfaatkan sejauh ia masih menyentuh
persoalan yang dihadapi. Tetapi jika cara pemecahan persoalan model lama memang
sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang
kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan cara, rumusan, dan wawasan yang sama
sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru, yang timbul sebagai
akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang berakibat pula pada perluasan wawasan
dan pengalaman manusia.
Revolusi sains muncul karena adanya anomaly dalam riset ilmiah yang
dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan
oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Revolusi sains dianggap sebagai
epidose perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya peradigma yang lama diganti
seluruhnya atau sebagian oleh paradigma yang baru yang bertentangan. Adanya
revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
Sebagian ilmuwan dan komunitas ilmiah tertentu adakalanya tidak mau menerima paradigma
baru tersebut.[8]
Dan ini menimbulkan masalah tersendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi
paradigma yang lebih definitif. Sebagai contoh misalnya, bisa dilihat pada
bidang fisika yang berkenan dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan
sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa
karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi
landasan riset selanjutnya, yang hanya berumur setengah abad ketika muncul
teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang
sangat halus. Teori ini pun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains
optika, kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih "unggul"
yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan
oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang
tranversal.
Dalam pemilihan paradigma, tidak ada standar yang lebih tinggi
daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Permasalahan paradigma atau
munculnya paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains tidak lain hanyalah
sebuah konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di
kalangan ilmuwan dan komunitas ilmiah sendiri. Sejauh mana paradigma baru
tersebut diterima oleh mayoritas komunitas ilmiah, maka revolusi sains dapat
terwujud.[9]
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda
dengan ketika masih menggunakan instrument-instrumen yang sangat dikenalnya
untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan mereka
tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain yang nama objek-objek yang dikenal
sebelumnya nampak berbeda dan berbaur dengan objek-objek yang tidak dikenalnya.
Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus yang nama dapat
digambarkan sebagai berikut :
Setiap
paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigm
baru.
2.3
Realitas
Perubahan Paradigma Dalam Keilmuan Islam
Revolusi ilmu demikian juga terjadi dalam keilmuan islam. Setelah
terjadinya kemunduran dalam kejayaan islam, pemikiran Islam mengalami stagnasi,
namun pada beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya upaya kebangkitan.
Pemikiran Islam telah mengalami kemajuan untuk kembali bangkit mengejar
ketertinggalan. Munculnya beberapa tokoh pemikir islam kontemporer menjadi
bukti kebangkitan tersebut.
Dalam buku Isykaliyah al-Fikr al Arabi al-Mu’asir yang
ditulis oleh M. abed al-Jabiri menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan, pada titik tertentu, antara pemikiran dengan realitas sosial. Hal
ini menunjukkan bahwa kemunculan dan perkembangan sebuah pemikiran dalam
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks historis sosiologis. Muncul dan
berkembangnya sebuah pemikiran dalam realitasnya tidak jarang merupakan respon
dan dialektika pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan
berkembang di masyarakat.[10]
Salah satu cabang ilmu yang dapat kita jadikan sebagai contoh dari
perkembangan pemikiran adalah ilmu kalam. Ilmu kalam telah muncul sejak zaman
Rasulullah, tumbuh dan berkembangnya ilmu kalam dimulai dengan adanya kajian terhadap
al-Qur’an. Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat
disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian
tentang agama Islam. Perkembangan
masyarakat Islam secara sosiologis dan politis turut mempengaruhi perkembangan
ilmu kalam. Adanya berbagai konflik politik yang mengarahkan umat Islam menjadi
terpecah-pecah dalam berbagai aliran pemikiran merupakan realitas yang secara
jelas dapat kita cermati dalam sejarah pertumbuhan ilmu ini.
Hal menarik yang penting untuk dikedepankan dalam melihat realitas
historis ilmu kalam ini adalah bahwa perkembangan ilmu kalam tidak lain
merupakan wujud respon terhadap semakin
gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan unsur-unsur ajaran di luar Islam yang ikut
terlibat dalam pergumpulan pemikiran islam akibat interaksi dan dialektika umat
islam dengan mainstream pemikiran saat itu. Ideology dan pemikiran filosofis
tersebut sangat luas dan kuat penyebarannya sehingga para ulama merasa perlu
untuk mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat islam. Dari itulah
maka para ulama menulis karya yang berisi argumen-argumen yang diharapkan mampu
menjadi benteng bagi akidah umat Islam dengan menyertakan dalil-dalil yang
tidak lagi hanya seputar pada dalil-dalil naqli, tetapi juga menggunakan dan
melibatkan logika-logika dan pemikiran-pemikiran rasional.
Kalau literature kalam klasik membahas hal-hal yang berkaitan
dengan, misalnya persoalan qadariyah dan jabariyah, sifat Tuhan, apakah
al-Qur’an kekal abadi seperti tuhan atau
tidak, maka itu semua merupakan keharusan sejarah dan sejalan dengan tuntutan
dan mainstream pemikiran yang berkembang pada saat itu. Pemikir Neomodernisme
Islam, Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam and modernity: Transformation of
intellectual Tradition juga menekankan perlunya systematic reconstruction
terhadap pemikiran Islam baik teologi, filsafat dan ilmu keislaman lainnya
terutama jika dihadapkan dengan kemajuan peradapan modern.[11]
Perubahan kondisi geopolitik, social, budaya dan intelektual
kontemporer telah meniscayakan umat Islam mengadakan dekonstruksi dan
rekonstruksi pemikiran yang selama ini mengalami stangnasi. Umat islam yang
telah beberapa abad lamanya memegang supermasi peradaban dunia mengalami shock
luar biasa ketika melihat kemajuan yang dialami barat.
Dalam konteks pemikiran kalam, jika era sekarang bukan lagi era
Yunani, maka diskursus kalam harus mengikuti mainstream pemikiran kontemporer.
Pemikiran Islam mesti bergumul dengan pemikiran barat kontemporer seperti
problem-problem social, politik, pendidikan, iptek dan lain sebagainya untuk
tidak selalu melekat pada upaya apologetic membela tuhan sebagaimana yang
selama ini terjadi. Tantangan yang muncul sekarang sudah berbeda,
tantangan-tantangan baru masih akan bermunculan, sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme
keagamaan, kemiskinan structural, kerusakan lingkungan hidup, kesejahteraan hak
wanita dengan pria, adalah contoh dari persoalan kontemporer yang perlu
mendapat respon serius dalam konteks kalam.
Tidak hanya ilmu kalam, beberapa bidang ilmu dalam keilmuan juga
mengalami revolusi. Muncullah kesadaran para pemikir Islam untuk dapat
membangkitkan kembali kemajuan Islam dengan merubah paradigma namun tetap pada
lini yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan sunnah.
C.
ANALISIS
Dalam kemunculan sebuah pemikiran baru yang
bersifat mengkritisi pemikiran yang telah ada selama ini, pada umumnya akan
mendapatkan pertentangan dari banyak pihak. Sebagaimana yang terjadi pada saat
pemikiran Kuhn mengenai peran paradigma
tersebut muncul. Ada banyak pihak yang mengkritisi namun meskipun
demikian pemikiran Kuhn tersebut mampu mendobrak pemikiran sebelumnya dan memberikan
kontribusi yang besar dalam sejarah perkembangan ilmu.
Walau bagaimanapun penilaian orang, Kuhn telah berjasa besar,
terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan
mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran
obyektif. Di samping itu teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang
sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari
dua dekade, gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana
intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang,
berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang
keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili
nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing.
Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori
maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan
berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan
untuk menjinakkannya.
Berdasarkan hasil pembahasan yang
dikemukakan oleh penulis sebelumnya, maka terdapat relevansi yang kuat antara
pemikiran Kuhn dengan perubahan paradigma dalam keilmuan Islam. Perubahan
paradigma terjadi menyesuaikan dengan perkambangan kehidupan masyarakat. Dengan
perubahan paradigma dalam keilmuan Islam diharapkan mampu memberikan kontribusi
bagi kehidupam masyarakat.
Perkembangan ilmu memang tidaklah dapat
dipisahkan dengan historisnya, karena dari historis ilmu tersebut maka akan
diketahui hakekat dari ilmu tersebut. Karena ilmu memiliki sifat yang terbuka
untuk direduksi dan dikembangkan maka hendaknya pada ilmuwan bersikap kritisdan
berani, sehingga tercapai kemajuan dalam keilmuan.
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Paradigma
merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja
dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma
dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan
kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu
banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga
menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended (sifatnya selalu
terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori
tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan
filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya.
Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif
sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik sehingga dalam teori
Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan, selain
itu menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari
kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu
cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih
baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang
harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus
diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. Secara singkat paradigma
dapat diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan
teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)
Paradigma Kuhn telah memberikan kontribusi dalam dinamika ilmu
pengetahuan dan peradapan manusia serta mampu mendobrak citra pencapaian ilmu
pengetahuan yang absolt dan tidak terikat ruang dan waktu.
Mengakhiri pembahasan ini perlu disampaikan, bahwa konsepsi Kuhn
ini tampaknya mendapat respon dari berbagai ilmuwan, yang melihat perkembangan
disiplin ilmu masing-masing. Para ilmuwan melihat sedemikian jauh pengaruh,
implikasi dan bahkan aplikasi dari konsepsi pemikiran filsafat keilmuan Thomas
S. Kuhn dalam hampir seluruh bidang ilmu, seperti sejarah, ekonomi, politik,
sosiologi, budaya, bahkan keagamaan.
DAFTAR RUJUKAN
Ari Yuana,
Kumara. 2010. The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Andi Offset
Bakhtiar,
Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Baqir, Zainal
Abidin dkk. 2005. Integrasi ilmu dan Agama. Bandung: Mizan
Esha, Muhammad
In’am. 2010. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-Maliki Press.
Fautanu, Idzam.
2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi
Kuhn, Thomas S.
2000. The Structure of Scientific Revolutions. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muslih,
Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Surajiyo. 2008 Filsafat
dan perkembangan di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi aksara
Zubaedi, dkk. 2007.
Filsafat Barat : Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
[1]
Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmaa dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar.109-110)
[2]
Zubaedi. Filsafat Barat:Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi
Sains ala Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.hlm 200
[3]
Ibid, hlm 110
[4]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigmaa
Dalam Revolusi Sains, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Hlm, 10)
[7]
Zubaedi. Filsafat Barat:Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi
Sains ala Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.hlm 203
[8]
Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmaa dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar.116)
[9]
Ibid. hlm 205
[10]
Muhammad In’am Esha. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-maliki Press.
2010. Hlm 1
[11]
Ibid, hlm 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar