Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa modern ini adalah semacam perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Oleh karena itu, problem mendasar kaum muslimin modern adalah bagaimana merehabilitasi sejarah tersebut dan membuatnya berjalan lagi dengan kekuatan penuh sehingga masyarakat Islam dapat maju ke depan sebagaimana mestinya masyarakat yang terpimpin secara Ilahiyah. Ide-ide pembaharuan sebagai upaya mengantisipasi krisis ini telah banyak muncul. Akan tetapi metode yang dikembangkan oleh pembaharu dalam menjawab krisis tersebut terlihat belum memuaskan. 
Dengan latar belakang inilah, Rahman berupaya merumuskan metodologi sistematisnya dalam gerakan pembaharuan yang sering dikenal dengan neo-modernisme. Rahman menyadari bahwa krisis yang digambarkan tersebut mempunyai implikasi yang serius terhadap masa depan Islam dan umatnya. Dan akar krisis ini bagi Rahman terletak pada sejarah keagamaan Islam karena sejak penghujung abad pertama hijriyah kaum muslimin telah mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam memandang kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi lewat pendekatan-pendekatan historis, literalis, dan atomistis. Pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan al-Qur’an dan sunnah Nabi dari akar kesejarahannya dan mereduksi keduanya menjadi kompendia yang terdiri dari bagian-bagian yang terisolasi dan fragmentasi.
Fazlur Rahman merupakan seorang pemikir yang cukup besar perhatian dan pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Karena perhatiannya tersebut, salah seorang muridnya di tanah air, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa barangkali Fazlur Rahmanlah yang dipandang sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam di antara pemikir kontemporer yang ada jika diperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembangkan intelektualitas umat Islam.
Memang, diakui maupun tidak, gagasan-gagasannya telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan intelektual di dunia Islam. Bahkan pengaruh pemikirannya begitu terasa di tanah air lewat banyaknya karya Fazlur Rahman yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan ini setidaknya merupakan bukti bahwa ide-ide Fazlur Rahman mendapat sambutan positif dan mempengaruhi umat Islam Indonesia. Untuk mengetahui lebih lanjut, maka penulis akan memaparkan lebih lanjut dalam makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.    Siapakah Fazlur Rahman itu?
2.    Bagaimana Pemikiran Fazlur Rahman



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Fazlur Rahman
1.    Biografi
Fazlur Rahman dilahirkan pada 21 September 1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab, suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.[1] Ia dibesarkan dalam suatu keluarga dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual agama, seperti shalat dan puasa secara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah meninggalkannya.[2]
Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat itu dapat ditelusuri dari ayahnya yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan lulusan  Dar al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional.[3] Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan pemikiran Fazlur Rahman.[4]
Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya. Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba pengetahuan dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat. Pengajaran dan pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari ayahnya Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun dapat menghafal Alquran. Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadits dan tafsir. Apalagi setelah beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu, Inggris, Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelek-tualitasnya.[5] Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka pemikiran dan pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran Islam tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai kenyataan sehari-hari. Dari ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini ikut memberikan bekal yang cukup signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian dan keintelektualan Fazlur Rahman pada masa selanjutnya.[6]
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah tradisi mazhab Hanafi yang dianut oleh keluarganya dan ini yang membentuk pola pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab Hanafi dikenal sebagai salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran keagamaan yang bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikungkung oleh satu mazhab tertentu.[7]
Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak dipengaruhi pola pemikiran kalangan modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan oleh Syah Waliyullah ad-Dihlawi (1703-1762 M),[8] Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M),[9] Sayyid Amir Ali (1849-1928 M),[10] dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M),[11] pada masa ini umat Islam di India sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara sendiri yang bebas dari India, yaitu suatu negara yang berlandaskan ajaran Islam.
Pada tahun 1940, Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada program Bachelor of Art. Dan dua tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab. Kedua gelar ini diperolehnya dari Universitas Punjab, Lahore. Namun gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi di anak-benua India itu tampaknya lebih bersifat formalitas-akademia dibandingkan dengan aspeknya yang bersifat intelektual. Hal ini terbukti dari pernyataannya sendiri bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.[12] tentunya yang dimaksudkan dengan pernyataan-nya itu ialah dalam pengertian dasar intelektual yang memadai. Kritiknya terhadap sistem pendidikan Islam tercermin dari ungkapannya berikut: “Bila bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang lenyap, gantinya tidak akan ada lagi.”[13] Hal ini menunjukkan komitmen dan keprihatinan Fazlur Rahman terhadap kondisi pendidikan dan intelektual umat Islam pada masa itu.
a.    Pengembaraan Intelektual Pertama
Setelah memperoleh gelar Master of Art dari Universitas Punjab pada tahun 1946, ia melanjutkan studi ke Universitas Oxford Inggris, walaupun pada saat itu terdapat anggapan di kalangan umat Islam bahwa belajar ke Barat adalah sesuatu yang naif. Namun Fazlur Rahman tetap pada pendiriannya didasarkan atas ketidakpuasannya terhadap mutu pendidikan di negara-negara muslim, termasuk di Pakistan.[14]
 Di sini, selain mengikuti kuliah, Rahman aktif belajar bahasa-bahasa Barat, seperti bahasa Inggris, Yunani, Latin, Jerman, dan Perancis. Kemampuannya yang cepat menguasai berbagai bahasa sangat membantu memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studi-studi Islam melalui penelusuran terhadap literatur yang ditulis para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.[15]
Ketika Pakistan memisahkan diri dari India pada tanggal 14 Agustus 1947 dengan konsep dasar negara Islam, Fazlur Rahman kebetulan sedang menempuh studinya di Oxford University. Itulah sebab nantinya, ketika Ayub Khan tampil sebagai presiden Pakistan melalui suatu kudeta militer, ia berusaha mengakomodir pemikiran tokoh-tokoh Islam konservatif maupun modernis yang salah satunya adalah Fazlur Rahman.
Dalam waktu yang relatif singkat Fazlur Rahman menyelesaikan studinya pada tahun 1949 dengan meraih gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) di bawah bimbingan S. Van den Bergh dan Hamilton A. R Gibb dengan disertasi mengenai pemikiran Ibn Sina berjudul Avicenna’s Psychology. Pada tahun 1952, ia menerbitkan terjemahannya terhadap salah satu karya monumental Ibn Sina, yakni kitab al-Najat,[16] sehingga mengangkat reputasinya di kalangan sarjana ketimuran.
Setelah meraih gelar doktor, Fazlur Rahman tidak langsung kembali ke negerinya Pakistan, karena ia cemas terhadap kondisi negerinya ketika itu agak sulit menerima kehadiran seorang sarjana keislaman dari Barat.[17] Ia kemudian memutuskan untuk tinggal selama beberapa tahun di Barat dengan mengajar di Universitas Durham, Inggris. Ketika mengajar di Universitas ini, ia berhasil merampungkan karyanya Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan pertama kali tahun 1958.
Karya ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa selama ini sarjana modern yang mengkaji pemikiran keagamaan umat Islam kurang menaruh perhatian terhadap doktrin kenabian, dan lebih terpusat pada masalah-masalah legal dan sosial praktis. Itulah sebabnya, karya Rahman ini memfokuskan perhatian pada area pemikiran religio-filosofis Islam tersebut.[18]
Selanjutnya Fazlur Rahman pindah dan mengajar di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada dan menjabat Associate Professor of Philopsophy sampai awal tahun 1960, di sini ia berkenalan dengan Wilfred C. Smith, salah seorang orientalis kenamaan yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Institute of Islamic Studies, McGill University.[19]
b.    Mengabdi di Tanah Air
Pada tahun 1960, Fazlur Rahman kembali ke Pakistan karena diminta oleh Ayub Khan, Presiden Pakistan untuk ikut berpartiaipasi dalam mem-bangun negara Pakistan.[20] Ketika itu, Pakistan menghadapi kontroversi antara kelompok tradisionalis-fundamentalis dengan kelompok modernis.[21] Presiden Ayub Khan, menunjuknya sebagai Direktur pada lembaga penelitian Institute of Islamic Research, yang berkedudukan di Karachi. Melalui lembaga ini, Rahman memprakarsai penerbitan Journal Islamic Studies, yang hingga sekarang secara berkala masih terbit dan merupakan jurnal ilmiah setaraf internasional.
Pada tahun 1962 ketika Fazlur Rahman diminta Presiden Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute), dan tahun 1964 sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam (The Advistory Council of Islamic Ideology), ia berusaha mengabdikan dirinya mewujudkan cita-cita tersebut, yaitu membangkitkan kembali visi al-Quran dari puing-puing reruntuhan sejarah.[22] 
Sepanjang tahun 1968, terjadi kerusuhan dan pemogokan di mana-mana yang mengungkapkan keberatan masyarakat terhadap pandangan Fazlur Rahman tentang; (1) Sunnah dan Hadits di mana ia mempertahankan kesahihan dan kenormatifan Sunnah Nabi. (2) Penyembelihan hewan secara mekanis. Pada musim semi tahun 1967, Fazlur Rahman menerima surat dari Kantor Komisaris Tinggi Pakistan di London yang mengabarkan bahwa, pemerintah Inggris meminta Pakistan untuk membuka usaha penyembelihan hewan secara mekanis. Fazlur Rahman kemudian membalas surat tersebut dan mengemukakan bahwa hewan hasil sembelihan mekanis itu halal, serta melampirkan teks fatwa Imam Syafi'i. Namun, secara tidak terduga isi surat Fazlur Rahman itu terbit di media cetak Pakistan tanggal 23 September 1967, sehingga sebagian besar khatib Jum'at mengutuk pandangannya itu.[23] Menanggapi hal itu, bulan September 1968 Fazlur Rahman mengundurkan diri sebagai Direktur Lembaga Riset Islam. Pada tahun 1969, ia juga melepaskan keanggotaannya dari Dewan Penasihat Ideologi Islam. Karena ada tawaran mengajar dari  University of California, Los Angeles (UCLA), akhirnya mendorong Fazlur Rahman untuk berhijrah ke Amerika, sebagai aktualisasi pemikiran kelak.
c.    Pengembaraan Intelektual Kedua
Salah satu alasan hijrahnya Fazlur Rahman ke Los Angeles, Amerika Serikat dapat dilacak pada sikapnya yang realistis dan sekaligus idealis. la menyadari gagasan-gagasan yang ditawarkannya tidak pernah menemukan lahan yang subur di Pakistan. Padahal menurut tokoh ini, vitalitas karya intelektual sangat tergantung pada suatu lingkungan intelektual yang bebas. Gagasan yang bebas dan gagasan itu sendiri adalah dua kata yang sinonim. Suatu gagasan tidak akan pernah survive tanpa adanya kebebasan. Jadi, pemikiran atau gagasan tentang lslam sama dengan pemikiran yang lain menuntut adanya kebebasan di mana dalam kondisi itu perbedaan pendapat, konfrontasi pandangan, dan perdebatan antara ide-ide itu dapat dijamin.[24]
Selama di Chicago, Fazlur Rahman mencoba mencurahkan seluruh aktivitas kehidupannya pada dunia keilmuan. Seluruh kegiatannya hanya berkisar pada aktivitas yang berkaitan secara langsung dengan aspek keilmuan. Bahkan kehidupannya banyak dihabiskan di perpustakaan pribadinya yang terletak di basement rumahnya yang terletak di Neperville, kurang lebih 70 kilometer dari Universitas Chicago. la sendiri dengan bercanda menggambarkan dirinya seperti seekor ikan yang naik ke atas hanya untuk mendapatkan udara.[25]
Konsistensi dan kesungguhan Fazlur Rahman dalam dunia intelektual dapat dibuktikan dari pengakuan lembaga keilmuan yang berskala internasional. Misalnya, pada tahun 1983 ia menerima penghargaan Giorgio Levi Della Vida dari Gustave E. Von Grunebaum Center for Near Eastern Studies, Universitas California, Los Angeles. Fazlur Rahman adalah orang Islam pertama dan satu-satunya (sampai meninggalnya) yang menerima penghargaan itu.[26]
Pada pertengahan dasawarsa delapan puluhan kesehatan Fazlur Rahman mulai terganggu karena penyakit kencing manisdan jantung yang dideritanya. Bahkan ketika dokter pribadinya telah memberikan lampu kuning agar mengurangi kegiatannya, ia tetap memenuhi undangan pemerin-tah Republik Indonesia pada musim panas 1985. Di Indonesia, Fazlur Rahman tinggal selama 2 bulan, melihat keadaan Islam di negeri ini sambil beraudiensi, berdiskusi, dan memberi kuliah di beberapa tempat. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1988 ia wafat di Amerika Serikat dalam usia 69 tahun setelah beberapa lama sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Chicago.[27]
2.    Karya-Karya
Kajian dan penelusuran terhadap karya-karya Fazlur Rahman dianggap perlu dalam rangka mencari benang merah gagasan dan pemikirannya yang dibahas dalam tulisan ini. Dalam pembahasan ini, karya-karya yang dihasilkannya yang lebih dari seratus buah, tidak akan diungkap dan dijelaskan semua. Pembahasan hanya ditekankan kepada beberapa karyanya yang dianggap mewakili gagasan sentralnya.
Karya orisinal Fazlur Rahman yang berbentuk buku adalah:
a.    Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan oleh George Allen and Unwire Ltd., London pada tahun 1958. Dalam buku ini, ia membandingkan antara pandangan kaum filosof dan ahli kalam atau teolog ortodoks mengenai konsep kenabian dan wahyu.
b.    Karya Fazlur Rahman bersifat historis adalah bukunya yang berjudul Islamic Methodology in History, yang pada mulanya ditulis dalam bentuk artikel-artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, mulai bulan Maret 1962 sampai juni 1963, ketika ia di Pakistan. Karya ini bertujuan untuk memperlihatkan evolusi historis terhadap aplikasi prinsip-prinsip dasar pemikiran Islam yang empat: Alquran, Sunnah, ijtihad, dan ijma', yang menjadi kerangka bagi semua pemikiran Islam, selain untuk menunjukkan peran aktual keempat unsur tersebut dalam perkembangan Islam.[28]
c.    Buku Fazlur Rahman yang lain yang berjudul Islamia berusaha menjadikan Islam sebagai agama yang hidup melalui pembedaan antara yang normatif dan historis. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1966 oleh Holt, Rinehart dan Winson. Pada tahun 1968, kembali diterbitkan pada edisi The Anchor Book tanpa ada perubahan. Kemudian pada tahun 1979 terbit edisi kedua yang diberi tambahan epilog.[29] Dalam buku ini, Fazlur Rahman menyajikan perkembangan Islam selama empat belas abad perjalanan sejarahnya. la mengawali bahasannya dari sejarah Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan tentang Alquran, sunnah, hukum, teologi, filsafat, sufisme, sekte-sekte, pendidikan, serta gerakan pembaharuan, dan kemudian diakhiri dengan analisis kritis terhadap warisan Islam.
d.   Setelah menulis tentang Ibn Sina pada awal kehidupan intelektualnya, Fazlur Rahman kemudian melahirkan karya berjudul The Philosophy of Mulla Shadra. Melalui buku yang diterbitkan pertama kali oleh State University of New York Press pada tahun 1975 itu, dia memperkenalkan secara kritis dan analitis dari pemikiran religio­ filosofis Mulla Shadra[30] (w. 1460 M), salah satu tokoh filsafat Islam.
e.    Major Themes of the Qur'an, yang edisi pertama diterbitkan pada tahun 1980 oleh Bibliotheca Islamica, Minneapolia, Chicago. Dalam setup wacana intelektual Fazlur Rahman, Alquran selalu dijadikan sebagai sumber rujukan utama. Wacana ini kembali diagungkannya dalam karya Islam and Modernity. Transformation of an Intellectual Traditionyang diterbitkan pertama kali oleh the University of Chicago Press, 1982.[31]
f.     Fazlur Rahman kemudian mengangkat masalah kesehatan dan pengobatan dalam perspektif Islam melalui karyanya Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, yang diterbitkan pertama kali oleh Crossroad, New York, tahun 1987,[32] sebagai karya terakhir, dan lanjutan dari nilai yang terdapat pada karya-karya sebelumnya. Dalam buku ini imenunjukkan sikap dan pandangan positif Islam dalam menangani masalah-masalah dasar kehidupan umat manusia. Fokus perhatiannya diletakkan pada bidang kesehatan, pemeliharaan dan pengobatan.
Selain karya yang berbentuk buku di atas, masih banyak lagi karya Fazlur Rahman yang lain berupa artikel-artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal ilmiah. Tidak diragukan lagi, bahwa Fazlur Rahman telah memberikan kontribusi yang cukup berharga bagi pengembangan wacana keislaman modern. Bila ditelusuri lebih lanjut, minimal ada lima aspek yang ditinggalkannya terhadap kajian Islam, khususnya di Amerika Serikat, yaitu:
a.    Fazlur Rahman mampu menggabungkan antara tradisionalisme Islam Sunni, modernisme Islam dan skolastisisme Barat.
b.    Dalam mencari kebenaran, Fazlur Rahman melakukan inovasi secara berani dan apresiatif di antara sikap Islam dan sikap Barat.
c.    Ia mengenalkan metodologi pengkajian Islam yang bersifat interdisipliner.
d.   Dengan sikapnya yang gentle, spirit dan intelektulitasnya yang tajam, menjadikan Fazlur Rahman dan pemikiran-nya diterima secara luas dalam pengkajian Islam di Amerika Serikat.
e.    Dia telah meninggalkan warisan pemikiran kepada muridnya yang tersebar di berbagai universitas dan perguruan tinggi Amerika Serikat dan Kanada. Melalui murid-muridnya, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan Fazlur Rahman terus berkembang sampai saat ini.[33]
Dengan lima varian yang ditinggalkannya itu, Fazlur Rahman menjadi salah satu tokoh yang cukup berpengaruh di dunia Islam dan Barat.

B.       Pendekatan Studi Hadits Dan Ilmu Hadits Fazlur Rahman
Sunnah menurut bahasa adalah jalan dan digunakan untuk menyebut sebuah tingkah laku bangsa Arab sebelum Islam yang berasal dari nenek moyangnya. Dalam hal ini, sunnah mencakup dua aspek yaitu suatu fakta sejarah yang menyatakan tindakan dan norma-norma untuk generasi penerus.[34]
Adapun Sunnah menurut beliau adalah konsep kebiasaan atau adat istiadat, baik dari segi fisik maupun tingkah laku secara mental. Dan kebiasaan ini bukan hanya sekali saja dilakukan, tetapi terus berulang dan ada kemungkinan untuk terulang lagi.[35]
Sedangkan hadis adalah suatu cerita yang biasanya sangat pendek, dalam rangka memberikan informasi tentang apa yang dikatakan, dilakukan, disetujui atau tidak disetujui Nabi, atau informasi yang serupa mengenai sahabat-sahabatnya, khususnya sahabat-sahabat senior dan terutama enpat Khlaifah yang pertama. Hadis terbagi dua yaitu teks (matan) dan mata rantai periwayatan (isnad) yang memberikan nama-nama perawi sebagai penunjang teks tersebut.
Beliau berpendapat bahwa bila pada masa hidup Nabi orang membicarakan apa yang diucapkannya atau yang dikerjakannya sebagai suatu sasaran, maka sesudah wafatnya Nabi, pembicaraan itu menjadi sebuah gejala berhati-hati dan kesadaran sejak muncul suatu generasi baru yang mempertanyakan tindakan Nabi. Orientasi keagamaan tentang hadis sesuai dengan sunnah yaitu suatu norma keagamaan yang praktis. Oleh karena itu, sunnah pada generasi setelah Nabi dapat diartikan sebagai tindakan Nabi, untuk dapat memperoleh norma-norma.
Selanjutnya beliau menjelaskan, dari pengertian sunnah secara bahasa, sunnah bukan berarti amalan Nabi, melainkan amalam masyarakat muslim lokal di Madinah dan Irak. Namun hadis bukanlah sesuatu yang diam dan non verbal belaka seperti yang dipahami mayoritas umat Islam selama ini.
Dari keterangan diatas, beliau menyimpulkan bahwa Sunnah dan Hadis merupakan perwujudan dalam fase permulaan setelah era Muhammad, dan segala sesuatu yang disandarkan kepadanya dan norma-norma itu diambil darinya. Selain itu, konsep sunnah yang memulainya sebagai sebuah tradisi yang diam-diam terpaksa tumbuh menjadi tradisi yang berarti yang hidup pada setiap generasi penerus. Lebih dari itu, pengaruh politik pada awal kemunculan istilah sunnah di kalangan umat Islam, menjadikan seseorang menentang konsep sunnah yang sebenarnya ingin mengadakan perubahan (bid’ah).
Secara garis besar sunnah Nabi adalah tradisi yang hidup pada generasi awal dan penyimpangan dari keduanya. Adapun yang dimasudkan dengan penyimpangan disini adalah menciptakan kekayaan materi, terutama melalui penafsiran hukum dan dogma secara pribadi walaupun pada umumnya seragam dalam intinya. Adapun maksud materi ini adalah konsep praktek yang disepakati (al a’mal) dan konsensus (ijmak). Sunnah dan ijmak pada generasi awal dirumuskan untuk meneliti pembaruan-pembaruan yang dihasilkan dari pendapat oribadi dan aliran-aliran yang menyimpang. Namun diantara keduanya terdapat konsep yang berbeda, yaitu sunnah merupakan jalan Nabi dalam maksud primodialnya yang mana pembaruan adalah pelanggaran terhadap model kenabian. Sedangkan ijma’ merupakan konsensus atau kesepakatan ulama-ulama terdahulu dalam menghadapi masalah-masalah baru dalam keagamaan. Oleh karena itu, sunnah dan ijmak saling melengkapi satu sama lainnya.
Secara garis besar, menurut Fazlur Rahman, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma perilaku (behavioral term), oleh karena didalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat diinterpretasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman, merupakan petunjuk arah (pointer in the direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out series of rulers).[36]
Berdasarkan asumsi itu, Rahman mengintrodusir teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadits. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum Muslim dewasa ini adalah melakukan revaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadits dan reinterpretasi dengan sempurna terhadap hadits sesuai dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendekatan historis dalam studi hadits, yakni mengembalikan hadits menjadi “sunnah yang hidup” dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang dikandungnya dari latar belakang situasionalnya.[37]
Penafsiran situasional tersebut, menurut Rahman, akan menjelaskan bahwa beberapa doktrin keagamaan harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali, seperti masalah determinisme dan free-will (karsa bebas) manusia yang tercermin dalam hadits-hadits. Hadits-hadits ini harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Penafsiran situasional yang sama, menurut Rahman, juga harus dilakukan terhadap hadits-hadits hukum. Hadits-hadits ini, demikian harus dipandang sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be re-treated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready-made law).[38]
Pendekatan historis dalam “penafsiran situasional” ala Fazlur Rahman mengisyaratkan adanya beberapa langkah strategis. Pertama, memahami makna teks Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yakni menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode nabi secara umum (asbab al-wurud makro), termasuk di sini pula sebab-sebab munculnya hadits (asbab al-wurud mikro). Kedua, memahami petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang relevan. Hal ini penting, karena Rahman memandang bahwa kreterium penilai yang handal untuk otentisitas pemaknaan hadits adalah dua hal, yakni sejarah dan al-Qur’an. Dari langkah ini dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legis) dari ketetapan legal spesifiknya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip idea moral dari hadits tersebut.
ketiga adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip idea moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadits menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Contoh operasi metodologis pendekatan historis dalam studi hadits yang ditawarkan Fazlur Rahman dapat ditemukan dalam uraiannya tentang riba dalam bukunya Islamic Methodology in History sebagai berikut :
Al-Qur’an … menjelaskan alasan yang sesungguhnya di balik pelarangan riba dengan mengatakan bahwa riba tidak dapat didefinisikan sebagai suatu transaksi komersial karena ia merupakan suatu proses yang dengannya modal berlipat ganda secara tidak wajar. Hadits historis mengkonfirmasi hal ini dengan memberi informasi kepada kita behwa riba, dalam kenyataannya, merupakan praktek orang-orang Arab pra-Islam. Tetapi kita telah melihat ketegasan moral yang dengannya opini legal telah memasukkan berbagai aktivitas dalam definisi riba dengan merumuskan suatu prinsip umum bahwa“setiap pinjaman yang memberi keutungan kepada kreditur adalah riba”. Dalam nada yang sama dikatakan bahwa riba secara eksklusif berlaku terhadap bahan-bahan makanan, emas, dan perak, serta tidak berlaku terhadap hal-hal lainnya. Ini secara tegas menyiratkan arti bahwa, sebagai contohnya, sejumlah kapas boleh dipinjamkan dengan perjanjian bahwa enam bulan kemudian ia harus dikembalikan dalam jumlah yang lebih banyak selaras dengan kehendak kreditor. Hal semacam ini, tentu saja, bertentangan dengan prinsip umum yang baru saja dikutip. Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa yang hendak diformulasikan secara kaku adalah penafsiran moral yang progresif terhadap larangan al-Qur’an tersebut. Sudah barang tentu kita tidak bisa menerima penafsiran yang moral-legal yang spesifik ini dalam segala situasi dan kondisi. Lebih lanjut, bahwa bunga bank dewasa ini secara sah dicakup oleh definisi perdagangan sulit untuk disangkal. Ahli-ahli ekonomi dan moneter sajalah yang dapat menentukan apakan bank tanpa bunga dapat berfungsi atau tidak. Jika dapat berfungsi, syukurlah. Tetapi jika tidak, maka menegaskan bahwa (sistem) perbankan komersial dewasa ini dengan perekonomian yang amat terkontrol masuk dalam larangan al-Qur’an dan sunnah Nabi sama sekali tidak menunjukkan kejujuran terhadap sejarah dan agama tetapi menunjukkan krisis kepercayaan manusia yang akut dan sinisme yang tak kenal kompromi.[39]

Dalam contoh penafsiran hadits di atas, terlihat Rahman memandang hadits-hadits legal mengenai riba sebagai formulasi kaum Muslim belakangan, meski ia tidak merujuk secara langsung hadits-hadits tersebut. Di sisi lain, terlihat bahwa penafsiran situasional terhadap hadits hukum yang tentu saja dipandang olehnya sebagai interpretasi kreatif kaum Muslim awal terhadap sunnah ideal Nabi didasarkan pada hadits historis dan norma moral al-Qur’an, dengan memperhatikan secara cermat kondisi kesejarahannya: “Hanya dengan memahami latar belakang yang terdiri atas hal-hal yang telah diketahui secara pasti tentang Nabi dan Umat awal (di samping al-Qur’an), kita dapat menafirkan hadits hukum (teknis)”.[40]
Dalam memahami istilah Sunnah dan Hadits, di kalangan ulama' hadits terjadi terjadi perbedaan pendapat, khususnya antara Ulama' Mutaqaddimin dan Ulama' Muta'akkhirin. Menurut Ulama' Mutaqaddimin istilah sunnah dan hadits mempunyai pengertian yang berbeda. Sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat-sifat fisik dan non fisik ataupun segala hal ihwal Nabi sebelum diutus menjadi Rasul. Sedang hadits adalah segala perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi setelah diutus menjadi Nabi (ba'da nubuwwah). Adapun Ulama' Hadits Muta'akkhirin berpendapat bahwa sunnah sinonim dengan hadits. Hadits dan sunnah memiliki pengertian yang sama, yakni segala ucapan, perbuatan, atau ketetapan Nabi. 
Sedang menurut Fazlur Rahman, Sunnah mempunyai pengertian yang berbeda dengan Hadits. Sunnah menurutnya adalah tranmisi non verbal, sementara Hadits adalah transmisi verbal. Setiap Hadits mengandung dua bagian, teks (matan) hadits itu sendiri dan mata rantai transmisi (sanad). Baik ahli-ahli sejarah terdahulu maupun modern sependapat bahwa mula-mula Hadits muncul tanpa dukungan sanad kurang lebih pada pertukarab abad ke-1 H/7M. Sekitar masa ini pulalah Hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu tertulis yang formal mulai dirintis. Akan tetapi terdapat bukti yang kuat yang langsung mapun yang tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi disiplin yang formal dalam dalam abad ke-2 H/8 M, fenomena Hadits telah muncul paling tidak sejak kira-kira tahun 680-700 M. 
Para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "free market of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah, Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain dari pada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua
Abad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Tahapan inilah memunculkan istilah Dari Sunnah ke Hadits yang sudah menjadi suatu hal yang tidak asing di telinga kita. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
 
Sedang yang dimaksud dengan istilah Dari Hadits ke Sunah adalah: bahwa perilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadi perhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yang bermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuai dengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabat menirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, ia berkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikah itu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidak termasuk golonganku."Namun yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalah hadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabat untuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yang dilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya. Misalnya 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatan hadits (mungkin ditulis Abu Bakar).
1.    Pandangan Fazlur Rahman mengenai sanad dan matan
Kritik Rahman terhadap hadits dari dimensi matan yang menurutnya banyak yang tidak historis, sistem isnad juga tidak terlepas dari kritikannya. Ia memang mengakui bahwa isnâd di samping mengandung informasi geografis yang kaya, juga telah meminimalkan upaya-upaya pemalsuan hadits, tetapi baginya isnâd tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi positif yang final. Menurut Rahman, isnâd berkembang belakangan bermula di sekitar penghujung abad pertama hijriyah, sehingga hadits-hadits yang bersifat prediktif mengenai gejolak politik di dalam sahih Bukhari dan Muslim meskipun mempunyai isnad yang mengagumkan menurut Rahman tidaklah bisa diterima kalau kita memang benar-benar jujur pada sejarah. 
Selanjutnya Rahman memberikan dua kriteria penilai bagi hadits yaitu sejarah dan al Qur’an. Dan hadits-hadits ini harus ditafsirkan secara situasional menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks kesejarahannya yang jelas. Dengan prinsip penafsiran yang demikian, Rahman menegaskan agar hadits-hadits hukum tidak difahami sebagai hukum yang sudah jadi untuk bisa diterapkan secara langsung, tetapi harus difahami sebagai suatu masalah yang harus ditinjau kembali (a problem to be retreated).
2.    Metode Pemahaman Sunnah
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi penafsiran terhadap kedua sumber pemikiran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh kaum muslimin bahkan oleh pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Fazlur Rahman beranggapan bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan bisa disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan metodologi inilah yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari gerakan pembaharuan Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadits, meskipun ia menemukan perbedaan pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim awal dengan generasi berikutnya khususnya setelah kuatnya gerakan hadits, tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa satu-satunnya tradisi Nabi yang tertinggal dan sampai pada kita adalah hadits, di mana menurut Fazlur Rahman banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadits-hadits teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadits-hadits yang ada ke dalam bentuk sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan: tentu saja harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadits dan reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap hadits dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah strategis; pertama, memahami makna hadits tersebut kemudian memahami latar belakang situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya. Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadits tersebut. Kemudian langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud dengan pereduksian hadits menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda pendekatan sosiologis.
3.    Kritik Terhadap Pemikiran Fazlur Rahman
Penafsiran dengan metoda pendekatan historis sosiologis pada satu sisi memang memiliki kelebihan. Karena hasil pemahaman dari penafsiran melalui pendekatan semacam ini akan nampak lebih hidup dan dinamis. Hasil pemahaman dari penafsiran semacam ini sangat dibutuhkan dalam kondisi masyarakat yang semakin dinamis dan mempunyai problematika yang selalu berkembang secara kompleks sebagai suatu dampak dari arus modernisasi dan globalisasi.
Dengan demikian, operasionalisasi ajaran Islam sebagai hasil pemahaman dari penafsiran seperti ini terasa lebih kontekstual dan realis terhadap tuntutan sejarah, dan tidak terasa sebagai pengekangan atau pemandulan terhadap laju modernitas. Akan tetapi sebaliknya bisa jadi sebagai alat legitimasi bagi proses modernisasi. Pada dataran aplikatifnya yang mapan, penafsiran dengan metoda pendekatan semacam ini juga memungkinkan untuk memberi jawaban bagi krisis serta problematika pemikiran Islam dan merupakan jawaban bagi kelemahan penafsiran dan pemahaman literal dari ulama’-ulama’ klasik khususnya al Syafi’I sebagaimana dituduhkan Rahman, bahkan jawaban bagi modernis klasik yang menganggap ketidak normatifan dan invaliditas sunnah karena terlalu irrasional, dan berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Akan tetapi di sisi lain metode pendekatan Fazlur Rahman ini sangat memungkinkan sekali terhadap munculnya subyektivitas yang sangat dominan, karena proses perumusan hikmah yang tidak jelas indikatornya berarti mengharuskan keikutsertaan penghayatan psikologis seseorang dalam proses pemahaman dan penafsiran tersebut. Pada titik ini ketidak mampuan seseorang mengontrol kesadaran psikologisnya kemungkinan besar terjadi. Padahal ketidak mampuan mengontrol kesadaran psikologis ini akan berakibat pemaksaan terhadap obyek pemahaman dan penafsiran (dalam hal ini adalah hadits) untuk menghasilkan kesimpulan atau doktrin-doktrin hukum yang tunduk kepada kecenderungan subyektif. Jika demikian, akan terjadi proses penuhanan dan penabian subyektivitas. 
Untuk selanjutnya, Rahman dengan motodologi kritik hadits mengatakan ketidak setujuannya tentang pemikiran-pemikiran ulama’- ulama’ klasik, bahwa historisitas hadits dijustifikasi oleh isnâd. Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa Rahman tidak menerima sistem isnâd (metodologi kritik sanad) dalam rangka menentukan validitas hadits. Pemikiran Rahman yang demikian ini berarti telah menafikan pemikir-pemikir klasik dan muhaddisîn (tradisionalis) yang telah menyeleksi puluhan ribu hadits untuk menentukan validitas (kesahihannya) dengan metode kritik sanad.
 
Dalam rangka menyeleksi dan membersihkan hadits dari pemalsuan, ahli hadits telah merumuskan seperangkat teori, yang diantaranya adalah metodologi kritik sanad hadits. Dari seperangkat teori tersebut, mereka menghasilkan klasifikasi hadits menjadi mutawatir, ahad, masyhûr, azîz dan gharîb, sahîh, hasan, dla’îf serta mursal, muttashil dan sebagainya. Dengan pemikiran tersebut, Rahman secara tidak langsung telah menafikan klasifikasi-klasifikasi hadits yang demikian. Di samping itu juga telah mengaburkan teori-teori ulama’ klasik tentang qath’i dan dzanni hadits. Dalam penelitian hadits, kritik yang ditujukan kepada sanad merupakan kritik ekstern atau al naqd al khariji atau disebut juga al naqd al dzâhiri, sedang kritik yang ditujukan kepada matan merupakan kritik intern atau al naqd al dâkhili atau biasa disebut al naqd al bâtini. Dalam melakukan kritik terhadap hadits, pada kenyataannya Rahman menggunakan metode kritik matan dan mengesampingkan metode kritik sanad. Dan kriterium penilai yang digunakan adalah sejarah dan al- Qur’an. Kriterium penilai sejarah dimaksudkan bahwa jika matan hadits tidak mencerminkan problematika yang cocok untuk periode Nabi Muhammad, maka jelas hadits tersebut dinyatakan palsu (tidak sahih). Sedang kriterium penilai al-Qur’an dimaksudkan bahwa jika matan suatu hadits tidak relevan dengan isyarat al-Qur’an, maka juga dinyatakan palsu. Selanjutnya jika kita menganalisa metode kritik hadits para tradisionis (muhaddisîn), kita juga mendapatkan gambaran bahwa meskipun mereka telah membuat beberapa kaedah tentang kesahihan hadits, namun dalam pelaksanaannya terhadap kritik matan masih kurang mendapatkan porsi yang mapan, sehingga jika diletakkan pada kerangka teori metode sejarah di atas, maka melaksanaan metode kritik yang demikian punya kelemahan, karena masih dianggap mengesampingkan kritik intern hadits.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Fazlur Rahman berpendapat, hadits belum ada pada periode Rasulullah. Yang ada kala itu adalah sunnah yaitu praktek keagamaan yang dilakukan secara tradisi karena keteladanan Nabi, yang setelah Rasulullah wafat, berkembanglah penafsiran individu terhadap teladan Rasul itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Kemudian sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasi sunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini telah memasung proses kreatif sunnah dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.
Perbedaan hadits bersamaan dengan perbedaan lahirlah ra’yu yang menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa.
Dalam semua kejadian itu, dominasi ra’yu sangat ditopang oleh hilangnya catatan-catatan hadits. Untuk memperparah keadaan, tidak ada rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomis dan sosiologisnya. Kemudian ditambah panjangnya rangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orang menambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits. Tidak mengherankan bila kemudian Fazlur Rahman sampai pada kesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awal untuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatan sebagai produk para ahli hukum Islam, yang kemudian dinisbatkan kepada Nabi. Secara kronologis dapat dijelaskan sebagai berikut: Mula-mula muncul hadits, kemudian ada upaya dua khalifah untuk menghambat kemunculannya, terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebih merujuk kepada tema perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat, dari pada teks. Ketika hadits-hadits dihidupkan kembali, melalui kegiatan pengumpul hadits, kesulitan menguji otentisitas dan validitas hadits menjadi sangat besar.


[1] Taufik Adnan Amal (Peny.), Metode dan Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 13.
[2] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979), hlm. 35.
[3] Pengertian tradisional disini adalah kepenganutan seseorang terhadap salah satu mazhab fiqh yang empat: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut faham Hanafi.
[4] Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana Islam Indonesia (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2003), hlm. 33.
[5] Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, hlm. 23-24.
[6] Fazlur Rahman. “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990, hlm. 27.
[7] Fazlur Rahman, Islam, hlm. 36.
[8] Syah Waliyullah lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd al-Rahim, Seorang sufi yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia ikut menekuni pekerjaan orang tuanya sebagai guru di madrasah tersebut. Selain mengajar di madrasah, Syah Waliyullah gemar mengarang dan banyak meninggalkan karangannya, di antaranya adalah buku Hujjatullah al-Balighah. Lihat, J. M. S. Baljon, Religion and Thought of Shah Wali Allah ad-Dahlawi (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.
[9] Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817 M. Ia mendapatkan pendidikan tradisional tentang pengetahuan agama seperti Alquran, Hadits, dan Teologi Islam. Akan tetapi, meskipun ia mendapatkan pendidikan tradisional, ia tidak berpandangan sempit, hal ini disebabkan oleh minat dan semangat bacanya yang tinggi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Syed Abu Hasan Ali Nadwi, Western Civilization: Islam and Muslim (India: Academy of Islam Reseach and Publications, 1978), hlm. 67.; W. C. Smith, Modern Islam in India: Social Analiysis (New Delhi: USA Publications, 1979), hlm. 1.
[10] Sayyid Amir Ali berasal dari keturunan keluarga syi’ah pada zaman Nadhir Syah (1736-1747) yang pindah dari Khurasan di Persia ke India. Ia lahir pada tahun1849 M dan wafat tahun 1928 M. Setelah tamat pendidikan madrasah, ia menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi Muhsiniyah, yang berada di dekat Calkutta. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 181.
[11] Muhammad Iqbal adalah salah seorang penyair, filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis Muslim. Ia berasal dari golongan manengah di Punjab dan lahir di Sialkot pada 1876 M. Lihat, Djohan Effendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 13.
[12] Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago press, 1982), hlm. 117.
[13] Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago press, 1982), hlm. 117.
[14] Ketika Fazlur Rahman sudah berada di Inggris, ia pernah ditanya oleh seorang pendeta Hindu S. Radhakrisna: “Mengapa anda tidak ke Mesir saja, tapi malah ke Oxford” Rahman menjawab: “Studi-studi islam di sana tidak sama kritisnya dengan India.” Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity ..., hlm. 120.
[15] Walaupun Fazlur Rahman banyak menimba ilmu pengetahuan dari sarjana-sarjana barat, tapi ia sangat kritis dengan pandangan-pandangan mereka yang berhubungan dengan Islam dan umat Islam. Taufik Adnan Amal dan Ihsan Ali Fauzi, Fazlur Rahman, Sang Sarzana Sang Pemikir (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1998), hlm. 10.
[16] Kitab al-Najat adalah ringkasan Ibn Sina sendiri terhadap karya agung, al-Syifa’. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Falur Rahman (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 82.
[17] Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 247.
[18] Taufik Adnan, Fazlur Rahman, hlm. 12.
[19] John L. Esposito The Oxford Encyclopedia of the Modem Islamic World III (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 408.
[20] Abd A’la, Modernisme, hlm. 35.
[21] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 217.
[22] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hlm. 230.
[23] Rahman, Some Islamic Issues, hlm. 296.
[24] Rahman, Islam and Modernity, hlm. 125.
[25] Wan Mohd. Nor Wan Daud, “ Fazlur Rahman: Kesan Seorang Murid dan Teman,” dalam Ulumul Quran, Vol. II, (No. 8,1991), hlm. 108.
[26] Denry, The Legacy, hlm. 97. Dalam catatan kaki, No. 4, hlm. 106 disebutkan bahwa tokoh-tokoh sebelum Fazlur Rahman yang menerima penghargaan serupa adalah Robert Brunsching, joseph Schacht, Francesco Gabriel, S.D. Goiten, Gustave E. Von Grunebaum, Franz Rosenthal, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan Annamarrie Schimmel.
[27] Abd A’la, Neo-Modernisme, hlm. 44. Juga Wan Mohd. Nor Wan Daud, Fazlur Rahman, hlm. 108.
[28] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994), hlm. V. Lihat juga Abd A’la, Neo-Modernisme, hlm. 47.
[29] Lihat Ahmad Syafi’i Ma’rif, dalam Kata Pengantar untuk buku Fazlur Rahman, Islam, terj. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bumi Aksara. 1987), hlm. viii.
[30] Namanya adalah Shadr al-Din as-Syirazi, lebih dikenal dengan Mulla Shadra.
[31] Abd A’la, Neo-Modernisme, hlm. 53.
[32] Abd A’la, Neo-Modernisme, hlm. 55.
[33] Donald L. Denry “Fazlur Rahman (1919-1988): A Live and Riview,” dalam Earle H. Waugh & Fedrick M. Denry (ed) The Shaping of an Amarican Islamic Discourse: Memorial to Fazlur Rahman (Georgia: Scholars Press, 1998), hlm. 40-43.
[34] Fazlur Rahman, Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara,1987, hlm. 69.
[35]Fazlur Rahman, Islamic  Methodology, New Delhi: Adam Publisher & Distributor, 1994, hlm. 1
[36] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Karachi : Central Institute of Islamic Research, 1965, hlm. 12
[37]Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History,  hlm. 77-78
[38] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 78
[39] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 79-80
[40] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, hlm. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar