BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf
merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai
dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih,
khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas
berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga
menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam
Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu
syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui
studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini
diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada
saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai
aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab,
kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan
dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti
manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan,
penindasan.[1]
Oleh
karena itu dalam pembahasan makalah ini akan dipaparkan beberapa pengertian
tasawuf, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, pendekatan utama dalam
kajian tasawuf, model-model penelitian tasawuf, persyaratan penelitian tasawuf,
tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf dan
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian, sumber dan pemikiran Tasawuf serta
bagaimana pendekatan utama dalam kegiatan tasawuf?
2. Bagaimana
model-model penelitian tasawuf, dan apa saja persyaratan penelitian tasawuf
serta siapakah tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf?
3. Bagaimana
Peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Agar
mengetahui pengertian, sumber dan pemikiran Tasawuf serta bagaimana pendekatan utama dalam kegiatan
tasawuf
2. Agar
mengetahui bagaimana model-model penelitian tasawuf, dan apa saja persyaratan
penelitian tasawuf serta siapakah tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
3. Agar
mengetahui bagaimana peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Tasawuf dari segi kebahasaan
terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution
misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu
al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah
ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat
berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf
(kain wol kasar).[2]
Ditinjau dari lima istilah di atas,[3] maka
tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan yang selalu beroreantasi
kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana,
mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih
mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa
tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan
hidup yang menyesatkan. Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama,
sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia
sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang,
manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada
ajaran agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut
pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki
kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya serta selalu
memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.[4]
Oleh karena itu, tasawuf adalah aspek ajaran islam yang paling penting,
karena peranan tasawuf merupakan jantug atau urat nadi pelaksanaan ajaran
Islam. Tasawuf inilah yang merupakan kunci kesempurnaan amaliah dalam ajaran Islam.
Memang disamping aspek tasawuf, dalam Islam ada aspek lain yaitu apa yang
disebut dengan akidah dan syariah, atau dengan kata lain bahwa yang dimaksud “
Addin” (Agama) adalah terdiri dari Islam, Iman, dan Ihsan, dimana ketiga aspek
tersebut merupakan satu kesatuan. Untuk mengetahui hukum Islam kita harus lari
pada syariat atau fiqih, untuk mengetahui hukum Iman kita harus lari pada
ushuludin atau akidah dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan kita masuk
kedalam Tasawuf. Oleh karena itu, Tasawuf ada kalanya membawa orang menjadi
sesat dan musrik apabila seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyariat.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan
fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat
atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan
melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada
kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan
perbuatan yang tercela. Oleh karena itu tasawuf adalah
jalan spiritual dan merupakan dimensi batin. Abul ‘Ala Almaududi menyebutkan
apa yang berhubungan dengan perbuatan jiwa disebut dengan tasawuf.
B. Sumber
dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
a)
Sumber Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi pada
kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan
kerohanian seperti pembersihan hati, dzikir, ibadah lainnya serta mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana
orang-orang yang menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan
dunia bahkan memutuskan hubungan dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi
oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-taubah, al-zuhd, al-tawakkul,
al- syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana atau hilang
identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan
sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal
tersebut diatas. Di dalam Al-Qur’an ditemukan perintah beribadah dan berdzikir,
diantaranya: “Bahwasanya
tidak ada tuhan melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.[5]. ”Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya
agar kamu beruntung”.[6].
Tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan dunia,
Al-Qur’an di antaranya menegaskan: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah
adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan memperdayakan kamu dan
sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah. ”[7]
Di samping itu ada sebuah riwayat yang menjelaskan
bahwa Muhammad setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran di tengah-tengah
keramaian hidup, ditemukan sejumlah hadits yang memuat ajaran tasawuf,
diantaranya adalah hadist yang artinya: ”Seorang laki-laki datang kepada
Nabi saw lalu berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi berkata:
Bertakwalah kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah,
karena itu kehidupan seorang rubbani muslim, Berdzikirlah, karena itu adalah
nur bagimu.”[8]
Tentang kwalitas dan kwantitas ibadah Rasulullah, Aisyah r.a pernah
berkata:“Sesungguhnya Nabi SAW bangun di tengah malam (untuk melaksanakan
shalat) sehingga kedua telapak kakinya menjadi lecet. Saya berkata
kepadanya:”Wahai Rasulullah mengapa anda masih berbuat seperti ini, padahal
Allah telah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagimu?”
Nabi SAW, lalu menjawab:”Salahkah aku jika ingin menjadi seorang hamba yang
selalu bersyukur”.[9]
Ayat–ayat dan hadits-hadits yang dikutip di atas hanya
sebahagian dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hal-hal kehidupan
ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh takut
dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur dan ridha serta
dekat dengan Allah. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah
sendiri serta para sahabat-sahabatnya, khususnya mereka yang dijuluki ahl
al-shuffah. Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan dengan
ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah asy-Syarkawi
mengatakan: “Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asal mula tasawuf
Islam dapat ditemukan semangat ruhaninya dalam Al-Qur’an al-Karim,
sebagaimana juga dapat ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi saw., baik
sebelum maupun sesudah diutus menjadi nabi. Awal mula tasawuf Islam juga dapat
ditemukan pada masa sahabat Nabi saw beserta para generasi sesudahnya.”[10]
Abu Nashr As-Siraj Al-Thusi mengatakan bahwa ajaran
tasawuf pada dasarnya digali dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena amalan para
sahabat, menurutnya, tentu saja tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Menurut hemat penulis jika beberapa konsep yang ada di dalam tasawuf seperti
taubah, al-zuhd, al-tawakal, al-syukr dan lainnya dirujuk kepada Al-Qur’an,
maka jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber utamanya walaupun dalam
perkembangannya mungkin dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh asing.
(b) Awal Muncul Tasawuf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua
Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama
Hijriyah belum meneganal istilah tersebut. Namun bentuk amaliah para Sufi itu
tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah
Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasawuf mengalami perkembangan
yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw.
baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan
Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama
bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat
konseptual. Tasawuf pada masa Rasulullah saw adalah sifat umum yang terdapat pada
hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali.
Pada awal perkembangan tasawuf, sekitar abad 1 dan
ke-2 H, tasawuf ditandai oleh menonjolnya sifat zuhud. Pada fase inilah muncul
zahid muslimyang termasyur di kota- kota seperti Madinah, Kufah, Basra, Balk,
dan juga kawasan Mesir. Mereka merupakan gerakan yang menginginkan agar kaum
muslim hidup secara sederhana, sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya
gerakan tersebut tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di
kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang
terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat
besar yang saleh dan sederhana.
Di Madinah, Sa’id bin Musayyab (w. 91 H), murid dan
menantu Abu Hurairah ra (salah seorang ahl as-suffah), mencontohkan hidup zuhud
kepada para pengikutnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu kali ia
ditawari sejumlah tiga puluh lima ribu dirham uang perak. Ia menolaknya dan
beliau memandang para penguasa Bani Umayyah-kata Ibnu Khallikan, penulis
biografi tokoh-tokoh Islam klasik- sebagai tiran, sehingga tidak mau membaiat
Abdul Malik bin Marwan ketika naik tahta kerajaan.[11]
Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama
sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawuf adalah
Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam
adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah
Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan
dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama
memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf sebagai pembuka jalan
generasi berikutnya.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru
muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih
jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual, tasawuf
telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Semua nabi dan Rasul
adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna ( insan kamil). Nabi
Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling
sempurna.
(c) Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Untuk melihat lebih jelas bagaimana perkembangan
pemikiran tasawuf maka penulis mencoba mengemukakan secara ringkas sejarah
perkembangan tasawuf dimulai abad pertama hijriah.
1.
Abad
pertama dan kedua Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam
bentuknya yang awal. Pada periode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh
perhatian kepada kehidupan materi seperti makan, pakaian dan tempat tinggal.
Mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang
lebih abadi yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk
kehidupan asketis (zuhud) Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini
adalah: dari kalangan sahabat, diantaranya Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari.
Sedangkan dari kalangan tabi’in, diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin
Dinar dan lain-lain .
2.
Abad
ketiga dan keempat Hijriyah
Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam
pengertian sederhana, maka pada abad ketiga dan keempat hijriah para sufi mulai
memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku
sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pada periode ini,
tasawuf mulai berkembang dimana para sufi menaruh perhatian setidaknya kepada
tiga hal yaitu jiwa, akhlak dan metafisika. Diantara tokoh-tokoh pada abad ini
adalah Ma’ruf al-Kharkhi, Abu Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri, Abu Yazid
Al-Bustami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj dan lain-lain.
3.
Abad
kelima Hijriyah
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar,
Al-Ghazali. Dengan tulisan momumentalnya tahafut al-falasifah dan ihya ‘ulum
al-din. Al-Ghazali mengajukan kritik- kritik tajam terhadap pelbagai aliran
filsafat dan kepercayaan kebathinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf
dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
4.
Abad
keenam dan ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang
memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni dari
tasawuf dan juga tidak murni dari filsafat. Kedua-duanya menjadi satu. Tasawuf
ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi. Diantara tokoh-tokoh terkemuka
adalah Suhrawardi, Mahyuddin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Faridh dan lain-lain.
5.
Abad
kedelapan Hijriyah dan seterusnya
Pada abad kedelapan Hijriyah, tasawuf telah mengalami
kemunduran. Ini diantaranya karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang
tasawuf, kegiatannya sudah terbatas pada komentar-komentar atau meringkas
buku-buku tasawuf terdahulu serta menfokuskan perhatian pada aspek-aspek
praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari
subtansi tasawuf. Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi perkembangan
pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang
mengemukakan pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Diantaranya adalah
Al-Kisani dan Abdul Karim Al-Jilli. Di antara penyebab kemunduran mungkin
adalah kebekuan pemikiran serta spritualitas yang kering melanda dunia Islam
semenjak masa-masa akhir periode Dinasti Umayyah
C. Pendekatan
Utama Dalam Kajian Tasawuf
Menurut Charles J Adams diantara banyak bidang kajian
dalam studi Islam, tasawuf merupakan bidang yang menarik minat pada tahun
belakangan. Studi tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari studi tentang
mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada masa awal Islam
bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana yang tertarik
mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya
Mystical Dimensions of Islam. Hal terpenting dari pendapat Adam adalah
untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan pendekatan fenonemologi.[12]
Pendekatan fenonemologi adalah pendekatan yang lebih
memperhatikan pada pengalaman subjektif, individu karena itu tingkah laku
sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap dirinya dan dunianya.
Konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran
atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu
dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.[13]
Sedangkan menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat
dilakukan dengan pendekatan tematik yaitu penyajian ajaran tasawuf disajikan
dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain,
mahabbah, al-ma’rifah, al fana dan al-baqa, al- ittihad, al-hulul dan wahdatul
wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari
setiap topik tersebut dengan data-data yang didasari pada literatur
kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya. Kajian
tasawuf yang dilakukan dengan pendekatan tematik akan terasa lebih menarik
karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan
yang bersifat tokoh. Kajian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif
eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam garis besar saja.[14]
D.
Model-Model Penelitian Tasawuf
1. Model
Sayyed Husein Nasr[15]
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat
terkenal dan produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah
ilmuan muslim ke-6 abad modern termasuk ke dalam bidang tasawuf.
Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan
sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus
di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan
tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis
terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan
bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan
dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia bahkan mengemukakan
tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.
2. Model
Mustafa Zahri[16]
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap
tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”.
Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai
literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf
berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan
mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian
yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah,
sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta
tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf,
ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa Allah.
3. Model Kautsar Azhari Noor.[17]
Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya
pada penelitian tasawuf dalam rangka disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat
al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn
Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa Allah
sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya
di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini
merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada
alam.
Paham ini telah menimbulkan kontroversi di
kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau
paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan
demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan. Mereka
berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun sifat-Nya banyak.
Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda
dengan sifat manusia.
4.
Model Harun Nasution[18]
Harun Nasution merupakan guru besar dalam
bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh perhatian terhadap
penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan
mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan
stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad,
al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena
langsung menuju persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat
tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa,
walau hanya dalan garis besarnya saja.
5.
Model A. J. Arberry[19]
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat
kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf.
Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan
pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh.
Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan
nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan
tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran
tasawuf. Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis
kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks
sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentranformasikan
ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.
E.
Persyaratan Peneliti Tasawuf
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi
kasus dan mempergunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen[20].
Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus menguasai
persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta
dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia
harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus
mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana
kaitanya dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah
berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah hingga dewasa ini tentu
mengembangkan terminology atau bahasa khusus[21] yang hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran
dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para sufi
pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kacamata
para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria menurut
aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat
beserta etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat.
Oleh
karena itu, imam al-qusyairi misalnya dalam risalah mengatakan:(Maka setiap
syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap
hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah
dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus
milik kaum sufi, akan tetapi apakah hakikat atau tasawuf itu batin syariah? Banyak
istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti :
maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah,
fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya[22].
Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan makna
bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir
syar’i.
Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai
pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan
ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian bergerak dalam bidang agama,
bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi pengembangan agama.
Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan
agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi
untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat
islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian yang cerah, lantaran adanya
reotyped ideas yang telah lama direntak para pendukung tasawuf. Terutama
rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu (tasawuf) dan naqli
(syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama yang
berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid
semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak
(ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide
tasawuf moderenya, maka para peneliti yang rindu dengan kebenaran yang cerah,
tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus berusaha mendobrak jeretan
pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti berusaha mencari dan menemukan
intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran tasawuf. Menurut harun nasution
dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam intisari dari mistisme,
termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya komunikasi dan dialoq
(langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan
kontenplasi. Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya
kontemplasi atau bahkan ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan
sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk
bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini
merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan
hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf[23].
Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan
dengan apa hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya adalah ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu
meditasi atau tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan
panca indera.
Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf
adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita fana dan kasyaf tidak aka nada
tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang dimunculkan para
sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan, berkaitan erat
langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala
definisi tasawuf yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah
kabur, dan member gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh
karena itu bagi orang yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang
tasawuf, harus berpegang dalam inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti
sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan kabur. Laksana sibuta yang
meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran
tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu (hubulllah). Rindu
untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan tuhan.
Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa
dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk
mencapai pengalaman fana dan kasyfi ini, tidak lain merupakan pengalaman
kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda ajaran
tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya
menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf, terutama aspek positifnya tentang
pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian yang utuh
tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme,
apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui
pengertian utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita
inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.
F.
Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
Adapun tokoh-tokoh dan karya utama yang termasuk
kedalam kajian tasawuf di antaranya:
1)
Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M) Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus pada
tahun 450 H/1058 M. Karya utamanya adalah Ihya ‘Ulum al- Din, Tahafut
al-Falasifah dan Al-Munaiz min al-Dhalal .
2)
Abu Thalib al-Makki (w. 386 H) Abu Thalib
al-Makki adalah seorang pengarang kitab shufi terbesar, bernama “Qutul Qulub fi
Mu’amalatil Mahbub.[24]
3)
Al-Qusyairi (w. 465 M) Nama lengkapnya adalah
‘abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi. Karya utamanya:Risalah al-Qusyairiyah.[25]
4)
Al-Muhasibi (w. 857 M) Nama lengkapnya Abu
Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Karya utamanya adalah
Al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan.
5)
Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) Nama lengkapnya adalah
Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Thai al- Haitami. Dia lahir pada
tahun 560 H. Karya utamanya adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam
. Di antara ajaran yang terpenting dari Ibn Arabi adalah Wahdatul wujud.
6)
Al-Jilli (w. 1403 M) Nama lengkapnya adalah
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli. Ia lahir tahun 767 H di Jilan. Karya utamanya
adalah Al-Insan al-Kamil fi Ma,rifah al-Awakhir wa al-Awail dan kitab Al-Kahf
wa Raqim fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim.
7)
Ar-Raniri Nama lengkapnya Nur al-Din Muhammad
bin Ali bin Hasanji Al-Hamid Al-Syafi’i Al-Aydarusi al-Raniri. Karya utamanya:
Al-Tibyan fi Ma,rifah al-Adyan fi al- Tashawwufh.
8)
Al-Palimbani Nama lengkapnya Abd al-Shamad
al-Palembani. Karya utamanya: Al-Urwatul al- Wusqa wa silsilah uli al-Tuqai.
9)
Hamka Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Karya utamanya Tasawuf modern, perkembangan tasawuf dari abad keabad.
G.
Peranan dan penerapan Tasawuf dalam Kehidupan
Modern
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada
Allah melalui penyucian diri dan amaliyah-amaliyah Islam. Dan memang ada
beberapa ayat yang memerintahkan untuk menyucikan diri (tazkiyyah al-nafs) di
antaranya: “Sungguh, bahagialah orang yang menyucikan jiwanya” (Q.S. Asy-syam
[91]:9); “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr: 28-30). Atau ayat yang memerintahkan
untuk berserah diri kepada Allah, “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu
bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah” (QS. Al An’am: 162).
Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah
menjadikan manusia berkeperibadian yang shalih dan berperilaku baik dan mulia
serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam sebuah tharekat atau
aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup sederhana,
jujur, istiqamah dan tawadhu. Semua itu bila dilihat pada diri Rasulullah
SAW, yang pada dasarnya sudah menjelma dalam kehidupan sehari-harinya. Apalagi
di masa remaja Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai manusia yang digelari al-Amin,
Shiddiq, Fathanah, Tabligh, Sabar, Tawakal, Zuhud, dan termasuk berbuat baik
terhadap musuh dan lawan yang tak berbahaya atau yang bisa diajak kembali pada
jalan yang benar. Perilaklu hidup Rasulullah SAW yang ada dalam sejarah
kehidupannya merupakan bentuk praktis dari cara hidup seorang sufi.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Jadi, tujuan terpenting dari tasawuf adalah lahirnya akhlak yang baik dan menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat
yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat
dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari
hidupnya. Ketidakjelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan
batin. Maka lewat spiritualitas Islam lading kering jadi tersirami air sejuk
dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah
tujuannya.
Manfaat tasawuf bukannya untuk mengembalikan
nilai kerohanian atau lebih dekat pada Allah, tapi juga bermanfaat dalam
berbagai bidang kehidupan manusia modern. Apalagi dewasa ini tampak
perkembangan yang menyeluruh dalam ilmu tasawuf dalam hubungan
inter-disipliner.[26]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tasawuf adalah upaya
melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari
pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah sehingga jiwa menjadi bersih dan
memancarkan Akhlak mulia. Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3
sudut pandang :
1. Sudut
pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2. Sudut
pandang manusia harus berjuang
3. Sudut
pandang manusia sebagai mahluk bertuhan
Penelitian tasawuf umumnya menggunakan studi
kasus dan menggunakan pendekatan fenomenal logis atau verstahen. Maka syaratnya
kelak bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup
banyak. Dan para ahli mempunyai model-model penelitian
tasawuf yang berebeda seperti : Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar
Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu
dengan lainya.
B. SARAN
Apabila dalam penulisan makalah
ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan mohon untuk di maafkan. Penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen pembimbing serta rekan-rekan
mahasiswa agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat menjadi lebih baik dan
benar. Semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata,
Abudin. 2003. Metodologi Studi Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Abuddin Nata,
Abudin. 1998. Metodologi Studi Islam.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Asy-Syarkawi, Muhammad Abdullah. 2003. Sufisme dan
akal, terj. Halid Alkaf. Bandung:Pustaka Hidayah
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan
Peradaban Jilid 4. 2002. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve
http://model penelitian
tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv
http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/12/peran-tasawuf-dalam-kehidupan-modern.html
Id.Wikipedia. Org/ wiki/psikologi
M. Jamil, M. 2007. Cakrawala Tasawuf: Sejarah,
Pemikiran dan Konstektualitas cet 2. Jakarta: Gaung Persada Pers,
Mz, Labib. 2001. Memahami ajaran tasawwuf.
Surabaya: Bintang Usaha Jaya
Simuh.
1998. ahlak tasawuf . Jakarta:
PT.Raja Grafindopersada
[1]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), hal 235
[2] Abuddin
Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998) hal 10
[3] Abuddin
Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998) hal
70
[4] Abuddin
Nata, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali press, 1998) hal
16
[5]
Q.S. Al-Anbiya : 25
[6]
Q.S. Al-Anfal : 45
[7]
Q.S Fathir : 5
[8]
HR.Bukhari
[9]
HR. Bukhari dan Muslim
[10]
Muhammad Abdullah asy-Syarkawi, Sufisme dan akal, terj. Halid Alkaf,
(Bandung:Pustaka Hidayah,2003), hal 29
[11]
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 2002), jilid 4, hal. 146
[12]
Luluk Fikry Zuhriyah, Metode dan Pendekatan dalam studi Islam, http://Elfikry.blogspot.com.
[13] Id.Wikipedia.
Org/ wiki/psikologi
[14] M. Jamil, Cakrawala
Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, (Jakarta: Gaung Persada
Pers, 2007), cet.2, hal 244
[15] Abuddin
Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal
17
[16] Abuddin
Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal
18
[17] Abuddin
Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal
19
[18] Abuddin
Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal
19
[19] Abuddin
Nata, 1998, Metodelogi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali press, 1998), hal
20
[22] Simuh, ahlak
tasawuf , (Jakarta: PT.Raja Grafindopersada,1998),hal 11
[23] Simuh, ahlak
tasawuf , (Jakarta: PT.Raja Grafindopersada,1998),hal 12
[24]
Labib Mz, Memahami ajaran tasawwuf, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001),
hal 74
[25] M. Jamil, Cakrawala
Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, (Jakarta: Gaung Persada
Pers, 2007), cet.2, hal 84
[26] http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/12/peran-tasawuf-dalam-kehidupan-modern.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar