PENDEKATAN STUDI FIKIH
A. Pendahuluan
Ketika membahas
mengenai hukum, secara
sederhana terlintas dibenak kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan
maupun norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat atau peraturan yang sengaja dibuat oleh penguasa dengan bentuk dan
cara tertentu. Bentuknya mungkin berupa hukum tidak tertulis maupun hukum
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat yang
dipakai di Indonesia. Konsepsi hukum perundang-undangan Barat yang diatur oleh
hukum hanya semata-mata hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan benda
dalam masyarakat .
Ketika mengkaji tentang Islam, aspek yang ada didalamnya
tidak lepas membicarakan tentang hukum (peraturan) yang ada di dalam Islam itu
sendiri, aspek hukum di dalam Islam biasa disebut dengan hukum Islam yang punya
konsep dasar dan hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur
tentang hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat,
tetapi juga hubungan-hubungan lainnya baik itu hubungan dengan Tuhan, manusia
dengan manusia, manusia dengan masyarakat serta dengan alam sekitar.Dan
kesemuanya itu diatur dalam kajian ilmu ‘ulumul fikih.
Ulama
sependapat bahwa di dalam syariat Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk manusia,
baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara
jelas serta tegas dan adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk
dalil-dalil dan kaidah-kaidah secara umum.[1]
Untuk memahami hukum Islam dalam bentuk yang disebut pertama tidak
diperlukan ijtihad, tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya,
karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah SWT. Hukum Islam dalam
bentuk ini disebut wahyu murni atau النصوص المقدسة . Adapun untuk
mengetahui hukum Islam dalam bentuk kedua diperlukan upaya yang sungguh-sungguh
oleh para mujtahid untuk menggali hukum yang terdapat di dalam nash melalui
pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Keseluruhan hukum yang ditetapkan
melalui cara seperti ini disebut fikih.
Dalam
makalah ini, penyusun akan membahas mengenai fikih dengan judul “Pendekatan
Studi Fikih” yang mana penyusun akan membahas fikih dari sudut pandang pengertian
fikih, sumber-sumber fikih, dan objek kajian fikih.
Banyak
sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya penyusun makalah sangat mengharapkan
kepada seluruh pembaca dalam memberikan kritikan dan saran yang membangun guna
menyempurnakan makalah ini.
a.
Definisi Ilmu Fikih
Dari segi Bahasa, Fikih berasal dari kata faqaha (فقه ) yang berarti “memahami” dan “mengerti”.
Dalam istilah syar’i, ilmu fikih ialah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum
syar’i amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman
yang mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperenci (Al-Tafshili)
dalam nash (al-Qur’an dan Hadits).[2]Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al- Jawami’ fikih
berarti :
الأحكام الشرعية العملية المكسب من أدلتها التفصيلية.
“Ilmu tentang
hukum – hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari
dalil – dalil yang tafsili.”
Hukum syar’i yang dimaksud dalam definisi diatas adalah
segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun kata ‘amali dalam definisi itu
dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini
hanya yang berkaitan dengan perbuatan (‘amaliyah) mukallaf dan tidak
termasuk keyakinan atau iktikad (‘aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan
dalil-dalil terperinci (al-tafshili) maksudnya adalah dalil-dalil yang
terdapat dan terpapar dalam nash dimana satu per satunya menunjuk pada satu
hukum tertentu.
Beberapa ulama memberikan
penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikihmerupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur’an
dan Sunnah. Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum
syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam
ibadah maupun dalam muamalah.
Para fuqaha (jumhur
mutaakhirin) mentakrifkan fikih dengan : “Ilmu yang menerangkanhukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalil yang tafshil”.Hasan ahmad khatib berkata : “Yang
dimaksud dengan fikih Islami adalah sekumpulan hukum syara’yang sudah dibukukan
dari berbagai-bagai madzab, baik dari madzab yang empat atau
dari madzab lainnya dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiín,
baik dari fuqaha yang tujuh, di Madinah ataupun fuqaha Makkah, fuqaha Syam dan
Fuqaha Mesir, Iraq, Bashrah dan sebagainya”.[3]
Menurut Abu Zahrah dalam kitab Ushul
al-fikih, fikih adalah mengetahui hukum- hukum syara’ yang bersifat ‘amali
(praktis) yang dikaji melalui dalil-dalil yang terperinci. Adapun para ulama fikih
mendefinisikan fikih sebagai sekumpulan hukum praktis(yang sifatnya akan di amalkan) yang
disyariatkan dalam Islam.
Dalam versi lain, fikih juga disebut sebagai
koleksi (majmu’) hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan diambil dari
dalil-dalilnya yangtafshili. Dengan
sendirinya, ilmu fikih dapat dikatakan sebagai ilmu yang bicara tentang
hukum-hukum sebagaimana disebutkan itu.[4]
Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan, bahwa fikih bukanlah hukum syara’ itu sendiri, tetapi
interpretasi terhadap hukum syara’ yang dilakukan melalui upaya ijtihad. Dengan istilah lain, fikih adalah produk
interpretasi ilmiyah dari teks al-quran dan as-sunnah.
b.
Sumber-sumber
Fikih
Sumber-sumber fikih sangat banyak.Mayoritas
ulama yang menulis tentang ilmu usul fikih menjadikannya empat.Ada pula yang
menjadikannya sepuluh.Bahkan, ada pula yang lebih dari sepuluh, sebab mereka
juga mengulas poin-poin yang menjadi perbedaan para ulama dan ahli fikih.[5]
Tetapi, dalam makalah ini kita akan
membahas secara ringkas mengenai dasar-dasar penting, yaitu; Al-Qur’an, sunnah,
ijma’, qiyas, istihsan, dan al-musalih al-mursalah. Semua ini
sumber-sumber hukum
fikih yang banyak di singgung dalam kitab ushul fikih, yang menjadi rujukan
para tokoh imam fikih dalam menyimpulkan hukum syar’i.
Sumber hukumIslam (Syariah Islam) terdiri atas:
1)
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam
Allah SWT yang diturunkan kepada utusan-Nya yang terpilih, yaitu Muhammad bin
Abdullah. Sumber
utama hukum Islam ialah Al-Qur’an.Al-Qur’an menurut bahasa berarti
bacaan.Menurut istilah, Al-Qur’an adalah himpunan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup
untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[6]
Imam Syafi’i sebagaimana
para ulama lainnya, menetapkan bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang
paling pokok. Bahkan beliau berpendapat, “tidak ada yang diturunkan di agama manapun,
kecuali petunjuknya terdapat dalam al-Qur’an”. Oleh karena itu Imam Syafi’i
selalu mencantumkan nash-nash al-Qur’an setiap kali mengeluarkan pendapatnya,
sesuai metode yang digunakannya, yaitu dedukatif.[7]
Al-Qur’an diturunkan sejak kenabian Muhammad SAW secara berangsur-angsur
dalam masa kurang lebih 21 tahun (perhitungan tahun Syamsiyah) atau kurang
lebih 22,5 tahun (perhitungan tahun Qamariyah), yakni sejak beliau berusia 40
tahun hingga beberapa waktu menjelang beliau wafat.
Al-Qur’an
diturunkan secara bertahap hingga terhimpun dengan baik dan sempurna. Di antara
hikmah diturunkan al-Qur’an secara
bertahap adalah untuk memudahkan penerimaan, pencatatan, penghafalan, pemahaman
maksud dan kandungan isinya serta memudahkan untuk dihayati diamalkan oleh kaum
muslimin. Sebab apabila diturunkan secara sekaligus, akan menyulitkan dalam
penghafalan, penulisan, penghayatan, dan pengamalannya.
Proses turunnya
wahyu melalui beberapa cara, antara lain: malaikat Jibril dating menampakkan
dirinya seperti seorang laki-laki, kemudian membacakan firman Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW langsung menangkap dan memahami bacaan itu dengan baik,
kemudian beliau hafal dengan sempurna. Kadang-kadang pula wahyu diterima Nabi SAW
dalam bentuk bunyi seperti suara gemerincing lonceng, namun dapat
ditangkap dengan baik oleh Rasulullah SAW. Selain itu, Jibril pernah menampakkan
dirinya dalam rupa yang asli, sebagaimana diungkapkan dalam al-Qur’an Surah
An-Najm (53) ayat 13-14. Nabi SAWjuga menerima wahyu
dengan tanpa melihat sesuatu pun, namun beliau merasakan bahwa wahyu sudah
berada dalam kalbunya, sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an Surah Asy-syuura
(42) ayat 51.
Untuk
manuliskan wahyu yang diterima dari Allah SWT, Nabi SAW telah menunjuk sejumlah
sahabat yang pandai baca tulis, yang menurut suatu riwayat jumlahnya sekitar 40
orang. Di antaranya Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, dan Abdullah bin Arqam.
Wahyu yang
turun dituliskan oleh para sahabat pada: kulit, pelepah kurma, dedaunan, batu,
tulang, dan sebagainya. Tulisan-tulisan tersebut pada asalnya tersebut pada
para sahabat penulis Al-Qur’an. Pada masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
seluruhnya dihimpun pada satu tempat atas saran Umar bin Khatthab ra.
Sepeninggal Abu Bakar ra, kumpulan naskah Al-Qur’an disimpan oleh khalifah Umar
bin Khatthab ra dan putri beliau Hafsah. Pada masa khalifah Utsman bin ‘Affan
ra, Al-Qur’an disalin ke dalam beberapa naskah, kemudian dikirimkan kepada
beberapa penjuru yang seterusnya disalin lagi dan diperbanyak.Kitab Allah, Al-Quran adalah sumber
hukum pertama bagi hukum-hukum dan aturan-aturan Islam.[8]
2) Al-Hadis/ Sunnah
Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan (taqrir)
beliau.[9]
Pengumpulan dan kodifikasi sunnah telah dimulai pada masa dinasti Abbasiyah.
Setelah itu banyak karya-karya yang sangat bernilai dan lebih detil serta
purifikatif, seperti kutubus sittah yang sangat terkenal.
Tidak ada perdebatan bahwa sunnah merupakan hujjah dalam penetapan hukum di
samping Al-Qur’an. Pernyataan ini diambil dari sebagai ayat Al-Qur’an ,
sebagaimana firman Allah SWT;
!!$tBur.....ãNä39s?#uäãAqߧ9$#çnräãsù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù4(#qà)¨?$#ur©!$#(¨bÎ)©!$#ßÏx©É>$s)Ïèø9$#ÇÐÈ
Artinya:“.....apa yang diberikan
Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka
tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras
hukumannya”.(Al-Hasyr: 7)
Hadis Nabi SAW dapat diketahui dari riwayat yang berantai, yang dimulai
dari sahabat Nabi Muhammad SAW yang
berlangsung menyaksikan perbuatan Nabi SAW atau mendengar sabdanya. Para
sahabat yang meliputi berita itu menyampaikannya kepada orang lain, baik kepada
sahabat lain maupun kepada para tabi’in (generasi setelah sahabat), dan
proses itu terus berlangsung sampai kepada para penulis Hadis, seperti Bukhari
Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthi, Ibnu
Hibban, dan sebagainya.
Pada zaman Nabi
SAW, boleh dikatakan tidak ada sahabat yang secara terang-terangan menulis
Hadis (tidak sebagaimana mereka menuliskan Al-Qur’an).Mereka hanya menghafalkan
lafazhnya atau maknanya dari sabda Rasulullah SAW. Pada tahun 99 H
barulah Al-Hadis mulai ditulis dan dikumpulkan oleh Abu Bakar bin Hazm atas
perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pekerjaan mencatat Hadis terus
berkembang diimbangi dengan berkembangnya penyeleksian, baik dari materinya
sendiri maupun kualitas orang-orang yang menjadi mata rantai Hadis
tersebut.Para ulama Hadis telah bekerja keras dalam memeriksa dan menyeleksi
sesuatu berita yang dikatakan sebagai Hadis.Apakah betul-betul dari Nabi SAW
atau bukan, mereka memeriksanya dengan ketat, kemudian mengkategorinya dalam
derajat, ada yang shahih (dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah), ada
pula yang dha’if (tidak dapat dipergunakan sebagai dalil/hujjah).
3) Ijma’
Ijma’ menurut
bahasa, artinya kesepakatan.Adapun menurut istilah, ijmak berarti kebulatan
pendapat para mujtahidin pada suatu masa dalam menetapkan suatu hukum yang
tidak tidak ditemukan dalilnya secara tegas dalam A-Qur’an atau Hadis.
Sudam merupakan
sunatullah dalam perkembangan zaman senantiasa ditemui masalah-masalah baru
dalam kehidupan manusia yang perlu diketahui kedudukan hukumnya.Apabila para
ulama mujtahidin sepakat dalam menetapkan hukumnya, berarti lahirlah
ijmak/kesepakatan (konsensus) para ulama.
Meskipun ijma’
mengenai masalah-masalah yang tidak ada dalil hukumnya secara tegas dan jelas
dari Al-Qur’an dan Hadis, namun prosesnya tidak boleh lepas dari landasan Al-Qur’an
dan Hadis, yaitu berpegang kepada kaidah dasar agama.Tidak boleh ada ijmak yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang merupakan sumber kaidah dasar
agama.Andaikata ada ijmak yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, ijmak
tersebut otomatis batal.[10]
Dilihat dari
segi terjadinya. Ijma dapat terbagi kepada dua bagian, yakni ijma sharih
dan ijma sukuty:
Ijma sharih ialah bila
semua mujtahid mengeluarkan pendapat-pendapatnya, baik dengan perkataan maupun
dengan tulisan, yang menyatakan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan
oleh seseorang mujtahid masanya.
Sedangkan ijma sukuty
adalah diamnya sebagian ulama mujtahid atas pendapat mujtahid lainnya dalam
menolak atau menerima pendapat tersebut dan diamnya itu bukan karena takut,
segan, atau malu.[11]
Ijma’berarti kesepakatan degan suara
bulat dari para ulama atas suatu persoalan tertentu. Menurut pendapat ulama Syi’ah,
Ijma’merupakan Hujjah, karena jika semua muslim memiliki kesatuan
pandangan, ini merupakan bukti bahwa pandangan tersebut telah diterima dari
Nabi.[12]
4) Qiyas
Qiyas merupakan
sumber hukum Islam yang keempat.Qiyas menurut bahasa artinya ukuran. Menurut
istilah qiyas adalah hukum yang telah tetap dalam suatu benda atau perkara,
kemudian diberikan pula kepada suatu benda atau perkara lain yang dipandang
memiliki asal, cabang, sifat, dan hukum yang sama dengan suatu benda atau
perkara yang telah tetap hukumnya.
Dalam proses
qiyas, ada 4 faktor (rukun) yang harus dipenuhi, yakni asalnya, cabangnya,
hukumnya, dan sifatnya. Misalnya, tentang haramnya khamar (arak).Khamar itu
disebut asalnya. Sifatnya memabukkan dipandang sebagai sebabnya, maka setiap
minuman lain yang sifatnya memabukkan dipandang sebagai cabangnya, dan
dinyatakan hukumnya sebagai haram. Dari kriteria tersebut, dapat dikembangkan
kepada minuman atau makanan lain. Apabila terdapat kesamaan maka dihukumi
sebagaimana khamar,
misalnya narkotik.
Sikap para
ulama mujtahidin terhadap qiyas berbeda-beda.Golongan Hanafiyah mementingkannya
dan mendahulukannya dari hadis ahad (tidak mansyur). Imam Ahmad bin Hanbal
membatasi diri dalam mempergunakannya, hanya dalam keadaan darurat saja, yaitu
jika tidak ada nash dalam Al-Qur’an, Hadis, Atsar, atau Fatwa-fatwa sahabat
walaupun dha’if. Adapun Imam Malik dan Imam Syafi’I menempuh jalan
tengah. Pandangan moderat Imam Malik tampak karena qiyas dipergunakn selama
tidak ada nash dari Al-Qur’an, Hadis, dan Atsar sahabat yang sah. Golongan
Hanafiyah lebih mengutamakan qiyas daripada Hadis ahad, sedangkan golongan
Syafi’iyah baru menggunakan qiyas apabila tidak ada nashAl-Qur’an dan Hadis.[13]
Pengertian
Qiyas dapat dibagi dilihat dari 2 segi, yaitu:
1)
Munurut logika, qiyas artinya mengambil suatu
kesimpulan khusus dari dua kesimpulan umum sebelumnya (syllogisme).
2)
Menurut hukum Islam, qiyas artinya menetapkan
suatu hukum dari masalah baru yang belum pernah disebutkan hukumnya dengan
memperhatikan masalah lama yang sudah ada hukumnya yang mempunyai kesamaan pada
segi alasan dari masalah baru itu.[14]
5)
Istihsan
Dalil ini masyhur dipakai di kalangan
pengikut Hanafiyah, dan diakui pula oleh para ahli fikih lainnya selain madzhab
Syafi’iyah. Al-Karkhi, salah seorang ulama Hanafiyah mengatakan, “Istihsan adalah
beralih dari suatu hukum yang sudah diberikan kepada yang sebandingnya, kepada
hukum yang berlawanan dengannya karena ada suatu sebab yang dipandang lebih
kuat”.[15]
Jadi, istihsan merupakan salah
satu dalil atau dasar-dasar fikih. Ia berada diurutan setelah dalil-dalil
sebelumnya, yaitu Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas. Istihsan ini
banyak digunakan para ahli fikih dalam penetapan hukum. Kita sering menjumpai
ungkapan mereka, “sesuatu ini dibolehkan secara istihsan, bukan secara
qiyas. Sesuatu itu dilarang secara qiyas, namun dibolehkan secara istihsan. Seakan-akan
mereka menjadikan istihsan sebagai lawan dari qiyas.
Berikut contoh dari istihsan;
1) Ba’i ma’dum (jual beli yang barangnya belum ada) tidak
sah, tapi praktik ijarah (sewa menyewa) dierbolehkan secara istihsan,
karena ia merupakan jual beli manfaat sesuatu yang disewakan. Manfaat ini
sifatnya ma’dum (belum ada), karena tidak ada ketika akad ijarah. Qiyas
membatalkan akad semisal ini, akan tetapi diperbolehkan secara istihsan berdasarkan
nash Al-Qur’an. Sunnah dan tradisi yang sudah menjadi ijma’. Ini
artinya, beralih dari qiyas menuju dalil yang lebih kuat.
2) Contoh lain seperti istisna’, yaitu
melakukan akad dengan produsen untuk membuatkan selendang atau perabot lain
semisalnya, dengan barang yang tidak ada pada saat akad. Akad seperti ini juga
dibolehkan secara istihsan, karena hal tersebut sudah menjadi tradisi
semua umat.
6) Maslahah Mursalah
Ulama fikih yang banyak menggunakan sumber hukum ini
adalah Imam Malik bin Anas. Adapun yang dimaksud dengan maslahah mursalah adalah
semua kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat
dalil-dalil yang mneyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan
jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan atau menghindarkan dari
kemudharatan. Atau bisa dikatakan, kemaslahatan yang tidak ada bukti petunjuk
tertentu dari Syari’.
Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi, beliau mencatat bahwa
untuk menetapkan maslahah mursalah ini sebagai sumber hukum, harus
memenuhi tiga syarat;[16]
1. Sejalan dengan tujuan syaria’at, dimana ia
tidak menafikkan salah satu dasar syari’at, juga tidak pula menafikan salah
satu dalil-dalil syari’at.
2. Kemaslahatan tersebut berlaku pada sesuatu
yang rasional, jika kemaslahatan tersebut diusulkan kepada akal maka akal akan
menerimanya. Kemaslahatan tidak berlaku pada persoalan ibadah (ta’abbudi),
sebab kebanyakan persoalan ibadah tidak bisa dirasionalkan.
3. Hasil dari maslahah mursalah merujuk
pada perlindungan sesuatu yang bersifat primer dan menghilangkan kesukaran
dalam agama.
c. Ruang Lingkup/ Objek Kajian Fikih
Keistimewaan fikih islami
dari pada hukum-hukum (Undang-undang) lainnya karena ia meliputi tiga prinsip hubungan
manusia yaitu:[17]
a. Hubungan manusia dengan Tuhannya;
b. Hubungannya dengan dirinya sendiri; dan
c. Hubungannya dengan masyarakatnya.
Ilmu fikih Islami, bukan hanya duniawi semata,
tetapi untuk dunia dan akhirat; dia adalah agama dan kekuasaan, serta berlaku
umum bagi umat manusia hingga hari kiamat.
Pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan
dalam ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercangkup segala
persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat.Artinya, segala
perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti
shalat, puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencangkup hal-hal yang
berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, amanah,
dan harta peninggalan.Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat
dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencangkup segala
persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian,
perampokan, pemberontakan, dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan
hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.[18]
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas
beberapa macam bidang yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang berkaitan
dengannya, yaitu:[19]
a.
Hukum-hukum yang berhubungan dengan urusan keluarga,
semenjak terbentuknya keluarga itu, hingga berakhirnya.
b.
Hukum Perdata (Hukum sipil)
c.
Hukum Jinayah (Pidana)
Yaitu
hukum-hukum yang berkenaan dengan tindakan pidana (kejahatan) dari orang
mukallaf dan hukumannya.
d.
Hukum Acara
Yaitu hukum-hukum
yang berkenaan dengan: penuntutan, pemeriksaan, saksi, sumpah, dan pemutusan
perkara ini dimaksudkan untuk mengatur cara-cara mengajukan perkara, untuk
menciptakan keadilan diantara manusia.
e.
Hukum Dusturiah (perundang-undangan)
Yaitu
hukum-hukum yang mengatur tentang dasar-dasar pemerintahan (Negara) dan
sistemnya.
f.
Hukum Internasional
Yaitu
hukum-hukum yang mengatur hubungan Negara-negara Islam denagn Negara-negara
lain, baik dalam keadaan perang maupun dalam keadaan damai.[20]
7) Hukum Ekonomi
dan Keuangan
Yaitu hukum-hukum
yang mengatur sumber-sumber pemasukan keuangan Negara dan menetapkan anggaran
belanja Negara; mengatur hak dan kewajiban setiap Negara dibidang keuangan dan
mengatur hubungan social-ekonomi antara orang kaya dan orang fakir-miskin,
serta antara pemerintah denagn rakyat.
Objek ilmu Fikih pada pokoknya, yang menjadi
objek pembahasan dalam ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut
hukum syara’. Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok
besar: ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan
yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan
yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada allah, seperti sholat,
puasa, haji, dan lain sebagainya.
Bagian mu’amalah mencakup hal-hal yang
berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
amanah, dan harta peninggalan.Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat
dan siyasah.
Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang
menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan,
pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman,
seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.[21]
Sesuai dengan definisi fikih diatas maka
seluruh perbuatan dan perilaku manusia merupakan medan bahasan ilmu fikih.
Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok,
yaitu:
a)
Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah
seperti sholat, puasa, zakat dan haji.
b)
Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari
najis maupun dari hadats.
c)
Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk
transaksi dan kegiatan-kegiatan ekonomi.
d)
Munakahat, yaitu tenatang pernikahan,
perceraian dan soal-soal hidup berumah tangga.
e)
Jinayat, yang mengulas tentang
perilaku-perilaku menyimpang (mencuri, merampok, zina dan lain-lain) dan
sangsinya.
f)
Faraidh, yang membahas tentang harta warisan
dan tata cara pembagiannya kepada yang berhak.
g)
Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan
aktifitas politik, peradilan, kepemimpinan dan lain-lain.
Singkat kata, seluruh
perbuaatan manusia, baik yang masuk dalam ketujuh kelompok di atas maupun tidak
semuanya mempunyai hukum. Yaitu salah satu diantara lima hukum dibawah ini:
1.
Wajib
Wajib yaitu sesuatu yang harus dikerjakan.
Jika dikerjakan maka pelakunya memperoleh pahala dan jika ditinggalkan maka ia
menuai dosa. Kata lain dari wajib adalah fardlu atau hatm. Wajib ini ada dua macam:
a)
Wajib ‘ain (fardhu ‘ain),
yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu Muslim. Mempelajari ilmu
Fikih terhadap permasalahan yang tidak boleh seorang muslimpun tidak
mengetahuinya adalah fardu ain bagi setiap muslim. Ilmu-ilmu tersebut sering
kita kenal dengan istilah ما علم من اليد بالضرورة atau dengan
istilah ما لا يسع المسلم يجهله. Ilmu tersebut merupakan ilmu primer yang mesti
diketahui oleh seorang muslim bagaikan kebutuhan mereka kepada makanan pokok
yang merupakan kebutuhan primer manusia. Contoh: sholat, puasa, zakat dan
lain-lain.
b)
Wajib kifayah (fardhu
kifayah), yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebuah komunitas Muslim. Jika
salah satu dari anggota komunitas itu sudah melaksanakannya maka gugurlah
kewajiban itu atas yang lain. Tapi jika tak ada satupun yang melaksanakannya
maka setiap anggota komunitas tersebut berdosa.
Mempelajari
ilmu Fikih secara lebih mendalam terhadap setiap permasalahan-permasalahan fikih
adalah fardu kifayah bagi setiap muslim. Apabila tidak ada muslim yang
mempelajari ilmu fikih secara mendalam pada satu wilayah (dalam radius wilayah
yang sudah boleh mengqashar shalat), maka mereka akan berdosa. Contoh:
memandikan mayit, mensholatkan dan menguburkannya.
2.
Sunnah
Sunnah yaitu sesuatu yang
jika dikerjakan maka pelakunya mendapat pahala namun jika ditinggalkan ia tidak
berdosa. Mempelajari ilmu Fikih secara lebih mendalam pada seluruh permasalahan
Fikih setelah terpenuhinya kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah.Contoh: Sholat
tarawih, puasa Senin Kamis, sholat tahajjud dan lain-lain.
3.
Mubah
Mubah yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan
boleh ditinggalkan tanpa bernilai pahala dan dosa. Contoh: makan, minum, tidur
dan lain-lain. Namun hal-hal yang masuk dalam kategori mubah ini bisa benilai
pahala jika disertai dengan niat.
4.
Makruh
Makruh yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan
pelakunya mendapat pahala namun jika tidak ditinggalkan ia tidak berdosa.
Contoh: minum dengan tangan kiri dan lain-lain.
5.
Haram
Haram yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan
pelakunya mendapat pahala dan jika dikerjakan ia berdosa. Contoh: zina, meminum
minuman keras, menggunjing dan lain-lain.
Ilmu fikih ini, dinamai juga dengan Ilmu
Hal, Ilmu Halal wal Haram, Ilmusy Syari’ah wal Ahkam.[22]Syariat Islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun
yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia
manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia
kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan
dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama
ushul fikih. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari
perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fikih.
Setiap pengkaji sebuah
ilmu -sebelum mendalaminya- mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu.
Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna.
Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi`
`asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya,
akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam
pencariannya. Sebagian ulama mengatakan:
من حرم الأصول حرم الوصول
“orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak
akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu)”.
d.
Contoh Objek
Kajian Fikih Kontemporer (Transplantasi Organ Tubuh)
1)
Pengertian
Transplantasi
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia
tertentu, dari suatu tempat ke tempat lain, pada tubuhnya sendiri atau tubuh
orang lain untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat atau tidak berfungsi
dengan baik. Kemudian menurut Prof. Masjfu’ Zuhdi pengertian Transplantasi
adalah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat, untuk
menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik.[23]
2)
Pandangan
Hukum Islam(Fikih) Terhadap Transplantasi Organ Tubuh
Kebanyakan dari para pemerhati
masalah Transplantasi ini ketika membahas hukum mereka akan
mengklasifikasikan kapan Transplantasi itu dilakukan, menurut Prof.
Masyfuk Zuhdi, Apabila pencangkokan tersebut dilakukan pada saat pendonor dalam
keadaan hidup sehat wal afiat, begitu juga sakit (koma) atau hampir
meninggal, maka hukumnya adalah dilarang (haram), sedangkan apabila di lakukan
ketika pendonor sudah meninggal maka hukumnya ada yang mengharamkan, juga ada
yang memperbolehkannya dengan syarat- syarat tertentu.[24]
Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
1.
Resipien
dalam keadaan darurat, yang dapat mengancam jiwanya dan ia sudah menempuh
pengobatan secara medis dan non medis, tapi tidak berhasil.
2.
Pencangkokan
tidak menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih berat bagi repisien
dibandingkan dengan keadaan sebelum pencangkokan.
Menurut Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi Ada beberapa dalil yang di
nilai sebagai dasar pengharaman Transplantasi organ tubuh ketika
pendonor dalam keadaan hidup, antara lain:[25]
1.
Firman
Allah dalam surat Al-Baqaroah: 195
(#qà)ÏÿRr&urÎûÈ@Î6y«!$#wur(#qà)ù=è?ö/ä3Ï÷r'Î/n<Î)Ïps3è=ökJ9$#¡(#þqãZÅ¡ômr&ur¡¨bÎ)©!$#=ÏtätûüÏZÅ¡ósßJø9$#ÇÊÒÎÈ
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
(Al-Baqoroh: 195)
2.
Hadits
Rasulullah:
لا
ضرر ولا ضرار
Artinya: “Tidak di perbolehkan adanya bahaya pada diri sendiri dan
tidak boleh membayakan diri orang lain.”(HR. Ibnu Majah).
Dalam kasus ini, orang yang menyumbangkan sebuah mata atau
ginjalnya kepada orang lain yang buta atau tidak mempunyai ginjal. ia (mungkin)
akan menghadapi resiko sewaktu-waktu mengalami tidak berfungsinya mata atau
ginjalnya yang tinggal sebuah itu, dari itu dapat di pahami adanya unsur yang
di nilai mendatangkan bahaya dan menjatuhkan diri pada kebinasaan.
3.
Kaidah
hukum Islam
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya:“Menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada
meraih kemaslahatan”.
Pendonor yang masih hidup berarti mengorbankan atau merusak
dirinya dengan cara melepas organ tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain
dan demi kemaslahatan orang lain, yakni Resipien. Dan itu tidaklah sesuai
dengan kaidah hukum tersebut.
4.
Kaidah
Hukum Islam:
الضرر
لا يزال بالضرر
Artinya:“Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya
lainnya”.
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam Islam tidak di benarkan
penanggulangan suatu bahaya dengan menimbulkan bahaya yang lain. Sedangkan
orang yang mendonorkan organ tubuhnya dalam keadaan hidup sehat dalam rangka
membantu dan menyelamatkan orang lain adalah di nilai upaya menghilangkan
bahaya dengan konsekwensi timbulnya bahaya yang lain.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah Transplantasi
boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama,
Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek Transplantasi
anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar
kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadits Nabi SAW:
كَسْرُ
عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.
“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak
tulang orang hidup”.
Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah
(mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya
untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia
tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima
warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan)
anggota tubuh mayyit.
Kedua,
berbeda dengan Ibn Baz para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi,
al-Buti, Abdullah
Kanun dan Abdullah
al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek Transplantasi boleh dan
kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh
mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya,
kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak
tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya
mengatakan: “Ada
yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan
sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki
tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan
mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh
merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan
dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam
surat an-Nur : 33.”
وَءَاتُوْهُمْ مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِى
ءَاتَاكُمْ ....(النور : 33)
“…dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada
kamu… (an Nur : 33 )
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya
untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga
seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau
membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh
anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan
dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang
sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama
sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ
tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat :Karena diperlukan, dengan
ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Penjelasan yang berbeda akan kita temukan mengenai Transplantasi
organ tubuh ini ketika kita membaca buku Fatwa- Fatwa Kontemporer yang
di tulis oleh syiekh Yusuf Qardawi yang memberikan penjelasan di mana kita akan
sampai pada kesimpulan bahwa menurut Beliau Transplantasi adalah suatu
hal yang di perbolehkan baik itu di lakukan di masa pendonor masih hidup
ataupun sudah meninggal, akan tetapi kebolehan tersebut bukanlah suatu
kebolehan yang bersifat mutlak tanpa syarat melainkan ada ketentuan –ketentuan
yang harus di perhatikan.[26]
Beliau mengawali pembahasan seputar Transplantasi
dengan mengajak kita untuk memahami apakah seseorang itu memiliki tubuhnya
sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hati, misalnya dengan
mendonorkan atau lainnya, Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah
yang tidak boleh di pergunakan kecuali dengan izin-Nya.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat (bahaya)
itu harus dihilangkan sedapat mungkin.Karena itulah kita disyariatkan untuk
menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, terluka, kelaparan,
mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya,
baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu
dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke
laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah
jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka diperbolehkan pula seorang muslim
mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan
orang lain yang membutuhkannya.[27]
Maka dari itu dengan jelas Syaekh Yusuf Qardawi mengatakan
bahwa upaya menghilangkan penderitaan seorang Muslim dengan cara memberikan
donor organ tubuh yang sehat kepadanya adalah merupakan tindakan yang di
perkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya.
Akan tetapi yang harus di perhatikan, masih menurut Beliau kebolehan ini
bukanlah bersifat mutlak, bebas tanpa syarat, melainkan tindakan ini bisa di
benarkan jika memang tidak menimbulkan mudarat (bahaya) bagi si pendonor.[28]Dalam
kata lain jika seseorang melakukan donor dan ternyata itu mengakibatkan bahaya,
kesengsaraan pada dirinya maka tindakan itu tidak bisa di benarkan syara’.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan
organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung,
karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak
diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar
pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa)
itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi:
"Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."[29]
Para Ulama Ushul Fikih menafsirkan kaidah tersebut dengan
pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang
sama atau yang lebih besar daripadanya. Karena itu tidak di perbolehkan
mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena
yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan
dharar pada diri sendiri yang lebih besar.
Kemudian mengenai wasiat pendonoran organ tubuh ketika
seseorang sudah meninggal Syekh Yusuf Qardawi memberikan pengertian dengan mengajak
kita untuk memahami lagi tentang pendonoran yang di lakukan oleh pendonor yang
masih hidup di mana ada kemungkinan kemudaratan yang menimpa si pendonor dan
itu hukumnya tetap di perbolehkan.Maka dengan itu, pendonoran yang di lakukan
dalam keadaan tanpa resiko mudarat /bahaya yang menimpa pendonor yang sudah
meninggal adalah upaya yang lebih berhak untuk di perkenankan. Sebab yang
demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa
menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya (si
mayit), karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan
dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Dan menurutnya Dalam hal ini tidak
ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala
sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang
melarangnya.Dan dalam kasus ini dalil tersebut (dalil yang mengharamkan) tidak
dijumpai.[30]
Lebih dari itu Beliau menjelaskan kebolehan praktek Transplantasi
dari organ si mayit tidaklah hanya terbatas pada kasus adanya wasiat dari si
mayit, dalam arti pendonoran organ tubuh dari seorang yang sudah meninggal itu
di perbolehkan sekalipun si mayit tidak pernah berwasiat sebelumnya.Akan tetapi
Transplantasi berkaitan organ tubuh orang yang meninggal ini bisa
berubah hukum menjadi haram atau tidak di perbolehkan jika memang si mayit
pernah berwasiat supaya organ tubuhnya tidak boleh ada yang di donorkan ketika
meninggal.[31]
Karena itu merupakan haknya dan wasiat itu wajib di laksanakan selama tidak
merupakan kemaksiatan.
Demikianlah pembahasan terkait hukum Transplantasi
organ tubuh dengan berbagai kemungkinannya di mana perbedaan pendapat pun masih
kita temukan dalam bahasan-bahasannya, meski demikian ketika kita berusaha
memahami kajian-kajian tersebut lebih –lebih apa yang telah di uraikan oleh
Syekh Yusuf Qardawi kita akan menemukan alur pemikiran yang tidak terlalu rumit
untuk di mengerti dan pantas untuk di jadikan acuan menyoal Transplantasi
organ tubuh ini, di mana pada intinya menurut beliau transpalntasi dengan
berbagai kemungkinan prakteknya adalah suatu hal yang di perkenankan syara’
selama tidak ada kemaslahatan besar yang terabaikan, atau selama tidak
mendatangkan bahaya atau kemudaratan.
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat diambil kesimpulan secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.Fikihadalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik
kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Ruang
lingkup Studi fikih dibagi kedalam beberapa kelompok yaitu: ibadah,
mu’amalah, dan ‘uqubah..Adapun fungsi dan tujuan
Studi Fikih diantaranya adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakan perintah Allah swt
dan menjauhi larangan-Nya, agar kehidupan seorang mukmin berjalan dengan benar
sesuai yang dituntut oleh Allah swt. Dengan demikian fungsi akan selaras dengan
tujuan. Selain itu, studi fiqih berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dan
kesadaran beribadah kepada Allah SWT sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan di akhirat.
Di
Era modern ini, seiring dengan perkembangan zaman maka banyak bermunculan persoalan-persoalan
yang sifatnya (ikhtilafiyah).Artinya persoalan yang mungkin dulu dizaman
Nabi belum ada, dizaman sekarang persoalan seperti ini banyak tumbuh dikalangan
masyarakat.Seperti contoh Transplantasi organ tubuh.Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkannya juga ada yang mengharamkannya.
DAFTAR RUJUKAN
Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,
(Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2006).
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).
Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2014).
Mustofa,
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Rachmat Syafe’i, Ilmu
Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Abdul
Djamali, Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002).
Muhammadiyah Djafar, Pengantar Ilmu Fikihi (Islam dalam Berbagai
Mazhab), (Jakarta: Radarjaya Offset, 1993).
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).
Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan
Organ Tubuh dalam Masaail Fikihiyah, (Jakarta , CV Haji Mas Agung, 1993).
Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, (Jakarta,
Gema Insani Press, 1995).
[1]Alaiddin Koto, Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 2006), hal. 1
[3] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1999), hal. 16.
[5] Muhammad Yusuf
Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014),
hal. 186
[6] Mustofa, Hukum
Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 9.
[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hal. 52
[8] Ayatullah
Baqir Ash-Shadr, Pengantar Ushul Fikih & Ushul Fikih Perbandingan
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hal. 142.
[11] Alaiddin Koto,
Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 82
[13] Mustofa, Hukum
Islam Kontemporer, ibid,…, hal. 14-15
[14] Abdul Djamali,
Hukum Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 71.
[17]Muhammadiyah
Djafar, Pengantar Ilmu Fikihi (Islam dalam Berbagai Mazhab), (Jakarta:
Radarjaya Offset, 1993), hal. 15.
[18] Alaidin Koto,
Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 5
[19] Alaidin Koto,
Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 16
[20] Alaidin Koto,
Ilmu Fikih dan Ushul Fikih,…, hal. 17
[22] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fikih (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1999), hal. 17.
[23]Masjfu’ Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam
Masaail Fikihiyah, (Jakarta , CV Haji Mas Agung, 1993), hal. 84
[24]Masjfuk Zuhdi, Pencangkoan Organ Tubuh dalam
Masaail Fikihiyah, ibid,…, hal 88.
[26]Yusuf Qardawi, Fatwa fatwa Kontemporer, (Jakarta,
Gema Insani Press, 1995), jilid 2, hal. 759
Tidak ada komentar:
Posting Komentar