Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN DARI HERMENEUTIKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan sekaligus menjadi penjelasan atas fungsi utamanya. Fungsi tersebut ditunjukkan juga oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Quran.Agar fungsi tersebut dapat direalisasikan, maka tidak boleh tidak Al-Quran tersebut harus dipahami oleh umat manusia. Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan Al-Quran tersebut, yang salah satunya adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Upaya ini telah dimulai oleh Rasulullah saw sendiri, sebagai mufassir pertama dan utama dan dilanjutkan oleh para mufassir pelanjutnya.
Pada saat turunnya Al-Quran memiliki latar belakang sejarah. Sehingga teks-teks Al-Quran pun memuat doktrin-doktrin yang menyejarah. Oleh karena itu, menafsirkan Al-Quran secara tekstual tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarahnya menjadi persoalan tersendiri. Tetapi, memahami latar belakang sejarah kewahyuan Al-Quran juga merupakan sesuatu persoalan yang tidak mudah dicari solusinya. Keterjebakan kita pada pemahaman normatif akan menjadikan diri kita terkungkung dalam wilayah teks-grafis Al-Quran, sementara pemahaman historis yang tidak cerdas pun akan membawa ke arah penafsiran yang meluas ke arah pemahaman yang liberal keluar dari makna tekstualnya, yang boleh jadi di satu pihak akan dapat menemukan makna-makna kontekstual, tetapi di lain pihak akan dapat menyimpangkan makna-makna tekstualnya yang lebih bersifat universal. Oleh karena itu, diperlukan pemanfaatan dialektis terhadap kedua kemungkinan tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan kemanusiaan juga berkembang semakin kompleks, mulai dari persoalan genetika, eksplorasi ruang angkasa, pendidikan, hubungan antar agama, persoalan gender, HAM, dan lain sebagainya, dimana hampir tidak ada lagi sekat-sekat yang antara manusia karena  teknologi telah membuat semua orang diseluruh dunia berinteraksi dengan mudahnya. Pesatnya perkembangan zaman ini membuat ilmu-ilmu keIslaman mau tidak mau harus segera berbenah dan mengikuti arus zaman, dan tanpa terkecuali ilmu tafsir.
Di samping itu juga, perbedaan terjadi di kalangan intelektual muslim dalam mengungkap, memahami dan menafsirkan teks-teks Al-Qur’an yang tidak jarang menimbulkan claim kebenaran (truth claim) terhadap masing-masing kelompok. Sebagian kelompok mengclaim bahwa penafsiran kelompoknya yang paling benar, begitu pula pada kelompok lainnya sehingga persoalan ini menyebabkan konflik antara beberapa kelompok yang memiliki penafsiran berbeda-beda terhadap makna yang terkandung dalam teks-teks Al-Qur’an.
Perbedaan penafsiran tersebut merupakan salah satu faktor kemunculan beberapa metodologi atau disiplin keilmuan mengenai cara menafsirkan dan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih memiliki makna global. Terdapat bermacam-macam cara atau metode untuk mengungkap dan memahami makna dan kandungan Al-Qur’an, baik dari metode tradisional atau klasik hingga muncul metode modern. Metode penafsiran klasik tersebut, lebih dikenal dengan tafsir Al-Qur’an dan takwil, sementara metode modern yang muncul belakangan ini adalah metode penafisiran hermeneutik.
Hermeneutika sebagai sebuah metodologi dalam tafsir al-Qur’an dirasa cukup penting dan mendesak untuk dilakukan karena hermeneutika tidak hanya berbicara dalam tataran teks semata melainkan juga mempertimbangkan konteks serta peran subyektifitas seorang penafsir, sehingga tafsir atau kajian terhadap al-Qur’an menjadi kontekstual dan bisa menjawab tantangan zaman.
Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk menguraikan tentang segala hal yang terkait dengan pendekatan tersebut. Hal ini untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan holistik mengenai cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar, sehingga mampu meminimalisir persoalan perbedaan pendapat tentang kebenaran penafsiran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna dari hermeneutika?
2.      Bagaimana sejarah munculnya hermeneutika?
3.      Bagaimana pendekatan dari hermeneutika?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui makna dari hermeneutika
2.      Untuk mengetahui sejarah munculnya hermeneutika
3.      Untuk mengetahui pendekatan dari hermeneutika

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hermeneutika
1.      Makna Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.[1] Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di dalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneias (Tentang penafsiran). Istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan Dewata yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.[2]
Menurut Gerhard Ebeling, proses penerjemahan yang dilakukan Hermes tersebut mengandung tiga makna hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya masih terdapat dalam pikiran melalui kata-kata (utterance, speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan (translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dkuasai dan mudah dipahami oleh pembaca.[3]
Tiga pengertian mengenai hermeneutika di atas, kemudian dirangkum dalam pengertian “menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini karena segala hal yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya mengandung proses “memberi pemahaman” atau, dengan kata lain ”menafsirkannya”.
Dengan kata lain, studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariyat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
Ketika dipindah kedalam ranah teologi seperti kondisi waktu itu, maka ditemukan bahwa bahasa  wahyu ketuhanan yang tidak jelas sangat membutuhkan penjelasan tentang hal itu, begitu juga agar dapat menstransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer”.[4]
Dengan demikian, hermeneutika menjadi tampak dalam peradaban kuno sebagai penafsiran alam yang dianggap sebagai kalimat dewa yang masih samar dari satu sisi, dan sebagai penafsiran tentang teks-teks mitologi dari sisi yang lain. Juga merupakan penafsiran tentang proses penciptaan sebagai bentuk dari penerjemahan terhadap wahyu ketuhanan dari sisi yang lain.[5]

2.      Fungsi Hermeneutik
Sebagai teknik untuk memperoleh pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.       Membantu mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
b.      Membantu mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengansituasi atau lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
c.       Memberi arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks  hukum dapat dilakukan secara hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam[6].

B.  Sejarah Hermeneutika[7]
1.    Kemunculan Hermeneutika: Dari Tradisi Teologi Kristen
Penulis entri "heremeneutika" pada Ensklopedia Britanica edisi 15 yang terbit tahun 1985 M menyatakan, "Hermeneutika adalah kajian tentang kaidah-kaidah umum untuk menafsirkan Bibel, dan tujuan utama dari hermeneutika dan metode-metode takwil Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan nilai dari Bibel.
Berangkat dari teks ini, yang hampir saja menjadi pijakan kuat untuk mengatakan bahwa kemunculan hermeneutika di Barat berhubungan secara mendasar dengan problem yang dihadapi umat Kristiani dalam memahami kitab sucinya. Saya katakan bahwa tidak ada peneliti yang berbeda mengenai setting teologis kemunculan hermeneutika atau seni menakwil ini. Konsep ini lahir dari rahim teologi Kristen di dalam tembok gereja, khususnya jika kita mengetahui kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka yang berusaha memberikan penafsiran terhadap Injil, yang berbeda dari mainstream yang secara resmi dianut kaum pendeta (Clergy).
Masyarakat Kristen sejak lama diterpa problem hermeneutis seperti berikut.
a.    Penetapan Injil-Injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam bentuk korpus tertulis.
b.    Terbentuknya sekumpulan syariat langit dan pada waktu yang sama menjelaskan hubungan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
c.    Membentuk doktrin-doktrin primer dengan bantuan pe­mahaman-pemahaman filsafat Yunani kuno.
Semua ragam ini memiliki karakteristik hermeneutis seperti ceramah misionaris dan pengajaran Kristen serta pengungkapan­-pengungkapan lain yang hidup dari teologi gereja.
Sejumlah peneliti hermeneutika memberikan sinyal bahwa pemahaman teks keagamaan Kristen pada dasarnya adalah yang menyebabkan tumbuhnya hermeneutik atau ilmu takwil. Motif jenjang kebahasaan yang jauh dan makna kalimat dalam asli peletakannya dan makna yang dituju pada masa dahulu, begitu juga keyakinan adanya makna yang samar di balik makna yang sekilas dan tampak jelas, telah menimbulkan krisis kepercayaan pada tafsir monolitik. Hingga suatu saat Martin Luther (1483-1546 M) tampil menyerukan kebebasan dalam membaca Bibel, dan tidak hanya mengukuhkan diri pada hasil pembacaan tunggal. Ia kemudian membuka pintu menyambut hermeneutika dan mengembangkan pemahamannya. Dari ranah teologi, hermeneutika lalu merambah bidang yang lebih luas lagi mencakup semua ilmu humaniora, termasuk di dalamnya adalah sastra.
b.    Sejarah Hermeneutika dari Filsafat Klasik Hingga Zaman Modern
Kisahnya cukup panjang. Teks berawal bersama Yunani kuno berupa kode-kode simbolik. Kemudian hermeneutika pindah ke tangan orang-orang lbrani (Yahudi) dan Philon of Alexandria memiliki peran penting yang menggabungkan antara aliran simbolis dan filsafat Yunani. Talmud mengandung penjelasan-penjelasan Perjanjian Lama yang terbentuk dalam waktu 8 abad antara abad ke-2 SM hingga abad ke-6 M sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahli kitab dan takwil. Mereka serius membuat kaidah-­kaidah untuk penakwilan sehingga tampaklah di antara mereka kaum literalis seperti Shaduqiin dan Qara'in, tetapi tafsir simbolis tetap paling digandrungi khususnya di kalangan Qabbalah.
Kemudian hermeneutika berhasil merasuki gereja Kristen dengan menyebarnya dominasi metode Alegorikal Simbolis. Namun, para Paus telah meletakkan kaidah dalam memahami kaidah-kaidah Bibel dan menakwilkannya yang dikenal dengan kaidah Augustinian.
Kemudian datanglah zaman modern dan akal manusia mulai beringsut dari kekangannya. Para pemikir juga mulai berani me­munculkan teks Bibel terhadap metode historisitas dan analisis linguistik yang liberal selama abad ke-17 clan ke-18. Filsafat pen­cerahan (enlightenment) memiliki pengaruh besar yang hampir saja menyentuh kesakralan teks dan substansi-substansinya, se­bagaimana juga ketika gerakan penghidupan tradisi keilmuan Yunani yang dimulai sebelumnya, memiliki pengaruh sama. Gerakan ini memiliki metode yang berlanjut terutama dalam masalah verifikasi teks dan takwilnya.
Pada abad ke-19 dan ke-20, hermeneutika berkembang. Dan karena yang dominan adalah jiwa kemerdekaan pada diri para pemikir Barat pada waktu itu, maka di satu sisi sebagian mereka ada yang terlalu berlebihan sehingga mereka terjebak memasuki Deisme dan mengingkari segala sesuatu yang religi dan sakral. Hermeneutika modern lahir dalam pangkuan filsafat rasionalisme dan pencerahan serta humanisme.
Dari keterangan yang lalu, menjadi jelaslah bagaimana hermeneutika muncul dan berkembang di alam pemikiran Barat serta berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang karena memenuhi tuntutan yang benar-benar ada di dalam peta peinikiran itu. Adapun yang paling penting adalah tuntutan­-tuntutan memahami teks Bibel dan menakwilkannya, beserta kesulitan-kesulitan yang ada pada waktu itu yang sebagiannya kembali pada karakter tema dan masalah-masalah verifikasi serta pemahaman, sebagian yang lain disebabkan oleh sikap otoriter Gereja dalam pelbagai pandangan keagamaan. Tidak seorang pun bisa mengklaim bahwa metode-metode yang lama dapat diterapkan untuk objek-objek kajian yang berbeda dan dan dalam kondisi yang berbeda hanya karena ingin meniru dan kemudian menjadikan hermeneutika sebagai proyek seperti yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita.

C.  Pendekatan Hermeneutika
  1. Bahasa Sebagai Pusat Kajian
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam.[8]
Persoalan penafsiran nash-nash keagamaan (al-Qur’an dan hadis) ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik muncul.
Objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding.[9]
Pentingnya keberadaan bahasa bagi kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa bahasa. Menurut Gadamer, bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, malainkan sesuatu yang memiliki ketertujuan didalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau ungkapan tidak pernah tidak bermakna. Kata atau ungkapan selalu mempunyai tujuan (telos). Tanpa kita sadari seringkali kita menghirup berbagai macam bahasa seperti; bahasa puisi, hukum, dsb. Di sinilah letak perbedaan antara pemakaian bahasa sebagai bahasa ibu dengan seorang yang berusaha untuk dapat berebicara dengan bahasa yang sama.[10]
Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Oleh karena itu menurut Gademer memahami itu artinya memahami melalui bahasa.[11] Dengan begitu tampaknya “bahasa” memiliki realitas obyektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh author (pengarang) maupun oleh pembaca (reader). Ketika seorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi, dialog untuk menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun kulturan. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca secara sepihak. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Ijtihad sebenarnya terkandung arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiganya elemen pelaku tersebut.[12]

  1. Langkah Paradigmatis dan Metotologis
Pemakaian istilah hermeneutika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang baru dan tidak terbiasa dalam kesarjanaan tradisional. Tidak adanya istilah yang definitif bagi hermeneutika dalam disiplin Islam klasik dan tidak digunakannya dalam skala yang berarti dalam kajian al-Qur’an tidak berarti bahwa paham hermeneutika yang definitive atau pemberlakuaanya dalam kajian al-Qur’an yang tradisional atau disiplin yang lainnya itu tidak ada.[13] Dalam tradisi pemikiran Islam, intensitas perbincangan mengenai problem hermeneutika dalam Islam tidak se-semarak dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Kenyataan ini khususnya berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada masa itu pemahaman dan pengalaman agama atas dasar pijakan hermeneutika belum sepenuhnya di kenal.
Setidaknya ada dua factor utama yang menyebabkan keringnya diskursus hermeneutis dalam pemikiran Islam klasik, khususnya periode Nabi dan Sahabat. Pertama factor otoritas Nabi. Pada masa nabi dan Sahabat, persoalan penafsiran al-Qur’an sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam, posisi ini Muhammad tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud al-Qur’an, namun ia berfungsi sabagai penafsir otoritatif dengan al-hadis sebagai bentuk formalnya. Kedua; factor kesadaran umat Islam saat itu yang masih kental dengan argument-argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Mereka mempercayai sakralitas al-Qur’an yang secara literal berasal dari Allah dank arena itu membacanya merupakan ibadah. Implikasinya penafsiran literal terhadap ayat­ayat al-Qur’an merupakan langkah popular yang dilakukan umat Islam dalam memahami kandungan al-Qur’an dan mereka memerlukan perangkat metodologis hermeneutika dalam memahami al-Qur’an.[14]
Adalah Hasan Hanafi-lah yang pertama kali memperkenalkan Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang berjudul: “Les Methodes d’Exeges, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh” pada tahun 1965.[15] Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri, tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide cara baca semiotik terhadap Al-Qur’an. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik terhadap Al-Qur’an, dan kemudian dikenal sebagai “double movement”.
Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang profesor di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang dikenal cukup gigih dan rajin memperjuangkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku Hermeneutika Al-Qur’an, antara lain “Hermeneutika Pembebasan”, “Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema Kontroversial”, dan “ Hermeneutika Al-Qur’an, mazhab Yogya”. Ia menyatakan bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada dunia Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi metode tafsir klasik.
Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan Hermeneutika yang identik dengan konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1) penafsir yang manusiawi, yang membawa “muatan-muatan” kemanusiaan masing-masing, dan pada akhirnya memproduksi komentar-komentar subjektif terhadap penafsirannya, 2) penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa, budaya dan tradisi, dan 3) teks yang bernuansa sosio-historis, sehingga tidak lagi “unik”. Dapat disimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat dinilai merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni Gadamerian.Yang terbagi dalam tiga titik pusat dalam hermeneutika Gadamer, yakni pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader).[16] Ketiga horizon inilah yang nantinya akan di gunakan untuk berdialog sehingga dapat memahami (menafsirkan) sebuah teks;
a.    Horizon Teks
Abu Zaid[17] mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar Sejarah peradaban arab Islam adalah sejarah peradaban teks (Khadarat al-nash) artinya, itu merupakan peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks.
Oleh karena itu dalam pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas seperti menulis, membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga dengan al-Qur’an, bahasa (teks) menjadi salah satu factor penting dalam memahami al-Qur’an maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Qur’an maupun sendiri menggunakan bahasa arab sebagai alat komunikasi yang di pakainya. Menyadari pentingnya teks ini, maka langkah pertama dalam menafsirkan al-Qur’an adalah memahami teksnya yang berbahasa arab. Dengan memahami bahasa arab, seorang penafsir akan memiliki bekal awal untuk memahami makna, hikmah maupun hokum al-Qur’an secara tepat. Oleh karena itu dari sudut teks ini terdapat tiga aspek yang harus di pahami, yakni; pertama, dalam teks maksudnya, ide dan maksud teks tersebut lepas dari pengarang.Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil kristalisasi linguistik dari realitas yang mengitarinya.Ketiga, di depan teks, makna baru yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya untuk memahami teks tersebut.

b.    Horizon Pengarang
Ketika pengarang (Author) al-Qur’an adalah Tuhan yang transenden dan ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw. Yang diyakini umat Islam sebagai penafsir otoritatif atas al-Qur’an. Relasi Muhammad dan al-Qur’an dengan relasi historis ini dapat dilihat beberapa hal berikut. Pertama tema- tema yang diusung al-Qur’an seperti doktrin monoteisme, keadilan social, ekonomi, merupakan bagian pengalaman religious Muhammad yang orisinil.Kedua reformasi yang dilakukan nabi selalu dimulai dengan mempersiapkan dahulu landasan yang kuat sebelum memperkenalkan suatu tindakan atau perubahan yang besar. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, Nabi belum memiliki kekuasaan untuk bertindak dalam sector legislasi umum. Setelah tinggal di Madinah dan memiliki wewenang administrasi dan politik nabi baru membuat hokum-hukum.Ketiga a al-Qur’an selalu mempunyai konteks social (asbab al-nuzul). Karena Muhammad hidup dan berinteraksi dengan masyarkat Arab, maka menjadi keharusan bagi penafsir yang ingin memahami al-Qur’an untuk memahami pula dimensi historis-sosiologis yang menyertai masyarakat arab itu. Dengan demikian, untuk menangkap makna al-Qur’an secara komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad yang merupakan penjabaran al-Qur’an pada tingkat actual harus dipahami secara utuh. Dari narasi tersebut ada proses terciptanya sebuah teks; a) tahapan pengalaman atau gagasan yang belum termasukkan (Prafigurasi), b) ketika author mulai menciptakan gagasannya (konfigurasi), c) tahap teks yang sudah di ciptakan dan di tafsiri banyak orang (Transfigurasi).

c.    Horizon Pembaca
Selain situasi sosial pada masa Nabi, situasi sosial masyarakat kontemporer yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Qur’an dalam kasus actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang membentuk situasi masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang lain, lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian menentukan prioritas-prioritas baru untuk biasa menerapkan al-Quran secara baru pula.
Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah sangat berbeda di bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman Nabi, lebih-lebih setelah arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki dunia Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa benua yang terdiri dari berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Perubahan politik ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang lain. Perkembangan modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung tema-tema seperti demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi styledan pola piker masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam sendiri terjadi transformasi social, baik dalam aspek social, budaya, ekonomi maupun system nilai. Dari contoh tersebut dapat dipahamiada oleh penafsir untuk memahami teks, yakni; pre-understanding, explanation dan understanding.[18]
Khaled berulangkali menjelaskan bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah merupakan tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan (corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat penaf sir) yang ada disekitarnya.Jadi pada hermeneutika menempatkan teks sebagai obyek kajiannya 2) menjadikan teks sebagai bahan perantara untuk mendapatkan makna yang sebenarnya dibalik teks. 3) mempertimbangkan faktor-faktor yang ada diluar teks sebagai unsur yang memegang peran penting dalam menafsirkan sebuah teks.[19]





*BAGAN HERMENEUTIKA








Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks Dalam perkembangannya, banyak para pembaca teks (penafsir) terjebak dalam lingkaran author. Sikap ini nampak ketika dalam diri mereka ada klaim­klaim kebenaran (truth claim) dan menafikan pembaca/pembacaan teks yang lain. Menurut Khaled, sikap tersebut disebut authoritarianisme.[20]
Paling tidak hermeneutika dapat dipilih dalam tiga katagori: sabagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori. Pertama Hermeneutika Teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiaanya pada problem “pemahaman” yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki teks. Oleh karena itu tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, makna hermeneutika model ini dianggap juga hermeneutika romantic yang bertujuan untuk “merekonstruksi makna”. Kedua filsafat., hermeneutika tumbuh sebagai aliran pemikiran yang menempati lahan-lahan strategis dalam diskursus filsafat. Problem utamanya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Hermeneutika ini di gagas oleh Gadamer, menurut Gadamer hermeneutika berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Ketiga kritik, hermeneutika memberi reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbangan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi. Ini dimotori oleh Habermas. Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di teori interpretasi; bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah bahwa sebagai pembaca, orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga diperlukan hermeneutika.
Khaled menggambarkan bagaimana proses seorang pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini, ketika pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan ekslusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teks tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak



tersentuh, melangit dan otoriter. Bagan di atas menjadi seperti ini.
Sang Author (awalnya reader/pembaca teks) menafikan penafsir/reader lain. Bila muncul reader-reader yang lain, maka terjadilah perdebatan hingga sikap-sikap otoriter, seperti: halal darahnya, murtad, kafir, wajib dibunuh, diusir dan lain-lain. Pada zaman sekarang, readers baru biasanya diwakili oleh para peneliti, akademisi, dosen, mahasiswa, ulama, para aktivis muslim yang mencoba memaknai teks dengan pemahaman yang baru. Contohnya; Khaled M. Abuo al-Fadl, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Essac, Nasr Hamid, Al-Jabiri, Hasan Hanafi, Amina Wadud, Fatima Mernisi, Laila Ahmad, dan lain-lain. Di Indonesia, ada Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholis Majid, Amin Abdullah, JIL, Ahmadiyah, Syi’ah, dan lain-lain.[21]

D. Pro Kontra Terhadap Hermeneutika
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan hermeneutika dalam kajian al-Qur’an menjadi kontroversial dikalangan umat muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan muslim menerima dan menolak hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan muslim yang menolak hermeneutika sebagai salah satu teori dan metode penafsiran dalam al-Qur’an, diantaranya adalah:
  1. Berangkat dari sejarah hermeneutika yang berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap sebagai sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini menemukan relevansinya dalam kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik bagi kalangan muslim, karena ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan pertentangan yang cukup tajam di dalam teks  dapat didamaikan dengan hermeneutik. Bagi penolak hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah karena diyakini sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi dan bukan perkataan Muhammad.
  2. Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas al-Quran.
  3. Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua faktor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian faktor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
  4. Tafsir dianggap lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Sementara itu bible dianggap bermasalah dengan persoalan otentisitas, sehingga penggunaan hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi kemudian ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.

Keempat hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim menolak hermeneutika secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir al-Qur’an. Ada ketakutan akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an ditafsirkan secara hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai metode-metode tafsir yang telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama terdahulu, tanpa bersusah payah membuat metode baru. Disini metode tafsir al-Qur’an yang sudah ada dianggap sudah final dan tidak perlu dikembangkan. Istilah hermeneutik sendiri juga dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam kamus arab atau Islam terutama bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga apapun yang berbau barat akan ditolak secara mentah-mentah.
Bagi kalangan yang pro terhadap hermeneutik, mereka melihat hermeneutik sebagai jawaban atas keterpurukan umat muslim karena persoalan dan kemunduran yang terjadi dalam masyarakat muslim saat ini persoalan terhadap penafsiran baik terhadap al-Qur’an maupun hadis. Sehingga diperlukan perangkat-perangkat dan metode-metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu saja hermeneutika tidak akan merubah al-Qur’an atau mendesakralisasi al-Qur’an tetapi justru hal ini akan membawa penyegaran dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga al-Qur’an menjadi lebih kontekstual dan bermakna dalam setiap zaman.
Istilah hermeneutika memang tidak dikenal dalam sejarah keilmuan Islam, tetapi sebenarnya praktek hermeneutika telah dilakukan oleh kalangan muslim sejak lama. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Farid Esack dalam bukunya Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralism, dimana hal itu dibuktikan, pertama, problematika hermeneutik senantiasa dikaji dan dialami meski tidak dihadapi secara tematis, seperti kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasikh mansukh. Kedua, perbedaan antara tafsiran aktual dengan aturan, metode, atau teori interpretasi yang mengaturnya, sudah ada dalam literatur awal tafsir. Ini disistematisasikan dalam prinsip-prinsio tafsir dan ketiga, tafsir tradisional telah di kategorisasi. Beberapa kategori seperti syi’ah, mu’tazilah, ‘Asy’ariyah, dan sebagainya menunjukkan afiliasi ideology, periode, dan aspek historis si penafsir
Namun demikian, meskipun dalam tradisi Islam telah mempraktekkan hermeneutik, tetapi sedikit sekali karya tafsir yang bersifat historis-kritis tentang hubungan antara aspek sosial si penafsir dengan tafsirannya, serta tentang asumsi-asumsi sosiopolitis dan filosofis eksplisit dan implisit yang mendasari kecenderungan teologisnya, hal-hal yang merupakan fokus utama dalam hermeneutika kontemporer[22].
Apa yang telah dijelaskan oleh Farid Esack ini sebenarnya adalah merupakan bantahan bahwa tradisi hermeneutik adalah bukanlah semata-mata merupakan produk keilmuan barat. Meski dalam kenyataanya memang demikian tetapi sebenarnya dalam Islampun akar-akar hermeneutik bukanlah sesuatu yang asing sama sekali karena memang bisa di dapatkan dalam tradisi Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Sehingga penolakan terhadap hermeneutik yang hanya mendasarkan bahwa hermeneutik merupakan metode asing yang coba dipaksakan di dalam kajian al-Qur’an dianggap terlalu berlebihan.
Lebih lanjut ketakutan para penolak hermeneutik yang menganggap penggunaannya akan menyamakan al-Qur’an dengan teks-teks yang lain termasuk kitab suci agama lain tidak perlu terjadi. Hal ini karena setiap umat beragama memiliki hermeneutika sendiri sebagaimana masing-masing memiliki kitab sucinya sendiri. Sehingga ada hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika bible, hermeneutika Upanishad, yang memiliki kekhasan masing-masing yang tidak dimiliki oleh lainnya.
Diantara yang berpengaruh dalam penentuan perbedaan antara masing-masing hermeneutika kitab suci adalah hakekat teks atau kitab suci itu sendiri, baik secara historis, teologis, dan linguistik. Dari sini kemudian kitab seci sebagai obyek penafsiran sangatlah menentukan metodologi penafsiran yang dipergunakan. Meskipun metodologi ini ditentukan juga oleh subyek yang menafsirkan tetapi cara pandang subyek terhadap obyek (penafsir terhadap kitab suci), akan sangat berpengaruh terhadap hermeneutika yang diterapkannya. Disinilah kemudian hermeneutika al-Qur’an jelas tidak akan sama dengan hermeneutika bible ataupun hermeneutika teks yang lain, karena al-Qur’an dipandang sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad untuk semua manusia di segala zaman dan bukan hanya eksklusif bagi zaman Muhammad. Al-Qur’an yang ada sekarang ini juga diyakini sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi.  Selain itu bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an yakni bahasa Arab dimana penerjemahannya kedalam bahasa lain tetap tidak akan mendapatkan status yang sama dengan al-Qur’an. Hal-hal yang telah disebutkan tersebut tentunya akan membawa hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan hermeneutika teks yang lain












BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori penafsiran teks (nazariyat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
Kemunculan Hermeneutika dari tradisi teologi Kristen berangkat dari teks ini, yang hampir saja menjadi pijakan kuat untuk mengatakan bahwa kemunculan hermeneutika di Barat berhubungan secara mendasar dengan problem yang dihadapi umat Kristiani dalam memahami kitab sucinya.
Hermeneutika muncul dan berkembang di alam pemikiran Barat serta berkembang sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang karena memenuhi tuntutan yang benar-benar ada di dalam peta peinikiran itu. Adapun yang paling penting adalah tuntutan­-tuntutan memahami teks Bibel dan menakwilkannya, beserta kesulitan-kesulitan yang ada pada waktu itu yang sebagiannya kembali pada karakter tema dan masalah-masalah verifikasi serta pemahaman, sebagian yang lain disebabkan oleh sikap otoriter Gereja dalam pelbagai pandangan keagamaan.
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks Dalam perkembangannya, banyak para pembaca teks (penafsir) terjebak dalam lingkaran author. Sikap ini nampak ketika dalam diri mereka ada klaim­klaim kebenaran (truth claim) dan menafikan pembaca/pembacaan teks yang lain. Menurut Khaled, sikap tersebut disebut authoritarianism.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Afandi, Abdullah Khozin. 2007. Hermeneutika. Surabaya: Alpha
Esack, Farid. 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung : Mizan
Latief, Hilman. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, Jogjakarta: elSAQpress
Mamdoh. 2013. Pendekatan Hermeneutika. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
Raharjo, Mudjia. 2012 Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Saenong, Ilham B. 2002. Hermeneutika Pembebasan, Jakarta: Teraju
Salim, Fahmi. 2010. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif
Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
Supena, Ilyas. 2008. Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press


[1] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), Hlm. 23
[2] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid Kritik Teks Keagamaan, (Jogjakarta: elSAQpress, 2003), Hlm. 71
[3] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), Hlm. 24
[4] Fahmi Salim. Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. (Jakarta: Perspektif, 2010). Hlm. 51
[5] Ibid. Fahmi Salim. Hlm. 52
[6] Abdullah Khozin Afandi, Hermeneutika. (Surabaya: Alpha, 2007 ). Hlm. 4-5
[7] Opcit. Fahmi Salim. Hlm. 124-136
[8] M. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 272-273
[9] Mudjia Raharjo. Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian. (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm. 33
[10] Sumaryono. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1999). Hlm. 27
[11] Opcit. Mudjia Raharjo. Hlm. 35
[12] M. Amin Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 272-273
[13] Mamdoh. Pendekatan Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[14] Ilyas Supena. Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2008). Hlm. 29-30
[15] Opcit. Mamdoh.
[16] Mamdoh. Pendekatan Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[17] Ibid. Mamdoh. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid. Maf hum al-Nash, (Beirut: al-Markaz al-Tsiqafi al-Araby, 1990). Hlm. 9
[18] Ilyas Supena. Desain Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2008). Hlm. 141-146
[19] Mamdoh. Pendekatan Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[20] Ibid. Mamdoh.
[21] Ibid. Mamdoh.
[22] Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, (Bandung : Mizan, 2000). Hlm 94-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar