Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH PARADIGMA ILMU PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut milyaran manusia di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman,
” Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.” (QS. 17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep apapun di dalam Islam akan membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep Pendidikan.
Berbicara tentang paradigma,  tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam filsafat ilmu yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan utama seperti; Bagaimana sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya? Bagaimana membedakannya dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi, ruang serta waktu.[1]


B.     Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan paradigma?
2.      Bagaimana paradigma ilmu pendidikan islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian paradigma
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works).[2] Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.[3]
Robert Friedrichs, yang mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.[4] Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatukan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salahsatu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Kuntowijoya mengutip pendapat beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang paradigma; Yang dimaksud dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau mode of inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai apa yang disebut skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.[5]
Norman K.Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi, ontologi, dan metodologi. Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan.[6]
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni[7] mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan:
1.      Apa yang harus dipelajari.
2.      Persoalan-persoalan apa yang harus dijawab.
3.      Bagaimana metode untuk menjawabnya.
4.      Aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.

B.     Paradigma Ilmu Pendidikan Islam
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “Memanusiakan manusia”. Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat kemanusiaan. Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia.[8] Maka di sini perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena proyek pemanusiaan ini sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
Maka Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life, dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya pendidikan sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan Tujuan Pendidikan Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi pertanyaan itu dapat dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi yang harus diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia, sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis, empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis, seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[9]
Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan:
1.       Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.[10] Adapun landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a.       Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
b.      Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
c.       Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya
d.      Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat”.[11]
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah (wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design tentang ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas Ilmu Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq : 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash : 81). [12]
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan kontemporer barat sambil mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook menyatakan bahwa perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.[13] Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang berusaha mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan. Konten pendidikan ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan Al-Quran dan Hadits masih bersifat global, maka konten pendidikan masih bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan paradigma pendidikan Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak ada salahnya jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain. Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak memilikinya”.[14] Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan mengadopsi pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang diadopsi tersebut mengandung suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mandiri berasal dari pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah menemukan konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa yang mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang berkaitan dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan hukum alam. Di satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat afaq dan anfus, sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu mendapatkan penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis, melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang universal dan komprehenshif. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa pengembangan pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis. Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek praktis dan kegunaannya. Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai justifikasi dan legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka. Upaya ini sebenarnya bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai penjabaran dan operasionalisasi universitas Islam. Islam memiliki nilai universal selalu akomodatif terhadap produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini bersumber dari pemikiran filsafat aliran progresifisme, esensialisme, perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila pemikiran masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah teruji validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam digali dari ajaran ideal Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan membangun premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis minornya, yaitu pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang kosong. Prosedur mekanisme model ini adalah:
1.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini lajimnya menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
2.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual (al-‘aql);
3.      menyelesaikan persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi (al-qalb aw al-dawq);
4.      menyelesaikan persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim kontemporer, seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya. Ciri utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami mungkin. Simbol-simbol dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia didasarkan atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami kegagalan, atau paling tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik dalam merumuskan system pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud pendekatan ini adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji persoalan yang lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain, perumusan system pendidikan Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di seputar kependidikan. Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
1.      asas-asas kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh pada aspek-aspek teknik oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan cukup digali dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
2.      konsep-konsep kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari Al-Quran dan As-Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang membahas hakikat Tuhan, manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan, yang membahas tentang epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam; dan (3) aksiologi pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan dalam pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).
3.      teori-teori kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam dari sudut yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena pendidikan yang berkembang pada orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia empiris tentang orang atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun teori-teori kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan Islam.

BAB III
PENUTUP

A.     kesimpulan
paradigma adalah cara masing-masing orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan
1.      Ilmu Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.
2.      Alasan kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam mengkaji fenomena kependidikan.
3.      Alasan ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Segala aspek kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam Islam, diarahkan untuk memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan paradigm Ilmu Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan Pendidikan nilai, Bandung: Alfabeta
Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm
hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi. Mizan: Bandung
Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, 1994. Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS: SAGE publications
Syafiie, Inu Kencana. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya
terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh.1982. Education theory: A Qur’anic Outlock, Mekkah: Umm al-Qura University
Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana


[1] Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat, (Bandung : Rafika Aditama, 2007), hal. 10
[2] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal. 38.
[3] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1, hal. 167-168
[4] Zaim Elmubarok, Membumikan Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal. 38
[5] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1, hal. 327
[6] Norman K.Denzin dan Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research, (Thousand OAKS: SAGE publications, 1994), hal. 99
[7] Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), cet ke-4, hal. 33
[9] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet ke-2, hal. 1
[10] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet ke-2, hal. 1-2
[12] hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
[13] terjemahan bebas dari ‘Abd al-Rahman Saleh, Education theory: A Qur’anic Outlock, (Mekkah: Umm al-Qura University,1982), hal. 35-36
[14] Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-jami’al-shahih wa huwa sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm, nomor 2887,hal. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar