Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN POLITIK DALAM STUDY ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang

              Kajian studi Islam dengan pendekatan secara politik didasarkan pandangan sebagai berikut:
         Pertama, Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan yang baik dengan manusia dan dengan alam semesta. Melalui hubungan baik ini akan tercipta sebuah kehidupan yang seimbang, tertib, aman, damai, dan harmonis yang selanjutnya menjadi syarat bagi manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang lainnya.[1] Hal ini sesuai dengan diutusnya Rasullah Saw. ke dunia adalah sebagai ramat bagi seluruh alam.
Firman Allah :
YANG Artinya:. Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” ( QS. Al-Anbyaa 107).[2]

            Kedua, ajaran Islam yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu tauhid, fikih dan tasawuf. Adapun hubungan manusia dengan manusia dalam arti yang formal, khusus dan langsung diatur dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Secara spesifik dalam dalam kajian tersebut, yaitu melalui ilmu politik, manusia selain diperkenalkan tentang cara mendapatkan, mengelola dan mempertahankan kekuasaan, juga diajarkan tentang hukum dan etika politik.
            Ketiga, Islam memiliki ajaran yang selain berhubungan dengan kewajiban yang bersifat individual yang disebut fardhu ‘ain, juga berhubungan dengan kewajiban kolektif yang disebut fardhu kifayah. Ajaran yang bersifat kolektif ini termasuk ajaran yang berkenaan dengan masalah politik. Dengan ajaran yang bersifat kolektif ini, maka harus di antara anggota masyarakat yang mengurusi masalah politik dalam rangka mewujudkan situasi masyarakat yang tertib, aman, damai, harmonis dan sejahtera.
            Keempat, di dalam Al Quran selain terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk taat kepada pemimmpin, keharusan pemimpin yang berbuat adil, memutuskan perkara dengan cara musyawarah, melindungi hak-hak asasi manusia, bersikap jujur, amanah, berani menegakkan kebenaran, cerdas, sehat jasmani dan rohani. Ini semua yang harus dipelajari oleh umat Islam.
            Kelima, saat ini ada keinginan yang kuat dari seluruh masyarakat dunia untuk mewujudkan keadaan tatanan politik masing-masing negara yang lebih tertib, aman, damai, harmonis, dan sejahtera, yaitu keadaan masyarakat yang terbebas dari permusuhan atau peperangan antara satu bangsa dengan bangsa lain, bebas dari tindakan terorisme, anarkisme dan radikalisme, bebas dari perbudakan dan eksploitasi, bebas dari pelanggaran hak-hak azasi manusia. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, masing-masing agama, melalui pemimpinnya, diwajibkan memberi kontribusinya, termasuk ajaran Islam.[3]

B.           Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis dapat merumuskan dan memberi batasan masalah didalam makalah ini sebagai berikut :
1.     Apa pengertian study islam dan politik ?
2.     Bagaimana pandangan islam tentang politik ?
3.     Apa saja pendekatan-pendekatan politik dalam study islam ?

C.          Tujuan Masalah

         Pada tujuan masalah makalah ini yang akan didiskusikan dan dipresentasikan dalam seminar kelas agar lebih jelas diantaranya :
1.    Untuk mengetahui arti pengertian study islam dan politik
2.    Untuk mengetahui pandangan islam tentang politik
3.    Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan politik dalam study islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Studi Islam dan Politik

1.      Pengertian Study Islam
            Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu. Dengan perkataan lain, Studi Islam adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memhami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
            Pembahasan sekitar studi Islam banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam belakangan ini. Amin Abdullah, misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di dalam kelas, lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai diselenggarakan di luar bangku kuliah? Merespone sinyalemen tersebut. Menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian Islamic Studies atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara normativitas dan historitas. Pada dataran normativitas kelihatan Islam kurang pas untuk dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan pada dataran historitas tampaknya tidak salah.[4]
            Studi Islam diarahkan pada kajian keislaman yang mengarah pada tiga hal: 1) Islam yang bermuara pada ketundukan atau berserah diri, 2) Islam dapat dimaknai yang mengarah pada keselamatan dunia dan akhirat, sebab ajaran Islam pada hakikatnya membimbing manusia untuk  berbuat kebajikan dan menjauhi semua larangan, 3) Islam bermuara pada kedamaian.
            Usaha mempelajari agama Islam tersebut dalam kenyataannya bukan hanya dilaksanakan oleh  kalangan umat Islam saja, melainkan juga dilaksanakan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri tentunya sangat berbeda tujuan dam motivasinya dengan yang dilakukan oleh orang-orang di luar kalangan umat Islam. Di kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk memahami dan mendalami serta membahas ajaran-ajaran Islam agar mereka dapat melaksanakan dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan di luar kalangan umat Islam, studi keislaman bertujuan untuk mempelajari seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan yang berlaku di kalangan umat Islam, yang semata-mata sebagai ilmu pengetahuan (Islamologi). Namun sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya, maka ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk agama dan praktik-praktik keagamaan Islam tersebut bisa dimanfaatkan atau digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif.
            Para ahli studi keislaman di luar kalangan umat Islam tersebut dikenal dengan kaum orientalis (istisyroqy), yaitu orang-orang Barat yang mengadakan studi tentang dunia Timur, termasuk di kalangan dunia orang Islam. Dalam praktiknya, studi Islam yang dilakukan oleh mereka, terutama pada masa-masa awal mereka melakukan studi tentang dunia Timur, lebih mengarahkan dan menekankan pada pengetahuan tentang kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan ajaran agama Islam dan praktik-praktik pemgalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Namun, pada masa akhir-akhir ini banyak juga di antara para orientalis yang memberikan pandangan-pandangan yang objektif dan bersifat ilmiah terhadap Islam dan umatnya. Tentu saja pandangan-pandangan yang demikian itu akan bisa bermanfaat bagi pengembangan studi-studi keislaman di kalangan umat Islam sendiri.
2.      Pengertian Politik
            Politik secara etimology dalam bahasa Arab  disebut Siyasah, yang selanjutnya kata ini kemudian diterjemahkan menjadi siasat. atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Politics. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana, yang dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan  mengartikan sebagi suatu cara yang dipakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi para ahli politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi untuk ilmu politik.[5]
            Politik biasanya diwakili oleh kata al Siyasah dan daulah, walaupun kata-kata tersebut dan kata-kata lainnya yang berkaitan dengan politik seperti keadilan, musyawarah, pada mualnya bukan diutujukan untuk masalah politik. Kata Siyasah dijumpai dalam biadang kajian hukum, yaitu ketika berbicara masalah Imamah, sehingga dalam fiqih dikenal adanya bahasan tentang Fiqih Siyasah. Demikian pula kata Daulah pada mulanya dalam al Quran digunakan untuk kasus penguasaan harta di kalangan orang kaya, yaitu bahwa dengan zakat diharapkan harta tersebut tidak hanya berputar pada tangan-tangan orang kaya. Karena menurut sifatnya harta tersebut harus bergilir dan berputar, dan tidak hanya dikuasai oleh orang yang kaya (daulatan baina agniya), kata daulah tersebut juga digunakan untuk masalah politik yang sifatnya berpindah dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Demikian juga kata keadilan banyak digunakan dalam memutuskan perkara dalam kehidupan, dan kata musyawarah pada mulanya digunakan pada kasus suami istri yang akan menyerahkan anaknya untuk disusui oleh perempuan lain yang dalam hal ini perlu dimusyawarahkan.[6]
            Namun dalam perkembangan selanjutnya sejarah menggunakan kata Siyasah dan kata-kata lain yang maknanya berkaitan dengan kata tersebut digunakan untuk pengertian pengaturan masalah kenegaraan dan pemerintahan serta hal-hal lainnya yang terkait dengannya.
            Pada dasarnya politik mempunyai ruang lingkup negara, karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide, azas-azas, sejarah pembentukan negara, di samping menyelidiki hal-hal seperti kelompok elit, kelompok kepentingan, kelompok penekan, pendapat umum, peranan partai politik, dan keberadaan pemilihan umum.
            Asal mula kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti negara kota, dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan, kewenangan, prilaku pejabat, legalitas kekuasaan dan akhirnya kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai kebijaksanaaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik, yang memjadi konsesus nasional, serta kemudian kekuatan massa rakyat.
            Masalah politik termasuk salah satu bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya .Hal ini antara lain disebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari system politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya.
            Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta, politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya, dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebiijaksanaaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.[7]
3.      Pandangan Islam Tentang Politik
            Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini antara lain disebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “Banyak orang, bahkan pemeluk agama Islam itu sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi sebuah komunitas (umat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan  dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama”.[8]
            Pernyataan tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politk. Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat diikuti dari uraian yang diberikan Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau Dari berbagai Aspeknya Jilid II. Dalam bukunya beliau menegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah, bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[9]
            Saat Nabi Muhammad Saw. berada di Madinah, beliau tidak hanya mempunyai sifat sebagai Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat sebagai kepala negara. Dan sebagai kepala negara, setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Para peneliti sejarah politik ada yang mengatagorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad Saw. masih dalam proses turunnya wahyu.
            Era Rasulullah Saw. mencerminkan persatuan, usaha, dan pendirian bangunan umat serta menampilkan ruh (spirit) yang mewarnai kehidupan politik.dan mewujudkan replica bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian belum lagi era tersebut berakhir, sudah muncul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk teori-teori secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berfikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya.[10]
            Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw. dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah, jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variable-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dari nama yang dipilih Nabi Saw. bagi kota hijranya itu menunjukkan rencana Nabi Saw. dalam rangka mengemban misi sucinya dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan suatu entitas politik, yaitu sebuah negara.[11] Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem relegius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
            Setelah Rasululullah Saw. wafat, secara berturut-turut pemerintahan negara dipegang oleh Abu Bakar, kemudian oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Corak pemerintahan yang dipraktikkan oleh para khalifah yang empat ini bebeda dengan yang dipraktikkan  di zaman Nabi Muhammad Saw.Pada zaman khalifah yang empat ini, bercorak pemerintahan aristocrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dengan cara musyawarah yang para anggotanya terdiri  dari kalangan aristocrat. Bahkan dalam pemilihan khalifah pun dilakukan secara musyawarah  misalnya, Ali bin Abi Thalib adalah saudara Nabi Muhammad Saw.dan Abu Bakar adalah sahabat yang sangat dekat dengan beliau, semuanya sama sekali berarti yang satu lebih berhak atas kekhalifahan daripada yang lain. Sebab di atas semuanya itu masalah kekhilafahan memerlukan adanya musyawarah. Jadi sekalipun Rasulullah Saw. telah menyebut Ali sebagai saudara, menyebut Abu Bakar sebagai shaddiq (teman atau sahabat) dan menghargai Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan sebagai menantu beliau, namun semuanya itu tidak berarti keharusan mereka dibaiat sebagai khalifah, karena prinsip musyawarah wajib dilaksanakan oleh kaum muslimin dalam menghadapi urusan-urusan keduniaan.[12] Namun ironi bahwa bibit perpecahan umat disebutkan terjadi pada masa Utsman bin Affan  dan mencapai puncaknya di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain adalah, pemerintah Utsman bin Affan sudah kurang lurus. Politik nepotisme yang diterapkan di zaman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.
            Selanjutnya setelah Utsman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil menggantikannya. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, tertuma Thalhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat dukungan dari Aisyah, tantangan yang datang dari Muawiyah Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang diselesaikan dengan Tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatic mengalahkan pihak Ali. Keadaan ini kemudian memicu ketidakpuasan sebagian pengikutnya dan mereka keluar dari barisan Ali dan membentuk aliran Khawarij, sedangkan mayoritas lainnya menamakan dirinya sebagai kaum suni. Pengelompokan umat semacam ini terus berlangsung sampai sekarang dan kemudian berpengaruh terhadap  corak ajaran agama Islam.[13]
            Dengan demikian,menurut DR. Dhiauddin Rais dalam bukunya Teori Politik Islam (Terj.) bahwa ia mengatakan, peristiwa-peristiwa yang berentetan ini telah menyingkap adanya tiga partaip : partai kerajaan monarki, partai Muhakkimah atau Khawarij yang mewakili karakter Arab Badui yang suka blak-blakan, dan partai Syiah yang ada di seputar Ali dan anak-anaknya. Dan kontradiksi yang terjadi masing-masing, serta relasi-relasi yang bermacam-macam yang tumbuh di antara mereka, itulah yang berperan bersama dalam sejarah Dinasti Umawiyyah, sampai akhir abad pertama hijriyah, minimal.[14]
            Adapun pandangan Islam tentang politik dapat dipahami dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits berikut :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”( Q.S An-Nisaa: 59)

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” ( QS. Ali-Imran :26).

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْض دَرَجَاتٍ
لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Annam:165 )

Hadits Nabi Muhammad Saw. berbunyi:
كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته.  (رواه بخاري و مسلم)
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya”(HR. Bukhari dan Muslim)

                Dari beberapa ayat tersebut dijumpai berbagai istilah yang berkaitan dengan pemimpin, yaitu ulil amri (pemegang kekuasaan), khalifah (penguasa), al-Mulk (raja), wali (teman/pelindung), imam dan rain (pemimpin). Menurut Munawir Sadzali ayat-ayat ini mengajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan dan kebebasan beragama.[15]
            Selain itu, ayat-ayat dan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam menganut politik yang fleksibel, yakni sistem politik yang dapat menerima berbagai bentuk sistem pemerintahan, seperti kerajaan (monarki), kesultanan, republik Islam, parlementer, gabungan antara parlementer dan kerajaan. Saudi Arabia dan Brunei Darussalam menggunakan bentuk monarki atau kerajaan; Pakistan dan Iran, misalnya menggunakan bentuk republik negara Islam, Malaysia menggunakan gabungan antara kerajaan dan parlementer, dan Indonesia menggunakan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia, namun memberikan hak dan melindungi  pada setiap rakyatnya untuk memeluk, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya masing-masing (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghuchu)
            Dengan demikian, Islam tidak sepenuhnya sejalan dengan pendapat Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, syekh Muhammad Ridha, dan al-Maududi yang menyatakan bahwa system ketatanegaraan atau politik Islam yang harus diteladani adalah system yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. dan oleh para al-Khulafaur Rasyidin.
            Islam juga menolak pendirian Ali Abd. al-Raziq dan Thaha Husein yang mengatakan, bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas yang tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan mendirikan atau mengepalai satu negara. Islam tidak sejalan atau bertolak belakang dengan pendapat serupa ini.
            Dalam hal pandangan politik, Islam membenarkan pendapat Mohammad Husein Haikal yang berpendirian, bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat nilai etika bagi kehidupan ketatanegaraan.[16]
            Islam memberi keleluasan terhadap manusia selaku khalifah di muka bumi ini, yaitu manusia mengemban amanat Allah untuk mengatur dan membuat rasa aman di muka bumi ini.Oleh karena itu supaya tidak terjadi pertumpahan darah dan perusakan di  alam dunia ini, maka manusia baik secara individu atau kelompok memilih orang-orang yang terbaik untuk memerintah dan mengatur kondisi masyarakat atau negara, agar tercapai tujuan kedamaian dan keamanan di masyarakat (negara). Islam tidak memberi atau memaparkan bentuk pemerintahan yang khusus, melainkan memberikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan dalam sebuah pembentukan negara (politik).Seperti: prinsip keadilan, musyawarah, persamaan, ketaatan kepada pemimpin, konsultasi dan kebebasan dalam beragama.
B.       Pendekatan-Pendekatan Politik dalam Study Islam

1.      Pendekatan Dekonfessionalisasi

Pendekatan dekonfessionalisasi dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhujize. Teori ini menyatakan secara garis besarnya, bahwa sebagaimana yang pernah terjadi di Belanda dalam rangka menyatukan perbedaan antar kelompok agama dan memelihara hubungan politik bersama dalam sebuah negara, maka seluruh identitas keyakinan, simbol-simbol kelompok yang eksklusif harus bisa ditinggalkan untuk sementara waktu dalam rangka mencapai suatu kesatuan dan kebersamaan yang lebih besar.[17]
Misalnya saat merumuskan ideologi kebangsaan, Pancasila, semua tokoh menekan kepentingannya masing-masing untuk bisa mengadaptasi dan mendapatkan sesuatu yang lebih besar, yakni merumuskan visi kebangsaan secara bersama. Dalam kasus di Indonesia ini, dekonfesionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim atas dasar pertimbangan kemanusiaan bersama.
Dalam pandangan Nieuwenhuijze, munculnya rumusan Pancasila sebagai gagasan ideologi dan visi kebangsaan di Indoensia, dimana bukan lagi Islam sebagai azas utama-nya, sebenarnya bukanlah sebuah kekalahan Umat Islam, karena memang secara realistik kelompok yang paling giat dalam banyak memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan yang merumuskan menjadi suatu sistem kebangsaan adalah umat Islam. Hal ini terbukti, bahwa dari kelima dasar Pancasila itu, sebenarnya secara keseluruhan adalah mencerminkan juga ideologi Islam sendiri. Keesaan Tuhan, keadilan sosial, demokrasi, dan kemanusiaan, semuanya merupakan bagian-bagian penting dari ajaran Islam dan konsep Islam.
Dalam kacamata Nieuwenhuijze, para tokoh Islam di Indoensia sangat “cantik” dalam memainkan peran mereka untuk mengakomodasi kelompok lain, tapi secara realistik keberadaan mereka sendiri tetap tersalurkan secara utuh. Ini merupakan suatu bentuk penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip Islam yang sedemikian rupa dalam rangka memapankan relevansinya dengan kehidupan politik modern.
2.      Pendekatan Domestikasi Islam
Pendekatan Domestikasi Islam dikembangkan oleh Harry J. Benda.[18] Ia menggambarkan, bahwa Islam walau sehebat apapun perkembangannya di Indonesia, kekuatan lokal senantiasa terus memainkan dominasinya sehingga dinamika Islam yang sesungguhnya itu lumpuh, “terdomistikasi” dalam lingkup lokalitasnya. Fenomena “sinkretik” merupakan sesuatu yang sangat realistik untuk segera menyatakan bahwa kekuatan Islam yang agung itu selalu termakan oleh kekuatan lokalnya. Bahkan bukan sekedar itu, dalam pandangan Benda, bangkitnya kesultanan Mataram, sebenarnya merupakan sebuah penolakan terhadap Islam yang sebenarnya di Demak. Benda menggambarkan, Mataram Islam sebenarnya sebagai sebuah simbiosis dari kekuatan Hindu Jawa, dan ia merefleksikan simbol kekuatan yang sesungguhnya dalam melawan kekuatan Islam peisisir Demak sebagai kekuatan skripturalis Islam.
Semua fenomena yang terjadi pada antara abad ke-16-18 yang mudah diamati itu, sekali lagi sekali memberi kenyataan Islam yang universal dan kosmopolit itu takluk di dalam dekapan “Jawa-Hindu-Mataram”: Dalam konteks “pemandulan politik Islam” yang sebenarnya inilah Harry J Benda menemukan teori “domestikasi”nya. Kekuatan nasionalis dalam personifikasi Soekarno dalam partai PNI, juga bentuk kelanjutan dari upaya yang terus mendominasi dan “mengkrangkeng” beberapa kekuatan Islam skripturalis seperti halnya DI dan Masyumi untuk kemudian digantikan dengan Pancasila yang pada dasarnya bukan Islam. Dalam kacamata Benda, Pancasila sebenarnya sebagai personifikasi bentuk kekuatan dan kemenangan Jawa. Dalam hal ini ia menyatakan : “Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, padahal yang pasti bukan Islam”.[19]
Pada kesimpulannya teorinya, Benda ingin menyatakan, bahwa fenomena pasca kolonislisme dimana akumulasi proses terbentuknya sistem dan visi kenegaraan dan kebangsaan, merupakan suatu pengulangan ajang pertempuran, perebutan antara kekuatan Islam dan Jawa. Kemenangan akhirnya dipegang oleh kelompok yang terakhir ini.
3.      Pendekatan Skismatik dan Aliran.
Pendekatan ini dikembangkan oleh Robert jay dan Clifford Geertz.[20]  Pandangan Jay dalam melihat Islam di Indonesia nampaknya agak mirip seperti apa yang dilihat oleh Harry J Benda, bahwa di Indoensia khususnya Jawa Tengah, ada suatu kekuatan di luar Islam yang senantiasa menyaingi bahkan “menjinakan”nya. Benda menyebutnya sebagai kekuatan Hindu-Jawa, sedangkan Jay melihatnya sebagai kelompok abangan.
Teori skismatik yang dia bangun menunjukkan bahwa akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan ini sebenarnya bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budhanya tipis, terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budhanya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman seperti bekas-bekas kekuatan kerajaan Majapahit di Mataram dan Singosari di Malang, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.
Secara umum kekuatan dua kelompok ini, terus berjalan pada pascakolonialis dan masa-masa pembentukan visi kenegara. Keduanya mengkristal dalam wadah yang di-sebut, “ortodoksi” yang berakar dari para santri dan kelompok “sinkretisme” yang berakar dari kelompok abangan.
Berbeda dengan Jay, Clifford Geertz bisa mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok apa yang disebut “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah kareakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan. Sehingga ia menambahkan lagi, ternyata ada kekuatan-kekuatan lain di luar Islam selain abangan, yakni priyayi, sehingga ia menyebutnya teori aliran dalam keberagamaan Islam di Jawa.
Temuan ini secara langsung ia dapatkan ketika meneliti secara serius pada komunitas perkampungan Mojokuto sebagai mikrokosmik kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat Jawa. Secara jelas ia ungkapkan ketiga aliran ini sebagai berikut: “Abangan menekankan pada aspek-aspek animistic dari seluruh sinkretisme Jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur-unsur petani di kalangan penduduk; santri mewakili suatu penekanan terhadap pelaksanaan aspek-aspek Islam yang pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang juga unsur-unsur tertentu dalam kelompok petani, priyayi menekankan aspek-aspek hinduistik dan berkaitan dengan unsur-unsur birokrasi”.
Ketiga varian ini pada kegiatan politik pascakolonial telah merefleksikan aspirasi politiknya pada pemilu tahun 1950-an pada partai-partai yang beragam, abangan dan priyayi mayoritas suara politiknya mereka salurkan pada partai “komunis” dan “nasionalis” yakni PKI (Partai Komunis Indonesia) dan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sedangkan kelompok santri menyuarakan aspirasinya pada Masyumi atau Nahdlatul Ulama (NU).
Arti penting pendekatan/teori Geertz ini, telah memberi gambaran tentang adanya realitas kelompok aliran dalam kehidupan sosial, budaya dan politik serta agama dalam masyarakat Jawa. Dan pada masa kekuasaan Orde Baru, realitas ketiga aliran ini dipersepsikan sebagai sesuatu yang permanen dalam bangunan politik di Indonesia. Soeharto memberikan kebijakan dengan membubarkan partai-partai kemudian meleburnya menjadi tiga kelompok wadah poliitik, PPP dengan simbol Ka’bah dan nampaknya sebagai wadah para santri, Golkar sebagai kekuatan birokrasi pemerintahan dan Partai demokrasi Indonesia mewadahi kelompok nasionalis-abangan.
4.      Pendekatan Trikotomi.
Teori ini dikembangkan oleh Allan Samson, Samson melihat karakteritik Islam di Indonesia tidak bisa dilihat secara tunggal. Termasuk kategori “santri’ pun haruslah dilihat sebagai sesuatu yang kompleks, terutama dalam mengekspresikan keagamaan dan kemauan politiknya.[21]
Dalam kenyataannya, kelompok santri di Indonesia (NU, Muhamadiyah dan Masyumi) setidak-tidaknya memilki karakter yang sangat variatif, ada yang fundamentalis, reformis dan akomodatif. Yang dimaksud kelompok-kelompok santri dalam pandangan Samson di antaranya adalah mereka-mereka yang tetap mempertahankan Islam sebagai basis dan norma-norma dalam berpolitiknya. Akan tetapi perbedaan itu terasa akan nampak dalam penyikapan mereka terhadap keinginan, gagasan, ide dan kemauan politiknya terutama ketika menghadapi realitas yang berbeda.. Kenyataan berpolitik mereka tercermin dari karakter masing-masing gerakan dan startegi yang dilakukannya. Secara jelas, warna-warna santri dalam berpolitiknya bisa di kategorikan sebagai berikut:
a.       Fundamentalis. Adalah sekelompok santri yang biasanya ingin menempatkan agama dalam segala aspek kehidupan, termasuk bernegara. Kelompok ini diwakili oleh sejumlah politisi semacam M.Natsir. Mereka pada umumnya tidak bisa melakukan tawar-menawar dalam kehidupan politik. Mereka lebih tegas memegang prinsip dan cita-cita politiknya.
b.      Reformis. Adalah mereka yang ingin menempatkan secara rasional posisi Islam dalam kehidupan politik. Termasuk dalam membangun relasi dan bagi penerapan kepentingan Islam. Mereka juga sebenarnya ingin menempatkan Islam pada posisi strategis di tengah-tengah kekuatan lainnya. Kelompok ini tercermin pada karakter Soekarno dalam membangun kompromi antara agama dan ideologi lainnya.
c.       Akomodisionis adalah kelompok santri juga namun mereka lebih terbuka, sekalipun sepintas nampak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nampaknya, sikap politik dari kelompok ini sebenarnya ada sesuatu yang akan diraih jauh lebih besar dalam merangkul dan mengambil posisi penting lainnya. Sehingga seolah-olah ada sesuatu yang berani mereka korbankan. Kelompok ini lebih tercermin misalnya dalam gaya berpolitik di kalangan orang-orang NU, terutama ketika Soekarno mengusulkan adanya penggabungan kekuatan utama ideologi politik di Indonesia, yakni Nasionalis, agama dan Komunis. Hanya satu-satunya kelompok santri yang bisa menerima ideologi seperti ini. Alasannya adalah, jika semua santri meninggalkan kebijakan ini, siapa lagi yang bisa mengendalikannya.

Kategori Allan Samson ini sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang permanen dalam politik Islam di Indonesia. Mereka para fundamentalis ini bisa jadi menjadi akomodatif dalam hal-hal tertentu. Namun sebagai sebuah tipologi gerakan bisa menunjukkan sesuatu yang permanen, tetapi subjek yang berada di dalamnya bisa saja berubah-ubah.
Istilah-istilah fundamental, reformis dan akomodatif bisa jadi hanya sebagai sebuah metode gerakan dan strategi politik. Bisa jadi juga sebagai lobying atau jalan berfikir bahkan alat negosiasi dalam dunia politik.
5.      Pendekatan Islam Kultural.
Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson.[22] Secara umum orang melihat Islam di Indonesia sebagai sesuatu yang “terkalahkan”. Emmerson menyatakan sebalik-nya. Betulkah Islam terkalahkan? Apa ukuran kekalahannya? Apa betul memang terkalahkan dalam semua aspek?
Dalam pandangannya, Islam justru pada skala kebudayaan memiliki kemenangan yang begitu hebat di Indonesia. Terutama pada periode Orde Baru, sekalipun secara politis Islam memang tertekan, namun dalam pengembangan kebudayaan secara makro justru bisa masuk dalam semua ini. Ketika Islam terpojokkan, ia kemudian mengubah strategi dan kemampuannya dengan membentuk “diversifikasi” yakni melakukan penyebaran kekuatan ke setiap posisi pranata sosial, termasuk ekonomi, pendidikan dan agama serta seni dan kebudayaannya. Sejak tahun 1970-an gerakan kepesantrenan dan kemadrasahan baik yang dilakukan oleh kelompok NU atau Muhammadiyah serta para cendekiawan memasuki pos-pos pemerintahan. Gagasan Nurcholis Majid, “Islam yes, politics no” merupakan titik klimaks dari manufer Islam dalam memasuki berbagai kekutan pranata sosial dan budaya di Indonesia.
Gerakan intelektual seperti munculnya sejumlah buku-buku terjemahan maupun tulisan-tulisan yang kreatif yang bisa membangun persepsi Islam Indonesia lebih hidup dan dinamis bermunculan secara fenomenal. Mizan sebagai pelopor gerakan penerbitan buku-buku seri cendikia muslim, hampir selalu menaikkan oplah cetaknya, karena permintaan pasar pembacanya, termasuk juga bermunculannya berbagai jenis diskusi yang dilakukan para kaum muda di selauruh perguruan tinggi Islam. Ini terjadi terutama pada tahun-tahun akhir 1980-an, misalnya dengan masuknya K.H. Qosim Nurzeha dan Prof. Dr. Quraish Shihab sebagai guru ngaji keluarga Soeharto, kyai mulai aktif di berbagai kepentingan pemerintahan (program KB,  Puskesmas, transmigrasi dan pembangunan sosial lainnya). Kelanjutan dari ini, akhirnya para ulama ditarik untuk masuk pada kekuatan politik pemerintah, Golkar. Pada periode ini berbagai forum ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Pada akhirnya, Islam diajak kembali dalam dunia politik praktis.
Akhirnya Soeharto sebagai penguasa tunggal sangat dekat dengan Islam, bahkan Ia ikut membidani lahirnya Bank Mua’amalat yang berlandaskan syari’at Islam, ICM, ia seolah merestui sejumlah “ABRI Hijau” yang berkarakter santri dan sebagainya. Terakhir ia menunjuk BJ. Habibi (simbol kelompok cendekiawan muslim atau santri) selaku wakilnya untuk menjadi presiden, menggantikan dia karena berbagai desakan reformasi. Semua fenomena ini menunjukkan secara alamiyah Islam telah menunjukkan kemengannya dalam realitas politik, sosial dan budaya.
Kelima teori/pendekatan di atas nampaknya belum bisa memberikan jawabannya secara utuh. Namun secara sosiologis dan psikologis, situasi sekarang ini nampaknya sebagai bentuk respon yang “tentatif” akibat dari situasi sebelumnya, dimana pengaruh Orde Baru yang begitu kuat, tegas dan refressif serta dominan dalam memegang kekuasaan di semua ini, tiba-tiba dikejutkan oleh arus reformasi yang mendobraknya secara radikal. Sehingga, sebenarnya reformasi tahun 1987-an itu kurang tepat untuk disebut “reformasi,” tapi lebih tepat sebagai suatu bentuk revolusi sosial dan politik yang sangat “fundamental”. Sehingga semua kelompok sosial yang terpingirkan, merasa mendapat angin segar untuk bisa bebas bersuara dan mencoba mengekspresikannnya dalam jalur-jalur dan potensi yang dimilikinya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

            Berdasarkan paparan tersebut, dapat dikemukakan catatan analisis sebagai penutup sebagai berikut:
1.      Baik secara normatif (berdasarkan al Quran dan al Sunah) maupun secar historis (praktik kehidupan dalam sejarah) Islam memiliki perhatian yang besar terhadap masalah politik. Perhatian ini ditujukan dalam rangka menciptakan keadaan masyarakat yang aman, tertib, damai, harmonis, dan sejahtera lahir dan batin
2.      Fakta sejarah, membuktikan dengan jelas bahwa Islam tidak menganut system ketatanegaraan tertentu. Islam sama sekali tidak mempersoalkan bentuk atau system ketatanegaraan tersebut, Hal yang demikian ditempuh, karena jika Islam menetapkan system ketatanegaraan tertentu, dan system tersebut tidak cocok bagi masyarakat Islam di suatu negara tertentu, maka berarti Islam telah mempersulit umatnya. Keadaan ini tidak ditempuh oleh Islam, karena tidak sejalan dengan prinsip Islam yang fleksibel, sesuai dengan zaman dan tempat, tidak menyusahkan orang dan seterusnya sebagaimana telah tampak jelas dalam karakteristik ajaran Islam.
3.      Beberapa pendekatan-pendekatan politik dalam study islam diantaranya : Pendekatan Dekonfessionalisasi, pendekatan Domestikasi Islam, pendekatan skismatik aliran, Pendekatan Trikotomi, dan Pendekatan Islam Kultural.

DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, 2011, Studi Islam Komprehensif, Jakarta Kencana.
Departemen Agama Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, 1977, Al Quran dan Terjemahannya, Jakarta, PT Bumi Restu.
Abudin Nata, 2011, Metodologi Studi Islam, Jakarta, Rajawali Pers.
Inu Kencana Syafiie, 2009, Pengantar Ilmu Politik,, Bandung: Pustaka Reka Cipta,.
Muhammad Dhiauddin Rais, 2001, Teori  Politik  Islam, Terj. Jakarta, Gema Insani Press
Kuntowijoyo, 1997. Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan.
Harun Nasution, 1979, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press.

Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press, 1973), hal 116-142. Dan lihat pula Allan Samson, “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed),  Political Power and Communications in Indonesia, (Berkeley, University of California Press, 1978), hal 196-226

Muhammad Iqbal, 2001, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta, Penerbit Gaya Media Pratama.
Al Hamid Al Husaini, 2000, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul, Bandung, Pustaka Hidayah,

C.A.O.Van Nieuwenhuijze “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958) hal. 180-243, dan lihat pula C.A.O.Van Nieuwenhuijze, Islam and National Self-Realization” dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton and Co,1963), hal. 136-156.
Harry J. Benda , 1985, “The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”, Terjemahan Daniel Dekhade ,Jakarta, Pustaka Jaya. Dan llihat pula karya lainnya yang berjudul “Continuity and Change in Indonesia Islam” Asian and African Studies, Vol.1, 1965

Dr. Bahtiar Effendi, 1998, Islam dan Negara, Bandung, Mizan,

Clifford Geertz, 1989, The Religion of Java – Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, Jakarta, Pustaka Jaya.

Donald K. Emmerson, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al), Change and the Muslim World, (Syracuse University Press, 1981), hal  159-168. Dan lihat pula Donald K. Emmerson “Islam and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.


[1] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif,edisi I cet I, (Jakarta :Kencana, 2011) hlm. 447
[2] Departemen Agama Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Quran, Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Bumi Restu 1977) hlm. 508 

[3] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, Op cit., hlm. 448
[4] Abudin Nata, Metodologi Studi Islam , ed. rev. (Jakarta,:Rajawali Pers, 2011)Cet. ke 18, hlm.150.
[5] Inu Kencana Syafiie,Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2009) cet. I, hlm.57.
[6]  Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Op cit, hlm 316 – 317

[7] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori  Politik  Islam, Terj. (Jakarta: Gema Insani Press,2001), cet. I, hlm. 4

[8] Kuntowijoyo,Identitas Politik Umat Islam,(Bandung:Mizan,1997),Cet I,hlm. 27.
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:UI Press,1979), cet I, hlm. 92.
[11] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama,2001), Cet. I, hlm. vii.

[12] Al Hamid Al Husaini, Membangun Peradaban: Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Rasul,(Bandung: Pustaka Hidayah,2000), cet. I, hlm. 972.

[13] Abudin Nata, Metodologi Studi….,hlm.319.
[14] Muhammad Dhiauddin Rais, Teori  Politik ….,hlm.37.
[15] Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif…, Op cit., hlm. 454 - 455
[16] Ibid., hlm.455-456.
[17] C.A.O.Van Nieuwenhuijze “The Indonesian State and Deconfessionalized Muslim Concepts” dalam Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia”, (The Hague and Bandung W van Hoeve,1958) hlm. 180-243, dan lihat pula C.A.O.Van Nieuwenhuijze, Islam and National Self-Realization” dalam “Cross-Cultural studies”, (The Hague, Monton and Co,1963), hlm. 136-156.

[18] Harry J. Benda , “The Crescent and The Rising Sun; Indonesian Islam Under The Japanese Occuption 1942-1945”, Terjemahan Daniel Dekhade (Jakarta, Pustaka Jaya, 1985) Cet. II, hlm.  Dan llihat pula karya lainnya yang berjudul “Continuity and Change in Indonesia Islam” (Asian and African Studies, Vol.1, 1965), hlm 123-138
[19] Dr. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, (Bandung, Mizan, 1998) hlm. 30
[20] Clifford Geertz, The Religion of Java – Abangan, Santri dan Priyayi”, (Terj) Aswab Mahasin, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1989), Cet. II, hlm 3-9
[21] Participation in Moedrn Indonesia, (New Haven Yale University Press, 1973), hlm 116-142. Dan lihat pula Allan Samson, “Conceptions of Politics, Power and Ideologi in Contemporary Indonesia” dalam Karl D. Jackson (ed),  Political Power and Communications in Indonesia, (Berkeley, University of California Press, 1978), hlm 196-226
[22] Donald K. Emmerson, “Islam in Modern Indonesia; Political Impasse, Cultural Opportunity” dalam Phillip H Stoddard (et.al), Change and the Muslim World, (Syracuse University Press, 1981), hlm  159-168. Dan lihat pula Donald K. Emmerson “Islam and Regime in Indonesia; Who ‘s Coopting Whom? Makalah dalam pertemuan tahunan Ahli-ahli politik Amerika, 31 Agustus 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar