BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan
muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan
sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik
dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya
sakralitas teks.
Pada kali
ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal
sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan
lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap
Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya, watak
pemikiran Hanafi memang kiri dan revolusioner.
Hasan Hanafi yang
dikenal sebagai tokoh kiri (al-Yasar al-Islam) itu,
mendasarkan diri pada dialektika yang dikategorisasikan sebagai pemikir
pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya Hanafi pada proyek Turats wa al-Tajdid. Dia
menganggap bahwa turats bukanlah teks klasik yang tidak bermakna.
Sebaliknya, menurut Hanafi teks klasik itu terdapat energei hidup dan daya
dobrak tentang kesadaran berpikir, perilaku, dll.
Upaya yang dilakukan Hanafi
dalam hal ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini
mengalami kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar
dapat membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata,
dapat menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran.
Metode yang Hanafi
tawarkan dianggap sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari
beberapa metode yang mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang
dapat memihak sebuah kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua
mazhab, antara Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap
secara retorik yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin
Al-Quran untuk dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural
manusia.
Fenomena tajdid, sebenarnya telah
terjadi jauh sebelum Islam lahir dan akan terus berlangsung hingga sekarang
ini. Mujadid sebelum Islam adalah para Nabi yang telah dibebani tugas tajdid.
Peristiwa ini telah diisyaratkan dalam hadits Nabi saw., beliau bersabda: “Yang
membimbing Bani Israil adalah para Nabi, tatkala Nabi yang satu wafat maka Nabi
yang lain akan datang menggantikannya…” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Tajdid
yang mereka lakukan bukan pada ranah ushul agama, melainkan pada syariatnya
saja. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. yang telah memberikan
keringanan syariatnya Bani Israil.
Dan islam adalah agama terakhir yang
pernah ada dimuka bumi hingga akhir nanti. Islam sendiri juga telah melakukan
tajdid atas agama-agama sebelumnya. Jika mujadid adalah para Nabi, maka apakah
mungkin saat ini akan ada mujadid baru mengingat Nabi Muhammad saw adalah
penutup para Nabi? Jika demikian, maka yang pasti akan meneruskan mata rantai
mujadid adalah ulama. Mengapa demikian? Karena ulama adalah pewaris Nabi,
mereka dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan Nabinya Bani Israil dalam
hal mengemban tugas tajdid seperti sabda Nabi: “Ulamanya umatku seperti Nabinya
Bani Israil”.
- Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud Turath?
2.
Bagaimana
pendekatan hermeneutika dalam memahami Turath?
3.
Apa
yang dimaksud Tajdid?
- Tujuan
1.
Untuk
mengetahui maksud dari Turath.
2.
Untuk
mengetahui pendekatan hermeneutika dalam memahami turath.
3.
Untuk
mengetahui maksud dari Tajdid.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Turath
1.
Pengertian
Turath
Walaupun tradisi
sering digunakan untuk menterjemahkan perkataan al-turath dalam bahasa Arab, namun
pada hakikatnya perkataan tradisi tidak dapat menggantikan perkataan al-turath karena
terdapat perbedaan yang terlihat antara keduanya. Perkataan tradisi memberi
konotasi yang negatif. Dalam kamus-kamus Inggris, tradisi tradition) berasal
dari perkataan Latin, tradition yang bermaksud menyerahkan (surrender, delivery)
perkataan ini dan makna segala pandangan dan doktrin, amalan, peribadatan, adat
kebiasaan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Ia juga adalah
ajaran-ajaran yang tidak tertulisdaripada para nabi dan pembesar agama (The
Encyclopedia of Religion 1987). Ia lebih kepada cerita dongeng (folklore,
legend) dan mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui komunikasi
lisan. Oleh karena citra negatif yang dibawa oleh tradisi tersebut,
maka pemikir-pemikir Barat melihat tradisi tidak relevan untuk dijadikan
panduan dan pedoman dalam kehidupan kontemporari. Sehingga Auguste Comte ada
mengatakan tradisi adalah “the dead govern theliving”, Bloom (1987) pula
mengatakan: “as soon as tradition has come to berecognized as tradition, it
is dead”.
Menurut Jabiri memulai
dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam
pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi”
diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak
dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan
orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi)
menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita
atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan
waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan
dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.[1]
Kemudian Jabiri mencoba
menjembatani antara realitas tradisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat.
Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi
kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis
realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep
modernitas–pertama dan paling utama adalah dalam rangka mengembangkan sebuah
metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya
melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan
sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.[2]
Turats menurut
pemahaman Barat adalah hasil sebuah peradaban umat masa lampau, yang perlu
ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Pemahaman tersebut
muncul akibat pertarungan antara gereja dan gerakan pembaharuan. Doktrin-doktrin
gereja sering kali memasung perkembangan dan gerakan pembaharuan. Selain itu,
ajaran-ajran gereja terkesan lambat dan tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman. Sehingga, kaum pembaharu memberontak dan ingin lepas dari kungkungan doktrin-doktrin
gereja. Mereka mengritik teks-teks Taurat dan Injil, yang nota benenya
sudah banyak di manipulasi oleh para pendeta dan pemimpin agama. Dengan
pemahaman tersebut, Barat ingin menerapkannya pada seluruh Turats yang
merupakan peradaban umat manusia. Mereka menerapkan pemahaman
tersebut “Turats“ hasil peradaban Yunani, Fir’aun, India dan Persia.
Demikian pula, mereka melakukan hal yang sama, ketika berhadapan dengan
apa yang mereka namakan “Turats“ Islam.
Seperti yang kita
ketahui, bahwa peradaban dan kebudayaan Islam serta ajaran-ajarannya sangat
berbeda dengan doktrin-doktrin gereja maupun dengan peradaban umat-umat
lainnya. Maka, sangatlah tidak tepat jika kita berinteraksi dengan
“Turats” Islam, tetapi menggunakan metodologi yang diadobsi dari ajaran
agama lain. Selain itu, mereka (Barat) membentuk konspirasi terselubung untuk
menghancurkan Islam dari dalam dengan memisahkan kebudayaan Islam pada masa
lalu dengan masa sekarang, untuk kemudian digantikannya dengan kebudayaan
Barat. Hal itu mereka lakukan, karena mereka mengetahui bahwa “Turats“
Islam, merupakan dokumentasi sejarah yang dijadikan panduan umat Islam untuk
membangun peradabannya yang baru, dikarenakan “Turats” tersebut terkait dengan
wahyu langit, yaitu Al Quran dan Hadist.
2.
Turath
dan Pembaharuan
Turâts merupakan
segala sesuatu yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam peradaban yang
dominan, sehingga merupakan masalah yang diwarisi sekaligus masalah penerima
yang hadir dalam berbagai tingkatan Sementara pembaharuan merupakan penafsiran
ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama
mendahului yang baru. Turâts merupakan pijakan awal sebagai
upaya pembaharuan dengan merubah tatanan
sosial menuju kemodernan. Karena turâts merupakan
bagian identitas suatu bangsa, maka ia menjadi tanggung jawab nasional.[3] Meski demikian, bukan berarti bahwa
seluruh identitas umat berada dalam turâts. Identitas
juga terkait dengan kemodernan. Menurut Hasan Hanafî, jika insan muslim hanya terpaku pada turâts, berarti ia menjadi manusia tertutup yang hanya
memiliki identitas semu.[4]
Hasan Hanafî
juga memberkan kritikan terhadap mereka yang selalu taklid kepada generasi
salaf. Menurutnya, taklid merupakan pengingkaran terhadap peran akal dalam
kehidupan. Bahkan taklid merupakan fenomena dari keterbelakangan. Generasi awal
Islam adalah generasi terbaik. Mereka mampu membawa umat Islam pada titik
kemajuan. Meski demikian, mereka adalah orang yang sangat menentang taklid.[5]
Tidak
ada modernitas tanpa orisinalitas. Modernitas yang lepas dari nilai dan norma
masa lalu berarti melepas identitas sendiri dan menukarnya dengan identitas
yang lain. Turâts merupakan sarana dan modernitas merupakan
tujuan. Turâts dapat dijadikan alat bantu untuk mencari solusi alternatif
terhadap berbagai probematika yang sedang dihadapi umat
Islam. Turâts dapat ikut andil menghapus segala sesuatu yang dapat
menghambat kemajuan. Turâts tidak memiliki arti berharga jika
dibiarkan mati dalam sejarah, namun ia akan hidup dan dapat menjadi spirit
pembaharuan jika disikapi secara kritis. Dengan demikian, ia dapat menjadi
sarana untuk merubah manusia sebagai subyek pembaharuan.
Merubah
pandangan hidup manusia merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pembaharuan.
Kegagalan pembaharuan di negara-negara ketiga dalam berbagai sektor kehidupan;
perindustrian, pertanian dan lain sebagainya berangkat dari kegagalan mereka
dalam membangun sumber daya manusia. Revolusi industri hanya akan berhasil jika
didahului dengan revolusi kemanusiaan terlebih dahulu. Dan revolusi kemanusiaan
dapat berangkat dari dalam; dari identits suatu bangsa yang tercermin
melalui turâts masa lalu.[6]
Tidak ada turâts yang keluar dari lingkup sosial dan
sejarah. Turâts selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi
sosial politik tertentu dan pada waktu tertentu. Turath tumbuh sebagai
kelanjutan terhadap turâts sebelumnya. Turâts merupakan
ekspresi pemikiran dalam kurun waktu tertentu. Turâts bukanlah hadiah
yang turun dari langit, namun ia berjalan seiring dengan perjalanan sejarah dan
terbentuk dalam ruang lingkup sejarah. Turâts menuliskan berbagai
peristiwa dalam realitas social kemasyarakatan.[7]
Turâts sendiri
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu turâts secara materi
dan turâtsnon materi. Turâts materi berupa peninggalan masa
lalu, seperti kitab dan manuskrip yang terdapat di berbagai perpustakaan Islam
yang tersebar di seluruh dunia. Turâts seperti ini belakangan mendapatkan
perhatian lebih dari berbagai pemikir Islam kontemporer. Banyak upaya untuk
mengadakan revitalisasi turâts Islam dengan mencetak ulang buku
peninggalan masa lalu tersebut, baik dilakukan tahqîq terlebih dahulu
atau tidak. Revitalisasi kitab turâts juga nampak dalam berbagai
seminar yang selalu mengangkat pemikiran dan wacana turâts klasik
Islam, pengiriman delegasi ke berbagai perpustakaan internasional untuk kembali
mengumpulkan turâts klasik untuk kemudian diadakan kajian dan
disebarluaskan dalam berbagai jurnal keislaman.
Hanya
saja, menurut Hasan Hanafî revitalisasi turâts tidak hanya
melakukan pencetakan ulang terhadap manuskrip masa lalu sesuai dengan tren
masyarakat. Beliau sangat menyayangkan jika
revitalisasi turâts terkesan “bisnis intelektual”. Jika maysarakat
sedang tertarik dengan wacana tasawuf, maka yang dicetak dan disebarluaskan
adalah berbagai buku seputar tasawuf. Jika masyarakat sedang mengimpikan
terwujudnya tatanan negara ideal, maka yang diterbitkan adalah buku“daulah
al-fâdhilah” karya al-Farabiy. Dan jika muncul wacana mengenai kemuduran
umat yang disebabkan karena umat Islam jauh dari al-Qur’an dan Sunnah, maka
diadakan pencetakan Mushaf dan kitab-kitab Hadis. Di sini
revitalisasi turâts belum sampai pada misi dan visi yang diharapkan.
Revitalisasi turâts baru sebatas pada upaya-upaya
menghidupkan turâts sesuai dengan kebutuhan pasar. Jika demikian,
maka kemodernan sebagaimana yang dicita-citakan masyarakan sulit tercapai.
Kerdua: turâts sebagai
peninggalan sejarah yang berupa gambaran realita masa lalu. Maksudnya adalah
bahwa berbagai buku dan manuskrip tersebut tidak datang dari ruang
hampa. Turâts juga tidak independen lepas dari alam realita. Bahkan
ia merupakan abstraksi terhadap kondisi sosio-kultural yang berkembng dalam
sejarah masa lalu. Realitas itulah yang sesungguhnya sangat menentukan atas
eksistensiturâts. Spirit generasi terdahulu, baik dari fase pembentukan
peradaban, perkembangan maupun kemunduran dan kehancuran suatu peradaban dapat
dilihat dari turâts yang ditinggalkan. Turâts masa lalu
sesungguhnya adalah jawaban terhadap berbagai problematika yang sedang dihadapinya.
Variasi fenomena realita berakibat pada variasi nilai turâts. Dengan
demikian, turâts bukan kumpulan analisa dan abstraksi masa lalu yang
statis, namun ia merupakan kumpulan dari berbagai wacana analisa dalam
sosio-kultur dan sosio-historis tertentu. Perbedaan manusia dalam memandang
realita kehidupan juga berimplikasi terhadap variasi turâts yang
ditinggalkan.[8]
Dari
sini maka turâts adalah wacana psikologis dalalam masyarakat. Nilai
psikologis inilah yang sesungguhnya membentuk identitas suatu bangsa.
Jika turâts adalah sebuah peninggalan masa lalu, maka nilai psikologi
merupakan ruh yang diwariskan generasi terdahulu yang masih hidup dan
berkembang dalam tatanan masyarakat Islam.
Hassan Hanafi menawarkan suatu
sistem teologi yang terangkup dalam proyek al-turath wa al-tajdid
atau „tradisi dan pembaharuan‟, baginya teologi merupakan sebagai ilmu
pengetahuan yang vertindak sebagai analisis teoritis tindakan, sedangkan
ilmu-ilmu pengetahuan sosial adalah aplikasi-aplikasi sistem kepercayaan
tersebut.[9]
Proyek ini terdiri dari suatu keseimbangan antara penegasan keotentikan dan
keuniversalan Islam yang kuat dan sebuah kritik atas sebagian besar bentuk dan
artikulasi Islam dalam pengalaman sejarah yang aktual.
Hassan Hanafi menawarkan suatu
sistem teologi yang terangkup dalam proyek al-turath wa al-tajdid
atau „tradisi dan pembaharuan‟, baginya teologi merupakan sebagai ilmu
pengetahuan yang vertindak sebagai analisis teoritis tindakan, sedangkan
ilmu-ilmu pengetahuan sosial adalah aplikasi-aplikasi sistem kepercayaan
tersebut.[10]
Proyek ini terdiri dari suatu keseimbangan antara penegasan keotentikan dan
keuniversalan Islam yang kuat dan sebuah kritik atas sebagian besar bentuk dan
artikulasi Islam dalam pengalaman sejarah yang aktual.
Berdasarkan ide besarnya yang
berhubungan dengan tradisi dan pembaharuan (al-turath wa al-tajdid),
sekaligus sebagai rangkaian metodologi yang secara bertahap harus dikuasai
terlebih dahulu. Hassan Hanafi berusaha mengangkat tema pembacaan kritis atas
dunia Barat dengan tetap berpijak pada realitas ego yang dimiliki tradisi lama.
Artinya, menangkap ada problem epistemologis yang bersembunyi, baik dalam
tradisi Timur maupun tradisi Barat, yang kemudian menjadikan Timur Inferior
(sebagai kesalahan membaca tradisi) dan munculnya Barat sebagai superior ego
atas the other. Adapun tiga langkah yang ditempuh Hassan Hanafi adalah; pertama,
membangun “sikap kita terhadap tradisi lama”, ia merekonstruksi bangunan
teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Kedua,
menyatakan
“sikap kita terhadap Barat”, ia berusaha melakukan kajian kritis terhadap
peradaban Barat, terutama melihat kemunculan kesadaran Eropa melalui studi
oksidentalisme. Ketiga, meretas
“sikap kita terhadap realitas” melalui pengembangan teori dan pengembangan
paradigma interpretasi.[11]
Jika
peradaban lain berawal dari realitas yang kemudian membentuk suatu pemikiran,
maka sesungguhnya nilai dan norma masa lalu adalah bagian dari realitas
kehidupan umat. Hanya sayangnya, menurut Hasan Hanafi, banyak hal
negatif yang berkaitan dengan sikap psikis umat, namun kemudian menjadikan
agama sebagai jusifikasi. Hasan Hanafi memberikan beberapa contoh,
seperti masyarakat Arab yang tunduk dan cenderung menyetujui kepemimpinan
dengan cara pengangkatan oleh pemimpin sebelumnya, kemudian sebagai pembenaran
menyandarkannya dengan nash al-Qur’an atau Sunnah, atau mengenai
keterbelakangan umat dengan justifikasi qadha dan qadar, dan demikian
seterusnya. Sikap negatif seperti ini diterima masyarakat secara turun-temurun
tanpa ada sikap kritis, yang berakibat buruk dalam tatanan masyarakat Islam.
Dengan kata lain, bahwa meski umat Islam saat ini hidup di abad XXI, namun
secara psikologi sesungguhnya masih terbelakang dan hidup pada abad Islam
klasik. Umat Islam masih terpengaruh dengan dualisme pemikiran dalam memandang
dunia sebagaimana diwariskan oleh al-Kindi, percaya terhadap sistem Pyiramida
dalam mengelompokkan status sosial masyarakat sebagaimana diwariskan oleh
al-Farabi, serta bersikap pasrah terhadap takdir Tuhan sebagaimana diwariskan
oleh para tokoh sufi.
Dari
sini sesungguhnya eksistensi turâts masih ada dalam tatanan
masyarakat Islam.Turâts masih mempengaruhi cara pandang mereka terhadap
hidup dan kehidupan. Melihat kenyataan seperti ini,
pembaharuan turâts menjadi suatu keniscayaan. Pembaharuan yang
berangkat dari peninggalan tradisi masa lalu, namun kemudian menyesuaikan
dengan konteks kemodernan. Revitalisasi turâts bukanlah pembelaan
terhadap masa lalu, namun sesungguhnya menyikapi secara kritis terhadap realita
masyarakat. Pembaharuan berarti memanfaatkan energi yang terpendam dalam
masyarakat serta mengoptimalkan untuk merubah suatu tatanan baru yang lebih
sesuai dengan realitas kontemporer. Revitalisasi turâts akan
menghalau segala sesuatu yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat.
Pembaharuan berarti merubah kebodohan dan kepercayaan umat terhadap tahayul,
menjadi masyarakat yang rasional, menghilangkan taklid buta kepada sikap
kritis.
Turâts dan
pembaharuan megekspresikan sikap yang sudah selayaknya dilakukan. Masa lalu dan
masa kini adalah dua komponen yang ada dalam psikologi sosial umat dalam
menyikapi realitas sejarah masa lalu dan realitas kehidupan kontemporer.
Mengadakan kajian kritis terhadap turâts berarti juga mengkaji
pemikiran kita untuk menghadapi realitas kontemporer. Dengan kata lain,
bahwa turâts dan pembaharuan menjadi suatu ilmu baru sebagai sebuah
identitas untuk mengembangkan umat dalam menghadapi masa depan agar sesuai
dengan harapan. Dengan berangkat dariturâts, maka umat tidak akan kehilangan
identitas sebagai seorang muslim.[12]
Turâts dan
pembaharuan juga sebagai wujud kritis tarhadap masa
lalu. Turâts dan pembaharuan tidak akan menutup diri,
namun akan selalu terbuka dalam menghadapi berbagai wacana pemikiran Islam
klasik, yang berarti memungkinkan untuk menerima berbagai ide yang dahulu
ditolak. Dengan kata lain, kebutuhan realitas kontemporerlah yang sangat menentukan
pemilahan turâts terdahulu. Jika sebelumnya teologi Asy’âriyah yang
cenderung menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan, maka bisa jadi saat ini kita
mengambil teologi Muktazilah yang lebih banyak memberikan porsi terhadap peran
manusia di muka bumi. Segala kemungkinan tersebut bukanlah hal mustahil dalam
proyek turâts dan pembaharuan. Peradaban Islam klasik adalah
peradaban yang memiliki berbagai wacana pemikiran yang sangat beragam yang
dapat dimanfaatkan umat dalam mencari solusi alternatif.[13]
Secara singkat turâts dan pembaharuan dapat
dilakukan meliputi tiga tataran, yatu:
1. Menganalisa latar belakang
pembentukan dan perjalanan turâts dari
segi sosio-kultural dalam suatu peradaban.
2. Menganalisa struktur psikologi
masyarakat dan mengkaji lebih mendalam mengenai pengaruh peninggalan masa lalu
dalam realitas kehidupan mereka.
3. Menganalisa realitas sosial
masyarakat yang melingkupi pembentukan turâts.
Penerapan
tiga hal di atas, berarti mengadakan sebuah peralihan kajian dari analisa
sosial menjadi analisa terhadap tingkah laku masyarakat. Artinya perpindahan
analisa dari ilmu antropologi menuju ilmu psikologi sosial dalam masyarakat
yang dapat diarahkan pada revolusi sosial dan politik.[14]
Dalam
memandang turâts dan pembaharuan, terdapat tiga aliran besar. Hanya
saja menurut Hasan Hanafî, ketiganya masih menyisakan banyak masalah.
Solusi alternatif yang ditawarkan belum mampu membangkitkan umat dari keterpurukan.
Tiga aliran tersebut adalah:
1. Mereka yang hanya merasa cukup
dengan turâts klasik. Kelompok ini cenderung membanggakan
warisan masa lalu dan menganggap bahwa masa lalu adalah gambaran masa depan.
Bagi mereka, generasi awal Islam adalah generasi terbaik, sehingga untuk sampai
pada kemodernan, alernatif utama adalah kembali mengikuti langkah-langkah para
pendahulu. Hanya kelemahan golongan ini adalah
terlalu menyakralkan turâts tanpa
ada sikap kritis terhadapnya. Mereka terjebak pada impian generasi awal,
sementara lupa bahwa realitas sosial masyarakat Islam telah berubah
2. Mereka yang berusaha memutuskan
peradaban Islam dari realitas sejarah. Bagi golongan ini, umat Islam akan maju
jika dapat melepas belenggu turâts. Kembali pada turâts berarti
kembali ke masa lalu dan melanggengkan umat pada keterbelakangan.
Bagi Hasan Hanafî, golongan seperti ini juga akan menimbulkan banyak
masalah. Baginya, tidak ada bangsa yang dapat lepas dari tradisi masa
lalu.Turâts merupakan identitas, dan melepas turâts berarti
melepas identitas suatu bangsa.
3. Mereka yang berusaha
mengambil turâts klasik yang masih sesuai dengan konteks kekinian,
serta menjadikan realitas kontemporer sebagai timbangan. Golongan ini berusaha
menyingkronkan antara turâts klasik dan realitas kontemporer. Hanya
dalam kenyataannya tidak sesuai dengan idealisme.
Pembaharuan
model ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembaharuan dari luar dan pembaharuan dari
dalam. Pembaharuan dari luar adalah menjadikan nilai kemodernan yang berasal
dari luar sebagai timbangan. Sementara pembaharuan dari dalam adalah
menampakkan berbagai kemajuan yang diperoleh umat Islam klasik sebagai
timbangan komodernan. Menurut Hasan Hanafi bahwa keduanya memiliki
nilai negatif. Mereka yang menjadikan nilai luar biasanya akan menganggap bahwa
budaya Timur klasik banyak terpengaruhi budaya luar. Dari sini mereka cenderung
meletakkan Timur sebagai bagian dari Barat. Sementara pembaharuan dari dalam
lebih memperlihatkan kemajuan peradaba Islam klasik, baik dari segi rasionalitas,
sistem ekonomi, sistem musyawarah dan lain sebagainya. Pandangan kedua golongan
tersebut masih sangat parsial dan tidak menyeluruh.
Bagi
Hasan Hanafi, turâts adalah pandangan kita terhadap realitas sosial
masyarakat, sementara pembaharuan adalah reinterpretasi
terhadap turâts sehingga dapat diketahui mengenai elemen-elemen
penting dalam realitas masyarakat kontemporer agar dapat dilakukan perubahan.
Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus, baik dengan
melihat turâts terlebih dahulu sebagai upaya memahami realitas
kontemporer atau memahami realitas kontemporer terlebih dahulu baru kembali
kepada turâts. Keduanya akan menghasilkan konklusi yang sama.[15]
B.
Pendekatan
Hermenetik dalam memahami Turath
Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap
penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah
satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa
ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian
pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini
ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia
berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat
dari spektrum teoritis filosofisnya, watak pemikiran Hanafi memang kiri dan
revolusioner.
Hasan Hanafi yang dikenal sebagai tokoh
kiri (Al-Yasar Al-Islam) itu, mendasarkan diri pada dialektika yang
dikategorisasikan sebagai pemikir pemabaharu. Ini terlihat dalam upaya Hanafi
pada proyek Turats wa Tajdid. Dia menganggap
bahwa turats bukanlah teks klasik yang tidak bermakna. Sebaliknya,
menurut Hanafi teks klasik itu terdapat energei hidup dan daya dobrak tentang
kesadaran berpikir, perilaku, dll.
Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal ini tidak lain
ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami kemandegan. Maka,
dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat membaca teks, Al-Quran
khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat menggali objektivitas sosial
dengan Al-Quran.
Metode yang Hanafi tawarkan dianggap sangat menarik
karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang mucul
belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah kelompok.
Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara Marxisme dan
filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik yang
bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk dasar
kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
1.
Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara
etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunanin hermeneuin yang
berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam
metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan
pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris.
Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan
pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika
berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari
dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran
secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Peran Hermes dalam hal ini dianggap
sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka,
konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak
vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi,
pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa
hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel.
Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan
nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir,
melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang
sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[16]
Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika”
menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah
teks. Dan kali ini yang terdengar sangat menarik berdasarakan dari berbagai
sumber adalah hermeneutik yang dipelopori Hasan Hanafi.
2. Hermeneutika Hasan Hanafi
Dalam hal ini, Hanafi memiliki pemikiran hermeneutik yang
berbeda dengan lainnya. Dengan dalih, demi mendapatkan pembacaan Al-Quran yang
bertendensi objektivistik dan menganggap kurang praktis sebagaimana yang telah
dilakukan oleh para pemikir Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman dan
Arkoun, Hanafi mengembangkan seperangkat metodologi tafsir sosial atas Al-Quran
dengan pendirian teoritis yang bisa dikatakan sangat berbeda dengan lainnya.
Metode seperti di atas dimaksudkan Hanafi untuk
mendapatkan penafsiran Al-Quran yang lebih dekat dengan problem kemanusiaan,
seperti kemiskinan, penindasan dan ketidak adilan. Maka dari itu, Hasan Hanafi
menawarkan sebuah hermeneutik Al-Quran yang bercorak sosial dan eksistensial.[17]
Sebagaimana yang kita telah pelajari, ada hal yang
berbeda dengan metodologi yang pernah ditawarkan oleh para pemikir sebelumnya,
seperti yang disebutkan di atas. Misalkan metode yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman. Rahman hanya mengembangkan seperangkat metode tafsir dengan menggunakan
pendekatan historis dan sintetik anlitis untuk menemukan universalitas pesan
moral Al-Quran yang tidak jarang bersembunyi di balik aturan-aturan legal
spesifiknya.[18]
Sedangkan model pendekatan yang diajukan Arkoun
pada dasarnya dimunculkan sedapat mungkin syarat-syarat teoritis bagi
kemungkinan suatu pembacaan yang idealnya bertepatan dengan maksud-maksud
pemaknaan yang asli dari Al-Quran pada tahap wacana, dan bukan pada tahap teks.
Maka dari itu, Arkoun menyarankan bahwa perkembangan mutakhir dalam ilmu-ilmu
sosial dan humaniora tidak dapat dikesampingkan dalam memahami Al-Quran. Pada
titik ini, dia menekankan pentingnya semiotika, linguistik modern dan
hemeneutika kontemporer.[19]
Selanjutnya, Hasan Hanafi sebenarnya jauh-jauh hari
telah mengintroduksi penggunaan hermeneutik sebagai metodologi tafsir, meskipun
pada awalnya dikaitkan dengan metodologiUshul Fiqh. Itu telah dilakukan
oleh Hanafi sejak menulis disertasinya di Sorbone, kemudian ditulis dalam
banyak karyanya. Bahkan, dalam salah satu proyek peradaban “al-turats wa
al-tajdid”. Dalam buku itu, Hanafi telah menggandengkan sebuah metodologi
penafsiran realitas sosial yang dapat dibaca melalui Al-Quran.[20]
Hasan Hanafi menggunakan hermeneutik dalam
konteks tersebut sebagai bagian dari eksperimentasi metodologis untuk
melepaskan diri dari kemandegan teoritisasi ushul fiqh. Dan, ini sebagai
hal yang menonjol dari pemikiran Hanafi yang secara umum tendensi ideologisnya
yang sarat dengan maksud-maksud praksis. Tipikal pemikiran semacam ini sangat
berbeda dengan mayoritas umat Islam yang masih terkungkung tradisionalisme dan
ortodoksi. Seperti yang dikatakan oleh Chourry, “sementara sebagian umat Islam
adalah kanan atau fasis, Hanafi justru memilih posisi “kiri” dari Islam yang
progresif dan revolusioner”.[21]
Yang menjadi unik pada Hanafi, dia pertama kali yang
melakukan pendobrakan terhadap wacana Barat yang selama ini dibuntuti para
ulama Timur. Wacana oksidentalismeterhadap Barat yang dilakukan oleh
Hanafi, seakan-akan mengajak jihad kepada orang-orang muslim untuk melawan
Barat. Ini sudah melekat pada diri Hanafi muda semenjak ikut pada
pergerakan ikhwan di Mesir.[22]
3. Realisasi Hermeneutik Hasan Hanafi.
Gagasan Hanafi tentang hermeneutika Al-Quran yang telah
disusun dan diberi penafisran ulang, kemudian diletakkan dalam sebuah konteks
yang lebih luas dari pelbagai studi yang ada, baik dalam studi penafsiran
Al-Quran, klasik dan kontemporer, maupun diskursus hermeneutika kontemporer.
Teks-teks Hanafi yang secara khusus membiacarakan atau
terkait langsung dengan hermeneutika Al-Quran dapat dilihat dalam beberapa
karyanya yang tersebar dalam dunia keilmuan. Selain disertasi pertamanya
mengenai metode penafsiran dalam hukum Islam (ushul fiqh), juga dalam
bukunya Qadaya Mu’asirah: fi fikrina Al-Muashir (1976) ada tiga
artikel yang membahas terkait hermeneutika Al-Quran. Masing-masing artikelnya
berjudul Hal Ladaina Nazariyyah Fi Al-Tafsir?, Ayyuhuma Asbaq: Nazariyyah
fi Al-Tafsir am Manhaj Fi Tahlil Al-Khabarat?, dan Aud ila Al-Manba
am Aud ila al-Tabiah?.
Kemudian, dengan munculnya Al-Din wa Al-Tsaurah fi
Mishr (1989) yang merupakan kumpulan ulasan artikel-artikelnya yang
menyinggung atas pandangannya terhadap hermeneutik, seperti dalam artikel yang
bertema Ulum Al-Quran, seperti Asbab Al-Nuzul, Masalahah. Dan
dalam karyanya tersebut, : Al-Yamin wa Al-Yasar fi Fikr Ad-Dini, terdapat
pandangan Hanafi mengenai Madza Ta’ni Asbab An-Nuzul? Manahij Al-tafsir wa
Masalih Al-Ummah, dan Ikhtilaf fi Al-tafsir am ikhtilaf fi Al-Mashalih?.
Dan, karya Hanafi yang dapat dikatakan terakhir
mengenai hermeneutik Al-Quran yang telah rampung pada tahun 2000
adalah Al-Wahyu wa Al-Waqi’: Dirasah fi Asbab an-Nuzul.Tulisan tersebut
berisikan beberapa konsep Hanafi mengenai peran wahyu bagi kehidupan,
hubungannya dengan realitas, dan interpretasi yang sejalan dengan kehidupan.
Sebenarnya, teori-teori yang dirumuskan oleh Hasan
Hanafi merupakan proyek reformasi. Karena, ditujukan sebagai proyek reformasi
untuk melengkapi proses rekontruksi peradaban Islam pada dua tahap yang lebih
awal. Yaitu, penyikapan terhadap warisan klasik dan penyikapan terhadap warisan
Barat.[23]
Dan, dalam analisis yang lebih jauh, Hasan
Hanafi dalam teori penafsirannya mengatakan bahwa teoritis yang dilakukan
adalah sebuah teori yang menentukan relasi antara wahyu dan realita, antara
agama dan dunia, atau antara Allah dengan manusia. Maka dari itu, menurut
Hanafi, wahyu harus ditempatkan ulang sebagai sumber dan obyek pengetahuan.[24] Dalam
hal ini, Kiri Islam Hanafi mendukung terwujudnya pandangan dunia dalam
Al-Minthaq (manifestasi) Nasser, sebuah analisis yang layak karena Hanafi
sendiri yang menerjemahkan Al-Hizb Al-Tali’i (partai garda depan),
yang dibentuknya sebagai tulang punggung Islam Kirinya menjadi partai poletar.
Melihat teori penafsiran dengan kelogisan wahyu, berakibat Hanafi mencoba
merekonstruksi seluruh peradaban Islam, merujuk pada apa yang dikatakan Hans
Kung “peran Injil yang bebas”.
Pemikiran hanafi seperti itu muncul untuk
mendobrak pemikiran para ilmuwan muslim sebelumnya yang masih terbelenggu dalam
penafsiran yang ciut. Maka, dasar yang disarankan oleh Hanafi agar menggunakan
paradigma yang lebih luas ketika membaca Al-Quran. Hanafi menyeru kepada
pembaca Al-Quran supaya kembali pada alam. Seruan ini bukan berarti bahwa dia
menginginkan Al-Quran diganti dengan alam. Melainkan, alam sebagai objek ketika
membaca Al-Quran.[25]
4. Elaborasi Hanafi dalam Hermeneutika
Manurut Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang
substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani
dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan
Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril
(Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena
dia hanya seorang mediator antara dia dengan Nabi Muhammad Saw.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral”
Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I
information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”pada
gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran
netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab
suci lainnya, Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena
itu diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani
perbedaan budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi, hermeneutika
adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan obyeknya, yakni
kitab suci.[26] Hermeneutik
Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan
Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia
sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[27]
Sebagai sarjana yang matang dalam tradisi pemikiran Barat
dan filsafat hukum Islam, Hasan Hanafi tidak tanggung-tanggung dalam eksperimentasi
hermeneutika Al-Quran. Ia membangun landasan hermenetis di atas empat pilar.
Dari khazanah klasik ia memilih ushul fiqh, sementara fenomenologi,
Marxisme di samping hermeneutika itu sendiri dari tradisi intelektual Barat.
Dan, dari tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik. Hermeneutika Al-Quran Hanafi
sengaja memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab,
secara praktis ia melihat adanya keterkaitan erat antara kegiatan penafsiran di
satu sisi dan proses pembentukan hukum di sisi yang lain.
Mengingat adanya pembentukan hukum dalam hal ini, maka
jelas ushul fiqhkompatibel dengan kepentingan hermeneutik Hasan Hanafi
yang berbicara tentang kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi
berbagai persoalan kontemporer mereka.
Maka dari itu, dalam hal ini Hasan Hanafi
memperbincangkan beragam problematika teoritis yang berkenaan dengan
masalah-masalah sosial dalam ushul fiqh, seperti asbab
abnuzhul, an nasikh wal mansukh, dan maslahah. Asbab
annuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan
sosial. Sementara an-nasikh wal mansukhmengasumsikan gradualisme dalam
penetapan aturan hukum.[28]
Sebagai hermeneutika bertujuan praksis, Hasan Hanafi
berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, dan sekaligus mengarahkan
pada tema-tema sosial al-Quran. Dal hal ini, Hanafi menggariskan beberapa
karakteristik hermeneutikanya sebagai berikut:
Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya
spesifik (al-tafisr al-juzi). Artinya, ia menafsirkan ayat-ayat tertentu
Al-Quran dan bukan keseluruhan teks Al-Quran. Tafsir tersebut mengarahkan
kepada kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jika yang dibutuhkan pembebasan bangsa
dari kolonialisme, maka penafsiran dilakukan terhadap ayat-ayat perang, jihad,
dan sebagaianya, ketimbang terhadap ayat-ayat lain.
Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir
tematik. Ketiga, hermeneutik bersifat temporal (Tafsir al-Zamani).
Maka penafsir disarankan agar memberikan gambaran tertentu atas apa yang
diinginkan masyarakat. Keempat, berkarakter realistik (tafsir
al-waqii). Yakni memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan
dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraannya dan bukan tafsir yang
tercerabut dari masyarakat. Kelima hermeneutik Hanafi berorientasi pada
makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata.
Karena, dalam hal ini wahyu memiliki tujuan terhadap kepentingan masyarakat.
Keenam, tafsir eksperimental. Ia adalah tafsir yang
sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufasir yang bersifat eksistensial. Ketujuh, perhatian
pada problem kontemporer. Bagi Hanafi, seorang mufasir tidak dapat memulai
penafsirannya tanpa dimulai dengan perhatian atau penelitian tentang masalah
kehidupan. Kedelapan, posisi sosial penafisr. Hal ini mufasir harus
ditentukan posisi sosialnya ntuk mengenal corak penafsiran. Penafsiran adalah
bagian dari struktur sosial.
Menurutnya, studi tentang “kenabian” yaitu
poblematika yang menyangkut probabilitas relasi integral antara manusia dengan
Tuhan serta menyampaiakan risalahNya pada hakikatnya. Atau, diartikanya sebagai
tugas manusia dalam menyampaikan risalah masa lampau. Sedangkan pada persoalan
“kiamat”, yang meliputi hari kebangkitan, perhitungan pahala, dan siksa. Hanafi
menganggap bahwa “kenabian” adalah diskursus masa lampau manusia, dan “kiamat”
sebagai diskursus masa depan manusia.
Hanafi menyangkal penafsiran ulama-ulama klasik yang
mengeksplorasikan “kiamat” sebagaia masa depan manusia dalam meta kematian. Dia
menganggap krisis manusia yang sebenarnya itu di bumi, sebelum mati. Namun,
para mufasir dahulu mengartikannya sebagai krisis di langit, sedangkan krisis
sebenarnya pada saat ini di bumi.[29]
5. Tugas Penting Hasan Hanafi
Pada titik ini, rupanya Hasan Hanafi memiliki dua tugas
penting yang telah menjadi proyek hermeneutikanya, yaitu: persoalan metode
(teori penafsiran) dan filsafat tentang metode (mata teori tentang penafsiran).
Secara metodis, Hanafi menawarkan sebuah cara baca baru terhadap teks
(hermeneutika teks) Al-Quran dengan stressing point pada dimensi-dimensi
liberasi dan emansipatoris dari Al-Quran. Sedangankan agenda matateoritiknya,
Hanafi selalu menyuguhkan pelbagai diskripsi, kritik, bahkan bertindak sebagai
dekonstruktor pada teori lama yang lazim diperbincangkan sebagai kebenaran
dalam metodologi penafsiran klasik.[30]
Maka, tidak heran jika Hanafi dengan tegas
mengoreksi status objektivitas dalam interpretasi sebagai gejala positivisme
yang justru kerap menyembunyikan ideologi penafsir. Dan, hal penting inilah
yang rupanya belum pernah ada koreksi dari para penfasir klasik. Pada intinya,
yang menjadi acuan utama Hanafi dalam hermeneutikanya adalah bagaimana
menyikapi teks untuk dapat diinterpretasikan dalam keadaan sosial. Atau dalam
bahasa lain, bagaimana suatu teks itu dapat merjuk pada realitas.
Dalam hermeneutikanya, Hanafi tidak saja
memperbincangkan apa-apa saja yang terjadi dalam penafsiran Al-Quran, tetapi
juga tanpa ragu-ragu menegaskan pentingnya penafsiran Al-Quran yang memiliki
kepentingan jelas bagi kemanusiaan dan perubahan sosial. Oleh sebab itu, Hanafi
hadir dengan hermeneutikanya untuk meletakkan Al-Quran sebagai bagian dari
strategi kultural.
- Tajdid
1.
Pengertian Tajdid
Tajdid
secara etimologi adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid.
Maksudnya adalah keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal
yang lain, kemudian diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya
mengembalikan pada keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika
demikian tajdid adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
Adapun
tajdid secara terminology adalah (1) Menghidupkan/ihya’ dan membangkitkan
kembali ajaran-ajaran agama Islam yang telah luntur atau terlupakan. (2)
Beramal sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. (3) Membumikan al-Qur’an dan
as-Sunnah dalam kehidupan sehari-hari.
Menghidupkan kembali di sini memiliki
arti mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang telah banyak luntur agar kembali
hidup sebagaimana yang telah dipraktikkan semasa Nabi Muhammad saw. Adapun maksud dari membumikan
al-Qur’an dan as-Sunnah adalah melakukan ijtihad agar keduanya dapat
dipraktikan ditengah-tengah umat. Itjithad seperti ini pernah dilakukan oleh
Sahabat Nabi, Muadz ibn Jabal ketika Rasulullah bermaksud mengutusnya ke Yaman
beliau bertanya:
Apabila dihadapkan
kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab: Saya
akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi: Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya
akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya: Jika
kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an? Muadz
menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji
bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan
yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)[31]
2.
Dalil diisyaratkannya Tajdid
Istilah tajdid adalah istilah syar’i yang
bersumber kepada hadits Nabi Muhammad saw, yang berbunyi:
إِنَّ
اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT
mengutus untuk umat ini setiap awal seratus tahun orang yang memperbaharui
agamanya.” (HR. Abu Daud).
إِنَّ
الإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ الْخَلِقُ
، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ .
Artinya: “Sungguh, iman itu dapat usang
sebagaimana pakaian dapat menjadi usang. Karenanya mohonlah selalu kepada Allah
agar memperbaharui iman yang ada dalam jiwamu.” (HR. Ath-Thabrani dan
Al-Hakim).
جَدِّدُوْا إِيْمَانَكُمْ قَالُوْا كَيْفَ نُجَدِّدُ
إِيْمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوْا مِنْ قَوْلِ لا إِلَهَ إِلَّا الله
Artinya: Rasulullah bersabda,
‘perbaharuilah iman kalian semua! ‘Para sahabat bertanya, bagaimana caranya ya
Rasulullah? Kemudian Rasulullah menjawab, ‘perbanyaklah membaca La ilah illah
Allah.” (HR. Ibnu Hanbal)
3.
Perlunya Tajdid dalam Islam
Tajdid adalah suatu keniscayaan. Dan ia adalah suatu hal yang alami dalam
kehidupan. Semua yang ada disekitar manusia melakukan tajdid, karena hidup
senantiasa bergerak progresif. Demikian juga waktu yang terus berputar. Ia juga
melakukan tajdid. Waktu yang telah berlalu berbeda dengan waktu sekarang dan
yang akan datang. Dengan begitu, permasalahan baru senantiasa muncul dan
membutuhkan legitimasi hukum yang kuat dari ajaran islam, baik permasalahan
politik, ekonomi maupun sosial.
Disamping itu, pengembangan serta
pengamalan ajaran Islam itu sendiri, seiring bergantinya zaman juga semakin
lesu dan tidak bergairah, sehingga ajaran Islam nyaris lenyap tak tersisa.
Karena itulah, tajdid sangat diperlukan guna membangkitkan kembali gairah dan
semangat keagamaan. Sehingga dengan itu, Islam akan senantiasa sholih di segala
zaman dan tempat.[32]
4.
Siapakah Mujadid itu?
Ulama berbeda pendapat mengenai lafadz
“man” dalam hadits Nabi di atas. Ada yang berpendapat bahwa lafadz tersebut
menunjukkan arti “seorang” bukan “sekumpulan”. Dan yang lainnya berpendapat
bahwa lafadz itu menunjukkan arti “sekumpulan orang”. Yang paling unggul/rajih
adalah pendapat terakhir yang mengatakan bahwa lafadz tersebut menunjukkan arti
“sekumpulan orang”. Ini berarti, seorang mujadid tersebar dibeberapa daerah dan
sesuai dengan bidang keilmuannya masing-masing. Dan sungguh tidak mungkin jika
mujadid itu berasal dari kalangan fuqaha saja, apa lagi hanya bermazhab syafi’iyah.
Pendapat yang terakhir
juga dikuatkan dengan perkataanya Imam an-Nawawi ketika mensyarah hadits
Thaifah Manshurah di dalam syarah Shahih Muslim, beliau berkata:
ويحتمل أن هذه الطائفة مفرقة بين أنواع المؤمنين، منهم شجعان مقاتلون، ومنهم فقهاء، ومنهم محدثون، ومنهم زهاد وآمرون بالمعروف وناهون عن المنكر، ومنهم أهل أنواع أخرى من الخير. ولا يلزم أن يكونوا مجتمعين، بل قد يكونون متفرقين في أقطار الأرض
“boleh jadi thaifah manshurah ini
tersebar di antara banyak golongan kaum muskmin ; di antara mereka ada para
pemberani yang berperang, para fuqaha’, para ahli hadits, orang-orang yang
zuhud, orang-orang yang beramar makruf nahi mungkar, dan juga para pelaku
kebaikan lainnya dari kalangan kaum mukin. Mereka tidak harus berkumpul di satu
daerah, namun bisa saja mereka berpencar di penjuru dunia.”
5.
Syarat Seorang Mujadid
a.
Syarat Intelektual
Seorang mujadid harus
memiliki kecerdasan yang kuat serta mumpuni dalam ilmu syariat dan ilmu
alat-nya. Seorang mujadid juga harus mengetahui kondisi zamannya dengan baik
dan kondisi zaman dahulu yang sarat makna. Selain itu juga harus memiliki
kecakapan olah tulisan dan lisan guna menyebarkan ide-ide segarnya dan ilmunya.
b.
Syarat Kredibilitas
Seorang mujadid juga harus
memiliki prilaku yang baik, yakni perbuatan yang berdasarkan ilmu. Tujuannya
agar menjadi tauladan yang baik bagi umat Islam. Seorang mujadid juga harus
memiliki keberanian dalam menegakkan kebenaran dan menolak kebathilan. Selain
itu, seorang mujadid juga dituntut harus mampu berbuat adil demi melestarikan
kemashlahatan umat, memiliki perangai yang baik, mencintai dan menyayangi umat
Islam serta zuhud dari gemerlapan dunia.[33]
6.
Batasan-Batasan Tajdid
a.
Di dalam tajdid harus
dibedakan antara wahyu Ilahi dan pemikiran Islam. Wahyu Ilahi adalah sesuatu
yang mutlak kebenarannya dan tidak ada tajdid dalam ranah ini, karena ia
ma’shum. Adapun pemikiran Islam adalah produk ulama Islam yang senantiasa
membutuhkan
tajdid.
b.
Dan tajdid juga
berlaku pada kondisi sosial, politik, ekonomi, dan penghayatan keagamaan umat
Islam. Seorang mujadid harus menyadari dan memahami problem kekinian tentang
kondisi tersebut agar dapat dicarikan solusi cerdas untuk menjaga kemashlahatan
umat.
c.
Permasalahan tajdid
merupakan permasalahan yang benar-benar dikuasai oleh seorang mujadid yang
memiliki kompetensi dan pengetahuan yang singkron. Dengan demikian, akan
tertolak dengan sendirinya bila ada seorang yang mencoba untuk melakukan tajdid
tapi tidak memiliki kompetensi dalam permasalahan tersebut, seperti Syahrur,
Arkoun, Nasr Hamid dan lain sebagainya.
d.
Tajdid juga berkisar pada
permasalahan-permasalahan yang memang dibutuhkan oleh umat Islam.
7.
Ranah Tajdid
Secara global, tajdid
di dalam Islam mencakup dua macam, yakni tajdid al-‘ilmi dan tajdid al-‘amali.
Yang dimaksud dengan tajdid al-‘ilmi adalah membangkitkan kembali hukum syariat
yang telah luntur agar lebih bergairah dan hidup. Menghidupkan kembali
ilmu-ilmu keislaman serta berusaha menjawab permasalahan-permasalahan kekinian.
Bidang ini meliputi tajdid dalam ranah akidah, hadits, tafsir, fikih, ushul
fikih dan lainnya.
Dalam ranah akidah
misalnya, seorang mujadid akan senantiasa mengembalikan dasar akidah umat Islam kepada
al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian mengkorelasikan akidah dengan aktifitas yang
mereka kerjakan serta menjelaskan manfaat dan pengaruh akidah terhadap
ketenangan jiwa mereka. Dalam hal ini, seorang mujadid dituntut untuk tanggap
atas perkembangan pemikiran yang menyesatkan di lingkungan umat Islam yang
dapat merusak akidah mereka.
Contoh tajdid
al-‘ilmi dalam ranah fikih adalah menjawab segala jenis permasalahan
kontemporer sembari mempertimbangkan kondisi umat serta adat kebiasaan mereka.
Untuk zaman sekarang ini, sudah saatnya membutuhkan institusi/lembaga yang
berhak mengeluarkan fatwa kolektif. Seorang mujadid juga harus menjelaskan
kepada umat bahwa perbedaan pendapat/khilafiah adalah suatu kenisacayaan,
karena itu dilarang keras fanatik terhadap suatu madzhab. Dan yang tidak kalah
pentingnya adalah menampakkan keluwesan dan kemudahan fikih dalam kehidupan.
Adapun maksud yang
kedua, tajdid al-‘amali adalah tajdid terhadap kondisi umat Islam. Seorang
mujadid akan berusaha untuk menghubungkan kembali segala aktifitas umat Islam
dengan Tuhannya, Nabinya dan agamanya. Contoh tajdid dalam ranah ini adalah
tajdid dalam pendidikan spiritual dan peningkatan iman. Tajdid dalam prilaku
individu dan sosial. Tajdid dalam bidang interaksi dan dialog antar peradaban.
Tajdid dalam menanggapi segala macam subhat keagamaan, semisal feminisme,
sekularisme, liberalisme, HAM, islamphobia, dan lain-lain. Dan tajdid dalam
paradigma keagamaan. Untuk yang terakhir ini akan dibahasa dalam sub bab
tersendiri.[34]
8.
Tajdid Paradigma Keagamaan
Paradigma keagmaan dalam Islam juga
memerlukan tajdid, di antara contoh-contoh paradigma yang penting digerakkan
adalah sebagai berikut:
a. Tajdid dari
paradima berlebihan/ifrath dan penyepelean/tafrith ke paradigma
moderat/wasathiyah. Moderat/wasathiyah adalah paradigma yang disyariatkan oleh
Islam. Yang dimaksud dengan wasathiyah disini adalah keadilan, kebaikan, dan
tawasuth antara dua kutub yang tercela. Dari wasathiya ini akan membuahkan rasa
aman, kekuatan, keselarasan dan persatuan.
b. Tajdid dari
paradigma perpecahan dan perbedaan menuju paradigma kesatuan dan persatuan.
Perbedaan adalah suatu hal yang niscaya, ia tidak bisa dihindari karena Allah
sudah menghendaki perbedaan. Yang perlu ditekankan dalam paradigma
kagamaan/keislaman adalah bagaimana mensikapi perbedaan tersebut. Karena
itulah, penting untuk membedakan antara perpecahan/firqah dan perbedaan/khilaf.
Perpecahan adalah suatu hal yang buruk dan tercela sedangkan perbedaan
adakalanya tercela dan terpuji. Contoh dari
perbedaan yang tercela adalah berbeda dalam permasalahan akidah. Berbeda dalam
suatu perkara yang sudah pasti/qath’i, seperti wajibnya shalat, puasa, zakat,
dan haji serta
haramnya minum khamr. Adapun contoh dari perbedaan yang terpuji adalah
perbedaan pendapat dalam hal menetapkan
thalaq satu dan thalaq tiga. Praktik doa qunut dalam shalat subuh. Beda
pendapat dalam hal batasan aurat wanita. Maka dalam perbedaan semacam ini
(al-khilaf al-mahmud) tidak diperkenankan adanya perpecahan di antara umat islam.
c.
Tajdid dari paradigma memberatkan/ta’sir keagamaan menuju paradigma
memudahkan/taisir dalam keagamaan. Taisir disini meliputi pemahaman dan
penerapan.
d.
Tajdid dari paradigama
tanfir menuju paradigma tabsyir. Yang dimaksud tabsyir adalah paradigma dakwah
yang lebih menekankan cinta kepada manusia agar senang beribadah kepada Allah.
Sedangkan tanfir adalah kebalikan dari tabsyir, yakni dakwah dengan cara
pemaksaan.[35]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Tradisi
dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata
“tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam
al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali
dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal.
2.
Upaya yang dilakukan Hanafi dalam hal
ini tidak lain ingin menghidupkan turats yang selama ini mengalami
kemandegan. Maka, dengan metode hermeneutika yang dia tawarkan agar dapat
membaca teks, Al-Quran khususnya dengan wacana kekinian. Singkat kata, dapat
menggali objektivitas sosial dengan Al-Quran. Metode yang Hanafi tawarkan dianggap
sangat menarik karena ada sisi yang lebih menyentuh dari beberapa metode yang
mucul belakangan, yaitu melakukan pembacaan teks yang dapat memihak sebuah
kelompok. Wacana demikian karena Hanafi menggabungkan dua mazhab, antara
Marxisme dan filosis. Maka, menurutnya, Al-Quran tidak diungkap secara retorik
yang bertele-tele, melainkan bagaimana dapat menghasilkan poin Al-Quran untuk
dasar kekinian dan dapat bersentuhan dengan sosial kultural manusia.
3.
Tajdid secara etimologi
adalah menjadikan sesuat yang lama/qadim menjadi baru/jadid. Maksudnya adalah
keadaan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh sesuatu hal yang lain, kemudian
diupayakan agar kembali pada keadaannya semula. Upaya mengembalikan pada
keadaannya yang semula inilah yang dinamakan tajdid. Jika demikian tajdid
adalah mengembalikan pada keadaan sesuatu sebelum berubah.
DAFTAR PUSTAKA
Husaini,
dkk. 2008. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Penerbit Gema Insani.
B.
Saenog, Ilham, 2002. Hermeneutika
Pembebasan, Bandung. cet I
Fazlurrahman,
1998. Neo Modernisme Islam, Bandung: Mizan Media. cet I
Arkoun,
M, 1994. Nalar
Islami dan Nalar Modern,
terj Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS.
Mukadimah
Prof. Amin Abdullah dalam
buku Hermeneutika Pembebasan.
Hanafi, Hasan. 2004. Islamologi 3, Yogjakarta: LKIS. cet
I.
Wijaya, Aksin. 2004, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan;
Kritik Atas Nalar Tafsir Gender, Yogyakarta: Safiria Insania Press.
‘Abed al-Jabiri, Mohammed.
2003. Kritik
Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih
bahasa: Moch. Nur Ichwan, Yogyakarta: Islamika.
Hanafi, Hassan. 2002. Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts
al-Qadîm, Al-Mu’assasah al-Jâmi’iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’,
cet V, 2002.
Hanafi, Hassan. 1998. Humûm al-Fikri wa al-Wathan al-Turâts wa
al-Ashru wa al-Hadâtsah, vol. I, Dâr Qabâ’ li
al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Kairo.
Hanafi, Hassan. Agama Ideologi dan Pembangunan,
Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991
Fariz Pari
dkk, 2012.
Tradisi Islam, Lembaga Penerbitan UIN Sunan Kalijaga. cet II
[1]. Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan;
Kritik Atas Nalar Tafsir Gender. Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2004, hlm. 109.
[2]. Mohammed ‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih
bahasa: Moch. Nur Ichwan Yogyakarta: Islamika, 2003. hlm. 3.
[3]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm,
Al-Mu’assasah al-Jâmi’iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, cet V,
2002, hal. 13.
[4]. Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan
al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, vol.
I, Dâr Qabâ’ li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî’, Kairo, 1998, hal. 344.
[6]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 13
[7]. Dr. Hasan Hanafî, Humûm al-Fikri wa al-Wathan
al-Turâts wa al-Ashru wa al-Hadâtsah, op. cit., 344
[8]. Dr. Hasan Hanafî, Al-Turâts, wa al-Tajdîd Mauqifunâ mi al-Turâts al-Qadîm, op. cit., hal. 15. Lihat juga, Dr. Hasan Hanafî, ibid, hal. 344.
[9]
Hassan Hanafi, Agama Ideologi dan
Pembangunan, Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991, hal. 8.
[10]
Hassan Hanafi, Agama Ideologi dan
Pembangunan, (Jakarta: CV. Guna Aksara, 1991, hal. 8.
[11]
A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam,
(Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hal. 35.
[16]. Adian
Husaini, dan Al-Baghdadi, Abdurrahman, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran,
Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008, hal 7-8.
[28]. “Hasan Hanafi Terlalu
Teoritis untuk Dipraktikkan”, terj Saiful Muzani. Islamika, jilid 1 no 1, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar