BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Krisis
fundamental yang dihadapi Islam pada masa modern ini adalah semacam perasaan
bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Oleh karena itu,
problem mendasar kaum muslimin modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah
tersebut dan membuatnya berjalan lagi dengan kekuatan penuh sehingga masyarakat
Islam dapat maju ke depan sebagaimana mestinya masyarakat yang terpimpin secara
Ilahiyah. Ide-ide pembaharuan sebagai upaya mengantisipasi krisis ini telah
banyak muncul. Akan tetapi metode yang dikembangkan oleh pembaharu dalam
menjawab krisis tersebut terlihat belum memuaskan.
Dengan
latar belakang inilah, Rahman berupaya merumuskan metodologi sistematisnya
dalam gerakan pembaharuan yang sering dikenal dengan neo-modernisme. Rahman
menyadari bahwa krisis yang digambarkan tersebut mempunyai implikasi yang
serius terhadap masa depan Islam dan umatnya. Dan akar krisis ini bagi Rahman
terletak pada sejarah keagamaan Islam karena sejak penghujung abad pertama
hijriyah kaum muslimin telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam
memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat
pendekatan-pendekatan historis, literalis, dan atomistis. Pendekatan-pendekatan
semacam ini telah menceraikan al-Qur’an dan sunnah Nabi dari akar kesejarahannya
dan mereduksi keduanya menjadi kompendia yang terdiri dari bagian-bagian yang
terisolasi dan fragmentasi.
Fazlur Rahman merupakan seorang
pemikir yang cukup besar perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan
kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di
tanah air, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahmanlah
yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan
Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan kiprahnya yang
dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan
mengembangkan intelektualitas umat Islam.
Memang, diakui maupun tidak,
gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan
intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya begitu terasa di tanah
air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman
mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia. Untuk
mengetahui lebih lanjut, maka penulis akan memaparkan lebih lanjut dalam
makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Siapakah
Fazlur Rahman itu?
2.
Bagaimana
Pemikiran Fazlur Rahman
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fazlur
Rahman
1.
Biografi
Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 September 1919 M/1338
di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang
sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluarga dengan
tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya, sebagaimana
diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual agama,
seperti shalat dan puasa secara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah
meninggalkannya.[2]
Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat
itu dapat ditelusuri dari ayahnya yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang
ulama tradisional kenamaan lulusan Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana
Shihab ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola
pemikiran Islam tradisional.[3]
Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai
tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan
seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan pemikiran
Fazlur Rahman.[4]
Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh
signifikansi yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan
intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya. Melalui didikan
ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba pengetahuan
dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat. Pengajaran dan
pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari
ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun dapat
menghafal Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadits dan
tafsir. Apalagi setelah beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa
Persia, Urdu, Inggris, Perancis, Jerman,
Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelek-tualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka
pemikiran dan pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam
pola pemikiran Islam tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas
sebagai kenyataan sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran,
kasih sayang, ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal
yang cukup signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan
keintelektualan Fazlur Rahman pada masa selanjutnya.[6]
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah
tradisi mazhab Hanafi yang dianut oleh keluarganya dan ini yang membentuk pola
pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab Hanafi dikenal sebagai salah
satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi modal landasan
berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran keagamaan yang
bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikungkung oleh satu mazhab
tertentu.[7]
Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak
dipengaruhi pola pemikiran kalangan modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal
Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan oleh Syah Waliyullah ad-Dihlawi
(1703-1762 M),[8]
Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),[9] Sayyid
Amir Ali (1849-1928 M),[10]
dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M),[11] pada
masa ini umat Islam di India sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara
sendiri yang bebas dari India, yaitu suatu negara yang berlandaskan ajaran
Islam.
Pada tahun 1940, Fazlur Rahman menyelesaikan studinya
pada program Bachelor of Art. Dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master
dalam bahasa Arab. Kedua gelar ini diperolehnya dari Universitas Punjab,
Lahore. Namun gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi di anak-benua India
itu tampaknya lebih bersifat formalitas-akademia dibandingkan dengan aspeknya
yang bersifat intelektual. Hal ini terbukti dari pernyataannya sendiri bahwa
Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.[12] tentunya
yang dimaksudkan dengan pernyataan-nya itu ialah dalam pengertian dasar
intelektual yang memadai. Kritiknya terhadap sistem pendidikan Islam tercermin
dari ungkapannya berikut: “Bila bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia,
mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada
lagi.”[13] Hal ini menunjukkan komitmen dan
keprihatinan Fazlur Rahman terhadap kondisi pendidikan dan intelektual umat
Islam pada masa itu.
a.
Pengembaraan Intelektual Pertama
Setelah memperoleh
gelar Master of Art dari Universitas Punjab pada tahun 1946, ia melanjutkan
studi ke Universitas Oxford Inggris, walaupun pada saat itu terdapat anggapan
di kalangan umat Islam bahwa belajar ke Barat adalah sesuatu yang naif. Namun
Fazlur Rahman tetap pada pendiriannya didasarkan atas ketidakpuasannya terhadap
mutu pendidikan di negara-negara muslim, termasuk di Pakistan.[14]
Di sini, selain
mengikuti kuliah, Rahman aktif belajar bahasa-bahasa Barat, seperti bahasa
Inggris, Yunani, Latin, Jerman, dan Perancis. Kemampuannya yang cepat menguasai
berbagai bahasa sangat membantu memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam
studi-studi Islam melalui penelusuran terhadap literatur yang ditulis para
orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.[15]
Ketika Pakistan
memisahkan diri dari India pada tanggal 14 Agustus 1947 dengan konsep dasar
negara Islam, Fazlur Rahman kebetulan sedang menempuh studinya di Oxford
University. Itulah sebab nantinya, ketika Ayub Khan tampil sebagai presiden
Pakistan melalui suatu kudeta militer, ia berusaha mengakomodir pemikiran
tokoh-tokoh Islam konservatif maupun modernis yang salah satunya adalah Fazlur
Rahman.
Dalam waktu yang
relatif singkat Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada tahun 1949 dengan
meraih gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) di bawah bimbingan S. Van den Bergh
dan Hamilton A. R Gibb dengan disertasi mengenai pemikiran Ibn Sina
berjudul Avicenna’s Psychology. Pada tahun 1952, ia menerbitkan
terjemahannya terhadap salah satu karya monumental Ibn Sina, yakni kitab
al-Najat,[16] sehingga mengangkat reputasinya di
kalangan sarjana ketimuran.
Setelah meraih gelar
doktor, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke negerinya Pakistan, karena ia
cemas terhadap kondisi negerinya ketika itu agak sulit menerima kehadiran
seorang sarjana keislaman dari Barat.[17] Ia
kemudian memutuskan untuk tinggal selama beberapa tahun di Barat dengan
mengajar di Universitas Durham, Inggris. Ketika mengajar di Universitas ini, ia
berhasil merampungkan karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy,
yang diterbitkan pertama kali tahun 1958.
Karya ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini sarjana modern yang mengkaji
pemikiran keagamaan umat Islam kurang menaruh perhatian terhadap doktrin
kenabian, dan lebih terpusat pada masalah-masalah legal dan sosial praktis.
Itulah sebabnya, karya Rahman ini memfokuskan perhatian pada area pemikiran
religio-filosofis Islam tersebut.[18]
Selanjutnya Fazlur
Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University,
Kanada dan menjabat Associate Professor of Philopsophy sampai awal tahun 1960,
di sini ia berkenalan dengan Wilfred C. Smith, salah seorang orientalis kenamaan
yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill
University.[19]
b.
Mengabdi di Tanah Air
Pada tahun 1960,
Fazlur Rahman kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayub Khan, Presiden
Pakistan untuk ikut berpartiaipasi dalam mem-bangun negara Pakistan.[20] Ketika itu, Pakistan menghadapi
kontroversi antara kelompok tradisionalis-fundamentalis dengan kelompok
modernis.[21] Presiden Ayub Khan, menunjuknya sebagai
Direktur pada lembaga penelitian Institute of Islamic Research, yang
berkedudukan di Karachi. Melalui lembaga ini, Rahman memprakarsai penerbitan
Journal Islamic Studies, yang hingga sekarang secara berkala masih terbit dan
merupakan jurnal ilmiah setaraf internasional.
Pada tahun 1962 ketika Fazlur Rahman diminta Presiden Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute), dan tahun 1964
sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam (The Advistory Council of
Islamic Ideology), ia berusaha mengabdikan dirinya mewujudkan cita-cita
tersebut, yaitu membangkitkan kembali visi al-Quran dari puing-puing reruntuhan sejarah.[22]
Sepanjang tahun 1968,
terjadi kerusuhan dan pemogokan di mana-mana yang mengungkapkan keberatan
masyarakat terhadap pandangan Fazlur Rahman tentang; (1) Sunnah dan Hadits di
mana ia mempertahankan kesahihan dan kenormatifan Sunnah Nabi.
(2) Penyembelihan hewan secara mekanis. Pada musim semi tahun 1967, Fazlur
Rahman menerima surat dari Kantor Komisaris Tinggi Pakistan di London yang
mengabarkan bahwa, pemerintah Inggris meminta Pakistan untuk membuka usaha
penyembelihan hewan secara mekanis. Fazlur Rahman kemudian
membalas surat tersebut dan mengemukakan bahwa hewan hasil sembelihan mekanis
itu halal, serta melampirkan teks fatwa Imam Syafi'i. Namun, secara tidak
terduga isi surat Fazlur Rahman itu terbit di media cetak Pakistan tanggal 23
September 1967, sehingga sebagian besar khatib Jum'at mengutuk
pandangannya itu.[23] Menanggapi hal itu, bulan September 1968 Fazlur Rahman mengundurkan diri sebagai Direktur Lembaga
Riset Islam. Pada tahun 1969, ia juga melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi
Islam. Karena ada tawaran mengajar
dari University of California, Los Angeles (UCLA), akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk berhijrah ke Amerika, sebagai
aktualisasi pemikiran kelak.
c.
Pengembaraan Intelektual Kedua
Salah satu alasan
hijrahnya Fazlur Rahman ke Los Angeles, Amerika Serikat dapat dilacak pada
sikapnya yang realistis dan sekaligus idealis. la menyadari gagasan-gagasan
yang ditawarkannya tidak pernah menemukan lahan yang subur di Pakistan. Padahal menurut tokoh ini, vitalitas karya intelektual sangat tergantung
pada suatu lingkungan intelektual yang bebas. Gagasan yang bebas dan gagasan
itu sendiri adalah dua kata yang sinonim. Suatu gagasan tidak akan pernah
survive tanpa adanya kebebasan. Jadi, pemikiran atau gagasan tentang lslam sama dengan pemikiran yang lain menuntut adanya kebebasan di mana dalam
kondisi itu perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara
ide-ide itu dapat dijamin.[24]
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencoba mencurahkan seluruh aktivitas
kehidupannya pada dunia keilmuan. Seluruh kegiatannya hanya berkisar pada aktivitas yang berkaitan secara langsung
dengan aspek keilmuan. Bahkan kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan
pribadinya yang terletak di basement rumahnya yang terletak di Neperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas
Chicago. la sendiri dengan bercanda menggambarkan dirinya seperti seekor ikan
yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.[25]
Konsistensi dan kesungguhan Fazlur Rahman dalam dunia
intelektual dapat dibuktikan dari pengakuan lembaga keilmuan yang berskala
internasional. Misalnya, pada tahun 1983 ia menerima penghargaan Giorgio Levi
Della Vida dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies,
Universitas California, Los Angeles. Fazlur Rahman adalah orang Islam pertama
dan satu-satunya (sampai
meninggalnya) yang menerima penghargaan itu.[26]
Pada pertengahan dasawarsa delapan puluhan kesehatan Fazlur Rahman mulai
terganggu karena penyakit kencing manisdan jantung yang dideritanya. Bahkan ketika
dokter pribadinya telah memberikan lampu kuning agar mengurangi kegiatannya, ia
tetap memenuhi undangan pemerin-tah Republik Indonesia pada
musim panas 1985. Di Indonesia, Fazlur Rahman tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam di negeri ini sambil beraudiensi, berdiskusi, dan memberi kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1988 ia wafat di Amerika
Serikat dalam usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Chicago.[27]
2.
Karya-Karya
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Fazlur
Rahman dianggap perlu dalam rangka mencari benang merah gagasan dan
pemikirannya yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya
yang dihasilkannya yang lebih dari seratus buah, tidak akan diungkap dan
dijelaskan semua. Pembahasan hanya ditekankan kepada beberapa karyanya yang
dianggap mewakili gagasan sentralnya.
Karya orisinal Fazlur Rahman
yang berbentuk buku adalah:
a.
Prophecy in Islam: Philosophy
and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George Allen and Unwire Ltd., London pada tahun
1958. Dalam buku ini, ia membandingkan antara
pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep
kenabian dan wahyu.
b.
Karya Fazlur Rahman bersifat historis adalah bukunya yang berjudul Islamic
Methodology in History, yang pada mulanya ditulis dalam bentuk
artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic
Studies, mulai bulan Maret 1962 sampai juni 1963, ketika ia di Pakistan. Karya ini bertujuan untuk
memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar
pemikiran Islam yang empat: Alquran, Sunnah, ijtihad, dan ijma', yang menjadi
kerangka bagi semua pemikiran Islam, selain untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam perkembangan Islam.[28]
c.
Buku Fazlur Rahman yang lain yang berjudul “Islam”, ia berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang hidup melalui pembedaan
antara yang normatif dan historis. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1966
oleh Holt, Rinehart dan Winson. Pada tahun 1968, kembali diterbitkan pada edisi
The Anchor Book tanpa ada perubahan. Kemudian pada tahun 1979 terbit edisi
kedua yang diberi tambahan epilog.[29] Dalam
buku ini, Fazlur Rahman menyajikan perkembangan Islam selama empat belas abad
perjalanan sejarahnya. la mengawali bahasannya dari sejarah Nabi Muhammad,
kemudian dilanjutkan tentang Alquran, sunnah, hukum, teologi, filsafat,
sufisme, sekte-sekte, pendidikan, serta gerakan pembaharuan, dan kemudian
diakhiri dengan analisis kritis terhadap warisan Islam.
d.
Setelah menulis tentang Ibn Sina pada awal kehidupan intelektualnya, Fazlur Rahman kemudian
melahirkan karya berjudul The Philosophy of Mulla Shadra.
Melalui buku yang diterbitkan pertama kali oleh State University of New York
Press pada tahun 1975 itu, dia memperkenalkan secara kritis dan analitis dari pemikiran religio filosofis Mulla Shadra[30]
(w. 1460 M), salah satu tokoh filsafat Islam.
e.
Major Themes of the Qur'an, yang edisi pertama diterbitkan pada tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica,
Minneapolia, Chicago. Dalam setup wacana intelektual Fazlur Rahman, Alquran
selalu dijadikan sebagai sumber rujukan utama. Wacana
ini kembali diagungkannya dalam karya Islam and
Modernity. Transformation of an Intellectual Tradition, yang
diterbitkan pertama kali oleh the University of Chicago Press, 1982.[31]
f.
Fazlur Rahman kemudian
mengangkat masalah kesehatan dan
pengobatan dalam perspektif Islam melalui karyanya Health and
Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, yang diterbitkan pertama kali oleh Crossroad, New York, tahun 1987,[32] sebagai
karya terakhir, dan lanjutan dari nilai yang terdapat pada karya-karya sebelumnya. Dalam buku ini ia menunjukkan sikap dan
pandangan positif Islam dalam menangani masalah-masalah dasar kehidupan
umat manusia. Fokus perhatiannya diletakkan pada bidang kesehatan, pemeliharaan
dan pengobatan.
Selain karya yang berbentuk
buku di atas, masih banyak lagi karya Fazlur Rahman yang lain berupa
artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Tidak diragukan lagi, bahwa Fazlur Rahman telah memberikan kontribusi
yang cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern. Bila ditelusuri
lebih lanjut, minimal ada lima aspek yang ditinggalkannya terhadap kajian Islam,
khususnya di Amerika Serikat, yaitu:
a. Fazlur Rahman mampu menggabungkan antara tradisionalisme Islam Sunni, modernisme
Islam dan skolastisisme Barat.
b. Dalam mencari kebenaran, Fazlur Rahman melakukan inovasi secara berani dan
apresiatif di antara sikap Islam dan sikap Barat.
c. Ia mengenalkan metodologi pengkajian Islam yang bersifat interdisipliner.
d. Dengan sikapnya yang gentle, spirit dan intelektulitasnya yang tajam, menjadikan Fazlur Rahman dan pemikiran-nya diterima
secara luas dalam pengkajian Islam di Amerika Serikat.
e. Dia telah meninggalkan warisan pemikiran kepada muridnya yang tersebar di
berbagai universitas dan
perguruan tinggi Amerika Serikat dan Kanada. Melalui murid-muridnya,
gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan Fazlur Rahman terus berkembang sampai saat ini.[33]
Dengan lima varian yang
ditinggalkannya itu, Fazlur Rahman menjadi salah satu tokoh yang cukup
berpengaruh di dunia Islam dan Barat.
B.
Pendekatan
Studi Hadits Dan Ilmu Hadits Fazlur Rahman
Sunnah
menurut bahasa adalah jalan dan digunakan untuk menyebut sebuah
tingkah laku bangsa Arab sebelum Islam yang berasal dari nenek moyangnya. Dalam
hal ini, sunnah mencakup dua aspek yaitu suatu fakta sejarah yang menyatakan
tindakan dan norma-norma untuk generasi penerus.[34]
Adapun
Sunnah menurut beliau adalah konsep kebiasaan atau adat istiadat, baik dari
segi fisik maupun tingkah laku secara mental. Dan kebiasaan ini bukan hanya
sekali saja dilakukan, tetapi terus berulang dan ada kemungkinan untuk terulang
lagi.[35]
Sedangkan
hadis adalah suatu cerita yang biasanya sangat pendek, dalam rangka memberikan
informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui
Nabi, atau informasi yang serupa mengenai sahabat-sahabatnya, khususnya
sahabat-sahabat senior dan terutama enpat Khlaifah yang pertama. Hadis terbagi
dua yaitu teks (matan) dan mata rantai periwayatan (isnad) yang memberikan
nama-nama perawi sebagai penunjang teks tersebut.
Beliau
berpendapat bahwa bila pada masa hidup Nabi orang membicarakan apa yang
diucapkannya atau yang dikerjakannya sebagai suatu sasaran, maka sesudah
wafatnya Nabi, pembicaraan itu menjadi sebuah gejala berhati-hati dan kesadaran
sejak muncul suatu generasi baru yang mempertanyakan tindakan Nabi. Orientasi
keagamaan tentang hadis sesuai dengan sunnah yaitu suatu norma keagamaan yang
praktis. Oleh karena itu, sunnah pada generasi setelah Nabi dapat diartikan
sebagai tindakan Nabi, untuk dapat memperoleh norma-norma.
Selanjutnya
beliau menjelaskan, dari pengertian sunnah secara bahasa, sunnah bukan berarti
amalan Nabi, melainkan amalam masyarakat muslim lokal di Madinah dan Irak.
Namun hadis bukanlah sesuatu yang diam dan non verbal belaka seperti yang
dipahami mayoritas umat Islam selama ini.
Dari
keterangan diatas, beliau menyimpulkan bahwa Sunnah dan Hadis merupakan
perwujudan dalam fase permulaan setelah era Muhammad, dan segala sesuatu yang
disandarkan kepadanya dan norma-norma itu diambil darinya. Selain itu, konsep
sunnah yang memulainya sebagai sebuah tradisi yang diam-diam terpaksa
tumbuh menjadi tradisi yang berarti yang hidup pada setiap generasi penerus.
Lebih dari itu, pengaruh politik pada awal kemunculan istilah sunnah di
kalangan umat Islam, menjadikan seseorang menentang konsep sunnah yang
sebenarnya ingin mengadakan perubahan (bid’ah).
Secara
garis besar sunnah Nabi adalah tradisi yang hidup pada generasi awal dan
penyimpangan dari keduanya. Adapun yang dimasudkan dengan penyimpangan disini
adalah menciptakan kekayaan materi, terutama melalui penafsiran hukum dan dogma
secara pribadi walaupun pada umumnya seragam dalam intinya. Adapun maksud
materi ini adalah konsep praktek yang disepakati (al a’mal) dan konsensus
(ijmak). Sunnah dan ijmak pada generasi awal dirumuskan untuk meneliti
pembaruan-pembaruan yang dihasilkan dari pendapat oribadi dan aliran-aliran
yang menyimpang. Namun diantara keduanya terdapat konsep yang berbeda, yaitu
sunnah merupakan jalan Nabi dalam maksud primodialnya yang mana pembaruan
adalah pelanggaran terhadap model kenabian. Sedangkan ijma’ merupakan konsensus
atau kesepakatan ulama-ulama terdahulu dalam menghadapi masalah-masalah baru
dalam keagamaan. Oleh karena itu, sunnah dan ijmak saling melengkapi satu sama
lainnya.
Secara
garis besar, menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang
sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada
bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara
mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari
kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavioral term),
oleh karena didalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama
latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka
sunnah tersebut harus dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi,
demikian tegas Rahman, merupakan petunjuk arah (pointer in the
direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
secara pasti (an exactly laid-out series of rulers).[36]
Berdasarkan
asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional
terhadap hadits. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah
melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadits dan
reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadits sesuai dengan kondisi-kondisi
moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan
melalui pendekatan historis dalam studi hadits, yakni
mengembalikan hadits menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara
tegas nilai-nilai nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[37]
Penafsiran
situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin
keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah
determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang
tercermin dalam hadits-hadits. Hadits-hadits ini harus ditafsirkan menurut
perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks
kesejarahan. Penafsiran situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus
dilakukan terhadap hadits-hadits hukum. Hadits-hadits ini, demikian harus
dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be
re-treated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat
secara langsung dipergunakan (a ready-made law).[38]
Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur
Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama,
memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni
menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab
al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadits (asbab
al-wurud mikro). Kedua, memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an
yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai
yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadits adalah dua hal, yakni sejarah
dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata
atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya,
dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadits tersebut.
ketiga adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip
idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar
sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadits
menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini
mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan
sosiologis.
Contoh operasi metodologis pendekatan historis dalam
studi hadits yang ditawarkan Fazlur Rahman dapat ditemukan dalam uraiannya
tentang riba dalam bukunya Islamic Methodology in History sebagai
berikut :
Al-Qur’an … menjelaskan alasan yang
sesungguhnya di balik pelarangan riba dengan mengatakan bahwa riba tidak dapat
didefinisikan sebagai suatu transaksi komersial karena ia merupakan suatu
proses yang dengannya modal berlipat ganda secara tidak wajar. Hadits historis
mengkonfirmasi hal ini dengan memberi informasi kepada kita behwa riba, dalam
kenyataannya, merupakan praktek orang-orang Arab pra-Islam. Tetapi kita telah
melihat ketegasan moral yang dengannya opini legal telah memasukkan berbagai
aktivitas dalam definisi riba dengan merumuskan suatu prinsip umum bahwa“setiap
pinjaman yang memberi keutungan kepada kreditur adalah riba”. Dalam nada
yang sama dikatakan bahwa riba secara eksklusif berlaku terhadap bahan-bahan
makanan, emas, dan perak, serta tidak berlaku terhadap hal-hal lainnya. Ini
secara tegas menyiratkan arti bahwa, sebagai contohnya, sejumlah kapas boleh
dipinjamkan dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian ia harus dikembalikan
dalam jumlah yang lebih banyak selaras dengan kehendak kreditor. Hal semacam
ini, tentu saja, bertentangan dengan prinsip umum yang baru saja dikutip.
Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa yang hendak diformulasikan
secara kaku adalah penafsiran moral yang progresif terhadap larangan al-Qur’an
tersebut. Sudah barang tentu kita tidak bisa menerima penafsiran yang
moral-legal yang spesifik ini dalam segala situasi dan kondisi. Lebih lanjut,
bahwa bunga bank dewasa ini secara sah dicakup oleh definisi perdagangan sulit
untuk disangkal. Ahli-ahli ekonomi dan moneter sajalah yang dapat menentukan
apakan bank tanpa bunga dapat berfungsi atau tidak. Jika dapat berfungsi,
syukurlah. Tetapi jika tidak, maka menegaskan bahwa (sistem) perbankan
komersial dewasa ini dengan perekonomian yang amat terkontrol masuk dalam larangan
al-Qur’an dan sunnah Nabi sama sekali tidak menunjukkan kejujuran terhadap
sejarah dan agama tetapi menunjukkan krisis kepercayaan manusia yang akut dan
sinisme yang tak kenal kompromi.[39]
Dalam
contoh penafsiran hadits di atas, terlihat Rahman memandang hadits-hadits legal
mengenai riba sebagai formulasi kaum Muslim belakangan, meski ia tidak merujuk
secara langsung hadits-hadits tersebut. Di sisi lain, terlihat bahwa penafsiran
situasional terhadap hadits hukum yang tentu saja dipandang olehnya sebagai
interpretasi kreatif kaum Muslim awal terhadap sunnah ideal Nabi didasarkan
pada hadits historis dan norma moral al-Qur’an, dengan memperhatikan secara
cermat kondisi kesejarahannya: “Hanya dengan memahami latar belakang yang
terdiri atas hal-hal yang telah diketahui secara pasti tentang Nabi dan Umat
awal (di samping al-Qur’an), kita dapat menafirkan hadits hukum (teknis)”.[40]
Dalam
memahami istilah Sunnah dan Hadits, di kalangan ulama' hadits terjadi terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara
Ulama' Mutaqaddimin dan Ulama' Muta'akkhirin. Menurut Ulama' Mutaqaddimin istilah sunnah dan hadits mempunyai
pengertian yang berbeda. Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi,
baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan non fisik
ataupun segala hal ihwal Nabi sebelum diutus menjadi Rasul. Sedang hadits
adalah segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi
setelah diutus menjadi Nabi (ba'da nubuwwah). Adapun Ulama' Hadits
Muta'akkhirin berpendapat bahwa sunnah sinonim dengan hadits. Hadits dan sunnah
memiliki pengertian yang sama, yakni segala ucapan, perbuatan, atau ketetapan
Nabi.
Sedang
menurut Fazlur Rahman, Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda dengan Hadits.
Sunnah menurutnya adalah tranmisi non verbal, sementara Hadits adalah transmisi
verbal. Setiap Hadits mengandung dua bagian, teks (matan) hadits itu sendiri
dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun
modern sependapat bahwa mula-mula Hadits muncul tanpa dukungan sanad kurang
lebih pada pertukarab abad ke-1 H/7M. Sekitar masa ini pulalah Hadits muncul
secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan
tetapi terdapat bukti yang kuat yang langsung mapun yang tidak langsung yang
menunjukkan bahwa sebelum menjadi disiplin yang formal dalam dalam abad ke-2
H/8 M, fenomena Hadits telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 680-700
M.
Para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadits yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadits ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku."Namun yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
Para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadits yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadits ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku."Namun yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
1.
Pandangan
Fazlur Rahman mengenai sanad dan matan
Kritik
Rahman terhadap hadits dari dimensi matan yang menurutnya banyak yang tidak
historis, sistem isnad juga tidak terlepas dari kritikannya. Ia memang mengakui
bahwa isnâd di samping mengandung informasi geografis yang kaya, juga telah
meminimalkan upaya-upaya pemalsuan hadits, tetapi baginya isnâd tidak bisa
dijadikan sebagai argumentasi positif yang final. Menurut Rahman, isnâd
berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah,
sehingga hadits-hadits yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di
dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan
menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada
sejarah.
Selanjutnya
Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadits yaitu sejarah dan al Qur’an.
Dan hadits-hadits ini harus ditafsirkan secara situasional menurut perspektif
historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks
kesejarahannya yang jelas. Dengan prinsip penafsiran yang demikian, Rahman
menegaskan agar hadits-hadits hukum tidak difahami sebagai hukum yang sudah
jadi untuk bisa diterapkan secara langsung, tetapi harus difahami sebagai suatu
masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be retreated).
2.
Metode
Pemahaman Sunnah
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi
penafsiran terhadap kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah
Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh kaum muslimin bahkan oleh
pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Fazlur Rahman beranggapan
bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan bisa
disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan
metodologi inilah yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya
dari gerakan pembaharuan Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadits,
meskipun ia menemukan perbedaan pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim
awal dengan generasi berikutnya khususnya setelah kuatnya gerakan hadits,
tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa satu-satunnya tradisi Nabi yang
tertinggal dan sampai pada kita adalah hadits, di mana menurut Fazlur Rahman
banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadits-hadits teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadits-hadits yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan: tentu saja harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadits dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap hadits dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadits tersebut kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadits tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadits menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadits-hadits teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadits-hadits yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan: tentu saja harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadits dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap hadits dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadits tersebut kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadits tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadits menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
3.
Kritik
Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
Penafsiran dengan metoda pendekatan historis
sosiologis pada satu sisi memang memiliki kelebihan. Karena hasil pemahaman
dari penafsiran melalui pendekatan semacam ini akan nampak lebih hidup dan dinamis.
Hasil pemahaman dari penafsiran semacam ini sangat dibutuhkan dalam kondisi
masyarakat yang semakin dinamis dan mempunyai problematika yang selalu
berkembang secara kompleks sebagai suatu dampak dari arus modernisasi dan
globalisasi.
Dengan demikian, operasionalisasi ajaran
Islam sebagai hasil pemahaman dari penafsiran seperti ini terasa lebih
kontekstual dan realis terhadap tuntutan sejarah, dan tidak terasa sebagai
pengekangan atau pemandulan terhadap laju modernitas. Akan tetapi sebaliknya
bisa jadi sebagai alat legitimasi bagi proses modernisasi. Pada dataran aplikatifnya yang mapan,
penafsiran dengan metoda pendekatan semacam ini juga memungkinkan untuk memberi
jawaban bagi krisis serta problematika pemikiran Islam dan merupakan jawaban
bagi kelemahan penafsiran dan pemahaman literal dari ulama’-ulama’ klasik
khususnya al Syafi’I sebagaimana dituduhkan Rahman, bahkan jawaban bagi
modernis klasik yang menganggap ketidak normatifan dan invaliditas sunnah
karena terlalu irrasional, dan berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat
kontemporer.
Akan tetapi di sisi lain metode pendekatan Fazlur
Rahman ini sangat memungkinkan sekali terhadap munculnya subyektivitas yang
sangat dominan, karena proses perumusan hikmah yang tidak jelas indikatornya
berarti mengharuskan keikutsertaan penghayatan psikologis seseorang dalam
proses pemahaman dan penafsiran tersebut. Pada titik ini ketidak mampuan
seseorang mengontrol kesadaran psikologisnya kemungkinan besar terjadi. Padahal
ketidak mampuan mengontrol kesadaran psikologis ini akan berakibat pemaksaan
terhadap obyek pemahaman dan penafsiran (dalam hal ini adalah hadits) untuk
menghasilkan kesimpulan atau doktrin-doktrin hukum yang tunduk kepada
kecenderungan subyektif. Jika demikian, akan terjadi proses penuhanan dan
penabian subyektivitas.
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadits mengatakan ketidak setujuannya tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadits dijustifikasi oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadits. Pemikiran Rahman yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn (tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadits untuk menentukan validitas (kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadits mengatakan ketidak setujuannya tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadits dijustifikasi oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadits. Pemikiran Rahman yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn (tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadits untuk menentukan validitas (kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
Dalam rangka menyeleksi dan membersihkan hadits
dari pemalsuan, ahli hadits telah merumuskan seperangkat teori, yang
diantaranya adalah metodologi kritik sanad hadits. Dari seperangkat teori
tersebut, mereka menghasilkan klasifikasi hadits menjadi mutawatir, ahad,
masyhûr, azîz dan gharîb, sahîh, hasan, dla’îf serta mursal, muttashil dan
sebagainya. Dengan pemikiran tersebut, Rahman secara tidak langsung telah menafikan
klasifikasi-klasifikasi hadits yang demikian. Di samping itu juga telah
mengaburkan teori-teori ulama’ klasik tentang qath’i dan dzanni hadits.
Dalam penelitian hadits, kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik
ekstern atau al naqd al khariji atau disebut juga al naqd al dzâhiri,
sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern atau al naqd
al dâkhili atau biasa disebut al naqd al bâtini. Dalam melakukan kritik
terhadap hadits, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan
mengesampingkan metode kritik sanad. Dan kriterium penilai yang digunakan
adalah sejarah dan al- Qur’an. Kriterium penilai sejarah dimaksudkan bahwa jika
matan hadits tidak mencerminkan problematika yang cocok untuk periode Nabi
Muhammad, maka jelas hadits tersebut dinyatakan palsu (tidak sahih). Sedang
kriterium penilai al-Qur’an dimaksudkan bahwa jika matan suatu hadits tidak
relevan dengan isyarat al-Qur’an, maka juga dinyatakan palsu. Selanjutnya jika
kita menganalisa metode kritik hadits para tradisionis (muhaddisîn),
kita juga mendapatkan gambaran bahwa meskipun mereka telah membuat beberapa
kaedah tentang kesahihan hadits, namun dalam pelaksanaannya terhadap kritik
matan masih kurang mendapatkan porsi yang mapan, sehingga jika diletakkan pada
kerangka teori metode sejarah di atas, maka melaksanaan metode kritik yang
demikian punya kelemahan, karena masih dianggap mengesampingkan kritik intern hadits.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fazlur
Rahman berpendapat, hadits belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu
adalah sunnah yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena
keteladanan Nabi, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran
individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang
perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya
sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini,
diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya,
menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini telah memasung
proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Perbedaan
hadits bersamaan dengan perbedaan lahirlah ra’yu yang menonjol dalam proses
interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang mencari
petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar
gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan
inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi
dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga
karena ada intervensi dari penguasa.
Dalam
semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya
catatan-catatan hadits. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis
menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadits untuk kepentingan politis,
ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadits
telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits.
Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan, hadits
adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah
pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian
dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mula-mula muncul hadits, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat
kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih
merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dari pada
teks. Ketika hadits-hadits dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadits,
kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadits menjadi sangat besar.
[1] Taufik Adnan Amal
(Peny.), Metode dan Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 13.
[2] Fazlur Rahman, Islam,
(Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979), hlm.
35.
[3] Pengertian
tradisional disini adalah kepenganutan seseorang terhadap salah satu mazhab
fiqh yang empat: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak
keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut faham Hanafi.
[4] Abd. A’la, Dari
Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana Islam
Indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003), hlm. 33.
[5] Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an”
dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 23-24.
[6] Fazlur Rahman. “An
Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990, hlm.
27.
[7] Fazlur Rahman, Islam,
hlm. 36.
[8] Syah Waliyullah lahir
di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd al-Rahim, Seorang
sufi yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan orang
tuanya sebagai guru di madrasah tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah
Waliyullah gemar mengarang dan banyak meninggalkan karangannya, di antaranya
adalah buku Hujjatullah al-Balighah. Lihat, J. M. S. Baljon, Religion and
Thought of Shah Wali Allah ad-Dahlawi (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.
[9] Sayyid Ahmad Khan
lahir di Delhi pada tahun 1817 M. Ia mendapatkan pendidikan tradisional tentang
pengetahuan agama seperti Alquran, Hadits, dan Teologi Islam. Akan tetapi,
meskipun ia mendapatkan pendidikan tradisional, ia tidak berpandangan sempit,
hal ini disebabkan oleh minat dan semangat bacanya yang tinggi dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Syed Abu Hasan Ali Nadwi, Western Civilization:
Islam and Muslim (India: Academy of Islam Reseach and Publications, 1978), hlm.
67.; W. C. Smith, Modern Islam in India: Social Analiysis (New Delhi: USA
Publications, 1979), hlm. 1.
[10] Sayyid Amir Ali
berasal dari keturunan keluarga syi’ah pada zaman Nadhir Syah (1736-1747) yang
pindah dari Khurasan di Persia ke India. Ia lahir pada tahun1849 M dan wafat
tahun 1928 M. Setelah tamat pendidikan madrasah, ia menyelesaikan pendidikannya
di perguruan tinggi Muhsiniyah, yang berada di dekat Calkutta. Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm.
181.
[11] Muhammad Iqbal adalah
salah seorang penyair, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis
Muslim. Ia berasal dari golongan manengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada
1876 M. Lihat, Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Bandung:
Mizan, 1985), hlm. 13.
[12] Fazlur Rahman, Islam
dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The
University of Chicago press, 1982), hlm. 117.
[13] Fazlur Rahman, Islam
dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The
University of Chicago press, 1982), hlm. 117.
[14] Ketika Fazlur Rahman
sudah berada di Inggris, ia pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu S.
Radhakrisna: “Mengapa anda tidak ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford” Rahman
menjawab: “Studi-studi islam di sana tidak sama kritisnya dengan India.” Lihat Fazlur
Rahman, Islam and Modernity ..., hlm. 120.
[15] Walaupun Fazlur
Rahman banyak menimba ilmu pengetahuan dari sarjana-sarjana barat, tapi ia
sangat kritis dengan pandangan-pandangan mereka yang berhubungan dengan Islam
dan umat Islam. Taufik Adnan Amal dan Ihsan Ali Fauzi, Fazlur Rahman, Sang
Sarzana Sang Pemikir (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998), hlm.
10.
[16] Kitab
al-Najat adalah ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya agung,
al-Syifa’. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi
Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 82.
[18] Taufik Adnan, Fazlur
Rahman, hlm. 12.
[19] John L. Esposito The
Oxford Encyclopedia of the Modem Islamic World III (New York: Oxford
University Press, 1995), hlm. 408.
[25] Wan Mohd. Nor Wan
Daud, “ Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul Quran,
Vol. II, (No. 8,1991), hlm. 108.
[26] Denry, The Legacy, hlm.
97. Dalam catatan kaki, No. 4, hlm. 106 disebutkan bahwa tokoh-tokoh sebelum
Fazlur Rahman yang menerima penghargaan serupa adalah Robert Brunsching, joseph
Schacht, Francesco Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz
Rosenthal, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.
[28] Fazlur Rahman,
Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994),
hlm. V. Lihat juga Abd A’la, Neo-Modernisme, hlm. 47.
[29] Lihat Ahmad Syafi’i
Ma’rif, dalam Kata Pengantar untuk buku Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji
Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara. 1987), hlm. viii.
[33] Donald L. Denry “Fazlur
Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh & Fedrick M.
Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur
Rahman (Georgia: Scholars Press, 1998), hlm. 40-43.
[35]Fazlur Rahman, Islamic
Methodology, New Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994, hlm.
1
[36] Fazlur Rahman, Islamic
Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic
Research, 1965, hlm. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar