Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PEMIKIRAN SEYYED HUSSEIN NASR


BAB I
PENDAHULUAN

Banyak kalangan cendikiawan muslim yang menyoroti masalah kemunduran barat dari segi spiritual meskipun ketika itu dunia barat berkembang dari segi ilmu pengetahuan dan material. Tidak jarang cendikiawan muslim yang menganjurkan untuk mengambil nilai nilai barat sebagai pelengkap bagi kemajuan islam karena semakin lama peradaban islam semakin mengalami kemunduran.
Salah satunya adalah Seyyed Hussein Nasr. Lebih dari 50 buku dan 500 artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, Seyyed Hossein Nasr memberikan pandangan bahwa, krisis-krisis eksistensial ataupun spritual yang dialami oleh manusia adalah bermula dari pemberontakan manusia modern kepada Tuhan. Yaitu ketika manusia meninggalkan Tuhan demi mengukuhkan eksistensi dirinya. Manusia telah bergerak dari pusat eksistensinya sendiri menuju wilayah pinggiran eksistensi.
Fenomena ini tidak saja dialami oleh dunia Barat tapi juga di dunia Timur secara umum dan dunia Islam secara khususnya juga telah melakukan kesalahan-kesalahan dengan mengulangi apa yang telah dilakukan Barat.
Salah satu konsep beliau yang terkenal adalah tradisionalisme islam. Pengetahuan dalam hubungannya dengan kesucian Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep nilai-nilai ke-islaman yang terkenal dengan sebutan Tradisionalisme Islam, yang merupakan gerakan respon terhadap kekacauan Barat modern yang sedang mengalami kebobrokan spiritual. Nasr menyarankan agar Timur melihat barat sebagai contoh, dan mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahan-kesalahan Barat.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan berbagai bentuk pemikiran Seyyed Hossein Nasr yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas agar kita bisa lebih mendalami pemikirannya khususnya pada bidang Islamisasinya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Riwayat Hidup dan Karya-karya Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan diTeheran, Iran dan mendapatkan pendidikan dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya ditempuh di Amerika di Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana berhasil mendapatkan diploma B.S. (Bachelor of Science) dan M.A. (Master of Arts) dalam bidang fisika. Prestasi yang disandangnya belum memuaskan dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasrmelanjutkan Universitas Harvard menekuni History of Science and Philosophy, di Perguruan tinggi ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.[1]
Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang mempunyai keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatanhambatan ilmiah untuk menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan jujur.[2]
Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr mendapat gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat. Tahun 1962 beliau menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal disana sampai tahun1965. Tahun 1994 – 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada American University of Beirut. Nasr juga memberikan ceramah dan kuliah di beberapa negara antara lain : Amerika, Eropa, Timur Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr mengarang lebih dari dua belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah diterjemahkan kedalam lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya berkisar pada pemikiran Islam dan problem manusia modern.[3]
Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat menunjukkan kedalaman dan ketajaman pemikirannya. Nasr juga ilmuwan muslimyang melanjutkan kritik sedemikian hebatnya, kepada dunia Barat dan peradaban modern pada umumnya, dengan menggunakan pedang intelektualnya.
Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status “setengah pengasingan” karena dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza Pahlevi di Teheran dalam mendirikan dan kemudian memimpin sebuah institut pengkajian filsafat dan menerima gelas kebangsawanan dari sang raja diraja itu, reputasi Nasr tidak menurun hanyasaja Nasr meninggalkan Iran dan menetap di salah sebuah universitas di Amerika Serikat. Selama ilmuwan tidak menjual pengetahuan yang dimilikinya untuk melenyapkan, mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu pula integritas ilmunya tidak terganggu sama sekali.[4]
Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Amerika University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam pemikiran Islam dalam karya-karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa tugas dalam Aga Khan Chair yang dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam dalam khasanah kehidupan intelektualnyasecara “setia” dalam bahasa yang kontemporer tanpa menyimpang dari sudut tradisional, juga untuk mengadakan dialog dengan agama lain di luar Islam, terutama Kristen yang berdiri berdampingan dengan Islam di Libanon, serta untuk mengadakan studi tentang aliran-aliran Islam yang bersama-sama mewakili di Negeri ini.
Ada dua metode yang mendukung pengembangan Nasr, pertama metode komperatif yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi perbandingan yang berarti antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur dan barat, kedua metode historis yaitu melangkah ke lembaran sejarah kemudian membandingkan sumber-sumber dari berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian melangkah kedepan untuk membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat.
Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan kebudayan Islam tersebut masih  hidup dengan kuatnya. Nasr juga menyarankan semua itu dipandang dengan menjauhkan dari sikap rasional dan sekuler faham Helenistis, dengan pengunduran diri dari ujian dan gejolak sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam akan pangilannya sendiri sebagai umat religius Timur dekat.[5] Seyyed Hossein Nasr sebagain tokoh pemikir Islam dengan bahasa kontemporer tanpa meninggalkan sisi tradisional itu sendiri, berusaha menghadapi dan memberikan jawaban terhadap pandangan orientalis yang banyak berpijak pada pemikiran modern seperti materialisme, scientisisme dan sebagainya.
Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam dari sudut pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun yang biak biasanya didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan kepada intelegensi muslim tradisional yang kesulitan dam keraguan sekelompok masayarakat yang telah dimodernisir. Argumentasi dan otoritas agama yang tradisional adalah sepenuhnya memiliki validitas dan bahasa mereka adalah apa yang seharusnya digunakan. Lebih tepat, keadaan luar biasa pada saat itu telah membawa situasi yang mana bahasa-bahasa dan jalur argumentasi harus diubah untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.[6]
Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini.
Karya-karya Seyyed HosseinNasr, antara lain :
1.    Buku terdiri atas :
a.    Islam and The Plinght of ModernMan (Islam dan Nestapa Manusia Modern)
Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi oleh manusia modern. Buku ini jugamembahas cara-cara penerapan ajaran warisan intelektual dan spiritual Islam. Selain juga alternatif besar ajaran Islam tersebut untuk mencari jalan keluar dari kedudukan manusia modern melalui penerapan ajaran Islam.
b.    Ideals and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta)
Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam Islam sebagai kekuatan yang tetep hidup dan ditujukan kepada orangorang yang terbiasa dengan dialektika pemikiran modern. Buku ini juga menjawab berbagai serangan terhadap Islam yang dilakukan beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan.
c.    Science and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam)
Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim mengenai apa yang harus dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan barat yang didominasi dunia sekarang ini karena ilmu pengetahuan modern mengalami krisis. Salah satusumbernya adalah anggapan yang netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat dan wahyu. Berpijak dari hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali peran ilmu pengetahuan dan peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut.
d.   Living Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang)
Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi dunia modern pad aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu persoalan yang penyelesaiannya tergantung pada pemahaman dan pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara keseluruhannya. Buku ini diharapkan dapat menjadi kuci untukmembuka sejumlah pintu meuju gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang.
e.    Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian)
Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang berbahaya yang dimiliki manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional dapat menajadi kekuatan setan jika dipisahkan dari intelek wahyu yang memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan sucinya. Manusia sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Menjadi manusia mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui dan juga melebihi diri sendiri. Mengetahuipada akhirnya berarti mengetahui Substansi Tertinggi (sumber dari segala sesuatu).
f.     A Young Muslim’s Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia Modern)
Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim dalam menjelajahi dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam lagi tentang peradaban Barat dan pemikiran modern yang telah mempengaruhi dunia Islam selama kurang dua abad belakangan ini. Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab dengan agama dan akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan intelektual yang diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia modern tanpa kehilangan keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu menekankan sebagai keyakinan dan pandangan hidup.
Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku atau karya-karya lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three Muslim Sages, Islamic of Art and Spirituality.
2.    Makalah, terdiri atas :
Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and Renaissance in The Context of Contemporary, Philosophia Perennis and Study of Religion, dan Dunia Barat dan Tantangan-tantangan terhadap Islam.
B.   Pemikiran Seyyed Hossein Nasr
1.    Hakikat Pengetahuan
Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah tradisi. Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena pengetahuan berada dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari agama.
Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis, menyiratkan sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam sejarah kemanusiaan tertentu, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan Sumber maupun rantai-antai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan relaitas transender. Tradisi bisaberarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya, bisa pula di sebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada mode-mode sakral, bisa juga diartikan as-silsilah yaitu mata rantai yang mengkaitkan setiiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran dunia tradisional kepada sumber (Tuhan).[7]
Istilah tradisi dalam penggunaan secara teknis, dalam karya ini atau yang lain, berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal Ilahi (The Divine Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia dan keseluruhan wilayah kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain, beserta percabangan dan aplikasinya dalam berbagai wilayah realitas yang mencakup hukum dan struktur sosial, seni, simbolisme serta berbagai cabang ilmu pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara mendapatkannya.[8]
Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap memasukkan prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit yang disebut juga agama. Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau hakikat adalah prnsip-prinsip yang ditampakkan surga (yang diwahyukan itu sendiri) yang berfungsi mengikat manusiakepada permulaanya (dengan yang Asal).[9] Tradisi dalam pengertian yang konkrit dapat dianggap sebagai aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi mengimplikasikan adanya kesejatiankesejatian yang berkarakter supra individual yang berakar pada hakikat Realitas. Tradisi bukanlan mitologi kekanak-kanakan dan usang, tetapi sebuah ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi sebagaimana juga agama terdiri dari dua unsur utama yaiti kesejatian dan kehadiran tradisi berasal dari sumber yang sekaligus menjadi tempat kembalinya segala sesuatu, ibaratnafas Yang Maha Pengasih yang mana tradisi para sufimerupakan inti akar dan hakikat eksistensi.
Kata tradisi secara etimologi berkenaan dengan transmisi pengetahuan, praktek-praktek, teknik-teknik, hukum-hukum, bentuk-bentuk dan lain-lain, baik secara lisan maupun tulisan. Tradisi seperti kehadiran yang hidup yang menimbulkan cap namun tidak sesuatu yang terkena capnya. Sesuatu yang ditransisikan dapat berupa kata-kata yang ditulis di atas perkamen, bisa juga berupa kesejatian yang diturunkan ke dalam hati manusia, dengan pentranmisian yang dapat berlangsung yang dapat berlangsung selembut tarikan nafas dan secepat kedipan mata.[10]
Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennialdibanding yang lain, yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini merupakan elemen utama penyusun tradisi, dan shopia perennis (hikmah abadi) berkaitan dengan konsep Tradisi Promodial, yaitu eksistensi manusia. Bentuk-bentuk pewahyuan tersebut alah perwujudan Tradisi primodial dalam dimensi manusiawi, yaitu dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan pewahyuan tersebut.[11]
Seyyed Hossein Nasr sependapat dengan Steuco mengatakan bahwa Hikmah Abadi berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sakral yang diberikan oleh Tuhan kepada Adam, namun semakin banyaknya jumlah manusia, pengetahuan menjadi kabur dan akhirnya tidak lebih dari mimpi atau dongeng.[12] Berpijak dari keterangan di atas bahwa pengetahuan senantiasa memiliki hubungan dengan Realitas promodial yang merupakan kesucian dan Sumber dari segala yang suci melalui aliran sungai waktu yang menurun, pengetahuan tentang Realitas yang merupakan Substansi Tertinggi, oleh karena itu pada hakikatnya pengetahuan itu suci atau disebut juga scientia sacara. Sebelum membahas tentang apa maksud Nasr tentang scientia sacraakan di bahas tentang proses desakralisasi Ilmu Pengetahuan yang ia bahas dalam bab awalnya di buku Knowlegde and Sacred.
2.    Desakralisasi Ilmu Pengetahuan
Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan memang sangat menarik karena dengannya kita bisa tahu dan lebih mengerti keagungan dan keanggunan ciptaan Tuhan, semisal fenomena alam semesta, seperti planet, tata surya, galaksi dan bintang-bintang.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak diantara ilmuan besar dan berpengaruh seperti Laplace, Darwin dan Freud dengan pengetahuan yang mereka yang mendalam tentang fenomena alam justru menolak keberadaan Tuhan.
Selanjutnya teori ilmu pengetahuan barat tidak merumuskan visinya mengenahi kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan tapi mengandalkan pemikiran yang lahir dari tradis-tradisi rasional dan sekuler bangsa Yunani dan Roma, dan spekulasi-spekulasi metafisis. Para pemikir yang menganut faham evolusi kehidupan dan penjelasan psikonalitik tentang kodrat manusia. Hasilnya adalah sekulerisasi pengetahuan atau meminjam istilah S.H Nasr Desakralisasi Pengetahuan.
Dalam ceramahnya di Gifford lecture tahun 1981 Nasr menulusuri sejarah desakralisasi pengetahuan yang berlangsung berangsur-angsur di barat, menurutnya ketika pemikiran Ibn Sina dan Ibn Rusd memasuki dunia Eropa dan memberi inspirasi dan dorongan karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sepotong-sepotong, sehingga kehilangan kandungan spritualnya. Di timur Ibn Sina merupakan tokoh spritual dan kerohaniaan yang besar filsafatnya menjadi dasar teori ilumnis dari Shihabuddin al-Suhrawardi akan tetapi dibarat yang di ambil dari Ibn Sina adalah teori nominalnya, demikian pula di barat Ibn Rusd menjadi lebih rasionalistik dari pada timur.[13]
Kecendrungan-kecendrungan rasionalistik yang sudah mulai tumbuh di barat memperoleh kekuatan baru pasca abad pertengahan, ilmu-ilmu fisikakimia bersama-sama disiplin biologi dan psikologi yang beriman kepada eksprementasi dan matematisasi pengetahuan membunyikan lonceng kematian bagi pandangan yang kudus tentang pengetahuan.
Spinoza (1632-1677 M) umpamanya membuat keseluruhan sistem pemikiran menjadi ilmu ukur yang segalasesuatunya dapat dideduksikan dari beberapa aksioma akibatnya apabila seseorang filosof bicara tentang intuisi maka yang dimaksud adalah bukan intuisi yang sesungguhnya melainkan bentuk akal yang lebih tinggi.
Filsafat atau kajian ilmiah telah terjadi apa yang disebut Nasr dengan philosophical doubt, keraguan terhadap validitas dan otoritas filsafat, filsafat mulai dicurigai dan sedikit demi sedikit di tinggalkan dan diganti oleh kaum ockhamis dengan apa yang di sebut “teologi nominalis”. Sekularisasi terjadi misalnya terhadap kosmologi tradisional dengan melenyapkan malaikatmalaikat dari alam semesta sehinggaalam menjadi sekuler dan meratakan jalan bagi revolusi kopernican, karena menurut Nasr revolusi seperti itu hanya bisa terjadi pada kosmos yang telah kehilangan makna simbolis dan spiritual sehingga dijadikan sebagai obyek fisika biasa.[14]
Titik puncak dari sekulerisasi adalah dengan mencampakkan manusia dari pusat segala sesuatu, astronomi baru tidak memberikan kepada manusia dimensi transenden, manusia telah kehilangan sifat theomorfisnyaakhirnya manusia renaisan menjadi sepenuhnyamanusia, bukan separuh manusia separuh malaikat mel;ainkan yang kini terikat sepenuhnya pada bumi, manusia hanya menjadi khalifah saja bukan khalifatullah sehingga apa yang dikatakan Nasr bahwa manusia Eropa telah kehilangan surga era keimanan.[15]
Manusia modern telah menderita teraliensi dan anomi yang gawat, ada kekacauan dan tidak keseimbangan roh, manusia telah menjadi korban sizofreni spiritual yang tidak bisa disembuhkan kecuali apabila manusia kembali kepada sumber segala sumber dan wawasan tentang yang kudus dihidupkan kembali.
Hilangnya visi keilahian masyarakat modern[16] karena telah tumpul penglihatan intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan, istilah intelektusmempunyai konotasi kapasitas mata hati, satu-satunya elemen yang ada pada diri manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.[17]
Karena intelektuasnya disfungsional maka sesungguhnya pengetahuan apapun yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah (fragmented knowledge)sehingga wawasan pengetahuan tidak lagi membawa kearifan terhadap alam semesta. Untuk mengembalikannya agar intelektusnya fungsionalmaka tiada jalan lain harus melalui pengetahuan pusat  (centre) atau  aximkarena pengetahuan kini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir-pinggir dan di ruji-ruji yang menghubungkannya. Pengetahuan sempurna hanya ada bila ia mendapat bantuan ilmu Tuhan.
Ada dua istilah yang digunakan Nasr untuk membedah manusia modern yakni axim (centre) atau rim (periphery) dalam orientasi hidup tandasnya, manusia modern telah berada di  rim (periphery) atau pinggir existansinya dan bergerak menjauh dari pusat baik yang menyangkut dirinya maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka telah cukup dengan perangkat ilmu dan tekhnologi sebagai hasil gerakan renaisan abad ke-16, sementara pemikiran dan faham keagamaan yang bersumber pada ajaran wahyu kian ditinggalkan.
Menurut Nasr alam jangan dijadikan sebagai terminal terakhir orientasi kehidupan (sebagaimana yang dilakukan manusia modern) dan hendaknya segala ilmu serta usaha manusiayang telah dibangunnya berupa “kepingan-kepingan”itu diikatkan pada centre (titik pusat) agar keberadaan manusia tidak terpelanting kewilayah rim, upayaini bisa dilakukan bila mnusia mempunyai kesadaran religius dan ketajaman visi intelektusnya, suatu ketajaman intuitif yang mengatasi ketajaman rasio.
Sayang, demikian Nasr, porsi intelektus ini tidak mendapat tempat wajar dalam pengembangan kajian ilmiah Barat kontemporer terutama sejak berkembangnya aliran  cartesian-dualism. Sejak rasionalisme yang tersistemasikan ini berkembang, manusia lalu dilihat hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik dan rasio sementara dimensi spiritualnya tercampakkan.
Padahal konsepsi filsafat atau kajian ilmiah pada mulanya merupakan “ilmu yang suci” (scientia sacra) atau pengetahuan keilahian (divine knowledge) bukannya filsafat atau kajian ilmiah yang profan seperti berkembang di Barat, menurut Nasr filsafat Barat semestinya berintikan “kecintaan kepada kebajikan” (the love of wisdom) beralih pada “kebencian pada kebajikan” (the hate of wisdom).[18]
Dengan demikian menurut Nasr kalau masyarakat modern kalau ingin mengakhiri ketersesatannya yang mereka timbulkan sendiri, lantaran semakin dilupakannya dimensi-dimensi keilahian, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali, ungkapnya “hajat untuk menangkap kembali pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern menjadi lebih mendesak”.
Akibat konsep sekularisme, manusia modern telah teraliensi baik dalam dirinya, lingkungan dan Tuhannya, manusia modern sengaja membebaskan dirinya dari tatanan ilahiyah (theomorphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia (antrophormophisme), intinya manusia modern ingin menjadi raja yang bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukkan oleh persoalan yang bersifat spiritual-transendental.
Menyadari kondisi masyarakat modern yang demikian pada abad XX terutama sejak beberapa dekade terakhir ini muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan mengkritik teori-teori modernisme. Mereka sadar bahwa kehidupan modern tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan dedoinistik, mereka mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual yang dalam agama otentik memikirkan kembali hubungan antara yang suci (sacred) dan yang profan, merajut kembali antara-meminjam istilah Fritjof Schon- scientia sacra (pengetahuan suci) atau  philosophia perenialis (filsafat keabadian) dengan scienti profan (pengetahuan rendah) atau philosophia materialis (filsafat material).
Sementara dikalangan modernis Islam, gerakan pembaharuan dan pemikiran dalam Islam sejak fase 60-anhingga dua dasa warsa terakhir ini telah mencoba bersikap kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya dengan memunculkan gerakan kelompok paradikma dan epistemologi bermacam-macam misalnya: 1). Fundamentalis atau juga disebut neo revivalis Islam yang menghendaki agar semua persoalan dikembalikan kepada acuan alQur’an dan al-Sunnah dan kehidupan para sahabat dalam pengertian tekstual. 2). Neo modernis yang berusaha mencari relevansi Islam bagi dunia modern, ia kritis terhadap sejarahnya sendiri sekaligus terhadap idiom kemodernan. 3). kiri Islam atau yang disebut sosialisme Islam atau marxisme Islam yang berkecenderungan ke arah humanistik dan rasionalistik, liberalistik, berkepentingan membela masyarakat tertindas dan menampilkan Islam sebagai kekuatan revolusioner-politik.
Namun dari berbagai tindakan yang mereka lakukan (dengan konsep Barat) guna keluar dari pemikiran modern Barat tak jarang pula mereka malah terkontiminasi atau terpengaruh pemikiran itu sendiri dalam derajat yang berbeda.
Menurut Nasr jalan keluar dari masalah di atas tidak harus mengambil konsep-konsep Barat, imbuhnya konsep Barat bertentangan dengan Islam karena watak sekuleristik dan modernistik maka itu Nasr menganjurkan agar mereka mengambil ataukembali ke tradisionalisme Islam, dari sini dapat dimengerti mengapa Nasr mengecam modernis-modernis Islam semisal al-Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Amir Ali, dan Muhammad Iqbal, kelompok ini menurut Nasr pionir-pionir Barat dalam menyebarkan sekulerisme serta kecenderungan apolegotik lainnya terhadap Islam, Amir Ali misalnya ia merasa malu dengan konsep Islam tentang wanita, semata-mata karena tidak cocok dengan konsep Barat,demikian juga dengan Iqbal yang cenderung dipengaruhi oleh filsafat Barat dan tidak berakar pada tradisi pemikiran Islam, ironisnya para pemikir pakistan sekarang bertaklid pada Iqbal, ujar Nasr. Akibatnya kebekuan pemikiran semacam ini pemikir muslim tidak eksis dalam peta intelektual dunia dan tidak mempunyai bobot menjawab tantangan modernisme Barat.[19]
Tradisionalisme tak lain adalah gerakan yang ingin mengembalikan bibit yang asal atau prinsip-prinsip yang asal yang hilang dari pemikiran modern, tradisionalisme mengingatkan bahwa tidak akan menerima suatu pola pikir yang tidak mempunyai parfum yang sakral dan yang mengganti tatanan ilahi dengan inspirasi murni manusia, karena didalam Islam manusia berfikir dan bertindak dalam fungsi homo sapien dan homo fabernya sebagai abdullah dan tidak sebagai mahluk yang telah memberontak atau melawan Tuhan.
Inti di dalam Tradisionalisme adalah bahwa segala macam pemikiran dan aktivitas intelektual selalu bernuansa sakral dampaknya terlahirlah sejenis peradaban, senu, filsafat atau keseluruhan cara berfikir yang sepenuhnya theosentris yang berdiri menetang antromophorphisme yang menjadi ciri khas modernisme.[20]
Jadi dapat difahami kehadiran yang sakral dalam berbagai aktivitas intelektual ahirnya membawa ke scientia sacra yaitu pengetahuan suci yang berada didalam jantung setiap wahyu, ia hadir sebagai pengetahuan segera yang bersifat langsung, dapat dirasakan dan dialami ruhaniyahnya, tradisi Islam menyebutnya sebagai pengetahuan yang hadir “Ilmu Hudluri”[21]
Manusia dimungkinkan memiliki pengetahuan ini dan berhubungan dengan aspek-aspek realitas, karena pada kenyataan ahir pengetahuan adalah pengetahuan tentang realitas absolut dan kecerdasan memiliki karunia ajaib ini memungkinkan mengetahui bagian-bagian wujud.
Pada pusat sains-sains alam begitu juga antropologi, psikologi dan estetika ada scientia sacra yang berisipringsip-pringsip yang Realitas dan sains-sain ini hanya ada dalam tradisi Islam, maka untuk menjawab tantangan modernisme tak ada jalan lain kecuali kembali kepemikiran tradisional Islam, menurut Nasr adalah sangat mungkin pada saat ini untuk mengembangkan ilmu-ilmu pasti dalam program studi Islam karena Islam mempunyai dan memiliki warisan banyak dalam bidang tersebut.
3.    Scientia Sacra
Pengetahuan suci (Scientia Sacra) adalah pengetahuan yang berada dalam jantung yang berada dalam jantung setiap waktu Pengetahuan Suci bukanlah buah dari spekulasi kecerdasan manusiawi atau penalaran atau bisa dikatakan pengetahuan suci bukan kontruk mental yang akan berubah dengan berubahnya gaya budaya suatau jaman, atau dengan munculnya penemupenemuan baru dari pengetahuan dunia material. Pengetahuan ini berisi pengalaman seperti dilahirkan dari sumber pengatahuan yakni intelek. Berpijak dari sudut lain, dimana Diriyang berada pad apusat setiap diri sumber pengetahuan suci diturunkan pada manusia yangmerupakan pusat kecerdasan manusia sendiri yang pada akhirnya pengetahuan tentang substansi itu sendiri.[22]
Metafisika atau pengetahuan suci adalah pengetahuan atau ilmu tentang Yang Real atau lebih khusus pengetahuan denganarti dimana manusia dapat membedakan anatara yang Real dengan ilusi, dan cara mengetahui sesuatu secara esensial yang berarti mengethaui secara paripurna tentang Realitas. Pengetahuan tentang Prinsip yang sekaligus realitas Absolut dan tidak terbatas adalah pusat metafisika. Metafisika memperhatikan tidak hanya Prinsip dalam diri sendiri dan dalam manifestasinya. Pada pusat ilmu pengetahuan tradisional tentang kosmos (alam) ada scientia sacra yang berisi prinsip-prinsip yang merupakan pengetahuan suci.[23]
Pengetahuan tidak lain adalah mengetahui Realitas Tertinggi, dalam hal ini Allah berfirman dalam surat Al Hadid ayat 3 sebagai berikut:
Artinya: Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.

Kata “Yang Awal” berarti, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, “Yang Akhir” adalah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang Dzhahir” adalah yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya atau Yang Maha Tinggi, tidak di atas-Nya suatu apapun, “Yang Bhatin” adalah yang tidak sesuatupun yang menghalangiNya dan Dia lebih dekat kepada makhlukNya daripada makhluk itu sendiri kepada DiriNya.
Metafisika tradisional atau pengetahuan suci tidaklah hanya penjelasan teoritik tentang pengetahuan realitas.Tujuannya membimbing manusia, dan mengijinkannya mencapai kesucian. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa pengetahuan suci berisi bibit dan buah dalam hati dan pikiran manusia, bibit yang jika dipelihara atau dibina melalui latihan-latihan spiritual dan kebajikan akan menjadi tanaman yang akhirnya berbunagn dan berbuah lebat.[24]
Pengetahuan yang pada hakikatnya adalah suci kini pada gilirannya lebih bersifat eksternal dalam arti telah lepas dari Sumbernya, sehingga hilang predikatnya sebagai pengetahuan yang hadir (al-ilm al huduri), untuk mendapatkan kesejatian dan kebenaran pengetahuan yang suci maka kembali pada tradisi yang bisa mengantarkan ke Sumbernya.
4.    Sumber Pengetahuan
Berbicara mengenai sumber pengetahuan Seyyed Hossein Nasr menganggap bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukan pengetahuan melalui pencapaian (al-ilm al-husuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan itu adalah pemberian (al-ilm al-huduri), maka sebagai sumber pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi.
Sumber wahyu dalam Islam adalah malaikat Jibril atau Intelek Universal. Intelek (al-aql al-kulli menurut bahasa, hadis) dan kata aql (akal) sendiri secara etimologis menandakan baik nal yang mengikat atau membatasi Yang Mutlak menurut petunjuk penciptaan maupun yang mengikat manusia kepada kebenaran, Tuhan sendiri.[25]
Kata Al-Aql di dalam bahasa Arab. Selain berarti pikiran dan intelek, juga digunakan untuk menerangkan sesuatau yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah satu arti akar kata aql adalah ikatan. Tuhan menyebutkan di dalam Al-Qur’an, manusia yang ingkar itu sebagai orang yang tidak bisa berfikir “la ya’qilun” manusia yang tidak bisa menggunakan akal dengan baik. Sangat ditekankan di dalam Al-Qur’an bahwa runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendakyang buruk, melainkan dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik.[26]
Sebahagian dunia (terutama dunia barat), istilah “intelek” dianggap sinonim dengan istilah “akal” atau “nalar” dan “intuisi” yaitu indra “biologis” keenam yang mampu menangkap kejadian-kejadian dimasa mendatang, oleh karena itu sukarlah dipahami makna “intelek” dan “intuisi”, sebagai dua fakultas atau indra yang mendasari ilmu, dalam konteks pemikiran Islam. Istilah al-aql manusia menjadi manusia dan memiliki sebagian dari ilmu, al-‘ilm yang akhirnya hanya akan menjadi milik Allah semata.[27]
Fungsi intelek hanya terlibat pada cahaya kemampuannya dalam membentangkan kebenaran-kebenaran wahyu. Wahyu atau risalah dijadikan alat untuk mencapai kebenaran dan wahyupun menerangi intelek serta memungkinkannya untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Perkawinan antara wahyu dan intelek ini sesungguhnya telah memungkinkan untuk berperan serta dalam kebenaran melalui fi’il (tindakan) atau langkah yang lazim disebut intuisi dan tidak terpisahkan dari iman yang memingkinkan tersiptanya ilmu kebenaran ini.[28]
Intelek yang sesungguhnya disebut juga wahyu khusus (partikular) atau wahyu sebagian (parsial) atau wahyu al-juz’i, sedangkan wahyu obyektif  yang menyebabkan berdirinya suatu agama baru disebut wahyu semesta (Universal) atau al-wahyu al-kulli. Hanya melalui wahyu yang obyektif dan universal inilah seganap kemampuan intelek dapat diaktualisasikan atau diwujudkan. Hanya dengan berserah diri kepada wahyu obyektif inilah wahyu subyektif pada diri manusia dapat berbentuk intelek itu dapat benar menjadi mampu diri, tidak saja mampu menelaah atau menganalisa tetapi juga mampu membuat sintesis dan unifikasi.[29]
Intelek adalah pusat cahaya yang merupakan wakil yang menurun pada dunia. Intelek adalah firman, dengannya semua tercipta, manusia dan agama. Intelek adalah pengetahuan Tuhan tentang dirinya sendiri dan pertama dalam makhluk-Nya.[30]
Berbicara tentang intelek ada kaitannya dengan kosmos, karena disamping sumber wahyu juga penghubung manusia dengan kosmos (alam), dimana kosmos sumber pengetahuan. Hubungan seorang gnosis bersifat intelektif (kompletatif) yang tidak abstrak, tidak analitis. Alam bagaikan selembar buku penuh lambang-lambang yang harus dibaca menurut maknanya. Al-Qur’an adalah persamaan teks tersebut dalan kata-kata manusia, kalimat-kalimatnya disebut ayat (tanda-tanda), persis seperti fenomena alam. Alam dan Qur’an kedua-duanya menegaskan kehadiran dan pemujaan Tuhan.[31] Allah berfirman dalam surat al-Fushilat ayat 53:
Artinya:Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Ahli-ahli hukum beranggapan, alam hanya ada dalam pikiran manusia sebagai panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia, bagi seorang gnostik atau sufi ayat Qur’an tersebut juga lambang. Jika tradisi penafsiranpenafsiran simbolis ayat-ayat kitab suci tidak ada lagi dan karenanya masih akan tahu kewajibannya, tapi “teks kosmos” itu tak akan dapat dipahami. Fenomena alam akan hilang hubungannya dengan tingkat relaitas yang lebih tinggi, jika hilang hubungan antar mereka, semua itu akan menjadi fakta. Semangat Islam menekankan kesatupaduan alam, yang menjadi tujuan sains kosmologi (pengetahuan alam).[32]
Tujuan pengetahuan suci adalah pengetahuan tentang kesucian itu sendiri, yaitu Relitas yang teletak  dibelakang manifestasi kosmos, yang sucinya terdapat dalam lembar-lembar yang terpancar dari buku alam semesta, dalam hal ini kosmos (alam) adalah sebuah buku yang berisi wahyu Primordial yang paling bermakna dan masusia adalah kepribadian yang esensial yang direfleksikan pda cermin kosmik. Pengetahuan suci harus memasukkan suatu pengetahuan tentang kosmos tidak suatu pengetahuan empirik.[33]
Melihat kosmos dengan intelek adalah melihat kosmos bukan sebagai kenyataan-kenyataan yang dieksternalisasikan namun sebagai kenyataan dimana tersermin aspek-aspek sifat Ilahi seperti teofani (manifestasi) dari Realitas yang tinggal di pusat kepribadian manusia itu sendiri. Melihat kosmos sebagai teofani adalah melihat cerminan kedirian dalam kosmos.[34]
Islam memandang korespondensi antara manusia, kosmos (alam), dan kitab suci adalah sentral dari agama secara luas. Kitab suci Islam adalah AlQur’an yang tertulis dan tersusun sebagaimana Al-Qur’an kosmos. Kosmos memanifestasikan dirinya sendiri sebagai teofani dan fenomena alam ditransformasikan ke dalam ayat yang disebut Al-Qur’an. Aspek teofani dari alam perawan (asli) membantu manusia menemukan akan keadaan batinnya sendiri. Alam adalah dirinya sendiri, sebuah perwahyuan Ilahiah dengan mentafsirkan sendiri. Manusia yang diberkahi pengetahuan suci, sehingga dpat membaca pesan gnosis yang tertulis dengan cara yang paling halus pada jurang-jurang dari gunung-gunung yag tinggi, daun dan pepohonan, wajah-wajah binatang dan bintang-bintang dilangit. Jadi kosmos identik dengan wahyu karena merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan sebagai sumber yang tidak lain memahami Realitas Tertinggi sebagai sumber segala sesuatu.
5.    Jalan Memperoleh Pengetahuan
Pengetahuan dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang esensial yaitu pengetahuan yang didasarkan identitas diantara yang mengetahui dan diketahui, dan berdasarkan bahwa yang diketahui itu hilang di dalam api pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan esensisl atau gnosis yang berada di jantung wahyu yang termanifestasi baik di dalam kosmos (alam) maupun pada diri manusia. Berbeda dengan pengetahuan menurut anggapan empirisme dan rasionalisme yang sifatnya terkotak-kotak, dimana sarana untuk memperolehdengan menggunakan indra dan akal semata. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan tidak langsung. Karena berada di pinggiran pusat eksistensi. Pengetahuan pada hakikatnya terletak (lokus) pada kecerdasan Ilahi menurun pada manusia lewat pancaran intelek. Tujuan akhir manusia adalah memperoleh lebih bersifat kompletatif, yang dasar-dasarnya lebih konkrit, sedangkan penalaran dasarnya abstrak.
Manusia terdiri dari jasmani dan intelek, intelek inilah berada di atas dan dipusat eksistensi manusia. Essensi manusia atau hal yang esensial didalam sifat manusia, hanya dapat dipahamioleh “mata hati”. Intelek tersebut disamping berada di pusat eksistensimanusia juga mencakup atau meliputi setiap level (tingkat) eksistensinya. Begitu mata hati tertutup, kesanggupan intelek akan mengalami kemandegan maka manusia tidak mungkin mencapai pengetahuan yang essensial tentang manusia. Refleksi intelek (akal fikiran atau akal budi) di dalam jiwa dan pikiran, yang disebut akal (nalar, rasio, reason) tidak dapat mencapai essensi dari manusia maupun dari hal-hal lainnnya, betapapun intelek itu mengadakan eksperimen dan observasi atau betapapun intelek melakuakn fungsi-fungsi yan tepat untuk memcahkan dan menganalisa, yaitu fungsi yang rasio yang tepat untuk memecah dan menganalisa, yaitu fungsi rasio yang tepat dan sewajarnya. Intelek hanya mempeoleh pengetahuan yang tidak penting, yaitu pengetahuan mengenai aksiden, efek-efek, dan tingkah laku eksternal namun tidak dapat memperoleh pengetahuan mengenai ossensi. Begitu juga, jika akal tidak memperoleh penerangan atau bimbingan intelek, maka akal hanya dapat mengakui eksistensi dari noumene-noumena dari realitas esensi.[35] Penjelasan tadi memberikan pemahaman bahwa intelek alat untuk memperoleh pengetahuan yang pada suatu ketika merupakan sumber wahyu dan timbul secara mikrokosmik di dalam diri manusia.
Sarana mencapai wahyu, malaikat jibril, juga adalah roh kudus yang menerangi intelek dan memungkinkannya memiliki indera intuisi. Intelek dalam cahaya wahyu berfungsi bukan hanya sebagai intuisi intelektual yang apabila dikawinkan dengan iman, memungkinkan manusia untuk menembusmakna agama dan, lebih khususlagi, makna kalamIlahi yang terkandung di dalam Al Qur’an. Manusia mesti menguji kecerdasannya untuk memahami wahyu Ilahi. Memahami wahyu Ilahi intelek terlebih dahulu terlebih dahulu mesti diterangi oleh cahaya iman dan disentuh oleh rahmat yang terpancar dari wahyu Ilahi.[36]
Pengetahuan dalam hal ini gnosis  maka alat untuk mencapai pengetahuan tersbut adalah intelek, akal (nalar) adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada dunia manusia. Hubungan antara intelek dan akal tidak pernah putus. Intelek tetap mejadi dasar,dan latihan akal sekiranya sehat dan normal dengan sendirinya akan sampaikepada intelek. Ahli metafisika muslim cenderung mengatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan membimbing manusia ke-Esaan Ilahi. Walau kenyataan spiritual itu tidak hanya rasional, tidak hanya irrasional. Akal, lebih dipandang dari aspek akhirnya dari pada aspek langsungnyadapat membawa orang ke gerbang dunia yang dapat dipahami, ilmu rasional dengan cara yang sama dapat diintegrasikan ke dalam gnosis, meskipun bersipat diskursip (terpisah-pisah) dan parsial sedangkan gnosis bersifat menyeluruh dan intuitif. Begitu eratnya hubungan essensial antara akal intelek antara ilmu rasional dengan gnosis inilah makna pencarian penjelasan  kausal dalam islam jarang sekali diupayakan dan tidak pernah berhasil memuaskan ada diluar iman. Sciencia (ilmu manusia) dianggap sah dan muliahanya selama ilmu manusia tunduk kepada sapientia (kearifan).[37]
Sayyed Hossein Nasr sependapat dengan Ibnu sina (tokoh mazhab masy-sya’i) mengatakan setiap manusia memiliki kecerdasan dalam suatu bentuk tersembunyi, kecerdasan ini disebut kecerdasan potensial atau material (bi al Quwwah). Bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan manusia, bentuk-bentuk yang pertama kali terlihat dipindahkan dari atas ke dalam roh dan manusia mencapai derajat intelek aktual (bi al Fi’il) dan akhirnya setelah proses ini selesai, kecerdasan perolehan (mustafad). Akhirnya di atas semua tingkatan dan kedudukan ini terdapat intelek aktif (al-aql al fial) yang bersifat Ilahiah dan menerangi akal melalui tindakan pengetahuan.[38]
Pengetahuan suci tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemafaatan yang tepat intelegensi dalam manusia. Penalaran yang terputus dari pacaran batin tidak hanya menanggalkan ajaran-ajaran pengetahuan suci tetapi juga hanya menawarkan argumen-argumen rasionalistik, inteleksi tidak dapat mencapai kebenaran sebagai akibat pemikiran atau nalar profani (nalar murni), tetapi melalui suatu arah intuisi. Apabila intelek bergerak terlalu jauh dengan sumber primordial (Yang Esa) yang menyebabkan intelek tidak dapat mempergunakan fungsinya maka adanya wahyu untukmengaktualisasikan intelek dalam diri manusia melakukan serangkaian ibadah menyesiakan kunci yang mana manusia membuka pinti ruang batin keberadaannya.[39]
Makna terlengkap dari intelek dan fungsinya yang universal harus dicari dalam mari’fat atau gnosis, yang terdapat pada hati ajaran wahyu Islam dimana terdapat adanya kecerdasan dan pengetahuan. Hati merupakan alat pengetahuan yang benar dan apabila hati sakit maka akan timbul kebodohan dan kealpaan, oleh karena itu risalah wahyu lebih ditunjukkan kepada hati dari pada akal, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 57 berikut ini :
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Demikian pula pengetahuan yang dicapai oleh hatilah yang diperhitungkan di hadapan Ilahi. Ayat suci surat al-Baqarah 225 berikut ini menyatakan :
Artinya:  Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun

Pengetahuan hati (batin) dianggap penting untuk keselamatan karena orang yang tidak mau mengenal hati dan jantung kehidupannya berarti menyia-nyiakan kesempatan untuk masuk surga. Pengetahuan hati adalah pengetahuan yang mendasar yang dikenal sebagai iman, oleh karena itu harus dihargai karena hati dapat menguasai pengetahuan. Hati pada hakikatnya berarti tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai pengetahuan. Mata hati (intelek) sebagaimana ketiga yang mampu mencapai pengetahuan yang lain dari yang dicapai oleh kedua mata lahir dan tidak bersifat langsung seperti penglihatan lahir.[40]
Secara ringkas disimpulkan bahwa pengetahuan batin memiliki sifat langsung dari pengetahuan inderawi yang berhubungan dengan dunia tidak kasat mata atau dunia rohani. Berpijak dari pengetahuan pemberian atau pengetahuan batin ini bentuk pengetahuan pada akhirnya menyamakan antara subyek dan obyek pengetahuan yang paling kongkrit dari semua realitas tersebut Yang Maha Agung, segala sesuatunya dianggap relatif abstrak. Mengetahui dalam artian terakhir berarti mengetahui Allah melalui pengetahuan inteleksi maupun intuisi dalam makna tertinggi dari kedua istilah itu.
6.    Pendidikan Dalam Pandangan Nasr
Sains dan pendidikan adalah masalah yang mencakup bentang ruang intelektual dan waktu kesejarahan yang demikian luas, karena keduanya merupakan manifestasi otentik Islam dan aspek utama peradaban Islam.
Pendidikan maupun sains yang berkembang di dalam peradaban Islam, dari manapun asal-usul mereka peradaban Islam bisa hidup menelan dan menelaah serta mencerna bermacam-macam jenis pengetahuan dari banyak sumber yang berlainan yang sekedar dari Cina sampai ke Iskandaria dan Athena dan semua masih bertahan dalam Organisme ini dicerna dan dirumbuhkan di dalam tubuh Islam yang hidup.
Apapun asal-usul material bagipendidikan maupun sains islam berhubungan secara erat dengan prinsip-prinsip wahyu Islam dan semangat Qur’an, menurut perspektif tradisi Islam, Al-Qur’an mengandung akar-akar semua pengetahuan tetapi tentu saja tidakdetail, Al-Qur’an adalah Al-Qur’an yang disamping bacaan menurut beberapa musafir juga berarti kumpulan yakni gudang yang didalamnya terkumpul semua permata kearifan. Buku suci ini juga dinamakan Al-Furqan “Penilaian sebab ia adalah instrumen terhandal pengetahuan dengan mana kebenaran dibedakan dari kepalsuan, ia adalah Ummul Kitab “ibu semua buku” karenasemua pengetahuan otentik yang terkandung didalamnya termuat, bukan  saja bimbingan moral tapi juga bimbingan kependidikan, hidayah ataubimbingan yang mendidik seluruh wujud manusia dalam pengertian yang paling mendalam dan juga paling lengkap, maka tak heran Al-Qur’an  merupakan alpha dan omega dari pendidikan dan sains Islam sekaligus menjadi sumber dan sasaran mereka, inspirasi dan pemandu mereka.[41]
Sehingga apa yang menjadi landasan bagi pendidikan dan sains tersebut dapat memola pikiran dan jiwa sang Muslim, didalam Islam, pengetahuan selalu disatukan dengan yang sakral dan baik sistem pendidikan maupun sains-sains yang dimungkinkan olehnya menafaskan semesta kehadiran sakral.
Apapun yang diketahui, mempunyai karakter religius yang mendalam, bukan saja karena objek setiap jenis pengetahuan itu dicipta oleh Tuhan, tetapi sebagian besar lantaran intelegensi dengan mana manusia mengetahui adalah karunia Illahi, fakultas yang secara adikodrati (Supernatural) alamiah yang dimiliki mikrokosmat manusia, bahkan kategori-kategori logika adalah refleksi kecerdasan Illahi pada tataran pikiran manusia.[42]
Berhubungan dengan kebenaran dan karenanya kemurnian, pendidikan Islam mesti berkepedulian dengan seluruh wujud manusia laki-laki dan perempuan yang diupayakan untuk dididik, tujuannya bukan hanya pelatihan pikiran melainkan juga pelatihan seluruh wujud sang person. Itulah sebabnya mengapa pendidikan Islam mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian (ta’lim), tetapi juga pelatihan seluruh diri siswa (tarbiyah). Guru bukan sekedar seorang mualim “penyampai pengetahuan” tapi juga seorang murabbi[43] “pelatih jiwa dan kepribadian”, sejauh tertentu memang benar bahwa terma mu’alim sendiri pada waktu itu mulai memperoleh makna etika yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya semakin terpisah dari persoalan pengajaran dan penyampaian pengetahuan, terutama pada pendidikan tinggi.[44]
Sistem pendidikan Islam tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi seutuhnya, ia tidak pernah memandang alih pengetahuan dan pemerolehan yang absah tanpa dibarengi pemerolehan kualitas-kualitas moral dan spiritual.
Menurut Nasr pendidikan Islam meliputi seluruh kehidupan Muslim, hal ini tampak dalam fase-fase dan periode-periode dalam keseluruhan organik. Pertama-tama, dalam periode primer pendidikan keluarga masa awal baik bapak maupun ibu memerankan peran guru didalam persoalan-persoalan keagamaan dan juga persoalan yangberhubungan dengan agama, kebudayaan dan adat-istiadat.[45]
Periode pertama adalah waktu dimana anak sedang tumbuh yang biasanya juga dimasukkan ke pra taman kanak-kanak kemudian dilanjutkan ke salah satu sekolahan agama, yang kurang lebih sejajar dengan sekolah dasar dan sekolah tingkat pertama, kemudian ke madrasah yang dapat disetarakan dengan sekolah menengah tingkat atas dan akademia serta akhirnya al-jami’ah atau tempat pendidikan formal tertinggi.
Di banyak kawasan dunia Islam, madrasah menyatu dengan al-jami’ah dan setara dengan pendidikan tinggi menengah dan juga akademia, universitas, selain itu hampir sepanjang waktu madrasah-madrasah dibangun secara seksama dalam tata letak yang indah. Sampai sekarang ini di sebagian besar kota Islam, sesudah masjid adalah madrasah yang secara geografikal mempunyai hubungan yang erat, oleh karena dalam Islam pengetahuan tidak bisa atau tidak pernah dipisahkan dari yang sakral dan Islam melihat didalam yang sakral terutama aspek nominalnya, suasana keindahan Illahi, maka pendidikan Islam selalu ditanamkan dalam atmosfer yang indah. Diberikan secara seksama dalam derajat yang tinggi untuk menciptakan suasana atmosfer dalam mana kualitas sakral pengetahuan dan sifat religius seluruh cita-cita kependidikan dalam konteks tradisional didukung dan tidak bisa disangkal.[46]
Adapun mengenai kegiatan utama untuk sekolah agama yang awal tidak saja memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya, masyarakat dan peradaban tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah penguasaan bahasa.
Kendatipun suasana berbeda bagi anak-anak Arab dan non Arab, tidak syak lagi bahwa dalam kedua kasus tersebut pengajaran dimuati dengan makna religius dan proses membaca dan menulis dilihat sebagai aktivitas religius, perkataan “pena” (al-qalam) sendiri melambangkan pelaksanaan menulis dengan bantuan si anak menuliskan kata-kata pertamanya, juga melambangkan instrumen wahyu dimana Tuhan bersumpah didalam AlQur’an.[47]
Sedangkan kegiatan utama di madrasah-madrasah adalah pengajaran sains-sains keagamaan (naqli) dan sains-sains intelektual (aqli), untuk contoh sains naqli adalah terutama pengajaran al-syariah, ushul al-fiqh, fiqh dan lain sebagainya kajian ini didasarkan pada studi yang seksama atas Qur’an beserta tafsir ta’wil dan hadis. Beserta sejarah Islam yang bertautan dengan Al-Qur’an dan hadis yang pada gilirannya memastikan terhadap penguasaan bahasa Arab dan kesusasteraan yang mengarah ke kajian tentang teologi dalam aliran-aliran yang majemuk.
Sedangkan sains-sains aqli diantaranya diajarkan  ilmu logika, matematika, fisika, dam filsafat yang menurut pemikir-pemikir Muslim dapat dicapai dengan akal dan tidak disampaikan dalam cara yang sama seperti sains religius, linguistik dan historikal.
Didalam kegiatan-kegiatan madrasah harus dilengkapi dan ditunjang dengan dua jenis badan yang lain yaitu institusi-institusi keilmuan (laborat) dan perkumpulan-perkumpulan pribadi.[48]
Islam membangun lembaga-lembaga ilmiah (riset) seperti rumah sakit dan observatirium untuk pendidikan dan penelitian yang didalamnya pendidikan kader profesional dilaksanakan secara ekstensif.[49]
Mengenai perkumpulan-perkumpulan pribadi, yang ada dewasa ini dirujuk sebagai pengajaran atau pelajaran luar, mereka hadir sebagai sarana untuk mengajarkan disiplin-disiplin  yang tidak begitu umum kepada kelompok-kelompok mahasiswa pilihanbaik untuk menghindari kecaman resmi pihak ulama yang boleh jadi berkeberatan terhadap mata kajian yang sedang diajarkan maupun untuk menciptakan suatu lingkungan yang lebih akrab bagi penyampaian beberapa sains-sains aqli.[50]
Institusi lain yang berdampak besar terhadap pendidikan Islam adalah pusat kerajinan seni dan pusat sufi yang disebut zawiyah di dunia Arab dan khanaqah didalam bahasa Persia, India, dan Turki, institusi ini adalah tempat bagi penyampaian pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan Illahi (al-ma’rifah atau irfan) atau apa yang barangkali disebut scientia sacra, karena sufisme berkepedulian dengan pendidikan sebagai tarbiyah pada tingkat yang paling tinggi.[51]
7.    TRADISI PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Nasr bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan Islam pada gilirannya mustahil untuk dipahami tanpa apresiasi atas pandangan para filosof berkenaan dengan aspek pendidikan mulai dari tujuan hingga kandungannya dan dari kurikulum hingga metode-metodenya.[52]
Karena pandangan para ilmuan dan para filosof tentang pendidikan adalah sangat esensial dewasa ini sehingga memungkinkan penegakan ulang sebuah sistem pendidikan yang Islami sekaligus bercorak intelektual, menurut Nasr kalau ada saja sitem pendidikan yang mampu menghasilkan seorang al-Biruni atau seorang Ibn Sina pastilah ia – paling tidak – menerapkan secara serius pandanganpandangan yang mereka pegangi tentang pendidikan, selama ratusan tahun Islam telah menghasilkan menghasilkan muslim-muslim yang patuh sekaligus pemikirpemikir yang handal di berbagai disiplin intelektual. Muslim-muslim masa kini yang berupaya mewujudkan kembali sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandangan parafilosof-ilmuan seperti ituberurusan dengan kandungan,  tujuan, metode-metode dan makna pendidikan.
Karenanya musti dinyatakan sejak awal bahwa filsafat Islam seperti yang berkembang selama ratusan tahun adalah berkarakter Islami dan merupakan bagian integral dari tradisi intelektual Islam,  namun di tahun belakangan signifikansi filsafat Islam di lupakan dan bahkan karakter Islaminya di sangkal oleh sebagian besar fundamentalis yang atas nama sebuah Islam yang di intrepretasikan secara rasionalistik, secara lahiriyah menentang hal-hal yang berbau barat, sementara pada saat yang sama memberi peluang gagasan-gagasan yang berbau modernisme untuk mengisi kekosongan yang tercipta dalam pikiran dan jiwa mereka sebagai akibat dari penolakan mereka atas tradisi intelektual Islam.[53]
Muslim-muslim masa kini yang berupaya untuk mewujudkan kembali sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-pandanganpara filosof-ilmuan yang berurusan dengan kandungan, tujuan,  metode, dan makna pendidikan.[54]
Untuk memahami sistem tradisi pendidikan Islam haruslah memperhatikan filsafat pendidikan yang mendasari sistem itu, juga perlu mengkaji kurikulum yang ditetapkan atau diterapkan pada madrasah-madrasah Tradisional. Yang menjadi ciri khas sistem pendidkan Islam Tradisional maupun sains-sains yang diajrakannya adalah selalu menafaskan semesta kehadiran yang sakral, apaun yang di ketahui selalu mempunyai karakteristik relegius yang mendalam.
Karena berhubungan dengan yang sakral maka kemurnian pendidikan Islam musti berkepedulian dengan wujud seluruh manusia yang di upayakan untuk didik, tujuan pendidikan Tradisional bukan hanya pelatihan pikiran tetapi juga pelatihan seluruh wujud sang person, itulah mengapa pendidikan Ilam mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau peyampaiaan ilmu (Ta’lim) tetapi juga pelatihan pelatihan seluruh diri murid (Tarbiyah), gurupun bukan hanya sekedar Mu’allim, penyampai pengetahuan tetapi juga seorang Murrabi pelatih jiwa dan kepribadian, sejauh tertentu memang benar bahwa terma Mu’allim sendiri mulai memperoleh makna Murabbi juga dengan kata lain ia mulai terisi dengan konotasi-konotasi yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya terpisah dari peyampaiaan pengetahuan.[55]
Dari berbagi corak pendidikan Nasr adalah banyak mengacu kepada tradisi masa lalu dan ini memang corak pemikira yang didasrkan pada pemikiran tradisional Islam dan ini mungkin bisa di jadikan jawaban atas krisi konseptual pendidikan Islam yang merembes kekrisis kelembagaan pendidikan.
Pendikotomian kajian ilmu didunia pendidikan Islam merupakan masalah yang kian pelik mengingat lagi dengan merembesnya sistem modernisme maka mau tidaknya harus diakhiri, didalam konsep tradisi tidak di kenal istilah pembedaan kajian ilmu profan dan sakral, semua ilmu yang di hasilakn dalm intelektual Islam adalah bercirikan sakral, jadi sudah seharusnya sekarang pengajaran pendidikan Islam tidak hanya membatasi pada ilmu-ilmu tertentu tapi mulailah diisi dengan berbagai kajian keilmuan sebagaimana yang telah di hasilkan para ilmuan tradisi Islam.
Pendidikan Islam juga seharusnya membuka lembaga-lembaga seperti observasi sebagai praktek dari teori yang di ajarkan dilembaga madrasah, mengingat para ilmuan muslim dahulu banyak melakukan penelitian di laboratiriumya untuk menliti yang di peroleh dari pengajaran di madrasah, juga perlu digalakan kelompok-studi yang biasanya digunakan untuk diskusi masalah filsafat untuk menggali khazanah muslim yang telah hilang karena dengan cara seperti itu mereka akan memahami filsafat yang pada saat ini hampir tergusur dengan dunia filsafat barat.
8.    PENDIDIKAN ISLAM DAN MODERNITAS
Gagasan modernisme Islam yang menentukan momentumnya sejak awal abad 20 pada lapangan pendidikan modern yang di adopsi dari sisitem pendidika kolonial penjajah.
Pada awal perkembangan adopsi modernisasi pendidikan Islam setidaktidaknya terdapat dua kecendrungan pokok  dalam eksprementasi organisasi-organisasi Islam, pertama adalah adopsi sisitem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh, titik tolak modernisme pendidikan Islam disini adalah sistem, bukan lembaga dan sisitem pendidikan Islam Tradisional.
Sejak awal perkembangan modrnisme, sebenarnya sebagian besar lembaga (walaupun tidak sepenuhnya) tercerap oleh kekuatan modernisme dan pendidikan modern mengikuti lembaga paling penting untuk pengembangan sistem nilai dunia modern lebih jauh, untuk penyebaran sekulerisasi dan untuk pandangan dunia agama.[56]
Modernisme dan modernisasi pendidikan Islam dilihat dalam perspektif perkembangan kebudayaan dan kelembagaanpendidikan tradisional Islam sulit untuk surviv tanpa modernisasi.dan sebagaimana dikemukakan di atas, modernisme dan modernisasi kelembagaan pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak awala abad ini dan nampaknya akan terus berlangsung pula dimasa-masa mendatang, tetapi modernisme sistem dan kelembagaan pendidikan Islam berlangsung bukan tanpa kritik yang berkembang di tengah masyarakat muslim khususnya dikalangan pemikir pendidikan Islam dan pengelolaan itu sendiri kelihatanya semakin vokal.
Persoalan ini melambung dan berkembang ketika ada pandangan atas kegagalan modernitas dan modernisasi barat yang sebagianya telah terlanjur di adopsi kaum muslim, termasuk kedalam lapangan pendidikan dalm memenui janji-janjinya untuk mensejahterakan  kehidupan manusia baik lahir atau batin melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Kegagalan modernisme dan modernisasi barat dengan segala ramifikasinya di kalngan kaum muslimin sering dikaitkan dengan kekeliruan epistemologi ilmu pengetahuan dengan epestimologi ilmu padaabad pertengahan yang bersifat “Theosentris” sebaliknya epetimologi ilmu modern dan kontemporer lebih bersifat “antroposentris”.
Jika di kalangan barat paradigma epistimologi “antroposentris” hampir seluruhnya mengusur paradigma “theosntris” sebaliknya para pemikir Islam terjadi tarik menarik yang cukup intens dim kalmngan pendukung masing-masing paradigma ini. Pemikir modernisme seperti Muhammad Abduh, Seyyid Amir Ali dan seterusnya mengembangkan epistemologi ilmu yang kurang lebuh bersifat “antroposentrisme” sebaliknya pemikir Neo-Tradisionali seperi Seyyed Hossein Nasr selalu mengkritik keras epistemologibarat dan pemikir modernitas muslim yang bersifat antroposentrislantas menganjurkan epistemologi ilmu yang bersifat “teosentris”.repleksi yang cukup jelas juga dari tarik tambang ini adalah upaya-upaya untuk keluar dari epistemologi ini adalah adanya kemunculan gagasan Islamisasi pengetahuan yang hingga kini masih dalam perdebatan.[57]
Setidaknya mulai abad 18 ketika didunia Islam mulai muncul bebrapa orang modernis yang ingin merumuskankembali Is;lam melelui pendekatan rasionalis filosofis gunamenemukan kembali akar-akar kejayaan padamasalampau yakni dengan usaha mencari hubungan barat dan Islam. Tetapi karena usaha mereka tidak cukup steril dari serangan-serangan internal bahkan di antara mereka memperoleh tuduhan sebagi agen barat sekuler yang anti Islam, maka boleh dibilang sampai sekarang usaha paramodernis belum cukup berhasil.
Karena teologi eklusif yang semula digugat dan di ganti dengan teologi modernisme yang sejatinya ingin membebaskan mnausi dari dogmatika nilai agama yang mmemasun kemerdekaan dan kreatifitas manusia dalam merespon dunianya, kini bergeser menjadi sebuah sebuah paradigma yang hanya mengagung-agungkan dimensi akal dan menafikan adanya realitas transendental dan dengan serta merta Tuhan dimatikan.
Agama dan ajaran moralitas lainnya dipandang telah cukup gagal dalam membangun kesadarn manusia, karena itu agama di tempatkan hanya pada level subordinat dari sistem kesadaran. Dalam suasana demikian agama benar-benar tidak memperoleh tempat sentral dalam sistem sosial polotik, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan. Dan teologi modernisme adalah justru melakukan desakralisasi atau sekulerisasi peran agama.
Dengan demikian terjadilah imperialisme epestimologi sekaligus kultural dan politik, yang hanya satu peradaban satukebudayaan dan satu sejarah yakni di tentukan oleh superioritas rasionalisme dan progresifme barat dan pasti bercirikan Eropa sentris, selanjutnya bisa di tebak paradigma epetimologi antroposentris menggusur teosentris.[58]
Dengan demikian jelas bahwa pendidikan Islam yang sudah termodernisasi lama-kelamaan di tengarai kehilangan identitas jati dirinya dalam ruh-ruh mendasarnya.

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumya dapat kami tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ilmu Pengetahuan menurut konsep Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang esensial yitupengetahuan yang didasarkan identitas di antara yang mengetahui dan di ketahui, maka dari itu Nasr berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukanlah melalui pencapaian saja (al-ilm al-hussuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan adalah pemberian (al-ilm alhudluri) maka sebagai sumbernya pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi jugamelalui wahyu dan intelek serta intuisi, tetapi oleh harmonisasiantar akal dengan wahyu, rasio dengan hati yang ahirnya berupa pengetahuan intelektus, mata hati yang sanggup menagkap bayang-bayang Tuhan lewat isarat alam, sehingga bisa membawa membawa kepada kebahagiyaan manyatu dengan alam dan Tuhanya. Pengetahuan itu tak lain adalah pengetahuan yang suci (scietia sacra) yaitu pengetahuan yang selalu menekankan pada kesadaran yang merupakan gnosisi dan tidak hanya pengetahuan insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya
2.    Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa seolah-olah teolog ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk mempertimbangkan penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan pendukung filsafat perennial, yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi, teologi menjadi tolok ukur teori-teori ilmiah. Nama Seyyed Hossein Nasr sering disandingkan dengan Syed M. Naquin Al-Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut gagasannya dengan "dewesternisasi ilmu", Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu" dan Sardar tentang penciptaan suatu "sains Islam kontemporer".
3.    Pemikiran sayyid Hussein nasr mengenai integrasi antara pengetahuan dan kesucian yang beliau wujudkan dalam konsep mengenai tradisionalisme islam mengandung semangat pembaharuan (tajdid) yang merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Ilahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisans dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. seorang mujaddid berbeda dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.
4.    Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah sesungguhnya dirinya dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya.















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ahmad Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia SufistikTerhadap Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. M. Dawam Rahardjo, Jakarta : Grafiti Pers, 1987.
Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004.
Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983.
_____________,. Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986.
_____________,. Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994.
_____________,. Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 1997.
_____________,. Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, Jakarta: Inisiasi Press: 2004.
_____________,. Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala Book, 1976.
_____________,. Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung: Pustaka, 1983.
_____________,. Menjelajahi Dunia Modern, Terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1994.
_____________,. Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
_____________,. Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988.



[1] Komaruddin Hidayat, Upaya Pembebasan Manusia SufistikTerhadap Manusia Modern Menurut Seyyed Hossein Nasr, Konsep Manusia Menurut Islam, Peny. Lawam Raharjo, Jakarta : Grafiti Pers, 1987, h. 183
[2]  Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. 183
[3] Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. x
[4] Kata Pengantar Abdurrahman Wahid dalam Seyyed Hossein Nasr. Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. ix
[5] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. v-vi
[6] Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta. Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. xi
[7] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994. h.3
[8] Ahmad Harun Permata, (ed), Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, h. 147
[9] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta: Pustaka, Pelajar, 1997, h. 77
[10] Ahmad Harum Permata, (ed.) Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1996, h. 146
[11] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 78
[12] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. el), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 80

[13] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, Jakarta: Inisiasi Press: 2004, h. 37
[14] Seyyed Hossein Nasr, Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala Book, 1976, h. 63
[15] Seyyed Hossein Nasr, Man and Natur; The Spritual Crisis Of Modern Man, London: Mandala Book, 1976, h. 63
[16] Modern dalam term Nasr tidak sama dengan kontemporer maupun mengikuti zaman, Modern adalah sesuatu yang terpisah dari trasenden, Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994, h. 98
[17] Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung: Pustaka, 1983, h. 15
[18] Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahfud, Bandung: Pustaka, 1983, h. 47
[19] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994, h. 211
[20] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi; di kancah dunia modern, terj. Lukman Hakim, Bandung: Pustaka, 1994, h. 185
[21] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono, Jakarta: Inisiasi Press: 2004, h. 135
[22] Seyyed Hossein Nasr. Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 152-153
[23] Seyyed Hossein Nasr. Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 155
[24] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 178
[25] Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, h. 58
[26] Seyyed Hossein Nasr, Islam Dalam Cita dan Fakta, Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta : Leppenas, 1983, h. 6
[27] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 54
[28] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 66
[29] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 56
[30] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 171
[31] Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 4
[32] Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 4
[33] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 220
[34] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 222
[35] Seyyed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahfud, Bandung: Pustaka, 1983, h. 15
[36] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 57
[37] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 7
[38] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 50
[39] Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, Terj. Suharsono, (et. al), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 172
[40] Dr. Seyyed Hossein Nasr, Dkk, Islam dan Masyarakat Kontemporer, Terj. Drs Hamid LS. Basalamah, Gema Risalah Press, 1988, h. 64
[41] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 124
[42] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[43] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[44] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 4
[45] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 126
[46] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 127
[47] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 126
[48] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 47
[49] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 57
[50] Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, Terj. J. Mahyudin. Bandung : Penerbit Pustaka, 1986, h. 61
[51] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 130
[52] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 150
[53] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 150
[54] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 151
[55] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi (Di Tengah Kancah Dunia Modern). Terj. Lukman Hakim, Pustaka, Bandung, 1994. h. 125
[56] Seyyed Hossein Nasr Menjelajah Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat, Bandung: Mizan, 1993, h. 214
[57] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 40
[58] Moh. Sofyan, Pendidikan Berparadigma Profetik, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, h. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar