MAKALAH MUTIARA PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IKHWAN
AL-SHAFA
A.
Pendahuluan
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada
beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan
pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti
al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya.
Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok
masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi
yang bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang
dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini juga mengajarkan tentang
dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah
Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan
sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.[1]
Hal ini berdasarkan sebuah hadis:
(لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ
أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ).
Ikhwan al-Shafa muncul setelah wafatnya al-Farabi. Kelompok ini telah
berhasil menghimpun pemikirannya dalam sebuah ensiklopedi tentang ilmu
pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan “Rasail Ikhwan al-Shafa”.
Identitas pemuka mereka tidak terang karena mereka bersama anggota mereka
memang merahasiakan diri.[2]
Sebagai kelompok rahasia, Ikhwan al-Shafa dalam merekut anggota baru
dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang
terpercaya.[3]
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tirai
rahasia yang disimpan Ikhwan al-Shafa sebagai salah satu organisasi militan
yang lebih suka merahasiakan dirinya. Melalui karya monumental, Rasail
Ikhwan al-Shafa, kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Ikhwan
al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
B.
Sejarah Ikhwan
al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan
as-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi
rahasia yang aneh dan misterius[4]
yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10
Masehi.
Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan
Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka.
Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl
al-Hamd wa Abna’ al-Majd.
Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang
sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah,
sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan
nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar
tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman
Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan
Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid
bin Rifa’ah yang terkenal itu.[5]
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah
ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa
Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang
mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail
ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar
di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008).
Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan
Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat
kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan
Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab
ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur
pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan,
disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6)
”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis,
dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri
atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara
kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles.
Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak
terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah
”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu
sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta
erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan,
akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian,
tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir
hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.[6]
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat
menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang
terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya
yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah
(Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar,
Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah
pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min
Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim
dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat
al-Jami’ah. [7]
C.
Pemikiran Ikhwan
al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1.
Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan
menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il
matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik,
seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk,
gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam,
tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos,
suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan
teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi
fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta,
kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah
Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani,
tatanegara, struktur alam, dan magis.[8]
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat
diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1)
Dengan pancaindera. Pancaindera
hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah
ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang
dan waktu.
2)
Dengan akal prima atau berpikir
murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3)
Melalui inisiasi. Cara ini
berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini
seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru
dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya
dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya
dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir.[9]
Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri. [10]
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang
bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih
putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu,
maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[11]
Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme).
Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera
berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di
dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.[12]
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir,
jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh
pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh).
Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah)
kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada
mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses
manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan
inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya
pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya
disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat)
sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat)
untuk kemudian siap direproduksi.[13]
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep
fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi
dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir
manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong).[14]
Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat,
sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan
teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua
ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu
yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat
yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi)
sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa
manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa
yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa
jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala
sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu
terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu
ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[15]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan
al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka
mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak
memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan
ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri
sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama
ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori,
yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi
tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan
menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut
Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui
pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena
ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.[16]
b. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab
alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib.
Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa
yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya
Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada
posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1)
Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan
dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2)
Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang
usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan
bersikap dermawan.
3)
Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah
berusia 40 tahun.
4)
Tingkatan yang mengajak manusia
untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan,
menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50
tahun.
3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka
memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam
pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang
dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara
historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun.
Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani,
untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis
dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak
menyinggung perasaan siapa pun.[17]
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din,
yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama
sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan
jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk
beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk
semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari
kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita
maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam
istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya
komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak
yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan.
Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di
dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan,
pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga
harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya
orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang
memahami tema-tema ini secara harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia
(Allah) menurunkan hujan dari langit (al-Hajj 63), juga harus
dipahami secara simbolik: air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.[18]
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks
Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin)[19]
dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran
Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran
kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com
:
Rasail adalah
upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang
telah menjadi “barang antik”. Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari
ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara
implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis,
diantaranya:
a.
Pengingkaran kebangkitan manusia
dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b.
Perbedaan interpretasi surga dan
neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c.
Bantahan implikasi setan seperti
yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk
jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk
yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d.
Interpretasi makna kafir dan azab
secara maknawi.
e.
Keyakinan bahwa derajat kenabian
bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f.
Statemen berbunyi siapa yang telah
mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek
ibadah/syariat.
g.
Kecondongan pada keyakinan Syi’ah
seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara
dari ahli bait (keturunan Nabi).
h.
Seruan terhadap pluralisme agama[20]
serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak
diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani.
Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail
ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak
bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna
esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam
yang tidak bisa berpikir mandiri. Penafsiran esotoris ini lebih banyak
dipengaruhi oleh paham Syiah.[21]
4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu
bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat
wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan
berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada
empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan
mempunyai bagian-bagian, yaitu:
- mengetahui Tuhan;
- ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
- ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
- ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
- ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.[22]
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan
filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike)
sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan
disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat
mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan
keyakinan itu.[23]
Dalam memandang antara filsafat dan agama,
Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan
agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan
manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan
teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan
antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni
bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat
terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin)
dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna
eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate.
Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr),
kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran
eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan
kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan
kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam
fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat
menetapnya jiwa dan alam raya”. [24]
D. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam
militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah
ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat
memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat,
dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah
menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir
Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum
terurai. Wallahu A’lam.
Daftar
Pustaka
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar
al-Ma’arif, tt)
Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta:
Djambatan 2003)
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.)
oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002)
Farrukh, Omar A. dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat
Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004)
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1996)
Iman, Muis Sad, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2004)
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1985), hal. 215
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997).
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,
Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Qadir, C.A, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991)
[2] www.ikaari.multiply.com.
Diunduh pada tanggal 15 Desember 2014, jam 16.45 wib. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran
Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan 2003) hal. 84
[3] Rasail Ikhwan al-Shafa,
hal. 114 atau Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran
Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendekia, 2004), hal. 183
[4] “Having been hidden within the cloak of secrecy from its very
inception, the Rasa’il have provided many points of contention and have been a
constant source of dispute among both Muslim and Western scholars. The
identification of the authors, or possibly one author, the place and time of
writing and propagation of their works, the nature of the secret brotherhood,
the outer manifestation of which comprises the Rasa’il – these and many
secondary questions have remained without answer.” pg 25, Nasr (1964). They are
generally considered a secret society because of their closed & private
meetings every 12 days, as mentioned in the Rasa’il. (www.wikipedia.org). Diunduh pada tanggal 15, Desember
2014 jam. 16.45 wib.
[6] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.)
oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
[10] (www.mindarakyat2.tripod.com.
Diunduh pada tanggal 16 Desember 2014 18.22 wib.
[12] Ahmad Fuad al-Ahwani, Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-Ma’arif,
tt), hal. 227-228 atau Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hal. 184
[13] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99
[14] Sebagaimana pendapat Hasan Langgulung yang dikutip oleh Muis
Sad Iman, Fitrah adalah potensi dasar yang baik. Fitrah mempunyai beberapa
komponen. Pertama,
potensi/ kemampuan dasar untuk beragama Islam, karena Islam adalah
agama fitrah. Kedua,
Nawahib dan Qabiliyat (tendensi/kecenderungan) yang mengacu kepada keimanan
kepada Allah. Ketiga,
Naluri dan kewahyuan (revealasi). Keempat, kemampuan dasar beragama (tidak mesti
Islam), maksudnya tidak mungkin seseorang itu Atheis. (Muis Sad Iman, Pendidikan
Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hal 25
atau Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1985), hal. 215
[16] Baca C.A. Qadir, Filsafat
Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1991), hal. 59 atau Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis, hal. 99
[19] Tafsir Esoteris Qur’an dalam
www.telagahikmah.org.
Diunduh tanggal 15 Desember 2014 jam 12.14 wib).
[20] Walaupun Ikhwan al-Shafa menyerukan pluralisme agama, mereka
berpendapat bahwa agama terbaik dan paling sempurna (par
exellence) adalah Islam. Al-Qur’an menghapuskan (mengakibatkan
tidak berlakunya hukum) semua kitab yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an sebagau
kitab terakhir mengukuhkan isi (inti) kitab-kitab sebelumnya dan menghapuskan
apa-apa yang bertentangan dengan ajarannya. Nabi Muhammad saw. adalah pemimpin
(kepala) semua nabi dan beliau adalah nabi terakhir. Dia adalah penguasa atas
segala penguasa; pada diri beliau Allah telah menyatukan unsur-unsur
kepemimpinan dan kenabian, jadi para pengikutnya dapat menikmati kebahagiaan di
dunia dan akhirat. (Omar A. Farrukh, hal. 215-216)
[21] baca lebih lanjut, el-Hurr, Tafsir Esoteris Qur’an www.telagahikmah.org. atau Abdur-rahman
Habil, Tafsir-tafsir Esoteris al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar