PENDEKATAN
ANTROPOLOGI
ABSTRAK
Kata
kunci: Pendekatadan Studi Islam, Antropologi.
Studi
Islam dalam kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk
dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan
sesuai dengan semangat zaman yang mengitarinya, perubahan ini tidak perlu
dikhawatirkan karena inti pemikiran keislaman yang berporos terhadap ajaran
tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap seperti adanya. Studi Agama tidak cukup
dipahami menggunakan pendekatan teologis normatif, tapi perlu menggunakan
pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan perkembangan pemikiran, dinamika
sosial bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Memahami
Islam dengan menggunakan berbagai pendekatan atau cara pandang disiplin suatu
keilmuan adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus dilakukan karena Islam
dengan sumber ajaran utamanya yang terdapat dalam Al Qur’an dan as Sunnah
memang bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak dan .kehidupan
akhirat saja, melainkan berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah,
sosial, pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, seni dan lain sebagainya.
Pernyataan
bahwa agama adalah suatu fenomena kultural di sisi lain juga memberikan
gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di
sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat
dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan
lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu
yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama.
Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat
memahami perbedaan kebudayaan manusia.
Pendekatan
antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih
komprehensif tentang entitas (Normativitas dan historisitas) agama dan
substansi agama yang dianggap sangat penting untuk membimbing kehidupan umat
manusia baik untuk kehidupan pribadi, komunitas, sosial politik maupun budaya para
penganutnya dengan berbagai budaya dan interaksi sosialnya.
A.
Pendahuluan
Studi Islam dalam
artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk
dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan
sesuai dengan semangat zaman yang mengitarinya, perubahan ini tidak perlu
dikhawatirkan karena inti pemikiran keislaman yang berporos terhadap ajaran
tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap seperti adanya.[1]
Studi Agama tidak cukup
dipahami menggunakan pendekatan teologis normatif, tapi perlu menggunakan
pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan perkembangan pemikiran, dinamika
sosial bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemahaman terhadap agama
saat ini mengalami pergeseran dari Idealitas ke historisitas, dari doktrin ke
sosiologis dan dari esensi ke eksistensi.[2]
Memahami Islam dengan
menggunakan berbagai pendekatan atau cara pandang disiplin suatu keilmuan
adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus dilakukan karena Islam dengan
sumber ajaran utamanya yang terdapat dalam Al Qur’an dan as Sunnah memang bukan
hanya berbicara masalah akidah, ibadah, akhlak dan kehidupan akhirat saja,
melainkan berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial,
pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, seni dan lain sebagainya.[3]
Namun demikian, perlu
dicatat dan digarisbawahi bahwa penggunaan teori dan pendekatan tersebut bukan
untuk menguji benar atau tidaknya aspek esensi ajaran Islam yang bersifat
normatif, tetapi yang dijadikan obyek penelitian adalah berkenaan aspek lahiriah
atau aspek pengamalan dari ajaran wahyu tersebut.[4]
Oleh karena itu,
antropologi sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan
yang holisik dan komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya.[5]
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Antropologi dan Pendekatan Atropologi
a.
Pengertian
Antropologi
Istilah
Antropologi berawal dari bahasa yunani yaitu anthoropos yang berarti manusia, dan logos yang berarti kataatau kajian. Jadi dalam arti yang paling
luas, berarti antropologi berarti kajian tentang manusia dan masyarakat, baik
yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang sedang berkembang maupun yang
sudah punah.[6]
Ghazali
menjelaskan dalam bukunya, bahwa antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia
dan budayanya. Tujuannya adalah memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia
sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai organisme
biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Dari hasil kajian ini, maka
sifat-sifat fisik manusia serta sifat khas budaya yang dimilikinya bisa diketahui.[7]
Koentjoroningrat
mendefinisikan, antropologi adalah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal
usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kebudayaan yang dihasilkan.[8]
Menurut
Akbar S. Ahmad, antropologi adalah ilmu yang didasarkan atas observasi yang
luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang terkumpul, dengan menetralkan
nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).[9]
Dari
definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana anthropologi,
yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang
terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk
mata, kebudayaan, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang
bermanfaat.
b.
Pengertian
pendekatan Antropologi
Dalam
dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan
metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu
yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna
metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan
penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan
masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi
bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu
permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian
metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan
tersebut.[10]
Sedangkan
menurut abudin nata pengertian pendekatan antropologi dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.[11]
Pendekatan
antropologi dapat diartikan sebagai suatu sudut pandang atau cara melihat dan
memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian terkait bentuk fisik dan
kebudayaan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia.
2.
Perkembangan
historis pendekatan antropologi
Menurut David N. Gellner, antropologi bermula pada
abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian yang difokuskan
pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup
pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat
dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, manakah yang paling
tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam
paradigm evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi masih menurut David N Gellner juga
tertarik untuk mengkaji agama. dapun tema yang menjadi fokus perdebatan di
kalangan mereka, misalnya pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu
magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini
jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang
disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat
digemari pembacanya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M menghasilkan
setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya
Sir James Frazer dan The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil
Durkheim.[12]
3.
Makna
penelitian antropologi agama
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena
kultural di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak
lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik
keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan
kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.[13] Pertemuan antara doktrin
agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama.
Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan
dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah
bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara
agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam
realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan
realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu
berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti
bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis
sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu
pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek
ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah
melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi
terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford
Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di
Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di
Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan
manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh
lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari
manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari
tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan
kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen
antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya
dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan
antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia
sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan
pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari
cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian
antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era
penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan
Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama
Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris,
selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras,
adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang
dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada
abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan
penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian
antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga
binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat
manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu,
semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.[14]
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh
masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis
raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati
posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah,
dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah.
Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi
biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis
populis di USA.
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi
modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti
dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan
yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat
agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan
secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom
yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.
Melalui pendekatan antropologi sosok agama yang
berada pada dataran empirik akan dapat dilihat serat-seratnya dan latar
belakang mengapa ajaran agama tersebut muncul dan dirumuskan. Antropologi
berupaya melihat antara hubungan agama dengan berbagai pranata sosial yang
terjadi di masyarakat. Penelitian hubungan antara agama dan ekonomi melahirkan
beberapa teori yang cukup menggugah minat para peneliti agama. Dalam berbagai
penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif
antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Menurut kesimpulan
penelitian antropologi, golongan masyarakat kurang mampu dan golongan miskin
lain pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang
sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan tersebut menguntungkan pihaknya.
Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif
antropologi tersebut di atas dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan
fenomena-fenomena keagamaan ternyata tidak berdiri sendiri dan tidak pernah
terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang
mendukung keberadaannya. Dengan demikian, prilaku keberagamaan seseorang pada
dasarnya juga tidak terlepas dari interaksi simbolik yang dilakukan oleh individu.[15] Inilah makna dari
penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.
4.
Objek
kajian antropologi
Secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi
menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia
sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya:
arkeologi, linguistik dan etnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri
dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi
terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya
menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada
kebudayaan tanpa manusia.[16]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka
agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama
yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama
dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada
yang sakral,[17]
wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul.
Menurut Atho Mudzhar,[18] ada lima fenomena agama
yang dapat dikaji, yaitu:
a.
Scripture
atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b.
Para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya.
c.
Ritus,
lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d.
Alat-alat
seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e.
Organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima
obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek
tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
5.
Pentingnya
pendekatan antropologi dalam studi islam
Seperti diketahui dan apa yang telah terlihat dewasa
ini, Islam berkembang sedemikian pesatnya ke berbagai penjuru dunia, seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun kajian Islam secara
umum disandarkan pada Al-Qur’an dan Hadits, perbedaan perbedaan tetap saja
terjadi, selain diakibatkan oleh beragamnya pemahaman yang ditafsirkan oleh
para ilmuwan Islam, juga dipicu oleh kondisi wilayah tempat berkembangnya agama
Islam.
Maka untuk memahami perbedaan pemahaman di kalangan umat terhadap Islam, sudah seharusnya
kajian-kajian keislaman yang salah satunya menyangkut kajian tatanan
kemasyarakatan terus dilakukan dan dikembangkan. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa, “Timbulnya sikap keberagaman yang demikian itu juga (pada dasarnya) bisa
dilacak dari kekeliruan umat dalam memahami Islam. Islam yang muatan ajarannya
banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial, ternyata belum dapat diangkat
ke permukaan disebabkan metode dan pendekatan yang kurang komprehensif”.[19]
Sehingga dengan pendekatan antropologi dalam studi
Islam dapat memahami agama Islam tidak hanya sebagai doktrin yang bersifat
monolitik, tetapi sekaligus juga dapat memahami Islam yang bersifat
pluralistik.[20]
Disamping itu penelitian agama juga dapat dilakukan
dalam upaya menggali ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci tersebut
serta kemungkinan aplikasinya sesuai dengan perkembangan zaman.[21]
Begitu juga pendekatan antropologi terhadap agama
diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas
(Normativitas dan historisitas) agama dan substansi agama yang dianggap sangat
penting untuk membimbing kehidupan umat manusia baik untuk kehidupan pribadi,
komunitas, sosial politik maupun budaya para penganutnya.
Sebagai contoh, dengan penelitian antropologi agama,
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin
pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita
melihat bahwa agama berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi
suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan
sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan
keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini,
kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian
(social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para
peneliti sosial keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini
kita juga dapat melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Seperti
yang terlihat di negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditawartawar.
Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Saudi
Arabia dan negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Orang akan bertanya apa
sebenarnya yang menyebabkan kedua sistem pemerintahan tersebut sangat berbeda,
yaitu kerajaan dan republik, tetapi sama-sama menyatakan Islam sebagai asas
tunggalnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan negara kesatuan Republik
Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan
Pancasila sebagai asas tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini
juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Seperti yang dikemukakan
C.G. Jung menemukan hasil temuan psikoanalisanya. Menurutnya, ada korelasi yang
sangat positif antara agama dan kesehatan mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut
di atas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan
manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan
berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan antropologis seperti itu sangat
diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan
dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam Al-Qur’an, sebagai sumber utama
ajaran Islam misalnya, kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di
gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih
dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal itu; di mana
kira-kira gua itu; dan bagaimana pula bias terjadi hal yang menakjubkan itu;
ataukah hal yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi
contoh lain yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan
arkeologi.[22]
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat
dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat
uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi.
C.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan secara panjang
lebar, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Antropologi
adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia dari segi keanekaragaman
fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai)
yang dihasilkannya, sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya
berbeda-beda.
2.
Yang
pada awalnya Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang
masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate)
serta meneliti masyarakat manusia, manakah yang paling tua dan tetap bertahan
(survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigm evolusi
sebagai ide kunci
3.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan
pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk
mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya
4.
Ada
5 fenomena agama yang menjadi obyek kajian dalam Pendekatan antropologi, yaitu
:
a.
Scripture
atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b.
Para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan
para penganutnya.
c.
Ritus,
lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
d.
Alat-alat
seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
e.
Organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
5.
Dengan
pendekatan antropologi, semua kepercayaan agama terbuka untuk dikaji secara
kritis dan ditransformasikan kearah yang lebih baik (humanis).
DAFTAR
PUSTAKA
Connolly, Peter. 2011. Aneka
Pendektan Studi Agama. Yogyakarta:
Lkis
J.
Moleong, Lexy. 2004. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Abd.
Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., 2006. Metodologi
Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga
Nata, Abudin. 2011. metodologi studi islam. Jakarta: PT.
GrafindoAl Ghazali, Muchtar, Adeng. 2011.
Antropologi Agama. Bandung: CV Alfabeta
Abdulah, Amin. 1999. Studi Agama, Normativitas atau
Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baharun, Hasan, dkk, 2011. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: PT
Ar-ruz Media
Bustanuddin
Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan
Manusia; Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Raja Grapindo Persada
David
N. Gellner dalam Peter Connolly (ed.), 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS
Imam
Suprayogo & Tobroni, 2003. Metodologi
Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya
Koentjaraningrat. 2000. pengantar ilmu antropologi. Jakarta:
Bina Cipta
M.
Atho Mudzhar.1998. Pendekatan Studi Islam
dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Parsudi
Suparlan, 1998. “Agama Islam: Tinjauan
Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar
Disiplin Ilmu. Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit.
Simon
coleman dan Helen Watson, 2005. pengantar
antropologi. Bandung: Nuansa
Baharun, Hasan,
dkk, 2011. Metodologi Studi Islam.
Yogyakarta: PT Ar-ruz Media
Al Ghazali.
1996. Berdialog dengan Al Qur’an.
Bandung: Mizan
[1] Amin Abdullah, Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal: 102
[2] Amin Abdullah, Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999), hal: 9
[3] Al Ghazali ,
Berdialog dengan Al Qur’an, (Bandung, Mizan 1996), Hal: 29
[4] Nata, Abuddin,
Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hal: 202
[5] Baharun, Hasan, dkk,
Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: PT Ar-ruz
Media, 2011), hal: 234
[6] Simon coleman dan
Helen Watson, pengantar antropologi, (Bandung: Nuansa, 2005), hal: 8
[7] Al Ghazali, Adeng
Muchtar, Antropologi Agama, (Bandung: CV Alfabeta, 2011), hal: 1-2
[8] Koentjaraningrat,
pengantar ilmu antropologi, (Jakarta: Bina Cipta, 2000), hal: 1
[9] Baharun, Hasan, dkk,
Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: PT Ar-ruz Media, 2011), Hal: 232
[10] Parsudi
Suparlan,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian
Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan
Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal: 110.
[11] Abudin Nata,
metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), Hal: 35
[12] Connolly, Peter, Aneka Pendektan Studi Agama,
( Yogyakarta, Lkis, 2011) Hal: 15-18
[13] Imam Suprayogo &
Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003), Cet. II, hal: 62
[14] David N. Gellner
dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS,
2002), hal: 15
[15] lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-18, hal. 10-13
[16] Abd. Shomad dalam M.
Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner,
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hal: 62.
[17] Bustanuddin Agus, Agama
dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja Grapindo
Persada, 2006), hal: 18
[18] M. Atho Mudzhar,
Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hal: 15
[19] Abudin Nata,
metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), Hal: 4
[20] Amin Abdulah, Studi
Agama, Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999),
hal: 104
[21] Abudin Nata,
metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), Hal: 171
[22] Abudin Nata,
metodologi studi islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), Hal: 35-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar