BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian
studi Islam dengan pendekatan secara politik didasarkan pandangan sebagai
berikut:
Pertama,
Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu
segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam tidak hanya
mengatur hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, tetapi juga mengatur
hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam semesta. Melalui hubungan
baik ini akan tercipta sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai, dan
harmonis yang selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai
kegiatan yang lainnya.[1] Hal ini sesuai dengan diutusnya Rasullah Saw. ke dunia
adalah sebagai ramat bagi seluruh alam.
Firman Allah :
YANG Artinya:. “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” ( QS. Al-Anbyaa 107).[2]
Kedua, ajaran Islam yang
berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam arti yang formal, khusus
dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan
manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam
ilmu sosial dan ilmu politik. Secara spesifik dalam dalam kajian tersebut,
yaitu melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara
mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan, juga diajarkan tentang
hukum dan etika politik.
Ketiga,
Islam memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat
individual yang disebut fardhu ‘ain, juga berhubungan dengan kewajiban kolektif
yang disebut fardhu kifayah. Ajaran yang bersifat kolektif ini termasuk ajaran
yang berkenaan dengan masalah politik. Dengan ajaran yang bersifat kolektif
ini, maka harus di antara anggota masyarakat yang mengurusi masalah politik
dalam rangka mewujudkan situasi masyarakat yang tertib, aman, damai, harmonis
dan sejahtera.
Keempat,
di dalam Al Quran selain terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk
taat kepada pemimmpin, keharusan pemimpin yang berbuat adil, memutuskan perkara
dengan cara musyawarah, melindungi hak-hak asasi manusia, bersikap jujur,
amanah, berani menegakkan kebenaran, cerdas, sehat jasmani dan rohani. Ini
semua yang harus dipelajari oleh umat Islam.
Kelima,
saat ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat dunia untuk mewujudkan
keadaan tatanan politik masing-masing negara yang lebih tertib, aman, damai,
harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari permusuhan
atau peperangan antara satu bangsa dengan bangsa lain, bebas dari tindakan
terorisme, anarkisme dan radikalisme, bebas dari perbudakan dan eksploitasi,
bebas dari pelanggaran hak-hak azasi manusia. Untuk mewujudkan kondisi
tersebut, masing-masing agama, melalui pemimpinnya, diwajibkan memberi
kontribusinya, termasuk ajaran Islam.[3]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas maka penulis dapat merumuskan dan memberi batasan
masalah didalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian
study islam dan politik ?
2. Bagaimana
pandangan islam tentang politik ?
3. Apa saja
pendekatan-pendekatan politik dalam study islam ?
C.
Tujuan Masalah
Pada tujuan
masalah makalah ini yang akan didiskusikan dan dipresentasikan dalam seminar
kelas agar lebih jelas diantaranya :
1.
Untuk
mengetahui arti pengertian study islam dan politik
2.
Untuk
mengetahui pandangan islam tentang politik
3.
Untuk
mengetahui pendekatan-pendekatan politik dalam study islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Studi Islam dan Politik
1.
Pengertian Study Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan
Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam
secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis
tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan
lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan
memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun
praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan sekitar studi Islam banyak
dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya
mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah
Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya
dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar
bangku kuliah? Merespone sinyalemen tersebut. Menurut Amin Abdullah, pangkal
tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah
Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara normativitas
dan historitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk
dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan pada dataran historitas tampaknya
tidak salah.[4]
Studi Islam diarahkan
pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada
ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada
keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing
manusia untuk berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3)
Islam bermuara pada kedamaian.
Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya
dilaksanakan oleh kalangan umat Islam saja, melainkan juga
dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di
kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya
dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan
umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta
membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya
dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan
untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku
di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi).
Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu
pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam
tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik
yang bersifat positif maupun negatif.
Para ahli
studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum
orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi
tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya,
studi Islam yang dilakukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka
melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada
pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama
Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan
sehari-hari umat Islam. Namun, pada masa
akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan
pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan
umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan
umat Islam sendiri.
2.
Pengertian Politik
Politik secara etimology dalam bahasa Arab disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini
kemudian diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut
Politics. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan
sehari-hari kita seakan-akan mengartikan
sebagi suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli
politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu
politik.[5]
Politik biasanya diwakili oleh kata al Siyasah dan
daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan
politik seperti keadilan, musyawarah, pada mualnya bukan diutujukan untuk
masalah politik. Kata Siyasah dijumpai dalam biadang kajian hukum, yaitu ketika
berbicara masalah Imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang
Fiqih Siyasah. Demikian pula kata Daulah pada mulanya dalam
al Quran digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang kaya, yaitu
bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada
tangan-tangan orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir
dan berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang yang kaya (daulatan baina
agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang
sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata
keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah
pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya
untuk disusui oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[6]
Namun dalam
perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata Siyasah dan kata-kata lain
yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian
pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang
terkait dengannya.
Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara,
karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang
mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu
politik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan negara, di
samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, kelompok kepentingan,
kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan
pemilihan umum.
Asal mula kata politik itu sendiri berasal
dari kata polis yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan
khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan,
kewenangan, prilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi
politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaaan, kekuatan, kekuasaan
pemerintah, pengaturan konflik, yang memjadi konsesus nasional, serta kemudian
kekuatan massa rakyat.
Masalah politik
termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya
.Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, aman, damai, sejahtera lahir dan
batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari system politik yang
diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi
dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya.
Dalam kamus Umum
Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik diartikan sebagai
pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti
segala urusan dan tindakan (kebiijaksanaaan), siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.[7]
3.
Pandangan Islam Tentang Politik
Di kalangan
masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan
agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh
terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan:
“Banyak orang, bahkan pemeluk agama Islam itu sendiri, tidak sadar bahwa Islam
bukan hanya agama, tetapi sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai
pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan
politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam
adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas.
Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan
aksi bersama”.[8]
Pernyataan
tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam
bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politk.
Keterkaitan
agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti dari uraian yang diberikan
Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya Jilid II.
Dalam bukunya beliau menegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam
Islam menurut sejarah, bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan
politik.[9]
Saat Nabi Muhammad
Saw. berada di Madinah, beliau tidak hanya mempunyai sifat sebagai Rasul Allah,
tetapi juga mempunyai sifat sebagai kepala negara. Dan sebagai kepala negara,
setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang
beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengatagorikan bahwa
corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah bercorak teo-demokratis,
yaitu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih
dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal
ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad Saw. masih dalam proses
turunnya wahyu.
Era Rasulullah
Saw. mencerminkan persatuan, usaha, dan pendirian bangunan umat serta
menampilkan ruh (spirit) yang mewarnai kehidupan politik.dan mewujudkan replica
bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru generasi-generasi
yang datang kemudian. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini
tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang belum ada kebutuhan terhadap hal
itu. Namun demikian belum lagi era tersebut berakhir, sudah muncul faktor-faktor
fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk
teori-teori secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga
hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua,
pengakuan akan prinsip kebebasan berfikir untuk segenap individu. Ketiga,
penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti
tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya.[10]
Sistem yang
dibangun oleh Rasulullah Saw. dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di
Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variable-variabel
politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu
adalah sistem politik par excellence. Dari nama yang dipilih Nabi Saw. bagi
kota hijranya itu menunjukkan rencana Nabi Saw. dalam rangka mengemban misi
sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang
kemudian menghasilkan suatu entitas politik, yaitu sebuah negara.[11] Dalam waktu
yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem
relegius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental
maknawi tempat sistem itu berpijak.
Setelah
Rasululullah Saw. wafat, secara berturut-turut pemerintahan negara dipegang
oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. Corak pemerintahan yang dipraktikkan oleh para khalifah yang empat
ini bebeda dengan yang dipraktikkan di
zaman Nabi Muhammad Saw.Pada zaman khalifah yang empat ini, bercorak
pemerintahan aristocrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam
menyelesaikan setiap masalah yang timbul dengan cara musyawarah yang para
anggotanya terdiri dari kalangan
aristocrat. Bahkan dalam pemilihan khalifah pun dilakukan secara musyawarah misalnya, Ali bin Abi Thalib adalah saudara
Nabi Muhammad Saw.dan Abu Bakar adalah sahabat yang sangat dekat dengan beliau,
semuanya sama sekali berarti yang satu lebih berhak atas kekhalifahan daripada
yang lain. Sebab di atas semuanya itu masalah kekhilafahan memerlukan adanya
musyawarah. Jadi sekalipun Rasulullah Saw. telah menyebut Ali sebagai saudara,
menyebut Abu Bakar sebagai shaddiq (teman atau sahabat) dan menghargai Umar bin
Khattab dan Utsman bin Affan sebagai menantu beliau, namun semuanya itu tidak
berarti keharusan mereka dibaiat sebagai khalifah, karena prinsip musyawarah
wajib dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam menghadapi urusan-urusan keduniaan.[12] Namun ironi
bahwa bibit perpecahan umat disebutkan terjadi pada masa Utsman bin Affan dan mencapai puncaknya di zaman khalifah Ali
bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain adalah, pemerintah Utsman bin Affan
sudah kurang lurus. Politik nepotisme yang diterapkan di zaman ini menimbulkan
reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya
setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil menggantikannya. Tetapi segera
ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah,
tertuma Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah,
tantangan yang datang dari Muawiyah Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa
kepada terjadinya peperangan yang diselesaikan dengan Tahkim (arbitrase) yang
secara politik dan diplomatic mengalahkan pihak Ali. Keadaan ini kemudian
memicu ketidakpuasan sebagian pengikutnya dan mereka keluar dari barisan Ali
dan membentuk aliran Khawarij, sedangkan mayoritas lainnya menamakan dirinya
sebagai kaum suni. Pengelompokan umat semacam ini terus berlangsung sampai
sekarang dan kemudian berpengaruh terhadap
corak ajaran agama Islam.[13]
Dengan
demikian,menurut DR. Dhiauddin Rais dalam bukunya Teori Politik Islam (Terj.)
bahwa ia mengatakan, peristiwa-peristiwa yang berentetan ini telah menyingkap
adanya tiga partaip : partai kerajaan monarki, partai Muhakkimah atau Khawarij
yang mewakili karakter Arab Badui yang suka blak-blakan, dan partai Syiah yang
ada di seputar Ali dan anak-anaknya. Dan kontradiksi yang terjadi
masing-masing, serta relasi-relasi yang bermacam-macam yang tumbuh di antara
mereka, itulah yang berperan bersama dalam sejarah Dinasti Umawiyyah, sampai
akhir abad pertama hijriyah, minimal.[14]
Adapun pandangan
Islam tentang politik dapat dipahami dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits berikut
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”( Q.S An-Nisaa: 59)
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” ( QS. Ali-Imran :26).
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ
فَوْقَ بَعْض دَرَجَاتٍ
لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ
وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Annam:165 )
Hadits Nabi Muhammad Saw. berbunyi:
كلكم
راع وكلكم مسئول عن رعيته. (رواه بخاري و
مسلم)
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya”(HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari beberapa ayat tersebut
dijumpai berbagai istilah yang berkaitan dengan pemimpin, yaitu ulil amri
(pemegang kekuasaan), khalifah (penguasa), al-Mulk (raja), wali
(teman/pelindung), imam dan rain (pemimpin). Menurut Munawir Sadzali ayat-ayat
ini mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip
yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip
musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan
kebebasan beragama.[15]
Selain itu,
ayat-ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam menganut politik yang
fleksibel, yakni sistem politik yang dapat menerima berbagai bentuk sistem
pemerintahan, seperti kerajaan (monarki), kesultanan, republik Islam,
parlementer, gabungan antara parlementer dan kerajaan. Saudi Arabia dan Brunei
Darussalam menggunakan bentuk monarki atau kerajaan; Pakistan dan Iran, misalnya
menggunakan bentuk republik negara Islam, Malaysia menggunakan gabungan antara
kerajaan dan parlementer, dan Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan
Republik Indonesia, namun memberikan hak dan melindungi pada setiap rakyatnya untuk memeluk,
memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing (Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu)
Dengan demikian,
Islam tidak sepenuhnya sejalan dengan pendapat Syekh Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, syekh Muhammad Ridha, dan al-Maududi yang menyatakan bahwa system
ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah system yang
telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan oleh para al-Khulafaur Rasyidin.
Islam juga menolak
pendirian Ali Abd. al-Raziq dan Thaha Husein yang mengatakan, bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul biasa
seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas yang tunggal mengajak manusia
kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti
luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan mendirikan atau mengepalai satu
negara. Islam tidak sejalan atau bertolak belakang dengan pendapat serupa ini.
Dalam hal
pandangan politik, Islam membenarkan pendapat Mohammad Husein Haikal yang
berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi
terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan ketatanegaraan.[16]
Islam memberi
keleluasan terhadap manusia selaku khalifah di muka bumi ini, yaitu manusia
mengemban amanat Allah untuk mengatur dan membuat rasa aman di muka bumi
ini.Oleh karena itu supaya tidak terjadi pertumpahan darah dan perusakan
di alam dunia ini, maka manusia baik
secara individu atau kelompok memilih orang-orang yang terbaik untuk memerintah
dan mengatur kondisi masyarakat atau negara, agar tercapai tujuan kedamaian dan
keamanan di masyarakat (negara). Islam tidak memberi atau memaparkan bentuk
pemerintahan yang khusus, melainkan memberikan prinsip-prinsip yang tidak boleh
ditinggalkan dalam sebuah pembentukan negara (politik).Seperti: prinsip
keadilan, musyawarah, persamaan, ketaatan kepada pemimpin, konsultasi dan
kebebasan dalam beragama.
B.
Pendekatan-Pendekatan Politik dalam Study
Islam
1. Pendekatan Dekonfessionalisasi
Pendekatan dekonfessionalisasi
dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhujize. Teori ini menyatakan secara garis
besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka
menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik
bersama dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol
kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam
rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.[17]
Misalnya saat
merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila, semua tokoh menekan kepentingannya
masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar,
yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama. Dalam kasus di Indonesia ini,
dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan
umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep
muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan
Nieuwenhuijze, munculnya rumusan Pancasila sebagai gagasan ideologi dan visi
kebangsaan di Indoensia, dimana bukan lagi Islam sebagai azas utama-nya,
sebenarnya bukanlah sebuah kekalahan Umat Islam, karena memang secara realistik
kelompok yang paling giat dalam banyak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan
yang merumuskan menjadi suatu sistem kebangsaan adalah umat Islam. Hal ini
terbukti, bahwa dari kelima dasar Pancasila itu, sebenarnya secara keseluruhan
adalah mencerminkan juga ideologi Islam sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan
sosial, demokrasi, dan kemanusiaan, semuanya merupakan bagian-bagian penting
dari ajaran Islam dan konsep Islam.
Dalam kacamata Nieuwenhuijze, para
tokoh Islam di Indoensia sangat “cantik” dalam memainkan peran mereka untuk mengakomodasi
kelompok lain, tapi secara realistik keberadaan mereka sendiri tetap
tersalurkan secara utuh. Ini merupakan suatu bentuk penafsiran kreatif atas
prinsip-prinsip Islam yang sedemikian rupa dalam rangka memapankan relevansinya
dengan kehidupan politik modern.
2.
Pendekatan Domestikasi Islam
Pendekatan Domestikasi Islam
dikembangkan oleh Harry J. Benda.[18] Ia menggambarkan,
bahwa Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal
senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguhnya
itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik”
merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam
yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar
itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan
sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak. Benda menggambarkan,
Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan
ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam
peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada
antara abad ke-16-18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi
kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan
“Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya
inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”nya. Kekuatan nasionalis
dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari
upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam
skripturalis seperti halnya DI dan Masyumi untuk kemudian digantikan dengan
Pancasila yang pada dasarnya bukan Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila
sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa. Dalam hal
ini ia menyatakan : “Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik,
secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”.[19]
Pada kesimpulannya teorinya, Benda
ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses
terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan kebangsaan, merupakan suatu
pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa.
Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.
3.
Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini
dikembangkan oleh Robert jay dan Clifford Geertz.[20] Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia
nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di
Indoensia khususnya Jawa Tengah, ada suatu kekuatan di luar Islam yang
senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan
Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun
menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini
sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya
Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budhanya tipis, terutama
daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan
menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan
Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk
wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budhanya cukup kuat
terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan
Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang, seringkali menunjukkan antara
Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian
transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada
akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Secara umum kekuatan dua kelompok
ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi
kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang di-sebut, “ortodoksi” yang
berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok
abangan.
Berbeda dengan Jay, Clifford Geertz
bisa mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik
sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada
dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh
kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dalam
kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok apa yang disebut
“priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah kareakter yang
berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan. Sehingga
ia menambahkan lagi, ternyata ada kekuatan-kekuatan lain di luar Islam selain
abangan, yakni priyayi, sehingga ia menyebutnya teori aliran dalam keberagamaan
Islam di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia
dapatkan ketika meneliti secara serius pada komunitas perkampungan Mojokuto
sebagai mikrokosmik kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Jawa. Secara
jelas ia ungkapkan ketiga aliran ini sebagai berikut: “Abangan menekankan
pada aspek-aspek animistic dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas
berkaitan dengan unsur-unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu
penekanan terhadap pelaksanaan aspek-aspek Islam yang pada umumnya berkaitan
dengan unsur dagang juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani, priyayi
menekankan aspek-aspek hinduistik dan berkaitan dengan unsur-unsur birokrasi”.
Ketiga varian ini pada kegiatan
politik pascakolonial telah merefleksikan aspirasi politiknya pada pemilu tahun
1950-an pada partai-partai yang beragam, abangan dan priyayi mayoritas suara
politiknya mereka salurkan pada partai “komunis” dan “nasionalis” yakni PKI
(Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sedangkan
kelompok santri menyuarakan aspirasinya pada Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori
Geertz ini, telah memberi gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran
dalam kehidupan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat Jawa.
Dan pada masa kekuasaan Orde Baru, realitas ketiga aliran ini dipersepsikan
sebagai sesuatu yang permanen dalam bangunan politik di Indonesia. Soeharto
memberikan kebijakan dengan membubarkan partai-partai kemudian meleburnya menjadi
tiga kelompok wadah poliitik, PPP dengan simbol Ka’bah dan nampaknya sebagai
wadah para santri, Golkar sebagai kekuatan birokrasi pemerintahan dan Partai
demokrasi Indonesia mewadahi kelompok nasionalis-abangan.
4.
Pendekatan Trikotomi.
Teori ini
dikembangkan oleh Allan Samson, Samson melihat karakteritik Islam di
Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’ pun
haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan
keagamaan dan kemauan politiknya.[21]
Dalam kenyataannya, kelompok santri
di Indonesia (NU, Muhamadiyah dan Masyumi) setidak-tidaknya memilki karakter
yang sangat variatif, ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang
dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah
mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma
dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam
penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya
terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka
tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya.
Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategorikan
sebagai berikut:
a.
Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang
biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk
bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir.
Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik.
Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
b.
Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan
secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun
relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin
menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya.
Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara
agama dan ideologi lainnya.
c.
Akomodisionis adalah kelompok santri juga
namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya
ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil
posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka
korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di
kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya
penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis,
agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima
ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan
kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.
Kategori Allan Samson ini
sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di
Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomodatif dalam
hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerakan bisa menunjukkan
sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja
berubah-ubah.
Istilah-istilah fundamental,
reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan
strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan
alat negosiasi dalam dunia politik.
5.
Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald
K. Emmerson.[22] Secara umum
orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson
menyatakan sebalik-nya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya?
Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru
pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia.
Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang
tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk
dalam semua ini. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan
kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran
kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan
agama serta seni dan kebudayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan
dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta
para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam
yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki
berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti
munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif
yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan
secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri
cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan
pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang
dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi
terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an, misalnya dengan masuknya K.H. Qosim
Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab sebagai guru ngaji keluarga Soeharto, kyai
mulai aktif di berbagai kepentingan pemerintahan (program KB, Puskesmas,
transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya). Kelanjutan dari ini, akhirnya
para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada
periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada
akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Akhirnya Soeharto sebagai penguasa
tunggal sangat dekat dengan Islam, bahkan Ia ikut membidani lahirnya Bank
Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, ICM, ia seolah merestui sejumlah
“ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ.
Habibi (simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri) selaku wakilnya untuk
menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua
fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya
dalam realitas politik, sosial dan budaya.
Kelima teori/pendekatan di atas
nampaknya belum bisa memberikan jawabannya secara utuh. Namun secara sosiologis
dan psikologis, situasi sekarang ini nampaknya sebagai bentuk respon yang
“tentatif” akibat dari situasi sebelumnya, dimana pengaruh Orde Baru yang
begitu kuat, tegas dan refressif serta dominan dalam memegang kekuasaan di
semua ini, tiba-tiba dikejutkan oleh arus reformasi yang mendobraknya secara
radikal. Sehingga, sebenarnya reformasi tahun 1987-an itu kurang tepat untuk
disebut “reformasi,” tapi lebih tepat sebagai suatu bentuk revolusi sosial dan
politik yang sangat “fundamental”. Sehingga semua kelompok sosial yang
terpingirkan, merasa mendapat angin segar untuk bisa bebas bersuara dan mencoba
mengekspresikannnya dalam jalur-jalur dan potensi yang dimilikinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
paparan tersebut, dapat dikemukakan catatan analisis sebagai penutup sebagai
berikut:
1.
Baik secara normatif (berdasarkan al Quran dan
al Sunah) maupun secar historis (praktik kehidupan dalam sejarah) Islam
memiliki perhatian yang besar terhadap masalah politik. Perhatian ini ditujukan
dalam rangka menciptakan keadaan masyarakat yang aman, tertib, damai, harmonis,
dan sejahtera lahir dan batin
2.
Fakta sejarah, membuktikan dengan jelas bahwa
Islam tidak menganut system ketatanegaraan tertentu. Islam sama sekali tidak
mempersoalkan bentuk atau system ketatanegaraan tersebut, Hal yang demikian ditempuh,
karena jika Islam menetapkan system ketatanegaraan tertentu, dan system
tersebut tidak cocok bagi masyarakat Islam di suatu negara tertentu, maka
berarti Islam telah mempersulit umatnya. Keadaan ini tidak ditempuh oleh Islam,
karena tidak sejalan dengan prinsip Islam yang fleksibel, sesuai dengan zaman
dan tempat, tidak menyusahkan orang dan seterusnya sebagaimana telah tampak
jelas dalam karakteristik ajaran Islam.
3.
Beberapa pendekatan-pendekatan politik
dalam study islam diantaranya : Pendekatan Dekonfessionalisasi,
pendekatan Domestikasi Islam, pendekatan skismatik aliran, Pendekatan
Trikotomi, dan Pendekatan Islam Kultural.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, 2011, Studi Islam Komprehensif, Jakarta Kencana.
Departemen
Agama Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1977, Al Quran dan Terjemahannya,
Jakarta, PT Bumi Restu.
Abudin Nata, 2011, Metodologi
Studi Islam, Jakarta, Rajawali Pers.
Inu Kencana Syafiie, 2009, Pengantar
Ilmu Politik,, Bandung: Pustaka Reka Cipta,.
Muhammad Dhiauddin Rais, 2001, Teori Politik
Islam, Terj. Jakarta, Gema Insani Press
Kuntowijoyo, 1997. Identitas
Politik Umat Islam, Bandung, Mizan.
Harun Nasution, 1979, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press.
Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press,
1973), hal 116-142. Dan lihat pula Allan Samson, “Conceptions of Politics,
Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson
(ed), Political Power and Communications in Indonesia, (Berkeley,
University of California Press, 1978), hal 196-226
Muhammad
Iqbal, 2001, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama.
Al Hamid Al Husaini, 2000, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad
Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul, Bandung, Pustaka Hidayah,
C.A.O.Van Nieuwenhuijze “The Indonesian State and
Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial
Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958) hal. 180-243, dan
lihat pula C.A.O.Van Nieuwenhuijze, Islam and National Self-Realization”
dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton and Co,1963), hal.
136-156.
Harry J. Benda , 1985, “The Crescent and The Rising Sun; Indonesian
Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”, Terjemahan Daniel Dekhade
,Jakarta, Pustaka Jaya. Dan llihat pula karya lainnya yang berjudul “Continuity
and Change in Indonesia Islam” Asian and African Studies, Vol.1, 1965
Dr. Bahtiar Effendi, 1998, Islam
dan Negara, Bandung, Mizan,
Clifford Geertz, 1989, The Religion of Java – Abangan, Santri
dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya.
Donald K. Emmerson, “Islam in Modern Indonesia; Political
Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al), Change
and the Muslim World, (Syracuse University Press, 1981), hal 159-168.
Dan lihat pula Donald K. Emmerson “Islam and Regime in Indonesia; Who ‘s
Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika,
31 Agustus 1989.
[2]
Departemen Agama Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Al Quran dan
Terjemahannya, (Jakarta: PT Bumi Restu 1977) hlm. 508
[3] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,
Op cit., hlm. 448
[4]
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam , ed.
rev. (Jakarta,:Rajawali Pers, 2011)Cet. ke 18, hlm.150.
[5] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu Politik,
(Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6] Abudin
Nata, Metodologi Studi Islam, Op cit, hlm 316 – 317
[7]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik
Islam, Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I, hlm. 4
[8] Kuntowijoyo,Identitas Politik Umat Islam,(Bandung:Mizan,1997),Cet
I,hlm. 27.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[11] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
(Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,2001), Cet. I, hlm. vii.
[12]
Al Hamid Al Husaini, Membangun Peradaban:
Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul,(Bandung: Pustaka
Hidayah,2000), cet. I, hlm. 972.
[13] Abudin Nata, Metodologi Studi….,hlm.319.
[14]
Muhammad Dhiauddin Rais, Teori Politik ….,hlm.37.
[15] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif…,
Op cit., hlm. 454 - 455
[16] Ibid., hlm.455-456.
[17]
C.A.O.Van Nieuwenhuijze “The Indonesian
State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in
Post-Colonial Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958) hlm.
180-243, dan lihat pula C.A.O.Van Nieuwenhuijze, Islam and National
Self-Realization” dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton
and Co,1963), hlm. 136-156.
[18]
Harry J. Benda , “The Crescent and The
Rising Sun; Indonesian Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”,
Terjemahan Daniel Dekhade (Jakarta, Pustaka Jaya, 1985) Cet. II, hlm. Dan
llihat pula karya lainnya yang berjudul “Continuity and Change in Indonesia
Islam” (Asian and African Studies, Vol.1, 1965), hlm 123-138
[19] Dr. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara,
(Bandung, Mizan, 1998) hlm. 30
[20] Clifford Geertz, The Religion of Java –
Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, (Jakarta, Pustaka Jaya,
1989), Cet. II, hlm 3-9
[21]
Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press, 1973), hlm
116-142. Dan lihat pula Allan Samson, “Conceptions of Politics, Power and
Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed), Political
Power and Communications in Indonesia, (Berkeley, University of California
Press, 1978), hlm 196-226
[22]
Donald K. Emmerson, “Islam in Modern
Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H
Stoddard (et.al), Change and the Muslim World, (Syracuse University
Press, 1981), hlm 159-168. Dan lihat pula Donald K. Emmerson “Islam
and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan
tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar