Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Senin, 14 Mei 2018

MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Muhammad Abduh dalam sejarah pendidikan, termasuk salah satu pembaharu yangharum namanya dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam karena reformasi pendidikanyang dilakukannya. Bukan saja melahirkan ide-ide cemerlang dalam dunia pendidikan,Muhammad Abduh juga dikenal pembaharu agama yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan As- Sunnah, dan pembaharu pergerakan, bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al‟Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnyamenghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.
Rintangan dan hambatan bukanlah halangan baginya untuk menghantarkan pembaharuan pemikiran dalam pendidikan Islam pada tempat yang layak, dan pada makalahini akan diuraikan tentang perjalanan hidup seorang Muhammad Abduh dari seorang biasadalam belajar sampai mendapat gelar Mufti di Mesir, dengan segala kesulitan yang iatemukan dan sampai keberhasilan yang diperolehnya.
Makalah ini akan membahas tentang konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh yang kita tahu konsepnya kini menjadi sorotan dunia pendidikan Islam baik di Barat maupun di Timur bahkan di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi dari Muhammad Abduh?
2.      Bagaimana Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh?
3.      Bagaimana konsep pendidikan Muhammad Abduh?
C.     Tujuan
1.      Untuk  mengetahui biografi dari Muhammad Abduh
2.      Untuk Mendiskripsikan pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan
3.      Untuk mendiskripsikan konsep pendidikan dari Muhammad Abduh
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H disebuah desa di PropinsiGharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah.Abduh lahir dillingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr.[1] 
Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa dan terhormat. Ibunya keturunan Arab yangsilsilah sampai kepada Umar ibn Khathab. Kakek Muhammad Abduh diketahui turutmenentang pemerintahan Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada AbdulKhairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat dipenjara untuk  beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan mengikat tali perkawinan dengan ibuMuhammad Abduh.[2]
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya,kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur an .Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun .Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad  ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sorof,fiqih dan sebagainya.Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala,dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.[3]
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk belajar,kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku ,namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya .Berkat kegigihan Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya,dan setiap Ia membaca beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud oleh kalimat itu.Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan .Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak.Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta ,Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun 1866.Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaludin Al-Afgani,ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul.Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur an .Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri.Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik didalam diri Muhammad Abduh.[4]
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani datang da tahun 1871,untuk menetap di Mesir ,Muhammad Abduh menjadi murid yang paling setia .Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani.Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit.
Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim .Ia kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya sendiri. Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain.Dari sinilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
1879, tensions began to rise between British and Egyptians, until a revolt broke out, known as the Urabi Revolution. Abduh was sent to prison in 1881 for his voice in the revolt against the British, placing him in a cell for three months, He was then exiled from Egypt for three year, during which time he went to Beirut, and then to Paris, where he met up with Afghani once again.In France, al-Afghani and Abduh started a secret society in 1884 that had branches stretching into the Middle East. They also published a newspaper, “al-Urwa al-wuthqa”. The paper introduced European ideas to the Middle East and explored the weaknesses within the Muslim world and how it could be fixed.[5]
1888, Abduh returned to Egypt. Once back in his home country, he wanted to start teaching again, but was not allowed by the khedive, who feared Abduh’s to influence young minds.[6] But that didn’t stop the once-exiled Abduh. He was appointed judge in the Eyptian Courts of First Instance of the Native Tribunals and in 1890, became a member of Court of Appeal. And in 1899 Abduh was promoted to mufti of Egypt. This allowed him to have control over the system of religious law. He also became an appointed member of the Legislative Council, created in 1883 to advise the government. With his heart still in teaching, he helped found the Benevolent Society that helped in the establishment of schools.
            Abduh stayed in contact with Europe. He had some ties with European philosophers. He even wrote a letter to Tolstoy.11 Whenever he could, Abduh would head over to the West to “renew himself”, this giving him hope that one day, the Muslim world would pull through from its present state of discontent.12 On July of 1905, Abduh passed away at the age of fifty-six.[7]
B.     Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh
Azyumardi Azra dalam hal ini menyebutkan ada tiga pendekatan yang secara implisit digunakan para pembaharu. Ketiga pendekatan itu adalah pendekatan apologetik, identifikatif, dan affirmatif. Pendekatan apologetik adalah bahwa seorang pemikir muslim mengemukakan berbagai kelebihan Islam untuk menjawab tantangan intelektual Barat yang senantiasa mempersoalkan berbagai ajaran Islam. Pendekatan identifikatif bermaksud mengidentifkasi masalah-masalah yang dihadapi guna memberikan respons sekaligus sebagai identitas Islam dimasa modern. pendekatan ini lebih membuka peluang bagi kemunculan pemikiran yang kreatif dan pro-aktif, kaarenanya ia lebih bersifat problem solving. Sedangkan pendekatan affirmatif dilakukan untuk menegaskan kembali kepercayaan kepada Islam dan sekaligus menguatkan kembali eksistensi masyarakat muslim.[8]
Ketiga pendekatan diatas, walaupun tumpang tindih dan sulit dipisahkan, dapat dijadikan landasan tipologis untuk menentukan berbagai orientasi ideologis bagi gerakan pembaharuan Islam. Paling tidak ada empat tipe orientasi ideologis yang muncul dari tiga pendekatan di atas, yaitu:
1.      Konservatif-Tradional
Pendekatan yang digunakan gerakan pembaharuan Islam yang berorientasi ideologi konservatif-tradisionalis adalah apologetik. Gerakan pembaharuan Islam ini biasanya berusaha mempertahankan tradisi lama tanpa ada perubahan. Gerakan ini secara bulat menolak segala bentuk revolusi pemikiran. Secara umum, gerakan ini dielopori oleh para ulama dan kaum sufi yang mempunyai semboyan “ Memelihara yang lama yang lebih baik”. Gerakan ini muncul ketika terjadi reformasi di dalam kekhalifahan usmanitah di turki. Mereka menentang reformasi ini dan menyatakan bahwa meniru barat sama artinya mengkhianati Islam.[9]
2.      Modernis-Reformis
Kaum ini menggunakan pendekatan identifikatif dalam menghadapi tantangan yang datang dari Barat dan tuntutan duia modern. Dengan sikap adoptif rasionalnya, mereka berusaha mengaplikasikan Islam dalam kehidupan realitas yang penuh dengan dinamika perubahan. Menurut Rahman kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolok ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara “pemikiran al-Quran” dengan “pemikiran modern”. Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada al-Quran.[10]
3.      Modernis-Sekuler
Kaum modernis-sekuler adalah mereka yang menjadikan sekularisme sebagai upaya yang perlu dilakukan dalam rangka pembaharuan Islam. Gerakan pembaharuan Islam yang orientasi ideologisnya modernis-sekuler telah menggunakan pendekatan identifikasi, dimana kebangkitan Islam hanya dapat dilakukan dengan cara identifkasi hal-hal yang datang dari Barat apa adanya. Sekularisasi merupakan suatu proses dimana manusia dibebaskan dari bentuk-bentuk ikatan sakral yang ada dalam masyarakat.
Gerakan ini mempunyai prinsip bahwa Islam selaku agama harus dipisahkan dari hal-hal yang bersifat yang bersifat profan keduniaan. Islam hanya terbatas pada masalah-masalah moral dan pribadi saja. Oleh karena itu, dalam rangka pembaharuan Islam kaum muslimin hendaknya meniru dan menoleh ke Barat untuk memperbaharui segi sosial-politik dalam kehidupan mereka. Dengan prinsip ini, kaum modernis-sekuler menyimpulkan bahwa obat mujarab untuk mengobati kemunduran Islam adalah obat yang pernah dipakai Barat dalam mengatasi berbagai penyakitnya. Dengan demikian kaum modernis-sekuler menganggap pembaharuan (modernisasi) sebagai westernisasi (proses pembaratan).[11]
4.      Puritan-Fundamentalis
Dengan menggunakan pendekatan affirmatif, yaitu dengan menguatkan keotentikan dan keorisinilan Islam, gerakan pembaharuan Islam yang orientalis berusaha memberikan respons terhadap tantangan modernisasi yang dilakukan Barat. Pokok pemikiran gerakan ini adalah segala aspek kehidupan kaum muslim harus diislamisasikan kembali. Segala sesuatunya haruslah berbau dan berlabel Islam. Menurut hamzah Ya’qub, gerakan yang intinya pemurnian ini berusaha membersihkan, menysucikan, menyaring, dan menyegarkan kembali sesuatu yang telah tercemar agar kembali kepada orisinilitasnya.[12]
Considered his philosophy to be directly to the Salafiyya (lit. predecessors, early Muslims). This was considered to be the purest form of Islam and for Islam to be reformed, it must revert to this purest form. Therefore, Salafiyya thinkers, like Abduh, tend fundamentalist. Similar to Whabbism or Jihaddist. Abduh considered himself to be a liberal form of Salafist.17 However, some of Abduh’s students went a different route.[13]
Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan pelbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.[14]
To Abduh, former Egyptian ruler Muhammad Ali tried to place Western beliefs in Egypt’s land by enforcing European laws and schools, this allowing reform to take place. With European schools, two types of educational institutions were created, the traditional Islamic schools that did not teach students necessities of the modern world, and then secular schools that would allow students to be learned in the sciences and thinkers of the West. With the creation of secular schools, Muslims feared that students would lose their faith. So a choice had to be made to have either a modern education or stick to tradition. Abduh felt that  European laws meant nothing to Egyptians, the Egyptian not knowing or respecting such laws as a European would. This would not only cause confusion, but would also make the situation worse. This would result in no law, resulting to a society heading to ruin.[15]
Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris. Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah meliter, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian.[16] Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam.
Sementara di al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Muhammad Abduh yang berada dalam kondisi dan situasi seperti itu, tidak tinggal diam. Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini pun meuncul.
Adapun pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh untuk kemajuan al-Azhar adalah :[17]
1.      Menaikan gaji guru-guru atau dosen-dosen yang miskin
2.      Membangun Ruaq Al-Azhar yaitu kebutuhan pemondokan bagi dosendosen dan mahasiswanya.
3.      Mendirikan Dewan Administrasi Al-Azhar ( Idarah al-Azhar)
4.      Memperbaiki kondisi perpustakaan yang sangat menyedihkan.
5.      Mengangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syekh al-Azhar.
6.      Mengatur hari libur,dimana libur lebih pendek dan masa belajar lebuh panjang.
7.      Uraian pelajaran yang bertele-tele yang dikenal Syarah al-Hawasyi diusahakan dihilangkan dan digantikan dengan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
8.      Menambahkan mata pelajaran Berhitung,Aljabar,Sejarah Islam,Bahasa dan Sastra dan Prinsip-prinsip Geometri dan Geografi kedalam kurikulum al-Azhar.
Gibb melalui Modern Trends in Islam menjelaskan bahwa ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan, menurut Muhammad Abduh:[18]
a)      Purifikasi.
Pemurnian ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafatyang masuk dalam kehidupan beragama umat Islam.
Muhammad Abduh seperti halnya Al-Farghani berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah dan khurafah ke dalam pemikiran kaum muslimin telah membuat mereka lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah dan khurafah  menyebabkan kaum muslimin menyeleweng dari kondisi masyarakat muslim seperti pada zaman salaf. Oleh karena itu, kaum muslim harus kembali kepada ajaran Islam uang orisinil, sebagaimana terwujud pada zaman sahabat dan ulama-ulama besar.[19]
b)      Reformasi.
Muhammad Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurchalish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.[20]
c)    Pembelaan Islam.
Muhammad Abduh, melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
Menurut Yvone Haddad, Muhammad Abduh telah berhasil mengungkapkan delapan keunggulan Islam atas kristen yaitu:[21]
1)      Islam menegaskan bahwa menyakini keesaan Allah dan memberikan risalah Muhammad merupakan kebenaran inti ajaran Islam.
2)      Kaum muslimin sepakat bahwa akal dan wahyu berjalan tidak saling bertentangan, karena keduanya berasal daari sumber yang sama.
3)      Islam sangat terbuka atas berbagai interpretasi. Oleh karena itu, Islam tidak membenarkan adanya saling mengakafirkan di antara kaum muslim.
4)      Islam tidak membenarkan seseorang menyerukan risalah Islam kepada orang lain, kecuali dengan bukti.
5)      Islam diperintahkan untuk menumbuhkan otoritas agama, karena satu-satunya hubungan sejati adalah hubungan manusia dengan Tuhannya secara langsung.
6)      Islam melindungi dakwah dan risalah dan menghentikan perpecahan dan fitnah.
7)      Islam adalah agama kasih sayang, persahabatan, dan mawaddah kepada orang yang berbeda doktrinnya.
8)      Islam memadukan antara kesejahteraan dunia dan akhirat.
d)     Reformulasi.
Salah satu pendapat Muhammad Abduh yang menggemparkan kaum tradisional pada saat itu adalah penolakan tegasnya terhadap paham kaum tradisionalis. Muhammad Abduh menolak pemahaman bahwa ajaran-ajaran Islam secara otoritatif telah ditafsirkan dengan tuntas oleh ulama pada tiga abad pertama Islam.
Penolakan Muhammad Abduh terhadap pandangan kaum tradisionalis ini telah mengantarkannya kepada agenda pembaharuannya yang disebut dengan reformulasi, yaitu perlunya upaya perumusan kembali ajaran Islam sesuai dengan pemikiran modern. Selain itu, penolakan ini juga membuktikan bahwa Muhammad Abduh adalah seorang yang tidak setuju dengan pensakralan pemikiran keagamaan, hal mana telah dilakukan juga oleh Muhammad Akroun dengan istilah taqdis al-afkarnal-diniyyah dan oleh Rahman dengan istilah “proses ortodoksi”.[22]
Agenda ini dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.
C.     Konsep Pendidikan Muhammad Abduh
Untuk membahas konsep pendidikan Muhammad Abduh ini, setidaknya ada dua hal yang harus diungkap: tujuan dan kurikulum pendidikan menurut Muhammad Abduh.
Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbedah dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khufarat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir.Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa penyakit tersebut, antara lain, berpangkal dari ketidak tahuan umat Islam pada ajaran sebenarnya, karena mereka mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat.
Langkah yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum.Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian.Atas usaha Muhammad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pendidikan Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1)   Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan, pendidikan Islamyang dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat”. [23]
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan menanamkan kebiasaan berpikir. Muhammad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhammad Abduh menselaraskan antara akal dan agama.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dengan perantara lisan Nabi di utus oleh Tuhan.Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.[24]
 Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Jadi adanya keseimbangan antara akal dan spritual.Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk; antara membawa kemaslahatan dan kemudaratan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis.
2)   Kurikulum Pendidikan Islam
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan.Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung.disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.Untuk mewujudkan tujuan pendidikan di atas, maka Abduh membentuk seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai tingkat atas, yaitu:[25]
a.         Tingkat Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia, khususnya rakyat Mesir pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
Bagi sekolah dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung, pelajaran agama, dan sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
b.        Tingkat Atas
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam pelbagai lapangan, seperti administrasi, meliter, kesehatan, perindustrian, dll. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu memasukkan materi pelajaran agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Di madrasah-madrasah yang berada dalam naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh memasukkan pelajaran mantik, falsafah, dan tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Arabiah.
         Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsip-prinsip fiqh, histogarfi, seni berbicara.
         Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhammad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.[26]
         Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:[27]
·     Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam al-Azhar.
·      Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
·      Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid.
·       Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
3)   Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran.Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi pelajaran karena dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan metode pengajaran.
Sebagai seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai ganti metode verbalisme (menghafal).Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana.[28]
       Metode yang digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya sebagai berikut:
1)   Metode Menghafal
Dalam bidang metode pengajaran Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah sekolah saat itu. Hendaknya metode menghafal ini hendaknya diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2)   Metode Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal, dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
3)   Metode Tanya Jawab
Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli. Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
Muhammad Qodri Luthfi mengatakan bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab, tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.
4)   Metode Demonstrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan caraberceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di masjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan: Hendaknya guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana[29].
     Dari penjelasan tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina akhlak, hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan tegas, disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya
 

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M/ 1265 H disebuah desa di PropinsiGharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah.Abduh lahir dillingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota Mahallaj Nashr.
2.      Corak pemikiran Muhammad Abduh ada empat yaitu (1) Konservatif-Tradisional : berusaha mempertahankan tradisi lama tanpa ada perubahan, (2) Modernis-Reformis : berusaha menggabungkan antara paradigma yang berlandaskan al-Quran dengan pemikiran modern, (3) Modernis-Sekuler : mengganggap bahwa dengan pemikiran sekulerisme maka manusia akan terbebas dari belenggu kesakralan dalam suatu masyarakat, dan (4) Puritan-Fundamentalis: pokok pemikiran ini adalah mengislamisasikan semua gerakan muslim.
3.      Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu. Untuk meminimalisir adanya dualisme pendidikan Muhammad Abduh merumuskan tujuan pendidikan sebagai suatu alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Untuk kurikulumnya Muhammad Abduh sendiri menginginkan tidak adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena itu beliau merumuskan kurikulum mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Sedang untuk metodenya Muhammad Abduh menganjurkan memakai metode hafalan, metode diskusi, metode tanya jawab, dan metode demonstrasi.


DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1993.   Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal al-Kamilahli al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo: Dar Syuruq.

Abdullah, M. Amin . 1997.  Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Aida Ritonga , Asnil . 2008. Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Arifin , Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta: Bumi Aksara.
EnsiklopediIslam . 2001. Jilid 3 Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve
Haddad, Yvone. 998.  Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam . Bandung: Mizan.

Hourani, Albert. 1983.  Arabic Thought in the Liberal Age . New York: Cambridge UniversityPress.

Lubis, Arbiyah. 1993. Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Nasution, Harun.  1991. Pembaharuan Dalam Islam . Jakarta: Bulan Bintang
Nizar, Samsul. 2009.  Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia . Jakarta: Kencana.

Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Aruzz.
Suwinto dan Fauzan. 2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Anggkasa.

Ya’qub, Hamzah. 2006. Pemurnian Aqidah dan Syari’at Islam . Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.




[1]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia(Jakarta: Kencana, 2009) hlm .240
[2]Asnil Aida Ritonga ,Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah(Bandung: Citapustaka Media Perintis,2008) hlm. 124
[3]Harun Nasution . Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan(Jakarta; Bulan Bintang,1975),hlm.59

[4]Harun Nasution . Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan(Jakarta; Bulan Bintang,1975),hlm.60-61
[5]Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge University
Press, 1983),hlm.135
[6]Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge University
Press, 1983), hlm.134
[7]Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, hlm. 135
[8]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm.257
[9]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 258
[10]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 259
[11]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 260-261
[12]Hamzah Ya’qub. Pemurnian Aqidah dan Syari’at Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2006), hlm. 1
[14]Muhammad. Abduh. Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal al-Kamilahli al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo: Dar Syuruq, 1993. hlm. 45
[15]Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age (New York: Cambridge University
Press, 1983),hlm.137
[16]Muhammad.Abduh.  Risalah at-Tauhid, dalam Muhammad Imarah. al-A’mal al-Kamilahli al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, jil. III. Cairo: Dar Syuruq, 1993. hlm. 47
[17]EnsiklopediIslam Jilid 3 (Jakarta;Ikhtiar Baru Van Hoeve,2001), hlm. 200
[18]Suwinto dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Anggkasa,2003), hlm. 78
[19]Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.63
[20]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm.269
[21] Yvone Haddad. Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 274
[22]M. Amin Abdullah. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 19
[23]Suwinto dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Anggkasa,2003), hlm. 67
[24]Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), Hlm.156.
[25]Suwinto dan Fauzan. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan (Bandung: Anggkasa,2003), hlm. 87
[26]Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), Hlm.160
[27]Arbiyah Lubis. Pemikiran Muhammdiyah, hlm. 161
[28]Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Bumi Aksara, 2009),Hal. 99.
[29]Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Aruzz, 2006), hlm. 102-104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar