ABSTRAK
Pendidikan merupakan salah satu investasi atau bahkan instrument
yang sangat berharga bagi masyarakat. Pendidikan yang dapat menjanjikan
terhadap masyarakat berarti pendidikan yang dapat mengantarkan perubahan yang
sangat berarti dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya, perubahan model
pendidikan yang beranekaragam dalam mewujudkan urgensitasnya tiada lain tidak
dapat dilepas pisahkan dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat yang
dimaksud (Thibaqahu Li Muqtadhal-Maqami).
Dan
dalam pengertian lain Pendidikan dalam pengertian umum adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kemampuan dan kepribadian. Pendidikan dilihat sebagai suatu
sistem adalah merupakan tempat berbagai masukan (input) ditranformasikan
menjadi keluaran (output).
Dan tujuan
pendidikan yang baik adalah Merealisasikan kepasrahan total kepada Allah, baik
pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada umumnya merupakan
tujuan akhir pendidikan Islam. Strategi pencapaian tujuan itu adalah dengan
melakukan pembinaan manusia yang bisa dan mampu menjalankan fungsinya sebagai
‘abdi Allah dan Khalifahnya yang membangun dunia menurut konsep Allah. Fungsi
‘abdi Allah, mengharuskan manusia memfokuskan fikiran, perasaan, kehendak,
serta tindakannya dengan niat menjalankan intruksi Allah. Sedangkan fungsi
khalifah Allah terwujud dalam upaya manusia memelihara, mendaya gunakan, serta
mengendalikan pemanfaatan alam dan sumber-sumbernya, menurut amanat dan
kehendak Allah.
Kata Kunci : Pendekatan
Studi Tarbiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kebermaknaan hidup seseorang
ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab tantangan yang dihadapinya. Ia
layak disebut sukses menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, bilamana
tantangan yang dihadapinya tidak mengorbankannya menjadi sosok manusia yang
menyerah kalah dalam kegagalan. Ada berbagai macam atau banyak sekali tantangan
dan masalah yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di tanah air.
Semakin hari tantangan pendidikan Islam semakin berat dan kompleks.
Kompleksitas masalah dan tantangan tersebut setidaknya ada dua, yaitu sebagai
berikut:[1]
Pertama, tantangan yang hadir dari luar dan biasa disebut sebagai
tantangan global. Tantangan ini tidak bisa dihindari begitu saja. Justru
sebaliknya kita harus merebut peran dan bisa mengikuti perkembangan
globalisasi. Karena dalam era globalisasi, perkembangan teknologi dan informasi
sangat cepat dan canggih sekali. Dalam konteks semacam ini, maka pendidikan
Islam harus ikut serta dan secara aktif merespons dengan menawarkan segala hal
sesuai dengan tuntutan zaman.
Kedua, masalah dan tantangan otonomi pendidikan. Tantangan ini muncul
seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang pada
akhirnya berimplikasi pada pendidikan dengan lahirnya otonomi pendidikan. Pada
satu sisi, tentu saja hal ini adalah sesuatu yang positif, tetapi di sisi lain
kita harus menyadari bahwa di era ini persaingan semakin ketat antara satu
lembaga pendidikan dengan lainnya. Maka, jelas diperlukan sumber daya manusia
yang berkualitas dan sumber pendanaan yang kuat dan besar. Tantangan-tantangan
di atas, tentu saja perlu segera direspon secara positif, manakala tidak segera
direspons, lambat laun pendidikan Islam pasti ditinggal.
Dunia pendidikan mempunyai
kompleksitas masalah, dari masalah dasar filosofis, gagasan, visi, misi,
institusi, program, manajemen, sumber daya manusia bidang kependidikan,
lingkungan, pendidikan, pembiayaan, kepercayaan, dan partisipasi masyarakat,
kualitas out put pendidikan, serta relevansinya dengan dinamika
masyarakat dan tuntutan sosio kultural sekitarnya.
Ahmed (1990) Pendidikan sebagai
suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk
mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal
kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan
aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Ketika sudah hidup di dunia, manusia
mempunyai berbagai macam keinginan seperti keinginan berkkumpul dengan lawan
jenis, menyukai keindahan perhiasan, menduduki suatu jabatan, dan lainnya.
Keinginan-keinginan demikian ini tidak lepas dari pengaruh social-edukasi yang
mengarahkan atau membentuknya. Pendidikan Islam punya tugas besar untuk
membentuk manusia supaya keinginan-keinginannya tetap di jalur yang benar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
menjadi problematika pendidikan Islam dan bagaimana solusi tersebut?
2.
Bagaimana
tujuan pendidikan Islam?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui problematika pendidikan Islam dan solusi tersebut
2.
Untuk
mengetahui tentang tujuan pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Dinamika
Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan salah satu
investasi atau bahkan instrument yang sangat berharga bagi masyarakat.
Pendidikan yang dapat menjanjikan terhadap masyarakat berarti pendidikan yang
dapat mengantarkan perubahan yang sangat berarti dalam masyarakat tersebut.
Selanjutnya, perubahan model pendidikan yang beranekaragam dalam mewujudkan
urgensitasnya tiada lain tidak dapat dilepas pisahkan dengan tuntutan situasi
dan kondisi masyarakat yang dimaksud (Thibaqahu Li Muqtadhal-Maqami).[2]
Prosesi perkembangan pendidikan di
tengah masyarakat ternyata sering kali terjadi kehilangan ruh
al-tarbiyah-nya, sehingga usaha semangat untuk mengedepankan pendidikan terhadap
masyarakat dibanding lainnya tidak jarang terabaikan. Problematika internal
pendidikan masyarakat yang sangat komprehensif perlu mendapatkan perhatian dan
solusi terbaik, lebih-lebih masyarakat yang belum dapat menikmati layaknya
pendidikan formal (al-Dlu’afa wa al-Mustadl’afin).
Bertolak dari asumsi dasar di atas,
setidaknya dapat melahirkan hasil eksplorasi intelektual dikalangan kaum
pemikir, ulama dan cendekiawan terhadap dinamika pendidikan Islam pada masa
klasik dan kontemporer di seputar kawasan Indonesia dewasa ini.
a.
Kegelisahan
Intelektual terhadap Pendidikan Islam
Berangkat dari problematika
pendidikan secara umum di Indonesia dewasa ini dapat dijelaskan oleh Yahya
Muhaimin (Mendiknas saat pemerintahan gus Dur sebagai berikut:[3] 1)
masih rendahnya pemerataan pendidikan; 2) masih rendahnya mutu dan relevansi
pendidikan; 3) masih lemahnya managemen pendidikan. Lebih jelas pula, A. Malik
Fajar (Mendiknas RI pada masa pemerintahan Megawati dan pakar Pemikiran
Pendidikan Islam) kita juga menandaskan sebagai berikut:[4] a)
stigma keterpurukan bangsa; b) eskalasi konflik; c) krisis moral dan etika; d)
pudarnya identitas bangsa. Namun demikian, guru besar UIN Syarif Hidayatullah
itu lebih menekankan kondisi riil bangsa ketika kita menginginkan berbagai
rancangan dalam mewujudkan pengembangan pendidikan Islam untuk upaya merespon
tuntutan global di negeri ini.
Dari faktor lain pula, secara
internal pendidikan sendiri telah terdapat berbagai problem di tengah realitas
masyarakat, yang diantaranya adalah:[5]
1)
Problem
pendidikan semenjak sistem colonial Belanda masuk ke-Indonesia secara tidak
sadar membangun “mitos” (harapan kosong tidak tentu arah) pada kesuksesan.
Pemahaman yang menyesatkan banyak kalangan bahwa proses untuk menuju “perubahan
dan kemajuan” yang berujung pada status sosial, harus lewat pendidikan secara
formal. Padahal realitas logika di atas sebagaimana berbenturan dengan realitas
penggaguran yang semakin “menyampah”, janji dan jaminan bahwa lembaga
pendidikan menghasilkan orang sukses, praktis hanya diperuntukkan pada kelompok
mereka yang berduit dan para bangsawan dalam lingkar elit kolusi dan nepotisme.
Sekolah sudah gagal membentuk manusia yang berdikari dan berkarakter serta
berkepribadian luhur dan tawakkal.
2)
Problem
pendidikan secara internal sebagai komuditas bisnis memenuhi berbagai tuntutan
pragmatis, mengesampingkan pembentukan karakter perjuangan dan keberpihakan
terhadap problem sosial. Paradigma pendidikan digiring untuk memenuhi kota
industry dan pasar.
3)
Problem
pendidikan sebagai instrument (apparatus) kekuasaan Negara, sehingga
tidak mempunyai independensi dalam menentukan arah dalam mengawal proses
perubahan sosial.
4)
Problem
pendidikan sebagai proses perpanjangan tangan dari sistem kapitalisasi dunia
Barat. Konsekwensinya sistem dan materi yang diajarkan hanyalah mengarahkan pada
proses sekularisme. Akibatnya agama dan sistem nilai spritualtas sudah tidak
layak diajarkan, kalau perlu dianggap yang tidak rasional, karena tidak mampu
memenuhi kebutuhan industry dan pasar.
5)
Kemunculan
model pendidikan nonformal mulai dijadikan ajang bisnis komersil dengan biaya
tinggi mengumbar janji, sehingga kehadirannya hanya sebagai candu untuk
menampung alumni frustasi.
b.
Pesantren:
Madrasah dan Perkembangannya
Pendidikan di Era-Majapahit masih
memiliki sistem pendidikan (madrasah) yang amat sangat sederhana dan
tradisional apa adanya. Namun lebih menarik lagi, ketika Era- Mataram
“pesantren” sudah menjadi lembaga pendidikan yang formal. Pola tatanan atau
sistem pengembangannya sudah terdapat klasifikasi yang sudah dianggap mapan dan
dapat digambarkan sebagai berikut: 1) tingkatan rendah, terdapat pengkajian
al-Qur’an bagi anak-anak; 2) tingkatan menengah, pengkajian kitab-kitab (al-Kutb
al-Turats) bagi pemuda-pemuda desa; 3) tingkatan takhasus, adalah
pesantren keahlian; 4) tingkatan thariqat, pendidikan tinggi yang
disediakan untuk santri-santri senior yang sudah matang.[6]
Konstruksi semangat pengembangan
pesantren yang memiliki misi pendidikan, dakwah dan keagamaan ternyata mampu
meyedot perhatian masyarakat. Karena itu, pesantren itu berupaya mencerdaskan,
meningkatkan kedamaian, dan membantu sosio-psikis mereka. Jadi, tidak
mengherankan jika kemudian pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya,
terutama bagi mereka yang menjadi muslim. Begitu pula, juga tidak mengherankan
jika Belanda “pesantren” merupakan antithesis terhadap gerak krestenisasi dan
upaya pembodohan rakyat.
Dari sedikit paparan di atas, dapat
kiranya kita menganalisis bahwa madrasah yang berkembang di lingkungan
pesantren masuk cikal bakal dalam kategori jenjang-jenjang sebagaimana berikut:
MI (Madrasah Ibtdaiyyah), MTS (Madrasah Tsanawiyah), MA (Madrasah Aliyah) atau
bahkan PTI (Pendidikan Tinggi Islam).
c.
Madrasah:
Menuju Pendidikan Islam Kontemporer
Dinamika perkembangan madrasah
selanjutnya, dapat dikatakan sejalan dengan berdirinya organisasi-organisasi
Islam di Indonesia sebagaimana halnya Muhammadiyah (berdiri tahun 1912 M)
dengan majelis pendidikannya, Nahdlatul Ulama (berdiri tahun 1926 M) dengan
pendidikan Ma’arifnya, demikian juga al-Irsyad (berdiri tahun 1913 M),
Jamiyyatul al-Washliyah (berdiri tahun 1930 M), dan lain-lain.
Bergerak dari berbagai organisasi
besar itulah, proses perkembangan madrasah mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Muhammad Tholhah Hasan (Mantan Menag RI di Era pemerintahan Gus Dur)
menjelaskan bahwa madrasah tingkat dasar (MI), menengah pertama (MTS), menengah
atas (MA), baik negeri maupun swasta mencapai 39,309 madrasah. Perkembangan
madrasah dari periode tahun 1999-2000, sampai dengan tahun 2003-2004 meningkat
dari 34,07 madrasah menjadi 39,309 madrasah, jadi setiap tahun meningkat
sekitar 3%, dan jumlah tersebut belum termasuk madrasah-madrasah baru yang
belum terdata, karena lokasinya banyak yang jauh di desa-desa yang sulit
dijangkau.
Selanjutnya, upaya dalam
meningkatkan pengembangan madrasah agar tidak tertinggal dengan non madrasah
telah mengacu pada 4 karakteristik yang dimiliki. Pertama, karakter
islami; kedua, karakter populis; ketiga, karakter keragaman; keempat,
karakter mandiri. Jadi, karakteristik madrasah itu merupakan daya tarik
tersendiri untuk membedakan pendidikan dalam madrasah dengan yang lainnya.[7]
d.
Mencari Solusi
Problematika Pendidikan Islam
Bertolak dari kegelisahan terhadap
pendidikan Islam kita, setidaknya kita dapat berpijak dalam mencarikan solusi
alternative yang terbaik sebagai berikut:
Pertama, menurut Azyumardi Azra bahwa gagasan pembaharuan pendidikan Islam
di Indonesia setidaknya terdapat dua kecenderungan sebagai berikut:[8] 1)
adalah Adopsi sistem dari lembaga pendidikan modern (Barat/Belanda) secara
hampir menyeluruh. Titik tolak modernism Islam di sini adalah sistem dan
kelembagaan pendidikan modern (ala Barat/Belanda), bukan sistem dan lembaga
pendidikan Islam tradisional. Hal ini juga pernah diimplementasikan sekolah
Adabiyahnya Abdullah Ahmad (1915), dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan
Muhammadiyah; 2) adalah bertolak dari sistem dan lembaga pendidikan Islam yang
sudah ada (seperti madrasah dan pesantren), kemudian dimodernisir dengan
mengadopsi aspek-aspek tertentu, seperti aspek kurikulum, managemen, metodologi
dan sistem pembelajaran.
Kedua, Umar as-Syaibany, seorang tokoh pendidikan dari Libya menyarankan
di dalam memajukan pendidikan Islam sekarang, di samping menggunakan rujukan
al-Qur’an maupun al-Sunnah, khazanah Islam, konsep-konsep serta pengalaman
berharga dari pakar-pakar pendidikan Islam sepanjang sejarahnya, juga
menggunakan atau memanfaatkan rujukan dan konsep serta pengalaman dan
temuan-temuan kontemporer, yang dihasilkan melalui beberapa hal: a)
penelitian-penelitian ilmiah, yang dilakukan oleh pakar pendidikan, baik yang
muslim maupun non muslim; b) pengalaman dan temuan empiric dari berbagai macam
bangsa, yang muslim maupun non muslim; c) dari seminar dan dokumen-dokumen yang
dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan internasional tentang pendidikan, dengan
catatan setelah semua itu dikaji dengan cermat dan cerdas, mana yang cocok
dengan kebutuhan pendidikan Islam di tiap-tiap daerah, dan sesuai dengan tradisi
dan budayanya masing-masing, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran dan nilai-nilai dasar Islam yang dipeganginya.[9]
Ketiga, A. Malik Fajar, seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga berpendapat bahwa pengembangan pendidikan Islam ke depan secara realistis
harus disinkronisasikan dengan kebijakan nasional guna membebaskan bangsa dari
himpitan berbagai persoalan. Sedangkan berbagai prinsip strategis pengembangan
dapat diuraikan, antara lain: pertama, Orientasi pengembangan sumber
daya; kedua, Ke arah pendidikan Islam multikulturalis; ketiga, Mempertegas
misi dasar “Li Utammima Makarima al-Akhlaq” ; keempat, Spiritualisasi
watak kebangsaan fondasi dari bangunan kebangsaan itu menurut perspektif Islam
adalah iman.
Keempat, Muhammad Tholhah Hasan, menandaskaan pula bahwa perkembangan dan
kemajuan Perguruan Tinggi di Indonesia sampai saat ini (tahun 2006 M) banyak
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Kredibilitas kepemimpinan;
(2) Kreativitas managerial kelembagaan; (3) Pengembangan program akademik yang
jelas; (4) Kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.[10]
Dari berbagai uraian para pakar dan
ilmuan di atas, memiliki kontribusi yang sangat berharga terhadap pemecahan
problematika pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Berbagai solusi terbaik
yang dikemukakan tersebut tidak hanya terbatas dalam pesantren, madrasah (MI),
(MTS), (MA), atau bahkan Pendidikan Tinggi Islam (PTI) kita, melainkan juga
jawaban atas problematika bangsa dan Negara.
2.
Pengertian Lingkungan
Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan
proses pendidikan Islam berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam
rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan Islam. Dari
pernyataan ini dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu
institusi atau lembaga di mana pendidikan itu berlangsung. Dalam berbagai
sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang
pengertian lingkungan pendidikan. Kajian lingkungan pendidikan ini biasanya
terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan
pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan tarbiyah
Islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri
keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Al-Qur’an tidak mengemukakan
penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan
pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan pendidikan, yaitu rumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan,
madrasah, dan universitas. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa
lingkungan atau tempat berguna untuk menunjang suatu kegiatan, termasuk
kegiatan pendidikan, karena tidak ada satupun kegiatan yang tidak memerlukan
tempat dimana kegiatan itu diadakan. Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyah, ia
mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar
mengajar secara aman, tertib, dan berkelanjutan. Untuk itu al-Qur’an memberi isyarat
tentang pentingnya menciptakan suasana saling menolong saling menasehati, dan
seterusnya agar kegiatan yang dijalankan manusia dapat berjalan dengan baik.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah
tersebut, kaum Muslim belajar di Kutab di mana diajarkan bagaimana cara membaca
dan menulis huruf al-Qur’an, dan kemudian diajarkan ilmu agama dan ilmu
al-Qur’an. Dengan memperhatikan uraian dan informasi di atas dapat
diidentifikasikan bahwa lingkungan atau tempat berlangsungnya kegiatan
pendidikan Islam itu terdiri dari rumah, masjid, kutab, dan madrasah. Pada
perkembangan selanjutnya institusi lembaga pendidikan ini disederhanakan
menjadi lingkungan sekolah pendidikan dan pendidikan luar sekolah.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, misalnya
mengatakan sebagai berikut:[11]
a.
Suatu
pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di
sekolah atau di luar sekolah
b.
Satuan
pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang
berjenjang dan berkesinambungan
c.
Satuan
pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan
pendidikan yang sejenis.
Nilai-nilai ajaran Islam yang hakiki
adalah yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan dioperasionalkan oleh
Muhammad Rasulullah, SAW. di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai
perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan orientasi ilmu pendidikan Islam.
a)
Perkembangan
Pemikiran tentang Pendidikan Islam
Para ulama salaf dan khalaf (baru)
serta para ilmuwan muslim, terutama yang menaruh minat terhadap ilmu pendidikan
Islam telah banyak menginterpretasikan dan menganalisis sistem nilai yang
terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Hadist menjadi ajaran dan pedoman yang
mendasi proses kependidikan Islam. Sedangkan operasionalisasinya dalam
bentuk-bentuk teknisnya diwujudkan dalam berbagai ragam model dan pola serta
metode sesuai dengan taraf kemampuan berpikir konsepsional mereka masing-masing
dari zaman ke zaman.
Yang esensial dari pendekatan
filosofis ini adalah lahirnya sikap dasar dan pandangan dasar yang meyakini
bahwa Islam sebagai agama wahyu (agama samawi) mengandung konsep-konsep,
wawasan-wawasan dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhadap pemikiran
umat manusia dalam rangka menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Dalam
permasalahan kependidikan Islam yang berhadapan dengan tantangan dan tuntutan
hidup umat manusia yang semakin meningkat, nilai-nilai Islam tidak akan dapat
berfungsi secara actual dan kontektual dalam proses perkembangan kehidupan di
segala bidang tanpa ditranformasikan melalui proses kependidikan dalam berbagai
modelnya.
Agar supaya proses transformasi
nilai-nilai Islam itu berjalan konsisten kea rah tujuan pendidikan Islam, maka
diperlukan suatu pedoman filosofis yang bersifat ideal yang lentur (fleksibel)
dan kontektual (tidak tekstual saja) dengan tuntutan dari realitas kebutuhan
manusia.
Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi
dan wawasan serta pandangan hidup universal, memberikan dorongan motivatif
manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui rasio (akal pikiran)
sejauh mungkin sampai pada zat Allah
yang tidak mungkin dicapai oleh rasio itu, rasio manusia dalam memperdalam dan
memperluas dimensi ilmu pengetahuannya tidak terlepas daripada orientasi kepada
Tuhannya, karena ia menempatkan kekuasaan Allah di atas segala-galanya,
termasuk kemampuan manusia itu sendiri. Dengan orientasi demikian maka manusia
tidak akan bersikap takabbur (arogan) seolah-olah dengan kemampuan akal
pikirannya sendiri tanpa batas.
Manusia yang menyadari bahwa dirinya
adalah ciptaan Allah dalam ikhtiar mencari dan mengembangkan ilmu
pengetahuannya senantiasa ditunjukan untuk beribadah atau berbakti kepada
Allah. Semakin bertambah ilmu pengetahuannya, ia semakin bertambah tebal
keimanannya kepada Tuhannya. Dalam pandangan Islam akal pikiran harus
difungsikan secara tepatguna untuk menemukan hakikat hidupnya selaku hamba
Allah, selaku makhluk sosial dan selaku “khalifah” di atas bumi.[12]
b)
Orientasi Ilmu
Pendidikan Islam
Islam sebagai agama wahyu yang lebih
mementingkan hidup masa depan yang bernilai duniawi-ukrawi telah meletakan
pandangan dasar teoritis dalam berbagai uslub ayat-ayat al-Qur’an (gaya bahasa)
yang antara lain dinyatakan dalam surat al-Hasyr, 18, sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr, 18).
Oleh karena sumber ilmu pengetahuan
seperti yang dipergelarkan wawasannya dalam al-Qur’an adalah maha luas, maka
ilmu-ilmu pengetahuan yang diharapkan Allah untuk tetap menjadi penopang
kematapan keimanan kepada Allah SWT, dapat diringkaskan ke dalam sumber
orientasi kea rah mana pengembangan teoritis ilmiah ditunjukan yaitu:[13]
1)
Orientasi
pengembangan kepada Allah yang maha mengetahui, yang menjadi sumbernya segala
sumber ilmu pengetahuan.
2)
Orientasi
pengembangan kea rah kehidupan sosial manusia, di mana mu’amalah “bainan naas”
(pergaulan antara manusia) semakin kompleks dan luas ruang lingkupnya akibat
pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi modern yang maju pesat.
3)
Orientasi
pengembangan kea rah alam sekitar yang diciptakan Allah untuk kepentingan hidup
umat manusia, mengandung berbagai macam kekayaan alam yang harus digali,
dikelola dan dimanfaatkan oleh manusia bagi kesejahteraan hidupnya di dunia
untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
3.
Tujuan
Pendidikan Islam
Merealisasikan kepasrahan total
kepada Allah, baik pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada
umumnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam (Syed-Sajjad Husain dan Syed
Ali Ashraf, 1979; Sa’d Mursi Ahmad, 1973). Strategi pencapaian tujuan itu
adalah dengan melakukan pembinaan manusia yang bisa dan mampu menjalankan
fungsinya sebagai ‘abdi Allah dan Khalifahnya yang membangun dunia menurut
konsep Allah (Muhammad Qutub, 1400 H).[14]
Fungsi ‘abdi Allah, mengharuskan
manusia memfokuskan fikiran, perasaan, kehendak, serta tindakannya dengan niat
menjalankan intruksi Allah. Sedangkan fungsi khalifah Allah terwujud dalam
upaya manusia memelihara, mendaya gunakan, serta mengendalikan pemanfaatan alam
dan sumber-sumbernya, menurut amanat dan kehendak Allah. Fungsi terakhir ini
dilukiskan Iqbal dalam untaian syairnya:
Thou didst create night and I made
the lamp
Thou didst create clay and I made
the lamp
Kau menciptakan malam dan aku yang
membuat pelita
Kau menciptakan tanah lait dan aku
yang membuat piala.
Tugas kekhalifahan tersebut menurut
Sader merupakan unifikasi kompenen pemberi tugas (Allah), penerima tugas
(manusia), tempat (lingkungan), serta materi penugasan. Keterpaduan komponen
tersebut secara tepat akan menghasilkan manusia-manusia rabbani yang teistik,
manusiawi, ekologik, dan Qur’ani.
Lalu bagaimana seharusnya sikap
manusia yang diangkan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi? Menurut Ali
Syariati adalah manusia “teomorfik”, yang didalamnya ruh dari Tuhan dapat
mengalahkan separuh dari wujudnya yang berhubungan dengan iblis, tanah liat,
dan edapan tanah bercampur air. Ia dapat bebas dari kebimbangan dan kontradiksi
antara “dua ketidak mutlakan”.
Kasus Indonesia umpamanya, trikhotomi
lembaga pendidikan (Madrasah-IAIN-PTAIS, dan sekolah umum-perguruan tinggi umum
berciri keislaman) yang telah berlangsung sekian lama itu tentu memerlukan
orientasi baru yang sejalan dengn gerak budaya bangsa. Reorintasi tujuan
strategik pendidikan Islam berarti menata kembali upaya mewujudkan manusia
beriman yang meyakini suatu kebenaran mutlak dan sekaligus berupaya
membuktikannya melalui kemampuan ‘aql, rasa, dan tindakan.
Orientasi pendidikan Islam tidak
semata terfokus pada upaya transformasi sains, teknologi, budaya, agama, tetapi
juga harus diarahkan pada kompetesi pemecahan problem kehidupan yang baru dan
yang akan datang dengan bekal komitment keimanannya, sesuatu orientasi
futuristik yang memandang out put pendidikan Islam sebagai investasi
dinamik kehidupan manusia dunia-akhirat.
Tulisan Syekh Abdul Mabud dalam “Curriculum
Designing for Natural Sciences from an Islamic point of View”(dalam Muslim
Education Quarterly) nampaknya representative dalam memberikan landasan
konseptual dan operasional, bagaimana misalnya, merumuskan tujuan pendidikan
ilmu-ilmu pengetahuan alam menurut sudut pandang Islam, yang seharusnya
diorentasikan pada:[15]
(1)
Pemahaman
berbagai makhluk fisik dan biologic sebagai manifestasi keesan, ciptaan,
kekuasaan, keadilan, keagungan, dan keindahan Allah melalui karyanya (Tuhan
sebagai pencipta agung segala sesuatu dan ciptaan itu sebagai refleksi dari
sifat-sifatnya).
(2)
Pemahaman
mengenai martabat dan kedudukan makhluk dalam kerangka penciptaan semesta
(kesatuan alam).
(3)
Mampu memahami
berbagai prinsip dan implikasi ilmu dalam konteks pengetahuan yang digali
melalui al-Qur’an dan sunnah (rangkaian antara pengetahuan saintifik dan
pengetahuan trasendental atau wahyu).
(4)
Mampu memahami
bahwa penelitian dan aplikasi ilmu-ilmu harus terpadu dengan nila-nilai etik
dan moral agama (aplikasi ilmu).
Tujuan pendidikan akan sama dengan
gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak
mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia
maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu
haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia
menginginkan semua manusia, termasuk anak keterunannya, menjadi manusia yang
baik. Sampai di sini tidaklah ada perbedaan akan muncul tatkala merumuskan
ciri-ciri manusia yang baik itu. Kata Ahmad Syafi’i Maarif, manusia yang baik
merupakan sosok manusia yang tidak menghabiskan masa hidup yang ringkas ini
dengan sia-sia.[16]
Manusia hidup di alam, dan
menjadikan alam sekitar kehidupannya. Bahkan manusia menjadi bagian dari alam
sekitarnya. Tetapi manusia bukanlah bagian dari alamnya sebagaimana
bagian-bagian alam lainnya. Manusia merupakan bagian alam aktif. Manusia
mendapatkan dan mengambil kebutuhan hidupnya dari alam sekitarnya dan mengolah
sedemikian rupa sehingga sesuai dan memadai dengan kebutuhannya. Bahkan manusia
memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyesuaikan alam sekitarnya menurut dam
sesuai dengan kebutuhan hidupnya, manusia berbudaya dan membudayan alam lingkungannya,
untuk mendapatkan kehidupan yang baik, enak, dan nyaman.
Dalam pemahaman BS Mardiatmadja,[17]
pendidikan merupakan suatu usaha bersama dalam proses terpadu (terorganisir)
untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil
tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan sang
pencipta. Dengan proses itu, seorang manusia dibantu untuk menjadi sadar akan
kenyataan-kenyataan dalam hidupnya, bagaimana dimengerti, dimanfaatkan,
dihargai, dicintai, apa kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya agar dapat
sampai kepada alam, sesama, dan Tuhan, sebagai tujuan hidupnya.
Menurut Tholhah Hasan, pendidikan
dalam pengertian umum adalah usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan
kepribadian. Pendidikan dilihat sebagai suatu sistem adalah merupakan tempat
berbagai masukan (input) ditranformasikan menjadi keluaran (output).[18]
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara.[19]
“Seandainya anak cucu Adam (manusia)
mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah
emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam kecuali ditutup dalam
tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad), adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya
mengingatkan manusia supaya mempunyai kekuatan pengendalian dalam dirinya,
seperti kekuatan mengendalikan kecenderungan berburu kepentingan duniawi atau serakah
terhadap hak-hak orang lain. Keserakahan manusia tidak akan pernah hilang
kecuali setelah kematian menjemputnya. Dalam bahasa Arab, serakah disebut tamak
yang artinya sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Karena
ketidakpuasannya itu, segala cara pun ditempuh. Serakah adalah salah satu dari
penyakit hati.
4.
Aspek-Aspek
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam pada hakikatnya
mengandung arti dan peranan yang sangat luas. Arti dan peranan tersebut sejalan
dengan aspek-aspek pengembangan menjadi sarana garapan para pendidik Islam
mempunyai pengertian yang sama bahwa pendidikan Islam mencakup aspek-aspek:
a)
Pendidikan
keagamaan
b)
Pendidikan
akliah dan ilmiah
c)
Pendidikan
akhlak dan budi pekerti
d)
Pendidikan
jasmani dan kesehatan
Aspek-aspek ini berperan dalam
membimbing pengembangan potensi-potensi yang dimiliki manusia, yakni meliputi:
a.
Pengembangan
kognitif, yaitu kemampuan intelektual yang terus dikembangkan melalui
pendidikan Islam
b.
Pengembangan
afektif, adalah kekhususan mengembangkan akal melalui pengetahuan dan pemahaman
terhadap kenyataan dan kebenaran, manusia harus mengalami proses pengembangan
perasaan dan penghayatan agar menjadi lebih luas
c.
Pengembangan
psikomotorik, adalah ilmu pengetahuan termanifestasi dalam akhlak dan amal
saleh.
Kebenaran manusia sebagai makhluk
sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan dari arti peranan pendidikan
Islam. Pendidikan Islam merupakan motor penggerak untuk pengembangan nilai-nilai
sosial dan susila manusia. Hakikat pendidikan Islam merupakan pembimbing menuju
peningkatan harkat dan martabat manusia sesuai dengan fitrah kejadiannya. Pendidikan
Islam mencakup bidang-bidang:[20]
(1)
Tarbiyah ruh, pendidikan jiwa/mental spiritual
(2)
Tarbiyah aqli, pendidikan akal pikiran/ilmu pengetahuan
(3)
Tarbiyah jismi,
pendidikan jasmani, termasuk kesehatan.
Modal pendidikan Islam adalah dalam
lingkungan keluarga dan masjid sebagai pusat pendidikan. Pendidikan Islam
dipraktikkan melalui sistem pendidikan terpadu mulai dari tingkat pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan Islam mencakup berbagai kehidupan
seperti pendidikan fisik, akal, agama, dan akhlak. Pendidikan Islam prinsipnya
ada dua, yaitu materi didikan yang berkenaan dengan kedamaian, dan materi yang
berkenaan dengan masalah hakikat.
5.
Latar Belakang
Ilmu Pendidikan Islam
Sejak manusia menghendaki kemajuan
dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan,
pelestarian, dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka, dalam
sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama
dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan
kemajuan masyarakatnya.
Menurut keyakinan umat Islam,
sejarah pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga Adam. Dalam keluarga
adamlah telah dimulai proses kependidikan, meskipun dalam ruang lingkup yang
terbatas sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Kemampuan dasar
manusia baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah merupakan modal dasar
untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan
untuk pengembangan tersebut adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan
tingkat daya cipta, daya rasa, dan karsa masyarakat beserta anggota-anggotanya.
Karena adanya kaitan antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling
berpacu berkat adanya ketiga daya tersebut, maka pendidikan menjadi semakin
penting. Pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan.
Ajaran Islam menuntut agar seluruh
umat muslim dapat menjadi manusia yang beriman, berilmu pengetahuan, dan
beramal saleh, seperti yang di firmankan Allah dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari
siksa neraka.(QS. Ali-Imran
(3): 190-191).
Apabila manusia yang berpredikat
“muslim” benar-benar menjadi penganut agama yang baik, ia harus menaati ajaran
Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam. Untuk tujuan itulah,
manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam.
Pendidikan Islam sudah ada sejak
zaman Nabi Muhammad SAW itu terbukti ketika Nabi SAW mengajarkan agama Islam
kepada kaum awam yang lemah, kepada kaum bangsawan, kabilah dan raja-raja di
mana saja dan kapan saja. Dan ketika Nabi saw. memerintahkan kepada tawanan
perang badar untuk mengajarkan baca dan tulis kepada prajurit sebagai tebusan.
Dari peristiwa tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam telah
dilaksanakan meskipun masih sangat terbatas.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW
pendidikan Islam dibagi menjadi dua periode, yaitu: periode Madinah dan periode
Mekah. Dalam periode Mekah, pendidikan Islam dilakukan secara nonformal bahkan
secara rahasia dari rumah ke rumah. Tetapi kegiatan tersebut telah melahirkan
generasi sahabat besar yang dapat menjadi pengemban cita-cita Islam. Jadi,
pendidikan Islam saat itu telah berfungsi sebagai media perintis jalan
khususnya untuk menancapkan tonggak akidah yang kelak akan mewarnai hari depan
Islam dan umatnya. Sedangkan pada periode Madinah, pendidikan Islam tidak lagi
dilaksanakan diam-diam, tetapi secara terang-terangan atau terbuka meskipun
bentuknya masih tetap nonformal. Materinya berupa akidah, syariah, dan muamalah
kemasyarakatan.
Di Indonesia pendidikan Islam lahir,
tumbuh, dan berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan
perkembangan Islam dan umat Islam. Pendidikan Islam itu menjadi tolak ukur
bagaimana Islam dengan umatnya memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial,
ekonomi, politik, maupun budaya. Kegiatan pendidikan Islam di Indonesia tidak
hanya mendasarkan pada makna pendidikan dalam arti sempit, melainkan dalam arti
yang sangat luas, yaitu pendidikan yang syarat dengan nilai-nilai pembangunan
umat dan bangsa Indonesia dalam berbagai tata kehidupan.
6.
Preoditas
Pendidikan Islam
Segi sejarah/periode pendidikan
Islam mencakup hal-hal berikut:[21]
a.
Metode
pembinaan Islam yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad saw. menerima wahyu
dan menerima pengangkatannya rasul dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan
budaya umat Islam.
b.
Periode pertumbuhan
pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad. Pada masa
pertumbuhan dan perkembangan itu, pendidikan Islam mempunyai dua sasaran:
v Generasi muda nsehingga generasi penerus dan masyarakat bangsa lain
yang belum menerima ajaran Islam
v Penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam
masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut
sebagai dakwah Islami.
c.
Periode
kejayaan pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbaasiyah
sampai dengan jatuhnya Baghdad yang diwarnai oleh berkembangnya ilmu akidah dan
timbulnya madrasah serta perkembangan kebudayaan Islam.
d.
Periode
kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir
ke tangan Napoleon yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam
dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat.
e.
Periode
pembaharuan pendidikan Islam berlangsung sejak penduduk mesir sampai masa kini.
Lembaga pendidikan Islam dapat dibagi menurut periodesasinya, yaitu
lembaga pendidikan pendidikan Islam zaman Rasulullah saw. pendidikan Islam
sebagai sebuah sistem kegiatan di dalamnya mengandung aspek, tujuan,
pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, dan sebagainya yang antara satu
dan yang lainnya saling berkaitan. Aspek pendidikan selanjutnya telah telah
membentuk berbagai disiplin ilmu pendidikan Islam, yaitu ilmu yang membahas
berkaitan dengan pendidikan. Tujuan pendidikan yang dipadukan dengan filsafat
pendidikan Islam itu membahas lingkungan. Dari berbagai keadaan itulah
selanjutnya dibuka fakultas tarbiyah pada seluruh PTIN-PTIS yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Periode pendidikan baik bentuk
informal maupun nonformal Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang.
Pendidikan Islam di Indonesia hingga kini masih berkiblat kepada pola
pendidikan Islam di Timur Tengah, baik ditinjau dari segi sistem, organisasi
maupun kelembagaannya perubahan dan perkembangan pola dan gaya pendidikan
Negara-negara Barat pun tampak tidak terlepas dari konsepsi yang dikembangkan
oleh Negara-negara Timur Tengah seperti Mesir.
Pendidikan Islam di Indonesia dalam
arti keseluruhan sama dengan Timur Tengah, sistem pendidikan Islam di Indonesia
telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang sejalan dengan sistem
dan pola pendidikan nasional pendidikan Islam telah mengikuti alur kebijakan
pendidikan nasional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Berangkat dari
problematika pendidikan secara umum di Indonesia dewasa ini dapat dijelaskan
oleh Yahya Muhaimin (Mendiknas saat pemerintahan gus Dur sebagai berikut: 1)
masih rendahnya pemerataan pendidikan; 2) masih rendahnya mutu dan relevansi
pendidikan; 3) masih lemahnya managemen pendidikan. Lebih jelas pula, A. Malik
Fajar (Mendiknas RI pada masa pemerintahan Megawati dan pakar Pemikiran
Pendidikan Islam) kita juga menandaskan sebagai berikut: a) stigma keterpurukan
bangsa; b) eskalasi konflik; c) krisis moral dan etika; d) pudarnya identitas
bangsa.
Bertolak dari kegelisahan terhadap pendidikan Islam kita,
setidaknya kita dapat berpijak dalam mencarikan solusi alternative yang terbaik
yaitu:
Pertama, gagasan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia setidaknya
terdapat dua kecenderungan sebagai berikut: 1) adalah Adopsi sistem dari
lembaga pendidikan modern (Barat/Belanda) secara hampir menyeluruh. Titik tolak
modernism Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (ala
Barat/Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. 2)
adalah bertolak dari sistem dan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada
(seperti madrasah dan pesantren), kemudian dimodernisir dengan mengadopsi aspek-aspek
tertentu, seperti aspek kurikulum, managemen, metodologi dan sistem
pembelajaran.
Kedua, Umar as-Syaibany, seorang tokoh pendidikan dari Libya menyarankan
di dalam memajukan pendidikan Islam sekarang, di samping menggunakan rujukan
al-Qur’an maupun al-Sunnah, khazanah Islam, konsep-konsep serta pengalaman
berharga dari pakar-pakar pendidikan Islam sepanjang sejarahnya, juga
menggunakan atau memanfaatkan rujukan dan konsep serta pengalaman dan
temuan-temuan kontemporer, yang dihasilkan melalui beberapa hal: a)
penelitian-penelitian ilmiah, yang dilakukan oleh pakar pendidikan, baik yang
muslim maupun non muslim; b) pengalaman dan temuan empiric dari berbagai macam
bangsa, yang muslim maupun non muslim; c) dari seminar dan dokumen-dokumen yang
dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan internasional tentang pendidikan.
Ketiga, A. Malik Fajar, seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga berpendapat bahwa pengembangan pendidikan Islam ke depan secara realistis
harus disinkronisasikan dengan kebijakan nasional guna membebaskan bangsa dari
himpitan berbagai persoalan.
Keempat, Muhammad Tholhah Hasan, menandaskaan pula bahwa perkembangan dan
kemajuan Perguruan Tinggi di Indonesia sampai saat ini (tahun 2006 M) banyak
ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Kredibilitas kepemimpinan;
(2) Kreativitas managerial kelembagaan; (3) Pengembangan program akademik yang
jelas; (4) Kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.
2.
Tujuan
pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu.
Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang
bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia
menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan
sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak
keterunannya, menjadi manusia yang baik. Sampai di sini tidaklah ada perbedaan
akan muncul tatkala merumuskan ciri-ciri manusia yang baik itu. Kata Ahmad
Syafi’i Maarif, manusia yang baik merupakan sosok manusia yang tidak
menghabiskan masa hidup yang ringkas ini dengan sia-sia. Selain itu tujuan
pendidikan Islam busa disebut dengan merealisasikan kepasrahan total kepada
Allah, baik pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada umumnya
merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori
Muhammad, 2009, Studi Islam Kontemporer, UIN-Malang Press
Ahmad
Mursi Sa’d, 1973, Dalam Qiraat fi at-Tarbiyah al-Ma’asirah, Kairo: Alam
al-Kutub.
Azra Azyumardi,2002,Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Mellenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
At-taumyas-SyaibanyMuhammad Umar, 1985, Al-Fkr at-Tarbawy bain
an Nadhoriyah wa at Tatbiq Tripoli Libya: Al-Mansya’ah al-Ammah Li an-Nsyr
wa at-Tauzi’wa al-‘Ilan.
Al-Djamaly Fadhil Moh, 1967, Nahwa Tarbiyyatin Mukminatin, Al-Syirkah
Al-Tunisiyah Littauzi.
Arifin M, 1989, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis
dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.
Abdullah Yatimin M , 2006, Studi Islam Kontemporer, Jakarta:
Amzah.
Fajar Malik. A, IshaIn’amMuhammad . dkk, 2004, Strategi
Pengembangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi” dalam Horizon Baru
pengembangan Pendidikan Islam
Yogyakarta: Penerbit Aditya Media bekerjasama dengan UIN-Malang Press.
HasanTholhah Muhammad, 2006, Dinamika Pemikiran Tentang
Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press.
Hasan Tholhah Muhammad,1987,Islam dalam Perspektif Sosial Budaya,Jakarta:
Galasa Nusantara.
Husain Sajjad Syed , dan Ashraf
Ali Syed, 1979, Krisis Pendidikan Islam (terjemahan Rahmani
Astuti dari buku Crisis in Muslim Education, Bandung: Risalah.
Jauhari Idris, 2002, Sistem Pendidikan Pesantren,Madura:
Mutiara.
Muchsin Bashori & Wahid Abdul, 2009, Pendidikan Islam
Kontemporer, Bandung: PT Refika Aditama.
Muhaimin Yahya dan Supriadi Dedi. dkk, 2001, Sambutan Mendiknas
RI” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta:Cita
Karya Nusa.
Ma’arif Syafi’i Ahmad, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mardiatmadja. BS, 1986, Tantangan Dunia Pendidikan, Yogyakarta:
Kanisius.
Nata Abudin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Qutub Muhammad, 1400 H, Minhaj at-Tarbiyah al-Islamiyah I, Beirut:
Dar asy-Syuruq.
Soebahar Halim Abd, 1992, Wawasan Baru Pendidikan Islam,
Pasuruan: Garoeda Buana Indah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, 2003, Jakarta: Citra Umbara.
[1]Bashori,
Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (2009, Bandung:
PT Refika Aditama), h. 55
[2] Mohammad
Asrori, Studi Islam Kontemporer, (2009, UIN-Malang Press), h. 129
[3]Yahya Muhaimin,
dan Dedi Supriadi, “Sambutan Mendiknas RI” dalam Reformasi Pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah (Ed) Fasli Jalal, (2001, Yogyakarta:Cita Karya
Nusa), h. xxxi
[4] A. Malik
Fajar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi” dalam
Horizon Baru pengembangan Pendidikan Islam (Ed) M. Zainudin dan Muhammad
In’am Isha, (2004, Yogyakarta: Penerbit Aditya Media bekerjasama dengan
UIN-Malang Press), h. xx-xxi.
[5]Muhammad
Asrori,Op, cit. h. 131-132
[6]Idris Jauhari, Sistem
Pendidikan Pesantren (2002, Madura: Mutiara), h. 11.
[7]Muhammad
Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (2006,
Jakarta: Lantabora Press), h. 186-190
[8] Azyumardi
Azra, Pendidikan Isla: Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru
(2002, Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 36-38
[9] Umar Muhammad
as-Syaibany At-taumy, Al-Fkr at-Tarbawy bain an Nadhoriyah wa at Tatbiq
(1985, Tripoli Libya: Al-Mansya’ah al-Ammah Li an-Nsyr wa at-Tauzi’wa
al-‘Ilan), h. 101-103
[10] Muhammad Tholhah
Hasan, Loc. Cit., h. 202-203.
[11] Abudin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam (1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 111-113
[12] Prof, Dr. Moh.
Fadhil Al-Djamaly, Nahwa Tarbiyyatin Mukminatin(1967, Al-Syirkah Al-Tunisiyah Littauzi), h. 87-89
[13] Prof. H. M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (1989, Jakarta: Bumi Aksara), h.
112-113
[14] Muhammad
Qutub, Minhaj at-Tarbiyah al-Islamiyah I, (1400 H, Beirut: Dar
asy-Syuruq), h. 13
[15] Abd, Halim
Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (1992, Pasuruan: Garoeda Buana
Indah), h. 25-27
[16] Ahmad Syafi’I
Maarif, Membumikan Islam (1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 11
[17] BS.
Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan (1986, Yogyakarta: Kanisius),
h. 19
[18] Muhammad
Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya (1987, Jakarta:
Galasa Nusantara), h. 16
[19] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(2003, Jakarta: Citra Umbara)
[20] M. Yatimin
Abdullah, Studi Islam Kontemporer (2006, Jakarta: Amzah), h. 336-337
[21] M. Yatimin
Abdullah, ibid, h. 338-339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar