Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH HAMKA DAN PEMIKIRANNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau sering kita menyebutnya buya HAMKAadalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.Buya HAMKA adalah sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak karya dan buah pikiran HAMKA yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam. Keterlibatan HAMKA di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti HAMKA.
Buya HAMKA merupakan tokoh pendidikan Islam yang dimana konsep pemikirannya sangat monumental dan begitu spektakuler di kalangan manapun.Beliau adalah seorang ulama pujangga dan tercakup dalam berbagai kualitas ketokohan dan keahlian.Beliau adalah seorang pencetus dan pemuka Islam, pejuang, patriot, wartawan, pengarang, sastrawan dan budayawan.
Beliau menyumbangkan pemikirannya di berbagai bidang terutama dalam pendidikan. Meskipun beliau dibesarkan dengan pendidikan tradisional yang kental akan nuansa adatnya (ketat), dan beliau mampu mengemas pendidikan yang ketat menjadi luwes tetapi tanpa menghilangkan ketradisionalannya. Selain itu, pandangan Buya HAMKA mengenai tujuan pendidikan yaitu untuk kebahagaian dunia dan akhirat dengan penerapannya yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Makalah yang membahas kajian tokoh ini berusaha memberikan gambaran bagaimana biografi HAMKA, dan bagaimana pemikiran dan pengaruhnya terhadap pendidikan Islam.
Banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, oleh karenanya penyusun makalah sangat mengharapkan kepada seluruh pembaca dalam memberikan kritikan dan saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Riwayat HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrulloh atau biasa disebut dengan julukanHAMKA, yakni singkatan namanya, lahir di desa kampong Molek, maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908.[1]Lahir dari Pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Shafiyah Tanjung, sebuah keluarga yang taat beragama.Ayahnya adalah seorang ulama besar dan pembawa paham-paam pembaharuan Islam di Minangkabau. Buya HAMKA meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dalam usia 73 tahun.[2]
Sejak kecil, HAMKA menerima dasar-dasar agama dari ayahnya. Pada usia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji dengan ayahnya. Pelajaran yang ditekuni oleh HAMKA meliputi nahwu, sharaf, mantiq, bayan, fiqh dan yang sejenisnya dengan menggunakan system hafalan. Sejak tahun 1916 sampai 1923, ia belajar agama pada sekolah Diniyah School di Padang Panjang dan Sumatera Thawalib di Parabek, Tuanku Mudo Abdul Hamid, dan Zainuddin Labay.[3]
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua.Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab.HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.[4]
HAMKA mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).[5]
HAMKA adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang andal.[6]
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah.Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid'ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang.Pada tahun 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946.Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.[7]
Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik HAMKA sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya mengundurkan diri pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.Disamping Front PertahananNasional yang sudah ada didirikan pula Badan Pengawal Negeri &kota (BPNK). Pimpinan tersebut diberi nama Sekretariat yang terdiri dari lima orang yaitu HAMKA, Chatib Sulaeman, Udin, Rasuna Said dan Karim Halim. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pemilihan Umum tahun 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960.Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia.Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.[8]
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli.HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan internasional seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.[9]
HAMKA meninggal dunia pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.Ia bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

B.       Karya-karya HAMKA
Sebagai seorang yang berpikiran maju, HAMKA tidak hanyamerefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai mimbar dalamcerama agama, tetapi ia juga menuangkannya dalam berbagai macamkaryanya berbentuk tulisan. Orientasi pemikirannya meliputi berbagaidisiplin ilmu, seperti teologi, tasawuf, filsafat, pendidikan Islam, sejarahIslam, fiqh, sastra dan tafsir.Sebagai penulis yang sangat produktif,HAMKA menulis puluhan buku yang tidak kurang dari 103 buku.Beberapa di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut:[10]
1.      Tasawuf modern (1983), pada awalnya, karyanya ini merupakan kumpulan artikel yang dimuat dalam majalahPedoman Masyarakat antara tahun 1937-1937. Karena tuntutan masyarakat, kumpulan artikel tersebut kemudian dibukukan. Dalam karya monumentalnya ini, ia memaparkan pembahasannya ke dalam XII bab. Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai tasawuf. Kemudian secara berurutan dipaparkannya pula pendapat para ilmuwan tentang makna kebahagiaan, bahagia dan agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifatqonaah, kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridho dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah. Karyanya yang lain yang membicarakan tentang tasawuf adalah “Tasawuf; Perkembangan dan Pemurniaannya”. Buku ini adalah gabungan dari dua karya yang pernah ia tulis, yaitu “Perkembangan Tasawuf Dari Abad ke Abad”dan “Mengembalikan Tasawuf Pada Pangkalnya”.
2.      Lembaga Budi (1983). Buku ini ditulis pada tahun 1939 yang terdiridari XI bab. pembicaraannya meliputi; budi yang mulia, sebab budimenjadi rusak, penyakit budi, budi orang yang memegangpemerintahan, budi mulia yang seyogyanya dimiliki oleh seorang raja(penguasa), budi pengusaha, budi saudagar, budi pekerja, budi65ilmuwan, tinjauan budi, dan percikan pengalaman. secara tersirat,buku ini juga berisi tentang pemikiran HAMKA terhadap pendidikanIslam, termasuk pendidik.
3.      Falsafah Hidup (1950). Buku ini terdiri atas IX bab. Ia memulai bukuini dengan pemaparan tentang makna kehidupan. Kemudian padabab berikutnya, dijelaskan pula tentang ilmu dan akal dalamberbagai aspek dan dimensinya. Selanjutnya ia mengetengahkantentang undang-undang alam atau sunnatullah. Kemudian tentangadab kesopanan, baik secara vertikal maupun horizontal. Selanjutnyamakna kesederhanaan dan bagaimana cara hidup sederhana menurutIslam. Ia juga mengomentari makna berani dan fungsinya bagikehidupan manusia, selanjutnya tentang keadilan dan berbagaidimensinya, makna persahabatan, serta bagaimana mencari danmembina persahabatan. Buku ini diakhiri dengan membicarakanIslam sebagai pembentuk hidup. Buku ini pun merupakan salah satualat yang HAMKA gunakan untuk mengekspresikan pemikirannyatentang pendidikan Islam.
4.      Lembaga Hidup (1962). Dalam bukunya ini, ia mengembangkanpemikirannya dalam XII bab. Buku ini berisi tentang berbagaikewajiban manusia kepada Allah, kewajiban manusia secara sosial,hak atas harta benda, kewajiban dalam pandangan seorang muslim,kewajiban dalam keluarga, menuntut ilmu, bertanah air, Islam danpolitik, Al-Qur’an untuk zaman modern, dan tulisan ini ditutupdengan memaparkan sosok nabi Muhammad. Selain Lembaga Budidan Falsafah Hidup, buku ini juga berisi tentang pendidikan secaratersirat.
5.      Pelajaran Agama Islam (1952). Buku ini terbagi dalam IX bab.Pembahasannya meliputi; manusia dan agama, dari sudut manamencariTuhan, dan rukun iman.
6.      Tafsir Al-Azhar Juz 1-30. Tafsir Al-Azhar merupakan karyanya yangpaling monumental. Buku ini mulai ditulis pada tahun 1962. Sebagian66besar isi tafsir ini diselesaikan di dalam penjara, yaitu ketika iamenjadi tahanan antara tahun 1964-1967. Ia memulai penulisanTafsir Al-Azhar dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang i’jaz Al-Qur’an. Kemudian secara berturut-turut dijelaskan tentangi’jaz Al-Qur’an, isi mukjizat Al-Qur’an, haluan tafsir, alasan penamaan tafsirAl-Azhar, dan nikmat Illahi. Setelah memperkenalkan dasar-dasaruntuk memahami tafsir, ia baru mengupas tafsirnya secara panjanglebar.
7.      Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Haji Amarullah dan Perjuangan KaumAgama di Sumatera (1958). Buku ini berisi tentang kepribadian dansepak terjang ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah atau seringdisebut Haji Rosul. HAMKA melukiskan perjuangan umat padaumumnya dan khususnya perjuangan ayahnya, yang oleh Belandadiasingkan ke Sukabumi dan akhirnya meninggal dunia di Jakartatanggal 2 Juni 1945.[11]
8.      Kenang-kenangan Hidup Jilid I-IV (1979). Buku ini merupakanautobiografi HAMKA.
9.      Islam dan Adat Minangkabau (1984). Buku ini merupakan kritikannyaterhadap adat dan mentalitas masyarakatnya yang dianggapnya taksesuai dengan perkembangan zaman.
10.  Sejarah umat Islam Jilid I-IV (1975). Buku ini merupakan upayauntuk memaparkan secara rinci sejarah umat Islam, yaitu mulai dariIslam era awal, kemajuan, dan kemunduran Islam pada abadpertengahan. Ia pun juga menjelaskan tentang sejarah masuk danperkembangan Islam di Indonesia.
11.  Studi Islam (1976), membicarakan tentang aspek politik dankenegaraan Islam. Pembicaraannya meliputi; syari’at Islam, studiIslam, dan perbandingan antara hak-hak azasi manusia deklarasiPBB dan Islam.
12.  Kedudukan Perempuan dalam Islam (1973). Buku membahas tentangperempuan sebagai makhluk Allah yang dimuliakankeberadaannya.[12]
13.  Si Sabariyah(1926), buku roman pertamanya yang ia tulis dalambahasa Minangkabau. Roman; Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck(1979), Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau Ke Deli (1977),Terusir, Keadilan Illahi, Di Dalam Lembah Kehidupan, SalahnyaSendiri, Tuan Direktur, Angkatan baru, Cahaya Baru, CerminKehidupan.
14.  Revolusi pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau MenghadapiRevolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, MuhammadiyahMelalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam DanDemokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, Menunggu Beduk Berbunyi.
15.  Di Tepi Sungai Nyl, Di Tepi Sungai Daljah, Mandi Cahaya Di TanahSuci, Empat Bulan Di Amerika, Pandangan Hidup Muslim.[13]
16.  Artikel Lepas; Persatuan Islam, Bukti Yang Tepat, Majalah Tentara,Majalah Al-Mahdi, Semangat Islam, Menara, Ortodox DanModernisme, Muhammadiyah Di Minangkabau, Lembaga Fatwa,Tajdid Dan Mujadid, dan lain-lain.
17.  Antara Fakta Dan Khayal, Bohong Di Dunia, Lembaga Hikmat, danlain-lain.
Ketokohan HAMKA, bukan hanya dikenal di Indonesia, tetapi jugadi Timur Tengah, dan Malaysia, bahkan Tun Abdul Razak, PerdanaMenteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa HAMKA bukan hanya milikbangsa Indonesia, tetapi juga ebanggaan bangsa-bangsa AsiaTenggara.
Kini, kenang-kenangan tentang ulama, penyair, sastrawan, dan filosofbernama lengkap Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah disingkatHAMKA itu, bisa ditemui di kampung halamannya: Nagari Sungai BatangManinjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat(Sumbar). Ratusan buku karangan HAMKA, semenjak novel fiksiTenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka'bah,sampai kepada buku filsafat seperti Tasauf Modern dan Falsafah Hidup,bahkan karyanya yang amat fenomenal Tafsir Al-Azhar yang diselesaikanketika Buya dipenjara tanpa alasan yang jelas oleh rezim Soekarno bias ditemui di museum rumah kelahiran Buya HAMKA tersebut. Museum yangdiresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur SumateraBarat tersebut juga menghadirkan berbagai foto yang menggambarkanperjalanan  hidupnya.

C.      Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan
1.         Urgensi Pendidikan
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan menurut HAMKA bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupa yang layak, melainkan lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperluas akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah SWT. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian, manusia akan menmperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.[14]
Ini berarti pendidikan dalam pandangan HAMKA terbagi dua bagian:
1)        Pendidik jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal.
2)        Pendidikan ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama.
Kedua unsur jasmani dan rohani tersebut memiliki kecenderungan untuk berkembang melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut.Dalam pandangan Islam, kedua unsur dasar tersebut dikenal dengan istilah fitrah. Menurut HAMKA, fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya.
Jika ada manusia yang tidak berbuat kebajikan, sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrahnya tersebut. Menurutnya, pada diri setiap manusia terdapat tiga unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh mapun ‘abdullah.Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, dan pancaindra yang terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.[15]

2.        Pengertian dan Tujuan Pendidikan
HAMKA membedakan makna pendidikan dan pengajaran.Menurutnya pendidikan adalah serangkaian upaya dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sementara pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.[16]
Adapun tujuan pendidikan menurut HAMKA memiliki dua dimensi: yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tresebut, manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik, yaitu beribadah. Oleh karena itu, esgala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah SWT. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam menurut HAMKAsama dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Ia mengatakan bahwa ibadah adalah mengakuui diri sebagai budak atau hamba Allah, tunduk kepada kemauannya, baik secara sukarela maupun trepaksa.

D.      Materi dan Metode Pendidikan
Menurut HAMKA materi pendidikan dapat dibagi menjadi empat bentuk,yaitu:
a.       Ilmu agama,seperti:tauhid,fiqih,tafsir,hadits,nahwu,shorof,mantiq, dan lain-lain.Materi ini dimaksudkan untuk menjadi alat kontrol dan pewarna kepribadian peserta didik.
b.      Ilmu umum,seperti:sejarah,filsafat,sastra,ilmu berhitung,falak,dan sebagainya.Dengan ini akan membuka wawasan keilmuan terhadap perkembangan zaman.
c.       Keterampilan,seperti olahraga berguna untuk membuat tubuhnya sehat dan kuat.
d.      Kesenian,seperti music,menggambar,menyanyi,dan sebagainya,dimaksudkan agar peserta didik akan memiliki rasa keindahan dan akan memperhalus budi rasanya.[17]
Agar proses pendidikan bisa terlaksana secara efektif dan efisien, maka hendaknya perlu mempergunakan berbagai macam metode yang bisa mengantarkan peserta didik memahami semua materi dengan baik.
Pertama, metode secara umum diantaranya:
1)        Diskusi,proses bertukar pikiran antara dua belah pihak, proses ini bertujuan untuk mencari kebenaran melalui dialog dengan penuh keterbukaan dan persaudaraan.
2)        Karya wisata,mengajak anak mengenal lingkungannya, dengan ini sang anak akan memperoleh pengalaman langsung serta kepekaan terhadap sosial.
3)        Resitasi, memberikan tugas seperti menyerahkan sejumlah soal untuk dikerjakan, dimaksudkan agar anak didik memiliki rasa tanggung jawab terhadap amanat yang diberikan kepadanya.[18]
Kedua, metode Islami, di antaranya:
1)      Amar ma’ruf nahi mungkar, menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat jahat. Bertujuan agar tulus hati dalam memperjuangkan kebenaran dan menjadikan pergaulan hidup lebih sentosa.
2)   Observasi, memberikan penjelasan dan pemahaman materi pada peserta didik. Metode ini digunakan agar peserta didik lebih mengenal Tuhannya.[19]
E.       Evaluasi Pendidikan
Tahap akhir suatu proses pendidikan adalah evaluasi. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar uantuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak aktivitas suatu pendidikan.Pandangan HAMKA dalam evaluasi seperti para tokoh-tokoh pendidikan Islam lainnya yakni mengarah pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.Evaluasi dapat dilakukan dengan memberikan beberapa tugas, seperti yang terdapat pada metode pembelajaran yang berupa resitasi. Ini merupakan  evaluasi yang dilakukan secara global atau yang biasa dilakukan secara umum. Sedangkan dalam pendidikan tauhid, evaluasi mengarah pada sesuatu yang menyadarkan diri (introspeksi diri) dimana syur(perasaan) sebagai barometernya.[20]

F.         Relevansi Pemikiran HAMKA dengan Pendidikan Saat Ini
Pemekiran HAMKA tentang pendidikan di ilhami oleh keterkaitan norma agama, kebijakan politik, potensi peserta didik dan dinamika aspirasi masyarakat. Norma-norma tersebut mengacu pada landasan sistem nilai yang universal dan kemudian di jabarkan ke dalam kaidah-kaidah pendidikan islam yaitu, tanggung jawab manusia kepada Tuhan, perkembangan kekuatan potensial dan riil manusiawi, perkembangan masyarakat, dan pendayagunaan potensi peserta didik secara maksimal.[21]
HAMKA mengemas pendidikan masa depan yang mencerminkan pendidikan yang mengingat masa lalu, melihat masa sekarang, dan menginginkan masa depan yang lebih baik. Hal ini terlihat bahwa pendidikan yang ditawarkan mengandung prinsip integralitas, relativitas, pendekatan sistem, meskipun dalam bentuk sedehana dan ekologis.
Melalui pemikirannya, HAMKA memperlihatkan relevansi yang harmonis antara ilmu-ilmu agama dan umum.Eksistensi agama bukan hanya sekedar melegitimasi sistem sosial yang ada, melainkan juga perlu memperhatikan dan mengontrol perilaku manusia secara baik. Perilaku sistem sosial akan lebih hidup tatkala pendidikan yang dilaksanakan ikut mempertimbangakan dan mengayomi dinamika fitrah peserta didik serta mengintegralkan perkembangan ilmu-ilmu agama dan umum secara profesional. Dengan pendekatan seperti ini pendidikan akan dapat memainkan peranan nya sebagai motivator dan sekaligus pengendali sistem sosial (social control) secara efektif.[22]
Namun perlu diketahui bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung berorientasi pada bidang kajian umum, sehingga pendidikan ini merupakan pendidikan sekuler-materialistik. Hal ini dapat terlihat pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan umum pasal 15 yang berbunyi, “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus”.[23]Dari sini terlihat jelas dalam pasal ini terdapat dikotomi pendidikan, yakni pendidikan umum dan agama.Pendekatan yang diambil pada sisitem pendidikan terkesan masih berorientasi pada kajian ilmu eksak dan sosial, serta kurang melakukan apresiasi dengan ilmu-ilmu agama.
Minimnya peran agama juga tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab X tentang kurikulum pasal 37 ayat (1).Dalam pasal ini dijelaskan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman & bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[24]Namun tidak dijelaskan mengenai bahan kajian secara umum, sehingga dipandang bahwa pendidikan agama kurang diperhatikan.Secara realitanya, pendidikan agama pada lembaga sekolah terutama  sekolah negeri, sebagian besar hanya memberikan jam mata pelajaran lebih sedikit daripada mata pelajaran umum. Fenomena ini tanpa disadari telah menggiring peserta didik yang “hampa” akan nilai-nilai religiusitas sebagai warna kepribadiannya.[25]
Dengan demikian, setidaknya sistem pendidikan yang diadopsi sekarang ini termotivasi dengan pemikiran Abuya HAMKA tentang pendidikan. Sehingga mampu menyeimbangkan ilmu-ilmu agama dan umum, yang dimana ilmu-ilmu tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik mempunyai mempunyai jiwa spiritual sebagai makhluk yang mempunyai fitrah yang pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat kebajikan dan tunduk mengabdi pada khaliqnya, dan hal inilah yang mengantarkan bahwa pendidikan agama sangat penting untuk kehidupan.[26]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Haji Abdul Malik Karim Amrullah  lahir di desa kampong Molek, maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Buya HAMKA merupakan salah satu tokoh nasionalis dan religius di Indonesia. HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua.Ketika usianya mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang.
Hakekat pendidikan bagi HAMKA bertujuan untuk membentuk kepribadianmanusia yang luhur.Pendidikan dan penagajaran sangatlah berbeda secara makna. Pendidikanmengarah kepada pengembangan values (nilai-nilai) sedangkan pengajaran hanyapada aspek transfer of knowledge.Untuk dapat mewujudkan itu semua diperlukan wahana yakni dengandiwujudkan lewat pendidikan berasrama.
Pendidikan pandangan HAMKA terbagi 2 bagian yaitu: Pertama, Pendidikan jasmani yaitu pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan jasmani. Kedua, Pendidikan ruhani yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan& pengalaman yang didasarkan pada agama.
HAMKA membedakan makna pendidikan dan pengajaran.Menurutnya pendidikan adalah serangkaian upaya dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sementara pengajaran adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan. Adapun tujuan pendidikan menurut HAMKA memiliki dua dimensi: yaitu bahagia di dunia dan di akhirat.
Menurut HAMKA materi pendidikan dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu: Ilmu Agama,ilmu umum,keterampilan, kesenian. Kemudian HAMKA memberikan metode dalam pembelajaran: Pertama, metode secara umum diantaranya. Diskusi,Karya wisata,Resitasi.Kedua, metode Islami, di antaranya; Amar ma’ruf nahi mungkar, Observasi.

DAFTAR RUJUKAN

Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011).

Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010).

Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Grup, 2008).

http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/HAMKA.html, diakses pada tanggal 21 Desember 2014, pukul 02:47 AM

Siti Lestari, Skripsi (Pemikiran HAMKA Tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam),(Semarang: Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo, 2010).

Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa, 2007).

Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,(Ciputat: Quantum Teaching, 2005).

Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas, (Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003).




[1]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 225
[2] Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 100
[3] Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam,…, hal. 100
[4]Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Grup, 2008), hal. 321.
[5]Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam,…, hal. 313
[6]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 226
[7]http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/HAMKA.html, diakses pada tanggal 21 Desember 2014, pukul 02:47 AM
[8]Santoso, Kenangan-kenangan 70 tahun Buya HAMKA, (Jakarta: Terbitan Yayasan Nurul Islam, 1979), hal. 36
[9]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 226
[10]Siti Lestari, Skripsi (Pemikiran HAMKA Tentang Pendidik dalam Pendidikan Islam), (Semarang: Fakultas Tarbiyah, IAIN Walisongo, 2010), hal. 64-69
[11]Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan: Dari Abendanon Hingga Imam Zarkasyi, (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 62
[12] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang Pendidikan Islam,…, hal. 47
[13] HAMKA, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), hal. XVII-XIX
[14]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 229
[15] Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 230
[16]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 230
[17] Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hal. 278-279
[18]Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 281-282
[19]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 246
[20]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 247
[21]Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,.., hal. 283
[22]Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,…,hal. 284
[23]Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas (Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), hal.41
[24]Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas,…, hal. 79
[25] Ramayulis & Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,…,hal. 285
[26]Syamsul Kurniawan dan Erwin Makhrus,  Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,…, hal. 229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar