BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al Qur’an mempunyai peranan yang sangat
penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua
persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al Qur’an.
Oleh karenannya kemudian Al Qur’an di yakini sebagai firman Allah yang menjadi
sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist.
Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama bagi umat Muhammad. Kemampuan
setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang
tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang
dhahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan cendikia dan terpelajar
akan dapat menyimpulkan makna yang terkandung dibalik ayatnya.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an telah ditemukan, tumbuh dan
berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan islam. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya
tidak bisa dipahami oleh para sahabat,
kecuali harus merujuk kepada Rasulullah SAW.
Al-Qur’an secara teks tidak berubah, tetapi penanfsiran atas
teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu manusia. Karenanya,
Al-Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan
diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan
untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk
membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk
mengetahui seluruh segi kandungan. Al-Qur’an serta intensitas perhatian para
ulama terhadap tafsir Al-Qur’an, maka tafsir Al-Qur’an terus berkembang sampai
sekarang. Dari sinilah, para mufasirin menemukan bebagai macam corak tafsir,
yakni pendekatan tafsir. Masing-masing dari pendekatan tafsir mempunyai keistimewaan dan sekaligus kelemahan. Pendekatan yang akan dipakai oleh para mufasir tergantung kapada
apa yang hendak diketahui atau dicapainya.
Memasuki abad dua puluh dunia ramai
dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk kemajuan ilmu-ilmu
sosial. Dan ditengah kemajuan itu, pendekatan gender terhadap dehumanisasi
sosial mulai dilakukan, yaitu seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan
kemitrajajaran antara perempuan dan laki-laki. Pendekatan gender tersebut,
melahirkan kesadaran sosial bahwa selama ini di realitas sosial telah terjadi
diskrimasi dan penindasan terhadap perempuan, serta pendustaaan nilai-nilai
kemanusiaan. Di antara hal baru yang dilakukan adalah melakukan analisis atas
beberapa atribut sosial dan keagamaan yang selama ini menjadi justifikasi
ketidakadilan sosial.
Selanjutnya dalam konteks keagamaan
mulai marak isu pentingnya reinterpretasi ayat-ayat gender, dalam rangka
menemukan aribut-atribut sosial yang selama ini masuk dalam penafsiran
al-Qur'an serta menelaah kembali semangat keadilan dan kemanusiaan yang dibawa
oleh Islam. Kemajuan ini, di satu sisi memberikan perubahan terhadap paradigma
berpikir, telah menyita perhatian intelektual muslim-feminis untuk melakukan
pengembangan metodologis guna melahirkan penafsiran yang berperspektif gender
dan berkeadilan sosial. Yang diantaranya dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin
Al-Qur’an mempunyai posisi penting
dalam studi-studi keislaman, di samping berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur’an
juga berfungsi sebagai furqan, yaitu menjadi tolak ukur dan pembeda antara yang
haq dan yang bathil. Menafsirkan Al-Qur’an berarti berusaha menerangkan
makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Oleh karena pentingnya posisi Al-Qur’an tersebut, maka penafsiran terhadap
Al-Qur’an bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu,
merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk
melakukan itu.
Kecenderungan
hermeneutika dalam model penafsiran feminis telah memunculkan hasil penafsiran
yang berbeda secara diametral dengan penafsiran klasik. Makalah ini mengkaji
pemikiran dan kecenderungan Amina Wadud Muhsin dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur'an. Ia adalah feminis yang berupaya menafsirkan ulang berbagai ayat
Al-Qur’an yang selama ini cenderung ditafsirkan secara patriarkhis oleh para
mufasir klasik.
B. Rumusan
Masalah
Secara sistematis,
tulisan ini akan membahas tentang bagaimana konstruksi pemikiran Amina Wadud Muhsin berkenaan dengan pemikiran
feminisme yang digagasnya. Yaitu lebih fokus kepada kedudukan wanita di dalam
Al Qur’an. Dan tulisan ini
tidak mengkaji masalah/problem metodologis yang dibangun Amina Wadud Muhsin dalam teologi
(pemikiran) feminisme. Hal itu adalah persoalan lain yang mungkin dapat kita
kaji pada kesempatan yang lain.
C. Tujuan
Sesuai
dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penulisan ini
yaitu penulis berusaha mendeskripsikan konstruksi pemikiran Amina Wadud Muhsin
berkenaan dengan pemikiran feminisme yang digagasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan Studi Al-Qur’an dan
Tafsir
Dalam
menggali ataupun memahami ayat-ayat Al Qur’an diperlukan perangkat-perangkat
dan instrumen keilmuan yang lain, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf (Bahasa Arab),
Fiqh, Ushul Fiqh, Ulumul Qur’an, Sosiologi, Antropologi dan budaya
guna mewujudkan AL Qur’an sebagai pedoman dan pegangan umat Islam yang
berlaku sepanjang zaman. Memang memahami ayat-ayat Al Quran dengan benar
tidaklah mudah, sejarah mencatat, terdapat beberapa kosa kata pada ayat AL
Qur’an yang tidak difahami oleh sebagian sahabat nabi dan sahabat langsung
menanyakan hal tersebut kepada Nabi, namun untuk masa kita saat ini akan
bertanya kepada siapa tatkala kita menemukan beberapa ayat yang sulit untuk
difahami. Belum lagi ayat-ayat mutasyabihat yang masih banyak
mengandung misteri dari maksud ayat tersebut secara tertulis.
Oleh
karenanya, dalam memahami Al Qur’an diperlukan metode dan pendekatan-pendekatan
untuk menafsirkan al Qur’an, agar Al Qur’an dapat memberikan jawaban yang pas
dan sesuai dengan sekian banyak persoalan yang berkembang dimasyarakat. Jawaban
yang sesuai dan pas dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat pada
saat ini sangat berarti dan berdampak positif bagi Islam yang dikenal sebagai
Agama yang rahmatan lil ’alamin.[1]
Secara
etimologis, tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassara, yufassiru, tafsiran
yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu tafsir dapat pula
berarti al-idlab wa al-tabyin yaitu penjelasan dan keterangan. Secara
terminologis pengertian tafsir dikemukakan pakar Al-Qur’an dalam tampil
formulasi berbeda-beda, namun esensinya sama seperti berikut:
1.
Al-Jurjani mengatakan bahwa tafsir
adalah menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, baik
konteks, historisnya maupun sebab An-nuzulnya.
2.
Imam Al-Zarqani tafsir adalah ilmu
yang membahas kandungan Al-Qur’an baik segi pemahaman makna atau arti sesuai
dikehendaki Allah menurut kadar kesanggupan manusia
3.
Al-Zarkasyi mengatakan bahwa
tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah.
Dari
pendapat para pakar Al-Qur’an di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir ialah ilmu
yang menjelaskan tentang cara mengucapkan lafadh-lafadh Al Qur’an, makna-makna
yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau
tersusun, serta makna-makna yang dimungkinannya ketika dalam keadaan tersusun.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Metodologi Tafsir Al-Quran (manâhij al-mufassiriin)
adalah Ilmu yang membahas tentang jalan dan cara yang dipakai oleh setiap
Mufassir dalam menafsirkan Al Qur’an, dimana dengannya dapat diketahui secara
jelas akan perbedaan antara satu Mufassir dengan yang lainnya dari aspek sumber
pengambilan, cara penyampaian dan orientasinya, kemudian kita kembalikan
penafsiran mereka kepada syariat dan kaedah-kaedah baku yang telah disepakati
oleh jumhur ulama.
Selanjutnya,
dalam berbagai literatur Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Zainal Abidin
bahwa penafsiran al- Qur'an pada masa sahabat sudah mulai dilakukan. Pada
periode ini penafsiran al- Qur'an adalah bersumber pada sabda, perbuatan,
taqrir serta jawaban dari Nabi Muhammad SAW atas persoalan-persoalan yang
dikemukakan oleh para sahabat. Sehingga tafsir yang berasal dari Rasulullah
disebut sebagai “Tafsir manqul”. Tafsir yang berasal dari Nabi SAW ini didapati
dalam bentuk hadits yang mempunyai sanad-sanad tertenu. Sebagaimana halnya
sanad hadits, maka sanad ini juga ada yang sahih, hasan, dhaif, maudhu’ dan sebagainya.
Begitupula sering didapat maknanya bertentangan dengan kabar yang mutawatir
bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir
ini akan dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat al- Qur'an, maka perlu
diadakan penelitian terlebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.
Disamping
menggunakan hadits-hadits Nabi dalam hal penafsiran, maka penafsiran pada
generasi awal ini juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing. Mereka
berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Kemudian mereka juga banyak
mengambil cerita atau perkabaran yang berasal dari orang-orang Yahudi dan
Nasrani, atau yang disebut sebagai cerita Israilliyat.
Al-
Qur'an adalah kitab Allah SWT yang berlaku sepanjang zaman dan ia adalah
sebagai pedoman hidup manusia. Dari segi penerapan hukum, sebahagian kandungan
al- Qur'an dianggap zanni, dan hanya sebhagian kecil saja yang qat’i.
Lahirnya
praduga di atas kemungkinan disebabkan banyaknya ayat-ayat yang dapat
diinterpretasikan oleh rasio manusia. Dalam banyak ayat sering dijumpai
ungkapan-ungkapan : “Afala tatafakkaruun, afala ta’qilun, dan lainnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pemakaian akal sangat diajurkan dalam Islam, bahkan wajib
dipergunakan dalam melihat fenomena alam sekitarnya, termasuk juga dalam
meneliti nash-nash al- Qur'an.
Kajian
mendalam mengenai nash al- Qur'an ini dalam ushul fiqh, biasanya dikaitkan
dengan masalah ma’qul dan ghair maqu, ta’aqul dan ta’abbudi. Ma’qul atau
ta’aqul dapat diartikan dengan upaya menafsirkan (menginterpretasikan) ayat
agar sesuai dengan situasi dan kondisi kemashlahatan masyarakat. Penekanan
diletakkan pada maksud syariat yang terkandung didalamnya. Dalam ayat-ayat yang
berhubungan dengan mu’amalat, kita memang dituntut agar memahami maksud syariat
yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain lain ma’qul adalah suatu upaya,
penalaran terhadap maksud ayat dalam rangka mencari makna yang tersirat dari
bentuk-bentuk perintah dan larangan yang tersurat. [2]
Secara
istilah, tafsir berarti penjelasan atau keterangan yang dikemukakan oleh
manusia mengenai makna ayat-ayat al- Qur'an sesuai dengan kemampuannya
menangkap maksud Allah SWT yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut . Sehingga
dengan demikian, menafsirkan al- Qur'an berarti menangkap makna yang terkandung
didalamnya. Dan karena al- Qur'an itu merupakan pesah-pesah Ilahi (risalah
ilahiyah) yang datang dari Allah SWT, maka berarti seorang mufasir berusaha
dengan kemampuan yang dimilikinya menangkap makna atau pengertian yang dimaksud
Allah SWT dalam ayat-ayat tersebut. Maka seorang mufassir berarti menemukan
makna dan bukan mengadakan makna
Objek
pembahasan tafsir, yaitu al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam. Kitab suci
ini menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkernbangan dan pengembangan
ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan
ummat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini. Bersarkan
kedudukan dan peran Al-Qur’an tersebut Qurasy Shihab mengatakan jika demikian
halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an, melalui
penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya
ummat. Sekaligus penafsiran¬-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan
serta corak pemikiran mereka.”
Dalam
rangka menjelaskan isi pesan kitab suci, tafsir menggunakan berbagai pendekatan
sesuai dengan disiplin ilmu. Imam suprayayogo mengemukakan ada beberapa
pendekatan dalam penelitian tafsir sebagai berikut yaitu: 1. Pendekatan sastra
bahasa. 2. Pendekatan filosofis. Pendekatan teologis. Pendekatan ilmiah.
Pendekatan fiqih atau hukum. Pendekatan tasawuf. Pendekatan sosiologi dan
pendekatan kultural. Pendekatan ini digunakan agar penafsiran yang dilakukan sesuai dengan
perkembangan zaman dalam kebudayaannya dari ajaran agama atau Al-Qur’an. Adapun metode
penafsiran yang berkembang dalam tradisi intelektual islam dan cukup populer,
yaitu tahlily, ijmaly, muqaron, dan maudhu’i.[3]
Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang Alquran, maka akan uraikan secara ringkas
tentang pendekatan-pendekatan dalam studi Alquran, antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Pendekatan Kebahasaan (analisis bahasa)
Telah disepakati oleh semua pihak, bahwa untuk memahami isi kandungan
Alquran dibutuhkan pengetahuan Bahasa Arab. Dan untuk memahami arti suatu kata
dalam rangkaian redaksi satu ayat, seseorang terlebih dahulu harus meneliti apa
saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti
yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan
ayat tadi.[4]
Dengan kata lain, bahwa seseorang yang ingin meneliti tentang ilmu-ilmu
Alquran harus mengetahui betul tentang kaedah-kaedah bahasa Alquran itu sendiri
dalam hal ini adalah Bahasa Arab, sehingga ia mampu memahami isi yang
terkandung dalam ayat tersebut.
2. Pendekatan Korelasi antar ayat dengan ayat lain (analisis ayat per-ayat)
Memahami pengertian suatu kata dalam rangkaian satu ayat, tidak dapat
dilepaskan adari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dari ayat
tadi.[5]
Maksudnya adalah pemaknaan suatu
ayat tidak akan sempurna jika tidak diikuti oleh makna ayat sebelum atau
sesudahnya. Dengan demikian terjadinya hubungan sebab akibat antara suatu ayat
dengan ayat lainnya baik sebelum maupun sesudahnya.
3. Sifat Penemuan Ilmiah
Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu yang
berasal dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Dengan begitu
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. sehingga
memaksa pemahaman redaksi Alquran menjadi berbeda-beda.
Berkenaan dengan pendekatan ini, Qurais Shihab mengemukakan pandangannya
bahwa, apa yang dipersembahkan para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat
bervariasi dari kebenarannya. Seseorang bahkan tidak dapat mengatas namakan
Alquran dalam kaitan dengan pendapatnya, jika pendapat tadi melebihi kandungan
redaksi ayat-ayat. Tetapi hal Ini bukan berarti seseorang dihalangi untuk
memahami suatu ayat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama
pemahaman tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu tafsir yang telah
disepakati.[6]
Selanjutnya
dalam pembahasan ini juga akan diuraikan secara singkat tentang metode-metode
dalam mengkaji (studi) terhadap kandungan Alquran. Setidaknya ada empat metode
penting dalam mengkaji isi kandungan Alquran yang dikemukakan oleh para ahli
yaitu : 1. Metode Tahlily (Analisis
ayat per-ayat). 2. Metode Ijmaly
(secara global). 3. Metode Muqarin
(perbandingan). Dan 4 Metode Mudhu’i /
Tematik (bertolak dari tema tertentu).[7]
1. Metode Tahlily (analisis ayat per-ayat)
Dari keempat
metode yang dikemukakan adi atas, metode tahlily merupakan salah satu metode
yang paling popular selain metode maaaaaaauadhu’ia/tematik yang sering
digunakan oleh para mufassir untuk mengkaji isi kandungan Alquran. Adapun
pengertian metode tahlily adalah metode yang “mufassirnya” berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari
berbagai seginya dengan memperhatikan, runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana
yang tercantum dalam mushaf.[8]
Metode
tafsir tahlily ini memiliki aspek-aspek yang sangat luas dan menyeluruh, di
dalam melakukan penafsiran, mufassir harus dapat memberikan perhatian di segala
aspek yang terkandung dalam ayata yanga ditafsirkannya, dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Metode ini
juga digunakan oleh sebagian besar mufassir pada masa lalu dan masih terus
berkembang pada massa sekarang. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan
metode ini, ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya
Al-Alussi, Fakhr al-Din al-Razi dan Ibn Jabir al-Thabari. Ada yanag sedang, seperti
kitab tafsir Imam al-Baidhawi dan Naisaburi, dan ada pula yang ditulis dengan
ringkas tetapai jelas dan padat, seperti kitab tafsir al-Jalalain karya Jalal
al-Din Suyuthi dan Jalal al-Din
al-Mahalli, dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi. Dilihat
dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi (corak) yang terdapat dalam metode
tahlily ini, paling tidak ada tujuh corak tafsir yang dapat dikemukakan, antara
lain :
a.
Tafsir bil
Ma’tsur
Yaitu,
metode tafsir dengan menggunakan riwat sebagai sumber pokoknya. Dengan demikian
tafsir ini juga disebut dengan bi riwayah atau tafsir bil mangqul (tafsir yang
menggunakan pengutipan). Penafsiran dalam caorak ini juga dapat dibagi dalam
empat bentuk, yaitu :
1) Penafsiran
ayat dengan ayat lain.
2) Penafsiran
ayat Alquran dengan Hadits Nabi
3) Penafsiran
ayat Alquran dengan pendapat para sahabat.
4) Penafsiran
ayat Alquran dengan pendapat para tabai’in.
b.
Tafsir bi
ra’yi
Yaitu,
penafsiran yang di lakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir
corak ini dinamakan juga dengan tafsir bi
ijtihad (tafsir dengan menggunakan ijtihad), karena tafsir model ini
didasari atas hasil pemikiran seorang mufassir. Oleh karenaitu, bila
dibandingkan dengan tafsir bi ma’tsur,
tafsir ini lebih memungkinkan terjadinya perdebatan-perdebatan penafsiran
antara satu mufassir dengan mufassir lainnya. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan jika dikalangan para ulama ada yang menolak tafsir model ini.
Karena mereka berpendapat bahwa pemikiran seseorang dapat dipengaruhi oleh hawa
nafsunya.
c.
Tafsir adabi
ijtima’i
Yaitu, corak
penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan ketelitian
ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan
tujuan pokok diturunkannya Alquran, kemudian mengaplikasikannya pada tatanan
sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya,
sejalan dengan perkembangan masyarakat.
d.
Bercorak
Fikih
Yaitu,
tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian pada fikih (hukum Islam).
Dengan demikian, mufassir dalam corak ini biasanya adalah seorang ahli fikih
yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam akaitannya dengan
persoalan-persoalan hokum Islam.
e.
Bercorak
Tasawuf
f.
Becorak Filsafat
g.
Bercorak
Ilmiah (ilmu pengetahuan)
2. Metode Ijmali (global)
Pengertian
metode ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran
dengan mengemukakan makna global. Dengan menggunakan metode ini, mufassir
menjelaskan makna ayat-ayat Alquran secara global (garis besar). Sistimatikanya
harus mengikuti urutan surah-surah Alqauran sehingga maknanya dapat saling
berhubungan dalam menyajikan maknaa-makna ini, mufassir mengemukan
ungkapan-ungkapan dari Alquran itu sendiri dengan menambah kata-kata atau
kalimat penghubung sehingga memudahkan para pembaca untuk memahaminya.
3. Metode Muqarin (Perbandingan)
Metode
tafsir ini menggunakan perbandaingan yaitui dengan membandingkian antara ayat
Alquran satu dengan ayat yang lainanaya dan membandingkan antara ayat Alquran
dengan hadits, serta membandingkan antara mufassir satu dengan mufgassir
lainnya. Perlu digaris bawahi, bahwa membandingkan ayat Alquran dengan ayat
lainnya dalam metode ini, hanya sebatas pada persoalan redaksinya saja dan
bukan terletak pada bidang pertentangan makna seperti yang dibahas pada ilmu nasikh dan mansukh.
- Metode Maudhu’i / Tematik
Metode ini
memiliki dua bentuk, yaitu :
a. Membahas
suatu surah Alquran secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan
maksi=ud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan
ayar satu dengan ayat yang lain, atau antara pokok satu dengan pokok masalah
lain. Dengan metode ini surat tersebut tampak dengan metodenya yang utuh,
teratur, cermat, teliti dan sempurna.
b. Menghimpun
dan menyusun ayat-ayat Alquran yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian
memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema
tertentu. Melalui kajian seperti ini mufassir mencoba menetapkan pandangan
Alquran yang mengacu pada tema tertentu dari berbagai macam tema yang berkaitan
dengan alam dan kehidupan. Upaya tersebut pada akhirnya dapat mengantarkan
mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut
pandangan Alquran, bahkan dengan menggunakan metode ini, mufassir dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benaknya dan menjadikan
permasalahan tersebut sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan
menemukan pandangan Alquran mengenai hal tersebut.
Demikianlah
metode-metode serta corak yang ada dalam mengkaji studi tafsir yang merupakan ainduaak
dari ilmu-ilmu Alquaran lainnya yang terhimpun dalam satu bahasan yaitu ulumul
quran.
B.
Sekilas Tentang Amina Wadud
1.
Biografi Amina Wadud
Amina Wadud memiliki nama panjang
Amina Wadud Muhsin. Ia adalah salah seorang tokoh feminis Muslimah
kontroversial yang lahir di Bethesda, Maryland Amerika Serikat pada 25
September 1952. Ayahnya adalah seorang penganut Methodist dan ibunya keturunan
budak Berber, Arab, dan Afrika pada kurun ke-8 masehi. Wadud memeluk Islam pada
tahun 1972.[9]
Wadud janda dengan lima anak. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Yang laki-laki
adalah Muhammad dan Khalilullah, dan yang perempuan adalah Hasna, Sahar, dan
Ala (oleh Wadud mereka dianggap lebih dari anak, yaitu saudara-saudara seiman).[10]
Namanya resmi diubah menjadi Amina
Wadud dipilih untuk mencerminkan afiliasi agamanya. Ia menerima gelar BS, dari
The University of Pensylvania, antara tahun
1970 dan 1975. Dia menerima MA di Studi Timur Dekat dan gelar Ph.D
dalam bahasa Arab dan Studi Islam dari University of Michigan pada tahun
1988. Selama kuliah, ia belajar Arab di Mesir di Universitas Amerika di Kairo, dilanjutkan
dengan studi Al-Quran dan tafsir di Universitas Kairo, Mesir dan mengambil kursus
di Filsafat di Universitas Al-Azhar .[11]
Amina Wadud adalah seorang feminis Islam, imam dan seorang feminis dengan fokus progresif pada tafsir Al-Qur'an. Dia dikontrak untuk jangka waktu 3 tahun
sebagai Asisten Profesor di International Islamic University
Malaysia di bidang Studi Al-Qur'an di Malaysia, antara tahun
1989-1992, dan di mana ia menerbitkan disertasinya Al-Qur'an dan
Perempuan: membaca ulang Teks Suci dari Woman's Perspektif, sebuah
buku yang dilarang di UAE. Namun, buku tersebut terus digunakan oleh
Sisters Islam di Malaysia sebagai teks dasar bagi aktivis dan akademisi.
Pada periode yang sama ia juga bersama-sama mendirikan LSM Sisters -In-Islam.
Spesialisasi penelitian Amina Wadud ini termasuk studi gender dan
Al-Qur’an. Pada tahun 1992 Amina Wadud menerima posisi sebagai Profesor
Agama dan Filsafat di Virginia Commonwealth University,
dan ia pensiun pada 2008. Mulai tahun 2008-sekarang, ia adalah seorang profesor
tamu di Pusat Agama dan Cross Cultural Studies di Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Indonesia.[12]
2.
Wanita dalam Al-Qur’an menurut Amina
Wadud
Charles Kurzman dalam bukunya
Liberal Islam menjelaskan bahwa penelitian Amina Wadud mengenai wanita dalam
Al-Qur’an muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita
Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Hal ini karena
selama ini sistem relasi laki-laki dan wanita di masyarakat memang sering
mencerminkan bias-bias patriarkhi, dan sebagai implikasinya maka perempuan
kurang mendapat keadilan secara lebih proporsional.[13]
Amina Wadud mengakui bahwa bukunya merupakan bagian dari apa yang disebut
“Jihad Gender” dirinya sebagai seorang muslimah dalam konteks global.
Menurutnya, budaya patriarki telah memarginalkan kaum wanita, menafikan wanita
sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung
oleh al-Qur`an.
Qur’an and Woman:
Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective
ini dimulai pada awal 1986.[14]
Tujuan riset Amina Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk
mengevaluasi sejauh mana posisi wanita dalam kultur muslim telah betul-betul
menggambarkan maksud Islam mengenai wanita dalam masyarakat. Al-Qur’an dapat digunakan sebagai kriteria
untuk menguji apakah status wanita dalam masyarakat muslim yang sesungguhnya
sudah dikatakan Islami. Jika yang menjadi tolak ukur pasti dalam Islam adalah
apa yang dilakukan oleh kaum muslim, maka niscaya wanita dan laki-laki tidak
sederajat. Menurut Amina Wadud, hanya jika Al-Qur’an sendiri memang tegas-tegas menyatakan bahwa
laki-laki dan wanita tidak sederajat, maka barulah harus dipatuhi sebagai dasar
keimanan Islam. [15]
Ternyata menurut Amina Wadud, hasil kajiannya menunjukkan banyak sekali ayat
Al-Qur’an yang mempertegas kesamaan
derajat wanita dan laki-laki.[16]
Di dalam buku ini, Amina Wadud bermaksud menggunakan tafsir tauhid untuk
menegaskan betapa kesatuan Al-Qur’an merambah seluruh bagiannya. Salah satu
tujuan dari metode tafsir tauhid adalah untuk menjelaskan dinamika antara
hal-hal yang universal dan partikular menurut Al-Qur’an.[17]
Selain itu penafsiran Al-Qur’an ini bermakna bagi kehidupan wanita di era
modern.[18]
Kemudian Amina Wadud menambahkan bahwa tujuan spesifiknya adalah menunjukkan
kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al-Qur’an terhadap persoalan dan dunia
wanita menurut konteks modern.[19]
Dalam bukunya, Amina Wadud tidak
hanya membicarakan tentang “Islam dan Wanita”, juga bukan tentang wanita
muslim. Akan tetapi menambahkan bahasan tentang gender pada salah satu disiplin
ilmu yang paling fundamental dalam pemikiran Islam yaitu tafsir. Amina Wadud juga
mengungkapkan bahwa ia menerima Al-Qur’an seutuhnya, tetapi tetap menganggap
tafsirnya hanya sebagai upaya manusia untuk menjelaskan makna kandungannya dan
mengarahkan pengalamannya.[20]
Fokusnya hanya pada soal gender dalam Al-Qur’an. Ini adalah konsep tentang
wanita yang langsung diambil dari Al-Quran.
3.
Metodologi Amina Wadud dalam Menafsirkan
Al-Qur’an
Dalam karyanya sesungguhnya
merupakan kegelisahan intelektual penulisnya mengenai ketidakadilan gender
dalam masyarakatnya. Menurut Amina Wadud, salah satu penyebab terjadinya
ketidakadilan gender dalam kehidupan sosial adalah karena ideologi-doktrin
penafsiran Al-Qur’an yang dianggapnya bias patriarkhi. Menurut Amina Wadud,
sebenarnya selama ini tidak ada suatu metode penafsiran yang benar-benar
objektif, karena setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk
kitab suci al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh perspektif mufassirnya, cultural
background, yang melatarbelakanginya. Itulah yang oleh Amina Wadud disebut
dengan prior texts/ pra teks.
Untuk memperoleh penafsiran yang
relatif objektif, seorang penafsir harus kembali pada prinsip-prinsip dasar
dalam al-Quran sebagai kerangka paradigmanya. Itulah mengapa Amina mensyaratkan
perlunya seorang mufassir memahami weltanchauung atau world view[21].
Penafsiran-penafsiran mengenai
perempuan selama ini ada tiga kategori yaitu: 1) tradisional 2) reaktif dan 3)
holistik. Yang pertama adalah tafsir tradisional. Menurutnya model tafsir ini
menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai dengan minat dan kemampuan
mufassirnya, seperti hukum (fiqh), nahwu, shorof sejarah, tasawuf. Model tafsir
semacam ini lebih bersifat atomistik,yaitu penafsiran dilakukan ayat per-ayat
dan tidak tematik, sehingga pembahasannya terkesan parsial. Namun, ketiadaan
penerapan hermeneutika atau metodologi yang menghubungkan antara ide, struktur
sintaksis atau tema yang serupa membuat pembacanya gagal menangkap weltanchauung
al-Qur’an. Namun tafsir model tradisional ini terkesan eksklusif; ditulis hanya
oleh kaum laki-laki. Tidaklah mengherankan kalau hanya kesadaran dan pengalaman
kaum pria yang diakomodasikan di dalamnya. Padahal mestinya pengalaman, visi
dan perspektif kaum perempuan juga harus masuk di dalamnya, sehingga tidak
terjadi bias patriarkhi yang bisa memicu dan memacu kepada ketidakadilan gender
dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.
Kategori yang kedua adalah tafsir
reaktif, yaitu tafsir yang berisi reaksi para pemikir modern terhadap sejumlah
hambatan yang dialami perempuan yang dianggap berasal dari al-Quran. Persoalan
yang dibahas dan metode yang digunakan seringkali berasal dari gagasan kaum
feminis dan rasionalis, tapi tanpa dibarengi analisis yang komprehensif terhadap
ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan demikian, meskipun semangat yang dibawanya
adalah pembebasan (liberation), namun namun tidak terlihat hubungannya
dengan sumber idiologi dan teologi Islam.
Kategori ketiga adalah tafsir
holistik, yaitu tafsir yang menggunakan metode penafsiran yang komprehnsif dan
mengkaitkannya dengan berbagai persoalan sosial, moral ekonomi, politik,
termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas. Di sinilah posisi
Amina Wadud dalam upaya menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Model semacam ini
menurut hemat penulis mirip dengan apa yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman dan
al-Farmawi.[22]
Metodologi penafsiran Amina Wadud
mencakup:
a.
Dekontruktif-rekontruktif
Amina Wadud mendekontruksi dan merekonstruksi model
penfsiran klasik yang penuh bias patriarkhi. Asumsi dasarnya adalah bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukan
laki-laki dan perempuan setara (equa)
b.
Argumentatif-teologis
c.
Hermeneutik-filosofis
Ciri utamanya: pengakuan bahwa dalam kegiatan
penafsiran, seorang mufassir selalu didahului oleh persepsinya terhadap teks
yang disebut sebagai prapaham yang muncul karena seorang penafsir senantiasa
dikondisikan oleh situasi di mana ia terlibat dan sekaligus mempengaruhi
kesadarannya.
Mengenai risetnya tentang wanita,
Amina Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai
hermeneutika ini senantiasa memperhatikan tiga aspek nas berikut;[23]
a.
Konteks saat nas ditulis ( Al-Qur’n
diturunkan)
b.
Komposisi nas dari segi gramatikanya
(bagaimana nas menyatakan apa yang dinyatakannya)
c.
Nas secara keseluruhan, Weltanschauuung
atau pandangan dunianya.[24]
Riset selanjutnya, setiap ayat
dianalisis menurut;
a.
Konteksnya
b.
Konteks pembahasan tentang topik yang
sama dalam Al-Qur’an
c.
Sudut bahasa dan struktur sintaksis yang
sama yang digunakan di tempat lain dalam Al-Qur’an
d.
Sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya
e.
Konteks Weltanschauuung
Al-Qur’an, atau pandangan dunianya.[25]
C.
Pemikiran Feminisme Amina Wadud
1.
Penciptaan Manusia Menurut Al-Qur’an dan
Kesetaraan Laki-laki dan Wanita
Adanya perbedaan antara perlakuan
terhadap pria dan perlakuan terhadap wanita ketika al-Qur`an membahas
penciptaan manusia, Amina berpendapat tidak ada perbedaan nilai esensial yang
disandang oleh pria dan wanita. Oleh sebab itu tidak ada indikasi bahwa wanita
memiliki lebih sedikit atau lebih banyak keterbatasan dibanding pria.
Semua catatan al-Qur`an mengenai
penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul ibu-bapak pertama:
ûÓÍ_t6»t tPy#uä w ĂŁNĂ 6¨Yt^ĂŹFøÿt Ăź`»sÜø¤±9$# !$yJx. ylt÷zr& Nä3÷uqt/r& z`ĂŹiB ĂŹp¨Zyfø9$# ……
Hai anak Adam,
janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan
kedua ibu bapamu dari surge… (QS. Al-A’raaf: 27).[26]
Amina Wadud menjelaskan bahwa kita
menganggap ibu-bapak kita yang pertama serupa dengan kita. Meskipun anggapan
ini benar, tetapi tujuan utama bab ini lebih menekankan pada satu hal yaitu proses
penciptaan mereka. Semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini,
diciptakan di dalam rahim ibunya.[27]
Berbagai implikasi yang serius telah diambil dari pembahasan dan ide-ide
tentang penciptaan orang tua pertama yang berdampak abadi pada sikap terhadap
laki-laki dan wanita.
Selanjutnya Amina Wadud membahas
QS. An-Nisa’ ayat 1:
Dari kedua firman Allah tersebut, Amina Wadud
menekankan penjelasannya tentang pengertian dan maksud dari kata nafs
dan zawj. Adapun maksud dari kata nafs, bisa digunakan secara
umum dan teknis. Walaupun kata nafs secara umum diterjemahkan sebagai
diri dan jamaknya adalah anfus sebagai diri-diri. Namun Al-Qur`an
tidak pernah menggunakan istilah tersebut untuk menunjukkan ciptaan lain selain
manusia. Di dalam penggunaan secara teknis, kata nafs dalam al-Qur`an
menunjukkan bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama. Meskipun
secara tata bahasa kata nafs merupakan kata feminin (muannas),
namun secara konseptual nafs mengandung makna netral, bukan untuk
laki-laki, bukan pula untuk perempuan. [30]
Dalam catatan al-Qur`an mengenai
penciptaan, Allah tidak pernah merencanakan untuk memulai penciptaan manusia
dalam bentuk seorang laki-laki, dan tidak pernah pula merujuk bahwa asal usul
umat manusia adalah adam.[31]
Al-Qur`an bahkan tidak pernah menyatakan bahwa Allah memulai penciptaan manusia
dengan nafs Adam, seorang pria. Hal yang sering diabaikan ini sangat
penting karena penciptaan manusia versi al-Qur`an tidak dinyatakan dalam
istilah jenis kelamin.[32]
Demikian pula kata zawj. Sebagai
istilah umum, kata zawj digunakan dalam Al-Qur’an untuk arti teman, pasangan
yang biasanya kita pahami sebagai Hawa. Padahal secara gramatikal zawj adalah
maskulin, secara konseptual kebahasaan bersifat netral, tidak menunjukkan
bentuk muannats (feminin) atau mudzakkar (maskulin). [33]
Baik Adam maupun Hawa diciptakan dari nafs yang sama. Yang penting bagi Amina
Wadud bukan bagaimana Hawa diciptakan, tapi kenyataan bahwa Hawa adalah
pasangan Adam. Pasangan menurut Amina Wadud, dibuat dari dua bentuk yang saling
melengkapi dari satu realitas tunggal, dengan sejumlah sifat, karakteristik dan
fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini saling melengkapi sesuai kebutuhan
satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan mensyaratkan adanya anggota pasangan
lainnya. Dengan pengertian demikian, penciptaan Hawa bagi Amina Wadud merupakan
bagian dari rencana penciptaan Adam. Dengan demikian keduanya sama pentingnya.[34]
Dalam perjalanannya, Amina Wadud
juga menepis mitos yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat, yaitu
bahwa wanita (Hawa) merupakan penyebab keterlemparan manusia dari surga.[35]
Anggapan ini jelas tidak sejalan dengan Al-Qur’an, sebab peringatan Allah agar menjauhkan
diri dari bujukan syetan ditujukan kepada keduanya.
2.
Pandangan Al-Qur’an Tentang Wanita di
Dunia
Al-Qur’an tidak mendukung suatu
peran tertentu dan stereotip untuk laki-laki dan wanita. Patut dicatat bahwa
semua referensi tentang para tokoh wanita dalam Al-Qur’an menggunakan suatu
keistimewaan budaya yang penting yang memperlihatkan penghormatan terhadap
wanita itu. Kecuali Maryam, ibunda Isa, mereka tidak pernah dipanggil dengan
namanya. Sebagian besar berstatus istri dan Al-Qur’an menyebut mereka dalam
bentuk idhafah yang mengandung salah satu kata Arab untuk istri: imra’ah,
nisa’ atau zawj. Bahkan wanita lajang disebutkan dengan dihubungkan
dengan laki-laki tertentu: ukht Musa, ukht Harun. Prinsip
umumnya, bahwa wanita harus disapa secara terhormat. [36]
Menurut Al-Zamakhsyari laki-laki
lebih diutamakan oleh Allah dalam hal kecerdasan, kondisi fisiknya, ketetapan
hati dan kekuatan fisik, walaupun ia mengatakan hal tersebut tidak dinyatakan
di dalam Al-Qur’an. Penafsiran ini membenarkan berbagai pembatasan atas hak-hak
wanita untuk mencapai kebahagiaan pribadi dalam konteks Islam. Yang paling
menyusahkan adalah kecenderungan untuk mengaitkan penafsiran ini dengan
Al-Qur’an sendiri daripada mengaitkannya pada mufassirnya.
Akan tetapi menurut Amina Wadud, Al-Qur’an
tidak pernah menggunakan istilah yang menyatakan bahwa posisi pemimpin tidak
tepat untuk wanita. Justru sebaliknya, kisah Bilqis dalam Al-Qur’an memuji
perilaku politik dan agamanya.[37]
Di luar identifikasinya sebagai wanita, tidak pernah ada disebutkan perbedaan,
pelarangan, penambahan, atau pengkhususan terhadapnya sebagai wanita yang
memimpin. Seorang wanita yang lebih independen dan berwawasan luas mungkin akan
lebih baik dalam memimpin suatu bangsa. Demikian juga, seorang suami mungkin saja
lebih sabar terhadap anak-anak.
3.
Balasan yang Adil: Akhirat Menurut
Al-Qur’an
Mengenai keadilan, Amina Wadud
berpendapat bahwa laki-laki dan wanita adalah dua kategori spesies manusia yang
dianggap sama atau sederajat dan dianugerahi potensi yang sama atau setara. Tak
satupun hal tersebut terlupakan dalam al-Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi
umat manusia yang mengakui dan mempercayai kebenaran yang pasti. Al-Qur`an
menghimbau semua orang beriman, laki-laki dan perempuan untuk membarengi
keimanan mereka dengan tindakan, yang dengan begitu mereka akan diganjar dengan
pahala yang besar. Jadi, Al-Qur`an tidak membedakan pahala yang dijanjikannya.[38]
Dalam menjelaskan QS, 40:39-40,[39]
Dalam ayat diatas beliau menekankan
kata man dan ulaika. Kedua kata tersebut mengandung pengertian
netral, tidak laki-laki dan tidak pula khusus perempuan. Sehingga masing-masing
manusia akan memperoleh ganjaran bukan berdasarkan jenis kelamin, melainkan
atas tindakan yang dilakukan oleh setiap individu
Mengenai akhirat, tanggung jawab
dan pengalaman individu ini mendapatkan perhatian lebih besar. Kematian, yakni
perpindahan dari alam duniawi ke alam akhirat, akan dialami oleh setiap
individu: “Tiap-tiap nafs akan merasakan mati”. Hal ini terdapat dalan
(Q.S. Ali: Imran: 185)
185. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan
Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah
beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.[40]
Maka, individu (nafs) lah yang
dikelompokkan dengan individu-individu lain dari tipe yang sama. Akhirnya,
balasan yang diberikan adalah berbasis pada individu. Laki-laki maupun
perempuan diganjar secara individual sesuai dengan amalnya, meskipun timbangan
untuk mengukurnya hanya ada satu (tidak bergender). Balasan diperoleh bukan
berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan amal yang dikerjakan oleh
tiap-tiap individu sebelum mati. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S.
Al-Jaatsiyah [45]: 21-22.
21. Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka
bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat
buruklah apa yang mereka sangka itu.22. dan Allah menciptakan langit dan bumi
dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya,
dan mereka tidak akan dirugikan. Tidak ada seorang pun yang dapat mengurangi
atau menambah pahala yang didapat dari orang lain. Tidak seorang pun dapat
berbagi pahala atau berbagi hukuman dengan orang lain.[41]
Hal ini sesuai dengan Firman Allah
dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 48.
48. dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari
itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu
pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka
akan ditolong.
[42]
4.
Hak dan Peran Wanita
a.
Perbedaan Fungsional di Dunia
Al-Qur’an mengakui bahwa kita
berjalan dengan berbagai sistem sosial yang memiliki beberapa perbedaan
fungsional. Hubungan yang ditunjukkan Al-Qur’an antara perbedaan-perbedaan yang
bersifat duniawi ini dengan takwa adalah penting dalam bahasan Amina Wadud.
Menurutnya, karena perbedaan utama wanita adalah kemampuannya melahirkan anak,
maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang utama. Penggunaan kata utama
mempunyai konotasi negatif sehingga dari kata ini, tersirat anggapan bahwa
wanita hanya bisa menjadi ibu.[43]
Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa fungsi tersebut adalah fungsi utama
wanita. Fungsi itu menjadi utama bila dilihat dari kesinambungan ras manusia.
b.
Darajat dan Fadhala
Yang membedakan derajat antara pria
dan wanita, yang artinya:”Wanita-wanita yang ditalak, hendaknya menahan diri
(menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
dijadikan Allah dalam rahimnya. Dan suami-suaminya berhak rujuk padanya dalam
masa iddah tersebut, jika mereka (para suami tersebut) menghendaki ishlah.
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.
Akan tetapi para suami, memiliki satu tingkat (derajat) kelebihan daripada
istrinya. Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS, 2: 228).[44]
Ayat ini menunjukkan bahwa derajat
yang dimaksud di atas adalah hak menyatakan cerai kepada istri. Sebenarnya
wanita bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur
tangan pihak yang berwenang (misalnya hakim).[45]
Menurutnya, makna derajat dalam
ayat ini sama dengan kebolehan kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita,
akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diperkenalkan dalam
al-Qur`an sendiri untuk setiap individu, bahwa setiap nafs akan
memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. Adapun, kata ma’ruf
diletakkan mendahului kata darajah untuk menujukkan bahwa hal tersebut
dilakukan terlebih dahulu. Dengan demikian, hak dan tanggung jawab wanita dan pria
adalah sama.
Amina Wadud juga concern
dalam menafsirkan kata Qawwam dan fadhdhala yang terdapat dalam
QS, 4:34.[46]
Menurutnya, dua kata tersebut erat
kaitannya dengan kata penghubung bi. Di dalam sebuah kalimat, maknanya
adalah karakteristik atau isi sebelum kata bi adalah ditentukan
berdasarkan apa-apa yang diuraikan setelah kata bi. Dalam ayat tersebut,
pria-pria qawwamuuna ‘ala (pemimpin-pemimpin bagi) wanita-wanita hanya
jika disertai dua keadaan yang diuraikan berikutnya. Keadaan pertama adalah
mempunyai atau sanggup membuktikan kelebihannya, sedang persyaratan kedua
adalah jika mereka mendukung kaum wanita dengan menggunakan harta mereka. Jika
kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka pria bukanlah pemimpin bagi wanita.
Amina Wadud menjelaskan bahwa kata bi
di atas berkaitan dengan ma fadhdhlallah (apa yang telah Allah lebihkan
untuk laki-laki, yakni warisan), dan nafkah yang dia berikan kepada istrinya.
Meski menurutnya, kelebihan warisan antara laki-laki dan perempuan masih debatable.
Dimana bagian warisan absolute pria tidak selalu berbanding dua dengan
wanita. Jumlah sesungguhnya sangat tergantung pada kekayaan milik keluarga yang
akan diwariskan.[47]
Begitu pula nafkah sebagai seorang pemimpin hendaknya diterapkan dalam
kaitannya hubungan kedua belah pihak dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah
satu pertimbangannya adalah tanggung jawab dan hak wanita untuk melahirkan
anak. Tanggung jawab melahirkan seorang anak merupakan tugas yang sangat
penting. Eksistensi manusia tergantung pada hal tersebut. Tanggung jawab ini
mensyaratkan sejumlah hal, seperti kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan
komitmen personal yang dalam. Sementara tanggung jawab ini begitu jelas dan
penting, apa tanggung jawab seorang pria dalam keluarga itu dan masyarakat
luas? Untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan, dan untuk menghindari
penindasan, Al-Qur`an menyebut tanggung jawabnya sebagai qiwamah. Amina
menambahkan bahwa wanita tidak perlu dibebani dengan tanggung jawab tambahan
yang akan membahayakan tuntutan penting tanggung jawab yang hanya dia sendiri
yang bisa mengembannya.[48]
c.
Nusyuz: Gangguan Keharmonisan Perkawinan [49]
Kutipan ayat diatas (Q.S. al-Nisa’
[4]: 34) seringkali ditafsirkan dan dijadikan pengakuan menurut hukum oleh kaum
laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan (violence) terhadap istri
(perempuan) yang dianggap telah nusyuz. Di dalam kitab-kitab fiqh atau tafsir
klasik, kata nusyuz sering dibawa pengertiannya pada istri yang tidak
taat kepada suami. Kata nusyuz dalam al-Qur’an dapat merujuk kepada kaum
laki-laki pada (Q.S. al-Nisa’ [4]: 128) dan kaum perempuan pada (Q.S. al-Nisa’
[4]: 34), meskipun kedua kata ini sering diartikan berbeda. Ketika merujuk pada
perempuan, kata nusyuz berarti ketidakpatuhan istri kepada suami ketika
merujuk kepada suami berarti suami bersikap keras kepada istrinya, tidak mau
memberikan haknya. Tetapi, menurut Amina Wadud, ketika kata nusyuz
disandingkan dengan perempuan (istri), ia tidak dapat diartikan dengan
ketidakpatuhan kepada suami (disobidience to the husband), melainkan
lebih pada pengertian adanya ganguan keharmonisan dalam keluarga.
Al-Quran memberikan solusi untuk
persoalan nusyuz: Pertama, solusi verbal, (fa`idhuhunna)
baik antara suami istri itu sendiri, seperti dalam Q.S. al- Nisa’ [4] : 34,
atau melalui bantuan arbiters atau hakam (seorang penengah) seperti dalam Q.S.
al-Nisa’ [4]: 128. Kedua, boleh dipisahkan (pisah ranjang). Langkah
terakhir yakni memukul (fadribuhunna atau scourge).
Solusi pertama merupakan solusi
yang terbaik yang ditawarkan dan disukai oleh al-Qur’an. Ini sejalan dengan
salah satu prinsip dasar al-Qur’an yaitu musyawarah (syura). Dengan
ungkapan lain, tidak perlu dilakukan tindakan kekerasan (violence)
tertentu untuk menghadapi percekcokan antara suami-istri. Dalam pandangan penulis,
kepatuhan yang tulus sesungguhnya tidak dapat dicapai dengan kekerasan,
melainkan antara lain dengan sikap pengertian, mawaddah (kasih sayang) lutf
(kelembutan).
Kedua: jika langkah-langkah
kompromi mengikuti cara yang diajarkan al- Qur’an, belum dapat menyelesaikan
masalah maka sangat mungkin harmonisasi itu akan dapat kembali, sebelum langkah
terakhir dilakukan. Jika tahap ketiga terpaksa harus dilakukan, maka hakikat
memukul istri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan, atau perkelahian antara
keduanya, karena tindakan tersebut sama sekali tidak Islami.
Menurutnya, penafsiran kata dharaba
yaitu bahwa kata tersebut mempunyai banyak makna. Dharaba tidak
harus berarti merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan. Kata dharaba
juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu
perjalanan. Bahkan lebih dari itu, penulis sendiri mencatat kata dharaba
ada yang bermakna berpalinglah dan pergi. Demikian pula, kata dharaba
ada yang berarti at-Tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak
memberikan hartanya kepadanya).
Jika demikian, masih ada banyak
kemungkinan penafsiran kata fadhribuhunna dalam Q.S al-Nisa’ [4]: 34.
Apakah tidak lebih baik, kata fadhribuhunna ditafsirkan dengan
berpalinglah dan tinggalkanlah mereka atau kita tafsirkan janganlah mereka
dikasih nafkah atau biaya hidup. Tafsir semacam ini nampaknya akan lebih dapat
menghindarkan kekerasan dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau
percekcokan antar suami istri. Ketika sahabat mencoba mempraktikkan memukul
istrinya yang nusyuz, lalu melapor kepada Nabi saw, beliau lalu bersabda “ pria
teladan tidak akan pernah memukul istri-istri mereka”. Disamping itu juga ada
hadis Nabi yang melarang memukul istri[50].
d.
Perceraian
Perceraian merupakan pilihan hukum
antara pasangan yang telah menikah, setelah mereka tidak bisa menyatukan
perbedaan yang timbul antara keduanya. Tetapi keadaan yang telah dibahas tadi,
yang mengizinkan pria memiliki darajah (kelebihan) atas wanita, telah
dianggap sebagai indikasi adanya ketaksejajaran dalam al-Qur`an- yaitu pria
memiliki hak talak. Tidak seperti wanita, kaum pria bisa saja berkata ‘saya
ceraikan kamu ‘ untuk memulai tata cara perceraian.
Memang dalam Al-Qur’an tidak disebutkan
adanya wanita-wanita yang meminta talak dari suaminya, sehingga kenyataan ini
digunakan untuk mengambil kesimpulan bahwa wanita tidak memiliki hak talak.
Kesimpulan terakhir sangat bertolak belakang dengan adat istiadat zaman
pra-Islam dimana wanita dapat dengan mudahnya memalingkan wajahnya untuk
menunjukkan penolakannya atas hubungan perkawinan dengan seorang pria. Tidak
ada satu petunjukpun dalam al-Qur`an yang mengisyaratkan bahwa seluruh
kewenangan talak ini harus direnggut dari kaum wanita. Yang lebih penting lagi
menurutnya, hendaknya persoalan rujuk atau cerai dilakukan dengan cara ma’ruf
dan menguntungkan kedua belah pihak.[51]
e.
Poligami
Dalam hal ini Amina Wadud membahas
QS An Nisaa (4): 3 berikut:
Dan jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[52]
Ayat diatas menjelaskan mengenai
perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung jawab,
untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan tidak bisa diharapkan untuk
mengelola dengan adil harta tersebut. Solusinya adalah dengan menikahi anak
yatim tersebut. Menurutnya, ada 3 pembenaran umum terhadap poligami yang tidak
ada persetujuan langsung dalam Al-Qur’an, yaitu:[53]
1)
Finansial. Dalam konteks masalah ekonomi
seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial hendaknya
mengurus lebih dari satu istri. Lagi-lagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa
semua wanita adalah beban finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen.
2)
Dasar pemikiran lain untuk berpoligami
difokuskan pada wanita yang tidak dapat mempunyai anak.
3)
Jika kebutuhan seksual seorang laki-laki
tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus mempunyai dua. Alasan ini
jelas tidak Qur’ani karena berusaha menyatujui nafsu laki-laki yang tidak
terkendali.
f.
Pembagian Warisan dan Persaksian bagi
Perempuan
Mengenai kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan dilawan dengan pendapat bahwa laki-laki dan perempuan
sesungguhnya memang tidak setara. Terbukti dalam pembagian harta warisan antara
laki-laki dan perempuan tidak sama, bahkan 2:1. Ketentuan ini dianggap sebagai
hal yang qothi, karena dhahir ayat memang menyatakan semacam ini,
sebagaimana yang tertuang dalam Q.S.An-Nisa’:11-12. [54]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
12. dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274].
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tentang pembagian harta warisan,
Amina Wadud mengkritik penafsiran lama yang menganggap bahwa 2:1 (laki-laki dan
perempuan) merupakan satu-satunya rumusan matematis. Menurutnya teori tersebut
tidak benar, sebab ketika diteliti ayat-ayat tentang waris satu persatu,
ternyata rumusan 2:1 hanya merupakan salah satu ragam dari model pembagian
harta waris laki-laki dan perempuan. Pada kenyataannya, jika hanya ada satu
anak perempuan, maka bagiannya separuh dari keseluruhan harta warisan.[55]
Berbicara tentang persaksian dalam
muamalah, al-Qur’an menyebutkan dalam (QS al-Baqarah [2]: 282.).
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Ayat tersebut harus dipahami dalam
konteks apa ia turun, bagaimana situasi sosio historis yang melingkupi ketika
ayat itu turun. Para ulama klasik umumnya memang cenderung memahami secara
tekstual, dan kurang berani melakukan terobosan baru untuk menafsirkan secara
lebih kontekstual.
Dalam hal ini Fazlur Rahman,
nampaknya salah seorang yang berani mengartikan berbeda dengan mengatakan
bahwa: Kesaksian perempuan dianggap kurang bernilai dibanding laki-laki,
tergantung dari daya ingat yang dimiliki perempuan tersebut. Jika perempuan
tersebut memiliki pengetahuan tentang masalah transaksi keuangan, maka ia juga
membuktikan kepada masyarakat, bahwa ia mampu sejajar dengan laki-laki.
Pemahaman ayat tersebut
sesungguhnya sangat sosiologis, karena pada waktu itu, perempuan mudah dipaksa.
Jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia bisa dipaksa agar
memberi kesaksian palsu. Berbeda jika ada dua perempuan, mereka bisa saling
mendukung, saling mengingatkan satu sama lain tidak hanya menyebabkan si
individu perempuan menjadi berharga, tetapi juga dapat membentuk benteng
kesatuan guna mengadapi saksi yang lain. Dengan kata lain adanya persaksian dua
perempuan yang seakan disetarakan dengan satu laki-laki lebih disebabkan oleh
adanya hambatan sosial pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya pengalaman
bagi perempuan untuk masalah transaksi pada muamalah. Di samping itu,
seringkali terjadi pemaksaan terhadap perempuan, dalam saat yang bersamaan
sesungguhnya al-Quran tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.
Ketika kondisi zaman sudah berubah,
di mana perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam
persoalan transaksi atau muamalah, apalagi hal itu memang sudah menjadi
profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi secara sebanding dengan
laki-laki. Jadi, persoalannya bukan pada jenis kelaminnya apakah laki-laki atau
perempuan, melainkan pada kredibilitas dan kapabilitas ketika diserahi untuk
menjadi saksi[57].
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Amina Wadud adalah seorang feminis Islam, imam dan seorang feminis dengan, fokus progresif pada
Al-Qur'an tafsir. Riset Amina Wadud mengenai wanita dalam Al-Qur’an
muncul dalam suatu konteks historis yang erat kaitannya dengan wanita
Afrika-Amerika dalam upaya memperjuangkan keadilan gender. Tujuan riset Amina
Wadud adalah menentukan kriteria yang pasti untuk mengevaluasi sejauh mana
posisi wanita dalam kultur muslim telah betul-betul menggambarkan maksud Islam
mengenai wanita dalam masyarakat. Selain itu, tujuan spesifiknya adalah
menunjukkan kemampuan penyesuaian pandangan dunia Al-Qur’an terhadap persoalan
dan dunia wanita menurut konteks modern.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, Amina
Wadud menggunakan metode tafsir tauhid. Metode tafsir tauhid sebagai
hermeneutika yang dalam risetnya ini, setiap ayat dianalisis: 1) menurut
konteksnya; 2) menurut konteks pembahasan tentang topik yang sama dalam
Al-Qur’an; 3) dari sudut bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang digunakan
di tempat lain dalam Al-Qur’an; 4) dari sudut prinsip Al-Qur’an yang
menolaknya; 5) menurut konteks Weltanschauuung Al-Qur’an, atau pandangan
dunianya.
Menurut pemikirannya mulai dari
penciptaan manusia sampai persaksian perempuan adalah untuk menentang sebagian
sikap dan hasil penafsiran tentang wanita dan Al-Qur’an. Penafsiran yang
mengabaikan prinsip keadilan, persamaan dan kemanusiaan yang lazim. Amina Wadud
menganggap kesetaraan laki-laki dan wanita bukan berarti sama. Ia mengakui
adanya perbedaan penting antara laki-laki dan wanita. Maksud kesetaraan
menurutnya adalah bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama pada tataran etika agama, dan mempunyai tanggung jawab yang sama-sama
signifikan pada tataran fungsi sosial
DAFTAR PUSTAKA
Baidowi,
Ahmad. 2005. Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para
Mufassir Kontemporer. Bandung: Nuansa.
Dept.
Agama RI. 1982. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pelita III
Junaidi,
Abdul Basith. Et.al. 2009. Islam
dalam berbagai Pembacaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
KhalafAllah,
Muhammad Ahmad. 1965. Al-Fann Al-Qassasi fi Al-Qur’an Al-Karim. Kairo:
Maktab Al-Anjali Masriyyah.
Mutrofin.
2013. Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan dalam Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 3. No 1
Nata,
Abudin. 2000. Metodelogi Studi Islam,
Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Syihab,
Qurais. 1994. Membumikan Alquran (Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Mizan : Bandung
Wadud,
Amina. 2001. Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi
Tafsir. Terjemahan Abdullah Ali. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Yafie,
Ali. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta : Rajawali Pers
Online:
[1]
Ali Yafie, Sejarah dan Metodologi Tafsir, dalam
(http://khanwar.wordpress.com)
[3] Zulfikar Nasution, dalam
http://zulfikarnasution.wordpress.com
[4] Qurais Syihab. Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat), (Mizan : Bandung, 1994). Hlm.105
[5] Qurais Syihab. Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat), (Mizan : Bandung, 1994). Hlm.108
[6] Qurais Syihab. Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat), (Mizan : Bandung, 1994). Hlm.107-109
[7] Abudin Nata. Metodelogi Studi Islam, (Rajagrafindo
Persada : Jakarta, 2000). Hlm. 69
[8] Qurais Syihab. Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat), (Mizan : Bandung, 1994). Hlm. 86
[9] Mutrofin. Kesetaraan
Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan dalam Teosofi: Jurnal
Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 3. No 1. Juni 2013. Hlm.
237
[10] Mutrofin. Kesetaraan
Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan dalam Teosofi: Jurnal
Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 3. No 1. Juni 2013. Hlm.
237
[13] Mutrofin.
Kesetaraan Gender dalam Pandangan Amina Wadud dan Riffat Hassan dalam
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Vol. 3. No 1. Juni 2013. Hlm.
239
[14] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm . 9
[15] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 10
[16] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 11
[17] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 14
[18] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 32
[19] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 173
[20] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 22
[21] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 16
[22] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 17
[23] Abdul Basith Junaidi.
Et.a. Islam dalam berbagai Pembacaan
Kontemporer. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009).
Hlm. 393
[24] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 36
[25] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 38
[27] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 52
[30] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 57
[31] Muhammad Ahmad Khalaf
Allah. 1965. Al-Fann Al-Qassasi fi Al-Qur’an Al-Karim. Kairo: Maktab
Al-Anjali Masriyyah. Hlm. 185
[32] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 58
[33] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001). Hlm. 58
[34] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 45
[35] Ahmad Baidowi. 2005.
Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer.
Bandung: Nuansa. Hlm. 112-113
[36] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 75-76
[37] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 88
[38] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 92
[43] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 120
[45] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 127
[47] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 133
[48] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 134
[50] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 139
[51] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 146
[53] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 150-151
[55] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm.150
[57] Amina Wadud. Qur’an Menurut
Perempuan: Meluruskan Bias Gender dalam Tradisi Tafsir. Terjemahan Abdullah
Ali. (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Hlm. 146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar