BAB
I
PEMABHASAN
A.
Latar Belakang
Hadits
merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, hadits meliputi
sabda Nabi, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) darinya.[1]Sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua hadits perlu mendapat pengkajian yang mendalam
karena hadits memiliki bebrapa fungsi tehadap al-Qur’an, salah satunya adalah
melengkapi hukum agama yang tidak diatur di dalam al-Qur’an.
Mempelajari
dan mengkaji hadits harus secara secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi
periwayatan maupun kualitas dan kesahihan hadits. Mempelajari dan mengkaji
hadits ini merupakan kegiatan yang kopleks mengingat kodifikasi hadits dilakuan
dua abad setelah nabi hijrah, sehingga terdapat kemungkinan terjadi distorsi
terhadap hadits. Oleh karena itu penelitian terhadap hadits harus meneyeluruh
dan serius, agar diperoleh hadits yang berkualitas.
Hadits
sebagai sumber ajaran Islam terntunya memiliki peran yang sangat fundamental
bagi kehidupan manusia terutama umat Islam. Baik pada zaman duhulu ataupun di
zaman yang modern seperti sekarang ini, hadits harus tetap dijadikan rujukan
atau pedoman dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
kehidupan sehari-hari.
Dengan
demikian makalah ini menabhas tentang tujuan mengkaji dan mempelajari hadist
dan untuk menilai apakah secara historis sebuah hadist itu benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya berasal dari nabi, atau tidak. Sehingga
memberikan kemudahan untuk bersikap terhadap hadits yang diterima ataupun
hadits yang tertolak. Hal tersebut sangat menentukanmengingat kadar kualitas
hadist kuat sekali hubungannya dengan dapat atau tidaknya suatu hadits dapat
dijadikan sebagai hujah agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan hadits dan ilmu hadits?
2.
Bagaimana sejarah
hadits dan ilmu hadits?
3.
Bagaimana
keadaan hadits dan ilmu hadits di era modern?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mendekripsikan pengertian hadits dan ilmu hadits.
2.
Untuk
menjelaskan sejarah hadits dan ilmu hadits.
Abstrak
Berbicara
tentang hadits adalah membicarakan suatu hal yang kompleks dikarenakan dalam
sejarah hadits itu sendiri, pembukuannya dialkukan setelah dua abad setelah
nabi hijrah, tepatnya pada masa dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Umar bin
abdul Aziz. Sehingga ilmu hadits sangat penting posisinya untuk mengkritisi
suatu hadits, adapaun ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan
cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi SAW.dari segi hal ihwal para
rawinya, yang menyangkut kedhabitan dan ke adilannya dan dari bersambung dan
terputusnya sanad, dan sebagainya. Walaupun demikian itu Hadits bukan hanya
yang dimarfukkan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan dapat pula dinisbatkan
kepada perkataan dan sebagainya dari sahabat,
dan dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin, dikarenakan
ada perkataan dan sebagainya dari para sahabat yang mampu memberikan solusi
pada suatu masalah di era modern ini.Lebih lanjut makalah ini membahas tentang
hadits, ilmu hadits, sejarahnya, dan keaadaanya di era modern saat ini.
Kata kunci: hadits, ilmu hadits, era modern.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits dan Ilmu Hadits
1.
Pengertian
Hadits
Menurut Ibnu Manzhur, kata hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits,
jamaknyaal-ahadits, al-haditsan, dan al-hudtsan. Secara
etimologis, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (yang
baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang
berarti kabar atau berita.[2]Selain
itu bila kata hadist diperhadapkan pada etimologi (asal-usul kata), lafaz حدث dapat
berarti al-kalam (pembicaraan), al waq’u (kejadian), Ibtada’a
(mengadakan), al-sabab (sebab), rawa (meriwayatkan) dan al-qadim
(lawan dari yang lama).[3]
Dalam al-Qur’an kata hadits ini disebutkan sebanyak 23 kali.Berikut
ini beberapa contohnya.
a.
Hadits sebagai
komunikasi: risalah atau al-Qur’an.
Allah
SWT. berfirman,
Artinya:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa
(ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika
mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah,
maka tidak ada seorangpun yang dapat memberi petunjuk.” (Q.S. Az-Zumar: 23).
b.
Hadits sebagai
kisah tentang suatu watak secular atau umum.
Allah
SWT. berfirman,
Artinya:
“dan apabila kamu (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat
kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka beralih ke pembicaraan lain.
Dan jika syaitan benar-benar menjadikan engkau lupa (akan larangan ini),
setelah ingat kembali janganlah engkau duduk bersama orang-orang yang zalim.”
(Q.S. Al An’am: 68).
c.
Hadits sebagai
kisah historis.
Allah
SWT. berfirman,
Artinya:
“apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?.” (Q.S. Thaha:9).
d.
Kisah
kontemporer atau percakapan.
Allah
SWT. berfirman,
Artinya:
“dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang
isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan
peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan
Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang
diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada
Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan
Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal
Ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh
Allah yang Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."” (Q.S. At-Tahrim: 3).
Dari
ayat-ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kata hdits telah digunakan
dalam al-Qur’an dalam arti kisah, komunikasi atau risalah baik religion ataupun
sekuler, dari suatu masa lampau atau masa kini.[4]
Secara terminologis pengertian hadist berbeda-beda menurut para
ulama, baik muhaditsin, ulama ushul, ataupun fuqaha.Ulama Hadits mendefinisikan
hadits adalah segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW., baik berupa
sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat atau hal ihwal Nabi.[5]
Menurut ahli ushul fiqh, pengertian hadits adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain al-Qur’an, baik berupa perkataan,
perbuatan, amupun taqrir Nabi yang bersangkut-paut dengan hukum syara’.[6]Sedangkan
menurut para fuqaha hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW.yang
tidak bersangkut paut dengan masalah fardhu atau wajib.[7]
Perbedaan pandangan tersebut lebih disebabkan oleh terbatas dan
luasnya objek tinjauan masing-masing, yang tentu saja megandung kecenderungan
pada aliran ilmu yang di dalaminya.Perbedaan tersebut memunculkan dua
pengertian hadits, yaitu secara khusus atau terbatas dan secara umum atau luas.[8]
Penegertian hadits secara terbatas, sebagaimana dikemukakan oleh Jumhur
al-Muhaditsin adalah “sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan sebagainya.”[9]Dengan
demikian, menurut ulama hadits, esensi hadits adalah segala berita yang
berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad
SAW.Yang dimaksdud dengan hal ikhwal di sini adalah segala sifat dan keadaan
Nabi SAW.[10]
Adapun pengertian hadits secara luas, sebagaimana diungkapkan oleh
Muhammad Mahfudz At-Tirmidzi, adalah “sesungguhnya hadits bukan hanya yang
dimarfukkan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan dapat pula disebutkan pada
yang mauquf (dinisbatkan kepada perkataan dan sebagainya dari sahabat)
dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).”[11]Perbedaan
ini didasari bahwa para ulama memaknai hadits berbedda dalam melihat sasaran
hadits tersebut.
Istilah sunnah, khabar, dan atsar sering
disebut sebagai pengganti istilah hadits. Dari sudut terminologi, para ahli
tidak membedakan antara hadits dan sunnah. Menurut mereka, hadits atau sunnah
adalah hal-hal yang berasal dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan maupun sifat beliau, dan sifat ini, baik berupa sifat-sifat fisik,
moral maupun perilaku, sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.[12]
Selain disinonimkan dengan Sunnah, Hadits juga disinonimkan dengan
khabar.Khabar menurut lughah adalah al-naba’ (berita).Kalangan
Muhaditsin menilai antara khabar dengan hadits adalah sinonim. Pendapat lain
membedakan istilah keduanya, yakni hadis adalah apa yang datang dari Nabi SAW.[13]
Menurut istilah khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari
Nabi SAW., atau yang selain dari nabi SAW. Maksudnya bahwa khabar itu
cakupannya lebih luas dibandingkan dengan hadits.Khabar mencakup segala sesuatu
yang berasal dari nabi Muhammad SAW.dan selain Nabi, seperti perkataan sahabat
dan tabiin, sedangkan hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW., baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) beliau.[14]
Adapun kata atsar secara bahasa berarti bekas atau sisa sesuatu,
tetapi secara istilah kata atsar ada yang menyamakan dengan istilah hadits dan
adapula yang berpendapat bahwa kata atsar adalah khusus yang disandarkan kepada
selain Nabi SAW (sahabat dan tabi’in).[15]
Dari pengertian mengenai hadits, sunnah, khabar, dan atsar di atas,
menurut jumhur ulama ahli hadits, dapat dipergunakan untuk maksud yang sama,
yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar, atau atsar. Begitu pula
sunnah dapat disebut dengan hadits, khabar, atau atsar. Oleh karena itu, hadits
mutawatir dapat juga disebut dengan sunnahmutawatir atau khabar mutawatir.
Begitu juga, hadits sahih dapat disebut dengan sunnah sahih, khabar sahih,
atau atsar sahih.[16]
Sedangkan bentuk-bentuk hadits itu antara lain:
a.
Hadits Qauli
Adalah
segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW. Dengan
kata lain, hadits qauli adalah hadits berupa perkataan Nabi SAW. yang
berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa, dan kisah, baik yang
berkaitan dengan aspek aqidah, syariat, maupun akhlak.[17]
b.
Hadits Fi’li
Adalah
segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW.Dalam hadits tersebut
terdapat berita tentang perbuatan Nabi SAW.yang menjadi anutan perilaku para
sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk
mengikutinya.[18]
c.
Hadits Taqriri
Adalah
hadits berupa ketetapan Nabi SAW.terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh
para sahabatnya. Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh para sahabatnya, tanpa memberikan penegasan, apakah beliau
membenarkan atau mempersalahkannya. Sikap Nabi yang demikian inidijadikan dasar
oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang dapat dijadikan hujah atau
mempunyai kekuatan hokum untuk menetapkan suatu kepastian syara’.[19]
d.
Hadits Hammi
Adalah
hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW.yang belum terealisasikan,
seperti halnya hasrat berpuasa tanggal 9 ‘asyura. Nabi belum sempat
merealisasikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan ‘asyura
tahun berikutnya.Menurut para ulama, seperti Asy-Syafi’i dan para pengikutnya,
menjalankan hadits hammi disunahkan, sebagaimana menjalankan sunah-sunah
lainnya.[20]
e.
Hadits Ahwali
Adalah
hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW.yang tidak termasuk kedalam keempat
kategori bentuk hadits di atas. Hadits yang termasu kategori ini adalah
hadits-hadits yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian, serta keadaan fisik
Nabi SAW.[21]
2.
Pengertian Ilmu
Hadits
Imu hadits (‘ulum al-hadits), secara kebahasaan berarti
ilmu-ilmu tentang hadits.Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm
(ilmu).[22]Secara
etimologis, seperti yang diungkapkan oleh As-Suyuthi, ilmu hadits adalah ilmu
pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadits sampai kepada Nabi
SAW.dari segi hal ihwal para rawinya, yang menyangkut kedhabitan dan ke
adilannya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya.[23]
Secara garis besar, ulama hadits mengelompokkan ilmu hadits
tersebut ke dalam dua bidang pokok, yakni ilmu haditsriwayah dan ilmu haditsdirayah.[24]
a.
Ilmu hadits riwayah.
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadits riwayah, menurut
bahasa, berarti ilmu hadits yang berupa periwayatan. Menurut ‘Itr secara
istilah adalah ilmu yang membahas ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat
Nabi SAW., periwayatannya, dan penelitian lafaz-lafaznya.[25]
b.
Ilmu hadits dirayah.
Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmuushulal-hadits, ‘ulum
al-hadits, musththalah al-hadits, dan qawa’id al-hadits.[26]Definisi
yang paling baik, seperti yang diungkapkan oleh ‘Izzuddin bin Jama’ah, yaitu,
ilmu yang membahas pedoman-pedoman yang dengannya dapat diketahui keadaan sanad
dan matan.[27]
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah adalah
ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahuai hal ihwalsanad, matan,
cara menerima dan mnyampaikan hadits, dan sifat rawi.
B.
Sejarah Hadits
dan Ilmu Hadits
Di
masa lalu, bermula sejak masa Nabi saw dan sahabat, memang terbuka peluang
untuk membukukan Hadits, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan
al-Qur’an, maka nanti pada masa tabi’in barulah hadits-hadits dibukukan.
Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd
al-Azis menjabat gubernur Mesir (65-85 H), ia menginstruksikan agar
hadits-hadits ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab.[28]
Usaha
pengkodifikasian Hadits pada masa ini, merupakan tahap awal yangdalam sejarah
atau disebut sebagai periode pertama, tepatnya pada abad 1 H.[29]memasuki
abad II H, pengkodifikasian hadits-hadits sudah mengalamiperkembangan, karena
ia terhimpun dalam beberapa kitab hadits dengan metodejuz dan atraf(penghimpunan
hadits dengan metode juz dalam arti “bagian” adalah hadits-hadits
disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan kepada penulis kitab. Sedangkan
metode atraf adalah setiap bagian hadis terkadang dicantumkan nama-nama
periwayat hadits yang merupakan sumber rujukan), metode muwatta dan metode
musannaf (penghimpunan hadits dengan metode muwattha dalam arti
“bab-bab” adalah hadits-hadits dipisahkan antara hadits Nabi SAW. dengan fatwa
para sahabat dan tabi’in, atau pemisahan catatan hadits fiqhi, akidah dan
lain-lain.Sedangkan Musannaf yaitu metode penghimpunan hadits
berdasarkan klasifikasi hukum Islam dalam mencantumkan hadits-hadits marfu’,
mawquf, dan maqtu’, atau penyusunan kitab-kitab hadis dengan memuat bab-bab
tertentu).
Memasuki
abad III H,Hadis-hadis terhimpun dalam kitab musnad (hadits-hadits yang
terhimpun dalam kitab musnad, tidak tersusun secara bab per bab,
melainkan tersusun dari nama-nama sahabat berdasarkan alfabetis dan juga
berdasarkan urutan kedekatannya pada Nabi SAW. dengan demikian, jika seseorang
ingin mencari hadits melalui kitab musnad maka terlebih dahulu harus
mengetahui nama sahabat yang pertama meriwayatkan hadits itu. Kitab-kitab musnad
yang dapat ditemukan saat ini adalah antara lain Musnad al-Humaidiy (w.219),
Musnad Abu Dawud al-Tayalisiy (w.204) dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w.241
H)), kitab sunan (hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab sunan tersusun
dalam bentuk klasifikasi sumbernya; marfu’ jika berasal dari Nabi saw, mawquf
jika berasal dari sahabat dan maqtu’ jika berasal dari tabi’in.
Klasifikasi kualitasnya, yakni hadits sahih, hasan, da’if. Di antara
kitab-kitab himpunan hadits yang tersusun dengan metode ini adalah: SunanAbu
Dawud, Sunan Ibnu Majah, Sunan al-Darimiy), dan kitab jami’(hadits-hadits
yang terhimpun dalam kitab jami’ tersusun berdasarkan metode berdasarkan
topik-topik masalah yang dibahas dalam agama; masalah akidah, hukum, adab,
tafsir, dan lain-lain. Antara lain kitab hadits yang menggunakan metode ini
adalah kitab jami’ sahih al-Bukhari, dan Sahih Muslim).
Pada
perkembangan selanjutknya, yakni pada abad IV H, himpunan Hadis dalambeberapa
kitab dijabarkan penghimpunannya dalam metode mu’jam (metode mu’jam yaitu
suatu metode penyusunan kitab-kitab hadits berdasarkan nama-nama para sahabat,
guru-guru hadis dan lazimnya huruf-hurufnya disusun berdasarkan alfabetis.Di
antara kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini adalah kitab Mu’jam
al-Kabir, Mu’jam al-Awsat),mustakhraj (metode mustakhraj adalah
suatu kitab himpunan hadis yang metode penyusunannya mengutip kembali
hadis-hadis dari kitab-kitab lain, kemudian dikutip pula sanad-sanadnya secara
menyendiri. Kitab-kitab himpunan hadis yang menggunakan metode ini antara lain Mustakhraj
Sahih Bukhari karya Isma‟iliy (w.371 H).), mustadrak (metode mustadrak
adalah kitab himpunan hadits yang didalamnya tercantum kitab hadits lain
dan mengikuti persyaratan-persyaratan hadits yang dipakai oleh kitab lain.
Adapun kitab mustadrak yang terkenal saat ini, antara lain kitab Mustadrak
al Hakimal Naisaburi. Kitab tersebut disusun berdasarkan bab-bab fiqh
sebagaimana yang terdapat dalam sahih Bukhari di mana hadits-hadits yang
termuat di dalamnya, juga diteliti sesuai kualitas keshahihannya berdasarkan
syarat-syarat Imam Bukhari), dan majma’ (metode majmu’ adalah
pengumpulan hadits-hadits dengan menggabungkan kitab-kitab hadits yang telah
ada.Di antara kitab-kitab himpunan hadits yang menggunakan metode ini adalah Jami’
Bayna al-sahihayn karya al-Humaidi (w. 488H).Isi kitab tersebut merupakan
kutipan hadits-hadits yang digabungkan dari Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim).[30]
Dengan
terhimpunnya hadits-hadits ke dalam kitab-kitab dengan berbagai metode yang
terpakai itu, menjadikan pula keorisinilan hadits-hadits Nabi SAW.yang
periwayatannya senantiasa terjaga dari generasi ke generasi dan apalagi karena
ia didukung oleh lahir berkembangnya kaidah-kaidah ulum hadits. Ulum hadits sebagai
salah satu cabang ilmu pengetahuan, muncul seiring dengan peliknya memahami
hadits-hadits.Oleh karena itu, pembahasan tentang latar belakang sejarah ulum
hadits terkait dengan perkembangan hadits itu sendiri, mulai dari masa Nabi
SAW., sampai masa pengkodifikasian hadits-hadits itu sendiri.
Menurut
data sejarah, faktor utama munculnya ulum hadits, adalah disebabkan
munculnya hadits-hadits palsu, yang telah mencapai klimaksnya pada abad III H.
Atas kasus ini, maka ulama hadits menyusun berbagai kaidah dalam ilmu hadits
yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian hadits.[31]
Adapun orang yang pertama menyusun kitab ulum hadits secara sistematis
adalah Abu Muhammad al Ramahurmuzi (360 H), sesudah itu ulama-ulama yang ada di
abad IV H, ikut meramaikan arena ulum hadits, seperti al Hakim Muhammad
ibn Abdillah al-Naysaburiy, Abu Nu’im al-Asbahani, al-Khatib dan generasinya.[32]Kitab-kitab
ulum hadits yang ditulisnya dijadikan panduan oleh muhaditsin sesudahnya.
Memasuki
abad V H dan VI H, ulama-ulama hadits menitik beratkan usaha untuk memperbaiki
susunan kitab dan memudahkan jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan
hadits-hadits hukum dalam satu kitab dan hadits-hadits targib dalam
sebuah kitab. Bersamaan dengan itu, bermunculannya kitab-kitab syarah yang
memudahkan para muhadits untuk memahami hadits.Pada abad selanjutnya (abad VII
H) pusat kegiatan perkembangannya ulum hadits berada di Mesir dan India.Dalam
masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang hadits.Atas
kebijakan mereka pulalah, sehingga kitab-kitab ulum hadits diterbitkan.
Demikianlah
ulum hadits terus berkembang dan dipelajari banyak orang.Meskipun
terjadi perubahan-perubahan dalam sistematikanya dan metodepenulisannya, namun
tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telahdirumuskan oleh ulama-ulama
yang merintisnya. Perubahan sistematika danmetode penulisannya berkaitan erat
dengan proses perkembangan ilmupengetahuan dan kebutuhan manusia kepadanya.
Ulum hadits yang
substansinya terdiri atas ilmu hadis dirayah danriwayah memiliki
cabang yang menurut sebagian ulama telah mencapai 60-anjenis. Bahkan setelah
itu berkembang lagi sehingga menjadi 90-an jenis.[33]Adapuncabang
ulum hadits yang termasyhur dan diperpegangi para muhaditsin selamaini
adalah berjumlah tujuh jenis, yakni:
1. Ilmu Rijal Hadis,
yang menerangkan para periwayat hadits, baik darisahabat, tabi’in dan
tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitabyang membahas masalah ini
adalah al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr danUsul al Ghabah karya
Izzuddin Ibu Asir.
2. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil,
yang menerangkan tentang keaiban dan keadilanseorang periwayat hadits. Kitab
yang terkenal membahas masalah iniadalah kitab Tabaqat karya Muhammad
Ibn Sa’ad al-Zuhry al-Basri.
3. Ilm Gharib al- Hadis,
yang menerangkan makna-makna atau kalimat yangsukar dipahami dalam matan
hadits. Kitab yang membahas masalah iniadalah al Faiq fi Gharib al Hadits karya
al Zamakhsyari dan al Nihayah fiyGarab al-Hadits, karya Majd al-Din Ibn
Asir.
4. Ilm Ilal al-Hadis,
yang menerangkan tentang sebab-sebab yangtersembunyi (tidak nyata) yang dapat
mencacatkan hadits. Kitab yangmembahas masalah ini adalah ‘Ilal al-Hadits karya
Ibn Abi Hatim.
5. Ilm Nasikh wa al-Mansukh,
yang menerangkan hadits-hadits yang sudahdihapus, dalam arti (hadits-hadits)
yang tidak relevan untuk diamalkan saatini, tetapi ditemukan hadits lain
sebagai alternatif pengganti. Kitab yangmembahas masalah ini adalah al-I’tibar
karya Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy.
6. Ilm Asbab al Wurud al Hadits,
yang menerangkan tentang latar belakangdisabdakan hadits-hadits oleh Nabi saw.
kitab yang membahas masalah iniadalah al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibn
Hamzah al-Husayni.
7. Ilmu Talfiq al-Hadits atau
disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadits, yang menerangkan tentang cara
mengumpulkan antara hadits-hadits yangberlawanan pada zahirnya. Kitab yang
membahas masalah ini adalahMukhtalif al-Hadits karya Imam Syafi’i.
Berdasar dari klasifikasi Ulum hadits
diatas, maka secara ontologisia merupakan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang
memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis terhadap hadits-hadits,
serta pembuktiannya terhadap kevalidan hadits-hadits itu sendiri.[34]
C.
Hadits dan Ilmu
Hadits di Era Modern
1.
Modernisasi
dalam Islam
Harun Nasution mengemukakan, bahwa dalam masyarakat barat
“moderenisme” diartikan pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham, adat istiadat, istitusi lama, agar menjadi sesuai dengan pendapat dan
kondisi baru yang ditimbulkan oleh iptek modern. Dalam Islam gerakan
pembaharuan terjadi bukan disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan
ilmuan sebagaimana di barat, melainkan karena adanya kesadaran di kalangan para
tokoh pembaharu akan keterbelakangan umat Islam dari dunia barat.[35]
Dalam hadits disebutkan “sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini
di penghujung setiap seratus tahun seorang yang memperbaruhi agamanya.”(H.R Abu
Dawud).[36]
Para ilmuan memberikan komentar yang berbeda tentang pengertian
modernisasi dalam Islam, salah satunya al-Alqamiy yang mengatakan al-Tajdid atau
modernisasi adalah menghidupkan kembali pengalaman al-Kitab dan sunnah setelah
lenyap dan melaksanakan apa yang dikehendaki keduanya. [37]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modernisasi Islam berarti
proses usaha pembaharuan dalam pemahaman dan pengamalan al-Qur’an dan sunnah
sesuai dengan tuntutan perkembangan kondisi masyarakat, sains dan pemurnian
akidah islamiyah dari berbagai kurafat, takhayul, tradisi, dan bid’ah yang
bertentangan dengan Islam.[38]
2.
Modernisasi
dalam Sunnah
Modernisasi dalam sunnah merupakan proses usaha pembaharuan dalam
pemahaman dan pengalaman sunnah sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kondisi
masyarakat dan sains dan pemurnian sunnah dari berbagai khurafat, takhayul,
tradisi, dan bid’ah dengan cara mengadakan penelusuran dan penelitian
keauntetikan secara adil dah jujur.
Dari pengertian modernisasi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
modernisasi sunnah harus mengakomidasi beberapa hal, yaitu:
a.
Adanya usaha
pembaharuan. Di sisni berarti perlu adanya pemabaru suunah yang memiliki
persyaratan tertentu pada wialayah sunnah tertentu yang nantinya akan
dijelaskan pada keterangan berikutnya yakni persyaratan pembaru dan wilayah
modernisasi.
b.
Tututan
perkembangan sosial. Modernisasi suunah sangat diperlukan sesuai dengan
perkembangan sosial masyarakat. Karena datangnya sunnah secara berangsur-angsur
menjawab permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.
c.
Tututan
pemurnian sunnah dari khurafat dan bid’ah. Sunnah adalah perjalanan Rasulullah
SAW. dalam membimbing umat manusia ke jalan yang lurus dan benar. Namun dalam
sejarah, sunnah tidak tercatat secara keseluruhan seperti al-Quran. Terdapat
pemalsuan yang dengan sengaja memasukkan khurafat, bid’ah, takhayul, dan
tradisi ke dalam hadits.[39]
3.
Syarat-syarat
Modernisasi dalam Sunnah
a.
Wialayah
modernisasi. Sunnah menjadi penjelas al-Qur’an, menurut Quraish Shihab terbagi
menjadi dua kategori yaitu; 1) di luar wilayah nalar, seperti metafisika, dan
perincian ibadah, 2) dalam wilayah nalar, seperti masalah kemasyarakatan. Pertama,
jika nilai periwayatannya shahih, diterima sebagaimana adanya tanpa adanya
pengembangan pembaruan, karena ia di luar jangkauan rasio manusia. Kedua, sekalipun
harus diyakini kebenaran penafsiran nabi SAW. Namun, harus didudukkan pada
proposisi yang tepat, karena bentuk sifat penafsiran beliau sangan bervaritif,
adakalanya berbentuk ta’rif (pemberitahuan), dan irsyad(petunjjuk),
tash’hih (pelurusan).[40]
b.
Seorang
modernis memenuhi persyaratan. Semua
ulama mempersyaratkan bagi seorang yang ingin melakukan ijtihad dalam bidang
ilmu tertentu harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, persyaratan ijtihad
dalam bidang hadits juga demikian.
c.
Pemahaman teks
sunah secara benar dan dinamis. Misalnya
pada masa sahabat disepakati bahwa diantara persyaratan deorang khalifah harus
berketurunan quraysy. Akan tetapi, karena kemampuan bangsa quraysy yang
semakin melemah, maka persyaratan tersebut digugurkan dan Ibnu Khaldun
memberikan iterpretasi makna kata “quraysy” menjadi yang kuat, cerdik, pandai,
religius, sehingga dapat menyatukan suku-suku, dan memelihara stabilitas
pemerintahan.[41]
d.
Memelihara
sunnah secara kritis. Seorang modernis kritis dan selektif terhadap hadits.
Baik dari pemalsuan, penyimpangan, khurafat, maupun dari bid’ah yang
bertentangan dengan sunnah itu sendiri. Pemeliharaan sunnah dilakukan secara
serius dengan cara mengkeritik berbagai buku hadits baik kritik internal (matan)
maupun kritik eksternal (sanad). Kritik hadits dilakukan dalam rangka
pengamalan ajaran Islam yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah dan
menjaga diri dari cercaan musuh Islam.[42]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata
haditsberasaldaribahasa Arab, yaitual-hadits, kata inimemilikial-jadid
(yang baru), danal-khabar, yang berartikabaratauberita.Penegertianhaditssecaraterbatas,
adalahsesuatu yang dinisbatkankepadaNabi SAW.baikberupaperkataan, perbuatan,
pernyataan (taqrir) dansebagainya. Sedangkanpengertianhaditssecaraluasyaituhaditsbukanhanya
yang dimarfukkankepadaNabi Muhammad SAW., melainkandapat pula disebutkanpada
yang mauquf (dinisbatkankepadaperkataandansebagainyadarisahabat) danmaqthu’
(dinisbatkanpadaperkataandansebagainyadaritabiin).
Adapunimuhadits,
berartiilmu-ilmutentanghadits.Secaraetimologis, ilmuhaditsadalahilmupengetahuan
yang membicarakancara-carapersambunganhaditssampaikepadaNabi SAW.darisegihalihwalpararawinya,
yang menyangkutkedhabitandankeadilannyadandaribersambungdanterputusnyasanad,
dansebagainya.
Dalamdunia
modern modernisasi Islam
adalahlatarbelakangdariterjadinyamodernisasidalamsunnah.
Modernisasidalamsunnahmerupakan proses
usahapembaharuandalampemahamandanpengalamansunnahsesuaidengantuntutanperkembangandankondisimasyarakatdansainsdanpemurniansunnahdariberbagaikhurafat,
takhayul, tradisi,
danbid’ahdengancaramengadakanpenelusurandanpenelitiankeauntetikansecaraadil dah
jujur.Dengandemikianmodernisasisunnahadalahbertujuanuntukmemecahkanmasalah yang
terjadi di tengahmasyarakat modern denganmenampakkankembalial-Qur’an dansunnah
yang mualipudar.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr,Nuruddin,
1994, Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits,Bandung: RemajaRosdaKarya.
AbiDawud,Al-Azdiy,
SunanAbiDawud, Juz 4.
Ahmad,Muhammad
&Mudzakir,M., 2000, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.
Al-HaqqAbadiy,Abi
al-Thayyib Muhammad Syam, 1998,‘Awn al-Ma’budSyarhSunanAbiDawud, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Khatib,Muhammad
Ajaj, 1975, As-SunnahQabla At-Tadwin, Kairo:MaktabahWahba.
Al-MunawwirAhmad
Warson, 1984, Al-Munawwir, Yogyakarta: PonpesKrapyak.
Al-Siba’I,Mustafa,
1966, al-SunnahwaMakanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Dar: al-Qawmiyah.
Ash-Siddieqy,1997,
Hasbi, SejarahdanPengantarIlmuHadits, Semarang: PustakaRizki Putra.
As-Suyuthi,
1988, TadribAr-Rawi fi SyarhTaqrib An-Nawawi, Beirut: Dar Al-Fikr.
Azami,M.
M., 2003, Studies in Hadis Methodology and Literature, Jakarta: Lentera.
IbnuManzhur,Muhammad
IbnuMukaram, 1992, Lisan Al-Arab,Juz II.
Khon,Abdul
Majid, 2011, Pekikiran Modern dalamSunnahPendekatanIlmuHadis, Jakarta:
KencanaPernada Media Group
Nasution,Harun,
1984, Pembaruandalam Islam: Sejarah, PemikirandanGerakan, Jakarta:
BulanBintang.
Rahman,Fachtur,
1991, IkhtisarMutshalahHadis,Bandung: Alma’arif.
Ranuwijaya,Utang,
1996, IlmuHadits,Jakarta: Gaya media Pratama.
Saleh,Subhi,
1998, Ulum al-HadiswaMustalahuh, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin.
Shihab,Quraish,
1996, Membumikan al-Qur’an: FungsidanPeranWahyudalamKehidupanMasyarakat, Bandung:
Mizan.
Sholahudin,M.
Agus&Suyadi,Agus, 2009, UlumulHadits, Bandung: PustakaSetia.
Soetari,Endang,
2005, IlmuHadits: KajianRiwayahdanDirayah,Bandung: MimbarPustaka.
Sunusi,
2013, MasaDepanHaditsdanIlmuHadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor
2.
TahhanMahmud,
1979, TaysirMustalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qalam al-Karim.
[1]Muhammad Ahmad
& M. Mudzakir, UlumulHadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.
12.
[2] Muhammad Ibnu
Mukaram Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, Juz II, (1992), hlm. 131.
[3]Ahmad
Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Ponpes Krapyak, 1984),
hlm. 260-261.
[4] M. M. Azami, Studies
in Hadis Methodology and Literature, (Jakarta: Lentera, 2003), hlm 21-23.
[5] Muhammad Ajaj
Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975),
hlm. 19.
[6] Muhammad Ajaj
Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975),
hlm. 19.
[7] Muhammad Ajaj
Al-Khatib, As-Sunnah Qabla At-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahba, 1975),
hlm. 19.
[8] Endang
Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar
Pustaka, 2005), hlm. 2 & 5.
[9] Fachtur
Rahman, Ikhtisar Mutshalah Hadis, (Bandung: Alma’arif, 1991), hlm. 6.
[10] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 17.
[11] Fachtur
Rahman, Ikhtisar Mutshalah Hadis, (Bandung: Alma’arif, 1991), hlm. 12.
[12] M. Ajaj
Al-Khatib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1975), hlm. 19.
[13]
Mahmud Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Qalam al-Karim,
1979), hlm.14.
[14] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 20.
[15] Mahmud Tahhan,
Taysir Mustalah al-Hadis (Beirut: Dar al-Qalam al-Karim, 1979), hlm.15.
[16] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 20.
[17] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 21.
[18] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 21.
[19] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 15.
[20] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 18.
[21] Utang Ranuwijaya,
Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1996), hlm. 18.
[22] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994),
hlm. 13.
[23]As-Suyuthi, Tadrib
Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5-6.
[24] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), hlm. 106.
[25] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994),
hlm. 14.
[26]As-Suyuthi, Tadrib
Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 5.
[27] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994),
hlm. 16.
[28]Sunusi, Masa
Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013,
hlm. 58.
[29]
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 27.
[30]Sunusi, Masa
Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013,
hlm.58, 66, 67.
[31]
Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, (t.t.;
Dar: al-Qawmiyah, 1966), hlm.101.
[32]
Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997), hlm. 123.
[33]
Subhi Saleh, Ulum al-Hadis wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Ilm al Malayin,
1998), hlm. 109.
[34]Sunusi, Masa
Depan Hadits dan Ilmu Hadits, Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2, 2013,
hlm. 58-60.
[35] Harun
Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hlm 11.
[36]Al-Azdiy Abi
Dawud, Sunan Abi Dawud, Juz 4, hlm. 1835.
[37]Abi al-Thayyib
Muhammad Syam al-Haqq Abadiy, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), hlm 260.
[38] Abdul Majid
Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 178-179.
[39] Abdul Majid
Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 179-180.
[40] Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 95.
[41]Abdul Majid
Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 183.
[42]Abdul Majid
Khon, Pekikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana Pernada Media Group, 2011), hlm. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar