BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Harus
diakui bahwa saat ini, ilmu-ilmu keislaman tengah mengalami krisis yang akut. Krisis
ilmu-ilmu keislaman yang tengah terjadi selama ini sesungguhnya telah
menghasilkan semacam irelevansi antara ilmu-ilmu keislaman dengan realitas
kontemporer. Ilmu-ilmu keislaman
terlihat semarak dalam forum-forum kajian, bahkan pengajian, namun ia hanya
menyumbang sedikit bagi pemberdayaan masyarakat.
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut
terlibat secara aktif memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kasalehan atau berhenti sekedar
disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara yang
paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
logis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan
lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan jawaban terhadap
masalah yang timbul. Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami
agama yang meliputi pendekatan teologis normatif, astronomis, sosiologis,
psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Hal ini perlu
dilakukan karena melalui pendekatan tersebutlah kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui
berbagai pendekatan tersebut, maka tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami
oleh masyarakat, tidak fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan
masalah kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi. Berkenaan dengan
ini, pemakalah akan menyajikan pembahasan mengenai pendekatan sosiologis dalam
studi Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana yang
dimaksud dengan sosiologi?
2.
Bagaimana tokoh
dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan?
3.
Bagaimana
pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi?
4.
Bagaimana
pendekatan sosiologi dalam studi Islam?
5.
Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan
bagaimana yang dimaksud dengan studi Islam.
2.
Menjelaskan
tokoh dan pertumbuhan sosiologi sebagai pengetahuan.
3.
Memaparkan
pendekatan dalam kerja ilmiah sosiologi.
4.
Menjelaskan
pendekatan sosiologi dalam studi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sosiologi
Dalam mempelajari agama diperlukan
berbagai macam pendekatan agar substansi dari
agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan
dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh
karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu
sosial, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat
melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat
sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai
dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan
hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang
diberikan Allah kepadanya.
Sosiologi
berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman
sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini
dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours
De Philosophie Positive" karangan August
Comte (1798-1857). Sebagai sebuah ilmu, sosiologi
merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran
ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.[1]
Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki
ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. sosiologi mencoba
mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta
berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya,
keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto sebagaimana
yang dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya mengartikan sosiologi sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam
arti memberi arti petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan
kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilm ini juga
dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan perihal
struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata
mengenai kehidupan bersama dari manusia.[2]
Dari
dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini suatu
fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut.
Selanjutnya,
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.
Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang
dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan
tugasnya Nabi Musa harus oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang
lain. beberapa peristiwa tersebut baru bisa djawab dan sekaligus dapat
ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial
peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami
maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami
ajaran agama.[3]
Sebuah
contoh peristiwa jatuhnya Daulah Bani Umayah pada tahun 750 M dan bangkitnya
Daulah Bani Abbasiyah telah menarik perhatian banyak sejarawan Islam klasik.
Para sejarawan melihat bahwa kejadian itu unik dan menarik, karena bukan saja
merupakan pergantian dinasti tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur
social dan ideology. Maka, banyak sejarawan yang menilai bahwa kebangkitan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi dalam arti kata yang sebenarnya.
Richard
Frye dalam sebuah artikelnya berjudul “The Abbasid Conspiracy and Modern
Revolutionary Theory” pada tahun 1952 menyatakan bahwa ciri-ciri yang
menyertai kebangkitan Daulah bani Abbasiyah ketika itu sama dengan ciri-ciri
yang menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini. Fyre
menggunakan teori anatomi revolusi yang dikembangkan oleh Crane Brinton yang
menyatakan bahwa dari empat buah revolusi yang diamatinya, yaitu Inggris,
Amerika, Perancis dan Rusia, sedikitnya ada empat persamaan. Pertama, bahwa
pada masa sebelum revolusi, ideology yang sedang berkuasa mendapat kritik keras
dari masyarakat disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan masyarakat yang
ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang berkuasa itu.
Kedua, mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan
lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
Ketiga, terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideology yang
berkuasa kepada wawasan baru yang ditawarkan oleh si pengeritik. Brinton
menamakan hal ini dengan “The dissertion of the intellectuals”. Keempat, bahwa
revolusi itu umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-orang
lemah dan kaum bawahan, melainkan juga oleh sebagian kau penguasa yang karena
hal-hal tertentu merasa tidak puas dengan system yang ada.[4]
B.
Tokoh dan
Perkembangan Sosiologi Sebagai Pengetahuan
Semua bidang inetelektual dibentuk oleh setting sosialnya. Hal ini
terutama berlaku bagi sosiologi, yang tak hanya berasal dari kondisi sosialnya,
tetapi juga menjadikan lingkungan sosialnya sebagai kajian pokok. Orang yang
pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun.
1.
Ibn Khaldun
(1332 M)
Tokoh yang lahir di Tunisia, Afrika Utara, pada 27 Mei 1332 M atau
1 ramadhan 732 H ini hidup dalm situasi konflik yang begitu keras antara Muslim
tradisionalis, raionalis dan kaum sufi. Situasi tidak harmonis dalam masyarakat
di sekitarnya itulah yang mendorongnya untuk mempelajari masyarakat secara
serius. Dalam kajiannya, ia telah menghasilkan sejumlah karya sosiologi,
seperti kitab al-Ibar yang berisi sejarah umum dan universal masyarakat dan
Muqaddimah (Prolegomena) yang berisi pembahasan tentang sosiologi.[5]
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang
keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang
kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai
oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu
deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan
prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika
masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[6]
Sebagian besar sosiolog memandang konstribusi Ibn Khaldun begitu
kecil dalam sosiologi. Mereka lebih mengakui Karl Marx dan august Comte sebagai
orang yang paling berjasa bagi disiplin ilmu baru ini. itulah makanya, rentetan
panjang revolusi politik yang dihantarkan oleh Revolusi Perancis 1789 dan
revolu yang berlangsung sepanjang abad ke-19 dipandang sebagai faktor yang
paling besar perannya dalam pembentukan sosiologi.[7]
2.
August Comte (1798-1857)
Di tangan Comte, sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu menjadi
semakin jelas bentuknya. Comte mengembangkan fisika atau yang pada tahun 1839
disebutkannya sosiologi. Penggunaan istilah fisika social jelas menunjukkan
bahwa Comte berupaya agar sosiologi meniru model “hard sciences”. Ilmu
baru ini, yang menurut pandangannya akhirnya akan menjadi ilmu dominan, adalah
ilmu yang mempelajari social statics (Statika social atau struktur social yang
ada) dan social dynamics (dinamika social atau perubahan social). Meski
keduanya dimaksudkan untuk menemukan hukum-hukum kehidupan social, ia merasa bahwa
dinamika social lebih penting ketimbang statika social. Tekanan pada perubahan
sosial ini mencerminkan perhatiannya yang sangat besar terhadap reformasi sosial.[8]
3.
Karl marx (1818-1883)
Walaupun Marx bukanlah seorang sosiolog dan tak pernah manganggap
dirinya sosiolog, bahkan karyanya boleh dibilang terlalu luas untuk bisa
dicakup dalam pengertian sosiolog, namun ada satu teori sosiolog yang ditemukan
dalam karyanya. Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis
berdasarkan citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx meyakini bahwa manusia
pada dasarnya produktif, artinya untuk bisa bertahan hidup manusia perlu
bekerja di dalam dengan alam. Dengan bekerja semacam itu manusia menghasilkan
makanan, pakaian, peralatan, perumahan, dan kebutuhan lain yang memungkinkan
mereka hidup. Produktivitas mereka bersifat alamiah, yang memungkinkan mereka
mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka miliki. Dorongan ini
diwujudkan bersama-sama dengan orang lain. dengan kata lain, manusia pada
dasarnya adalah makhluk social. Mereka perlu bekerja bersama untuk menghasilkan
segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup.[9]
4.
Emile Durkheim
(1858-1917)
Durkheim
mengembangkan masalah pokok sosiologi dan kemudian diujinya melalui studi
empiris. Dalam The Rule os Sosiological Method (1859/1982) ia menekankan
bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial. Ia meyakini fakta
sosial sebagai kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa
individu. Studi tentang kekuatan dan struktur berskala luas ini – misalnya hukum
yang melembaga dan keyakinan moral bersama – dan pengaruhnya terhadap individu
menjadi sasaran studi banyak teoritisi di kemudian hari, termasuk Parsons.[10]
5.
Max Weber
(1864-1920)
Weber
memandang individu sebagai memiliki makna subjektif. Dengan asumsi ini bahwa
tindakan seorang individu dapat bermakna bagi dirinya dan dapat diakui oleh
orang lain. dunia adalah dunia makna bersama, di mana seseorang terus menerus
membaca dan menyesuaikan diri dengan penafsiran-penafsirannya mengenai orang
lain dan memodifikasi tindakan-tindakannya sendiri sebagai respon atas
penilaiannya tterhadap konsekwensi-konsekwensi perbuatannya.[11]
6.
Karl Mannheim
(1893-1847)
Bagi Mannheim sosiologi pengetahuan adalah sebuah teori
pengondisian social atau eksistensial pengetahuan. Maksudnya, teori yang
mengaitkan antara pengetahuan dan kondisi social masyarakat. Mannheim sendiri
adalah seorang ilmuwan sosial Jerman.[12]
C.
Pendekatan
dalam kerja ilmiah sosiologi
1.
Evolusionisme
Pendekatan
ini memusatkan telaahnya pada mencari pola perubahan dan perkembangan yang
muncul dalam masyarakat yang berbeda. Titik tekan perhatiannya pada pertanyaan
“apakah ada pola umum perubahan yang bisa ditemukan dalam sebuah masyarakat?”
misalnya “apakah pengaruh proses industrialisasi terhadap keluarga di Negara
berkembang akan sama dengan yang ditemui di Barat?”; “apakah proses pemudarnya
masyarakat tradisional sama untuk setiap bangsa dan Negara.[13]
2.
Interaksionalisme
Pendekatan
ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antar individu dan kelompok.
Interaksi ini terjadi bisa dengan mengunakan symbol-simbol atau isyarat.
Kemudian, diperhatikan reaksi orang terhadap makna dari symbol-simbol itu dan
dihubungan benda-benda atau kejadian-kejadian yang berlangsung. Dalam
perspektif ini sering muncul pernyataannya bahwa suatu kata, benda atau
kejadian tidak bermakna apa-apa jika orang di masyarakat ini tidak sependapat
bahwa hal itu memiliki arti khusus, misalnya “lampu merah,hjau, dan kuning lalu
lintas”.[14]
3.
Fungsionalisme
Dalam
pendekatan ini, masyarakat dipandang sebagai satu jaringan kerja sama kelompok
yang saling membutuhkan satu sama lain dalam sebuah system yang harmonis,
misalnya fenomena saling ketergantungan antara “sekolah, anak didik dan orang
tua keluarga”, keluarga berencana dengan usaha meningkatkan kesehatan dan
kesejahteraan serta hubungan dengan mutu pendidikan” dan sebagainya.[15]
Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi
dasar:
o Bahwa masyarakat terbentuk atas berbagai sub-struktur yang dalam
fungsi-fungsi mereka masing-masing saling bergantung, sehingga
perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi satu sub-struktur dengan
sendirinya akan tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam
struktur-struktur lainnya pula. Karena itu, tugas analisis sosiologis adalah
menyelidiki mengapa suatu hal berpengaruh kepada hal lainnya, dan sampai
sejauh mana pengaruh tersebut.
o Bahwa setiap struktur berfungsi sebagai penopang
aktivitas-aktivitas atau substruktur-substruktur lainnya dalam suatu sistem
sosial. Contoh-contoh sub-struktur ini dalam masyarakat adalah keluarga,
perekonomian, politik, agama, pendidikan, rekreasi, hukum dan pranata-pranata
mapan lainnya.[16]
4.
Konflik
Pendekatan
ini sebenarnya merupaka reaksi keras terhadap pendekatan fungsionalisme di
atas. Pendekatan konflik berpendapat, bahwa “masyarakat itu terikat kerja sama
yang erat karena kekuatan kelompok-kelompok atau kelas yang dominan”. Ia
mewariskan sebuah ketegangan yang terus menerus dalam sebuah fenomena setiap
kelompok ingin mempertahankan dominasinya.[17]
D.
Pendekatan Sosiologi
dalam Studi Islam
Pentingnya
pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat dipahami, karena banyak sekali
ajaran agama yang bekaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama
terhada masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu
sosial sebagai alat untuk memahami agamanya.
1.
Perhatian Agama
Islam Terhadap Masalah Sosial
Alasan
besanya perhatian agama yang dalam hal ini adalah Islam terhadap masalah sosial
adalah:
a.
Dalam al-Qur’an
atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah.
b.
Bahwa ditekankannya
masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan
ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan
dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.
Bahwa ibadah
yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada
ibadah yang bersifat persorangan. Karena itu salah yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang dikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
d.
Dalam Islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan msalah sosial. Bila puasa tidak mampu
dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk
memberi makan bagi orang miskin.
e.
Dalam Islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungannya dengan ini misalnya
membaca hadits yang artinya sebagai berikut.
“Orang
yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti
pejuang di jalan Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang
terus menerus salat malam dan terus menerus berpuasa”. (H.R. Bukhari dan
Muslim).[18]
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai aneka ragam sebutan pada
prinsipnya adalah makhluk yang saling bergantung pada sesamanya, baik yang
menyangkut sandang, pangan, papan, keselamatan diri dan harta, harga diri,
potensi untuk berkembang maupun kasih sayang, di samping kebergantungan di
bidang politik,
ekonomi, budaya, dan hukum. Kebergantungan itu menunjukkan bahwa
manusia saling membutuhkan dalam banyak aspek, guna memenuhi hasrat dan
kebutuhan hidupnya masing-masing. Kebutuhan itu satu sama lain terkadang saling
bertentangan ; kalau tidak diatur dalam suatu kaidah atau norma yang jelas, itu
bisa menimbulkan kekacauan karena masing-masing berusaha sebisa mungkin
memenuhi obsesi hidupnya. Norma tersebut adalah mekanisme pengendalian social
(mechanism of social control) yang dilakukan untuk melaksanakan proses untuk
mendidik, mengajak, atau bahkan emmaksa individu atau masyarakat agar
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan.[19]
Dengan
adanya norma-norma (yang paling penting diantaranya adalah norma-norma agama)
memungkinkan disesuaikannya tingkah laku manusia dengannya. Namun penyesuaian
(terhadap norma-norma sosial) itu ternyata lebih besar kemungkinannya apabila
norma-norma itu ditunjang oleh ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang
berat. Ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman (atau sanksi-sanksi) social
tersebut, sampai taraf tertentu memang diakui dalam semua norma social, walaupun
kebanyakan orang hanya karena merasa diberi ganjaran secara psikologis, mau
menyesuaikan diri dengan nora-norma itu, atau karena pernah menerima hukuman
dalam arti informal dan sanksi hukum berupa cemoohan dari teman-teman mereka.
Akan tetapi jika norma-norma itu terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat
sacral, maka norma-norma tersebut dikukuhkan pula dengan sanksi-sanksi yang
sakral; dan dalam hampir semua masyarakat sanksi-sanksi sakral tersebut
mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa. Karena, tidak hanya menyangkut
ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi,
tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra manusiawi
dan ukhrawi.[20]
Melalui
pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu
sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-Qur’an misalnya kita
jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa, dan
sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru
dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran
agama itu diturunkan.[21]
Elizabeth K.
Nottingham dalam bukunya mengemukakan berikut adalah kekuatan agama yang mampu
membujuk orang-orang dan pihak-pihak (yang bersangkutan) untuk mengorbankan
kepentingan pribadi mereka demi terpenuhinya kepentingan masyarakat secara
keseluruhan:
Pertama,
agama telah membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan
kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi
kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam peranan ini agama telah membantu
menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.[22]
Kedua,
terdapat alasan-alasan yang kuat untuk mempercayai bahwa agama juga telah
memainkan peranan vital dalam memberikan kekuatan memaksa yang mendukung dan
memperkuat dan memperkuat adat-istiadat.
Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap mengagungkan dan rasa hormat,
terutama yang berkaitan dengan adat istiadat (moral) yang berlaku, berhubungan
erat dengan perasaan-perasaan kagum yang ditimbulkan oleh yang sakral itu
sendiri.[23]
2.
Aplikasi
Sosiologi dalam Pengembangan Ilmu Keislaman
Bagi
pengembangan ilmu-ilmu keislaman, sosiologi memiliki manfaat ganda, yakni:
a.
Manfaat
teoritis-epistimologi : bahwa sosiologi pengetahuan dapat membantu para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman untuk memahami substansi ilmu dan mengembangkan
paradigma di dalamnya, sehingga ilmu bisa lebih dinamis. Pemahaman terhadap
substansi ilmu dilakukan melalui penemuan eksemplar-eksemplar itu, dan
pengidentifikasian metode-metode dalam suatu paradigm. Semetara pengembangan
paradigm dilakukan melalui penelusuran kaitan antara paradigm dengan konteks
sosio-historisnya, pencarian paradigm baru berdasarkan analisis persoalan
sosio-historis kontemporer, dan pencarian teori-teori baru dalam paradigm baru.
b.
Manfaat praktis
sosiologis adalah bahwa sosiologi pengetahuan dapat memperkaya metode
penelitian ilmu-ilmu keislaman. Ilmu keislaman sudah selayaknya dilihat dengan
berbagai cara (apa saja boleh), asalkan semua cara itu dilakukan dengan
bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji. Hanya dengan
cara memperbanyak perspektif inilah akan terwujud ilmu keislaman yang ramah
terhadap segala keragaman dan problematika kehidupan. Di samping itu, ilmu
keislaman yang multiperspektif juga akan mudah diterima semua kalangan karena
dinamika dan kelenturannya yang tinggi ketika harus bersentuhan dengan realitas
masyarakat.
Misalnya, sebagai ilmu, ilmu ushul fikih bukanlah ilmu yang
terbentuk dari ruang hampa dan steril dari pengaruh lokasi sosial pada zaman
tertentu. Oleh karena itu, biarlah orang-orang terdahulu merumuskan
prinsip-prinsip ilmu ushul fikih yang sesuai pada saat itu, dan kita juga
merumuskan prinsip-prinsip ilmu ushul fikih kita sendiri sesuai dengan zaman
kita. Dominasi antar generasi hanya akan menghasilkan kejumudan dan kemandegan
berpikir.
Wacana
tertutupnya pintu ijtihad yang sempat terdengar, sesungguhnya tiada lain adalah
tidak dapat dilakukannya ijtihad karena paradigm lama dalam ilmu ushul fikih
telah mengalami keusangan (obsolete) dan keterjebakan ideologis, sehingga
mengalami disfungsi.[24]
Inilah yang digambarkan al-Jabiri dalam kutipan berikut:
“Masalah-masalah
khusus di masa lalu, meski mirip dan sejenis terbatas atau memungkinkan untuk
dibatasi; teks-teks syariat (al-Qur’an dan sunah) juga terbatas, dan demikian
pula ijtihad memahami kata-kata dan batas-batas petunjuk dari teks-teks itu…,
akhirnya mau tidak mau akan sampai pada titik di mana tak ada lagi yang
tersisa, dan kemudian akibat yang sudah pasti adalah “tertutupnya” pintu ijtihad,
bukan “ditutup” (dengan sengaja) seperti yang dikatakan orang.[25]
Sebenarnya,
tak ada seorangpun dalam Islam yang memiliki kekuasaan untuk “menutup” pintu
ijtihad, baik para penguasa, para ahli fikih atau yang lain karena dalam Islam
tak ada gereja atau lembaga apapun yang mempunyai kekuasaan untuk “menutup”
atau “membuka” pintu ijtihad. Jadi, ijtihad merupakan salah satu dasar dari
pembuatan hukum Islam, dan ia adalah pengerahan upaya pemikiran dalam rangka
mengetahui hukum-hukum syariat, dan ini adalah hak bagi setiap Muslim yang
memenuhi hukum-hukum syarat-syarat keilmuan yang memungkinkannya untuk
melakukan ijtihad.
Dengan
demikian, pintu ijtihad dengan sendirinya tertutup ketika di sana tidak ada
lagi tersisa ijtihad dalam kerangka peradaban di mana kaum Muslim hidup di
dalamnya. Ketika semua masalah yang dilontarkan dan yang mungkin dilontarkan di
dalam kerangka peradaban yang sama telah tuntas diliput, dan ketika pemanfaatan
segala kemungkinan yang disediakan oleh teks dalam arti hubungan kata dengan
makna telah sempurna, dan kasus-kasus terdahulu yang bisa dijadikan sandaran
analogi telah habis…, maka mau tidak mau pintu ijtihad dengan sendirinya
tertutup dan orang-orangpun berbelok kepada taqlid….”[26]
“Dari
sini, Nampak jelas bahwa seruan kepada ijtihad” dan membuka pintu ijtihad, akan
tetap saja suara di udara selama upaya “membuka” nalar yang merupakan titik
utama tugas ijtihad, belum tercapai. Hal ini karena pintu ijtihad tidak pernah
ditutup, tetapi ia tertutup dengan sendirinya ketika nalar yang menjalankan
ijtihad itu tertutup di dalam kerangka peradaban dan kebudayaan yang telah berhenti
bergerak dan tumbuh. Dengan demikian, mau tidak mau diperlukan keterbukaan baru
bagi nalar Arab Islam agar ia sanggup menghadapi keterbukaan peradaban yang
telah terjadi. Tanpa hal ini, tidak akan pernah ada ijtihad pada tatanan
masalah-masalah kontemporer.”[27]
Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara
bermasyrakat. Di dalamnya diatur hubungan antara individu dengan individu,
antara individu dengan masyarakat, anatar satu komunitas masyarakat dengan
komunitas masyarakat lainnya. Aturan itu mulai yang sederhana sampai kepada
yang sempurna, mulai dari hukum berkeluarga sampai bernegara.
Al-Qur’an
memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan masyarakat
masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di dalamnya di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat
(sosial) yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya
terdapat ayat-ayat yang berisi perintah
agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·
Sosiologi
adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut
·
.Orang yang
pertama kali menggagas sekaligus mempraktikkan sosiologi sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mandiri adalah Ibn Khaldun kemudian dilanjtkan oleh August
Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Mennheim.
·
Pendekatan yang
dilakukan dalam pendekatan studi Islam meliputi beberapa teori, yaitu
evolusionisme, interaksionalisme, fungsionalisme dan konflik.
·
Kaitan antara
pendeatan sosiologi dengan agama adalah: Pertama, agama telah membantu
mendorong terciptanya persetujuan mengenai isi dan kewajiban-kewajiban sosial
tersebut dengan memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap
para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka.
Dalam peranan ini agama telah membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial
yang terpadu dan utuh. Kedua, terdapat alasan-alasan yang kuat untuk
mempercayai bahwa agama juga telah memainkan peranan vital dalam memberikan
kekuatan memaksa yang mendukung dan memperkuat
dan memperkuat adat-istiadat. Dalam hal ini patut diketahui bahwa sikap
mengagungkan dan rasa hormat, terutama yang berkaitan dengan adat istiadat
(moral) yang berlaku, berhubungan erat dengan perasaan-perasaan kagum yang
ditimbulkan oleh yang sakral itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, 2012, Jakarta: Rajawali Pers.
M. Atho
Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,1998, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muhyar Fanani, Metode
Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang, 2008, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Abdul Latif, Pendidikan
Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, 2009, Bandung: Refika Aditama.
Zulfi Mubarak, Sosiologi
Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius Kontemporer, 2006, Malang: UIN
Malang Press.
Atang Abd,
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, 2003 Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Elizabeth K.
Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat; Suatu
Pengantar Sosiologi Agama, 1996, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wikipedia
Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi, tanggal akses, 28 November 2014
Santribaralah, Sejarah
Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html, tanggal akses 28 November 2014.
Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses
melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/, tanggal akses
28 November 2014.
[1]
Wikipedia Bahasa Indonesia, Sosiologi, (online) diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Sosiologi,
tanggal akses, 28 November 2014.
[2]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
hlm. 38-39.
[3]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 39.
[4] M.
Atho Mudzhar, Pendekatakan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelaja, 1998), hlm. 83.84
[5]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi sebagai Cara Pandang,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 20-21.
[6]
Santribaralah, Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama, (online) diakses
melalui http://santriblarah.blogspot.com/2013/04/sejarah-perkembangan-sosiologi-agama_9077.html,
tanggal akses 28 November 2014.
[7]Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 21-22.
[8]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 22-23.
[9]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 27.
[10] Muhyar
Fanani, Metode Studi Islam… , 25.hlm.
[11]
Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai-nilai Kemasyarakatan, (Bandung:
Refika Aditama, 2009) , hlm. 46
[13]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama; Tafsir Sosial Fenomena Multi-Religius
Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press, 2006), hlm. 115.
[14]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm 115
[15]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[16]
Sugiatmo, Pendekatan Sosiologis dalam Studi Islam, (online) diakses melalui http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/16/pendekatan-sosiologis/,
tanggal akses 28 November 2014.
[17]
Zulfi Mubarak, Sosiologi Agama…, hlm. 116.
[18]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…, hlm. 40-41.
[19]
Atang Abd, Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 223.
[20]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996) , hlm. 39-40.
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam…,
hlm. 41-42.
[22]
Elizabeth K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan
Masyaraka…, hlm, 36.
[23]Elizabeth
K. Nottingham (penerjemah: Abdul Muis Naharong), Agama dan Masyarakat…,
hlm. 36.
[24]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , , hlm. 185.
[25]
Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… , hlm. 185.
[26] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,
hlm. 186.
[27] Muhyar Fanani, Metode Studi Islam… ,
hlm. 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar