Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PENDEKATAN ANTROPOLOGI


PENDEKATAN ANTROPOLOGI

ABSTRAK

Kata kunci: Pendekatadan Studi Islam, Antropologi.

Studi Islam dalam kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang mengitarinya, perubahan ini tidak perlu dikhawatirkan karena inti pemikiran keislaman yang berporos terhadap ajaran tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap seperti adanya. Studi Agama tidak cukup dipahami menggunakan pendekatan teologis normatif, tapi perlu menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan perkembangan pemikiran, dinamika sosial bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Memahami Islam dengan menggunakan berbagai pendekatan atau cara pandang disiplin suatu keilmuan adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus dilakukan karena Islam dengan sumber ajaran utamanya yang terdapat dalam Al Qur’an dan as Sunnah memang bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak dan .kehidupan akhirat saja, melainkan berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, seni dan lain sebagainya.
            Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena kultural di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.
            Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia.
Pendekatan antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas (Normativitas dan historisitas) agama dan substansi agama yang dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial politik maupun budaya para penganutnya dengan berbagai budaya dan interaksi sosialnya.
A.    Pendahuluan
Studi Islam dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang mengitarinya, perubahan ini tidak perlu dikhawatirkan karena inti pemikiran keislaman yang berporos terhadap ajaran tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap seperti adanya.[1]
Studi Agama tidak cukup dipahami menggunakan pendekatan teologis normatif, tapi perlu menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan perkembangan pemikiran, dinamika sosial bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemahaman terhadap agama saat ini mengalami pergeseran dari Idealitas ke historisitas, dari doktrin ke sosiologis dan dari esensi ke eksistensi.[2]
Memahami Islam dengan menggunakan berbagai pendekatan atau cara pandang disiplin suatu keilmuan adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus dilakukan karena Islam dengan sumber ajaran utamanya yang terdapat dalam Al Qur’an dan as Sunnah memang bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak dan kehidupan akhirat saja, melainkan berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, seni dan lain sebagainya.[3]
Namun demikian, perlu dicatat dan digarisbawahi bahwa penggunaan teori dan pendekatan tersebut bukan untuk menguji benar atau tidaknya aspek esensi ajaran Islam yang bersifat normatif, tetapi yang dijadikan obyek penelitian adalah berkenaan aspek lahiriah atau aspek pengamalan dari ajaran wahyu tersebut.[4]
Oleh karena itu, antropologi sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holisik dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.[5]
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Antropologi dan Pendekatan Atropologi
a.       Pengertian Antropologi
Istilah Antropologi berawal dari bahasa yunani yaitu anthoropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti kataatau kajian. Jadi dalam arti yang paling luas, berarti antropologi berarti kajian tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang sedang berkembang maupun yang sudah punah.[6]
Ghazali menjelaskan dalam bukunya, bahwa antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya. Tujuannya adalah memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Dari hasil kajian ini, maka sifat-sifat fisik manusia serta sifat khas budaya yang dimilikinya bisa diketahui.[7]
Koentjoroningrat mendefinisikan, antropologi adalah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kebudayaan yang dihasilkan.[8]
Menurut Akbar S. Ahmad, antropologi adalah ilmu yang didasarkan atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[9]
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana anthropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
b.      Pengertian pendekatan Antropologi
Dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan tersebut.[10]
Sedangkan menurut abudin nata pengertian pendekatan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[11]
Pendekatan antropologi dapat diartikan sebagai suatu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi per­hatian terkait bentuk fisik dan kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
2.      Perkembangan historis pendekatan antropologi
Menurut David N. Gellner, antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian yang difokuskan pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, manakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigm evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi masih menurut David N Gellner juga tertarik untuk mengkaji agama. dapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembacanya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim.[12]
3.      Makna penelitian antropologi agama
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena kultural di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.[13] Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris, selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.[14]
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan penelitian antropologi, golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin lain pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Dengan demikian, prilaku keberagamaan seseorang pada dasarnya juga tidak terlepas dari interaksi simbolik yang dilakukan oleh individu.[15] Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.
4.      Objek kajian antropologi
Secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[16]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral,[17] wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,[18] ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
a.         Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b.         Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
c.         Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d.        Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e.         Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
5.      Pentingnya pendekatan antropologi dalam studi islam
Seperti diketahui dan apa yang telah terlihat dewasa ini, Islam berkembang sedemikian pesatnya ke berbagai penjuru dunia, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun kajian Islam secara umum disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, perbedaan perbedaan tetap saja terjadi, selain diakibatkan oleh beragamnya pemahaman yang ditafsirkan oleh para ilmuwan Islam, juga dipicu oleh kondisi wilayah tempat berkembangnya agama Islam.
Maka untuk memahami perbedaan pemahaman di kalangan  umat terhadap Islam, sudah seharusnya kajian-kajian keislaman yang salah satunya menyangkut kajian tatanan kemasyarakatan terus dilakukan dan dikembangkan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, “Timbulnya sikap keberagaman yang demikian itu juga (pada dasarnya) bisa dilacak dari kekeliruan umat dalam memahami Islam. Islam yang muatan ajarannya banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ternyata belum dapat diangkat ke permukaan disebabkan metode dan pendekatan yang kurang komprehensif”.[19]
Sehingga dengan pendekatan antropologi dalam studi Islam dapat memahami agama Islam tidak hanya sebagai doktrin yang bersifat monolitik, tetapi sekaligus juga dapat memahami Islam yang bersifat pluralistik.[20]
Disamping itu penelitian agama juga dapat dilakukan dalam upaya menggali ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci tersebut serta kemungkinan aplikasinya sesuai dengan perkembangan zaman.[21]
Begitu juga pendekatan antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas (Normativitas dan historisitas) agama dan substansi agama yang dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial politik maupun budaya para penganutnya.
Sebagai contoh, dengan penelitian antropologi agama, dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Seperti yang terlihat di negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak dapat ditawartawar.
Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Saudi Arabia dan negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda, yaitu kerajaan dan republik, tetapi sama-sama menyatakan Islam sebagai asas tunggalnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan negara kesatuan Republik Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Seperti yang dikemukakan C.G. Jung menemukan hasil temuan psikoanalisanya. Menurutnya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan antropologis seperti itu sangat diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal itu; di mana kira-kira gua itu; dan bagaimana pula bias terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.[22]
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi.
C.     Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan secara panjang lebar, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkannya, sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
2.      Yang pada awalnya Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, manakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigm evolusi sebagai ide kunci
3.      Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya
4.      Ada 5 fenomena agama yang menjadi obyek kajian dalam Pendekatan antropologi, yaitu :
a.       Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
c.       Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d.      Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e.       Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
5.      Dengan pendekatan antropologi, semua kepercayaan agama terbuka untuk dikaji secara kritis dan ditransformasikan kearah yang lebih baik (humanis).


DAFTAR PUSTAKA
Connolly, Peter. 2011.  Aneka Pendektan Studi Agama.  Yogyakarta: Lkis
J. Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., 2006. Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Nata, Abudin. 2011. metodologi studi islam. Jakarta: PT. GrafindoAl Ghazali, Muchtar, Adeng. 2011. Antropologi Agama. Bandung: CV Alfabeta
Abdulah, Amin. 1999. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baharun, Hasan, dkk, 2011. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: PT Ar-ruz Media
Bustanuddin Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Grapindo Persada
David N. Gellner dalam Peter Connolly (ed.), 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS
Imam Suprayogo & Tobroni, 2003. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Koentjaraningrat. 2000. pengantar ilmu antropologi. Jakarta: Bina Cipta
M. Atho Mudzhar.1998. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Parsudi Suparlan, 1998. “Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu. Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit.
Simon coleman dan Helen Watson, 2005. pengantar antropologi. Bandung: Nuansa
Baharun, Hasan, dkk, 2011. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: PT Ar-ruz Media
Al Ghazali. 1996. Berdialog dengan Al Qur’an. Bandung: Mizan


[1] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?,  (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal: 102
[2] Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?,  (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal: 9
[3] Al Ghazali , Berdialog dengan Al Qur’an, (Bandung, Mizan 1996), Hal: 29
[4] Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal: 202
[5] Baharun, Hasan, dkk, Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: PT Ar-ruz  Media, 2011), hal: 234
[6] Simon coleman dan Helen Watson, pengantar antropologi, (Bandung: Nuansa, 2005), hal: 8
[7] Al Ghazali, Adeng Muchtar, Antropologi Agama, (Bandung: CV Alfabeta, 2011), hal: 1-2
[8] Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi, (Jakarta: Bina Cipta, 2000), hal: 1
[9] Baharun, Hasan, dkk, Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: PT Ar-ruz Media, 2011), Hal: 232
[10] Parsudi Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal: 110.
[11] Abudin Nata, metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011),  Hal: 35
[12]  Connolly, Peter, Aneka Pendektan Studi Agama, ( Yogyakarta, Lkis, 2011) Hal: 15-18
[13] Imam Suprayogo & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. II, hal:  62
[14] David N. Gellner dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal: 15
[15]  lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-18, hal. 10-13
[16] Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hal: 62.
[17] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), hal: 18
[18] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal: 15
[19] Abudin Nata, metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011),  Hal: 4
[20] Amin Abdulah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal: 104
[21] Abudin Nata, metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011),  Hal: 171
[22] Abudin Nata, metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011),  Hal: 35-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar