Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN STUDY TARBIYAH


ABSTRAK

Pendidikan merupakan salah satu investasi atau bahkan instrument yang sangat berharga bagi masyarakat. Pendidikan yang dapat menjanjikan terhadap masyarakat berarti pendidikan yang dapat mengantarkan perubahan yang sangat berarti dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya, perubahan model pendidikan yang beranekaragam dalam mewujudkan urgensitasnya tiada lain tidak dapat dilepas pisahkan dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat yang dimaksud (Thibaqahu Li Muqtadhal-Maqami).
Dan dalam pengertian lain Pendidikan dalam pengertian umum adalah usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian. Pendidikan dilihat sebagai suatu sistem adalah merupakan tempat berbagai masukan (input) ditranformasikan menjadi keluaran (output).
Dan tujuan pendidikan yang baik adalah Merealisasikan kepasrahan total kepada Allah, baik pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada umumnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam. Strategi pencapaian tujuan itu adalah dengan melakukan pembinaan manusia yang bisa dan mampu menjalankan fungsinya sebagai ‘abdi Allah dan Khalifahnya yang membangun dunia menurut konsep Allah. Fungsi ‘abdi Allah, mengharuskan manusia memfokuskan fikiran, perasaan, kehendak, serta tindakannya dengan niat menjalankan intruksi Allah. Sedangkan fungsi khalifah Allah terwujud dalam upaya manusia memelihara, mendaya gunakan, serta mengendalikan pemanfaatan alam dan sumber-sumbernya, menurut amanat dan kehendak Allah.
Kata Kunci : Pendekatan Studi Tarbiyah
                                                                               BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebermaknaan hidup seseorang ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab tantangan yang dihadapinya. Ia layak disebut sukses menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, bilamana tantangan yang dihadapinya tidak mengorbankannya menjadi sosok manusia yang menyerah kalah dalam kegagalan. Ada berbagai macam atau banyak sekali tantangan dan masalah yang sedang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di tanah air. Semakin hari tantangan pendidikan Islam semakin berat dan kompleks. Kompleksitas masalah dan tantangan tersebut setidaknya ada dua, yaitu sebagai berikut:[1]
Pertama, tantangan yang hadir dari luar dan biasa disebut sebagai tantangan global. Tantangan ini tidak bisa dihindari begitu saja. Justru sebaliknya kita harus merebut peran dan bisa mengikuti perkembangan globalisasi. Karena dalam era globalisasi, perkembangan teknologi dan informasi sangat cepat dan canggih sekali. Dalam konteks semacam ini, maka pendidikan Islam harus ikut serta dan secara aktif merespons dengan menawarkan segala hal sesuai dengan tuntutan zaman.
Kedua, masalah dan tantangan otonomi pendidikan. Tantangan ini muncul seiring dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang pada akhirnya berimplikasi pada pendidikan dengan lahirnya otonomi pendidikan. Pada satu sisi, tentu saja hal ini adalah sesuatu yang positif, tetapi di sisi lain kita harus menyadari bahwa di era ini persaingan semakin ketat antara satu lembaga pendidikan dengan lainnya. Maka, jelas diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan sumber pendanaan yang kuat dan besar. Tantangan-tantangan di atas, tentu saja perlu segera direspon secara positif, manakala tidak segera direspons, lambat laun pendidikan Islam pasti ditinggal.
Dunia pendidikan mempunyai kompleksitas masalah, dari masalah dasar filosofis, gagasan, visi, misi, institusi, program, manajemen, sumber daya manusia bidang kependidikan, lingkungan, pendidikan, pembiayaan, kepercayaan, dan partisipasi masyarakat, kualitas out put pendidikan, serta relevansinya dengan dinamika masyarakat dan tuntutan sosio kultural sekitarnya.
Ahmed (1990) Pendidikan sebagai suatu usaha yang dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil.
Ketika sudah hidup di dunia, manusia mempunyai berbagai macam keinginan seperti keinginan berkkumpul dengan lawan jenis, menyukai keindahan perhiasan, menduduki suatu jabatan, dan lainnya. Keinginan-keinginan demikian ini tidak lepas dari pengaruh social-edukasi yang mengarahkan atau membentuknya. Pendidikan Islam punya tugas besar untuk membentuk manusia supaya keinginan-keinginannya tetap di jalur yang benar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi problematika pendidikan Islam dan bagaimana solusi tersebut?
2.      Bagaimana tujuan pendidikan Islam?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui problematika pendidikan Islam dan solusi tersebut
2.      Untuk mengetahui tentang tujuan pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Dinamika Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan salah satu investasi atau bahkan instrument yang sangat berharga bagi masyarakat. Pendidikan yang dapat menjanjikan terhadap masyarakat berarti pendidikan yang dapat mengantarkan perubahan yang sangat berarti dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya, perubahan model pendidikan yang beranekaragam dalam mewujudkan urgensitasnya tiada lain tidak dapat dilepas pisahkan dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat yang dimaksud (Thibaqahu Li Muqtadhal-Maqami).[2]
Prosesi perkembangan pendidikan di tengah masyarakat ternyata sering kali terjadi kehilangan ruh al-tarbiyah-nya, sehingga usaha semangat untuk mengedepankan pendidikan terhadap masyarakat dibanding lainnya tidak jarang terabaikan. Problematika internal pendidikan masyarakat yang sangat komprehensif perlu mendapatkan perhatian dan solusi terbaik, lebih-lebih masyarakat yang belum dapat menikmati layaknya pendidikan formal (al-Dlu’afa wa al-Mustadl’afin).
Bertolak dari asumsi dasar di atas, setidaknya dapat melahirkan hasil eksplorasi intelektual dikalangan kaum pemikir, ulama dan cendekiawan terhadap dinamika pendidikan Islam pada masa klasik dan kontemporer di seputar kawasan Indonesia dewasa ini.
a.       Kegelisahan Intelektual terhadap Pendidikan Islam
Berangkat dari problematika pendidikan secara umum di Indonesia dewasa ini dapat dijelaskan oleh Yahya Muhaimin (Mendiknas saat pemerintahan gus Dur sebagai berikut:[3] 1) masih rendahnya pemerataan pendidikan; 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya managemen pendidikan. Lebih jelas pula, A. Malik Fajar (Mendiknas RI pada masa pemerintahan Megawati dan pakar Pemikiran Pendidikan Islam) kita juga menandaskan sebagai berikut:[4] a) stigma keterpurukan bangsa; b) eskalasi konflik; c) krisis moral dan etika; d) pudarnya identitas bangsa. Namun demikian, guru besar UIN Syarif Hidayatullah itu lebih menekankan kondisi riil bangsa ketika kita menginginkan berbagai rancangan dalam mewujudkan pengembangan pendidikan Islam untuk upaya merespon tuntutan global di negeri ini.
Dari faktor lain pula, secara internal pendidikan sendiri telah terdapat berbagai problem di tengah realitas masyarakat, yang diantaranya adalah:[5]
1)      Problem pendidikan semenjak sistem colonial Belanda masuk ke-Indonesia secara tidak sadar membangun “mitos” (harapan kosong tidak tentu arah) pada kesuksesan. Pemahaman yang menyesatkan banyak kalangan bahwa proses untuk menuju “perubahan dan kemajuan” yang berujung pada status sosial, harus lewat pendidikan secara formal. Padahal realitas logika di atas sebagaimana berbenturan dengan realitas penggaguran yang semakin “menyampah”, janji dan jaminan bahwa lembaga pendidikan menghasilkan orang sukses, praktis hanya diperuntukkan pada kelompok mereka yang berduit dan para bangsawan dalam lingkar elit kolusi dan nepotisme. Sekolah sudah gagal membentuk manusia yang berdikari dan berkarakter serta berkepribadian luhur dan tawakkal.
2)      Problem pendidikan secara internal sebagai komuditas bisnis memenuhi berbagai tuntutan pragmatis, mengesampingkan pembentukan karakter perjuangan dan keberpihakan terhadap problem sosial. Paradigma pendidikan digiring untuk memenuhi kota industry dan pasar.
3)      Problem pendidikan sebagai instrument (apparatus) kekuasaan Negara, sehingga tidak mempunyai independensi dalam menentukan arah dalam mengawal proses perubahan sosial.
4)      Problem pendidikan sebagai proses perpanjangan tangan dari sistem kapitalisasi dunia Barat. Konsekwensinya sistem dan materi yang diajarkan hanyalah mengarahkan pada proses sekularisme. Akibatnya agama dan sistem nilai spritualtas sudah tidak layak diajarkan, kalau perlu dianggap yang tidak rasional, karena tidak mampu memenuhi kebutuhan industry dan pasar.
5)      Kemunculan model pendidikan nonformal mulai dijadikan ajang bisnis komersil dengan biaya tinggi mengumbar janji, sehingga kehadirannya hanya sebagai candu untuk menampung alumni frustasi.


b.      Pesantren: Madrasah dan Perkembangannya
Pendidikan di Era-Majapahit masih memiliki sistem pendidikan (madrasah) yang amat sangat sederhana dan tradisional apa adanya. Namun lebih menarik lagi, ketika Era- Mataram “pesantren” sudah menjadi lembaga pendidikan yang formal. Pola tatanan atau sistem pengembangannya sudah terdapat klasifikasi yang sudah dianggap mapan dan dapat digambarkan sebagai berikut: 1) tingkatan rendah, terdapat pengkajian al-Qur’an bagi anak-anak; 2) tingkatan menengah, pengkajian kitab-kitab (al-Kutb al-Turats) bagi pemuda-pemuda desa; 3) tingkatan takhasus, adalah pesantren keahlian; 4) tingkatan thariqat, pendidikan tinggi yang disediakan untuk santri-santri senior yang sudah matang.[6]
Konstruksi semangat pengembangan pesantren yang memiliki misi pendidikan, dakwah dan keagamaan ternyata mampu meyedot perhatian masyarakat. Karena itu, pesantren itu berupaya mencerdaskan, meningkatkan kedamaian, dan membantu sosio-psikis mereka. Jadi, tidak mengherankan jika kemudian pesantren menjadi kebanggaan masyarakat sekitarnya, terutama bagi mereka yang menjadi muslim. Begitu pula, juga tidak mengherankan jika Belanda “pesantren” merupakan antithesis terhadap gerak krestenisasi dan upaya pembodohan rakyat. 
Dari sedikit paparan di atas, dapat kiranya kita menganalisis bahwa madrasah yang berkembang di lingkungan pesantren masuk cikal bakal dalam kategori jenjang-jenjang sebagaimana berikut: MI (Madrasah Ibtdaiyyah), MTS (Madrasah Tsanawiyah), MA (Madrasah Aliyah) atau bahkan PTI (Pendidikan Tinggi Islam).
c.       Madrasah: Menuju Pendidikan Islam Kontemporer
Dinamika perkembangan madrasah selanjutnya, dapat dikatakan sejalan dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam di Indonesia sebagaimana halnya Muhammadiyah (berdiri tahun 1912 M) dengan majelis pendidikannya, Nahdlatul Ulama (berdiri tahun 1926 M) dengan pendidikan Ma’arifnya, demikian juga al-Irsyad (berdiri tahun 1913 M), Jamiyyatul al-Washliyah (berdiri tahun 1930 M), dan lain-lain.
Bergerak dari berbagai organisasi besar itulah, proses perkembangan madrasah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Muhammad Tholhah Hasan (Mantan Menag RI di Era pemerintahan Gus Dur) menjelaskan bahwa madrasah tingkat dasar (MI), menengah pertama (MTS), menengah atas (MA), baik negeri maupun swasta mencapai 39,309 madrasah. Perkembangan madrasah dari periode tahun 1999-2000, sampai dengan tahun 2003-2004 meningkat dari 34,07 madrasah menjadi 39,309 madrasah, jadi setiap tahun meningkat sekitar 3%, dan jumlah tersebut belum termasuk madrasah-madrasah baru yang belum terdata, karena lokasinya banyak yang jauh di desa-desa yang sulit dijangkau.
Selanjutnya, upaya dalam meningkatkan pengembangan madrasah agar tidak tertinggal dengan non madrasah telah mengacu pada 4 karakteristik yang dimiliki. Pertama, karakter islami; kedua, karakter populis; ketiga, karakter keragaman; keempat, karakter mandiri. Jadi, karakteristik madrasah itu merupakan daya tarik tersendiri untuk membedakan pendidikan dalam madrasah dengan yang lainnya.[7]
d.      Mencari Solusi Problematika Pendidikan Islam
Bertolak dari kegelisahan terhadap pendidikan Islam kita, setidaknya kita dapat berpijak dalam mencarikan solusi alternative yang terbaik sebagai berikut:
Pertama, menurut Azyumardi Azra bahwa gagasan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia setidaknya terdapat dua kecenderungan sebagai berikut:[8] 1) adalah Adopsi sistem dari lembaga pendidikan modern (Barat/Belanda) secara hampir menyeluruh. Titik tolak modernism Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (ala Barat/Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. Hal ini juga pernah diimplementasikan sekolah Adabiyahnya Abdullah Ahmad (1915), dan sekolah-sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah; 2) adalah bertolak dari sistem dan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada (seperti madrasah dan pesantren), kemudian dimodernisir dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu, seperti aspek kurikulum, managemen, metodologi dan sistem pembelajaran.
Kedua, Umar as-Syaibany, seorang tokoh pendidikan dari Libya menyarankan di dalam memajukan pendidikan Islam sekarang, di samping menggunakan rujukan al-Qur’an maupun al-Sunnah, khazanah Islam, konsep-konsep serta pengalaman berharga dari pakar-pakar pendidikan Islam sepanjang sejarahnya, juga menggunakan atau memanfaatkan rujukan dan konsep serta pengalaman dan temuan-temuan kontemporer, yang dihasilkan melalui beberapa hal: a) penelitian-penelitian ilmiah, yang dilakukan oleh pakar pendidikan, baik yang muslim maupun non muslim; b) pengalaman dan temuan empiric dari berbagai macam bangsa, yang muslim maupun non muslim; c) dari seminar dan dokumen-dokumen yang dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan internasional tentang pendidikan, dengan catatan setelah semua itu dikaji dengan cermat dan cerdas, mana yang cocok dengan kebutuhan pendidikan Islam di tiap-tiap daerah, dan sesuai dengan tradisi dan budayanya masing-masing, serta tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dan nilai-nilai dasar Islam yang dipeganginya.[9]
Ketiga, A. Malik Fajar, seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga berpendapat bahwa pengembangan pendidikan Islam ke depan secara realistis harus disinkronisasikan dengan kebijakan nasional guna membebaskan bangsa dari himpitan berbagai persoalan. Sedangkan berbagai prinsip strategis pengembangan dapat diuraikan, antara lain: pertama, Orientasi pengembangan sumber daya; kedua, Ke arah pendidikan Islam multikulturalis; ketiga, Mempertegas misi dasar “Li Utammima Makarima al-Akhlaq” ; keempat, Spiritualisasi watak kebangsaan fondasi dari bangunan kebangsaan itu menurut perspektif Islam adalah iman.
Keempat, Muhammad Tholhah Hasan, menandaskaan pula bahwa perkembangan dan kemajuan Perguruan Tinggi di Indonesia sampai saat ini (tahun 2006 M) banyak ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Kredibilitas kepemimpinan; (2) Kreativitas managerial kelembagaan; (3) Pengembangan program akademik yang jelas; (4) Kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.[10]
Dari berbagai uraian para pakar dan ilmuan di atas, memiliki kontribusi yang sangat berharga terhadap pemecahan problematika pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini. Berbagai solusi terbaik yang dikemukakan tersebut tidak hanya terbatas dalam pesantren, madrasah (MI), (MTS), (MA), atau bahkan Pendidikan Tinggi Islam (PTI) kita, melainkan juga jawaban atas problematika bangsa dan Negara. 
2.      Pengertian Lingkungan Tarbiyah Islamiyah
Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan Islam berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau kelembagaan pendidikan Islam. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam adalah suatu institusi atau lembaga di mana pendidikan itu berlangsung. Dalam berbagai sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan. Kajian lingkungan pendidikan ini biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa lingkungan tarbiyah Islamiyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam dengan baik.
Al-Qur’an tidak mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali lingkungan pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan, yaitu rumah, masjid, sanggar kegiatan para sastrawan, madrasah, dan universitas. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa lingkungan atau tempat berguna untuk menunjang suatu kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan, karena tidak ada satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat dimana kegiatan itu diadakan. Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib, dan berkelanjutan. Untuk itu al-Qur’an memberi isyarat tentang pentingnya menciptakan suasana saling menolong saling menasehati, dan seterusnya agar kegiatan yang dijalankan manusia dapat berjalan dengan baik.
Sebelum belajar di madrasah-madrasah tersebut, kaum Muslim belajar di Kutab di mana diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis huruf al-Qur’an, dan kemudian diajarkan ilmu agama dan ilmu al-Qur’an. Dengan memperhatikan uraian dan informasi di atas dapat diidentifikasikan bahwa lingkungan atau tempat berlangsungnya kegiatan pendidikan Islam itu terdiri dari rumah, masjid, kutab, dan madrasah. Pada perkembangan selanjutnya institusi lembaga pendidikan ini disederhanakan menjadi lingkungan sekolah pendidikan dan pendidikan luar sekolah. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional, misalnya mengatakan sebagai berikut:[11]
a.       Suatu pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah
b.      Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan berkesinambungan
c.       Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis.
Nilai-nilai ajaran Islam yang hakiki adalah yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an dan dioperasionalkan oleh Muhammad Rasulullah, SAW. di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan orientasi ilmu pendidikan Islam.
a)      Perkembangan Pemikiran tentang Pendidikan Islam
Para ulama salaf dan khalaf (baru) serta para ilmuwan muslim, terutama yang menaruh minat terhadap ilmu pendidikan Islam telah banyak menginterpretasikan dan menganalisis sistem nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Hadist menjadi ajaran dan pedoman yang mendasi proses kependidikan Islam. Sedangkan operasionalisasinya dalam bentuk-bentuk teknisnya diwujudkan dalam berbagai ragam model dan pola serta metode sesuai dengan taraf kemampuan berpikir konsepsional mereka masing-masing dari zaman ke zaman.
Yang esensial dari pendekatan filosofis ini adalah lahirnya sikap dasar dan pandangan dasar yang meyakini bahwa Islam sebagai agama wahyu (agama samawi) mengandung konsep-konsep, wawasan-wawasan dan ide-ide dasar yang memberi inspirasi terhadap pemikiran umat manusia dalam rangka menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Dalam permasalahan kependidikan Islam yang berhadapan dengan tantangan dan tuntutan hidup umat manusia yang semakin meningkat, nilai-nilai Islam tidak akan dapat berfungsi secara actual dan kontektual dalam proses perkembangan kehidupan di segala bidang tanpa ditranformasikan melalui proses kependidikan dalam berbagai modelnya.
Agar supaya proses transformasi nilai-nilai Islam itu berjalan konsisten kea rah tujuan pendidikan Islam, maka diperlukan suatu pedoman filosofis yang bersifat ideal yang lentur (fleksibel) dan kontektual (tidak tekstual saja) dengan tuntutan dari realitas kebutuhan manusia.
Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dan wawasan serta pandangan hidup universal, memberikan dorongan motivatif manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui rasio (akal pikiran) sejauh  mungkin sampai pada zat Allah yang tidak mungkin dicapai oleh rasio itu, rasio manusia dalam memperdalam dan memperluas dimensi ilmu pengetahuannya tidak terlepas daripada orientasi kepada Tuhannya, karena ia menempatkan kekuasaan Allah di atas segala-galanya, termasuk kemampuan manusia itu sendiri. Dengan orientasi demikian maka manusia tidak akan bersikap takabbur (arogan) seolah-olah dengan kemampuan akal pikirannya sendiri tanpa batas.
Manusia yang menyadari bahwa dirinya adalah ciptaan Allah dalam ikhtiar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuannya senantiasa ditunjukan untuk beribadah atau berbakti kepada Allah. Semakin bertambah ilmu pengetahuannya, ia semakin bertambah tebal keimanannya kepada Tuhannya. Dalam pandangan Islam akal pikiran harus difungsikan secara tepatguna untuk menemukan hakikat hidupnya selaku hamba Allah, selaku makhluk sosial dan selaku “khalifah” di atas bumi.[12]
b)      Orientasi Ilmu Pendidikan Islam
Islam sebagai agama wahyu yang lebih mementingkan hidup masa depan yang bernilai duniawi-ukrawi telah meletakan pandangan dasar teoritis dalam berbagai uslub ayat-ayat al-Qur’an (gaya bahasa) yang antara lain dinyatakan dalam surat al-Hasyr, 18, sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Hasyr, 18).
Oleh karena sumber ilmu pengetahuan seperti yang dipergelarkan wawasannya dalam al-Qur’an adalah maha luas, maka ilmu-ilmu pengetahuan yang diharapkan Allah untuk tetap menjadi penopang kematapan keimanan kepada Allah SWT, dapat diringkaskan ke dalam sumber orientasi kea rah mana pengembangan teoritis ilmiah ditunjukan yaitu:[13]
1)      Orientasi pengembangan kepada Allah yang maha mengetahui, yang menjadi sumbernya segala sumber ilmu pengetahuan.
2)      Orientasi pengembangan kea rah kehidupan sosial manusia, di mana mu’amalah “bainan naas” (pergaulan antara manusia) semakin kompleks dan luas ruang lingkupnya akibat pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi modern yang maju pesat.
3)      Orientasi pengembangan kea rah alam sekitar yang diciptakan Allah untuk kepentingan hidup umat manusia, mengandung berbagai macam kekayaan alam yang harus digali, dikelola dan dimanfaatkan oleh manusia bagi kesejahteraan hidupnya di dunia untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
3.      Tujuan Pendidikan Islam
Merealisasikan kepasrahan total kepada Allah, baik pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada umumnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam (Syed-Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1979; Sa’d Mursi Ahmad, 1973). Strategi pencapaian tujuan itu adalah dengan melakukan pembinaan manusia yang bisa dan mampu menjalankan fungsinya sebagai ‘abdi Allah dan Khalifahnya yang membangun dunia menurut konsep Allah (Muhammad Qutub, 1400 H).[14]
Fungsi ‘abdi Allah, mengharuskan manusia memfokuskan fikiran, perasaan, kehendak, serta tindakannya dengan niat menjalankan intruksi Allah. Sedangkan fungsi khalifah Allah terwujud dalam upaya manusia memelihara, mendaya gunakan, serta mengendalikan pemanfaatan alam dan sumber-sumbernya, menurut amanat dan kehendak Allah. Fungsi terakhir ini dilukiskan Iqbal dalam untaian syairnya:
Thou didst create night and I made the lamp
Thou didst create clay and I made the lamp
Kau menciptakan malam dan aku yang membuat pelita
Kau menciptakan tanah lait dan aku yang membuat piala.
Tugas kekhalifahan tersebut menurut Sader merupakan unifikasi kompenen pemberi tugas (Allah), penerima tugas (manusia), tempat (lingkungan), serta materi penugasan. Keterpaduan komponen tersebut secara tepat akan menghasilkan manusia-manusia rabbani yang teistik, manusiawi, ekologik, dan Qur’ani.
Lalu bagaimana seharusnya sikap manusia yang diangkan sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi? Menurut Ali Syariati adalah manusia “teomorfik”, yang didalamnya ruh dari Tuhan dapat mengalahkan separuh dari wujudnya yang berhubungan dengan iblis, tanah liat, dan edapan tanah bercampur air. Ia dapat bebas dari kebimbangan dan kontradiksi antara “dua ketidak mutlakan”.
Kasus Indonesia umpamanya, trikhotomi lembaga pendidikan (Madrasah-IAIN-PTAIS, dan sekolah umum-perguruan tinggi umum berciri keislaman) yang telah berlangsung sekian lama itu tentu memerlukan orientasi baru yang sejalan dengn gerak budaya bangsa. Reorintasi tujuan strategik pendidikan Islam berarti menata kembali upaya mewujudkan manusia beriman yang meyakini suatu kebenaran mutlak dan sekaligus berupaya membuktikannya melalui kemampuan ‘aql, rasa, dan tindakan.
Orientasi pendidikan Islam tidak semata terfokus pada upaya transformasi sains, teknologi, budaya, agama, tetapi juga harus diarahkan pada kompetesi pemecahan problem kehidupan yang baru dan yang akan datang dengan bekal komitment keimanannya, sesuatu orientasi futuristik yang memandang out put pendidikan Islam sebagai investasi dinamik kehidupan manusia dunia-akhirat.
Tulisan Syekh Abdul Mabud dalam “Curriculum Designing for Natural Sciences from an Islamic point of View”(dalam Muslim Education Quarterly) nampaknya representative dalam memberikan landasan konseptual dan operasional, bagaimana misalnya, merumuskan tujuan pendidikan ilmu-ilmu pengetahuan alam menurut sudut pandang Islam, yang seharusnya diorentasikan pada:[15]
(1)   Pemahaman berbagai makhluk fisik dan biologic sebagai manifestasi keesan, ciptaan, kekuasaan, keadilan, keagungan, dan keindahan Allah melalui karyanya (Tuhan sebagai pencipta agung segala sesuatu dan ciptaan itu sebagai refleksi dari sifat-sifatnya).
(2)   Pemahaman mengenai martabat dan kedudukan makhluk dalam kerangka penciptaan semesta (kesatuan alam).
(3)   Mampu memahami berbagai prinsip dan implikasi ilmu dalam konteks pengetahuan yang digali melalui al-Qur’an dan sunnah (rangkaian antara pengetahuan saintifik dan pengetahuan trasendental atau wahyu).
(4)   Mampu memahami bahwa penelitian dan aplikasi ilmu-ilmu harus terpadu dengan nila-nilai etik dan moral agama (aplikasi ilmu).
Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak keterunannya, menjadi manusia yang baik. Sampai di sini tidaklah ada perbedaan akan muncul tatkala merumuskan ciri-ciri manusia yang baik itu. Kata Ahmad Syafi’i Maarif, manusia yang baik merupakan sosok manusia yang tidak menghabiskan masa hidup yang ringkas ini dengan sia-sia.[16]
Manusia hidup di alam, dan menjadikan alam sekitar kehidupannya. Bahkan manusia menjadi bagian dari alam sekitarnya. Tetapi manusia bukanlah bagian dari alamnya sebagaimana bagian-bagian alam lainnya. Manusia merupakan bagian alam aktif. Manusia mendapatkan dan mengambil kebutuhan hidupnya dari alam sekitarnya dan mengolah sedemikian rupa sehingga sesuai dan memadai dengan kebutuhannya. Bahkan manusia memiliki kemampuan untuk mengubah dan menyesuaikan alam sekitarnya menurut dam sesuai dengan kebutuhan hidupnya, manusia berbudaya dan membudayan alam lingkungannya, untuk mendapatkan kehidupan yang baik, enak, dan nyaman.
Dalam pemahaman BS Mardiatmadja,[17] pendidikan merupakan suatu usaha bersama dalam proses terpadu (terorganisir) untuk membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dunianya di hadapan sang pencipta. Dengan proses itu, seorang manusia dibantu untuk menjadi sadar akan kenyataan-kenyataan dalam hidupnya, bagaimana dimengerti, dimanfaatkan, dihargai, dicintai, apa kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya agar dapat sampai kepada alam, sesama, dan Tuhan, sebagai tujuan hidupnya.
Menurut Tholhah Hasan, pendidikan dalam pengertian umum adalah usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian. Pendidikan dilihat sebagai suatu sistem adalah merupakan tempat berbagai masukan (input) ditranformasikan menjadi keluaran (output).[18]
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.[19]
“Seandainya anak cucu Adam (manusia) mendapatkan dua lembah yang berisi emas, niscaya ia masih menginginkan lembah emas yang ketiga. Tidak akan pernah penuh perut anak Adam kecuali ditutup dalam tanah (mati). Dan Allah akan mengampuni orang yang bertaubat.” (HR. Ahmad), adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya mengingatkan manusia supaya mempunyai kekuatan pengendalian dalam dirinya, seperti kekuatan mengendalikan kecenderungan berburu kepentingan duniawi atau serakah terhadap hak-hak orang lain. Keserakahan manusia tidak akan pernah hilang kecuali setelah kematian menjemputnya. Dalam bahasa Arab, serakah disebut tamak yang artinya sikap tak pernah merasa puas dengan yang sudah dicapai. Karena ketidakpuasannya itu, segala cara pun ditempuh. Serakah adalah salah satu dari penyakit hati.
4.      Aspek-Aspek Pendidikan Islam
Pendidikan Islam pada hakikatnya mengandung arti dan peranan yang sangat luas. Arti dan peranan tersebut sejalan dengan aspek-aspek pengembangan menjadi sarana garapan para pendidik Islam mempunyai pengertian yang sama bahwa pendidikan Islam mencakup aspek-aspek:
a)      Pendidikan keagamaan
b)      Pendidikan akliah dan ilmiah
c)      Pendidikan akhlak dan budi pekerti
d)     Pendidikan jasmani dan kesehatan
Aspek-aspek ini berperan dalam membimbing pengembangan potensi-potensi yang dimiliki manusia, yakni meliputi:
a.       Pengembangan kognitif, yaitu kemampuan intelektual yang terus dikembangkan melalui pendidikan Islam
b.      Pengembangan afektif, adalah kekhususan mengembangkan akal melalui pengetahuan dan pemahaman terhadap kenyataan dan kebenaran, manusia harus mengalami proses pengembangan perasaan dan penghayatan agar menjadi lebih luas
c.       Pengembangan psikomotorik, adalah ilmu pengetahuan termanifestasi dalam akhlak dan amal saleh.
Kebenaran manusia sebagai makhluk sosial merupakan bagian yang tak terpisahkan dari arti peranan pendidikan Islam. Pendidikan Islam merupakan motor penggerak untuk pengembangan nilai-nilai sosial dan susila manusia. Hakikat pendidikan Islam merupakan pembimbing menuju peningkatan harkat dan martabat manusia sesuai dengan fitrah kejadiannya. Pendidikan Islam mencakup bidang-bidang:[20]
(1)   Tarbiyah ruh, pendidikan jiwa/mental spiritual
(2)   Tarbiyah aqli, pendidikan akal pikiran/ilmu pengetahuan
(3)   Tarbiyah jismi, pendidikan jasmani, termasuk kesehatan.
Modal pendidikan Islam adalah dalam lingkungan keluarga dan masjid sebagai pusat pendidikan. Pendidikan Islam dipraktikkan melalui sistem pendidikan terpadu mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan Islam mencakup berbagai kehidupan seperti pendidikan fisik, akal, agama, dan akhlak. Pendidikan Islam prinsipnya ada dua, yaitu materi didikan yang berkenaan dengan kedamaian, dan materi yang berkenaan dengan masalah hakikat.
5.      Latar Belakang Ilmu Pendidikan Islam
Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian, dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka, dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakatnya.
Menurut keyakinan umat Islam, sejarah pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga Adam. Dalam keluarga adamlah telah dimulai proses kependidikan, meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Kemampuan dasar manusia baik yang bersifat rohaniah maupun jasmaniah merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan tersebut adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa, dan karsa masyarakat beserta anggota-anggotanya. Karena adanya kaitan antara manusia dengan tuntutan hidupnya yang saling berpacu berkat adanya ketiga daya tersebut, maka pendidikan menjadi semakin penting. Pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan.
Ajaran Islam menuntut agar seluruh umat muslim dapat menjadi manusia yang beriman, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh, seperti yang di firmankan Allah dalam al-Qur’an.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.(QS. Ali-Imran (3): 190-191).
Apabila manusia yang berpredikat “muslim” benar-benar menjadi penganut agama yang baik, ia harus menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya. Ia harus mampu memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam. Untuk tujuan itulah, manusia harus dididik melalui proses pendidikan Islam.
Pendidikan Islam sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW itu terbukti ketika Nabi SAW mengajarkan agama Islam kepada kaum awam yang lemah, kepada kaum bangsawan, kabilah dan raja-raja di mana saja dan kapan saja. Dan ketika Nabi saw. memerintahkan kepada tawanan perang badar untuk mengajarkan baca dan tulis kepada prajurit sebagai tebusan. Dari peristiwa tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam telah dilaksanakan meskipun masih sangat terbatas.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam dibagi menjadi dua periode, yaitu: periode Madinah dan periode Mekah. Dalam periode Mekah, pendidikan Islam dilakukan secara nonformal bahkan secara rahasia dari rumah ke rumah. Tetapi kegiatan tersebut telah melahirkan generasi sahabat besar yang dapat menjadi pengemban cita-cita Islam. Jadi, pendidikan Islam saat itu telah berfungsi sebagai media perintis jalan khususnya untuk menancapkan tonggak akidah yang kelak akan mewarnai hari depan Islam dan umatnya. Sedangkan pada periode Madinah, pendidikan Islam tidak lagi dilaksanakan diam-diam, tetapi secara terang-terangan atau terbuka meskipun bentuknya masih tetap nonformal. Materinya berupa akidah, syariah, dan muamalah kemasyarakatan.
Di Indonesia pendidikan Islam lahir, tumbuh, dan berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia merupakan pengalaman dan pengetahuan yang penting bagi kelangsungan perkembangan Islam dan umat Islam. Pendidikan Islam itu menjadi tolak ukur bagaimana Islam dengan umatnya memainkan perananya dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Kegiatan pendidikan Islam di Indonesia tidak hanya mendasarkan pada makna pendidikan dalam arti sempit, melainkan dalam arti yang sangat luas, yaitu pendidikan yang syarat dengan nilai-nilai pembangunan umat dan bangsa Indonesia dalam berbagai tata kehidupan.
6.      Preoditas Pendidikan Islam
Segi sejarah/periode pendidikan Islam mencakup hal-hal berikut:[21]
a.       Metode pembinaan Islam yang berlangsung pada zaman Nabi Muhammad saw. menerima wahyu dan menerima pengangkatannya rasul dan sempurnanya ajaran Islam menjadi warisan budaya umat Islam.
b.      Periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad. Pada masa pertumbuhan dan perkembangan itu, pendidikan Islam mempunyai dua sasaran:
v  Generasi muda nsehingga generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran Islam
v  Penyampaian ajaran Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut sebagai dakwah Islami.
c.       Periode kejayaan pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbaasiyah sampai dengan jatuhnya Baghdad yang diwarnai oleh berkembangnya ilmu akidah dan timbulnya madrasah serta perkembangan kebudayaan Islam.
d.      Periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat.
e.       Periode pembaharuan pendidikan Islam berlangsung sejak penduduk mesir sampai masa kini.
Lembaga pendidikan Islam dapat dibagi menurut periodesasinya, yaitu lembaga pendidikan pendidikan Islam zaman Rasulullah saw. pendidikan Islam sebagai sebuah sistem kegiatan di dalamnya mengandung aspek, tujuan, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, dan sebagainya yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Aspek pendidikan selanjutnya telah telah membentuk berbagai disiplin ilmu pendidikan Islam, yaitu ilmu yang membahas berkaitan dengan pendidikan. Tujuan pendidikan yang dipadukan dengan filsafat pendidikan Islam itu membahas lingkungan. Dari berbagai keadaan itulah selanjutnya dibuka fakultas tarbiyah pada seluruh PTIN-PTIS yang tersebar di seluruh Indonesia.
Periode pendidikan baik bentuk informal maupun nonformal Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang. Pendidikan Islam di Indonesia hingga kini masih berkiblat kepada pola pendidikan Islam di Timur Tengah, baik ditinjau dari segi sistem, organisasi maupun kelembagaannya perubahan dan perkembangan pola dan gaya pendidikan Negara-negara Barat pun tampak tidak terlepas dari konsepsi yang dikembangkan oleh Negara-negara Timur Tengah seperti Mesir.
Pendidikan Islam di Indonesia dalam arti keseluruhan sama dengan Timur Tengah, sistem pendidikan Islam di Indonesia telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan yang sejalan dengan sistem dan pola pendidikan nasional pendidikan Islam telah mengikuti alur kebijakan pendidikan nasional.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Berangkat dari problematika pendidikan secara umum di Indonesia dewasa ini dapat dijelaskan oleh Yahya Muhaimin (Mendiknas saat pemerintahan gus Dur sebagai berikut: 1) masih rendahnya pemerataan pendidikan; 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya managemen pendidikan. Lebih jelas pula, A. Malik Fajar (Mendiknas RI pada masa pemerintahan Megawati dan pakar Pemikiran Pendidikan Islam) kita juga menandaskan sebagai berikut: a) stigma keterpurukan bangsa; b) eskalasi konflik; c) krisis moral dan etika; d) pudarnya identitas bangsa.
Bertolak dari kegelisahan terhadap pendidikan Islam kita, setidaknya kita dapat berpijak dalam mencarikan solusi alternative yang terbaik yaitu:
Pertama, gagasan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia setidaknya terdapat dua kecenderungan sebagai berikut: 1) adalah Adopsi sistem dari lembaga pendidikan modern (Barat/Belanda) secara hampir menyeluruh. Titik tolak modernism Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (ala Barat/Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. 2) adalah bertolak dari sistem dan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada (seperti madrasah dan pesantren), kemudian dimodernisir dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu, seperti aspek kurikulum, managemen, metodologi dan sistem pembelajaran.
Kedua, Umar as-Syaibany, seorang tokoh pendidikan dari Libya menyarankan di dalam memajukan pendidikan Islam sekarang, di samping menggunakan rujukan al-Qur’an maupun al-Sunnah, khazanah Islam, konsep-konsep serta pengalaman berharga dari pakar-pakar pendidikan Islam sepanjang sejarahnya, juga menggunakan atau memanfaatkan rujukan dan konsep serta pengalaman dan temuan-temuan kontemporer, yang dihasilkan melalui beberapa hal: a) penelitian-penelitian ilmiah, yang dilakukan oleh pakar pendidikan, baik yang muslim maupun non muslim; b) pengalaman dan temuan empiric dari berbagai macam bangsa, yang muslim maupun non muslim; c) dari seminar dan dokumen-dokumen yang dihasilkan melalui pertemuan-pertemuan internasional tentang pendidikan.
Ketiga, A. Malik Fajar, seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga berpendapat bahwa pengembangan pendidikan Islam ke depan secara realistis harus disinkronisasikan dengan kebijakan nasional guna membebaskan bangsa dari himpitan berbagai persoalan.
Keempat, Muhammad Tholhah Hasan, menandaskaan pula bahwa perkembangan dan kemajuan Perguruan Tinggi di Indonesia sampai saat ini (tahun 2006 M) banyak ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) Kredibilitas kepemimpinan; (2) Kreativitas managerial kelembagaan; (3) Pengembangan program akademik yang jelas; (4) Kualitas dosen yang memiliki tradisi akademik.
2.      Tujuan pendidikan akan sama dengan gambaran manusia terbaik menurut orang tertentu. Mungkin saja seseorang tidak mampu melukiskan dengan kata-kata tentang bagaimana manusia yang baik yang ia maksud. Sekalipun demikian tetap saja ia menginginkan tujuan pendidikan itu haruslah manusia terbaik. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia, termasuk anak keterunannya, menjadi manusia yang baik. Sampai di sini tidaklah ada perbedaan akan muncul tatkala merumuskan ciri-ciri manusia yang baik itu. Kata Ahmad Syafi’i Maarif, manusia yang baik merupakan sosok manusia yang tidak menghabiskan masa hidup yang ringkas ini dengan sia-sia. Selain itu tujuan pendidikan Islam busa disebut dengan merealisasikan kepasrahan total kepada Allah, baik pada tingkat individual, komunal, maupun umat manusia pada umumnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori Muhammad, 2009, Studi Islam Kontemporer, UIN-Malang Press
Ahmad Mursi Sa’d, 1973, Dalam Qiraat fi at-Tarbiyah al-Ma’asirah, Kairo: Alam al-Kutub.
Azra Azyumardi,2002,Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
At-taumyas-SyaibanyMuhammad Umar, 1985, Al-Fkr at-Tarbawy bain an Nadhoriyah wa at Tatbiq Tripoli Libya: Al-Mansya’ah al-Ammah Li an-Nsyr wa at-Tauzi’wa al-‘Ilan.
Al-Djamaly Fadhil Moh, 1967, Nahwa Tarbiyyatin Mukminatin, Al-Syirkah Al-Tunisiyah Littauzi.
Arifin M, 1989, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara.
Abdullah Yatimin M , 2006, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah.
Fajar Malik. A, IshaIn’amMuhammad . dkk, 2004, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi” dalam Horizon Baru pengembangan Pendidikan Islam  Yogyakarta: Penerbit Aditya Media bekerjasama dengan UIN-Malang Press.
HasanTholhah Muhammad, 2006, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press.
Hasan Tholhah Muhammad,1987,Islam dalam Perspektif Sosial Budaya,Jakarta: Galasa Nusantara.
Husain Sajjad Syed , dan Ashraf  Ali Syed, 1979, Krisis Pendidikan Islam (terjemahan Rahmani Astuti dari buku Crisis in Muslim Education, Bandung: Risalah.
Jauhari Idris, 2002, Sistem Pendidikan Pesantren,Madura: Mutiara.
Muchsin Bashori & Wahid Abdul, 2009, Pendidikan Islam Kontemporer, Bandung: PT Refika Aditama.
Muhaimin Yahya dan Supriadi Dedi. dkk, 2001, Sambutan Mendiknas RI” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta:Cita Karya Nusa.
Ma’arif Syafi’i Ahmad, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mardiatmadja. BS, 1986, Tantangan Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius.
Nata Abudin, 1997, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Qutub Muhammad, 1400 H, Minhaj at-Tarbiyah al-Islamiyah I, Beirut: Dar asy-Syuruq.
Soebahar Halim Abd, 1992, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Pasuruan: Garoeda Buana Indah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003, Jakarta: Citra Umbara.


[1]Bashori, Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer, (2009, Bandung: PT Refika Aditama), h. 55
[2] Mohammad Asrori, Studi Islam Kontemporer, (2009, UIN-Malang Press), h. 129
[3]Yahya Muhaimin, dan Dedi Supriadi, “Sambutan Mendiknas RI” dalam Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah (Ed) Fasli Jalal, (2001, Yogyakarta:Cita Karya Nusa), h. xxxi
[4] A. Malik Fajar, “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi” dalam Horizon Baru pengembangan Pendidikan Islam (Ed) M. Zainudin dan Muhammad In’am Isha, (2004, Yogyakarta: Penerbit Aditya Media bekerjasama dengan UIN-Malang Press), h. xx-xxi.
[5]Muhammad Asrori,Op, cit. h. 131-132
[6]Idris Jauhari, Sistem Pendidikan Pesantren (2002, Madura: Mutiara), h. 11.
[7]Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (2006, Jakarta: Lantabora Press), h. 186-190
[8] Azyumardi Azra, Pendidikan Isla: Tradisi dan Modernisasi Menuju Mellenium Baru (2002, Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 36-38
[9] Umar Muhammad as-Syaibany At-taumy, Al-Fkr at-Tarbawy bain an Nadhoriyah wa at Tatbiq (1985, Tripoli Libya: Al-Mansya’ah al-Ammah Li an-Nsyr wa at-Tauzi’wa al-‘Ilan), h. 101-103
[10] Muhammad Tholhah Hasan, Loc. Cit., h. 202-203.
[11] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (1997, Jakarta: Logos Wacana Ilmu), h. 111-113
[12] Prof, Dr. Moh. Fadhil Al-Djamaly, Nahwa Tarbiyyatin Mukminatin(1967,  Al-Syirkah Al-Tunisiyah Littauzi), h. 87-89
[13] Prof. H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (1989, Jakarta: Bumi Aksara), h. 112-113
[14] Muhammad Qutub, Minhaj at-Tarbiyah al-Islamiyah I, (1400 H, Beirut: Dar asy-Syuruq), h. 13
[15] Abd, Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (1992, Pasuruan: Garoeda Buana Indah), h. 25-27
[16] Ahmad Syafi’I Maarif, Membumikan Islam (1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 11
[17] BS. Mardiatmadja, Tantangan Dunia Pendidikan (1986, Yogyakarta: Kanisius), h. 19
[18] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya (1987, Jakarta: Galasa Nusantara), h. 16
[19] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (2003, Jakarta: Citra Umbara)
[20] M. Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer (2006, Jakarta: Amzah), h. 336-337
[21] M. Yatimin Abdullah, ibid, h. 338-339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar