Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH STUDI HADIS DAN ILMU HADIS

BAB I
PEMABHASAN


A.    Latar Belakang
Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits meliputi sabda Nabi, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) darinya.[1]Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua hadits perlu mendapat pengkajian yang mendalam karena hadits memiliki bebrapa fungsi tehadap al-Qur’an, salah satunya adalah melengkapi hukum agama yang tidak diatur di dalam al-Qur’an.
Mempelajari dan mengkaji hadits harus secara secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi periwayatan maupun kualitas dan kesahihan hadits. Mempelajari dan mengkaji hadits ini merupakan kegiatan yang kopleks mengingat kodifikasi hadits dilakuan dua abad setelah nabi hijrah, sehingga terdapat kemungkinan terjadi distorsi terhadap hadits. Oleh karena itu penelitian terhadap hadits harus meneyeluruh dan serius, agar diperoleh hadits yang berkualitas.
Hadits sebagai sumber ajaran Islam terntunya memiliki peran yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia terutama umat Islam. Baik pada zaman duhulu ataupun di zaman yang modern seperti sekarang ini, hadits harus tetap dijadikan rujukan atau pedoman dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian makalah ini menabhas tentang tujuan mengkaji dan mempelajari hadist dan untuk menilai apakah secara historis sebuah hadist itu benar-benar dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya berasal dari nabi, atau tidak. Sehingga memberikan kemudahan untuk bersikap terhadap hadits yang diterima ataupun hadits yang tertolak. Hal tersebut sangat menentukanmengingat kadar kualitas hadist kuat sekali hubungannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadits dapat dijadikan sebagai hujah agama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits dan ilmu hadits?
2.      Bagaimana sejarah hadits dan ilmu hadits?
3.      Bagaimana keadaan hadits dan ilmu hadits di era modern?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mendekripsikan pengertian hadits dan ilmu hadits.
2.      Untuk menjelaskan sejarah hadits dan ilmu hadits.
3.      Untuk menjelaskan keadaan hadits dan ilmu hadits di era modern.
Abstrak
Berbicara tentang hadits adalah membicarakan suatu hal yang kompleks dikarenakan dalam sejarah hadits itu sendiri, pembukuannya dialkukan setelah dua abad setelah nabi hijrah, tepatnya pada masa dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Umar bin abdul Aziz. Sehingga ilmu hadits sangat penting posisinya untuk mengkritisi suatu hadits, adapaun ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi SAW.dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhabitan dan ke adilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. Walaupun demikian itu Hadits bukan hanya yang dimarfukkan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan dapat pula dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya dari sahabat,  dan dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin, dikarenakan ada perkataan dan sebagainya dari para sahabat yang mampu memberikan solusi pada suatu masalah di era modern ini.Lebih lanjut makalah ini membahas tentang hadits, ilmu hadits, sejarahnya, dan keaadaanya di era modern saat ini.

Kata kunci: hadits, ilmu hadits, era modern.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits dan Ilmu Hadits
1.      Pengertian Hadits
Menurut Ibnu Manzhur, kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits, jamaknyaal-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.[2]Selain itu bila kata hadist diperhadapkan pada etimologi (asal-usul kata), lafaz حدث dapat berarti al-kalam (pembicaraan), al waq’u (kejadian), Ibtada’a (mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadim (lawan dari yang lama).[3]
Dalam al-Qur’an kata hadits ini disebutkan sebanyak 23 kali.Berikut ini beberapa contohnya.
a.       Hadits sebagai komunikasi: risalah atau al-Qur’an.
Allah SWT. berfirman,
Artinya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk.” (Q.S. Az-Zumar: 23).

b.      Hadits sebagai kisah tentang suatu watak secular atau umum.
Allah SWT. berfirman,
Artinya: “dan apabila kamu (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka beralih ke pembicaraan lain. Dan jika syaitan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini), setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al An’am: 68).

c.       Hadits sebagai kisah historis.
Allah SWT. berfirman,
Artinya: “apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?.” (Q.S. Thaha:9).

d.      Kisah kontemporer atau percakapan.
Allah SWT. berfirman,
Artinya: “dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal Ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."” (Q.S. At-Tahrim: 3).

Dari ayat-ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hdits telah digunakan dalam al-Qur’an dalam arti kisah, komunikasi atau risalah baik religion ataupun sekuler, dari suatu masa lampau atau masa kini.[4]
Secara terminologis pengertian hadist berbeda-beda menurut para ulama, baik muhaditsin, ulama ushul, ataupun fuqaha.Ulama Hadits mendefinisikan hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat atau hal ihwal Nabi.[5]
Menurut ahli ushul fiqh, pengertian hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, amupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.[6]Sedangkan menurut para fuqaha hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW.yang tidak bersangkut paut dengan masalah fardhu atau wajib.[7]
Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja megandung kecenderungan pada aliran ilmu yang di dalaminya.Perbedaan tersebut memunculkan dua pengertian hadits, yaitu secara khusus atau terbatas dan secara umum atau luas.[8]
Penegertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur al-Muhaditsin adalah “sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.”[9]Dengan demikian, menurut ulama hadits, esensi hadits adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW.Yang dimaksdud dengan hal ikhwal di sini adalah segala sifat dan keadaan Nabi SAW.[10]
Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah “sesungguhnya hadits bukan hanya yang dimarfukkan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).”[11]Perbedaan ini didasari bahwa para ulama memaknai hadits berbedda dalam melihat sasaran hadits tersebut.
Istilah sunnah, khabar, dan atsar sering disebut sebagai pengganti istilah hadits. Dari sudut terminologi, para ahli tidak membedakan antara hadits dan sunnah. Menurut mereka, hadits atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik, moral maupun perilaku, sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.[12]
Selain disinonimkan dengan Sunnah, Hadits juga disinonimkan dengan khabar.Khabar menurut lughah adalah al-naba’ (berita).Kalangan Muhaditsin menilai antara khabar dengan hadits adalah sinonim. Pendapat lain membedakan istilah keduanya, yakni hadis adalah apa yang datang dari Nabi SAW.[13] Menurut istilah khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi SAW., atau yang selain dari nabi SAW. Maksudnya bahwa khabar itu cakupannya lebih luas dibandingkan dengan hadits.Khabar mencakup segala sesuatu yang berasal dari nabi Muhammad SAW.dan selain Nabi, seperti perkataan sahabat dan tabiin, sedangkan hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau.[14]
Adapun kata atsar secara bahasa berarti bekas atau sisa sesuatu, tetapi secara istilah kata atsar ada yang menyamakan dengan istilah hadits dan adapula yang berpendapat bahwa kata atsar adalah khusus yang disandarkan kepada selain Nabi SAW (sahabat dan tabi’in).[15]
Dari pengertian mengenai hadits, sunnah, khabar, dan atsar di atas, menurut jumhur ulama ahli hadits, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula sunnah dapat disebut dengan hadits, khabar, atau atsar. Oleh karena itu, hadits mutawatir dapat juga disebut dengan sunnahmutawatir atau khabar mutawatir. Begitu juga, hadits sahih dapat disebut dengan sunnah sahih, khabar sahih, atau atsar sahih.[16]
Sedangkan bentuk-bentuk hadits itu antara lain:
a.       Hadits Qauli
Adalah segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW. yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang berkaitan dengan aspek aqidah, syariat, maupun akhlak.[17]
b.      Hadits Fi’li
Adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.Dalam hadits tersebut terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW.yang menjadi anutan perilaku para sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengikutinya.[18]
c.       Hadits Taqriri
Adalah hadits berupa ketetapan Nabi SAW.terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian inidijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau mempunyai kekuatan hokum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.[19]
d.      Hadits Hammi
Adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW.yang belum terealisasikan, seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘asyura. Nabi belum sempat merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘asyura tahun berikutnya.Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, menjalankan hadits hammi disunahkan, sebagaimana menjalankan sunah-sunah lainnya.[20]
e.       Hadits Ahwali
Adalah hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW.yang tidak termasuk kedalam keempat kategori bentuk hadits di atas. Hadits yang termasu kategori ini adalah hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik Nabi SAW.[21]
2.      Pengertian Ilmu Hadits
Imu hadits (‘ulum al-hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang hadits.Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).[22]Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi SAW.dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhabitan dan ke adilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.[23]
Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu haditsriwayah dan ilmu haditsdirayah.[24]
a.       Ilmu hadits riwayah. Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadits riwayah, menurut bahasa, berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan. Menurut ‘Itr secara istilah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat Nabi SAW., periwayatannya, dan penelitian lafaz-lafaznya.[25]
b.      Ilmu hadits dirayah. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmuushulal-hadits, ‘ulum al-hadits, musththalah al-hadits, dan qawa’id al-hadits.[26]Definisi yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu, ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad dan matan.[27] Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahuai hal ihwalsanad, matan, cara menerima dan mnyampaikan hadits, dan sifat rawi.
B.     Sejarah Hadits dan Ilmu Hadits
Di masa lalu, bermula sejak masa Nabi saw dan sahabat, memang terbuka peluang untuk membukukan Hadits, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan al-Qur’an, maka nanti pada masa tabi’in barulah hadits-hadits dibukukan. Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd al-Azis menjabat gubernur Mesir (65-85 H), ia menginstruksikan agar hadits-hadits ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab.[28]
Usaha pengkodifikasian Hadits pada masa ini, merupakan tahap awal yangdalam sejarah atau disebut sebagai periode pertama, tepatnya pada abad 1 H.[29]memasuki abad II H, pengkodifikasian hadits-hadits sudah mengalamiperkembangan, karena ia terhimpun dalam beberapa kitab hadits dengan metodejuz dan atraf(penghimpunan hadits dengan metode juz dalam arti “bagian” adalah hadits-hadits disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan kepada penulis kitab. Sedangkan metode atraf adalah setiap bagian hadis terkadang dicantumkan nama-nama periwayat hadits yang merupakan sumber rujukan), metode muwatta dan metode musannaf (penghimpunan hadits dengan metode muwattha dalam arti “bab-bab” adalah hadits-hadits dipisahkan antara hadits Nabi SAW. dengan fatwa para sahabat dan tabi’in, atau pemisahan catatan hadits fiqhi, akidah dan lain-lain.Sedangkan Musannaf yaitu metode penghimpunan hadits berdasarkan klasifikasi hukum Islam dalam mencantumkan hadits-hadits marfu’, mawquf, dan maqtu’, atau penyusunan kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab tertentu).
Memasuki abad III H,Hadis-hadis terhimpun dalam kitab musnad (hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab musnad, tidak tersusun secara bab per bab, melainkan tersusun dari nama-nama sahabat berdasarkan alfabetis dan juga berdasarkan urutan kedekatannya pada Nabi SAW. dengan demikian, jika seseorang ingin mencari hadits melalui kitab musnad maka terlebih dahulu harus mengetahui nama sahabat yang pertama meriwayatkan hadits itu. Kitab-kitab musnad yang dapat ditemukan saat ini adalah antara lain Musnad al-Humaidiy (w.219), Musnad Abu Dawud al-Tayalisiy (w.204) dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w.241 H)), kitab sunan (hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab sunan tersusun dalam bentuk klasifikasi sumbernya; marfu’ jika berasal dari Nabi saw, mawquf jika berasal dari sahabat dan maqtu’ jika berasal dari tabi’in. Klasifikasi kualitasnya, yakni hadits sahih, hasan, da’if. Di antara kitab-kitab himpunan hadits yang tersusun dengan metode ini adalah: SunanAbu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimiy), dan kitab jami’(hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab jami’ tersusun berdasarkan metode berdasarkan topik-topik masalah yang dibahas dalam agama; masalah akidah, hukum, adab, tafsir, dan lain-lain. Antara lain kitab hadits yang menggunakan metode ini adalah kitab jami’ sahih al-Bukhari, dan Sahih Muslim).
Pada perkembangan selanjutknya, yakni pada abad IV H, himpunan Hadis dalambeberapa kitab dijabarkan penghimpunannya dalam metode mu’jam (metode mu’jam yaitu suatu metode penyusunan kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama para sahabat, guru-guru hadis dan lazimnya huruf-hurufnya disusun berdasarkan alfabetis.Di antara kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab Mu’jam al-Kabir, Mu’jam al-Awsat),mustakhraj (metode mustakhraj adalah suatu kitab himpunan hadis yang metode penyusunannya mengutip kembali hadis-hadis dari kitab-kitab lain, kemudian dikutip pula sanad-sanadnya secara menyendiri. Kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini antara lain Mustakhraj Sahih Bukhari karya Isma‟iliy (w.371 H).), mustadrak (metode mustadrak adalah kitab himpunan hadits yang didalamnya tercantum kitab hadits lain dan mengikuti persyaratan-persyaratan hadits yang dipakai oleh kitab lain. Adapun kitab mustadrak yang terkenal saat ini, antara lain kitab Mustadrak al Hakimal Naisaburi. Kitab tersebut disusun berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana yang terdapat dalam sahih Bukhari di mana hadits-hadits yang termuat di dalamnya, juga diteliti sesuai kualitas keshahihannya berdasarkan syarat-syarat Imam Bukhari), dan majma’ (metode majmu’ adalah pengumpulan hadits-hadits dengan menggabungkan kitab-kitab hadits yang telah ada.Di antara kitab-kitab himpunan hadits yang menggunakan metode ini adalah Jami’ Bayna al-sahihayn karya al-Humaidi (w. 488H).Isi kitab tersebut merupakan kutipan hadits-hadits yang digabungkan dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim).[30]
Dengan terhimpunnya hadits-hadits ke dalam kitab-kitab dengan berbagai metode yang terpakai itu, menjadikan pula keorisinilan hadits-hadits Nabi SAW.yang periwayatannya senantiasa terjaga dari generasi ke generasi dan apalagi karena ia didukung oleh lahir berkembangnya kaidah-kaidah ulum hadits. Ulum hadits sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, muncul seiring dengan peliknya memahami hadits-hadits.Oleh karena itu, pembahasan tentang latar belakang sejarah ulum hadits terkait dengan perkembangan hadits itu sendiri, mulai dari masa Nabi SAW., sampai masa pengkodifikasian hadits-hadits itu sendiri.
Menurut data sejarah, faktor utama munculnya ulum hadits, adalah disebabkan munculnya hadits-hadits palsu, yang telah mencapai klimaksnya pada abad III H. Atas kasus ini, maka ulama hadits menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadits yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian hadits.[31] Adapun orang yang pertama menyusun kitab ulum hadits secara sistematis adalah Abu Muhammad al Ramahurmuzi (360 H), sesudah itu ulama-ulama yang ada di abad IV H, ikut meramaikan arena ulum hadits, seperti al Hakim Muhammad ibn Abdillah al-Naysaburiy, Abu Nu’im al-Asbahani, al-Khatib dan generasinya.[32]Kitab-kitab ulum hadits yang ditulisnya dijadikan panduan oleh muhaditsin sesudahnya.
Memasuki abad V H dan VI H, ulama-ulama hadits menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab dan memudahkan jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan hadits-hadits hukum dalam satu kitab dan hadits-hadits targib dalam sebuah kitab. Bersamaan dengan itu, bermunculannya kitab-kitab syarah yang memudahkan para muhadits untuk memahami hadits.Pada abad selanjutnya (abad VII H) pusat kegiatan perkembangannya ulum hadits berada di Mesir dan India.Dalam masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang hadits.Atas kebijakan mereka pulalah, sehingga kitab-kitab ulum hadits diterbitkan.
Demikianlah ulum hadits terus berkembang dan dipelajari banyak orang.Meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam sistematikanya dan metodepenulisannya, namun tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telahdirumuskan oleh ulama-ulama yang merintisnya. Perubahan sistematika danmetode penulisannya berkaitan erat dengan proses perkembangan ilmupengetahuan dan kebutuhan manusia kepadanya.
Ulum hadits yang substansinya terdiri atas ilmu hadis dirayah danriwayah memiliki cabang yang menurut sebagian ulama telah mencapai 60-anjenis. Bahkan setelah itu berkembang lagi sehingga menjadi 90-an jenis.[33]Adapuncabang ulum hadits yang termasyhur dan diperpegangi para muhaditsin selamaini adalah berjumlah tujuh jenis, yakni:
1.      Ilmu Rijal Hadis, yang menerangkan para periwayat hadits, baik darisahabat, tabi’in dan tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitabyang membahas masalah ini adalah al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr danUsul al Ghabah karya Izzuddin Ibu Asir.
2.      Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, yang menerangkan tentang keaiban dan keadilanseorang periwayat hadits. Kitab yang terkenal membahas masalah iniadalah kitab Tabaqat karya Muhammad Ibn Sa’ad al-Zuhry al-Basri.
3.      Ilm Gharib al- Hadis, yang menerangkan makna-makna atau kalimat yangsukar dipahami dalam matan hadits. Kitab yang membahas masalah iniadalah al Faiq fi Gharib al Hadits karya al Zamakhsyari dan al Nihayah fiyGarab al-Hadits, karya Majd al-Din Ibn Asir.
4.      Ilm Ilal al-Hadis, yang menerangkan tentang sebab-sebab yangtersembunyi (tidak nyata) yang dapat mencacatkan hadits. Kitab yangmembahas masalah ini adalah ‘Ilal al-Hadits karya Ibn Abi Hatim.
5.      Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yang menerangkan hadits-hadits yang sudahdihapus, dalam arti (hadits-hadits) yang tidak relevan untuk diamalkan saatini, tetapi ditemukan hadits lain sebagai alternatif pengganti. Kitab yangmembahas masalah ini adalah al-I’tibar karya Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy.
6.      Ilm Asbab al Wurud al Hadits, yang menerangkan tentang latar belakangdisabdakan hadits-hadits oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah iniadalah al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibn Hamzah al-Husayni.
7.      Ilmu Talfiq al-Hadits atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadits, yang menerangkan tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yangberlawanan pada zahirnya. Kitab yang membahas masalah ini adalahMukhtalif al-Hadits karya Imam Syafi’i.
Berdasar dari klasifikasi Ulum hadits diatas, maka secara ontologisia merupakan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis terhadap hadits-hadits, serta pembuktiannya terhadap kevalidan hadits-hadits itu sendiri.[34]
C.    Hadits dan Ilmu Hadits di Era Modern
1.      Modernisasi dalam Islam
Harun Nasution mengemukakan, bahwa dalam masyarakat barat “moderenisme” diartikan pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat istiadat, istitusi lama, agar menjadi sesuai dengan pendapat dan kondisi baru yang ditimbulkan oleh iptek modern. Dalam Islam gerakan pembaharuan terjadi bukan disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan ilmuan sebagaimana di barat, melainkan karena adanya kesadaran di kalangan para tokoh pembaharu akan keterbelakangan umat Islam dari dunia barat.[35]
Dalam hadits disebutkan “sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus tahun seorang yang memperbaruhi agamanya.”(H.R Abu Dawud).[36]
Para ilmuan memberikan komentar yang berbeda tentang pengertian modernisasi dalam Islam, salah satunya al-Alqamiy yang mengatakan al-Tajdid atau modernisasi adalah menghidupkan kembali pengalaman al-Kitab dan sunnah setelah lenyap dan melaksanakan apa yang dikehendaki keduanya. [37]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modernisasi Islam berarti proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan al-Qur’an dan sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi masyarakat, sains dan pemurnian akidah islamiyah dari berbagai kurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah yang bertentangan dengan Islam.[38]
2.      Modernisasi dalam Sunnah
Modernisasi dalam sunnah merupakan proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kondisi masyarakat dan sains dan pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah dengan cara mengadakan penelusuran dan penelitian keauntetikan secara adil dah jujur.
Dari pengertian modernisasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa modernisasi sunnah harus mengakomidasi beberapa hal, yaitu:
a.       Adanya usaha pembaharuan. Di sisni berarti perlu adanya pemabaru suunah yang memiliki persyaratan tertentu pada wialayah sunnah tertentu yang nantinya akan dijelaskan pada keterangan berikutnya yakni persyaratan pembaru dan wilayah modernisasi.
b.      Tututan perkembangan sosial. Modernisasi suunah sangat diperlukan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Karena datangnya sunnah secara berangsur-angsur menjawab permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
c.       Tututan pemurnian sunnah dari khurafat dan bid’ah. Sunnah adalah perjalanan Rasulullah SAW. dalam membimbing umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Namun dalam sejarah, sunnah tidak tercatat secara keseluruhan seperti al-Quran. Terdapat pemalsuan yang dengan sengaja memasukkan khurafat, bid’ah, takhayul, dan tradisi ke dalam hadits.[39]
3.      Syarat-syarat Modernisasi dalam Sunnah
a.       Wialayah modernisasi. Sunnah menjadi penjelas al-Qur’an, menurut Quraish Shihab terbagi menjadi dua kategori yaitu; 1) di luar wilayah nalar, seperti metafisika, dan perincian ibadah, 2) dalam wilayah nalar, seperti masalah kemasyarakatan. Pertama, jika nilai periwayatannya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa adanya pengembangan pembaruan, karena ia di luar jangkauan rasio manusia. Kedua, sekalipun harus diyakini kebenaran penafsiran nabi SAW. Namun, harus didudukkan pada proposisi yang tepat, karena bentuk sifat penafsiran beliau sangan bervaritif, adakalanya berbentuk ta’rif (pemberitahuan), dan irsyad(petunjjuk), tash’hih (pelurusan).[40]
b.      Seorang modernis memenuhi persyaratan.  Semua ulama mempersyaratkan bagi seorang yang ingin melakukan ijtihad dalam bidang ilmu tertentu harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, persyaratan ijtihad dalam bidang hadits juga demikian.
c.       Pemahaman teks sunah secara benar dan dinamis.  Misalnya pada masa sahabat disepakati bahwa diantara persyaratan deorang khalifah harus berketurunan quraysy. Akan tetapi, karena kemampuan bangsa quraysy yang semakin melemah, maka persyaratan tersebut digugurkan dan Ibnu Khaldun memberikan iterpretasi makna kata “quraysy” menjadi yang kuat, cerdik, pandai, religius, sehingga dapat menyatukan suku-suku, dan memelihara stabilitas pemerintahan.[41]
d.      Memelihara sunnah secara kritis. Seorang modernis kritis dan selektif terhadap hadits. Baik dari pemalsuan, penyimpangan, khurafat, maupun dari bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itu sendiri. Pemeliharaan sunnah dilakukan secara serius dengan cara mengkeritik berbagai buku hadits baik kritik internal (matan) maupun kritik eksternal (sanad). Kritik hadits dilakukan dalam rangka pengamalan ajaran Islam yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah dan menjaga diri dari cercaan musuh Islam.[42]
BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Kata haditsberasaldaribahasa Arab, yaitual-hadits, kata inimemilikial-jadid (yang baru), danal-khabar, yang berartikabaratauberita.Penegertianhaditssecaraterbatas, adalahsesuatu yang dinisbatkankepadaNabi SAW.baikberupaperkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dansebagainya. Sedangkanpengertianhaditssecaraluasyaituhaditsbukanhanya yang dimarfukkankepadaNabi Muhammad SAW., melainkandapat pula disebutkanpada yang mauquf (dinisbatkankepadaperkataandansebagainyadarisahabat) danmaqthu’ (dinisbatkanpadaperkataandansebagainyadaritabiin).
Adapunimuhadits, berartiilmu-ilmutentanghadits.Secaraetimologis, ilmuhaditsadalahilmupengetahuan yang membicarakancara-carapersambunganhaditssampaikepadaNabi SAW.darisegihalihwalpararawinya, yang menyangkutkedhabitandankeadilannyadandaribersambungdanterputusnyasanad, dansebagainya.
Dalamdunia modern modernisasi Islam adalahlatarbelakangdariterjadinyamodernisasidalamsunnah. Modernisasidalamsunnahmerupakan proses usahapembaharuandalampemahamandanpengalamansunnahsesuaidengantuntutanperkembangandankondisimasyarakatdansainsdanpemurniansunnahdariberbagaikhurafat, takhayul, tradisi, danbid’ahdengancaramengadakanpenelusurandanpenelitiankeauntetikansecaraadil dah jujur.Dengandemikianmodernisasisunnahadalahbertujuanuntukmemecahkanmasalah yang terjadi di tengahmasyarakat modern denganmenampakkankembalial-Qur’an dansunnah yang mualipudar.



DAFTAR PUSTAKA

‘Itr,Nuruddin, 1994, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits,Bandung: RemajaRosdaKarya.
AbiDawud,Al-Azdiy, SunanAbiDawud, Juz 4.
Ahmad,Muhammad &Mudzakir,M., 2000, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.
Al-HaqqAbadiy,Abi al-Thayyib Muhammad Syam, 1998,‘Awn al-Ma’budSyarhSunanAbiDawud, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Khatib,Muhammad Ajaj, 1975, As-SunnahQabla At-Tadwin, Kairo:MaktabahWahba.
Al-MunawwirAhmad Warson, 1984, Al-Munawwir, Yogyakarta: PonpesKrapyak.
Al-Siba’I,Mustafa, 1966, al-SunnahwaMakanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Dar: al-Qawmiyah.
Ash-Siddieqy,1997, Hasbi, SejarahdanPengantarIlmuHadits, Semarang: PustakaRizki Putra.
As-Suyuthi, 1988, TadribAr-Rawi fi SyarhTaqrib An-Nawawi, Beirut: Dar Al-Fikr.
Azami,M. M., 2003, Studies in Hadis Methodology and Literature, Jakarta: Lentera.
IbnuManzhur,Muhammad IbnuMukaram, 1992, Lisan Al-Arab,Juz II.
Khon,Abdul Majid, 2011, Pekikiran Modern dalamSunnahPendekatanIlmuHadis, Jakarta: KencanaPernada Media Group
Nasution,Harun, 1984, Pembaruandalam Islam: Sejarah, PemikirandanGerakan, Jakarta: BulanBintang.
Rahman,Fachtur, 1991, IkhtisarMutshalahHadis,Bandung: Alma’arif.
Ranuwijaya,Utang, 1996, IlmuHadits,Jakarta: Gaya media Pratama.
Saleh,Subhi, 1998, Ulum al-HadiswaMustalahuh, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin.
Shihab,Quraish, 1996, Membumikan al-Qur’an: FungsidanPeranWahyudalamKehidupanMasyarakat, Bandung: Mizan.
Sholahudin,M. Agus&Suyadi,Agus, 2009, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.
Soetari,Endang, 2005, IlmuHadits: KajianRiwayahdanDirayah,Bandung: MimbarPustaka.
Sunusi, 2013, MasaDepanHaditsdanIlmuHadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2.
TahhanMahmud, 1979, TaysirMustalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qalam al-Karim.




[1]Muhammad Ahmad & M. Mudzakir, UlumulHadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 12.
[2] Muhammad Ibnu Mukaram Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Juz II, (1992), hlm. 131.
[3]Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Ponpes Krapyak, 1984), hlm. 260-261.
[4] M. M. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literature, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm 21-23.
[5] Muhammad Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975), hlm. 19.
[6] Muhammad Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975), hlm. 19.
[7] Muhammad Ajaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975), hlm. 19.
[8] Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), hlm. 2 & 5.
[9] Fachtur Rahman, Ikhtisar Mutshalah Hadis, (Bandung: Alma’arif, 1991), hlm. 6.
[10] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 17.
[11] Fachtur Rahman, Ikhtisar Mutshalah Hadis, (Bandung: Alma’arif, 1991), hlm. 12.
[12] M. Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1975), hlm. 19.
[13] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Qalam al-Karim, 1979), hlm.14.
[14] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 20.
[15] Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Qalam al-Karim, 1979), hlm.15.
[16] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 20.
[17] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 21.
[18] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 21.
[19] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 15.
[20] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 18.
[21] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 18.
[22] Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 13.
[23]As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5-6.
[24] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 106.
[25] Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 14.
[26]As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5.
[27] Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 16.
[28]Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm. 58.
[29] Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 27.
[30]Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm.58, 66, 67.
[31] Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, (t.t.; Dar: al-Qawmiyah, 1966), hlm.101.
[32] Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 123.
[33] Subhi Saleh, Ulum al-Hadis wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm al Malayin, 1998), hlm. 109.
[34]Sunusi, Masa Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013, hlm. 58-60.
[35] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm 11.
[36]Al-Azdiy Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 4, hlm. 1835.
[37]Abi al-Thayyib Muhammad Syam al-Haqq Abadiy, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm 260.
[38] Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 178-179.
[39] Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 179-180.
[40] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 95.
[41]Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 183.
[42]Abdul Majid Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 186.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar