BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu (science) biasanya
didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang diorganisasikan secara
sistematik. Definisi ini benar, tetapi oleh William Good dan Paul Hatt,
masing-masing guru besar pada jurusan Sosiologi di Columbia University dan
North Western University, Amerika Serikat diingatkan bahwa definisi itu baru
memadai kalau kata–kata pengetahuan dan sistematik didefinisikan lagi secara
benar. Kalau tidak, pengetahuan teologis yang disusun sistematik, dipandang
sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam. Padahal ilmu teologis, betapapun
sistematisnya tetap deduktif sedangkan ilmu pengetahuan alam induktif. Itu
sebabnya pendekatan dan metodologi, yang diterapkan dalam mempelajari suatu
masalah amatlah penting untuk mengetahui derajat keilmuan studi yang
dihasilkannya itu. Dalam hal ini tidak terkecuali studi Islam dan hukum Islam,
harus dilihat dengan kacamata yang sama. Kali ini kita akan membahas studi Islam
dengan pendekatan sosisologi.
Berkaitan dengan studi keislaman dan
keberadaan masyarakat Muslim saat ini, maka dalam makalah ini akan diuraikan
sosiologi sebagai sebuah pendekatan dapat dijadikan sarana dan alat yang dapat
membawa studi-studi keislaman kepada pengkajian yang lebih dinamis terhadap
gejala-gejala yang terjadi dalam masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian dari ilmu sosiologi?
2.
Bagaimana sejarah
perkembangan sosiologi, dan sosiologi agama?
3.
Siapakah tokoh-tokoh
sosiologi?
4.
Apa teori-teori
sosiologi?
5.
Bagaimana Agama
menjadi bahan kajian sosiologi?
6.
Bagaimana bentuk
studi Islam dalam pendekatan sosiologi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi
Dalam studi Islam ada beberapa pendekatan yang digunakan, salah
satunya adalah dengan pendekatan sosiologi. Secara etimologi, kata sosiologi
berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata “socius” yang berarti teman
dan “logos” yang berarti berkata atau berbicara. Jadi sosiologi artinya
berbicara tentang manusia yang berteman atau bermasyarakat.[1]
Secara terminologi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial.[2]
Dalam pengertian masih umum, sosiologi merupakan studi tentang masyarakat
yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok, dengan segala
kegiatan dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat
dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan
yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena
factor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi social berikutnya. Segala
factor dan pola kegiatannya serta konsekuensi-konsekuensi proses interaksi di
antara individu dengan individu dan kelompok-kelompok adalah pokok-pokok
persoalan yang penting dari sosiologi.[3]
Dari beberapa pendapat di atas bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat. Namun demikian sampai
sekarang definisi sosiologi agak sukar untuk
memberikan suatu batasan yang pasti tentang definisi sosiologi lantaran
terlalu banyak cakupan kajiannya, sehingga kalaupun diberikan suatu definisi masih ada juga yang tidak
memenuhi unsur-unsurnya secara menyeluruh. Ada beberapa pendapat mengenai
definisi sosiologi yang dapat dijadikan sebagai pegangan sementara diantaranya
adalah; Petirim A. Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala social, hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala social dengan gejala non-sosial, ciri-ciri umum dari semua
gejala-gejala social. Roucek and Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok. Van Doorn mengemukakan
bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan
proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. Hassan Shadily dalam bukunya Sosiologi Masyarakat Indonesia
menyebutkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai
kehidupan itu. [4]
Adapun objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut
hubungan antara manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia dalam
masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah meningkatakan daya atau kemampuan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya.
Dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan manusia dalam tata kehidupan bersama. Pusat perhatiannya adalah
kehidupan kelompok dan tingkah laku social. Karena yang diperhatikan adalah
masalah-masalah yang bersifat berskala besar dan substansial serta dalam
konteks budaya yang lebih luas, pemahaman sosiologi pun berskala makro,
mendasar dan deduktif. Pemahaman mikro dan induktif kurang menarik perhatian
sosiologi.
Asumsi dasar pendekatan sosiologi terhadap agama adalah bahwa
gejala-gejala keagamaan dapat dimengerti dengan menganalisisnya sebagai gejala
social, sebagai sesuatu yang tercipta dalam hubungan antara manusia dan
karenanya dapat dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang berlaku dalam
ilmu social.
Teori sosiologis tentang watak agama serta kedudukan dan
signifikansinya dalam dunia social, mendorong ditetapkannya serangkaian
kategori-kategori sosiologis, yaitu:[5]
·
Stratifikasi
social, seperti kelas dan etnisitas.
·
Kategori
biososial, seperti usia, seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak.
·
Pola organisasi
social meliputi, politik, produksi ekonomis, system-sistem pertukaran, dan
birokrasi.
·
Proses social,
seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan, dan
globalisasi.
Sedangkan sosiologi agama menurut H-Goddjin – W. Goddjin
adalah bagian dari sosiologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris,
profane, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti
dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan kelompok keagamaan, dan
gejala-gejala kekelompokan keagamaan. Sedangkan J. Wach merumuskan
sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang “interaksi” dari agama
dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka.[6]
Dari dua definisi di atas cukup untuk memberikan gambaran kepada
kita bahwa sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum
yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis untuk mencapai keterangan-keterangan
ilmiah dan pasti untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat
pada umumnya.
B. Sejarah perkembangan Ilmu Sosiologi
Semua bidang intelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini
terutama berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya,
tetapi juga menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokoknya. Sejarah
muncul dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu sangat terkait
dengan peristiwa-peristiwa kekacauan social umat manusia.
Harus ditegaskan di sini bahwa orang yang pertama kali menggagas
sekaligus mempraktekkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu baru yang
mandiri adalah Ibn Khaldun, ia hidup dalam situasi konflik yang begitu keras
antara Muslim tradisionalis, rasionalis, dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis
dalam masyarakat di sekitarnya itulah yang mendorongnya untuk mempelajari
masyarakat secara serius. Dalam kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya
sosiologi, seperti Kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat
dan kitab Muqaddimah yang berisi pembahasan tentang sosiologi. Muqaddimah
merupakan karya terpenting dari keseluruhan karya Ibn Khaldun. Dalam karyanya
ini beliau mengkaji masyarakat secara empiris dan meneliti sebab-sebab
fenomenologi social.[7]
Sebagian sosiolog memandang kontribusi Ibn Khadun begitu kecil
dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan August Comte sebagai orang
yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan
panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh revolusi Perancis 1789 dan
revolusi yang berlangsung sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai factor yang
paling besar perannya dalam pembentukan sosiologi. Walaupun ini sesungguhnya
bukan factor yang pertama dalam pembentukan ilmu sosiologi, karena factor yang
pertama adalah kekacauan pada masa Ibn Khaldun, namun perlu pula disinggung di
sini untuk memahami sejarah terbentuknya sosiologi modern. [8]
August Comte dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam
aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat
dengan dasar filsafat empiric yang kuat. Ilmu tentang masyarakat ini pada
awalnya oleh August Comte diberi nama “social physics”(fisika social), yang
kemudian dirubahnya sendiri menjadi “sociology” karena istilah fisika social
tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang
ahli statistic social Adophe Quetelet, yang kemudian August Comte dikenal
sebagai bapak sosiologi.[9]
Sedangkan minat untuk mempelajari fenomena agama dalam masyarakat
mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19. Periode klasik ini terutama
dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal, yaitu Emile Durkheim
(1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Dua orang di atas dipandang sebagai
pendiri sosiologi agama.
C. Tokoh-tokoh ilmu sosiologi
a. Ibn Khaldun
Sosiologi pengetahuan merupakan ilmu
baru yang menjadi cabang dari sosiologi yang mempelajari hubungan timbal balik
antara pemikiran dan masyarakat. Sosiologi pengetahuan menaruh perhatian pada
kondisi social atau eksistensial pengetahuan. Para sarjana dalam bidang ini
tidak terbatas melakukan analisis sosiologis wilayah kognitif tapi juga secara
praktis mengamati produk-produk intelektual.
Ide-ide sosiologi pengetahuan telah
dilahirkan oleh Ibn Khaldun pada abad ke-14. Ibn Khaldun memandang bahwa ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang tersistematisasikan dan semua ilmu
pengetahuan itu dipengaruhi oleh kondisi social. Bagi Ibn Khaldun ilmu
pengetahuan hanya berkembang di mana peradaban berkembang. Ilmu pengetahuan
rasional hanya akan dijumpai di antara masyarakat yang berperadaban.
Perkembangan ilmu pengetahuan adalah fenomena social. Jadi ada hubungan antara
perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban dalam masyarakat yang
menetap.
Sebagaimana Karl Mannheim, Ibn
Khaldun berpandangan bahwa pemikiran ideologis tidak hanya terbatas pada kelas
yang berkuasa saja, tapi juga dimiliki oleh semua kelas social. Setiap kelas
memiliki eksistensinya sendiri, atau perspektif sosialnya sendiri, dan sejumlah
kepentingan. Jadi ide-ide yang dihasilkan oleh semua kelas pada dasarnya adalah
ideologis. Sama halnya dengan Max Scheler, Ibn Khaldun berpandangan bahwa
factor-faktor material sangat dapat mempengaruhi isi ide-ide, ideology, dan
pengetahuan masyarakat.[10]
Berdasarkan fakta-fakta di atas
dapat kita lihat bahwa sebenarnya pendiri sosiologi adalah Ibn Khaldun. Karena
apa yang diungkapkan oleh para sosiolog-sosiolog tersebut telah diungkapkan
oleh Khaldun 6 abad sebelumnya.
Wawasan Ibnu Khaldun terhadap
beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga
sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang
tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak
Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang
masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti
Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner,
Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir Arab, NJ Dawood
menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana.
Dialah Ibnu Khaldun, penulis buku yang melegenda, Al-Muqaddimah.
b.
Auguste Comte
Auguste Comte seorang Perancis,
merupakan bapak sosiologi yang pertama memberi nama pada ilmu tersebut
(yaitu dari kata socius dan logos). Walaupun dia tidak
menguraikan secara rinci masalah-masalah apa yang menjadi objek sosiologi,
tetapi dia mempunyai anggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian pokok,
yaitu social statistics dan social dynamics. Konsepsi tersebut
merupakan pembagian dari isi sosiologi yang sifatnya pokok sekali. Sebagai social
statistics, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan social
dynamics meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan
mengalami perkembangan sepanjang masa.[11]
Perkembangan tersebut pada hakikatnya melewati tiga tahap, sesuai tahap-tahap
pemikiran manusia yaitu:
a)
Tahap teologis,
ialah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda didunia ini mempunyai jiwa
dan itu disebabkan oleh sesuatu kekuatan yang berada di atas manusia. Cara
pemikiran tersebut tidak dapat dipakai dalam ilmu pengetahuan, karena ilmu
pengetahuan bertujuan untuk mencari sebab serta akibat dari gejala-gejala.
b)
Tahap
metafisis, pada tahap ini manusia masih percaya bahwa gejala-gejala didunia ini
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Manusia belum
berusaha untuk mencari sebab dan akibat gejala-gejala tersebut.
c)
Tahap positif,
merupakan tahap dimana manusia telah sanggup untuk berfikir secara ilmiyah.
Pada tahap ini berkembanglah ilmu pengetahuan.
Menurut Comte, masyarakat harus
diteliti atas dasar fakta-fakta objektif dan dia juga menekankan pentingnya
penelitian-penelitian perbandingan antara pelbagai masyarakat yang berlainan.
Hasil
karya Auguste Comte yang terutama yaitu:
-
The scientific
labors necessary for the reorganization of society (1822)
-
The positive
philosophy (6 jilid
1830-1840)
c.
Emile
Durkheim
Kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun
demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya. Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat
dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal
seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk
mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha
menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah salah satu orang pertama
yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan
mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.[13]
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada
sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang
memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap
"fakta-fakta
sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan
fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan
individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang
independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan
individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta
sosial lainnya, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau
situasi ekologis tertentu.[14]
Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat
'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk
Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang
ditulisnya bersama Marcel
Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia
dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim).
d. Max Waber
Menurut Weber, perilaku manusia merupakan perilaku social
yang harus mempunyai tujuan tertentu dan terwujud dengan jelas. Untuk
menganalisa perilaku sosial tersebut Weber menciptakan tipe-tipe perilaku ideal
sebagai pola yang biasa disebut “ideal typus” agar dapat
membandingkannya dengan perilaku actual yang dimaksudkan sebagai ekspresi semua
formulasi dan batasan konseptual dalam sosiologi. Pengartian tipe ideal
dirumuskan dengan cara memberikan tekanan sepihak serta intensifikasi terhadap
satu atau beberapa aspek suatu peristiwa yang mencerminkan struktur mental yang
seragam.
Weber menekankan bahwa tipenya itu harus merupakan suatu
kemungkinan yang kuat dengan minimal harus mendekati kebenaran empiris. Tipe
ideal juga bersifat deskriptif murni dan tidak boleh disalahgunakan untuk
menjelaskan data yang diungkapkannya.
Tipe ideal merupakan suatu sarana untuk menyusun klasifikasi yang berguna untuk
mengatur kategori-kategori secara sistematis dari semua hasil pengamatan yang
pernah dilakukan. Selain itu, bentuk perilaku social yang terpenting adalah
perilaku social yang timbal balik (resiprokal) yang tercermin dalam pengantian
hubungan social sebagai tema sentral sosiologi.
Suatu hubungan social ada apabila para individu secara
mutual mendasarkan perilakunya pada perilaku yang diharapkan pihak-pihak lain. Beberapa tipe hubungan social diantaranya:[15]
1.
Perjuangan,
suatu bentuk hubungan social yang menyangkut perilaku individu sedemikian rupa
sehingga salah satu pihak memaksakan kehendaknya terhadap perlawanan pihak
lain.
2.
Komunalisasi,
hubungan social yang didasarkan pada perasaan subyektif baik bersifat emosional
, tradisional maupun kedua-duanya.
3.
Agregasi,
hubungan social keserasian dan kecocokan motivasi rasional atau keseimbangan
berbagai kepentingan.
4.
Kelompok
Korporasi, hubungan social yang berkaitan dengan wewenang yang dilandaskan pada
kegiatan seorang pemimpin dan suatu staf administrasinya.
Keempat
hubungan social tersebut mungkin terbuka ataupun tertutup tergantung pada dasar
peran sertanya, yakni sukarela atau paksaan.
Selain
Ideal typus, Max Waber juga terkenal dengan Method of
understanding yang menghasilkan dua cara untuk mendapatkan pemahaman dan
dua jenis pemahaman yang harus diperhitungkan. Suatu perilaku dapat dipahami
secara intelektual bila perilaku tersebut rational, tergantung pola
perilaku yang terwujud dengan cara yang dianggap logis yang sesuai dengan
urutan perilaku yang dapat diduga. Dan suatu perilaku juga bisa dipahami dengan
menggunakan perasaan bila perilaku tersebut bersifat irrational dengan
jalan memproyeksikan diri sendiri ke dalam situasi irasional
tersebut.
D. Teori-teori sosiologi
Dalam kajian ini ada beberapa teori social yang dapat digunakan
sebagai pendekatan dalam melakukan kajian atau penelitian Islam:[16]
a.
Fungsionalisme
structural
Teori ini
disebut dengan fungsionalisme structural karena memusatkan perhatian pada
prasyarat fungsional atau kebutuhan yang harus dipenuhi oleh suatu system
social dalam mempertahankan kehidupannya dan struktur-struktur yang sesuai
dalam memenuhi kebutuhannya tersebut. Sesuai dengan pandangan ini, system
social memiliki kecenderungan untuk melaksanakan fungsi tertentu yang
dibutuhkan untuk kelangsungan sebuah system social. Oleh karena itu, analisis
sosiologis berusaha untuk meneliti tentang struktur-struktur social yang
melaksanakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan terhadap system social tersebut.
Teori
fungsionalisme structural dikembangkan pada abad 20-1n oleh para sosiolog dan
antropolog. Sampai pada tahun 1960-an, teori ini masih dianggap sebagai teori
yang dominan dalam sosiologi. Salah seorang ilmuwan dalam teori ini adalah
Kingsley Davis. Davis menyatakan bahwa pengujuan atas peran atau fungsi yang
dijalankan oleh sebuah institusi atau perilaku tertentu dalam masyarakat dapat
dilakukan melalui analisis fungsional.
Kerangka
berfikir teori ini ialah melihat suatu masyarakat sebagai suatu system dinamis
yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan antara yang satu
dengan yang lainnya. Teori fungsionalisme structural memandang bahwa
subsistem-subsistem tersebut memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi yang lainnya
dan untuk system secara keseluruhan. Titik tekan dari teori ini adalah
keteraturan. Fungsi dalam teori ini adalah akibat yang dapat diamati yang
sesuai dalam suatu system.
b.
Konflik
Ditinjau dari aspek komparasi dengan teori-teori social yang
lainnya, sesungguhnya teori konflik ini tidaklah terlalu kokoh. Namun demikian,
teori ini mendapat dukungan yang luas, terutama dari kalangan intelektual muda
di kalangan negara yang sedang berkembang, juga negara Barat sendiri. karena
dirasakan analisis dari teori ini sangat tepat untuk membedah kemiskinan di
negara-negara dunia ketiga. Misalnya, perkembangan pendidikan hanya merupakan
suatu proses awal stratifikasi social yang cenderung memperkuat posisi kaum
yang selama ini memiliki keistimewaan.
Teori ini memiliki beberapa asumsi, antara lain;
1)
Manusia sebagai
makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka
inginkan dan mereka berusaha untuk mendapatkan.
2)
Kekuasaan
mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan social. Kekuasaan bukan hanya
merupakan sesuatu yang langka, dan tidak terbagi secara merata, sehingga
merupakan sumber konflik, tetapi juga pada hakekatnya kekuatan itu bersifat
pemaksaan.
3)
Ideology dan
nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda, dan mungkin bertentangan untuk mengejar
kepentingan mereka sendiri. Ideology dan nilai sama sekali bukan merupakan
sarana untuk mencapai integrasi dan mengembangkan identitas suatu bangsa.
c.
Tindakan
Menurut pandangan Max Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha
untuk menafsirkan dan memahami terhadap tindakan social antar hubungan social
untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasar, yaitu konsep tindakan social dan konsep tentang penafsiran dan pemahaman
yang menyangkut metode untuk menerangkan konsep tindakan social. Dengan
berpijak dari konsep dasar tentang tindakan social dan antar hubungan social
tersebut, Weber mengemukakan 5 ciri pokok yang menjadi sasaran penting
penelitian sosiologi yang terkait dengan tindakan social, yaitu:
1)
Tindakan
manusia, yaitu meliputi berbagai tindakan nyata.
2)
Tindakan nyata
yang bersifat membantu yang sepenuhnya dan bersifat subjektif.
3)
Tindakan yang
meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang dan
tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4)
Tindakan itu
diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5)
Tindakan ini
memperhatikan tindakan orang lain dan terserah kepada orang lain itu.
Dalam
mempelajari tindakan social, weber menganjurkan melalui penafsiran dan
pemahaman. Teori tindakan ini dapat digunakan untuk menginterpretasikan
tindakan-tindakan pelaku dan memahami rasionalitas di balik tindakan dari
pelaku tersebut.
d.
Teori perubahan
social
Perubahan social merupakan salah satu pokok bahasan yang sangat
penting. Ia bahkan telah menjadi salah satu cabang dari ilmu sosiologi dengan
disokong oleh ilmu komunikasi, psikologi, ekonomi, antropologi, manejemen dan
ilmu politik. Keterlibatan ilmu-ilmu tersebut diakibatkan oleh fakta bahwa
perubahan social itu berkorelasi resiprokal(timbal-balik) dengan ilmu-ilmu di
atas.
Perubahan social dapat terjadi secara cepat atau lambat, tergantung
kepada situasi lingkungan maupun factor-faktor lain yang saling berkaitan.
Menurut Ravik Karsidi, perubahan social dapat terjadi pada berbagai tingkat
kehidupan manusia. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai
dari kelompok terkecil atau mulai dari tingkat individu, keluarga, hingga
tingkat dunia. Berdasarkan pada deskripsi di atas dalam kerangka melihat
terjadinya perubahan social, maka dapat dibedakan adanya berbagai macam tipe
perubahan social. Ditinjau dari proses terjadinya, ada perubahan social yang
direncanakan dan ada yang tanpa direncanakan. Berdasarkan jangka waktu
terjadinya perubahan social, Ibrahim membedakan antara perubahan jangka pendek
dan perubahan jangka panjang. Berdasarkan tingkat terjadinya perubahan social
dapat dibedakan pada tingkat makro(individu), tingkat intermediate(kelompok),
dan tingkat makro(masyarakat).
e.
Interaksionisme-simbolis
Pendekatan ini juga merupakan pendekatan yang menggunakan
interdisiplin, yakni interaksionisme yakni sebuah pendekatan yang mengkaji
hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat. Kemudian pendekatan ini
digabungkan dengan pendekatan simbolisme dengan asumsi bahwa semua interaksi
dalam masyarakat hanya akan terlihat dengan jelas bila dihubungkan dengan
simbol-simbol yang berlaku di kalangan mereka.
Sedangkan pendekatan interaksionisme-simbolis merupakan sebuah
perspektif mikro dalam sosiologi yang barang kali sangat spekulatif pada
tahapan analisanya sekarang ini. Tetapi pendekatan ini mengandung sedikit
sekali prasangkan ideologis, walaupun meminjam banyak dari lingkungan Barat
tempat dibinanya pendekatan itu.
Sebagaimana dipesankan oleh namanya, interaksionisme-simbolis lebih
sering disebut sebagai pendekatan interaksionis saja-bertolak dari interaksi
sosial pada tingkat paling minimal. Dari tingkat mikro ini, tidak seperti jenis
lain psikologi sosial, ia diharapkan memperluas cakupan analisisnya guna
menangkap keseluruhan masyarakat sebagai penentu proses dari banyak interaksi.
Manusia dipandang mempelajari situasi-situasi yang bisa serasi atau bisa pula
menyimpang, mempelajari situasi-situasi transaksi-trasnsaksi politis dan
ekonomis, situasi-situasi di dalam dan diluar keluarga, situasi-situasi
permainan dan pendidikan, situasi-situasi organisasi, formal dan informal dan
seterusnya.
Pendekatan ini bisa dicontohkan dengan kajian interaksi pada
tingkat keluarga, yang kemudian juga mengkaji bagaimana interaksi itu bisa
berpengaruh kepada interaksi pada tingkat yang lebih tinggi yakni interaksi
masyarakat. Maka interaksi di tingkat keluarga ini akan sangat kental
mempengaruhi dan mencoraki interaksi di tingkat yang lebih tinggi.
E. Agama sebagai bahan Kajian Sosiologis
Agama (religion) dalam
kajian sosiologi termasuk ke dalam sub kajian yang banyak mendapat sorotan dari
para sosiolog karena dianggap menarik. Berawal dari seperangkat kepercayaan, perlambang
dan praktek yang didasarkan atas ide tentang yang sakral (based on the idea
of sacred).[17]
Agama mampu menciptakan pola-pola yang baik dan teratur dalam kehidupan
suatu masyarakat dan menciptakan sebuah komunitas sosio-religius yang dalam
tingkah lakunya dipengaruhi oleh keyakinan tersebut.
Dalam sebuah
masyarakat, biasanya agama adalah salah satu struktur institusional penting
yang melengkapi keseluruhan sistem sosial, akan tetapi masalah agama tentunya
berbeda dengan masalah politik dan hukum yang berkaitan dengan pengendalian
kekuasaan, berbeda dengan masalah politik dan hukum yang berkaitan dengan
pengendalian kekuasaan, berbeda dengan lembaga ekonomi yang berkaitan dengan
kerjasama dalam menghasilkan uang dan barang, dan juga berbeda dengan lembaga
keluarga yang mengatur dan mempolakan hubungan antar jenis kelamin, antar
generasi, ataupun hubungan lainnya dalam sebuah keluarga.
Agama sebagai fenomena
sosiologis, terkait konsep keyakinan atau kepercayaan tentang suatu yang abstrak,
dan membentuk perilaku manusia yang disebut sebagai perilaku agamis dalam
kehidupannya. Pada awal perkembangan sosiologi, beberapa tokoh sosiologi
terkemuka memandang sinis terhadap agama dalam konteks sosial, dalam sejarah
dikemukakan bahwa Aguste Comte memandang agama sebagai suatu jenis pengetahuan
yang agak rendah, lebih-lebih Karl Marx, yang memandang agama adalah sebagai
alat bagi kaum atasan untuk menindak kaum bawahan dan pendapat Durkheim tidak
berbeda jauh dimana ia menamakan agama sebagai sublimasi(pendewaan) masyarakat
yang menyembah diri.[18]
Dalam perjalanan
sejarah, kajian-kajian sosial terhadap agama dilihat sebagai kritik terhadap
teori-teori positivistik abad ke-19, yang umumnya lebih diarahkan untuk mencari
asal usul agama berdasarkan asumsi-asumsi rasional dan individualis.[19] Tradisi
positivistik ini menganggap agama sebagai keyakinan yang keliru dari
individu-individu yang pada waktunya akan lenyap ketika pemikiran ilmiah sudah
semakin mapan dalam masyarakat. Contohnya dalam evolusi Darwinis akan
merubuhkan keyakinan agama terhadap sang pencipta, karena agama dianggap
sesuatu yang irrasional. Namun belakangan kajian-kajian ilmu sosial terhadap
agama, sebaiknya lebih tertarik pada agama sebagai sesuatu yang bersifat non
rasional(jadi bukan Irrasional), kolektif dan simbolik.[20] Agama
tidak dilihat pada asal usul historis dalam masyarakat primitif, namun agama
merespon kebutuhan manusia terhadap makna itu.
Oleh sebab itu dalam
dimensi sosiologi, agama dapat memberikan kontribusi yang besar dalam membentuk
tingkah laku manusia dalam sebuah masyarakat, sehingga berkembang menjadi
berbagai ilmi seperti Antropologi agama, sejarah agama, psikologi agama, sosiologi
agama dan seterusnya. Perlu dicatat bahwa sosiologi agama (sociology of
religion) harus dibedakan dari sosiologi keagamaan (religious sociology) yang
telah dikembangkan oleh gereja katolik Roma untuk memperbaiki efektivitas upaya
misionarisnya pada masyarakat industri.[21] Jadi
sosiologi keagamaan lebih ditujukan kepada bagaimana memasyarakatkan agama
dalam sebuah komunitas, ini berbeda jauh dengan sosiologi agama yang bertitik
tolak pada pengamatan terhadap suatu masyarakat mengenai perilaku keagamaannya.
Dalam kajian sosiologis
agama dilihat sebagai salah satu institusi sosial, sebagai subsistem dari
sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah
satu pranata sosial,dan karena posisinya sebagai subsistem maka eksistensi dan
peran agama dalam suatu masyarakat, tak ubahnya dengan posisi dan peran
subsistem lainnya, meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan
demikian bahwa agama dalam konteks sosiologi tidak dilihat berdasarkan apa dan
bagaimana isi ajaran ataupun doktrin keyakinan, melainkan begaimana ajaran dan
keyakinan itu dilakukan dan mengkristal dalam prilaku para pemeluknya dalam kehidupan
sehari-hari.
F. Bentuk-Bentuk Studi Islam Dengan Pendekatan Sosiologi
Studi Islam dengan pendekatan sosiologi tentu saja adalah bagian
dari studi sosiologi agama. Ada perbedaan tentang tema pusat sosiologi agama
klasik dan modern. dalam sosiologi agama klasik tema pusatnya adalah hubungan
timbal balik antara agama dan masyarakat, bagaimana agama mempengaruhi
masyarakat, pemikiran dan pemahaman keagamaan. Sedangkan dalam sosiologi agama
modern, tema pusatnya hanya pada satu arah yaitu bagaimana agama mempengaruhi
masyarakat. Tetapi studi Islam dengan pendekatan sosiologi, nampaknya lebih
luas dari konsep sosiologi agama modern dan lebih dekat dengan konsep sosiologi
agama klasik, yaitu mempelajari hubungan timbal-balik antara agama dan
masyarakat.[22]
Studi Islam dengan pendekatan sosiologi dapat mengambil beberapa
tema: pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau
lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Tema ini
mengingatkan kita kepada Durkheim yang memperkenalkan konsep fungsi social dari
agama. Perubahan masyarakat biasanya didefinisikan sebagai “the alternation of
patterns of culture, social structure, and social behaviors over time(
perubahan social adalah perubahan pola-pola budaya, struktur social, dan
perilaku social dalam jangka waktu tertentu)”. Dalam bentuk ini studi islam
mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat (seperti menilai
sesuatu sebagai baik atau buruk) berpangkal pada nilai-nilai agama, atau
seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supermasi kaum lelaki) berpangkal
pada ajaran tertentu agama, atau seberapa jauh perilaku masyarakat (seperti
pola berpakaian masyarakat) berpangkal pada ajaran tertentu suatu agama.
Untuk menyebut beberapa contoh yang lebih kongkrit, misalnya
bagaimana ajaran Islam tentang muhrim telah cenderung mendorong masyarakat Arab
Saudi menilai bahwa kehidupan yang baik adalah yang mempraktikkan segregasi
(pemisahan) antara laki-laki dan perempuan. Juga misalnya dapat diteliti
bagaimana pengaruh ajaran waris Islam tentang bagian laki-laki dan perempuan
dalam mendorong lahirnya struktur social di mana kaum laki-laki lebih berkuasa
dari kaum perempuan.
Kedua, studi tentang
pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau
konsep keagamaan. Tema ini mengingatkan kita pada teori pilihan rasional agama
yang pada dasarnya bersandar pada pengamatan masyarakat Kristen di Barat. Pada
masa sejarah Islam klasik kita juga dapat melihat misalnya bagaimana
pertentangan politik ahlu sunnah wajamaah, syiah dan kaum khawarij telah melahirkan konsep teologi
Islam yang berbeda-beda mengenai konsep imamiah, dosa besar, dan sebagainya.
Dalam bidang hukum misalnya bagaimana tingkat urbanisme Kufah telah
mengakibatkan lahirnya pendapat-pendapat Hukum Islam Hanafi yang rasional. Di
Indonesia, di beberapa daerah industry ada desakan agar dibolehkan shalat jumat
bergiliran agar pabrik dapat berjalan selama 24 jam.
Ketiga, studi tentang
tingkat pengamalan beragama masyarakat. Studi islam dengan pendekatan sosiologi
juga dapat mengevaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh ajaran agama
itu diamalkan oleh masyarakat. Dengan pengamatan atau survey, masyarakat
dipelajari seberapa jauh mengamalkan ajaran agama yang dianutnya, atau seberapa
juah masyarakat mengamalkan tentang ajaran zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Informasi ini diperlukan terutama oleh dan pengembang masyarakat.
Studi evaluasi seperti ini juga dapat diterapkan untuk menguji coba
(eksperimentasi) dan mengukur efektifitas suatu program seperti system
pendidikan Islam misalnya.
Keempat, studi pola
social masyarakat Muslim. Studi islam dengan pendekatan sosiologi juga dapat
mempelajari pola-pola perilaku masyarakat muslim desa atau kota, pola hubungan
antar agama dalam suatu masyarakat.
Kelima, studi tentang
gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang
kehidupan beragama. Gerakan-gerakan kelompok Islam yang mendukung paham
kolonoalisme, kapitalisme, sekularisme, komunisme, atheism adalah beberapa di
antara contoh gerakan yang mengancam kehidupan beragama dan karenanya perlu
dipelajari secara seksama. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok masyarakat
Islam yang mendukung spiritualisme, sufisme, dan lain-lain yang pada tingkat
tertentu dapat menunjang kehidupan beragama, perlu dipelajari secara seksama
pula. Gerakan paham-paham itu adakalanya mengancam agama sebagai ajaran atau
mengancam agama sebagai komunitas seperti gerakan-gerakan sempalan dan
fundamentalis dalam Islam.[23]
Pendekatan sosiologis dalam studi Islam pada dasarnya sangat
berguna bagi pengembangan ajaran agama Islam berkaitan dengan persoalan
masyarakat. Terbukti dalam alquran begitu banyak ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah-masalah sosial dan muamalah,[24]
dari pada itu konsep masyarakat dalam Islam juga menganut beberapa persamaan
dan asas keseimbangan dalam masyarakat, yaitu; keseimbangan antara hak dan kewajiban,
keseimbangan antara individu dan masyarakat, keseimbangan antara hak individu
dan kewajiban individu dan keseimbangan antara hak masyarakat
dan kewajiban masyarakat.[25]
Jalaluddin Rahmat, dalam bukunya Islam Alternatif telah menunjukkan
betapa besar perhatian agama Islam dalam masalah-masalah sosial, dengan
mengajukan lima alasan, yaitu;
1.
Dalam al-Qur`an
atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu
berkenaan dengan masalah muamalah (masalah sosial).
2.
Bahwa
ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan
bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang lebih
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan(bukan ditinggalkan),
melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3.
Bahwa ibadah
yang mengandung segi-segi kemasyarakatan diberi ganjaran yang lebih besar dari
pada ibadah yang bersifat perorangan. Misalnya dalam shalat berjamah.
4.
Dalam Islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakuakn tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu
yang berhubungan dengan masalah social.
5.
Dalam Islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat pahala
yang lebih besar dari ibadah sunnah.[26]
Melihat
perkembangan zaman yang modern, studi Islam dengan pendekatan sosiologis akan
berguna bagi kehidupan masyarakat muslim yang telah jauh tertinggal dari dunia
barat. Kedua sumber ajaran Islam dapat dijadikan patokan utama dalam
meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi kebangkitan umat Islam
masa sekarang dan yang akan datang.
Untuk
dapat memahami fenomena-fenomea yang terjadi di Masyarakat pendekatan
sosiologis adalah pendekatan yang paling tepat untuk dapat memahami pola-pola
dan gerak-gerik yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Berawal dari penyelidikan
dan pemahaman yang mendalam dari struktur-struktur yang terdapat pada contoh
terdahulu, maka dapat dilihat bahwa pendekatan sosiologis punya signifikansi
dan kontribusi yang besar dalam menjawab fenomena-fenomena yang terjadi dalam
sebuah masyarakat.
Sementara
dari aspek hukum dan fiqih hanya melihat benar dan salah atau halal dan haram
semata tanpa melihat kepada gejala-gejala perubahan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sosiologi
adalah studi sistematis mengenai keadaan kelompok dan masyarakat dan
gejala-gejalanya yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sosiologi
adalah salah satu disiplin ilmu yang mempunyai banyak sub-disiplin.
Karena
beragama merupakan sebuah kecenderungan alami manusia, dan telah menjadi sebuah
fenomen yang banyak ditemukan di seluruh ummat manusia di kebanyakan wilayah,
maka dengan sendirinya agama menjadi sebuah fenomena sosial yang tentu layak
dikaji dengan pendekatan sosiologi. Termasuk di dalamnya adalah agama Islam.
Kehidupan beragama kaum muslimin merupakan fenomena sosial yang menyediakan
ruang lingkup kajian yang begitu luas.
Pendekatan
sosiologis dalam kajian-kajian keIslaman sebenarnya bukanlah sebuah tradisi
yang benar-benar baru. Banyak kalangan mengakui bahwa pendekatan ini telah lama
digunakan dalam tradisi intelektual Islam, seperti penelitian kedhabitan
para periwayat hadist yang dilakukan oleh imam-imam Hadist, akan tetapi Ibn
Khaldunlah yang kemudian memakai pendekatan ini dengan metode yang lebih
sistematis.
Pendekatan
Sosiologi mempunyai peluang yang sangat besar untuk berkembang dalam lingkup
studi Islam. Dengan begitu kontribusinya kemudian dalam tradisi intelektual
Islam tentu saja akan sangat besar.
DAFTAR RUJUKAN
Abdulsyani. 2007. Sosiologi
(Sistematika, Teori, dan Terapan). Jakarta: Bumi Aksara
Abdullah, Amin. 2000. Mencari
Islam, Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Beilharz,
Peter. 2002 Teori-Teori Sosial. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Fanani, Muhyar. 2008. Metode
Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Ishomuddin. 2002. Pengantar
Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi
Islam dan Masyarakat Modern. Jakarta: Prenada Media Group.
Kahmad, Dadang. 2009. Sosiologi
Agama. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Lubis, Nur
Ahmad Fadhil. 2000. Agama
Sebagai Sistem Kultural. Medan: IAIN
Press.
Mubarak, Zulfi. 2006. Sosiologi
Agama. Malang: UIN Malang Press.
Naim, Ngainun. 2009. Pengantar
Studi Islam. Yogyakarta: Teras
Polak, Maijor. 1991. Sosiologi Suatu Buku
Pengantar Ringkas. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet-12.
Qodir, Zuly. 2011. Sosiologi
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmat, Jalaluddin. 1986. Islam
Alternatif. Bandung: Mizan
Saifuddin Ansari, Endang. 1993.
Wawasan Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada, cet,4
Soekanto, Soejono. 1990.
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
[1]
Abdul Syani, Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat (Lampung:
Pustaka Jaya, 1995) hlm. 2
[2]
Tim MGMP, Sosiologi SUMUT, Sosisologi (Medan: Kurnia,
1999) hlm. 3.
[3]
Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Hlm 10
[4]
Abdulsyani. Sosiologi. Jakarta: Bumi Aksara. 2007. Hlm 5-6
[5]
Ngainun Naim. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras. 2009. Hlm 121
[6]
Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Hlm 10
[7]
Muhyar Fanani. Metode study Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Hlm 20
[8]
Ibdi, hlm 21
[9]
Ishomuddin. Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002.
Hlm 23
[10]
Muhyar Fanani. Metode study Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008.
Hlm 31-33
[11]
Soejono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.1990
[12]
Peter Beilharz. Teori-Teori Sosial. Jogjakarta:
pustaka pelajar. 2002.
[13]
Soejono Soekanto. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1990
[14]
Peter
Beilharz. Teori-Teori Sosial. Jogjakarta: pustaka pelajar. 2002.
[15]
Suryono Sukanto. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
[16]
Ngainun Naim. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras. 2009. Hlm
121-129
[17]
Nur Ahmad Fadhil Lubis. Agama Sebagai Sistem Kultural.
Medan: IAIN Press. 2000,hlm. 2
[18]
Maijor Polak. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas.
Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve,cet-12, 1991. Hlm 320
[22]
Amin Abdullah dkk. Mencari Islam (studi Islam dengan berbagai pendekatan). Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 2000, hlm 30
[23]
Ibid, Amin Abdullah. hlm
31-33
[24]
Lihat QS:
al-Baqarah,143,an-Nisa 59,al-Anfal 46,al-Maidah 3,al-Hujarat 13,Ali Imran 103,
al-Mukminun 52.
[25]
Endang Saifuddin Ansari. Wawasan
Islam. Jakarta :Raja Grafindo Persada, cet,4, ,1993,h.64
[26]
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif. Bandung: Mizan 1986,hlm.48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar