Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH EPISTEMOLOGY ILMU: PERAN PARADIGMA DALAM REVOLUSI SAINS


Epistemology Ilmu:
Peran Paradigma dalam Revolusi Sains
Abstraks
Makalah yang berjudul “ Peran Paradigma dalam Revolusi Ilmu” ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran paradigma dalam melahirkan sebuah ilmu baru..
The Structure of Scientific Revolution,  adalah karya yang ditulis oleh seorang ilmuwan yang bernama Thomas S. Kuhn tahun 1962. Dalam karyanya Kuhn menitik beratkan pada Paradigma. Paradigma merupakan elemen primer dalam progres sains. Paradigm berperan dalam revolusi sains. Proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan keadaan “normal science” dan revolutionary science”.
Untuk lebih jelasnya maka dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan siapakah Thomas S. Kuhn dan bagaimana pemikiran Thomas Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi sains. Selain itu dalam dunia keilmuan Islam juga telah terjadi perubahan paradigma sehingga memperluas keilmuan Islam.
Perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan evolusi atau akumulatif sebagaimana anggapan orang-orang terdahulu. Perkembangan ilmu itu tidak disebabkan oleh dikuatkan dan dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma.

A.    PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Salah satu bidang garapan dari filsafat ilmu adalah epistemologi. Secara etimologis epistemologi berasal dari bahasa Yunani  epiteme artinya pengetahuan, dan logos artinya teori, epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula, sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam epistomologi terdapat beberapa perbedaan mengenai teori pengetahuan, hal ini disebabkan karena setiap ilmu pengetahuan memiliki potensi objek, metode, sistem dan tingkat kebenaran yang berbeda. Jadi bisa dikatakan segala perbedaan tersebut terutama berkembang dari perbedaan sudut pandang dan metode yang bersumber dari empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain epistemologi merupakan suatu bidang filsafat yang mempersoalkan tentang hakekat kebenaran, karena semua pengetahuan mempersoalkan kebenaran.
Merujuk dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa sejarah penemuan suatu kebenaran tentang pengetahuan dimulai dari Periode filsafat Yunani yang merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia, karena pada waktu ini terjadi perubahan pola fikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola fikir yang kelihatan sangat sederhana tetapi sebenarnya memiliki implikasi tidak sederhana. Alam yang selama ini ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif menjadi aktif sehingga alam digunakan sebagai objek penelitian atau pengkajian. Dari proses inilah filsafat mulai berkembang.
Dalam proses perkembangan keilmuan tersebut, paradigma keilmuan memegang peranan penting, karena fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Dalam paradima ilmu, ilmu telah mengembang menjadi seperangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakekat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Pada perkembangan filsafat ilmu  dalam memahami beberapa kerangka teori keilmuan dan juga paradigma keilmuan,  terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu, Salah satu tokoh filsafat  yang terkenal yakni Thomas Kuhn yang mengarang buku The Structure of Scientific revolution tahun 1962. Tulisan ini mempunyai arti penting dalam perkembangan filsafat ilmu, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi wawasan dalam berbagai bidang disiplin ilmu dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi.
Sejalan dengan pemikiran Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi sains, dalam perkembangan keilmuan Islam telah terjadi perubahan paradigma. Yang mana perubahan tersebut memberikan kontribusi untuk mengembangkan keilmuan Islam menjadi lebih luas.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Siapakah Thomas S. Kuhn ?
2.      Bagaimana pemikiran Thomas Kuhn tentang peran paradigma dalam revolusi sains?
3.      Bagaimana perubahan paradigma dalam keilmuan Islam?

B.     PEMBAHASAN
2.1  Thomas S. Kuhn
Thomas S. Kuhn dilahirkan di  Cicinnati, Ohio pada tanggal 18 juli 1922. Kuhn lahir dari pasangan Samuel L, Kuhn seorang Insinyur industri dan Minette Stroock Kuhn. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Kuhn belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah (dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant.
Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991.[1]
Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari filsuf ilmu dan ilmuan adalah The Structure of Scientific Revolution, sebuah buku yang terbit pada tahun 1962,  buku tersebut direkomendasikan sebagai bahan bacaan dalam berbagai bidang keilmuan.
2.2  Pemikiran Thomas S. Kuhn Tentang Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains
a.      Latar belakang pemikiran Thomas S. Kuhn
Latar belakang pemikiran  Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya, merupakan respon terhadap adanya  pandangan Popper. Popper berpendapat bahwa proses perkembangan ilmu menurutnya harus berkemungkinan mengandung salah dengan proses yang disebut falsifikasi   (proses eksperimental untuk membuktikan salah dari suatu ilmu) dan refutasi (penyangkalan teori). Menurut Kuhn, Popper menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi. Namun Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya.[2]
Kuhn menolak pandangan Popper tersebut. Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah ilmu. Dengan demikian, filsafat ilmu diharapkan bisa semakin mendekati kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah sesungguhnya. Jika hal ini dilakukan maka jelaslah bahwa terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau system, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Sejarah ilmu digunakan untuk mendapatkan dan membangun kembali ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Hal-hal baru yang ditemukan akan menjadi unsur penting bagi pengembangan ilmu di masa berikutnya. Dengan demikian Kuhn beranggapan bahwa kemajuan ilmiah itu pertama-tama bersifat revolusioner, bukan maju secara kumulatif. [3]
Perbedaan pendapat Kuhn dengan Popper adalah jika Popper menggunakan sejarah ilmu untuk mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru menggunakan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Dari pendapat Kuhn tersebut bisa dikatakan bahwa filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah ilmu, sehingga seorang ilmuan dapat memahami hakikat ilmu dan aktivitas ilmiah yang sesungguhnya.
b.      Paradigma menurut Thomas S.Kuhn
Di dalam Structure ia menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja didalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah didalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku. Kuhn memakai istilah paradigma untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan  teka-teki didalam ilmu.[4]
Paradigma menurut Kuhn adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum (merupakan sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.[5] Kuhn menjelaskan paradigma dalam dua pengertian. Di satu pihak paradigma berarti keseluruan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik yang dimiliki bersama oleh para komunitas ilmiah tertentu. Di pihak lain paradigma menunjukan sejenis unsur pemecahan teka-teki yang konkret yang jika digunakan sebagai model, pola, atau contoh dapat menggantikan kaidah-kaidah yang secara eksplisit menjadi dasar bagi pemecahan permasalahan dan teka-teki normal sains yang belum tuntas. Secara singkat paradigma dapat diartikan sebagai keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena).
Bila kita mencermati fokus pembahasan Kuhn memang lebih banyak menekankan pembahasannya pada apa yang disebut dengan ‘paradigma’ ini. Dalam pandangannya, paradigma adalah landasan teori dalam natural sciences. Untuk lebih jelasnya urgensi sebuah paradigma dan peran pentingnya Kuhn menjelaskan dalam beberapa poin penting ;
·         Pertama, ada problematika yang sangat rumit yang kita hadapi untuk memecahkan kaedah-kaedah yang kita temui dalam tradisi natural sciences, yaitu problem yang sangat mirip sekali dengan yang dihadapi seorang filsuf saat berusaha menjelaskan bagian-bagian kolektif yang ada dalam permainan-permainan.
·         Kedua, problem dalam pengajaran ilmu (sains). Para ilmuwan tidak mempelajari konsep, hukum dan teori-teori sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain. Tapi dari pertama, mereka mendapati piranti-piranti akal ini sebagai sebuah kesatuan yang didahului unsur sejarah dan pendidikan yang berfungsi untuk menjelaskan piranti-piranti akal dan aplikasi ilmiahnya. Sehingga tiap teori baru muncul dengan dibarengi dengan aplikasinya pada fenomena yang terbatas.
·         Ketiga, sebuah paradigma bisa melihat sebuah pembahasan dengan berinteraksi paradigma itu sendiri, dan tanpa kaedah. Tapi tidak dalam natural sciences, karena natural sciences mungkin untuk bertolak dengan tanpa kaedah, namun hanya pada satu kesempatan saja yaitu disaat masyarakat ilmiah menerima sebuah pemikiran tanpa menolak sama sekali pada hasilnya.
c.       Proses Perkembangan Ilmu
Dalam karyanya yang berjudul The Structure of Scienteific Revolutions yang terbit pada tahun 1962 yang kemudian pada tahun 1970 dilengkapi dengan Postscirpt yang memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik, Dalam buku tersebut, Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar pada lima tahapan yang kemudian dibagi dalam tiga bagian besar, yaitu:[6]

Tahap Pertama, paradigma ini membimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Di sini para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Dalam tahapan ini, para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbingnya. Selama menjalankan aktivitas ilmiah, para ilmuwan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan paradigma yang dipergunakan sebagai bimbingan atau arahan aktivitas ilmiahnya. Inilah yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai.
Tahap Kedua, menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan dipertanyakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu norma.
Tahap ketiga, para ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang sama dengan memperluas dan mengembangkan suatu paradigma  tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak dapat terlepas dari apa yang disebut dengan keadaan “normal science” dan revolutionary science”. Sains normal bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu komunitas ilmiah dalam usahanya menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma ilmiahnya. Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari para ilmuwan untuk memahami alam untuk dipilah-pilah ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh paradigma ilmiah, dan untuk lebih mudah dijelaskan, diumpamakan sains normal itu sebagai cara menyelesaikan teka-teki.
Sebagaimana penyelesaian masalah teka-teki yang menggunakan gambar pada kotak untuk membimbingnya dalam menyelesaikan teka-teki itu, maka suatu paradigma ilmiah memberi komunitas ilmiah suatu gambaran tentang bagaimana semestinya bentuk dunia ilmiah mereka, yang dengan begitu semua serpihan-serpihan penyelidikan ilmiah digabungkan satu sama lain. Kemajuan dalam sains normal diukur menurut banyaknya serpihan dan teka-teki yang telah dikumpulkan. Semakin banyak lingkungan ilmiah dapat diterangkan oleh suatu komunitas ilmiah semakin besar pula kemajuan yang dicapainya.
Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, dimana para ilmuwan menjabarkan dan mengembangkan ilmu menjadi lebih terperinci dan mendalam. Pada tahap ini para ilmuwan tidak bersikap kritis karena paradigmalah yang membimbing para ilmuwan dalam menjalankan penelitian tersebut, jadi dengan kata lain para ilmuwan mengikuti alur (dalam arti teori yang sudah ada).
Pada normal sains ini bisa saja ada banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan, dan bahkan inkonsistensi. Inilah keadaan yang oleh Kuhn disebut dengan anomalies, keganjilan-keganjilan, ketidaktepatan, ganjalan-ganjalan, penyimpangan-penyimpangan dari yang biasa. Bila suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya, maka sejak itu ia memasuki keadaan krisis. Krisis berlaku setelah lama mengalami sains normal dan merupakan fase yang harus dilalui untuk menuju kemajuan ilmiah. Krisis adalah suatu mekanisme  diri yang memastikan bahwa kekakuan pada fase sains normal tidak akan berlanjut. Fase krisis ini merupakan kelanjutan dari anomali.
Anomali berperan besar dalam memunculkan sebuah penemuan baru yang diawali dengan kegiatan ilmiah. Dalam keterikatan ini, Kuhn menguraikan dua macam kegiatan ilmiah, pazzle solving dan penemuan paradigma baru. Dalam pazzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang tujuannya untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari kebenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian, kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan. [7]
Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa asing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan mengakui bahwa alam tidak sesuai harapan yang ditentukan paradigma yang menguasai sains normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi apa yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyelesaian antara fakta dengan teori yang baru.
Bila komunitas ilmiah menuju paradigma baru, maka ia akan memilih nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa dan cara mengamati dan memahami alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses dari pergeseran paradigma, yakni suatu proses dari keadaan normal science ke wilayah revolutionary science. Mereka para komunitas ilmiah menggunakan sumber dayanya untuk menyempurnakan teori, menjelaskan data-data yang membingungkan, menetapkan ketepatan ukuran-ukuran standar yang terus meningkat, dan melakukan kerja lain yang diperlukan untuk memperluas batas-batas ilmu normal. Dalam fase revolusi sains hampir semua istilah, konsep, cara penyelesaian persoalan, cara berpikir dan cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya, namun tentu khazanah intelektual yang lama masih dapat dimanfaatkan sejauh ia masih menyentuh persoalan yang dihadapi. Tetapi jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan cara, rumusan, dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru, yang timbul sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia.
Revolusi sains muncul karena adanya anomaly dalam riset ilmiah yang dirasakan semakin parah, dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma yang dijadikan referensi riset. Revolusi sains dianggap sebagai epidose perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya peradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma yang baru yang bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan dan komunitas ilmiah tertentu adakalanya tidak mau menerima paradigma baru tersebut.[8] Dan ini menimbulkan masalah tersendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif. Sebagai contoh misalnya, bisa dilihat pada bidang fisika yang berkenan dengan teori cahaya. Mula-mula cahaya dinyatakan sebagai foton, yaitu maujud mekanis kuantum yang memperlihatkan beberapa karakteristik gelombang dan beberapa karakteristik partikel. Teori ini menjadi landasan riset selanjutnya, yang hanya berumur setengah abad ketika muncul teori baru dari Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Teori ini pun sempat diterima oleh hampir semua praktisi sains optika, kemudian muncul teori baru yang bisa dikatakan lebih "unggul" yang digagas oleh Young dan Fresnel pada awal abad XIX yang selanjutnya dikembangkan oleh Planck dan Einstein, yaitu bahwa cahaya adalah gerakan gelombang tranversal.
Dalam pemilihan paradigma, tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Permasalahan paradigma atau munculnya paradigma baru sebagai akibat dari revolusi sains tidak lain hanyalah sebuah konsensus atau kesepakatan yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan ilmuwan dan komunitas ilmiah sendiri. Sejauh mana paradigma baru tersebut diterima oleh mayoritas komunitas ilmiah, maka revolusi sains dapat terwujud.[9]
Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal baru dan berbeda dengan ketika masih menggunakan instrument-instrumen yang sangat dikenalnya untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan mereka tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain yang nama objek-objek yang dikenal sebelumnya nampak berbeda dan berbaur dengan objek-objek yang tidak dikenalnya. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus yang nama dapat digambarkan sebagai berikut :

Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigm baru.
2.3  Realitas Perubahan Paradigma Dalam Keilmuan Islam
Revolusi ilmu demikian juga terjadi dalam keilmuan islam. Setelah terjadinya kemunduran dalam kejayaan islam, pemikiran Islam mengalami stagnasi, namun pada beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya upaya kebangkitan. Pemikiran Islam telah mengalami kemajuan untuk kembali bangkit mengejar ketertinggalan. Munculnya beberapa tokoh pemikir islam kontemporer menjadi bukti kebangkitan tersebut.
Dalam buku Isykaliyah al-Fikr al Arabi al-Mu’asir yang ditulis oleh M. abed al-Jabiri menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan, pada titik tertentu, antara pemikiran dengan realitas sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan dan perkembangan sebuah pemikiran dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari konteks historis sosiologis. Muncul dan berkembangnya sebuah pemikiran dalam realitasnya tidak jarang merupakan respon dan dialektika pemikiran terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi dan berkembang di masyarakat.[10]
Salah satu cabang ilmu yang dapat kita jadikan sebagai contoh dari perkembangan pemikiran adalah ilmu kalam. Ilmu kalam telah muncul sejak zaman Rasulullah, tumbuh dan berkembangnya ilmu kalam dimulai dengan adanya kajian terhadap al-Qur’an. Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Perkembangan masyarakat Islam secara sosiologis dan politis turut mempengaruhi perkembangan ilmu kalam. Adanya berbagai konflik politik yang mengarahkan umat Islam menjadi terpecah-pecah dalam berbagai aliran pemikiran merupakan realitas yang secara jelas dapat kita cermati dalam sejarah pertumbuhan ilmu ini.
Hal menarik yang penting untuk dikedepankan dalam melihat realitas historis ilmu kalam ini adalah bahwa perkembangan ilmu kalam tidak lain merupakan wujud  respon terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat Yunani dan unsur-unsur ajaran di luar Islam yang ikut terlibat dalam pergumpulan pemikiran islam akibat interaksi dan dialektika umat islam dengan mainstream pemikiran saat itu. Ideology dan pemikiran filosofis tersebut sangat luas dan kuat penyebarannya sehingga para ulama merasa perlu untuk mengantisipasi kemungkinan tercemarnya akidah umat islam. Dari itulah maka para ulama menulis karya yang berisi argumen-argumen yang diharapkan mampu menjadi benteng bagi akidah umat Islam dengan menyertakan dalil-dalil yang tidak lagi hanya seputar pada dalil-dalil naqli, tetapi juga menggunakan dan melibatkan logika-logika dan pemikiran-pemikiran rasional.
Kalau literature kalam klasik membahas hal-hal yang berkaitan dengan, misalnya persoalan qadariyah dan jabariyah, sifat Tuhan, apakah al-Qur’an kekal abadi seperti tuhan  atau tidak, maka itu semua merupakan keharusan sejarah dan sejalan dengan tuntutan dan mainstream pemikiran yang berkembang pada saat itu. Pemikir Neomodernisme Islam, Fazlur Rahman, dalam bukunya Islam and modernity: Transformation of intellectual Tradition juga menekankan perlunya systematic reconstruction terhadap pemikiran Islam baik teologi, filsafat dan ilmu keislaman lainnya terutama jika dihadapkan dengan kemajuan peradapan modern.[11]
Perubahan kondisi geopolitik, social, budaya dan intelektual kontemporer telah meniscayakan umat Islam mengadakan dekonstruksi dan rekonstruksi pemikiran yang selama ini mengalami stangnasi. Umat islam yang telah beberapa abad lamanya memegang supermasi peradaban dunia mengalami shock luar biasa ketika melihat kemajuan yang dialami barat.
Dalam konteks pemikiran kalam, jika era sekarang bukan lagi era Yunani, maka diskursus kalam harus mengikuti mainstream pemikiran kontemporer. Pemikiran Islam mesti bergumul dengan pemikiran barat kontemporer seperti problem-problem social, politik, pendidikan, iptek dan lain sebagainya untuk tidak selalu melekat pada upaya apologetic membela tuhan sebagaimana yang selama ini terjadi. Tantangan yang muncul sekarang sudah berbeda, tantangan-tantangan baru masih akan bermunculan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keagamaan, kemiskinan structural, kerusakan lingkungan hidup, kesejahteraan hak wanita dengan pria, adalah contoh dari persoalan kontemporer yang perlu mendapat respon serius dalam konteks kalam.
Tidak hanya ilmu kalam, beberapa bidang ilmu dalam keilmuan juga mengalami revolusi. Muncullah kesadaran para pemikir Islam untuk dapat membangkitkan kembali kemajuan Islam dengan merubah paradigma namun tetap pada lini yang tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan sunnah.

C.    ANALISIS
Dalam kemunculan sebuah pemikiran baru yang bersifat mengkritisi pemikiran yang telah ada selama ini, pada umumnya akan mendapatkan pertentangan dari banyak pihak. Sebagaimana yang terjadi pada saat pemikiran Kuhn mengenai peran paradigma  tersebut muncul. Ada banyak pihak yang mengkritisi namun meskipun demikian pemikiran Kuhn tersebut mampu mendobrak pemikiran sebelumnya dan memberikan kontribusi yang besar dalam sejarah perkembangan ilmu.
Walau bagaimanapun penilaian orang, Kuhn telah berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran obyektif. Di samping itu teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade, gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.
Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan oleh penulis sebelumnya, maka terdapat relevansi yang kuat antara pemikiran Kuhn dengan perubahan paradigma dalam keilmuan Islam. Perubahan paradigma terjadi menyesuaikan dengan perkambangan kehidupan masyarakat. Dengan perubahan paradigma dalam keilmuan Islam diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi kehidupam masyarakat.
Perkembangan ilmu memang tidaklah dapat dipisahkan dengan historisnya, karena dari historis ilmu tersebut maka akan diketahui hakekat dari ilmu tersebut. Karena ilmu memiliki sifat yang terbuka untuk direduksi dan dikembangkan maka hendaknya pada ilmuwan bersikap kritisdan berani, sehingga tercapai kemajuan dalam keilmuan.

D.    KESIMPULAN
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Paradigma merupakan elemen primer dalam progress sains. Seorang ilmuan selalu bekerja dengan paradigma tertentu, dan teori-teori ilmiah dibangun berdasarkan paradigma dasar. Melalui sebuah paradigma seorang ilmuan dapat memecahkan kesulitan-kesulitan yang lahir dalam kerangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka ilmunya sehingga menuntut adanya revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut.
Menurut Kuhn, ilmu dapat berkembang secara open-ended (sifatnya selalu terbuka untuk direduksi dan dikembangkan). Kuhn berusaha menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah dengan demikian diharapkan filsafat ilmu lebih mendekati kenyataan ilmu dan aktifitas ilmiah sesungguhnya. Menurut Kuhn ilmu harus berkembang secara revolusioner bukan secara kumulatif sebagaimana anggapan kaum rasonalis dan empiris klasik sehingga dalam teori Kuhn, faktor sosiologis historis serta psikologis ikut berperan, selain itu menurut Kuhn, tidak ada paradigma yang sempurna dan terbebas dari kelainan-kelainan (anomali), sebagai konsekwensinya ilmu harus mengandung suatu cara untuk mendobrak keluar dari satu paradigma ke paradigma lain yang lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
Paradigma membantu seseorang dalam merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang diperoleh. Secara singkat paradigma dapat diartikan sebagai ” keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah dalam memandang sesuatu (fenomena)
Paradigma Kuhn telah memberikan kontribusi dalam dinamika ilmu pengetahuan dan peradapan manusia serta mampu mendobrak citra pencapaian ilmu pengetahuan yang absolt dan tidak terikat ruang dan waktu.
Mengakhiri pembahasan ini perlu disampaikan, bahwa konsepsi Kuhn ini tampaknya mendapat respon dari berbagai ilmuwan, yang melihat perkembangan disiplin ilmu masing-masing. Para ilmuwan melihat sedemikian jauh pengaruh, implikasi dan bahkan aplikasi dari konsepsi pemikiran filsafat keilmuan Thomas S. Kuhn dalam hampir seluruh bidang ilmu, seperti sejarah, ekonomi, politik, sosiologi, budaya, bahkan keagamaan.

DAFTAR RUJUKAN
Ari Yuana, Kumara. 2010. The Greatest Philosophers. Yogyakarta: Andi Offset
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Baqir, Zainal Abidin dkk. 2005. Integrasi ilmu dan Agama. Bandung: Mizan
Esha, Muhammad In’am. 2010. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-Maliki Press.
Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: Referensi
Kuhn, Thomas S. 2000. The Structure of Scientific Revolutions. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muslih, Muhammad. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar
Surajiyo. 2008 Filsafat dan perkembangan di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi aksara
Zubaedi, dkk. 2007. Filsafat Barat : Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media


[1] Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmaa dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar.109-110)
[2] Zubaedi. Filsafat Barat:Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.hlm 200
[3] Ibid, hlm 110
[4] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Peran Paradigmaa Dalam Revolusi Sains, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Hlm, 10)
[5] Surajiyo,. Filsafat dan perkembangan di indonesia, (Jakarta: PT. Bumi aksara. 2008)
[6] Surajiyo. Filsafat dan perkembangan di indonesia, (Jakarta: PT. Bumi aksara. 2008. hlm 70
[7] Zubaedi. Filsafat Barat:Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas S. Kuhn. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.hlm 203
[8] Muhammad Muslih. Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigmaa dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. (Yogyakarta: Belukar.116)
[9] Ibid. hlm 205
[10] Muhammad In’am Esha. Falsafah Kalam Sosial. Malang: UIN-maliki Press. 2010. Hlm 1
[11] Ibid, hlm 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar