BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Muhammad
Abduh dalam sejarah pendidikan, termasuk salah satu pembaharu yangharum namanya
dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi pendidikanyang dilakukannya.
Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam dunia pendidikan,Muhammad Abduh
juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan umat Islam untuk kembali
kepada Al Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan, bersama Jamaludin
al-Afgani menerbitkan majalah al‟Urwatul Wutsqa di Paris yang
makalah-makalahnyamenghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan
dunia Islam pada umumnya.
Rintangan
dan hambatan bukanlah halangan baginya untuk menghantarkan pembaharuan
pemikiran dalam pendidikan Islam pada tempat yang layak, dan pada makalahini
akan diuraikan tentang perjalanan hidup seorang Muhammad Abduh dari seorang
biasadalam belajar sampai mendapat gelar Mufti di Mesir, dengan segala
kesulitan yang iatemukan dan sampai keberhasilan yang diperolehnya.
Makalah ini
akan membahas tentang konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh
yang kita tahu konsepnya kini menjadi sorotan dunia pendidikan Islam baik di
Barat maupun di Timur bahkan di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Biografi dari Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana
Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh?
3.
Bagaimana
konsep pendidikan Muhammad Abduh?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui biografi dari Muhammad Abduh
2.
Untuk
Mendiskripsikan pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan
3.
Untuk
mendiskripsikan konsep pendidikan dari Muhammad Abduh
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H disebuah desa di PropinsiGharbiyyah
Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah.Abduh
lahir dillingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta
ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr.[1]
Ayahnya
bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat.
Ibunya keturunan Arab yangsilsilah sampai kepada Umar ibn Khathab. Kakek
Muhammad Abduh diketahui turutmenentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan
itu dituduhkan pula kepada AbdulKhairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan
itu ayahnya sempat dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap
di al-Gharibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibuMuhammad Abduh.[2]
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan
menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya,kemudian setelah mahir
membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur
an .Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun .Kemudian Ia dikirim ke
Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad
ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sorof,fiqih dan sebagainya.Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak
lain metode hapalan diluar kepala,dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti
apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.[3]
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk
belajar,kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku
,namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya .Berkat kegigihan
Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya,dan setiap Ia membaca
beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud
oleh kalimat itu.Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah
sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan .Setelah itu Ia mengerti apa yang
dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak.Akhirnya Iapun pergi ke
Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta ,Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada
tahun 1866.Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan
Jamaludin Al-Afgani,ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke
Istambul.Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada
Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur an
.Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri.Perjumpaan ini memberikan kesan
yang baik didalam diri Muhammad Abduh.[4]
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani datang da tahun 1871,untuk menetap di Mesir
,Muhammad Abduh menjadi murid yang paling setia .Ia belajar filsafat dibawah
bimbingan Al-Afgani.Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada
waktu itu baru saja terbit.
Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim
.Ia kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya
sendiri. Ia mengajarkan
buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan Sejarah
kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain.Dari sinilah Ia mengadakan
pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
1879, tensions began to rise between British and Egyptians, until a
revolt broke out, known as the Urabi Revolution. Abduh was sent to prison in
1881 for his voice in the revolt against the British, placing him in a cell for
three months, He was then exiled from Egypt for three year, during which time
he went to Beirut, and then to Paris, where he met up with Afghani once again.In
France, al-Afghani and Abduh started a secret society in 1884 that had branches
stretching into the Middle East. They also published a newspaper, “al-Urwa
al-wuthqa”. The paper introduced European ideas to the Middle East and explored
the weaknesses within the Muslim world and how it could be fixed.[5]
1888, Abduh returned to Egypt. Once back in his home country, he
wanted to start teaching again, but was not allowed by the khedive, who feared
Abduh’s to influence young minds.[6]
But that didn’t stop the once-exiled Abduh. He was appointed judge in the
Eyptian Courts of First Instance of the Native Tribunals and in 1890, became a
member of Court of Appeal. And in 1899 Abduh was promoted to mufti of Egypt.
This allowed him to have control over the system of religious law. He also
became an appointed member of the Legislative Council, created in 1883 to
advise the government. With his heart still in teaching, he helped found the
Benevolent Society that helped in the establishment of schools.
Abduh stayed in contact with Europe. He had some ties with European philosophers. He even wrote a letter to Tolstoy.11 Whenever he could, Abduh would head over to the West to “renew himself”, this giving him hope that one day, the Muslim world would pull through from its present state of discontent.12 On July of 1905, Abduh passed away at the age of fifty-six.[7]
Abduh stayed in contact with Europe. He had some ties with European philosophers. He even wrote a letter to Tolstoy.11 Whenever he could, Abduh would head over to the West to “renew himself”, this giving him hope that one day, the Muslim world would pull through from its present state of discontent.12 On July of 1905, Abduh passed away at the age of fifty-six.[7]
B.
Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad
Abduh
Azyumardi
Azra dalam hal ini menyebutkan ada tiga pendekatan yang secara implisit
digunakan para pembaharu. Ketiga pendekatan itu adalah pendekatan apologetik,
identifikatif, dan affirmatif. Pendekatan apologetik adalah bahwa seorang
pemikir muslim mengemukakan berbagai kelebihan Islam untuk menjawab tantangan
intelektual Barat yang senantiasa mempersoalkan berbagai ajaran Islam.
Pendekatan identifikatif bermaksud mengidentifkasi masalah-masalah yang
dihadapi guna memberikan respons sekaligus sebagai identitas Islam dimasa
modern. pendekatan ini lebih membuka peluang bagi kemunculan pemikiran yang
kreatif dan pro-aktif, kaarenanya ia lebih bersifat problem solving. Sedangkan
pendekatan affirmatif dilakukan untuk menegaskan kembali kepercayaan kepada
Islam dan sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim.[8]
Ketiga
pendekatan diatas, walaupun tumpang tindih dan sulit dipisahkan, dapat
dijadikan landasan tipologis untuk menentukan berbagai orientasi ideologis bagi
gerakan pembaharuan Islam. Paling tidak ada empat tipe orientasi ideologis yang
muncul dari tiga pendekatan di atas, yaitu:
1.
Konservatif-Tradional
Pendekatan
yang digunakan gerakan pembaharuan Islam yang berorientasi ideologi
konservatif-tradisionalis adalah apologetik. Gerakan pembaharuan Islam ini
biasanya berusaha mempertahankan tradisi lama tanpa ada perubahan. Gerakan ini
secara bulat menolak segala bentuk revolusi pemikiran. Secara umum, gerakan ini
dielopori oleh para ulama dan kaum sufi yang mempunyai semboyan “ Memelihara
yang lama yang lebih baik”. Gerakan ini muncul ketika terjadi reformasi di
dalam kekhalifahan usmanitah di turki. Mereka menentang reformasi ini dan
menyatakan bahwa meniru barat sama artinya mengkhianati Islam.[9]
2.
Modernis-Reformis
Kaum ini
menggunakan pendekatan identifikatif dalam menghadapi tantangan yang datang
dari Barat dan tuntutan duia modern. Dengan sikap adoptif rasionalnya, mereka
berusaha mengaplikasikan Islam dalam kehidupan realitas yang penuh dengan
dinamika perubahan. Menurut Rahman kaum modernis yang telah menjadikan
reformasi sebagai tolok ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan
ikatan-ikatan positif antara “pemikiran al-Quran” dengan “pemikiran modern”.
Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial
dan moral modern dengan berorientasi pada al-Quran.[10]
3.
Modernis-Sekuler
Kaum
modernis-sekuler adalah mereka yang menjadikan sekularisme sebagai upaya yang
perlu dilakukan dalam rangka pembaharuan Islam. Gerakan pembaharuan Islam yang
orientasi ideologisnya modernis-sekuler telah menggunakan pendekatan
identifikasi, dimana kebangkitan Islam hanya dapat dilakukan dengan cara
identifkasi hal-hal yang datang dari Barat apa adanya. Sekularisasi merupakan
suatu proses dimana manusia dibebaskan dari bentuk-bentuk ikatan sakral yang
ada dalam masyarakat.
Gerakan ini
mempunyai prinsip bahwa Islam selaku agama harus dipisahkan dari hal-hal yang
bersifat yang bersifat profan keduniaan. Islam hanya terbatas pada
masalah-masalah moral dan pribadi saja. Oleh karena itu, dalam rangka
pembaharuan Islam kaum muslimin hendaknya meniru dan menoleh ke Barat untuk
memperbaharui segi sosial-politik dalam kehidupan mereka. Dengan prinsip ini,
kaum modernis-sekuler menyimpulkan bahwa obat mujarab untuk mengobati
kemunduran Islam adalah obat yang pernah dipakai Barat dalam mengatasi berbagai
penyakitnya. Dengan demikian kaum modernis-sekuler menganggap pembaharuan
(modernisasi) sebagai westernisasi (proses pembaratan).[11]
4.
Puritan-Fundamentalis
Dengan
menggunakan pendekatan affirmatif, yaitu dengan menguatkan keotentikan dan
keorisinilan Islam, gerakan pembaharuan Islam yang orientalis berusaha
memberikan respons terhadap tantangan modernisasi yang dilakukan Barat. Pokok
pemikiran gerakan ini adalah segala aspek kehidupan kaum muslim harus diislamisasikan
kembali. Segala sesuatunya haruslah berbau dan berlabel Islam. Menurut hamzah
Ya’qub, gerakan yang intinya pemurnian ini berusaha membersihkan, menysucikan,
menyaring, dan menyegarkan kembali sesuatu yang telah tercemar agar kembali
kepada orisinilitasnya.[12]
Considered his philosophy to be directly to the Salafiyya (lit.
predecessors, early Muslims). This was considered to be the purest form of
Islam and for Islam to be reformed, it must revert to this purest form.
Therefore, Salafiyya thinkers, like Abduh, tend fundamentalist. Similar to
Whabbism or Jihaddist. Abduh considered himself to be a liberal form of
Salafist.17 However, some of Abduh’s students went a different
route.[13]
Kontak
kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte
menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari
Eropa. Kesadaran ini menimbulkan pelbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan
umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.[14]
To Abduh, former Egyptian ruler Muhammad Ali tried to place Western
beliefs in Egypt’s land by enforcing European laws and schools, this allowing
reform to take place. With European schools, two types of educational
institutions were created, the traditional Islamic schools that did not teach
students necessities of the modern world, and then secular schools that would
allow students to be learned in the sciences and thinkers of the West. With the
creation of secular schools, Muslims feared that students would lose their
faith. So a choice had to be made to have either a modern education or stick to
tradition. Abduh felt that European laws meant nothing to Egyptians, the
Egyptian not knowing or respecting such laws as a European would. This would
not only cause confusion, but would also make the situation worse. This would
result in no law, resulting to a society heading to ruin.[15]
Setelah
Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran
dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan.
Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke
Eropa, terutama ke Paris. Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah
modern, seperti sekolah meliter, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian.[16] Sekolah-sekolah
yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh
dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam.
Sementara di
al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak
tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Muhammad
Abduh yang berada dalam kondisi dan situasi seperti itu, tidak tinggal diam.
Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini pun meuncul.
Adapun pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan
al-Azhar adalah :[17]
1.
Menaikan gaji
guru-guru atau dosen-dosen yang miskin
2.
Membangun Ruaq
Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosendosen dan mahasiswanya.
3.
Mendirikan
Dewan Administrasi Al-Azhar ( Idarah al-Azhar)
4.
Memperbaiki
kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
5.
Mengangkat
beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh al-Azhar.
6.
Mengatur hari
libur,dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebuh panjang.
7.
Uraian
pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi diusahakan
dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
8.
Menambahkan
mata pelajaran Berhitung,Aljabar,Sejarah Islam,Bahasa dan Sastra dan
Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.
Gibb melalui Modern
Trends in Islam menjelaskan bahwa ada empat agenda pembaruan, terutama
di bidang pendidikan, menurut Muhammad Abduh:[18]
a)
Purifikasi.
Pemurnian ajaran Islam mendapat
perhatian serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafatyang
masuk dalam kehidupan beragama umat Islam.
Muhammad Abduh seperti halnya
Al-Farghani berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah dan khurafah
ke dalam pemikiran kaum muslimin telah membuat mereka lupa akan ajaran
Islam yang sebenarnya. Bid’ah dan khurafah menyebabkan kaum muslimin menyeleweng dari
kondisi masyarakat muslim seperti pada zaman salaf. Oleh karena itu, kaum
muslim harus kembali kepada ajaran Islam uang orisinil, sebagaimana terwujud
pada zaman sahabat dan ulama-ulama besar.[19]
b)
Reformasi.
Muhammad
Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada
universitas almamaternya, al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu
agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada
mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui
sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurchalish Majid menjelaskan bahwa
usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat
agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme
Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.[20]
c)
Pembelaan Islam.
Muhammad Abduh,
melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam.
Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap
yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian
pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik
untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
Menurut
Yvone Haddad, Muhammad Abduh telah berhasil mengungkapkan delapan keunggulan
Islam atas kristen yaitu:[21]
1)
Islam menegaskan bahwa menyakini
keesaan Allah dan memberikan risalah Muhammad merupakan kebenaran inti ajaran
Islam.
2)
Kaum muslimin sepakat bahwa akal dan
wahyu berjalan tidak saling bertentangan, karena keduanya berasal daari sumber
yang sama.
3)
Islam sangat terbuka atas berbagai
interpretasi. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan adanya saling
mengakafirkan di antara kaum muslim.
4)
Islam tidak membenarkan seseorang
menyerukan risalah Islam kepada orang lain, kecuali dengan bukti.
5)
Islam diperintahkan untuk
menumbuhkan otoritas agama, karena satu-satunya hubungan sejati adalah hubungan
manusia dengan Tuhannya secara langsung.
6)
Islam melindungi dakwah dan risalah
dan menghentikan perpecahan dan fitnah.
7)
Islam adalah agama kasih sayang,
persahabatan, dan mawaddah kepada orang yang berbeda doktrinnya.
8)
Islam memadukan antara kesejahteraan
dunia dan akhirat.
d)
Reformulasi.
Salah satu
pendapat Muhammad Abduh yang menggemparkan kaum tradisional pada saat itu
adalah penolakan tegasnya terhadap paham kaum tradisionalis. Muhammad Abduh menolak
pemahaman bahwa ajaran-ajaran Islam secara otoritatif telah ditafsirkan dengan
tuntas oleh ulama pada tiga abad pertama Islam.
Penolakan
Muhammad Abduh terhadap pandangan kaum tradisionalis ini telah mengantarkannya
kepada agenda pembaharuannya yang disebut dengan reformulasi, yaitu perlunya
upaya perumusan kembali ajaran Islam sesuai dengan pemikiran modern. Selain
itu, penolakan ini juga membuktikan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang yang
tidak setuju dengan pensakralan pemikiran keagamaan, hal mana telah dilakukan
juga oleh Muhammad Akroun dengan istilah taqdis al-afkarnal-diniyyah dan
oleh Rahman dengan istilah “proses ortodoksi”.[22]
Agenda ini
dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya,
kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni
kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam
telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya
manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
C.
Konsep Pendidikan Muhammad Abduh
Untuk
membahas konsep pendidikan Muhammad Abduh ini, setidaknya ada dua hal yang
harus diungkap: tujuan dan kurikulum pendidikan menurut Muhammad Abduh.
Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar-
belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi
pendidikan pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap
yang umumnya diambil oleh umat di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran
agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh
berbedah dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya.
Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khufarat yang menjadi ciri dunia
Islam saat itu, juga berkembang di Mesir.Muhammad Abduh memandang pemikiran
yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah,
dan sistem masyarakat.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa penyakit tersebut, antara lain, berpangkal
dari ketidak tahuan umat Islam pada ajaran sebenarnya, karena mereka
mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat.
Langkah yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan
dualisme pendidikan adalah upaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran
agama dengan pelajaran umum.Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum
kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam
kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik
tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian.Atas usaha
Muhammad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan
Tinggi”.Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pendidikan
Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam
antara lain yaitu:
1) Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk
memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan,
pendidikan Islamyang dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa dan akal serta
menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai
kebahagian hidup di dunia dan akhirat”. [23]
Pendidikan
akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan menanamkan kebiasaan
berpikir. Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum
muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan
dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki
akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhammad Abduh
menselaraskan antara akal dan agama.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an yang
diturunkan dengan perantara lisan Nabi di utus oleh Tuhan.Oleh karena itu sudah
merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya
terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat
meyakini kecuali dengan akal.[24]
Dari
rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai
oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek
afektif (spritual). Jadi adanya keseimbangan antara akal dan
spritual.Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan
berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk; antara membawa
kemaslahatan dan kemudaratan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap
kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis.
2) Kurikulum
Pendidikan Islam
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah
sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan
universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan.Semua harus memiliki
kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung.disamping itu, semua
harus mendapatkan pendidikan agama.Untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas,
maka Abduh membentuk seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai
tingkat atas, yaitu:[25]
a.
Tingkat
Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya
dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran
agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada
anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi
muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia, khususnya rakyat
Mesir pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk
dapat membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih
kemajuan.
Bagi sekolah dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis,
berhitung, pelajaran agama, dan sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah,
diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran
tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di
pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan,
seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
b.
Tingkat
Atas
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan
sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam pelbagai lapangan,
seperti administrasi, meliter, kesehatan, perindustrian, dll.
Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu memasukkan materi pelajaran
agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Di madrasah-madrasah yang berada
dalam naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh memasukkan pelajaran mantik, falsafah,
dan tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik
adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia
mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu
Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam
bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Arabiah.
Untuk pendidikan yang
lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia
mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir
al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsip-prinsip fiqh,
histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di
atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang
pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhammad Abduh, ia
menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa
kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan
pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik.
Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba menghilangkan jarak
dualisme dalam pendidikan.[26]
Adapun usaha
Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:[27]
· Memasukan
ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam al-Azhar.
· Mengubah
sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi
sistem pemahaman dan penalaran.
· Menghidupkan
metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid.
· Membuat
peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah
(komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran)
kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
3) Metode Pendidikan Islam
Yang
dimaksud dengan metode pendidikan Islam adalah semua cara yang digunakan dalam
upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup
juga metode pengajaran.Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung
juga dalam pembahasan materi pelajaran karena dalam materi pelajaran secara
tidak langsung juga membicarakan metode pengajaran.
Sebagai
seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar
menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami
ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai ganti metode
verbalisme (menghafal).Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode demonstrasi
tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana.[28]
Metode
yang digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya sebagai berikut:
1)
Metode
Menghafal
Dalam
bidang metode pengajaran Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah
dipraktekkan di sekolah sekolah saat itu. Hendaknya metode menghafal ini
hendaknya diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari.
Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak
menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya
mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2)
Metode
Diskusi
Dari
pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal,
dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta
metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya
memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode
pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan
dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak
dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir.
Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat
esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad
Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak
mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan
kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode
menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
3)
Metode
Tanya Jawab
Dalam hal ini metode pengajaran,
hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan
dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan
oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli.
Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak
didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan
mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam
pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
Muhammad Qodri Luthfi mengatakan
bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan
munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan
diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab,
tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.
4)
Metode
Demonstrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu
praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya
dengan caraberceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu
fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti
mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di
depan kelas maupun di masjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan: Hendaknya
guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam
waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan
mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana[29].
Dari penjelasan tersebut di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina akhlak,
hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan tegas,
disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
Dari
beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia
aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar
disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada
tradisi lama teguh dalam mempertahankanya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848
M/ 1265 H disebuah desa di PropinsiGharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama
Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah.Abduh lahir dillingkungan keluarga petani
yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya
berasal dari kota Mahallaj Nashr.
2.
Corak pemikiran Muhammad Abduh ada
empat yaitu (1) Konservatif-Tradisional : berusaha mempertahankan tradisi lama
tanpa ada perubahan, (2) Modernis-Reformis : berusaha menggabungkan antara
paradigma yang berlandaskan al-Quran dengan pemikiran modern, (3)
Modernis-Sekuler : mengganggap bahwa dengan pemikiran sekulerisme maka manusia
akan terbebas dari belenggu kesakralan dalam suatu masyarakat, dan (4)
Puritan-Fundamentalis: pokok pemikiran ini adalah mengislamisasikan semua
gerakan muslim.
3.
Munculnya ide-ide
pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor
situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Untuk meminimalisir adanya dualisme pendidikan Muhammad Abduh merumuskan tujuan
pendidikan sebagai suatu alat untuk menanamkan kebiasaan
berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Untuk
kurikulumnya Muhammad Abduh sendiri menginginkan tidak adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan karena itu beliau merumuskan kurikulum mulai dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Sedang untuk metodenya Muhammad Abduh
menganjurkan memakai metode hafalan, metode diskusi, metode tanya jawab, dan
metode demonstrasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad. 1993.
Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal
al-Kamilahli al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo:
Dar Syuruq.
Abdullah, M.
Amin . 1997. Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Aida Ritonga , Asnil . 2008. Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah. Bandung:
Citapustaka Media Perintis.
Arifin , Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam .
Jakarta: Bumi Aksara.
EnsiklopediIslam . 2001. Jilid 3 Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve
Haddad,
Yvone. 998. Muhammad Abduh: Perintis
Pembaharuan Islam . Bandung: Mizan.
Hourani,
Albert. 1983. Arabic Thought in the
Liberal Age . New York: Cambridge UniversityPress.
Lubis,
Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu. Jakarta: PT
Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1991. Pembaharuan
Dalam Islam . Jakarta: Bulan Bintang
Nizar, Samsul. 2009.
Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah Sampai Indonesia . Jakarta: Kencana.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Aruzz.
Suwinto dan Fauzan. 2003. Sejarah
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Anggkasa.
Ya’qub, Hamzah. 2006. Pemurnian
Aqidah dan Syari’at Islam . Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
http://www.mideastweb.org/Middle-East-Encyclopedia/salafi.htm. Diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[1]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan
Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia(Jakarta:
Kencana, 2009) hlm .240
[2]Asnil Aida Ritonga ,Pendidikan Islam
Dalam Buaian Arus Sejarah(Bandung: Citapustaka Media Perintis,2008)
hlm. 124
[3]Harun Nasution . Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan(Jakarta; Bulan Bintang,1975),hlm.59
[4]Harun Nasution . Pembaharuan dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan(Jakarta; Bulan
Bintang,1975),hlm.60-61
[5]Albert
Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge
University
Press, 1983),hlm.135
Press, 1983),hlm.135
[6]Albert
Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge
University
Press, 1983), hlm.134
Press, 1983), hlm.134
[7]Albert
Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, hlm. 135
[8]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm.257
[9]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 258
[10]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 259
[11]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam, hlm. 260-261
[12]Hamzah Ya’qub. Pemurnian
Aqidah dan Syari’at Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2006), hlm. 1
[13]http://www.mideastweb.org/Middle-East-Encyclopedia/salafi.htm.
Diakses pada tanggal 23 Desember 2014
[14]Muhammad. Abduh.
Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal al-Kamilahli
al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo: Dar
Syuruq, 1993. hlm. 45
[15]Albert
Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge
University
Press, 1983),hlm.137
Press, 1983),hlm.137
[16]Muhammad.Abduh.
Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal
al-Kamilahli al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo:
Dar Syuruq, 1993. hlm. 47
[18]Suwinto dan
Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Anggkasa,2003),
hlm. 78
[19]Harun Nasution.
Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.63
[20]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm.269
[21] Yvone Haddad. Muhammad
Abduh: Perintis Pembaharuan Islam (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 274
[22]M. Amin
Abdullah. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Cet. II; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 19
[24]Arbiyah Lubis.
Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), Hlm.156.
[26]Arbiyah Lubis.
Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), Hlm.160
[27]Arbiyah Lubis.
Pemikiran Muhammdiyah, hlm. 161
[28]Muzayyin
Arifin. Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 2009),Hal. 99.
[29]Toto Suharto. Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm. 102-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar