BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Quran adalah
kitab Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan
sekaligus menjadi penjelasan atas fungsi utamanya. Fungsi tersebut ditunjukkan
juga oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Quran.Agar fungsi tersebut dapat
direalisasikan, maka tidak boleh tidak Al-Quran tersebut harus dipahami oleh
umat manusia. Dalam upaya untuk merealisasikan fungsi tersebut, manusia
berusaha untuk mencari kejelasan makna pesan-pesan Al-Quran tersebut, yang
salah satunya adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Upaya ini telah dimulai
oleh Rasulullah saw sendiri, sebagai mufassir pertama dan utama dan dilanjutkan
oleh para mufassir pelanjutnya.
Pada saat
turunnya Al-Quran memiliki latar belakang sejarah. Sehingga teks-teks Al-Quran
pun memuat doktrin-doktrin yang menyejarah. Oleh karena itu, menafsirkan
Al-Quran secara tekstual tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarahnya
menjadi persoalan tersendiri. Tetapi, memahami latar belakang sejarah kewahyuan
Al-Quran juga merupakan sesuatu persoalan yang tidak mudah dicari solusinya.
Keterjebakan kita pada pemahaman normatif akan menjadikan diri kita terkungkung
dalam wilayah teks-grafis Al-Quran, sementara pemahaman historis yang tidak
cerdas pun akan membawa ke arah penafsiran yang meluas ke arah pemahaman yang
liberal keluar dari makna tekstualnya, yang boleh jadi di satu pihak akan dapat
menemukan makna-makna kontekstual, tetapi di lain pihak akan dapat
menyimpangkan makna-makna tekstualnya yang lebih bersifat universal. Oleh karena
itu, diperlukan pemanfaatan dialektis terhadap kedua kemungkinan tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, persoalan kemanusiaan
juga berkembang semakin kompleks, mulai dari persoalan genetika, eksplorasi
ruang angkasa, pendidikan, hubungan antar agama, persoalan gender, HAM, dan
lain sebagainya, dimana hampir tidak ada lagi sekat-sekat yang antara manusia
karena teknologi telah membuat semua orang diseluruh dunia berinteraksi dengan mudahnya. Pesatnya
perkembangan zaman ini membuat ilmu-ilmu keIslaman mau tidak mau harus segera
berbenah dan mengikuti arus zaman, dan tanpa terkecuali ilmu tafsir.
Di samping itu
juga, perbedaan terjadi di kalangan intelektual muslim dalam mengungkap,
memahami dan menafsirkan teks-teks Al-Qur’an yang tidak jarang menimbulkan
claim kebenaran (truth claim) terhadap masing-masing kelompok. Sebagian
kelompok mengclaim bahwa penafsiran kelompoknya yang paling benar, begitu pula
pada kelompok lainnya sehingga persoalan ini menyebabkan konflik antara
beberapa kelompok yang memiliki penafsiran berbeda-beda terhadap makna yang
terkandung dalam teks-teks Al-Qur’an.
Perbedaan
penafsiran tersebut merupakan salah satu faktor kemunculan beberapa metodologi
atau disiplin keilmuan mengenai cara menafsirkan dan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang masih memiliki makna global. Terdapat bermacam-macam cara atau metode
untuk mengungkap dan memahami makna dan kandungan Al-Qur’an, baik dari metode
tradisional atau klasik hingga muncul metode modern. Metode penafsiran klasik
tersebut, lebih dikenal dengan tafsir Al-Qur’an dan takwil, sementara metode
modern yang muncul belakangan ini adalah metode penafisiran hermeneutik.
Hermeneutika sebagai sebuah metodologi dalam tafsir
al-Qur’an dirasa cukup penting dan mendesak untuk dilakukan karena hermeneutika
tidak hanya berbicara dalam tataran teks semata melainkan juga mempertimbangkan konteks serta peran subyektifitas
seorang penafsir, sehingga tafsir atau kajian terhadap al-Qur’an menjadi
kontekstual dan bisa menjawab tantangan zaman.
Oleh karena itu,
makalah ini disusun untuk menguraikan tentang segala hal yang terkait dengan pendekatan
tersebut. Hal ini untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan holistik
mengenai cara menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar, sehingga mampu
meminimalisir persoalan perbedaan pendapat tentang kebenaran penafsiran.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa makna dari hermeneutika?
2.
Bagaimana sejarah munculnya
hermeneutika?
3.
Bagaimana pendekatan dari hermeneutika?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui makna dari hermeneutika
2.
Untuk mengetahui sejarah munculnya
hermeneutika
3.
Untuk mengetahui pendekatan dari
hermeneutika
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hermeneutika
1. Makna
Hermeneutik
Hermeneutika
berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang
masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”.[1]
Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur
peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang di
dalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneias (Tentang penafsiran).
Istilah tersebut diasosiasikan kepada Hermes (hermeios), seorang utusan
dewa dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan
pesan Dewata yang masih samar-samar ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia.[2]
Menurut
Gerhard Ebeling, proses penerjemahan yang dilakukan Hermes tersebut mengandung
tiga makna hermeneutis yang mendasar. Pertama, mengungkapkan sesuatu
yang sebelumnya masih terdapat dalam pikiran melalui kata-kata (utterance,
speaking) sebagai medium penyampaian. Kedua, menjelaskan secara
rasional (interpretation, explanation) sesuatu yang sebelumnya masih
samar-samar sehingga maksud atau maknanya dapat dimengerti. Ketiga, menerjemahkan
(translating) suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih
dkuasai dan mudah dipahami oleh pembaca.[3]
Tiga
pengertian mengenai hermeneutika di atas, kemudian dirangkum dalam pengertian
“menafsirkan” (interpreting, understanding). Hal ini karena segala hal
yang masih membutuhkan pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal
dan penerjemahan bahasa, pada dasarnya mengandung proses “memberi pemahaman”
atau, dengan kata lain ”menafsirkannya”.
Dengan
kata lain, studi hermeneutik mencoba menganalisis dan menjelaskan teori
penafsiran teks (nazariyat ta’wil al-nusus) dengan mengajukan
pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji proses
pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
Ketika
dipindah kedalam ranah teologi seperti kondisi waktu itu, maka ditemukan bahwa
bahasa wahyu ketuhanan yang tidak jelas
sangat membutuhkan penjelasan tentang hal itu, begitu juga agar dapat
menstransformasikannya sesuai dengan kondisi kontemporer”.[4]
Dengan
demikian, hermeneutika menjadi tampak dalam peradaban kuno sebagai penafsiran
alam yang dianggap sebagai kalimat dewa yang masih samar dari satu sisi, dan
sebagai penafsiran tentang teks-teks mitologi dari sisi yang lain. Juga
merupakan penafsiran tentang proses penciptaan sebagai bentuk dari penerjemahan
terhadap wahyu ketuhanan dari sisi yang lain.[5]
2. Fungsi
Hermeneutik
Sebagai teknik untuk memperoleh
pemahaman yang benar, hermeneutika berguna dan berfungsi untuk :
a.
Membantu
mendiskusikan bahasa yang digunakan teks.
Bahasa
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas hermeneutika. Lingkup bahasa
yang membantu hermeneutika dapat mencakup masalah bahasa, makana kata, masalah
semantik, semiotik, pragmatik, masalah expression dan indikation
serta masalah logika yang terkandung dalam teks.
b.
Membantu
mempermudah menjelaskan teks, termasuk teks kitab suci.
Membantu
mengandaikan hubungan teks dengan waktu, hubungan teks dengansituasi atau
lingkungan di mana teks disusun. Masalah lain adalah masalah teks dengan teks
yang lain yang sudah ada dan sudah didiskusikan tema tertemtu. Masalah ini
memunculkan persoalan mengenai ciri khas yang membedakan seorang pengarang
dengan pengarang yang lain yang membahas tema yang sama.
c.
Memberi
arahan untuk masalah yang terkait dengan hukum.
Poin ini
menjelaskan bahwa penafsiran terhadap teks hukum dapat dilakukan secara
hermeneutika bagi mereka yang memiliki dasar dan penguasaan terhadap masalah
hukum. Sedangkan analisis hukum atau teks hukum tetap diambil dari
kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam tradisi hukum islam[6].
B. Sejarah
Hermeneutika[7]
1.
Kemunculan
Hermeneutika: Dari Tradisi Teologi Kristen
Penulis entri "heremeneutika"
pada Ensklopedia
Britanica edisi 15 yang terbit tahun 1985
M menyatakan, "Hermeneutika adalah kajian tentang kaidah-kaidah umum untuk
menafsirkan Bibel, dan tujuan utama dari hermeneutika dan metode-metode takwil
Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarahnya adalah untuk menyingkap kebenaran dan
nilai dari Bibel.
Berangkat dari teks ini, yang hampir saja menjadi pijakan
kuat untuk mengatakan bahwa kemunculan hermeneutika di Barat berhubungan secara
mendasar dengan problem yang dihadapi umat Kristiani dalam memahami kitab sucinya. Saya katakan bahwa tidak ada
peneliti yang berbeda mengenai setting
teologis kemunculan hermeneutika atau seni menakwil ini.
Konsep ini lahir dari rahim teologi Kristen di dalam tembok gereja, khususnya
jika kita mengetahui kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh
mereka yang berusaha memberikan penafsiran terhadap Injil, yang berbeda dari mainstream yang secara resmi dianut kaum pendeta (Clergy).
Masyarakat Kristen sejak lama diterpa problem hermeneutis seperti
berikut.
a.
Penetapan
Injil-Injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam bentuk korpus
tertulis.
b.
Terbentuknya
sekumpulan syariat langit dan pada waktu yang sama menjelaskan hubungan antara
Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
c.
Membentuk
doktrin-doktrin primer dengan bantuan pemahaman-pemahaman filsafat Yunani
kuno.
Semua ragam ini memiliki karakteristik hermeneutis seperti
ceramah misionaris dan pengajaran Kristen serta pengungkapan-pengungkapan lain
yang hidup dari teologi gereja.
Sejumlah peneliti hermeneutika memberikan sinyal bahwa
pemahaman teks keagamaan Kristen pada dasarnya adalah yang menyebabkan
tumbuhnya hermeneutik atau ilmu takwil. Motif jenjang kebahasaan yang jauh dan
makna kalimat dalam asli peletakannya dan makna yang dituju pada masa
dahulu, begitu juga keyakinan adanya makna yang samar di balik makna yang
sekilas dan tampak jelas, telah menimbulkan krisis kepercayaan pada tafsir
monolitik. Hingga suatu saat Martin Luther (1483-1546 M) tampil menyerukan kebebasan
dalam membaca Bibel, dan tidak hanya mengukuhkan diri pada hasil pembacaan tunggal. Ia kemudian membuka pintu menyambut hermeneutika
dan mengembangkan pemahamannya. Dari ranah teologi, hermeneutika lalu merambah
bidang yang lebih luas lagi mencakup semua ilmu humaniora, termasuk di dalamnya
adalah sastra.
b. Sejarah Hermeneutika dari Filsafat Klasik Hingga Zaman
Modern
Kisahnya cukup panjang. Teks berawal bersama Yunani kuno
berupa kode-kode simbolik. Kemudian hermeneutika pindah ke tangan orang-orang lbrani
(Yahudi) dan Philon of Alexandria memiliki peran penting yang menggabungkan
antara aliran simbolis dan filsafat Yunani. Talmud mengandung
penjelasan-penjelasan Perjanjian Lama yang terbentuk dalam waktu 8 abad antara
abad ke-2 SM hingga abad ke-6 M sehingga mereka dikenal dengan sebutan ahli
kitab dan takwil. Mereka serius membuat kaidah-kaidah untuk penakwilan
sehingga tampaklah di antara mereka kaum literalis seperti Shaduqiin dan Qara'in, tetapi tafsir simbolis tetap paling
digandrungi khususnya di kalangan Qabbalah.
Kemudian hermeneutika berhasil merasuki gereja Kristen
dengan menyebarnya dominasi metode Alegorikal Simbolis. Namun, para Paus telah meletakkan kaidah dalam memahami kaidah-kaidah Bibel dan
menakwilkannya yang dikenal dengan kaidah Augustinian.
Kemudian datanglah zaman modern dan akal manusia mulai
beringsut dari kekangannya. Para pemikir juga mulai berani memunculkan teks
Bibel terhadap metode historisitas dan analisis linguistik yang liberal
selama abad ke-17 clan ke-18. Filsafat pencerahan (enlightenment) memiliki
pengaruh besar yang hampir saja menyentuh kesakralan teks dan
substansi-substansinya, sebagaimana juga ketika gerakan penghidupan tradisi
keilmuan Yunani yang dimulai sebelumnya, memiliki pengaruh sama. Gerakan ini
memiliki metode yang berlanjut terutama dalam masalah verifikasi teks dan
takwilnya.
Pada abad ke-19 dan ke-20, hermeneutika berkembang. Dan
karena yang dominan adalah jiwa kemerdekaan pada diri para pemikir Barat pada
waktu itu, maka di satu sisi sebagian mereka ada yang terlalu berlebihan
sehingga mereka terjebak memasuki Deisme dan mengingkari segala sesuatu yang
religi dan sakral. Hermeneutika modern lahir dalam pangkuan filsafat
rasionalisme dan pencerahan serta humanisme.
Dari keterangan yang lalu, menjadi jelaslah bagaimana
hermeneutika muncul dan berkembang di alam pemikiran Barat serta berkembang
sejak zaman Yunani kuno hingga sekarang karena memenuhi tuntutan yang
benar-benar ada di dalam peta peinikiran itu. Adapun yang paling penting adalah
tuntutan-tuntutan memahami teks Bibel dan menakwilkannya, beserta
kesulitan-kesulitan yang ada pada waktu itu yang sebagiannya kembali pada
karakter tema dan masalah-masalah verifikasi serta pemahaman, sebagian yang
lain disebabkan oleh sikap otoriter Gereja dalam pelbagai pandangan keagamaan.
Tidak seorang pun bisa mengklaim bahwa metode-metode yang lama dapat diterapkan
untuk objek-objek kajian yang berbeda dan dan dalam kondisi yang berbeda hanya
karena ingin meniru dan kemudian menjadikan hermeneutika sebagai proyek seperti
yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita.
C. Pendekatan
Hermeneutika
- Bahasa Sebagai Pusat Kajian
Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat
pendekatan hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu justru
cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam
kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah
hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang
terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme
atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah.
Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan
Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Qur’an di lingkungan Islam.[8]
Persoalan penafsiran nash-nash keagamaan
(al-Qur’an dan hadis) ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk
menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme
penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan
pengambil keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok,
organisasi dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari
sini persoalan pelik muncul.
Objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah
hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa
akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamer’s Philoshopical
hermeneutics dinyatakan, Gadamer places language at the core of
understanding.[9]
Pentingnya keberadaan bahasa bagi kehidupan manusia,
sehingga manusia tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa bahasa. Menurut Gadamer,
bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, malainkan
sesuatu yang memiliki ketertujuan didalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau
ungkapan tidak pernah tidak bermakna. Kata atau ungkapan selalu mempunyai
tujuan (telos). Tanpa kita sadari seringkali kita menghirup berbagai macam
bahasa seperti; bahasa puisi, hukum, dsb. Di sinilah letak perbedaan antara
pemakaian bahasa sebagai bahasa ibu dengan seorang yang berusaha untuk dapat
berebicara dengan bahasa yang sama.[10]
Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau
mengerti makna tersebut. Oleh karena itu menurut Gademer memahami itu artinya
memahami melalui bahasa.[11]
Dengan begitu tampaknya “bahasa” memiliki realitas obyektif tersendiri, karena
maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh author (pengarang) maupun oleh pembaca
(reader). Ketika seorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai
media komunikasi, dialog untuk menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka
harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh pengguna bahasa itu
sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun
kulturan. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang
manapun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca secara sepihak. Pemahaman teks
seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Ijtihad sebenarnya terkandung
arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiganya
elemen pelaku tersebut.[12]
- Langkah Paradigmatis dan Metotologis
Pemakaian istilah hermeneutika dalam kajian
interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang baru dan tidak terbiasa dalam
kesarjanaan tradisional. Tidak adanya istilah yang definitif bagi hermeneutika
dalam disiplin Islam klasik dan tidak digunakannya dalam skala yang berarti
dalam kajian al-Qur’an tidak berarti bahwa paham hermeneutika yang definitive
atau pemberlakuaanya dalam kajian al-Qur’an yang tradisional atau disiplin yang
lainnya itu tidak ada.[13]
Dalam tradisi pemikiran Islam, intensitas perbincangan mengenai problem
hermeneutika dalam Islam tidak se-semarak dalam tradisi Kristen dan Yahudi.
Kenyataan ini khususnya berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada masa itu
pemahaman dan pengalaman agama atas dasar pijakan hermeneutika belum sepenuhnya
di kenal.
Setidaknya ada dua factor utama yang menyebabkan
keringnya diskursus hermeneutis dalam pemikiran Islam klasik, khususnya periode
Nabi dan Sahabat. Pertama factor
otoritas Nabi. Pada masa nabi dan Sahabat, persoalan penafsiran al-Qur’an
sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam, posisi ini Muhammad tidak hanya
berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud al-Qur’an, namun ia berfungsi
sabagai penafsir otoritatif dengan al-hadis sebagai bentuk formalnya. Kedua;
factor kesadaran umat Islam saat itu yang masih kental dengan
argument-argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Mereka mempercayai
sakralitas al-Qur’an yang secara literal berasal dari Allah dank arena itu
membacanya merupakan ibadah. Implikasinya penafsiran literal terhadap ayatayat
al-Qur’an merupakan langkah popular yang dilakukan umat Islam dalam memahami
kandungan al-Qur’an dan mereka memerlukan perangkat metodologis hermeneutika
dalam memahami al-Qur’an.[14]
Adalah Hasan Hanafi-lah yang pertama kali
memperkenalkan Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang
berjudul: “Les Methodes d’Exeges, Essai sur La Science des Fordements de la
Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh” pada tahun 1965.[15]
Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd
sendiri, tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India,
Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan
demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis.
di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide cara baca semiotik
terhadap Al-Qur’an. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik
terhadap Al-Qur’an, dan kemudian dikenal sebagai “double movement”.
Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang
profesor di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang dikenal cukup gigih
dan rajin memperjuangkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Ia
banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku Hermeneutika Al-Qur’an, antara
lain “Hermeneutika Pembebasan”, “Hermeneutika Al-Qur’an, Tema-tema
Kontroversial”, dan “ Hermeneutika Al-Qur’an, mazhab Yogya”. Ia menyatakan
bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada dunia
Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi metode
tafsir klasik.
Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan
Hermeneutika yang identik dengan konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1)
penafsir yang manusiawi, yang membawa “muatan-muatan” kemanusiaan
masing-masing, dan pada akhirnya memproduksi komentar-komentar subjektif
terhadap penafsirannya, 2) penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa,
budaya dan tradisi, dan 3) teks yang bernuansa sosio-historis, sehingga tidak
lagi “unik”. Dapat disimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat dinilai
merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni Gadamerian.Yang
terbagi dalam tiga titik pusat dalam hermeneutika Gadamer, yakni pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader).[16]
Ketiga horizon inilah yang nantinya akan di gunakan untuk berdialog sehingga
dapat memahami (menafsirkan) sebuah teks;
a.
Horizon Teks
Abu Zaid[17]
mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah metafisika, peradaban Yunani
adalah Nalar Sejarah peradaban arab Islam adalah sejarah peradaban teks (Khadarat
al-nash) artinya, itu merupakan peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan
peradabannya muncul dan berdiri atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk
melupakan sentralitas teks.
Oleh karena itu dalam pendekatan hermeneutika bahasa
sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas
seperti menulis, membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga
dengan al-Qur’an, bahasa (teks) menjadi salah satu factor penting dalam
memahami al-Qur’an maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang
digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Qur’an maupun sendiri menggunakan bahasa
arab sebagai alat komunikasi yang di pakainya. Menyadari pentingnya teks ini,
maka langkah pertama dalam menafsirkan al-Qur’an adalah memahami teksnya yang
berbahasa arab. Dengan memahami bahasa arab, seorang penafsir akan memiliki
bekal awal untuk memahami makna, hikmah maupun hokum al-Qur’an secara tepat.
Oleh karena itu dari sudut teks ini terdapat tiga aspek yang harus di pahami,
yakni; pertama, dalam teks maksudnya, ide dan maksud teks tersebut lepas
dari pengarang.Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil
kristalisasi linguistik dari realitas yang mengitarinya.Ketiga, di depan
teks, makna baru yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya
untuk memahami teks tersebut.
b.
Horizon Pengarang
Ketika pengarang (Author) al-Qur’an adalah
Tuhan yang transenden dan ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw.
Yang diyakini umat Islam sebagai penafsir otoritatif atas al-Qur’an. Relasi
Muhammad dan al-Qur’an dengan relasi historis ini dapat dilihat beberapa hal
berikut. Pertama tema- tema yang diusung al-Qur’an seperti doktrin
monoteisme, keadilan social, ekonomi, merupakan bagian pengalaman religious
Muhammad yang orisinil.Kedua reformasi yang dilakukan nabi selalu dimulai
dengan mempersiapkan dahulu landasan yang kuat sebelum memperkenalkan suatu
tindakan atau perubahan yang besar. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, Nabi
belum memiliki kekuasaan untuk bertindak dalam sector legislasi umum. Setelah
tinggal di Madinah dan memiliki wewenang administrasi dan politik nabi baru
membuat hokum-hukum.Ketiga a al-Qur’an selalu mempunyai konteks
social (asbab al-nuzul). Karena Muhammad hidup dan berinteraksi dengan
masyarkat Arab, maka menjadi keharusan bagi penafsir yang ingin memahami
al-Qur’an untuk memahami pula dimensi historis-sosiologis yang menyertai
masyarakat arab itu. Dengan demikian, untuk menangkap makna al-Qur’an secara
komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad yang merupakan penjabaran
al-Qur’an pada tingkat actual harus dipahami secara utuh. Dari narasi tersebut
ada proses terciptanya sebuah teks; a) tahapan pengalaman atau gagasan yang
belum termasukkan (Prafigurasi), b) ketika author mulai menciptakan
gagasannya (konfigurasi), c) tahap teks yang sudah di ciptakan dan di
tafsiri banyak orang (Transfigurasi).
c.
Horizon Pembaca
Selain situasi sosial pada masa Nabi, situasi sosial
masyarakat kontemporer yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal
yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk
menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Qur’an dalam kasus
actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang membentuk situasi
masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang lain,
lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian
menentukan prioritas-prioritas baru untuk biasa menerapkan al-Quran secara baru
pula.
Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah
sangat berbeda di bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman Nabi, lebih-lebih
setelah arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki dunia
Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa benua yang terdiri dari berbagai
bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Perubahan politik
ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang lain. Perkembangan
modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung tema-tema seperti
demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi manusia (HAM), dan
sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi styledan pola piker
masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam sendiri terjadi transformasi
social, baik dalam aspek social, budaya, ekonomi maupun system nilai. Dari
contoh tersebut dapat dipahamiada oleh penafsir untuk memahami teks, yakni;
pre-understanding, explanation dan understanding.[18]
Khaled berulangkali menjelaskan bahwa penggantian
secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau
otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah merupakan
tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan (corruption)
yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan begitu saja,
tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat penaf
sir) yang ada disekitarnya.Jadi pada hermeneutika menempatkan teks sebagai
obyek kajiannya 2) menjadikan teks sebagai bahan perantara untuk mendapatkan
makna yang sebenarnya dibalik teks. 3) mempertimbangkan faktor-faktor yang ada
diluar teks sebagai unsur yang memegang peran penting dalam menafsirkan sebuah
teks.[19]
*BAGAN HERMENEUTIKA
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola
hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir
teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks, baik itu teks kitab
suci maupun teks umum dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada
teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks Dalam perkembangannya,
banyak para pembaca teks (penafsir) terjebak dalam lingkaran author. Sikap ini nampak ketika dalam
diri mereka ada klaimklaim kebenaran (truth
claim) dan menafikan pembaca/pembacaan teks yang lain. Menurut
Khaled, sikap tersebut disebut authoritarianisme.[20]
Paling tidak hermeneutika dapat dipilih dalam tiga
katagori: sabagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori. Pertama Hermeneutika Teoritis. Adalah
bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiaanya pada problem “pemahaman”
yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan
pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki teks. Oleh
karena itu tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, makna
hermeneutika model ini dianggap juga hermeneutika romantic yang bertujuan untuk
“merekonstruksi makna”. Kedua filsafat.,
hermeneutika tumbuh sebagai aliran pemikiran yang menempati lahan-lahan
strategis dalam diskursus filsafat. Problem utamanya adalah bagaimana “tindakan
memahami” itu sendiri. Hermeneutika ini di gagas oleh Gadamer, menurut Gadamer
hermeneutika berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Ketiga kritik, hermeneutika memberi
reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbangan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks
pikiran dan aksi. Ini dimotori oleh Habermas. Sebagai teori,
hermeneutika berfokus pada problem di teori interpretasi; bagaimana
menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah bahwa sebagai
pembaca, orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan ruang dan
waktu, sehingga diperlukan hermeneutika.
Khaled menggambarkan bagaimana proses seorang
pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini, ketika pembaca
bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi
adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi perwujudan
ekslusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan menjadi
satu dan serupa. Dalam proses ini, teks tunduk kepada pembaca dan secara
efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah
cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain,
teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan
menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi
tidak efektif, tidak
tersentuh, melangit dan otoriter. Bagan di atas menjadi seperti ini.
Sang Author (awalnya reader/pembaca teks) menafikan
penafsir/reader lain. Bila muncul reader-reader yang lain, maka terjadilah
perdebatan hingga sikap-sikap otoriter, seperti: halal darahnya, murtad, kafir,
wajib dibunuh, diusir dan lain-lain. Pada zaman sekarang, readers baru biasanya
diwakili oleh para peneliti, akademisi, dosen, mahasiswa, ulama, para aktivis
muslim yang mencoba memaknai teks dengan pemahaman yang baru. Contohnya; Khaled
M. Abuo al-Fadl, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Essac, Nasr Hamid, Al-Jabiri,
Hasan Hanafi, Amina Wadud, Fatima Mernisi, Laila Ahmad, dan lain-lain. Di
Indonesia, ada Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholis Majid, Amin
Abdullah, JIL, Ahmadiyah, Syi’ah, dan lain-lain.[21]
D. Pro
Kontra Terhadap Hermeneutika
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan hermeneutika
dalam kajian al-Qur’an menjadi kontroversial dikalangan umat muslim. Disini
penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan muslim menerima
dan menolak hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan
muslim yang menolak hermeneutika sebagai salah satu teori dan metode penafsiran
dalam al-Qur’an, diantaranya adalah:
- Berangkat dari sejarah hermeneutika yang berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap sebagai sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini menemukan relevansinya dalam kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik bagi kalangan muslim, karena ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan pertentangan yang cukup tajam di dalam teks dapat didamaikan dengan hermeneutik. Bagi penolak hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah karena diyakini sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi dan bukan perkataan Muhammad.
- Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas al-Quran.
- Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua faktor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian faktor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
- Tafsir dianggap lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Sementara itu bible dianggap bermasalah dengan persoalan otentisitas, sehingga penggunaan hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi kemudian ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.
Keempat hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim
menolak hermeneutika secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir
al-Qur’an. Ada ketakutan akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an
ditafsirkan secara hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai
metode-metode tafsir yang telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama
terdahulu, tanpa bersusah payah membuat metode baru. Disini metode tafsir
al-Qur’an yang sudah ada dianggap sudah final dan tidak perlu dikembangkan.
Istilah hermeneutik sendiri juga dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam
kamus arab atau Islam terutama bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga
apapun yang berbau barat akan ditolak secara mentah-mentah.
Bagi
kalangan yang pro terhadap hermeneutik, mereka melihat hermeneutik sebagai
jawaban atas keterpurukan umat muslim karena persoalan dan kemunduran yang
terjadi dalam masyarakat muslim saat ini persoalan terhadap penafsiran baik
terhadap al-Qur’an
maupun hadis. Sehingga diperlukan perangkat-perangkat dan metode-metode baru
dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu saja hermeneutika tidak akan merubah
al-Qur’an atau mendesakralisasi al-Qur’an tetapi justru hal ini akan membawa
penyegaran dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga al-Qur’an menjadi lebih
kontekstual dan bermakna dalam setiap zaman.
Istilah
hermeneutika memang tidak dikenal dalam sejarah keilmuan Islam, tetapi sebenarnya praktek hermeneutika telah
dilakukan oleh kalangan muslim sejak lama. Sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Farid Esack dalam bukunya Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an,
Liberalisme, Pluralism, dimana hal itu dibuktikan, pertama,
problematika hermeneutik senantiasa dikaji dan dialami meski tidak dihadapi
secara tematis, seperti kajian mengenai asbabun-nuzul dan nasikh
mansukh. Kedua, perbedaan antara tafsiran aktual dengan aturan,
metode, atau teori interpretasi yang mengaturnya, sudah ada dalam literatur
awal tafsir. Ini disistematisasikan dalam prinsip-prinsio tafsir dan ketiga,
tafsir tradisional telah di kategorisasi. Beberapa kategori seperti syi’ah,
mu’tazilah, ‘Asy’ariyah, dan sebagainya menunjukkan afiliasi ideology, periode,
dan aspek historis si penafsir
Namun demikian, meskipun dalam tradisi Islam telah mempraktekkan
hermeneutik, tetapi sedikit sekali karya tafsir yang bersifat historis-kritis
tentang hubungan antara aspek sosial si penafsir dengan tafsirannya, serta
tentang asumsi-asumsi sosiopolitis dan filosofis eksplisit dan implisit yang
mendasari kecenderungan teologisnya, hal-hal yang merupakan fokus utama dalam
hermeneutika kontemporer[22].
Apa yang
telah dijelaskan oleh Farid Esack ini sebenarnya adalah merupakan bantahan
bahwa tradisi hermeneutik adalah bukanlah semata-mata merupakan produk keilmuan
barat. Meski dalam kenyataanya memang demikian tetapi sebenarnya dalam Islampun
akar-akar hermeneutik bukanlah sesuatu yang asing sama sekali karena memang
bisa di dapatkan dalam tradisi Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Sehingga penolakan terhadap hermeneutik yang hanya mendasarkan bahwa
hermeneutik merupakan metode asing yang coba dipaksakan di dalam kajian
al-Qur’an dianggap terlalu berlebihan.
Lebih
lanjut ketakutan para penolak hermeneutik yang menganggap penggunaannya akan menyamakan al-Qur’an dengan
teks-teks yang lain termasuk kitab suci agama lain tidak perlu terjadi. Hal ini
karena setiap umat beragama memiliki hermeneutika sendiri sebagaimana
masing-masing memiliki kitab sucinya sendiri. Sehingga ada hermeneutika
al-Qur’an, hermeneutika bible, hermeneutika Upanishad, yang memiliki kekhasan
masing-masing yang tidak dimiliki oleh lainnya.
Diantara
yang berpengaruh dalam penentuan perbedaan antara masing-masing hermeneutika
kitab suci adalah hakekat teks atau kitab suci itu sendiri, baik secara historis,
teologis, dan linguistik. Dari sini kemudian kitab seci sebagai obyek
penafsiran sangatlah menentukan metodologi penafsiran yang dipergunakan.
Meskipun metodologi ini ditentukan juga oleh subyek yang menafsirkan tetapi
cara pandang subyek terhadap obyek (penafsir terhadap kitab suci), akan sangat
berpengaruh terhadap hermeneutika yang diterapkannya. Disinilah
kemudian hermeneutika al-Qur’an jelas tidak akan sama dengan hermeneutika bible
ataupun hermeneutika teks yang lain, karena al-Qur’an dipandang sebagai wahyu
Allah yang diturunkan kepada Muhammad untuk semua manusia di segala zaman dan
bukan hanya eksklusif bagi zaman Muhammad. Al-Qur’an yang ada sekarang ini juga diyakini
sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi. Selain itu bahasa yang digunakan
oleh al-Qur’an yakni bahasa Arab dimana penerjemahannya kedalam bahasa lain
tetap tidak akan mendapatkan status yang sama dengan al-Qur’an. Hal-hal yang
telah disebutkan tersebut tentunya akan membawa hermeneutika al-Qur’an berbeda
dengan hermeneutika teks yang lain
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Studi hermeneutik mencoba menganalisis dan
menjelaskan teori penafsiran teks (nazariyat ta’wil al-nusus) dengan
mengajukan pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya
menguji proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.
Kemunculan
Hermeneutika dari tradisi teologi Kristen berangkat dari teks ini, yang hampir saja menjadi pijakan
kuat untuk mengatakan bahwa kemunculan hermeneutika di Barat berhubungan secara
mendasar dengan problem yang dihadapi umat Kristiani dalam memahami kitab sucinya.
Hermeneutika muncul dan
berkembang di alam pemikiran Barat serta berkembang sejak zaman Yunani kuno
hingga sekarang karena memenuhi tuntutan yang benar-benar ada di dalam peta peinikiran
itu. Adapun yang paling penting adalah tuntutan-tuntutan memahami teks Bibel
dan menakwilkannya, beserta kesulitan-kesulitan yang ada pada waktu itu yang
sebagiannya kembali pada karakter tema dan masalah-masalah verifikasi serta
pemahaman, sebagian yang lain disebabkan oleh sikap otoriter Gereja dalam
pelbagai pandangan keagamaan.
Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola
hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir
teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks, baik itu teks kitab
suci maupun teks umum dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada
teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks Dalam perkembangannya,
banyak para pembaca teks (penafsir) terjebak dalam lingkaran author. Sikap ini nampak ketika dalam
diri mereka ada klaimklaim kebenaran (truth
claim) dan menafikan pembaca/pembacaan teks yang lain. Menurut
Khaled, sikap tersebut disebut authoritarianism.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2010. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Afandi, Abdullah Khozin. 2007. Hermeneutika. Surabaya:
Alpha
Esack, Farid. 2000. Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an,
Liberalisme, Pluralisme, Bandung : Mizan
Latief, Hilman. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid Kritik
Teks Keagamaan, Jogjakarta: elSAQpress
Mamdoh. 2013. Pendekatan Hermeneutika. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
Raharjo, Mudjia. 2012 Dasar-dasar Hermeneutika
Antara Intensionalisme dan Gadamerian. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Saenong, Ilham B. 2002. Hermeneutika Pembebasan, Jakarta:
Teraju
Salim, Fahmi. 2010. Kritik Terhadap Studi
Al-Qur’an Kaum Liberal. Jakarta: Perspektif
Sumaryono. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode
Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
Supena, Ilyas. 2008. Desain Ilmu-ilmu Keislaman
dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press
[1] Sumaryono, Hermeneutik:
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), Hlm. 23
[2] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu
Zaid Kritik Teks Keagamaan, (Jogjakarta: elSAQpress, 2003), Hlm. 71
[3] Ilham B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), Hlm. 24
[4] Fahmi Salim. Kritik Terhadap
Studi Al-Qur’an Kaum Liberal. (Jakarta: Perspektif, 2010). Hlm. 51
[5] Ibid. Fahmi Salim. Hlm. 52
[7] Opcit. Fahmi Salim. Hlm. 124-136
[8] M. Amin
Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 272-273
[9] Mudjia Raharjo.
Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme dan Gadamerian. (Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012). Hlm. 33
[10] Sumaryono. Hermeneutika
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1999). Hlm. 27
[11] Opcit. Mudjia
Raharjo. Hlm. 35
[12] M. Amin
Abdullah. Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Hlm. 272-273
[13] Mamdoh. Pendekatan
Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[14] Ilyas Supena. Desain
Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, (Semarang:
Walisongo Press, 2008). Hlm. 29-30
[15] Opcit. Mamdoh.
[16] Mamdoh. Pendekatan
Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[17] Ibid. Mamdoh.
Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid. Maf hum al-Nash, (Beirut: al-Markaz al-Tsiqafi al-Araby,
1990). Hlm. 9
[18] Ilyas Supena. Desain
Ilmu-ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, (Semarang:
Walisongo Press, 2008). Hlm. 141-146
[19] Mamdoh. Pendekatan
Hermeneutika. 2013. (http://mamdoh.staff.unimus.ac.id)
[20] Ibid. Mamdoh.
[21] Ibid. Mamdoh.
[22] Farid
Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme, (Bandung
: Mizan, 2000). Hlm 94-95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar