Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN STUDI FIKIH


PENDEKATAN STUDI FIKIH
A. Pendahuluan
Ketika membahas mengenai hukum, secara sederhana terlintas dibenak kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan maupun norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang  di dalam masyarakat atau peraturan yang sengaja dibuat oleh penguasa dengan bentuk dan cara tertentu. Bentuknya mungkin berupa hukum tidak tertulis maupun hukum yang  tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat yang dipakai di Indonesia. Konsepsi hukum perundang-undangan Barat yang diatur oleh hukum hanya semata-mata hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda dalam masyarakat .
Ketika mengkaji tentang Islam, aspek yang ada didalamnya tidak lepas membicarakan tentang hukum (peraturan) yang ada di dalam Islam itu sendiri, aspek hukum di dalam Islam biasa disebut dengan hukum Islam yang punya konsep dasar dan hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur tentang  hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya baik itu hubungan dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta dengan alam sekitar.Dan kesemuanya itu diatur dalam kajian ilmu ‘ulumul fikih.
Ulama sependapat bahwa di dalam syariat Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum.[1] Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya, karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah SWT. Hukum Islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni atau النصوص المقدسة . Adapun untuk mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan melalui cara seperti ini disebut fikih.
Dalam makalah ini, penyusun akan membahas mengenai fikih dengan judul “Pendekatan Studi Fikih” yang mana penyusun akan membahas fikih dari sudut pandang pengertian fikih, sumber-sumber fikih, dan objek kajian fikih.
Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya penyusun makalah sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca dalam memberikan kritikan dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.

a.         Definisi Ilmu Fikih
Dari segi Bahasa, Fikih berasal dari kata faqaha (فقه  ) yang berarti “memahami” dan “mengerti”. Dalam istilah syar’i, ilmu fikih ialah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperenci (Al-Tafshili) dalam nash (al-Qur’an dan Hadits).[2]Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al- Jawami’ fikih berarti :
الأحكام الشرعية العملية  المكسب من أدلتها التفصيلية.
“Ilmu tentang hukum – hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil – dalil yang tafsili.”
Hukum syar’i yang dimaksud dalam definisi diatas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘amali dalam definisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau iktikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash  dimana satu per satunya menunjuk pada satu hukum tertentu.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikihmerupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.
Para fuqaha (jumhur mutaakhirin) mentakrifkan fikih dengan : “Ilmu yang menerangkanhukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”.Hasan ahmad khatib berkata : “Yang dimaksud dengan fikih Islami adalah sekumpulan hukum syara’yang sudah dibukukan dari berbagai-bagai madzab, baik dari madzab yang empat atau dari madzab lainnya dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiín, baik dari fuqaha yang tujuh, di Madinah ataupun fuqaha Makkah, fuqaha Syam dan Fuqaha Mesir, Iraq, Bashrah dan sebagainya”.[3]
Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-fikih, fikih adalah mengetahui hukum- hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang dikaji melalui dalil-dalil yang terperinci. Adapun para ulama fikih mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum praktis(yang sifatnya akan di amalkan) yang disyariatkan dalam Islam.
Dalam versi lain, fikih juga disebut sebagai koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari dalil-dalilnya yangtafshili. Dengan sendirinya, ilmu fikih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.[4]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa fikih bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara’ yang dilakukan melalui upaya ijtihad. Dengan istilah lain, fikih adalah produk interpretasi ilmiyah dari teks al-quran dan as-sunnah.

b.      Sumber-sumber Fikih
Sumber-sumber fikih sangat banyak.Mayoritas ulama yang menulis tentang ilmu usul fikih menjadikannya empat.Ada pula yang menjadikannya sepuluh.Bahkan, ada pula yang lebih dari sepuluh, sebab mereka juga mengulas poin-poin yang menjadi perbedaan para ulama dan ahli fikih.[5]
Tetapi, dalam makalah ini kita akan membahas secara ringkas mengenai dasar-dasar penting, yaitu; Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan al-musalih al-mursalah. Semua ini sumber-sumber hukum fikih yang banyak di singgung dalam kitab ushul fikih, yang menjadi rujukan para tokoh imam fikih dalam menyimpulkan hukum syar’i.
Sumber hukumIslam (Syariah Islam) terdiri atas:
1)        Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada utusan-Nya yang terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah. Sumber utama hukum Islam ialah Al-Qur’an.Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan.Menurut istilah, Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[6]
Imam Syafi’i sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok. Bahkan beliau berpendapat, “tidak ada yang diturunkan di agama manapun, kecuali petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an”. Oleh karena itu Imam Syafi’i selalu mencantumkan nash-nash al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya, sesuai metode yang digunakannya, yaitu dedukatif.[7]
Al-Qur’an diturunkan sejak kenabian Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam masa kurang lebih 21 tahun (perhitungan tahun Syamsiyah) atau kurang lebih 22,5 tahun (perhitungan tahun Qamariyah), yakni sejak beliau berusia 40 tahun hingga beberapa waktu menjelang beliau wafat.
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap hingga terhimpun dengan baik dan sempurna. Di antara hikmah diturunkan al-Qur’an secara bertahap adalah untuk memudahkan penerimaan, pencatatan, penghafalan, pemahaman maksud dan kandungan isinya serta memudahkan untuk dihayati diamalkan oleh kaum muslimin. Sebab apabila diturunkan secara sekaligus, akan menyulitkan dalam penghafalan, penulisan, penghayatan, dan pengamalannya.
Proses turunnya wahyu melalui beberapa cara, antara lain: malaikat Jibril dating menampakkan dirinya seperti seorang laki-laki, kemudian membacakan firman Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW langsung menangkap dan memahami bacaan itu dengan baik, kemudian beliau hafal dengan sempurna. Kadang-kadang pula wahyu diterima Nabi SAW dalam bentuk bunyi seperti suara gemerincing lonceng, namun dapat ditangkap dengan baik oleh Rasulullah SAW. Selain itu, Jibril pernah menampakkan dirinya dalam rupa yang asli, sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an Surah An-Najm (53) ayat 13-14. Nabi SAWjuga menerima wahyu dengan tanpa melihat sesuatu pun, namun beliau merasakan bahwa wahyu sudah berada dalam kalbunya, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an Surah Asy-syuura (42) ayat 51.
Untuk manuliskan wahyu yang diterima dari Allah SWT, Nabi SAW telah menunjuk sejumlah sahabat yang pandai baca tulis, yang menurut suatu riwayat jumlahnya sekitar 40 orang. Di antaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Arqam.
Wahyu yang turun dituliskan oleh para sahabat pada: kulit, pelepah kurma, dedaunan, batu, tulang, dan sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut pada asalnya tersebut pada para sahabat penulis Al-Qur’an. Pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq seluruhnya dihimpun pada satu tempat atas saran Umar bin Khatthab ra. Sepeninggal Abu Bakar ra, kumpulan naskah Al-Qur’an disimpan oleh khalifah Umar bin Khatthab ra dan putri beliau Hafsah. Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan ra, Al-Qur’an disalin ke dalam beberapa naskah, kemudian dikirimkan kepada beberapa penjuru yang seterusnya disalin lagi dan diperbanyak.Kitab Allah, Al-Quran adalah sumber hukum pertama bagi hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[8]

2)      Al-Hadis/ Sunnah
Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan  (taqrir) beliau.[9] Pengumpulan dan kodifikasi sunnah telah dimulai pada masa dinasti Abbasiyah. Setelah itu banyak karya-karya yang sangat bernilai dan lebih detil serta purifikatif, seperti kutubus sittah yang sangat terkenal.
Tidak ada perdebatan bahwa sunnah merupakan hujjah dalam penetapan hukum di samping Al-Qur’an. Pernyataan ini diambil dari sebagai ayat Al-Qur’an , sebagaimana firman Allah SWT;
!!$tBur.....ãNä39s?#uäãAqߧ9$#çnräãsù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù4(#qà)¨?$#ur©!$#(¨bÎ)©!$#߃Ïx©É>$s)Ïèø9$#ÇÐÈ
Artinya:“.....apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.(Al-Hasyr: 7)
Hadis Nabi SAW dapat diketahui dari riwayat yang berantai, yang dimulai dari sahabat Nabi  Muhammad SAW yang berlangsung menyaksikan perbuatan Nabi SAW atau mendengar sabdanya. Para sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang lain, baik kepada sahabat lain maupun kepada para tabi’in (generasi setelah sahabat), dan proses itu terus berlangsung sampai kepada para penulis Hadis, seperti Bukhari Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthi, Ibnu Hibban, dan sebagainya.
Pada zaman Nabi SAW, boleh dikatakan tidak ada sahabat yang secara terang-terangan menulis Hadis (tidak sebagaimana mereka menuliskan Al-Qur’an).Mereka hanya menghafalkan lafazhnya atau maknanya dari sabda Rasulullah SAW. Pada tahun 99 H barulah Al-Hadis mulai ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Bakar bin Hazm atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pekerjaan mencatat Hadis terus berkembang diimbangi dengan berkembangnya penyeleksian, baik dari materinya sendiri maupun kualitas orang-orang yang menjadi mata rantai Hadis tersebut.Para ulama Hadis telah bekerja keras dalam memeriksa dan menyeleksi sesuatu berita yang dikatakan sebagai Hadis.Apakah betul-betul dari Nabi SAW atau bukan, mereka memeriksanya dengan ketat, kemudian mengkategorinya dalam derajat, ada yang shahih (dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah), ada pula yang dha’if (tidak dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah).

3)      Ijma’
Ijma’ menurut bahasa, artinya kesepakatan.Adapun menurut istilah, ijmak berarti kebulatan pendapat para mujtahidin pada suatu masa dalam menetapkan suatu hukum yang tidak tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam A-Qur’an atau Hadis.
Sudam merupakan sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa ditemui masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui kedudukan hukumnya.Apabila para ulama mujtahidin sepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti lahirlah ijmak/kesepakatan (konsensus) para ulama.
Meskipun ijma’ mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil hukumnya secara tegas dan jelas dari Al-Qur’an dan Hadis, namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al-Qur’an dan Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah dasar agama.Tidak boleh ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber kaidah dasar agama.Andaikata ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak tersebut otomatis batal.[10]
Dilihat dari segi terjadinya. Ijma dapat terbagi kepada dua bagian, yakni ijma sharih dan ijma sukuty:
Ijma sharih ialah bila semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun dengan tulisan, yang menyatakan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan oleh seseorang mujtahid masanya.
Sedangkan ijma sukuty adalah diamnya sebagian ulama mujtahid atas pendapat mujtahid lainnya dalam menolak atau menerima pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karena takut, segan, atau malu.[11]
Ijma’berarti kesepakatan degan suara bulat dari para ulama atas suatu persoalan tertentu. Menurut pendapat ulama Syi’ah, Ijma’merupakan Hujjah, karena jika semua muslim memiliki kesatuan pandangan, ini merupakan bukti bahwa pandangan tersebut telah diterima dari Nabi.[12]

4)      Qiyas
Qiyas merupakan sumber hukum Islam yang keempat.Qiyas menurut bahasa artinya ukuran. Menurut istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara, kemudian diberikan pula kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau perkara yang telah tetap hukumnya.
Dalam proses qiyas, ada 4 faktor (rukun) yang harus dipenuhi, yakni asalnya, cabangnya, hukumnya, dan sifatnya. Misalnya, tentang haramnya khamar (arak).Khamar itu disebut asalnya. Sifatnya memabukkan dipandang sebagai sebabnya, maka setiap minuman lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai cabangnya, dan dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut, dapat dikembangkan kepada minuman atau makanan lain. Apabila terdapat kesamaan maka dihukumi sebagaimana khamar, misalnya narkotik.
Sikap para ulama mujtahidin terhadap qiyas berbeda-beda.Golongan Hanafiyah mementingkannya dan mendahulukannya dari hadis ahad (tidak mansyur). Imam Ahmad bin Hanbal membatasi diri dalam mempergunakannya, hanya dalam keadaan darurat saja, yaitu jika tidak ada nash dalam Al-Qur’an, Hadis, Atsar, atau Fatwa-fatwa sahabat walaupun dha’if. Adapun Imam Malik dan Imam Syafi’I menempuh jalan tengah. Pandangan moderat Imam Malik tampak karena qiyas dipergunakn selama tidak ada nash dari Al-Qur’an, Hadis, dan Atsar sahabat yang sah. Golongan Hanafiyah lebih mengutamakan qiyas daripada Hadis ahad, sedangkan golongan Syafi’iyah baru menggunakan qiyas apabila tidak ada nashAl-Qur’an dan Hadis.[13]
Pengertian Qiyas dapat dibagi dilihat dari 2 segi, yaitu:
1)      Munurut logika, qiyas artinya mengambil suatu kesimpulan khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2)      Menurut hukum Islam, qiyas artinya menetapkan suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan memperhatikan masalah lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan pada segi alasan dari masalah baru itu.[14]

5)      Istihsan
Dalil ini masyhur dipakai di kalangan pengikut Hanafiyah, dan diakui pula oleh para ahli fikih lainnya selain madzhab Syafi’iyah. Al-Karkhi, salah seorang ulama Hanafiyah mengatakan, “Istihsan adalah beralih dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya, kepada hukum yang berlawanan dengannya karena ada suatu sebab yang dipandang lebih kuat”.[15]
Jadi, istihsan merupakan salah satu dalil atau dasar-dasar fikih. Ia berada diurutan setelah dalil-dalil sebelumnya, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Istihsan ini banyak digunakan para ahli fikih dalam penetapan hukum. Kita sering menjumpai ungkapan mereka, “sesuatu ini dibolehkan secara istihsan, bukan secara qiyas. Sesuatu itu dilarang secara qiyas, namun dibolehkan secara istihsan. Seakan-akan mereka menjadikan istihsan sebagai lawan dari qiyas.
Berikut contoh dari istihsan;
1)      Ba’i ma’dum (jual beli yang barangnya belum ada) tidak sah, tapi praktik ijarah (sewa menyewa) dierbolehkan secara istihsan, karena ia merupakan jual beli manfaat sesuatu yang disewakan. Manfaat ini sifatnya ma’dum (belum ada), karena tidak ada ketika akad ijarah. Qiyas membatalkan akad semisal ini, akan tetapi diperbolehkan secara istihsan berdasarkan nash Al-Qur’an. Sunnah dan tradisi yang sudah menjadi ijma’. Ini artinya, beralih dari qiyas menuju dalil yang lebih kuat.
2)      Contoh lain seperti istisna’, yaitu melakukan akad dengan produsen untuk membuatkan selendang atau perabot lain semisalnya, dengan barang yang tidak ada pada saat akad. Akad seperti ini juga dibolehkan secara istihsan, karena hal tersebut sudah menjadi tradisi semua umat.

6)      Maslahah Mursalah
Ulama fikih yang banyak menggunakan sumber hukum ini adalah Imam Malik bin Anas. Adapun yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah semua kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang mneyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau menghindarkan dari kemudharatan. Atau bisa dikatakan, kemaslahatan yang tidak ada bukti petunjuk tertentu dari Syari’.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi, beliau mencatat bahwa untuk menetapkan maslahah mursalah ini sebagai sumber hukum, harus memenuhi tiga syarat;[16]
1.      Sejalan dengan tujuan syaria’at, dimana ia tidak menafikkan salah satu dasar syari’at, juga tidak pula menafikan salah satu dalil-dalil syari’at.
2.      Kemaslahatan tersebut berlaku pada sesuatu yang rasional, jika kemaslahatan tersebut diusulkan kepada akal maka akal akan menerimanya. Kemaslahatan tidak berlaku pada persoalan ibadah (ta’abbudi), sebab kebanyakan persoalan ibadah tidak bisa dirasionalkan.
3.      Hasil dari maslahah mursalah merujuk pada perlindungan sesuatu yang bersifat primer dan menghilangkan kesukaran dalam agama.

c.       Ruang Lingkup/ Objek Kajian Fikih
Keistimewaan fikih islami dari pada hukum-hukum (Undang-undang) lainnya karena ia meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu:[17]
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan masyarakatnya.
Ilmu fikih Islami, bukan hanya duniawi semata, tetapi untuk dunia dan akhirat; dia adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku umum bagi umat manusia hingga hari kiamat.
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercangkup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat.Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencangkup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan.Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencangkup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.[18]
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu:[19]
a.       Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga, semenjak terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b.      Hukum Perdata (Hukum sipil)
c.       Hukum Jinayah (Pidana)
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan tindakan pidana (kejahatan) dari orang mukallaf dan hukumannya.
d.      Hukum Acara
Yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan: penuntutan, pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan perkara ini dimaksudkan untuk mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk menciptakan keadilan diantara manusia.
e.       Hukum Dusturiah (perundang-undangan)
Yaitu hukum-hukum yang mengatur tentang dasar-dasar pemerintahan (Negara) dan sistemnya.
f.       Hukum Internasional
Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-negara Islam denagn Negara-negara lain, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.[20]
7)      Hukum Ekonomi dan Keuangan
Yaitu hukum-hukum yang mengatur sumber-sumber pemasukan keuangan Negara dan menetapkan anggaran belanja Negara; mengatur hak dan kewajiban setiap Negara dibidang keuangan dan mengatur hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan orang fakir-miskin, serta antara pemerintah denagn rakyat.
Objek ilmu Fikih pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah, dan harta peninggalan.Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.[21]
Sesuai dengan definisi fikih diatas maka seluruh perbuatan dan perilaku manusia merupakan medan bahasan ilmu fikih. Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a)      Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan haji.
b)      Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
c)      Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan kegiatan-kegiatan ekonomi.
d)     Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup berumah tangga.
e)      Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri, merampok, zina dan lain-lain) dan sangsinya.
f)       Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara pembagiannya kepada yang berhak.
g)      Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan, kepemimpinan dan lain-lain.
Singkat kata, seluruh perbuaatan manusia, baik yang masuk dalam ketujuh kelompok di atas maupun tidak semuanya mempunyai hukum. Yaitu salah satu diantara lima hukum dibawah ini:
1.      Wajib
Wajib yaitu sesuatu yang harus dikerjakan. Jika dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala dan jika ditinggalkan maka ia menuai dosa. Kata lain dari wajib adalah fardlu atau hatm. Wajib ini ada dua macam:
a)      Wajib ‘ain (fardhu ‘ain), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu Muslim. Mempelajari ilmu Fikih terhadap permasalahan yang tidak boleh seorang muslimpun tidak mengetahuinya adalah fardu ain bagi setiap muslim. Ilmu-ilmu tersebut sering kita kenal dengan istilah ما علم من اليد بالضرورة  atau dengan istilah ما لا يسع المسلم يجهله. Ilmu tersebut merupakan ilmu primer yang mesti diketahui oleh seorang muslim bagaikan kebutuhan mereka kepada makanan pokok yang merupakan kebutuhan primer manusia. Contoh: sholat, puasa, zakat dan lain-lain.
b)      Wajib kifayah (fardhu kifayah), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebuah komunitas Muslim. Jika salah satu dari anggota komunitas itu sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban itu atas yang lain. Tapi jika tak ada satupun yang melaksanakannya maka setiap anggota komunitas tersebut berdosa.
Mempelajari ilmu Fikih secara lebih mendalam terhadap setiap permasalahan-permasalahan fikih adalah fardu kifayah bagi setiap muslim. Apabila tidak ada muslim yang mempelajari ilmu fikih secara mendalam pada satu wilayah (dalam radius wilayah yang sudah boleh mengqashar shalat), maka mereka akan berdosa. Contoh: memandikan mayit, mensholatkan dan menguburkannya.
2.      Sunnah
Sunnah yaitu sesuatu yang jika dikerjakan maka pelakunya mendapat pahala namun jika ditinggalkan ia tidak berdosa. Mempelajari ilmu Fikih secara lebih mendalam pada seluruh permasalahan Fikih setelah terpenuhinya kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah.Contoh: Sholat tarawih, puasa Senin Kamis, sholat tahajjud dan lain-lain.
3.      Mubah
Mubah yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan tanpa bernilai pahala dan dosa. Contoh: makan, minum, tidur dan lain-lain. Namun hal-hal yang masuk dalam kategori mubah ini bisa benilai pahala jika disertai dengan niat.
4.      Makruh
Makruh yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala namun jika tidak ditinggalkan ia tidak berdosa. Contoh: minum dengan tangan kiri dan lain-lain.

5.      Haram
Haram yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala dan jika dikerjakan ia berdosa. Contoh: zina, meminum minuman keras, menggunjing dan lain-lain.
Ilmu fikih ini, dinamai juga dengan Ilmu Hal, Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam.[22]Syariat Islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama ushul fikih. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fikih.
Setiap pengkaji sebuah ilmu -sebelum mendalaminya- mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan:
من حرم الأصول حرم الوصول
“orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu)”.

d.      Contoh Objek Kajian Fikih Kontemporer (Transplantasi Organ Tubuh)
1)      Pengertian Transplantasi
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu, dari suatu tempat ke tempat lain, pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi dengan baik. Kemudian menurut Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.[23]

2)      Pandangan Hukum Islam(Fikih) Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati masalah Transplantasi ini ketika membahas hukum mereka akan mengklasifikasikan kapan Transplantasi itu dilakukan, menurut Prof. Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir meninggal, maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di lakukan ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang mengharamkan, juga ada yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu.[24] Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1.      Resipien dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2.      Pencangkokan tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil yang di nilai sebagai dasar pengharaman Transplantasi organ tubuh ketika pendonor dalam keadaan hidup, antara lain:[25]
1.      Firman Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
(#qà)ÏÿRr&urÎûÈ@Î6y«!$#Ÿwur(#qà)ù=è?ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/n<Î)Ïps3è=ök­J9$#¡(#þqãZÅ¡ômr&ur¡¨bÎ)©!$#=ÏtätûüÏZÅ¡ósßJø9$#ÇÊÒÎÈ
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Baqoroh: 195)
2.      Hadits Rasulullah:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan tidak boleh membayakan diri orang lain.”(HR. Ibnu Majah).
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal. ia (mungkin) akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang di nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.

3.      Kaidah hukum Islam
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:“Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada meraih kemaslahatan”.
Pendonor yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain dan demi kemaslahatan orang lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai dengan kaidah hukum tersebut.

4.      Kaidah Hukum Islam:
الضرر لا يزال بالضرر
Artinya:“Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”.
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di benarkan penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka membantu dan menyelamatkan orang lain adalah di nilai upaya menghilangkan bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah Transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek Transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadits Nabi SAW:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.
“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi, al-Buti, Abdullah Kanun dan Abdullah al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek Transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya mengatakan: Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur : 33.”
وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِى ءَاتَاكُمْ ....(النور : 33)
“…dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu… (an Nur : 33 )
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat :Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai Transplantasi organ tubuh ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang di tulis oleh syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan di mana kita akan sampai pada kesimpulan bahwa menurut Beliau Transplantasi adalah suatu hal yang di perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih hidup ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah suatu kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan yang harus di perhatikan.[26]
Beliau mengawali pembahasan seputar Transplantasi dengan mengajak kita untuk memahami apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hati, misalnya dengan mendonorkan atau lainnya, Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh di pergunakan kecuali dengan izin-Nya.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya) itu harus dihilangkan sedapat mungkin.Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, terluka, kelaparan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya.[27]
Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan bahwa upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan donor organ tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan yang di perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Akan tetapi yang harus di perhatikan, masih menurut Beliau kebolehan ini bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di benarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor.[28]Dalam kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan bahaya, kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa di benarkan syara’.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."[29]

Para Ulama Ushul Fikih menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya. Karena itu tidak di perbolehkan mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat pendonoran organ tubuh ketika seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi memberikan pengertian dengan mengajak kita untuk memahami lagi tentang pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang masih hidup di mana ada kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan itu hukumnya tetap di perbolehkan.Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan dalam keadaan tanpa resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah meninggal adalah upaya yang lebih berhak untuk di perkenankan. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya (si mayit), karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya.Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil yang mengharamkan) tidak dijumpai.[30]
Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek Transplantasi dari organ si mayit tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si mayit, dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu di perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya.Akan tetapi Transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa berubah hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika meninggal.[31] Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait hukum Transplantasi organ tubuh dengan berbagai kemungkinannya di mana perbedaan pendapat pun masih kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski demikian ketika kita berusaha memahami kajian-kajian tersebut lebih –lebih apa yang telah di uraikan oleh Syekh Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur pemikiran yang tidak terlalu rumit untuk di mengerti dan pantas untuk di jadikan acuan menyoal Transplantasi organ tubuh ini, di mana pada intinya menurut beliau transpalntasi dengan berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’ selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak mendatangkan bahaya atau kemudaratan.

Simpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.Fikihadalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Ruang lingkup Studi fikih dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah..Adapun fungsi dan tujuan Studi Fikih diantaranya adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya, agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Di Era modern ini, seiring dengan perkembangan zaman maka banyak bermunculan persoalan-persoalan yang sifatnya (ikhtilafiyah).Artinya persoalan yang mungkin dulu dizaman Nabi belum ada, dizaman sekarang persoalan seperti ini banyak tumbuh dikalangan masyarakat.Seperti contoh Transplantasi organ tubuh.Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya juga ada yang mengharamkannya.

DAFTAR RUJUKAN

Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2006).
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).
Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014).
Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002).
Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fikihi (Islam dalam Berbagai Mazhab), (Jakarta: Radarjaya Offset, 1993).
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).
Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fikihiyah, (Jakarta , CV Haji Mas Agung, 1993).
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995).


[1]Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 1
[2]Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 1-2.
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 16.
[4]Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 1-2.
[5] Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014), hal. 186
[6] Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 9.
[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 52
[8] Ayatullah Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fikih & Ushul Fikih Perbandingan (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hal. 142.
[9] Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam,..., hal. 190
[10] Mustofa, Hukum Islam Kontemporer,..., hal. 14
[11] Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 82
[12] Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,..., hal. 146
[13] Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, ibid,…, hal. 14-15
[14] Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 71.
[15] Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, ibid,..., hal. 201
[16] Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, ibid,..., hal. 206
[17]Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fikihi (Islam dalam Berbagai Mazhab), (Jakarta: Radarjaya Offset, 1993), hal. 15.
[18] Alaidin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 5
[19] Alaidin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 16
[20] Alaidin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 17
[21]Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 5
[22] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999), hal. 17.
[23]Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fikihiyah, (Jakarta , CV Haji Mas Agung, 1993), hal. 84
[24]Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam Masaail Fikihiyah, ibid,…, hal 88.
[25]Ibid, hal. 86.
[26]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), jilid 2, hal. 759
[27]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,..., hal. 758
[28]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,..., hal. 759
[29]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,...,hal. 759
[30]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,..., hal. 763
[31]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer,..., hal. 766

Tidak ada komentar:

Posting Komentar