BAB
I
PENDAHULUAN
Banyak
kalangan cendikiawan muslim yang menyoroti masalah kemunduran barat dari segi
spiritual meskipun ketika itu dunia barat berkembang dari segi ilmu pengetahuan
dan material. Tidak jarang cendikiawan muslim yang menganjurkan untuk mengambil
nilai nilai barat sebagai pelengkap bagi kemajuan islam karena semakin lama
peradaban islam semakin mengalami kemunduran.
Salah satunya
adalah Seyyed Hussein Nasr. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Seyyed Hossein Nasr memberikan
pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh
manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu
ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia
telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran
eksistensi.
Fenomena ini tidak
saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia
Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan
mengulangi apa yang telah dilakukan Barat.
Salah
satu konsep beliau yang terkenal adalah tradisionalisme islam. Pengetahuan dalam
hubungannya dengan kesucian Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep
nilai-nilai ke-islaman yang terkenal dengan sebutan Tradisionalisme Islam, yang
merupakan gerakan respon terhadap kekacauan Barat modern yang sedang mengalami
kebobrokan spiritual. Nasr menyarankan agar Timur melihat barat sebagai contoh,
dan mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan Barat.
Dalam makalah ini
penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr
yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih
mendalami pemikirannya khususnya pada bidang Islamisasinya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup dan Karya-karya Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan diTeheran, Iran dan mendapatkan
pendidikan dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya ditempuh
di Amerika di Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana berhasil
mendapatkan diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master of Arts) dalam
bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan dirinya. Lalu Seyyed
Hossein Nasrmelanjutkan Universitas Harvard menekuni History of Science and
Philosophy, di Perguruan tinggi ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor
of Philosophy) pada tahun 1958.[1]
Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang
mempunyai keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatanhambatan
ilmiah untuk menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan jujur.[2]
Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr
mendapat gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat.
Tahun 1962 beliau menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal disana
sampai tahun1965. Tahun 1994 – 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of
Islamic Studies pada American University of Beirut. Nasr juga memberikan
ceramah dan kuliah di beberapa negara antara lain : Amerika, Eropa, Timur
Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr mengarang lebih dari dua
belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah diterjemahkan kedalam
lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya berkisar pada pemikiran
Islam dan problem manusia modern.[3]
Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu
pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman dan ketajaman pemikirannya. Nasr
juga ilmuwan muslimyang melanjutkan kritik sedemikian hebatnya, kepada dunia
Barat dan peradaban modern pada umumnya, dengan menggunakan pedang
intelektualnya.
Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status “setengah
pengasingan” karena dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza Pahlevi di
Teheran dalam mendirikan dan kemudian memimpin sebuah institut pengkajian
filsafat dan menerima gelas kebangsawanan dari sang raja diraja itu, reputasi
Nasr tidak menurun hanyasaja Nasr meninggalkan Iran dan menetap di salah sebuah
universitas di Amerika Serikat. Selama ilmuwan tidak menjual pengetahuan yang
dimilikinya untuk melenyapkan, mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu
pula integritas ilmunya tidak terganggu sama sekali.[4]
Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies
pada Amerika University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam pemikiran
Islam dalam karya-karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa tugas dalam Aga
Khan Chair yang dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam dalam khasanah
kehidupan intelektualnyasecara “setia” dalam bahasa yang kontemporer tanpa
menyimpang dari sudut tradisional, juga untuk mengadakan dialog dengan agama
lain di luar Islam, terutama Kristen yang berdiri berdampingan dengan Islam di
Libanon, serta untuk mengadakan studi tentang aliran-aliran Islam yang
bersama-sama mewakili di Negeri ini.
Ada dua metode yang mendukung pengembangan Nasr, pertama metode
komperatif yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi
perbandingan yang berarti antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur
dan barat, kedua metode historis yaitu melangkah ke lembaran sejarah kemudian
membandingkan sumber-sumber dari berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh
filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian melangkah kedepan untuk
membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat.
Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan
kebudayan Islam tersebut masih hidup
dengan kuatnya. Nasr juga menyarankan semua itu dipandang dengan menjauhkan
dari sikap rasional dan sekuler faham Helenistis, dengan pengunduran diri dari
ujian dan gejolak sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam akan pangilannya
sendiri sebagai umat religius Timur dekat.[5]
Seyyed Hossein Nasr sebagain tokoh pemikir Islam dengan bahasa kontemporer
tanpa meninggalkan sisi tradisional itu sendiri, berusaha menghadapi dan
memberikan jawaban terhadap pandangan orientalis yang banyak berpijak pada
pemikiran modern seperti materialisme, scientisisme dan sebagainya.
Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam
dari sudut pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya yang
tertulis dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun yang
biak biasanya didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan kepada
intelegensi muslim tradisional yang kesulitan dam keraguan sekelompok
masayarakat yang telah dimodernisir. Argumentasi dan otoritas agama yang
tradisional adalah sepenuhnya memiliki validitas dan bahasa mereka adalah apa
yang seharusnya digunakan. Lebih tepat, keadaan luar biasa pada saat itu telah
membawa situasi yang mana bahasa-bahasa dan jalur argumentasi harus diubah
untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.[6]
Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan
segala tenaga dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini.
Karya-karya Seyyed HosseinNasr, antara lain :
1.
Buku
terdiri atas :
a.
Islam
and The Plinght of ModernMan (Islam dan Nestapa Manusia Modern)
Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi oleh
manusia modern. Buku ini jugamembahas cara-cara penerapan ajaran warisan
intelektual dan spiritual Islam. Selain juga alternatif besar ajaran Islam
tersebut untuk mencari jalan keluar dari kedudukan manusia modern melalui
penerapan ajaran Islam.
b.
Ideals
and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta)
Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam Islam sebagai
kekuatan yang tetep hidup dan ditujukan kepada orangorang yang terbiasa dengan
dialektika pemikiran modern. Buku ini juga menjawab berbagai serangan terhadap
Islam yang dilakukan beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan.
c.
Science
and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam)
Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim mengenai apa
yang harus dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan barat yang didominasi dunia
sekarang ini karena ilmu pengetahuan modern mengalami krisis. Salah
satusumbernya adalah anggapan yang netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat
dan wahyu. Berpijak dari hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali
peran ilmu pengetahuan dan peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut.
d.
Living
Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang)
Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi dunia
modern pad aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu persoalan yang penyelesaiannya
tergantung pada pemahaman dan pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara
keseluruhannya. Buku ini diharapkan dapat menjadi kuci untukmembuka sejumlah
pintu meuju gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang.
e.
Knowledge
and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian)
Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang berbahaya yang
dimiliki manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional dapat menajadi kekuatan setan
jika dipisahkan dari intelek wahyu yang memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan
sucinya. Manusia sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang
berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya.
Menjadi manusia mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui dan juga melebihi
diri sendiri. Mengetahuipada akhirnya berarti mengetahui Substansi Tertinggi
(sumber dari segala sesuatu).
f.
A
Young Muslim’s Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia Modern)
Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim dalam
menjelajahi dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam lagi tentang
peradaban Barat dan pemikiran modern yang telah mempengaruhi dunia Islam selama
kurang dua abad belakangan ini. Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab
dengan agama dan akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan
intelektual yang diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia modern
tanpa kehilangan keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu menekankan sebagai
keyakinan dan pandangan hidup.
Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku
atau karya-karya lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three Muslim
Sages, Islamic of Art and Spirituality.
2.
Makalah,
terdiri atas :
Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and
Renaissance in The Context of Contemporary, Philosophia Perennis and Study of
Religion, dan Dunia Barat dan Tantangan-tantangan terhadap Islam.
B.
Pemikiran
Seyyed Hossein Nasr
1.
Hakikat
Pengetahuan
Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah
tradisi. Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena
pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari
agama.
Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis, menyiratkan
sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu
maupun pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam sejarah kemanusiaan
tertentu, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal
dengan Sumber maupun rantai-antai vertikal yang menghubungkan setiap denyut
kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan relaitas transender.
Tradisi bisaberarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup
semua aspek agama dan peradabannya, bisa pula di sebut as-sunnah, yaitu apa
yang didasarkan pada mode-mode sakral, bisa juga diartikan as-silsilah yaitu
mata rantai yang mengkaitkan setiiap periode, episode atau tahap kehidupan dan
pemikiran dunia tradisional kepada sumber (Tuhan).[7]
Istilah tradisi dalam penggunaan secara teknis, dalam karya ini
atau yang lain, berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang
Asal Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia
dan keseluruhan wilayah kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain,
beserta percabangan dan aplikasinya dalam berbagai wilayah realitas yang
mencakup hukum dan struktur sosial, seni, simbolisme serta berbagai cabang ilmu
pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara mendapatkannya.[8]
Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap
memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit yang
disebut juga agama. Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau hakikat
adalah prnsip-prinsip yang ditampakkan surga (yang diwahyukan itu sendiri) yang
berfungsi mengikat manusiakepada permulaanya (dengan yang Asal).[9] Tradisi
dalam pengertian yang konkrit dapat dianggap sebagai aplikasi prinsip-prinsip
tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatiankesejatian yang berkarakter
supra individual yang berakar pada hakikat Realitas. Tradisi bukanlan mitologi
kekanak-kanakan dan usang, tetapi sebuah ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi
sebagaimana juga agama terdiri dari dua unsur utama yaiti kesejatian dan
kehadiran tradisi berasal dari sumber yang sekaligus menjadi tempat kembalinya
segala sesuatu, ibaratnafas Yang Maha Pengasih yang mana tradisi para
sufimerupakan inti akar dan hakikat eksistensi.
Kata tradisi secara etimologi berkenaan dengan transmisi
pengetahuan, praktek-praktek, teknik-teknik, hukum-hukum, bentuk-bentuk dan
lain-lain, baik secara lisan maupun tulisan. Tradisi seperti kehadiran yang
hidup yang menimbulkan cap namun tidak sesuatu yang terkena capnya. Sesuatu
yang ditransisikan dapat berupa kata-kata yang ditulis di atas perkamen, bisa
juga berupa kesejatian yang diturunkan ke dalam hati manusia, dengan
pentranmisian yang dapat berlangsung yang dapat berlangsung selembut tarikan
nafas dan secepat kedipan mata.[10]
Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennialdibanding
yang lain, yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini merupakan
elemen utama penyusun tradisi, dan shopia perennis (hikmah abadi) berkaitan
dengan konsep Tradisi Promodial, yaitu eksistensi manusia. Bentuk-bentuk
pewahyuan tersebut alah perwujudan Tradisi primodial dalam dimensi manusiawi,
yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu
dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan tersebut.[11]
Seyyed Hossein Nasr sependapat dengan Steuco mengatakan bahwa Hikmah
Abadi berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sakral yang diberikan
oleh Tuhan kepada Adam, namun semakin banyaknya jumlah manusia, pengetahuan
menjadi kabur dan akhirnya tidak lebih dari mimpi atau dongeng.[12] Berpijak
dari keterangan di atas bahwa pengetahuan senantiasa memiliki hubungan dengan
Realitas promodial yang merupakan kesucian dan Sumber dari segala yang suci
melalui aliran sungai waktu yang menurun, pengetahuan tentang Realitas yang
merupakan Substansi Tertinggi, oleh karena itu pada hakikatnya pengetahuan itu
suci atau disebut juga scientia sacara. Sebelum membahas tentang apa maksud
Nasr tentang scientia sacraakan di bahas tentang proses desakralisasi Ilmu
Pengetahuan yang ia bahas dalam bab awalnya di buku Knowlegde and Sacred.
2.
Desakralisasi
Ilmu Pengetahuan
Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan memang sangat menarik
karena dengannya kita bisa tahu dan lebih mengerti keagungan dan keanggunan
ciptaan Tuhan, semisal fenomena alam semesta, seperti planet, tata surya,
galaksi dan bintang-bintang.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak diantara
ilmuan besar dan berpengaruh seperti Laplace, Darwin dan Freud dengan
pengetahuan yang mereka yang mendalam tentang fenomena alam justru menolak
keberadaan Tuhan.
Selanjutnya teori ilmu pengetahuan barat tidak merumuskan visinya
mengenahi kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan tapi
mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradis-tradisi rasional dan sekuler
bangsa Yunani dan Roma, dan spekulasi-spekulasi metafisis. Para pemikir yang
menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikonalitik tentang kodrat
manusia. Hasilnya adalah sekulerisasi pengetahuan atau meminjam istilah S.H
Nasr Desakralisasi Pengetahuan.
Dalam ceramahnya di Gifford lecture tahun 1981 Nasr menulusuri
sejarah desakralisasi pengetahuan yang berlangsung berangsur-angsur di barat,
menurutnya ketika pemikiran Ibn Sina dan Ibn Rusd memasuki dunia Eropa dan
memberi inspirasi dan dorongan karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sepotong-sepotong,
sehingga kehilangan kandungan spritualnya. Di timur Ibn Sina merupakan tokoh
spritual dan kerohaniaan yang besar filsafatnya menjadi dasar teori ilumnis
dari Shihabuddin al-Suhrawardi akan tetapi dibarat yang di ambil dari Ibn Sina
adalah teori nominalnya, demikian pula di barat Ibn Rusd menjadi lebih
rasionalistik dari pada timur.[13]
Kecendrungan-kecendrungan rasionalistik yang sudah mulai tumbuh di
barat memperoleh kekuatan baru pasca abad pertengahan, ilmu-ilmu fisikakimia
bersama-sama disiplin biologi dan psikologi yang beriman kepada eksprementasi
dan matematisasi pengetahuan membunyikan lonceng kematian bagi pandangan yang
kudus tentang pengetahuan.
Spinoza (1632-1677 M) umpamanya membuat keseluruhan sistem
pemikiran menjadi ilmu ukur yang segalasesuatunya dapat dideduksikan dari
beberapa aksioma akibatnya apabila seseorang filosof bicara tentang intuisi
maka yang dimaksud adalah bukan intuisi yang sesungguhnya melainkan bentuk akal
yang lebih tinggi.
Filsafat atau kajian ilmiah telah terjadi apa yang disebut Nasr
dengan philosophical doubt, keraguan terhadap validitas dan otoritas filsafat,
filsafat mulai dicurigai dan sedikit demi sedikit di tinggalkan dan diganti
oleh kaum ockhamis dengan apa yang di sebut “teologi nominalis”. Sekularisasi
terjadi misalnya terhadap kosmologi tradisional dengan melenyapkan
malaikatmalaikat dari alam semesta sehinggaalam menjadi sekuler dan meratakan
jalan bagi revolusi kopernican, karena menurut Nasr revolusi seperti itu hanya bisa
terjadi pada kosmos yang telah kehilangan makna simbolis dan spiritual sehingga
dijadikan sebagai obyek fisika biasa.[14]
Titik puncak dari sekulerisasi adalah dengan mencampakkan manusia
dari pusat segala sesuatu, astronomi baru tidak memberikan kepada manusia
dimensi transenden, manusia telah kehilangan sifat theomorfisnyaakhirnya
manusia renaisan menjadi sepenuhnyamanusia, bukan separuh manusia separuh
malaikat mel;ainkan yang kini terikat sepenuhnya pada bumi, manusia hanya
menjadi khalifah saja bukan khalifatullah sehingga apa yang dikatakan Nasr
bahwa manusia Eropa telah kehilangan surga era keimanan.[15]
Manusia modern telah menderita teraliensi dan anomi yang gawat, ada
kekacauan dan tidak keseimbangan roh, manusia telah menjadi korban sizofreni
spiritual yang tidak bisa disembuhkan kecuali apabila manusia kembali kepada
sumber segala sumber dan wawasan tentang yang kudus dihidupkan kembali.
Hilangnya visi keilahian masyarakat modern[16] karena
telah tumpul penglihatan intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan
kehidupan, istilah intelektusmempunyai konotasi kapasitas mata hati,
satu-satunya elemen yang ada pada diri manusia yang sanggup menatap
bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.[17]
Karena intelektuasnya disfungsional maka sesungguhnya pengetahuan
apapun yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan yang
terpecah-pecah (fragmented knowledge)sehingga wawasan pengetahuan tidak
lagi membawa kearifan terhadap alam semesta. Untuk mengembalikannya agar
intelektusnya fungsionalmaka tiada jalan lain harus melalui pengetahuan
pusat (centre) atau aximkarena pengetahuan kini sekaligus
mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir-pinggir dan di ruji-ruji
yang menghubungkannya. Pengetahuan sempurna hanya ada bila ia mendapat bantuan
ilmu Tuhan.
Ada dua istilah yang digunakan Nasr untuk membedah manusia modern
yakni axim (centre) atau rim (periphery) dalam orientasi hidup
tandasnya, manusia modern telah berada di
rim (periphery) atau pinggir existansinya dan bergerak menjauh
dari pusat baik yang menyangkut dirinya maupun dalam lingkungan kosmisnya.
Mereka telah cukup dengan perangkat ilmu dan tekhnologi sebagai hasil gerakan
renaisan abad ke-16, sementara pemikiran dan faham keagamaan yang bersumber
pada ajaran wahyu kian ditinggalkan.
Menurut Nasr alam jangan dijadikan sebagai terminal terakhir
orientasi kehidupan (sebagaimana yang dilakukan manusia modern) dan hendaknya
segala ilmu serta usaha manusiayang telah dibangunnya berupa “kepingan-kepingan”itu
diikatkan pada centre (titik pusat) agar keberadaan manusia tidak terpelanting
kewilayah rim, upayaini bisa dilakukan bila mnusia mempunyai kesadaran religius
dan ketajaman visi intelektusnya, suatu ketajaman intuitif yang mengatasi
ketajaman rasio.
Sayang, demikian Nasr, porsi intelektus ini tidak mendapat tempat
wajar dalam pengembangan kajian ilmiah Barat kontemporer terutama sejak
berkembangnya aliran cartesian-dualism.
Sejak rasionalisme yang tersistemasikan ini berkembang, manusia lalu dilihat
hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik dan rasio sementara dimensi
spiritualnya tercampakkan.
Padahal konsepsi filsafat atau kajian ilmiah pada mulanya merupakan
“ilmu yang suci” (scientia sacra) atau pengetahuan keilahian (divine
knowledge) bukannya filsafat atau kajian ilmiah yang profan seperti berkembang
di Barat, menurut Nasr filsafat Barat semestinya berintikan “kecintaan kepada
kebajikan” (the love of wisdom) beralih pada “kebencian pada kebajikan” (the
hate of wisdom).[18]
Dengan demikian menurut Nasr kalau masyarakat modern kalau ingin mengakhiri
ketersesatannya yang mereka timbulkan sendiri, lantaran semakin dilupakannya
dimensi-dimensi keilahian, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup
keagamaan harus dihidupkan kembali, ungkapnya “hajat untuk menangkap kembali
pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern menjadi lebih mendesak”.
Akibat konsep sekularisme, manusia modern telah teraliensi baik
dalam dirinya, lingkungan dan Tuhannya, manusia modern sengaja membebaskan
dirinya dari tatanan ilahiyah (theomorphisme) untuk selanjutnya
membangun tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia (antrophormophisme),
intinya manusia modern ingin menjadi raja yang bebas dan menentukan nasibnya
sendiri tanpa disibukkan oleh persoalan yang bersifat spiritual-transendental.
Menyadari kondisi masyarakat modern yang demikian pada abad XX
terutama sejak beberapa dekade terakhir ini muncul suatu gerakan yang mencoba
menggugat dan mengkritik teori-teori modernisme. Mereka sadar bahwa kehidupan
modern tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan
dedoinistik, mereka mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan
kembali pada hikmah spiritual yang dalam agama otentik memikirkan kembali
hubungan antara yang suci (sacred) dan yang profan, merajut kembali antara-meminjam
istilah Fritjof Schon- scientia sacra (pengetahuan suci) atau philosophia perenialis (filsafat
keabadian) dengan scienti profan (pengetahuan rendah) atau philosophia
materialis (filsafat material).
Sementara dikalangan modernis Islam, gerakan pembaharuan dan
pemikiran dalam Islam sejak fase 60-anhingga dua dasa warsa terakhir ini telah
mencoba bersikap kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya dengan
memunculkan gerakan kelompok paradikma dan epistemologi bermacam-macam
misalnya: 1). Fundamentalis atau juga disebut neo revivalis Islam
yang menghendaki agar semua persoalan dikembalikan kepada acuan alQur’an dan
al-Sunnah dan kehidupan para sahabat dalam pengertian tekstual. 2). Neo
modernis yang berusaha mencari relevansi Islam bagi dunia modern, ia kritis
terhadap sejarahnya sendiri sekaligus terhadap idiom kemodernan. 3). kiri
Islam atau yang disebut sosialisme Islam atau marxisme Islam yang
berkecenderungan ke arah humanistik dan rasionalistik, liberalistik,
berkepentingan membela masyarakat tertindas dan menampilkan Islam sebagai
kekuatan revolusioner-politik.
Namun dari berbagai tindakan yang mereka lakukan (dengan konsep
Barat) guna keluar dari pemikiran modern Barat tak jarang pula mereka malah
terkontiminasi atau terpengaruh pemikiran itu sendiri dalam derajat yang
berbeda.
Menurut Nasr jalan keluar dari masalah di atas tidak harus
mengambil konsep-konsep Barat, imbuhnya konsep Barat bertentangan dengan Islam
karena watak sekuleristik dan modernistik maka itu Nasr menganjurkan agar
mereka mengambil ataukembali ke tradisionalisme Islam, dari sini dapat
dimengerti mengapa Nasr mengecam modernis-modernis Islam semisal al-Afghani,
Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali, dan Muhammad Iqbal, kelompok ini menurut Nasr
pionir-pionir Barat dalam menyebarkan sekulerisme serta kecenderungan
apolegotik lainnya terhadap Islam, Amir Ali misalnya ia merasa malu dengan
konsep Islam tentang wanita, semata-mata karena tidak cocok dengan konsep
Barat,demikian juga dengan Iqbal yang cenderung dipengaruhi oleh filsafat Barat
dan tidak berakar pada tradisi pemikiran Islam, ironisnya para pemikir pakistan
sekarang bertaklid pada Iqbal, ujar Nasr. Akibatnya kebekuan pemikiran semacam
ini pemikir muslim tidak eksis dalam peta intelektual dunia dan tidak mempunyai
bobot menjawab tantangan modernisme Barat.[19]
Tradisionalisme tak lain adalah gerakan yang ingin mengembalikan
bibit yang asal atau prinsip-prinsip yang asal yang hilang dari pemikiran
modern, tradisionalisme mengingatkan bahwa tidak akan menerima suatu pola pikir
yang tidak mempunyai parfum yang sakral dan yang mengganti tatanan ilahi dengan
inspirasi murni manusia, karena didalam Islam manusia berfikir dan bertindak
dalam fungsi homo sapien dan homo fabernya sebagai abdullah dan
tidak sebagai mahluk yang telah memberontak atau melawan Tuhan.
Inti di dalam Tradisionalisme adalah bahwa segala macam pemikiran
dan aktivitas intelektual selalu bernuansa sakral dampaknya terlahirlah sejenis
peradaban, senu, filsafat atau keseluruhan cara berfikir yang sepenuhnya
theosentris yang berdiri menetang antromophorphisme yang menjadi ciri
khas modernisme.[20]
Jadi dapat difahami kehadiran yang sakral dalam berbagai aktivitas
intelektual ahirnya membawa ke scientia sacra yaitu pengetahuan suci yang
berada didalam jantung setiap wahyu, ia hadir sebagai pengetahuan segera yang
bersifat langsung, dapat dirasakan dan dialami ruhaniyahnya, tradisi Islam
menyebutnya sebagai pengetahuan yang hadir “Ilmu Hudluri”[21]
Manusia dimungkinkan memiliki pengetahuan ini dan berhubungan
dengan aspek-aspek realitas, karena pada kenyataan ahir pengetahuan adalah
pengetahuan tentang realitas absolut dan kecerdasan memiliki karunia ajaib ini
memungkinkan mengetahui bagian-bagian wujud.
Pada pusat sains-sains alam begitu juga antropologi, psikologi dan
estetika ada scientia sacra yang berisipringsip-pringsip yang Realitas dan
sains-sain ini hanya ada dalam tradisi Islam, maka untuk menjawab tantangan
modernisme tak ada jalan lain kecuali kembali kepemikiran tradisional Islam,
menurut Nasr adalah sangat mungkin pada saat ini untuk mengembangkan ilmu-ilmu
pasti dalam program studi Islam karena Islam mempunyai dan memiliki warisan
banyak dalam bidang tersebut.
3.
Scientia
Sacra
Pengetahuan suci (Scientia Sacra) adalah pengetahuan yang berada
dalam jantung yang berada dalam jantung setiap waktu Pengetahuan Suci bukanlah
buah dari spekulasi kecerdasan manusiawi atau penalaran atau bisa dikatakan
pengetahuan suci bukan kontruk mental yang akan berubah dengan berubahnya gaya
budaya suatau jaman, atau dengan munculnya penemupenemuan baru dari pengetahuan
dunia material. Pengetahuan ini berisi pengalaman seperti dilahirkan dari
sumber pengatahuan yakni intelek. Berpijak dari sudut lain, dimana Diriyang
berada pad apusat setiap diri sumber pengetahuan suci diturunkan pada manusia yangmerupakan
pusat kecerdasan manusia sendiri yang pada akhirnya pengetahuan tentang
substansi itu sendiri.[22]
Metafisika atau pengetahuan suci adalah pengetahuan atau ilmu
tentang Yang Real atau lebih khusus pengetahuan denganarti dimana manusia dapat
membedakan anatara yang Real dengan ilusi, dan cara mengetahui sesuatu secara
esensial yang berarti mengethaui secara paripurna tentang Realitas. Pengetahuan
tentang Prinsip yang sekaligus realitas Absolut dan tidak terbatas adalah pusat
metafisika. Metafisika memperhatikan tidak hanya Prinsip dalam diri sendiri dan
dalam manifestasinya. Pada pusat ilmu pengetahuan tradisional tentang kosmos
(alam) ada scientia sacra yang berisi prinsip-prinsip yang merupakan
pengetahuan suci.[23]
Pengetahuan tidak lain adalah mengetahui Realitas Tertinggi, dalam
hal ini Allah berfirman dalam surat Al Hadid ayat 3 sebagai berikut:
Artinya:
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.
Kata “Yang Awal” berarti, yang telah ada sebelum segala sesuatu
ada, “Yang Akhir” adalah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang
Dzhahir” adalah yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya atau Yang Maha
Tinggi, tidak di atas-Nya suatu apapun, “Yang Bhatin” adalah yang tidak
sesuatupun yang menghalangiNya dan Dia lebih dekat kepada makhlukNya daripada
makhluk itu sendiri kepada DiriNya.
Metafisika tradisional atau pengetahuan suci tidaklah hanya
penjelasan teoritik tentang pengetahuan realitas.Tujuannya membimbing manusia,
dan mengijinkannya mencapai kesucian. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa
pengetahuan suci berisi bibit dan buah dalam hati dan pikiran manusia, bibit
yang jika dipelihara atau dibina melalui latihan-latihan spiritual dan
kebajikan akan menjadi tanaman yang akhirnya berbunagn dan berbuah lebat.[24]
Pengetahuan yang pada hakikatnya adalah suci kini pada gilirannya
lebih bersifat eksternal dalam arti telah lepas dari Sumbernya, sehingga hilang
predikatnya sebagai pengetahuan yang hadir (al-ilm al huduri), untuk
mendapatkan kesejatian dan kebenaran pengetahuan yang suci maka kembali pada tradisi
yang bisa mengantarkan ke Sumbernya.
4.
Sumber
Pengetahuan
Berbicara mengenai sumber pengetahuan Seyyed Hossein Nasr
menganggap bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukan pengetahuan melalui
pencapaian (al-ilm al-husuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan itu
adalah pemberian (al-ilm al-huduri), maka sebagai sumber pengetahuan bukan
hanya melalui rasio murni tetapi juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi.
Sumber wahyu dalam Islam adalah malaikat Jibril atau Intelek
Universal. Intelek (al-aql al-kulli menurut bahasa, hadis) dan kata aql (akal)
sendiri secara etimologis menandakan baik nal yang mengikat atau membatasi Yang
Mutlak menurut petunjuk penciptaan maupun yang mengikat manusia kepada
kebenaran, Tuhan sendiri.[25]
Kata Al-Aql di dalam bahasa Arab. Selain berarti pikiran dan
intelek, juga digunakan untuk menerangkan sesuatau yang mengikat manusia dengan
Tuhan. Salah satu arti akar kata aql adalah ikatan. Tuhan menyebutkan di dalam
Al-Qur’an, manusia yang ingkar itu sebagai orang yang tidak bisa berfikir “la
ya’qilun” manusia yang tidak bisa menggunakan akal dengan baik. Sangat
ditekankan di dalam Al-Qur’an bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan
timbulnya kehendakyang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal
secara baik.[26]
Sebahagian dunia (terutama dunia barat), istilah “intelek” dianggap
sinonim dengan istilah “akal” atau “nalar” dan “intuisi” yaitu indra “biologis”
keenam yang mampu menangkap kejadian-kejadian dimasa mendatang, oleh karena itu
sukarlah dipahami makna “intelek” dan “intuisi”, sebagai dua fakultas atau
indra yang mendasari ilmu, dalam konteks pemikiran Islam. Istilah al-aql
manusia menjadi manusia dan memiliki sebagian dari ilmu, al-‘ilm yang akhirnya
hanya akan menjadi milik Allah semata.[27]
Fungsi intelek hanya terlibat pada cahaya kemampuannya dalam
membentangkan kebenaran-kebenaran wahyu. Wahyu atau risalah dijadikan alat
untuk mencapai kebenaran dan wahyupun menerangi intelek serta memungkinkannya
untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Perkawinan antara wahyu dan intelek ini
sesungguhnya telah memungkinkan untuk berperan serta dalam kebenaran melalui
fi’il (tindakan) atau langkah yang lazim disebut intuisi dan tidak terpisahkan
dari iman yang memingkinkan tersiptanya ilmu kebenaran ini.[28]
Intelek yang sesungguhnya disebut juga wahyu khusus (partikular) atau
wahyu sebagian (parsial) atau wahyu al-juz’i, sedangkan wahyu obyektif yang menyebabkan berdirinya suatu agama baru
disebut wahyu semesta (Universal) atau al-wahyu al-kulli. Hanya melalui wahyu
yang obyektif dan universal inilah seganap kemampuan intelek dapat diaktualisasikan
atau diwujudkan. Hanya dengan berserah diri kepada wahyu obyektif inilah wahyu
subyektif pada diri manusia dapat berbentuk intelek itu dapat benar menjadi
mampu diri, tidak saja mampu menelaah atau menganalisa tetapi juga mampu
membuat sintesis dan unifikasi.[29]
Intelek adalah pusat cahaya yang merupakan wakil yang menurun pada
dunia. Intelek adalah firman, dengannya semua tercipta, manusia dan agama.
Intelek adalah pengetahuan Tuhan tentang dirinya sendiri dan pertama dalam
makhluk-Nya.[30]
Berbicara tentang intelek ada kaitannya dengan kosmos, karena
disamping sumber wahyu juga penghubung manusia dengan kosmos (alam), dimana
kosmos sumber pengetahuan. Hubungan seorang gnosis bersifat intelektif
(kompletatif) yang tidak abstrak, tidak analitis. Alam bagaikan selembar buku
penuh lambang-lambang yang harus dibaca menurut maknanya. Al-Qur’an adalah
persamaan teks tersebut dalan kata-kata manusia, kalimat-kalimatnya disebut
ayat (tanda-tanda), persis seperti fenomena alam. Alam dan Qur’an kedua-duanya
menegaskan kehadiran dan pemujaan Tuhan.[31] Allah
berfirman dalam surat al-Fushilat ayat 53:
Artinya:Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi
atas segala sesuatu?
Ahli-ahli hukum beranggapan, alam hanya ada dalam pikiran manusia
sebagai panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia, bagi seorang gnostik
atau sufi ayat Qur’an tersebut juga lambang. Jika tradisi penafsiranpenafsiran
simbolis ayat-ayat kitab suci tidak ada lagi dan karenanya masih akan tahu
kewajibannya, tapi “teks kosmos” itu tak akan dapat dipahami. Fenomena alam
akan hilang hubungannya dengan tingkat relaitas yang lebih tinggi, jika hilang
hubungan antar mereka, semua itu akan menjadi fakta. Semangat Islam menekankan
kesatupaduan alam, yang menjadi tujuan sains kosmologi (pengetahuan alam).[32]
Tujuan pengetahuan suci adalah pengetahuan tentang kesucian itu
sendiri, yaitu Relitas yang teletak
dibelakang manifestasi kosmos, yang sucinya terdapat dalam lembar-lembar
yang terpancar dari buku alam semesta, dalam hal ini kosmos (alam) adalah
sebuah buku yang berisi wahyu Primordial yang paling bermakna dan masusia
adalah kepribadian yang esensial yang direfleksikan pda cermin kosmik.
Pengetahuan suci harus memasukkan suatu pengetahuan tentang kosmos tidak suatu
pengetahuan empirik.[33]
Melihat kosmos dengan intelek adalah melihat kosmos bukan sebagai
kenyataan-kenyataan yang dieksternalisasikan namun sebagai kenyataan dimana
tersermin aspek-aspek sifat Ilahi seperti teofani (manifestasi) dari Realitas
yang tinggal di pusat kepribadian manusia itu sendiri. Melihat kosmos sebagai
teofani adalah melihat cerminan kedirian dalam kosmos.[34]
Islam memandang korespondensi antara manusia, kosmos (alam), dan
kitab suci adalah sentral dari agama secara luas. Kitab suci Islam adalah
AlQur’an yang tertulis dan tersusun sebagaimana Al-Qur’an kosmos. Kosmos
memanifestasikan dirinya sendiri sebagai teofani dan fenomena alam
ditransformasikan ke dalam ayat yang disebut Al-Qur’an. Aspek teofani dari alam
perawan (asli) membantu manusia menemukan akan keadaan batinnya sendiri. Alam
adalah dirinya sendiri, sebuah perwahyuan Ilahiah dengan mentafsirkan sendiri.
Manusia yang diberkahi pengetahuan suci, sehingga dpat membaca pesan gnosis
yang tertulis dengan cara yang paling halus pada jurang-jurang dari
gunung-gunung yag tinggi, daun dan pepohonan, wajah-wajah binatang dan
bintang-bintang dilangit. Jadi kosmos identik dengan wahyu karena merupakan
manifestasi sifat-sifat Tuhan sebagai sumber yang tidak lain memahami Realitas
Tertinggi sebagai sumber segala sesuatu.
5.
Jalan
Memperoleh Pengetahuan
Pengetahuan dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan
yang esensial yaitu pengetahuan yang didasarkan identitas diantara yang mengetahui
dan diketahui, dan berdasarkan bahwa yang diketahui itu hilang di dalam api
pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan esensisl atau gnosis yang berada di
jantung wahyu yang termanifestasi baik di dalam kosmos (alam) maupun pada diri
manusia. Berbeda dengan pengetahuan menurut anggapan empirisme dan rasionalisme
yang sifatnya terkotak-kotak, dimana sarana untuk memperolehdengan menggunakan
indra dan akal semata. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan tidak langsung.
Karena berada di pinggiran pusat eksistensi. Pengetahuan pada hakikatnya
terletak (lokus) pada kecerdasan Ilahi menurun pada manusia lewat pancaran
intelek. Tujuan akhir manusia adalah memperoleh lebih bersifat kompletatif,
yang dasar-dasarnya lebih konkrit, sedangkan penalaran dasarnya abstrak.
Manusia terdiri dari jasmani dan intelek, intelek inilah berada di
atas dan dipusat eksistensi manusia. Essensi manusia atau hal yang esensial
didalam sifat manusia, hanya dapat dipahamioleh “mata hati”. Intelek tersebut
disamping berada di pusat eksistensimanusia juga mencakup atau meliputi setiap
level (tingkat) eksistensinya. Begitu mata hati tertutup, kesanggupan intelek
akan mengalami kemandegan maka manusia tidak mungkin mencapai pengetahuan yang
essensial tentang manusia. Refleksi intelek (akal fikiran atau akal budi) di
dalam jiwa dan pikiran, yang disebut akal (nalar, rasio, reason) tidak dapat
mencapai essensi dari manusia maupun dari hal-hal lainnnya, betapapun intelek
itu mengadakan eksperimen dan observasi atau betapapun intelek melakuakn
fungsi-fungsi yan tepat untuk memcahkan dan menganalisa, yaitu fungsi yang
rasio yang tepat untuk memecah dan menganalisa, yaitu fungsi rasio yang tepat
dan sewajarnya. Intelek hanya mempeoleh pengetahuan yang tidak penting, yaitu
pengetahuan mengenai aksiden, efek-efek, dan tingkah laku eksternal namun tidak
dapat memperoleh pengetahuan mengenai ossensi. Begitu juga, jika akal tidak
memperoleh penerangan atau bimbingan intelek, maka akal hanya dapat mengakui
eksistensi dari noumene-noumena dari realitas esensi.[35] Penjelasan
tadi memberikan pemahaman bahwa intelek alat untuk memperoleh pengetahuan yang
pada suatu ketika merupakan sumber wahyu dan timbul secara mikrokosmik di dalam
diri manusia.
Sarana mencapai wahyu, malaikat jibril, juga adalah roh kudus yang
menerangi intelek dan memungkinkannya memiliki indera intuisi. Intelek dalam
cahaya wahyu berfungsi bukan hanya sebagai intuisi intelektual yang apabila
dikawinkan dengan iman, memungkinkan manusia untuk menembusmakna agama dan,
lebih khususlagi, makna kalamIlahi yang terkandung di dalam Al Qur’an. Manusia
mesti menguji kecerdasannya untuk memahami wahyu Ilahi. Memahami wahyu Ilahi
intelek terlebih dahulu terlebih dahulu mesti diterangi oleh cahaya iman dan
disentuh oleh rahmat yang terpancar dari wahyu Ilahi.[36]
Pengetahuan dalam hal ini gnosis
maka alat untuk mencapai pengetahuan tersbut adalah intelek, akal (nalar)
adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada dunia manusia. Hubungan antara
intelek dan akal tidak pernah putus. Intelek tetap mejadi dasar,dan latihan
akal sekiranya sehat dan normal dengan sendirinya akan sampaikepada intelek.
Ahli metafisika muslim cenderung mengatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah
akan membimbing manusia ke-Esaan Ilahi. Walau kenyataan spiritual itu tidak hanya
rasional, tidak hanya irrasional. Akal, lebih dipandang dari aspek akhirnya
dari pada aspek langsungnyadapat membawa orang ke gerbang dunia yang dapat
dipahami, ilmu rasional dengan cara yang sama dapat diintegrasikan ke dalam
gnosis, meskipun bersipat diskursip (terpisah-pisah) dan parsial sedangkan
gnosis bersifat menyeluruh dan intuitif. Begitu eratnya hubungan essensial
antara akal intelek antara ilmu rasional dengan gnosis inilah makna pencarian
penjelasan kausal dalam islam jarang
sekali diupayakan dan tidak pernah berhasil memuaskan ada diluar iman. Sciencia
(ilmu manusia) dianggap sah dan muliahanya selama ilmu manusia tunduk kepada
sapientia (kearifan).[37]
Sayyed Hossein Nasr sependapat dengan Ibnu sina (tokoh mazhab
masy-sya’i) mengatakan setiap manusia memiliki kecerdasan dalam suatu bentuk
tersembunyi, kecerdasan ini disebut kecerdasan potensial atau material (bi al
Quwwah). Bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan manusia, bentuk-bentuk yang
pertama kali terlihat dipindahkan dari atas ke dalam roh dan manusia mencapai
derajat intelek aktual (bi al Fi’il) dan akhirnya setelah proses ini selesai,
kecerdasan perolehan (mustafad). Akhirnya di atas semua tingkatan dan kedudukan
ini terdapat intelek aktif (al-aql al fial) yang bersifat Ilahiah dan menerangi
akal melalui tindakan pengetahuan.[38]
Pengetahuan suci tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemafaatan
yang tepat intelegensi dalam manusia. Penalaran yang terputus dari pacaran
batin tidak hanya menanggalkan ajaran-ajaran pengetahuan suci tetapi juga hanya
menawarkan argumen-argumen rasionalistik, inteleksi tidak dapat mencapai
kebenaran sebagai akibat pemikiran atau nalar profani (nalar murni), tetapi
melalui suatu arah intuisi. Apabila intelek bergerak terlalu jauh dengan sumber
primordial (Yang Esa) yang menyebabkan intelek tidak dapat mempergunakan
fungsinya maka adanya wahyu untukmengaktualisasikan intelek dalam diri manusia
melakukan serangkaian ibadah menyesiakan kunci yang mana manusia membuka pinti
ruang batin keberadaannya.[39]
Makna terlengkap dari intelek dan fungsinya yang universal harus
dicari dalam mari’fat atau gnosis, yang terdapat pada hati ajaran wahyu Islam
dimana terdapat adanya kecerdasan dan pengetahuan. Hati merupakan alat
pengetahuan yang benar dan apabila hati sakit maka akan timbul kebodohan dan
kealpaan, oleh karena itu risalah wahyu lebih ditunjukkan kepada hati dari pada
akal, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57 berikut ini :
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Demikian
pula pengetahuan yang dicapai oleh hatilah yang diperhitungkan di hadapan
Ilahi. Ayat suci surat al-Baqarah 225 berikut ini menyatakan :
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun
Pengetahuan hati (batin) dianggap penting untuk keselamatan karena
orang yang tidak mau mengenal hati dan jantung kehidupannya berarti
menyia-nyiakan kesempatan untuk masuk surga. Pengetahuan hati adalah
pengetahuan yang mendasar yang dikenal sebagai iman, oleh karena itu harus
dihargai karena hati dapat menguasai pengetahuan. Hati pada hakikatnya berarti
tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai pengetahuan. Mata hati
(intelek) sebagaimana ketiga yang mampu mencapai pengetahuan yang lain dari
yang dicapai oleh kedua mata lahir dan tidak bersifat langsung seperti
penglihatan lahir.[40]
Secara ringkas disimpulkan bahwa pengetahuan batin memiliki sifat
langsung dari pengetahuan inderawi yang berhubungan dengan dunia tidak kasat
mata atau dunia rohani. Berpijak dari pengetahuan pemberian atau pengetahuan
batin ini bentuk pengetahuan pada akhirnya menyamakan antara subyek dan obyek
pengetahuan yang paling kongkrit dari semua realitas tersebut Yang Maha Agung,
segala sesuatunya dianggap relatif abstrak. Mengetahui dalam artian terakhir
berarti mengetahui Allah melalui pengetahuan inteleksi maupun intuisi dalam
makna tertinggi dari kedua istilah itu.
6.
Pendidikan Dalam
Pandangan Nasr
Sains dan pendidikan adalah masalah yang mencakup bentang ruang
intelektual dan waktu kesejarahan yang demikian luas, karena keduanya merupakan
manifestasi otentik Islam dan aspek utama peradaban Islam.
Pendidikan maupun sains yang berkembang di dalam peradaban Islam,
dari manapun asal-usul mereka peradaban Islam bisa hidup menelan dan menelaah
serta mencerna bermacam-macam jenis pengetahuan dari banyak sumber yang
berlainan yang sekedar dari Cina sampai ke Iskandaria dan Athena dan semua
masih bertahan dalam Organisme ini dicerna dan dirumbuhkan di dalam tubuh Islam
yang hidup.
Apapun asal-usul material bagipendidikan maupun sains islam
berhubungan secara erat dengan prinsip-prinsip wahyu Islam dan semangat Qur’an,
menurut perspektif tradisi Islam, Al-Qur’an mengandung akar-akar semua
pengetahuan tetapi tentu saja tidakdetail, Al-Qur’an adalah Al-Qur’an yang
disamping bacaan menurut beberapa musafir juga berarti kumpulan yakni gudang
yang didalamnya terkumpul semua permata kearifan. Buku suci ini juga dinamakan
Al-Furqan “Penilaian sebab ia adalah instrumen terhandal pengetahuan dengan
mana kebenaran dibedakan dari kepalsuan, ia adalah Ummul Kitab “ibu semua buku”
karenasemua pengetahuan otentik yang terkandung didalamnya termuat, bukan saja bimbingan moral tapi juga bimbingan
kependidikan, hidayah ataubimbingan yang mendidik seluruh wujud manusia dalam
pengertian yang paling mendalam dan juga paling lengkap, maka tak heran
Al-Qur’an merupakan alpha dan omega dari
pendidikan dan sains Islam sekaligus menjadi sumber dan sasaran mereka,
inspirasi dan pemandu mereka.[41]
Sehingga apa yang menjadi landasan bagi pendidikan dan sains
tersebut dapat memola pikiran dan jiwa sang Muslim, didalam Islam, pengetahuan
selalu disatukan dengan yang sakral dan baik sistem pendidikan maupun
sains-sains yang dimungkinkan olehnya menafaskan semesta kehadiran sakral.
Apapun yang diketahui, mempunyai karakter religius yang mendalam,
bukan saja karena objek setiap jenis pengetahuan itu dicipta oleh Tuhan, tetapi
sebagian besar lantaran intelegensi dengan mana manusia mengetahui adalah
karunia Illahi, fakultas yang secara adikodrati (Supernatural) alamiah yang
dimiliki mikrokosmat manusia, bahkan kategori-kategori logika adalah refleksi
kecerdasan Illahi pada tataran pikiran manusia.[42]
Berhubungan dengan kebenaran dan karenanya kemurnian, pendidikan
Islam mesti berkepedulian dengan seluruh wujud manusia laki-laki dan perempuan
yang diupayakan untuk dididik, tujuannya bukan hanya pelatihan pikiran
melainkan juga pelatihan seluruh wujud sang person. Itulah sebabnya mengapa
pendidikan Islam mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian
(ta’lim), tetapi juga pelatihan seluruh diri siswa (tarbiyah). Guru bukan
sekedar seorang mualim “penyampai pengetahuan” tapi juga seorang murabbi[43]
“pelatih jiwa dan kepribadian”, sejauh tertentu memang benar bahwa terma
mu’alim sendiri pada waktu itu mulai memperoleh makna etika yang didalam dunia
modern hampir sepenuhnya semakin terpisah dari persoalan pengajaran dan
penyampaian pengetahuan, terutama pada pendidikan tinggi.[44]
Sistem pendidikan Islam tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran
dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi seutuhnya, ia tidak pernah
memandang alih pengetahuan dan pemerolehan yang absah tanpa dibarengi
pemerolehan kualitas-kualitas moral dan spiritual.
Menurut Nasr pendidikan Islam meliputi seluruh kehidupan Muslim,
hal ini tampak dalam fase-fase dan periode-periode dalam keseluruhan organik.
Pertama-tama, dalam periode primer pendidikan keluarga masa awal baik bapak
maupun ibu memerankan peran guru didalam persoalan-persoalan keagamaan dan juga
persoalan yangberhubungan dengan agama, kebudayaan dan adat-istiadat.[45]
Periode pertama adalah waktu dimana anak sedang tumbuh yang
biasanya juga dimasukkan ke pra taman kanak-kanak kemudian dilanjutkan ke salah
satu sekolahan agama, yang kurang lebih sejajar dengan sekolah dasar dan
sekolah tingkat pertama, kemudian ke madrasah yang dapat disetarakan dengan
sekolah menengah tingkat atas dan akademia serta akhirnya al-jami’ah atau tempat
pendidikan formal tertinggi.
Di banyak kawasan dunia Islam, madrasah menyatu dengan al-jami’ah
dan setara dengan pendidikan tinggi menengah dan juga akademia, universitas,
selain itu hampir sepanjang waktu madrasah-madrasah dibangun secara seksama
dalam tata letak yang indah. Sampai sekarang ini di sebagian besar kota Islam,
sesudah masjid adalah madrasah yang secara geografikal mempunyai hubungan yang
erat, oleh karena dalam Islam pengetahuan tidak bisa atau tidak pernah
dipisahkan dari yang sakral dan Islam melihat didalam yang sakral terutama
aspek nominalnya, suasana keindahan Illahi, maka pendidikan Islam selalu
ditanamkan dalam atmosfer yang indah. Diberikan secara seksama dalam derajat
yang tinggi untuk menciptakan suasana atmosfer dalam mana kualitas sakral
pengetahuan dan sifat religius seluruh cita-cita kependidikan dalam konteks
tradisional didukung dan tidak bisa disangkal.[46]
Adapun mengenai kegiatan utama untuk sekolah agama yang awal tidak
saja memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya,
masyarakat dan peradaban tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah
penguasaan bahasa.
Kendatipun suasana berbeda bagi anak-anak Arab dan non Arab, tidak
syak lagi bahwa dalam kedua kasus tersebut pengajaran dimuati dengan makna religius
dan proses membaca dan menulis dilihat sebagai aktivitas religius, perkataan
“pena” (al-qalam) sendiri melambangkan pelaksanaan menulis dengan bantuan si
anak menuliskan kata-kata pertamanya, juga melambangkan instrumen wahyu dimana
Tuhan bersumpah didalam AlQur’an.[47]
Sedangkan kegiatan utama di madrasah-madrasah adalah pengajaran
sains-sains keagamaan (naqli) dan sains-sains intelektual (aqli), untuk contoh
sains naqli adalah terutama pengajaran al-syariah, ushul al-fiqh, fiqh dan lain
sebagainya kajian ini didasarkan pada studi yang seksama atas Qur’an beserta
tafsir ta’wil dan hadis. Beserta sejarah Islam yang bertautan dengan Al-Qur’an
dan hadis yang pada gilirannya memastikan terhadap penguasaan bahasa Arab dan
kesusasteraan yang mengarah ke kajian tentang teologi dalam aliran-aliran yang
majemuk.
Sedangkan sains-sains aqli diantaranya diajarkan ilmu logika, matematika, fisika, dam filsafat
yang menurut pemikir-pemikir Muslim dapat dicapai dengan akal dan tidak
disampaikan dalam cara yang sama seperti sains religius, linguistik dan
historikal.
Didalam kegiatan-kegiatan madrasah harus dilengkapi dan ditunjang
dengan dua jenis badan yang lain yaitu institusi-institusi keilmuan (laborat) dan
perkumpulan-perkumpulan pribadi.[48]
Islam membangun lembaga-lembaga ilmiah (riset) seperti rumah sakit
dan observatirium untuk pendidikan dan penelitian yang didalamnya pendidikan
kader profesional dilaksanakan secara ekstensif.[49]
Mengenai perkumpulan-perkumpulan pribadi, yang ada dewasa ini
dirujuk sebagai pengajaran atau pelajaran luar, mereka hadir sebagai sarana
untuk mengajarkan disiplin-disiplin yang
tidak begitu umum kepada kelompok-kelompok mahasiswa pilihanbaik untuk
menghindari kecaman resmi pihak ulama yang boleh jadi berkeberatan terhadap
mata kajian yang sedang diajarkan maupun untuk menciptakan suatu lingkungan
yang lebih akrab bagi penyampaian beberapa sains-sains aqli.[50]
Institusi lain yang berdampak besar terhadap pendidikan Islam
adalah pusat kerajinan seni dan pusat sufi yang disebut zawiyah di dunia Arab
dan khanaqah didalam bahasa Persia, India, dan Turki, institusi ini adalah
tempat bagi penyampaian pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan Illahi
(al-ma’rifah atau irfan) atau apa yang barangkali disebut scientia sacra,
karena sufisme berkepedulian dengan pendidikan sebagai tarbiyah pada tingkat
yang paling tinggi.[51]
7.
TRADISI
PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Nasr bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan Islam pada
gilirannya mustahil untuk dipahami tanpa apresiasi atas pandangan para filosof berkenaan
dengan aspek pendidikan mulai dari tujuan hingga kandungannya dan dari
kurikulum hingga metode-metodenya.[52]
Karena pandangan para ilmuan dan para filosof tentang pendidikan
adalah sangat esensial dewasa ini sehingga memungkinkan penegakan ulang sebuah
sistem pendidikan yang Islami sekaligus bercorak intelektual, menurut Nasr kalau
ada saja sitem pendidikan yang mampu menghasilkan seorang al-Biruni atau
seorang Ibn Sina pastilah ia – paling tidak – menerapkan secara serius
pandanganpandangan yang mereka pegangi tentang pendidikan, selama ratusan tahun
Islam telah menghasilkan menghasilkan muslim-muslim yang patuh sekaligus
pemikirpemikir yang handal di berbagai disiplin intelektual. Muslim-muslim masa
kini yang berupaya mewujudkan kembali sistem pendidikan Islam yang otentik
tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandangan parafilosof-ilmuan seperti
ituberurusan dengan kandungan, tujuan,
metode-metode dan makna pendidikan.
Karenanya musti dinyatakan sejak awal bahwa filsafat Islam seperti
yang berkembang selama ratusan tahun adalah berkarakter Islami dan merupakan
bagian integral dari tradisi intelektual Islam,
namun di tahun belakangan signifikansi filsafat Islam di lupakan dan
bahkan karakter Islaminya di sangkal oleh sebagian besar fundamentalis yang
atas nama sebuah Islam yang di intrepretasikan secara rasionalistik, secara
lahiriyah menentang hal-hal yang berbau barat, sementara pada saat yang sama
memberi peluang gagasan-gagasan yang berbau modernisme untuk mengisi kekosongan
yang tercipta dalam pikiran dan jiwa mereka sebagai akibat dari penolakan
mereka atas tradisi intelektual Islam.[53]
Muslim-muslim masa kini yang berupaya untuk mewujudkan kembali
sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandanganpara
filosof-ilmuan yang berurusan dengan kandungan, tujuan, metode, dan makna pendidikan.[54]
Untuk memahami sistem tradisi pendidikan Islam haruslah
memperhatikan filsafat pendidikan yang mendasari sistem itu, juga perlu
mengkaji kurikulum yang ditetapkan atau diterapkan pada madrasah-madrasah
Tradisional. Yang menjadi ciri khas sistem pendidkan Islam Tradisional maupun
sains-sains yang diajrakannya adalah selalu menafaskan semesta kehadiran yang
sakral, apaun yang di ketahui selalu mempunyai karakteristik relegius yang
mendalam.
Karena berhubungan dengan yang sakral maka kemurnian pendidikan
Islam musti berkepedulian dengan wujud seluruh manusia yang di upayakan untuk
didik, tujuan pendidikan Tradisional bukan hanya pelatihan pikiran tetapi juga
pelatihan seluruh wujud sang person, itulah mengapa pendidikan Ilam
mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau peyampaiaan ilmu (Ta’lim)
tetapi juga pelatihan pelatihan seluruh diri murid (Tarbiyah), gurupun
bukan hanya sekedar Mu’allim, penyampai pengetahuan tetapi juga seorang
Murrabi pelatih jiwa dan kepribadian, sejauh tertentu memang benar bahwa
terma Mu’allim sendiri mulai memperoleh makna Murabbi juga dengan kata lain ia
mulai terisi dengan konotasi-konotasi yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya
terpisah dari peyampaiaan pengetahuan.[55]
Dari berbagi corak pendidikan Nasr adalah banyak mengacu kepada
tradisi masa lalu dan ini memang corak pemikira yang didasrkan pada pemikiran
tradisional Islam dan ini mungkin bisa di jadikan jawaban atas krisi konseptual
pendidikan Islam yang merembes kekrisis kelembagaan pendidikan.
Pendikotomian kajian ilmu didunia pendidikan Islam merupakan
masalah yang kian pelik mengingat lagi dengan merembesnya sistem modernisme
maka mau tidaknya harus diakhiri, didalam konsep tradisi tidak di kenal istilah
pembedaan kajian ilmu profan dan sakral, semua ilmu yang di hasilakn dalm
intelektual Islam adalah bercirikan sakral, jadi sudah seharusnya sekarang
pengajaran pendidikan Islam tidak hanya membatasi pada ilmu-ilmu tertentu tapi
mulailah diisi dengan berbagai kajian keilmuan sebagaimana yang telah di
hasilkan para ilmuan tradisi Islam.
Pendidikan Islam juga seharusnya membuka lembaga-lembaga seperti
observasi sebagai praktek dari teori yang di ajarkan dilembaga madrasah,
mengingat para ilmuan muslim dahulu banyak melakukan penelitian di
laboratiriumya untuk menliti yang di peroleh dari pengajaran di madrasah, juga
perlu digalakan kelompok-studi yang biasanya digunakan untuk diskusi masalah
filsafat untuk menggali khazanah muslim yang telah hilang karena dengan cara
seperti itu mereka akan memahami filsafat yang pada saat ini hampir tergusur
dengan dunia filsafat barat.
8.
PENDIDIKAN
ISLAM DAN MODERNITAS
Gagasan modernisme Islam yang menentukan momentumnya sejak awal
abad 20 pada lapangan pendidikan modern yang di adopsi dari sisitem pendidika
kolonial penjajah.
Pada awal perkembangan adopsi modernisasi pendidikan Islam
setidaktidaknya terdapat dua kecendrungan pokok
dalam eksprementasi organisasi-organisasi Islam, pertama adalah adopsi
sisitem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh, titik tolak
modernisme pendidikan Islam disini adalah sistem, bukan lembaga dan sisitem
pendidikan Islam Tradisional.
Sejak awal perkembangan modrnisme, sebenarnya sebagian besar
lembaga (walaupun tidak sepenuhnya) tercerap oleh kekuatan modernisme dan
pendidikan modern mengikuti lembaga paling penting untuk pengembangan sistem
nilai dunia modern lebih jauh, untuk penyebaran sekulerisasi dan untuk
pandangan dunia agama.[56]
Modernisme dan modernisasi pendidikan Islam dilihat dalam
perspektif perkembangan kebudayaan dan kelembagaanpendidikan tradisional Islam
sulit untuk surviv tanpa modernisasi.dan sebagaimana dikemukakan di atas,
modernisme dan modernisasi kelembagaan pendidikan Islam itu telah berlangsung
sejak awala abad ini dan nampaknya akan terus berlangsung pula dimasa-masa
mendatang, tetapi modernisme sistem dan kelembagaan pendidikan Islam
berlangsung bukan tanpa kritik yang berkembang di tengah masyarakat muslim khususnya
dikalangan pemikir pendidikan Islam dan pengelolaan itu sendiri kelihatanya
semakin vokal.
Persoalan ini melambung dan berkembang ketika ada pandangan atas
kegagalan modernitas dan modernisasi barat yang sebagianya telah terlanjur di
adopsi kaum muslim, termasuk kedalam lapangan pendidikan dalm memenui
janji-janjinya untuk mensejahterakan
kehidupan manusia baik lahir atau batin melalui kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi.
Kegagalan modernisme dan modernisasi barat dengan segala
ramifikasinya di kalngan kaum muslimin sering dikaitkan dengan kekeliruan
epistemologi ilmu pengetahuan dengan epestimologi ilmu padaabad pertengahan
yang bersifat “Theosentris” sebaliknya epetimologi ilmu modern dan kontemporer
lebih bersifat “antroposentris”.
Jika di kalangan barat paradigma epistimologi “antroposentris”
hampir seluruhnya mengusur paradigma “theosntris” sebaliknya para pemikir Islam
terjadi tarik menarik yang cukup intens dim kalmngan pendukung masing-masing
paradigma ini. Pemikir modernisme seperti Muhammad Abduh, Seyyid Amir Ali dan
seterusnya mengembangkan epistemologi ilmu yang kurang lebuh bersifat
“antroposentrisme” sebaliknya pemikir Neo-Tradisionali seperi Seyyed Hossein
Nasr selalu mengkritik keras epistemologibarat dan pemikir modernitas muslim yang
bersifat antroposentrislantas menganjurkan epistemologi ilmu yang bersifat
“teosentris”.repleksi yang cukup jelas juga dari tarik tambang ini adalah
upaya-upaya untuk keluar dari epistemologi ini adalah adanya kemunculan gagasan
Islamisasi pengetahuan yang hingga kini masih dalam perdebatan.[57]
Setidaknya mulai abad 18 ketika didunia Islam mulai muncul bebrapa
orang modernis yang ingin merumuskankembali Is;lam melelui pendekatan
rasionalis filosofis gunamenemukan kembali akar-akar kejayaan padamasalampau yakni
dengan usaha mencari hubungan barat dan Islam. Tetapi karena usaha mereka tidak
cukup steril dari serangan-serangan internal bahkan di antara mereka memperoleh
tuduhan sebagi agen barat sekuler yang anti Islam, maka boleh dibilang sampai
sekarang usaha paramodernis belum cukup berhasil.
Karena teologi eklusif yang semula digugat dan di ganti dengan
teologi modernisme yang sejatinya ingin membebaskan mnausi dari dogmatika nilai
agama yang mmemasun kemerdekaan dan kreatifitas manusia dalam merespon dunianya,
kini bergeser menjadi sebuah sebuah paradigma yang hanya mengagung-agungkan
dimensi akal dan menafikan adanya realitas transendental dan dengan serta merta
Tuhan dimatikan.
Agama dan ajaran moralitas lainnya dipandang telah cukup gagal
dalam membangun kesadarn manusia, karena itu agama di tempatkan hanya pada
level subordinat dari sistem kesadaran. Dalam suasana demikian agama
benar-benar tidak memperoleh tempat sentral dalam sistem sosial polotik,
ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Dan teologi modernisme adalah justru
melakukan desakralisasi atau sekulerisasi peran agama.
Dengan demikian terjadilah imperialisme epestimologi sekaligus
kultural dan politik, yang hanya satu peradaban satukebudayaan dan satu sejarah
yakni di tentukan oleh superioritas rasionalisme dan progresifme barat dan
pasti bercirikan Eropa sentris, selanjutnya bisa di tebak paradigma epetimologi
antroposentris menggusur teosentris.[58]
Dengan demikian jelas bahwa pendidikan Islam yang sudah
termodernisasi lama-kelamaan di tengarai kehilangan identitas jati dirinya
dalam ruh-ruh mendasarnya.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumya dapat kami tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ilmu
Pengetahuan menurut konsep Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang esensial
yitupengetahuan yang didasarkan identitas di antara yang mengetahui dan di
ketahui, maka dari itu Nasr berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia
bukanlah melalui pencapaian saja (al-ilm al-hussuli) tetapi lebih menekankan
bahwa pengetahuan adalah pemberian (al-ilm alhudluri) maka sebagai sumbernya
pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi jugamelalui wahyu dan
intelek serta intuisi, tetapi oleh harmonisasiantar akal dengan wahyu, rasio
dengan hati yang ahirnya berupa pengetahuan intelektus, mata hati yang sanggup
menagkap bayang-bayang Tuhan lewat isarat alam, sehingga bisa membawa membawa
kepada kebahagiyaan manyatu dengan alam dan Tuhanya. Pengetahuan itu tak lain
adalah pengetahuan yang suci (scietia sacra) yaitu pengetahuan yang selalu
menekankan pada kesadaran yang merupakan gnosisi dan tidak hanya pengetahuan
insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya
2.
Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa
seolah-olah teolog ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk
mempertimbangkan penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan pendukung
filsafat perennial, yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi, teologi
menjadi tolok ukur teori-teori ilmiah. Nama Seyyed Hossein Nasr sering
disandingkan dengan Syed M. Naquin Al-Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin
Sardar. Al-Attas menyebut gagasannya dengan "dewesternisasi ilmu",
Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu" dan Sardar
tentang penciptaan suatu "sains Islam kontemporer".
3.
Pemikiran
sayyid Hussein nasr mengenai integrasi antara pengetahuan dan kesucian yang
beliau wujudkan dalam konsep mengenai tradisionalisme islam mengandung semangat
pembaharuan (tajdid) yang merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam
pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi
modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Ilahiah dan
insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan renaisans yang menurut
pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisans dalam Islam berkaitan dengan
tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan
fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. seorang mujaddid berbeda
dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia mengorbankan sebuah aspek
tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang paling ditonjolkan
mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena dikatakan
kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.
4.
Pembaruan
yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah
dilakukan manusia dalam perjanjian dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang
dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu rasionalitasnya yang
meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun
karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya
tak mengenal siapakah sesungguhnya dirinya dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat
bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga
yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk
kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmad
Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996.
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta :
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Komaruddin
Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia SufistikTerhadap Manusia Modern Menurut
Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. M. Dawam
Rahardjo, Jakarta : Grafiti Pers, 1987.
Moh. Sofyan, Pendidikan
Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004.
Seyyed
Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid,
Jakarta : Leppenas, 1983.
_____________,.
Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986.
_____________,.
Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Bandung: Pustaka, 1994.
_____________,.
Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta:
Pustaka, Pelajar, 1997.
_____________,.
Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, Jakarta:
Inisiasi Press: 2004.
_____________,.
Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala Book,
1976.
_____________,.
Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung: Pustaka,
1983.
_____________,.
Menjelajahi Dunia Modern, Terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1994.
_____________,.
Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985.
_____________,.
Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah,
Gema Risalah Press, 1988.
[1] Komaruddin
Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia SufistikTerhadap Manusia Modern Menurut
Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. Lawam
Raharjo, Jakarta : Grafiti Pers, 1987, h. 183
[2] Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan
Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. 183
[3] Kata Pengantar
Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta.
Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. x
[4] Kata Pengantar
Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta.
Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. ix
[5] Seyyed Hossein
Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. v-vi
[6] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta :
Leppenas, 1983, h. xi
[7] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Bandung: Pustaka, 1994. h.3
[8] Ahmad Harun
Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, h. 147
[9] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta:
Pustaka, Pelajar, 1997, h. 77
[10] Ahmad Harum
Permata, (ed.) Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, h. 146
[11] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 78
[12] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 80
[13] Seyyed Hossein
Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono,
Jakarta: Inisiasi Press: 2004, h. 37
[14] Seyyed Hossein
Nasr, Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala
Book, 1976, h. 63
[15] Seyyed Hossein
Nasr, Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala
Book, 1976, h. 63
[16] Modern dalam
term Nasr tidak sama dengan kontemporer maupun mengikuti zaman, Modern adalah
sesuatu yang terpisah dari trasenden, Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi; di
kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994, h. 98
[17] Seyyed Hossein
Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung:
Pustaka, 1983, h. 15
[18] Seyyed Hossein
Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung:
Pustaka, 1983, h. 47
[19] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim,
Bandung: Pustaka, 1994, h. 211
[20] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim,
Bandung: Pustaka, 1994, h. 185
[21] Seyyed Hossein
Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono,
Jakarta: Inisiasi Press: 2004, h. 135
[22] Seyyed Hossein
Nasr. Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 152-153
[23] Seyyed Hossein
Nasr. Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 155
[24] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 178
[25] Seyyed Hossein
Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1985, h. 58
[26] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta, Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta :
Leppenas, 1983, h. 6
[27] Dr. Seyyed
Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 54
[28] Dr. Seyyed
Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 66
[29] Dr. Seyyed
Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 56
[30] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 171
[31] Seyyed Hossein
Nasr, Sain dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 4
[32] Seyyed Hossein
Nasr, Sain dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 4
[33] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 220
[34] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 222
[35] Seyyed Hossein
Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahfud, Bandung:
Pustaka, 1983, h. 15
[36] Dr. Seyyed Hossein
Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 57
[37] Seyyed Hossein
Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 7
[38] Dr. Seyyed
Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 50
[39] Seyyed Hossein
Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, h. 172
[40] Dr. Seyyed
Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS.
Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 64
[41] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 124
[42] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[43] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[44] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 4
[45] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 126
[46] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 127
[47] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 126
[48] Seyyed Hossein
Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 47
[49] Seyyed Hossein
Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 57
[50] Seyyed Hossein
Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung :
Penerbit Pustaka, 1986, h. 61
[51] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 130
[52] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 150
[53] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 150
[54] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 151
[55] Seyyed Hossein
Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim,
Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[56] Seyyed Hossein
Nasr Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1993, h. 214
[57] Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 40
[58] Moh. Sofyan, Pendidikan
Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, h. 102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar