BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Islam, agama yang kita anut dan dianut
milyaran manusia di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin
kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu
sendi utama yang esensial: Berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang
sebaik-baiknya. Allah berfirman,
”
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya.”
(QS. 17:9).
Kita yakini sepenuh hati, bahwa konsep
apapun di dalam Islam akan membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan jaminan
kebahagiaan di akhirat, termasuk konsep Pendidikan.
Berbicara tentang paradigma, tidak terlepas dari aspek epistemologi, dalam
filsafat ilmu yang disebut juga dengan istilah teori pengetahuan. Epistemologi
memiliki obyek telaah yang bersifat penjelas atas proses terbentuknya ilmu
pengetahuan yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan utama seperti; Bagaimana
sesuatu itu datang? Bagaimana kita mengetahuinya? Bagaimana membedakannya
dengan yang lain? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah
bentuk penegasan tentang hubungan sesuatu dengan situasi dan kondisi, ruang
serta waktu.[1]
B. Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan paradigma?
2. Bagaimana
paradigma ilmu pendidikan islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
paradigma
Istilah paradigma pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962). Paradigma dapat didefinisikan sebagai
kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a
conceptual framework or model within which a scientist works).[2]
Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular
dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap
absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan
menginterpretasikan data. Tegasnya setiap keputusan tentang apa yang menyusun
data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.[3]
Robert Friedrichs, yang
mempopulerkan istilah paradigma (1970), berpendapat, paradigma sebagai suatu
pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari.[4]
Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatukan
paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salahsatu
cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Kuntowijoya mengutip pendapat
beberapa tokoh dengan gaya bahasanya sendiri tentang paradigma; Yang dimaksud
dengan paradigma di sini, seperti yang yang difahami oleh Thomas Kuhn bahwa
pada dasarnya realitas sosial itu dikontruksi oleh Mode of Thought atau mode of
inquiry tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing
tertentu pula. Immanuel kant, misalnya menganggap “cara mengetahui” itu sebagai
apa yang disebut skema konseptual; Marx menamakannya sebagai ideologi; dan
Wittgenstein melihatnya sebagai cagar bahasa.[5]
Norman K.Denzin membagi paradigma
kepada tiga elemen yang meliputi; epistimologi, ontologi, dan metodologi.
Epistimologi mempertanyakan tentang bagaimana cara kita mengetahui sesuatu, dan
apa hubungan anatara peneliti dengan pengetahuan. Ontologi berkaitan dengan
pertanyaan mendasar tentang hakikat realitas. Metodologi memfokuskan pada
bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan.[6]
Dari definisi dan muatan paradigma
ini, Zamroni[7]
mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk
merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan:
1. Apa
yang harus dipelajari.
2. Persoalan-persoalan
apa yang harus dijawab.
3. Bagaimana
metode untuk menjawabnya.
4. Aturan-aturan
apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Berangkat dari hal tersebut di atas
maka, Zaim Elmubarok menyimpulkan bahwa paradigma adalah cara masing-masing
orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma
adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita
lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.
B. Paradigma
Ilmu Pendidikan Islam
Dalam Filsafat Pendidikan Islam,
Prof.Tafsir menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah “Memanusiakan manusia”.
Manusia perlu dibantu agar ia berhasil menjadi manusia. Seseorang dapat
dikatakan telah menjadi manusia apabila ia telah memiliki sifat kemanusiaan.
Itu meunjukkan bahwa tidak mudah untuk menjadi manusia.[8]
Maka di sini perlunya pendidikan sebagai sarana “Pemanusiaan” tadi. Karena
proyek pemanusiaan ini sangat sulit, maka tidak bisa instan, dan asal-asalan.
Maka Bertolak dari asumsi bahwa
life is education and education is life, dalam arti pendidikan merupakan
persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia
adalah proses pendidikan (Long life education), atau konsep Islamnya pendidikan
sepanjang hayat, -Minal mahdi ila lahdi- maka pendidikan Islam pada dasarnya
hendak mngembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam
sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam. Dan hal ini sejalan dengan
Tujuan Pendidikan Nasional.
Mungkinkah Islam dapat dijadikan
alternatif paradigma Ilmu Pendidikan? Satu sisi pertanyaan itu dapat
dibenarkan, sebab kajian Islam selalu bertolak dari dogmatika Illahi yang harus
diyakini kebenarannya, bukan bertolak dari realitas sosio-kultur manusia,
sedangkan persoalan-persoalan pendidikan lebih merupakan persoalan praktis,
empiris, dan pragmatis. Namun di sisi lain, pertanyaan tersebut perlu dikaji
ulang. Sebab, tidak semua persoalan pendidikan dapat dijawab melalui analisis
Objektif-empiris, tetapi justru membutuhkan analisis yang bersifat aksiomatis,
seperti persoalan keberadaan Tuhan, manusia, dan alam. Masalah-masalah ini
lebih mudah dikaji melalui pendekatan agama.[9]
Seperti yang sudah saya jelaskan di
awal tulisan, bahwa Islam yang memiliki sifat universal dan kosmopolit tak
terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun, termasuk dalam
ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu Pendidikan paling tidak
berpijak pada tiga alasan:
1. Ilmu
Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait
oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten
untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.[10]
Adapun landasan normatif Islam dalam hal pendidikan, sebagai berikut:
a. Islam
meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan
aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik
dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola
sikap yang islami).
b. Pendidikan
harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan
ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang
menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan.
Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan
shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
c. Pendidikan
ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik
yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan
meminimalisir aspek yang buruknya
d. Keteladanan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan
demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan
demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al
quran mengungkapkan bahwa “Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan)
yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari
akhirat”.[11]
2. Alasan
kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah
Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi
kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar
itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam
mengkaji fenomena kependidikan.
3. Alasan
ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan
kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan
ideologinya.
Makna Islam sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan Adalah suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami
realitas Ilmu Pendidikan sebagaimana Islam memahaminya. Konstruksi pengetahuan
itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki hikmah
(wisdom) yang atas dasar itu praktik pendidikan yang sejalan dengan nilai-nilai
normatif Islam. Pada taraf ini, Paradigma Islam menuntut adanya grand design
tentang ontologi,epistemologi, dan aksiologi pendidikan.
Fungsi paradigma ini pada dasarnya
untuk membangun perspektif Islam dalam rangka memahami realitas Ilmu
Pendidikan. Tentunya hal ini harus ditopang oleh konstruksi pengetahuan yang
menempatkan wahyu sebagai sumber utamanya, yang pada gilirannya terbentuk
struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas pendidikan.
Islam sebagai Paradigma Ilmu
pendidikan juga memiliki arti konstruksi sistem pendidikan yang didasarkan atas
nilai-nilai universal Islam. Bangunan sistem ini tentunya berpijak pada
prinsip-prinisp hakiki, yaitu prinsip at-tauhid, prinsip kesatuan makna
kebenaran dan prinsip kesatuan sumber sistem. Dari prinsip-prinsip tersebut
selanjutnya diturunkan elemen-elemen pendidikan sebagai World of view, terhadap
pendidikan.
Paradigma Islam, yaitu paradigma
yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam
menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam –yang terwujud dalam
apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits– menjadi qa’idah fikriyah
(landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh
bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia
untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari
aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali turun:
“Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. al-‘Alaq : 1).
Ayat ini berarti manusia telah
diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman.
Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena
iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah,
yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash : 81). [12]
Persoalan yang muncul kemudian
adalah apakah Islam memiliki sistem pendidikan tersendiri? Ataukah sistem Pendidikan
Islam itu hanya mengadopsi sistem pendidikan kontemporer barat sambil
mencantumkan beberapa haidts dan ayat-ayat Al-Qur’an yang mendukungnya?
Rumusan system pendidikan Islam
harus dikaitkan dengan pemikiran filosofis pendidikan Islam. ‘Abd al-Rahman
Salih ‘Abd Allah dalam Education Theory: A Quranic Outlook menyatakan bahwa
perumusan system pendidikan Islam dapat dilakukan melalui dua corak.[13]
Pertama, corak yang menghendaki adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup dan
kehidupan nonmuslim. Corak ini berusaha meminjam konsep-konsep non-Islam dan
menggabungkannya ke dalam pemikiran pendidikan Islam. Kedua, corak yang
berusaha mengangkat pesan besar Illahi ke dalam kerangka pemikiran pendidikan.
Konten pendidikan ini berasal dari Al-Quran dan Hadits. Oleh karena keberadaan
Al-Quran dan Hadits masih bersifat global, maka konten pendidikan masih
bersifat asas-asas dan prinsip-prinsip pendidikan.
Kedua corak pemikiran yang
ditawarkan di atas merupakan kerangka dasar bagi bangunan paradigma pendidikan
Islam. Asumsi yang mendasari kelompok pertama adalah bahwa tidak ada salahnya
jika pemikir muslim meminjam atau bahkan menemukan kebenaran dari pihak lain.
Nabi Muhammad SAW dalam suatu haditsnya bersabda: “Hikmah itu merupakan barang
yang hilang, jika ditemukan dari mana saja datangnya, maka ia berhak
memilikinya”.[14]
Hadits ini memberikan sinyalemen agar pemikir muslim tidak segan-segan
mengadopsi pemikiran pendidikan non-Islam, dengan catatn pemikiran yang
diadopsi tersebut mengandung suatu kebenaran.
Sejarah telah membuktikan, bahwa
kemunculan pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mandiri berasal dari
pemikir-pemikir nonmuslim. Melalui metode empirisnya, mereka telah menemukan
konsep dan teori pendidikan, sehingga mereka banyak memberikan kontribusi bagi
berbagai disiplin ilmu lain yang berhubungan dengan pendewasaan manusia. Apa
yang mereka lakukan sebenarnya merupakan pemahaman terhadap suunah Allah yang
berkaitan dengan prilaku manusia, meskipun asumsi yang digunakan berlandaskan
hukum alam. Di satu sisi upaya mereka merupakan pengejawantahan dari firman
Allah SWT dalam QS. Fushshilat ayat 53; “Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri(anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar.
Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu?” Dalam arti, mereka telah mempelajari ayat-ayat afaq dan anfus,
sebagai phenomena alam. Namun di sisi yang lain, upaya mereka perlu mendapatkan
penyucian (tazkiyah), dari yang netral etik menjadi yang sarat ideologis,
melalui proses islamisasi pendidikan.
Asumsi pemikiran kelompok kedua
adalah bahwa Islam merupakan system ajaran yang universal dan komprehenshif.
Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkauan
ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-An,am ayat 38; “Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat di atas memberikan
isyarat bahwa pengembangan pendidikan Islam cukup digali dari sumber autentik
Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
Corak pertama bersifat pragmatis.
Artinya, corak yang lebih mengutamakan aspek-aspek praktis dan kegunaannya.
Formulasi system pendidikan Islam dapat diadopsi dari sistem pendidikan
kontemporer Barat yang sudah mapan. Transformasi ini tentunya mendapatkan
legalitas dari Al Quran dan Sunnah. Jadi, nash di sini hanya berfungsi sebagai
justifikasi dan legitimasi keberadaan system pendidikan kontemporer belaka.
Upaya ini sebenarnya bukanlah bermaksud mengadakan interpretasi adaptif, tetapi
lebih jauh upaya ini berfungsi sebagai penjabaran dan operasionalisasi
universitas Islam. Islam memiliki nilai universal selalu akomodatif terhadap
produk peradaban, selama produk tersebut secara asasiah tidak bertentangan
dengan nilai dasar Islam.
Sistem pendidikan Islam model ini
bersumber dari pemikiran filsafat aliran progresifisme, esensialisme,
perenialisme, pragmatism dan rekonstruksianisme. Apabila pemikiran
masing-masing aliran tersebut sejalan dengan nash, maka pemikirannya itu
dijadikan sebagai wacana pendidikan Islam. Tetapi jika bertentangan, maka
pemikirannya ditolak. Model pragmatis ini banyak diminati oleh para ahli
pendidikan Islam. Di samping efektif dan efisien, model ini telah teruji
validitasnya dari masa-ke masa.
Sedangkan corak kedua bersifat
idealistis. Artinya, formulasi system pendidikan Islam digali dari ajaran ideal
Islam sendiri. Corak ini menggunakan pola piker deduktif, dengan membangun
premis mayor(sebagai postulasi) yang dikaji dari nash. Bangunan premis mayor
ini dijadikan sebagai “kebenaran universal” untuk diterapkan pada premis
minornya, yaitu pendidikan. Dari proses ini akhirnya mendapatkan teori mengenai
system pendidikan Islam.
Model idealistis ini membutuhkan
kerja ekstra, karena harus berawal dari ruang yang kosong. Prosedur mekanisme
model ini adalah:
1. menyelesaikan
persoalan kependidikan berdasarkan nash secara langsung. Prosedur ini lajimnya
menggunakan metode tematik (mawdlui), yaitu mengklasifikasikan ayat atau hadits
menurut kategorinya, kemudian menyimpulkannya berdasarkan kategori tersebut;
2. menyelesaikan
persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para filsuf muslim, seperti Ibn
Sina, Ibn Rusyd, Ibnu Bajjah, Ikhwan al-Shffah, al-Razi dan sebagainya. Ciri
utama interpretasi kelompok ini adalah mengutamakan pendidikan intelektual
(al-‘aql);
3. menyelesaikan
persoalan kependidikan berdasarkan interpretasi para sufi muslim, seperti
al-Ghazali, Ibn Arabi, Rabiah al-Adawiyah, al-Jilli, dan sebagainya. Ciri utama
interpretasi kelompok ini adalah sangat mengutamakan pendidikan intuisi
(al-qalb aw al-dawq);
4. menyelesaikan
persoalan pendidikan berdasarkan interpretasi para pemikir muslim kontemporer,
seperti Iqbal, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, al-Afghani dan sebagainya. Ciri
utama interpretasi kelompok ini adalah hasil interpretasinya didukung oleh data
ilmiah.
Kelebihan corak idealistis ini
adalah: (1) ia dapat memproyeksikan bentuknya seislami mungkin. Simbol-simbol
dan substansi pendidikan diturunkan dari terminology Islam.; (2) ia didasarkan
atas kerangka dasar yang diyakini mutlak kebenarannya dan mengandung
nilai-nilai universal. Sedangkan kelemahannya adalah umat Islam belum mempunyai
metodologi yang sebaik di Barat. Sehingga upaya ini dikhawatirkan mengalami
kegagalan, atau paling tidak mengalami keterlambatan, sementara kemajuan system
Barat semakin kokoh dan melaju.
Untuk menghindari fanatisme dan
kelemahan suatu model, maka pendekatan terbaik dalam merumuskan system
pendidikan Islam adalah dengan pendekatan eklektik. Maksud pendekatan ini
adalah mengambil suatu model yang dianggap terbaik untuk memecahkan dan
mengkaji suatu persoalan, dan mengambil model yang lain untuk mengkaji
persoalan yang lain jika pengambilan itu dirasa terbaik. Dengan kata lain,
perumusan system pendidikan Islam dapat menggunakan pendekatan campuran, antara
yang pragmatis dan yang idealistis.
Pendidikan Islam merupakan salah
satu disiplin ilmu keislaman yang membahas objek-objek di seputar kependidikan.
Pemahaman hakikat pendidikan Islam sebenarnya tercermin di dalam sejarah dan
falsafah Islam sendiri, sebab setiap proses pendidikan tidak terlepas dari
objek-objek keislaman. Pendidikan Islam semula mengambil bentuk sebagai:
1. asas-asas
kependidikan. Asas-asas kependidikan yang dimaksud terakumulasi di dalam
Al-Quran dan As-Sunnah. Tak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan,
yang luput dari jangkauan ajaran Islam, sekalipun cakupannya tidak menyentuh
pada aspek-aspek teknik oprasional. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’am ayat
38: “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” Dan QS. Al-Nahl ayat 89; “Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. Dua ayat
di atas memberikan isyarat bahwa perumusan pengembangan pendidikan cukup digali
dari sumber autentik Islam, yaitu Al Quran dan Hadits.
2. konsep-konsep
kependidikan. Konsep-konsep kependidikan yang dimaksud merupakan hasil
pemikiran, perenumgan dan interpretasi para ahli yang diinspirasikan dari
Al-Quran dan As-Sunnah, baik tentang konsep: (1) ontologi pendidikan, yang
membahas hakikat Tuhan, manusia dan alam yang menjadi kajian utama dalam
pendidikan Islam; (2) epistemologi pendidikan, yang membahas tentang
epistemologi dan metodologi dalam pendidikan Islam; dan (3) aksiologi
pendidikan, yang membahas tentang sisyem nilai yang dikembangkan dalam
pendidikan Islam. Ketiga aspek tersebut telah terumuskan begitu rapi dari para
filsuf Muslim (seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibn Maskawaih, dan Ibnu
Rusyd) dan para sufi (seperti al-Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Ibnu Qayyim).
3. teori-teori
kependidikan. Teori-teori kependidikan yang dimaksud merupakan hasil kerja
ilmiah dalam melihat pendidikan. Para ahli tidak lagi melihat pendidikan Islam
dari sudut yang ideal dan normative yang bersumber dari asas dan konsep
pendidikan Islam, tetapi lebih melihat dari sisi yang nyatanya. Sumber dari
tata kerja ilmiah ini digali dari fenomena pendidikan yang berkembang pada
orang atau masyarakat Islam. Apa yang terjadi di dunia empiris tentang orang
atau masyarakat Islam dijadikan sebagai rujukan dalam membangun teori-teori
kependidikan Islam. Dalam kontesk ini, persyaratan ilmiah (seperti riset dan
eksperimen) menjadi bagian integral dalam membangun teori-teori pendidikan
Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. kesimpulan
paradigma adalah cara masing-masing
orang memandang dunia, yang belum tentu cocok dengan kenyataan. Paradigma
adalah petanya, bukan wilayahnya. Paradigma adalah lensa kita, lewat mana kita
lihat segalanya, yang terbentuk oleh cara kita dibesarkan, pengalaman, serta
pilihan-pilihan.
Islam yang memiliki sifat universal dan
kosmopolit tak terbantahkan untuk bisa merambah ke ranah kehidupan apa pun,
termasuk dalam ranah pendidikan. Ketika Islam dijadikan Paradigma Ilmu
Pendidikan paling tidak berpijak pada tiga alasan
1. Ilmu
Pendidikan sebagai ilmu humaniora tergolong ilmu normatif, karena ia terkait
oleh norma-norma tertentu. Pada taraf ini, nilai-nilai Islam sangat berkompeten
untuk dijadikan norma dalam Ilmu Pendidikan.
2. Alasan
kedua adalah, dalam menganalisis masalah pendidikan, para ahli selama ini
cenderung mengambil teori-teori dan falsafah Pendidikan Barat. Falsafah
Pendidikan Barat lebih bercorak sekuler yang memisahkan berbagai dimensi
kehidupan. Sedangkan masyarakat Indonesia lebih bersifat religius. Atas dasar
itu, nilai-nilai ideal Islam sangat memungkinkan untuk dijadikan acuan dalam
mengkaji fenomena kependidikan.
3. Alasan
ketiga adalah dengan menjadikan Islam sebagai Paradigma , maka keberadaan Ilmu
Pendidikan memiliki ruh yang dapat menggerakkan kehidupan spiritual dan
kehidupan yang hakiki. Tanpa ruh ini berarti pendidikan telah kehilangan
ideologinya.
Tak terbantahkan lagi bahwa Islam adalah
agama yang sempurna. Segala aspek kehidupan manusia di atur di dalamnya. Tak
terkecuali masalah pendidikan. Pendidikan di dalam Islam, diarahkan untuk
memanusiakan manusia, dengan bahasa lain untuk mengembalikan manusia kepada
fitrahnya. Manusia adalah makhluk yang taat, tunduk patuh kepada aturan, selalu
condong kepada kebenaran.Maka jelas di sini bahwa ketika Islam dijadikan
paradigm Ilmu Pendidikan, produk dari pendidikan itu sendiri akan sesuai dengan
nilai-nilai Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir.
2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Elmubarok, Zaim. 2009. Membumikan
Pendidikan nilai, Bandung: Alfabeta
Hadits Riwayat At-Tirmidzi dari Abu
Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-jami’al-shahih wa
huwa sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm
hayatulislam.multiply.com/journal/item/,
akses tgl 22 deseber 2014
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma
Islam, Interpretasi untuk aksi. Mizan: Bandung
Norman K.Denzin dan Yvonna
S.Lincoln, 1994. Handbook of qualitative Research, Thousand OAKS: SAGE
publications
Syafiie, Inu Kencana. 2007.
Pengantar Filsafat. Bandung : Rafika Aditama
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat
Pendidikan Islam, Bandung: Rosdakarya
terjemahan bebas dari ‘Abd
al-Rahman Saleh.1982. Education theory: A Qur’anic Outlock, Mekkah: Umm
al-Qura University
Zamroni. 1992. Pengantar
Pengembangan Teori sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
[1] Inu Kencana Syafiie, Pengantar
Filsafat, (Bandung : Rafika Aditama, 2007), hal. 10
[2] Zaim Elmubarok, Membumikan
Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal. 38.
[3] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1, hal. 167-168
[4] Zaim Elmubarok, Membumikan
Pendidikan nilai, (Bandung: Alfabeta 2009), cet.2,hal. 38
[5] Kuntowijoyo, Paradigma
Islam, Interpretasi untuk aksi, (Mizan: Bandung 1991), cet.1, hal. 327
[6] Norman K.Denzin dan
Yvonna S.Lincoln, Handbook of qualitative Research, (Thousand OAKS: SAGE
publications, 1994), hal. 99
[7] Zamroni, Pengantar
Pengembangan Teori sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1992)
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2010), cet ke-4, hal. 33
[9] Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet ke-2, hal.
1
[10] Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana, 2008), cet ke-2, hal.
1-2
[12]
hayatulislam.multiply.com/journal/item/, akses tgl 22 deseber 2014
[13] terjemahan bebas dari
‘Abd al-Rahman Saleh, Education theory: A Qur’anic Outlock, (Mekkah: Umm
al-Qura University,1982), hal. 35-36
[14] Hadits Riwayat
At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Lihat Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Saurah, al-jami’al-shahih
wa huwa sunan al-Turmuzi, (Beirut: Dar al-Ahya’, t.t), kitab al-‘ilm, nomor
2887,hal. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar