BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pada garis berasnya, penafsiran Al-Qura’an itu di lakukan melalui empat
macam metode, yaitu: metode metode ijmali seorang mufasir langsung
menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan
judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di
dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga
mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Metode Tahliliy (Analisis)
ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. metode muqarin (komparatif),
metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan.
Sejarah lahirnya tafsir Al-Misbah oleh
Quraish Shihab, yang berbentuk tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama
kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas
alAzhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960.
Tafsir al-Misbah mempunyai corak atau aliran tafsir yang diikuti Quraish
Shihab dalam tafsir al-misbahnya adalah tafsir Adabi al-Ijtima'i, yaitu corak
penafsiran al-Qur'an yang tekanannya bukan hanya ke tafsir lughawi, tafsir
fiqh, tafsir ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan
pada kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat yang kemudian disebut corak
tafsir Adabi al-Ijtima'i.
A.
Rumusan Masalah
1.
Metologi tafsir apa yang digunakan
oleh Quraisy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah?
2.
Apa saja kelebihan dan kelemahan
pendekatan yang digunakan oleh Quraisy Shihab?
B.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk dapat memahami metode tafsir
yang di gunakan oleh Quraisiy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
2.
Dapat mengetahui kelebihan dan
kekurangan pendekatan yang digunakan oleh Quraisy Shihab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan tafsir Quraisy
Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
1.
Biografi Quraisy Shihab
Nama lengkapnya
adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang
Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar.
Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam
bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh
pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan.
Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua
perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI),
sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan
IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua
perguruan tinggi tersebut, UMI tahun 1959-1965 dan IAIN Alauddin 1972-1977.[1]
Sebagai putra dari
seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih
kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak
anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah
menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish
kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur
6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya
sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara
sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya
kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[2]
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang. Setelah itu ia
melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri”
di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami
studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo,
pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia
melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan
Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S1).
Dua tahun kemudian (1969), beliau berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang
sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan
al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.[3]
Pada
tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujung Pandang oleh ayahnya yang ketika itu
menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia
diangkat menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun
1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya
yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu.
Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti
koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur,
pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan
sederetan jabatan lainnya di luar kampus.[4]
Untuk
mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab
kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam
studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar
doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li
al-Biqa’i Tahqiq wa DirasahNazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)”
berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan
penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al- Ula (sarjana teladan
dengan prestasi istimewa). Dengan prestasinya itu, dia tercatat sebagai orang
Asia pertama yang meraih gelar tersebut.[5]
(Suatu Kajian terhadap Kitab.
Sekembalinya
ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan
Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, di luar kampus,
dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih
al-Quran Departemen Agama (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat
dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan
Ilmu-ilmu Syari'ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI). Ia diangkat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996
dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri
Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian
diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia
untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti
berkedudukan di Kairo.Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang
dilaluinya, nampak bahwa hal itulah yang menjadikannya seorang yang mempunyai
kompetensi yang cukup menonjol dan mendalam dalam bidang tafsir al-Qur’an di
Indonesia. Dengan kata lain, menurut Howard M. Federspiel, kondisi diatas menjadikan
M. Quraish Shihab terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua
pengarang-pengarang lainnya yang terdapat dalam Kajian al-Qur’an di
Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab.[6]
Di
sela-sela kesibukannya, M. Quraish Shihab juga terlibat di berbagai kegiatan
ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalak keaktifannya dalam kegiatan tulis-menulis, baik itu di jurnal, surat
kabar maupun dalam buntuk buku yang telah diterbitkan. Di antara karya monumentalnya
adalah Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
2.
Karya-Karya M. Quraish Shihab
A.
Pertama: Karya-karya di bidang
Tafsir
·
Tafsir Mawdhû’î
(tematik)Tafsir al-Qur’an yang disusun berdasarkan
tema-tema tertentu. Berikut karya-karya M. Quraish Shihab yang merupakan tafsir
tematik atau menggunakan pendekatan tafsir tematik:
Ø
Wawasan al-Qur’an (Mizan, 1996)
Ø
Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000)
Ø
Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asmâ’
al-Husnâ dalam Perspektif al-Qur’an (Lentera Hati, 1998)
Ø
Yang Tersembunyi: Jin, Malaikat,
Iblis, Setan (Lentera Hati, 1999)
Ø
Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah,
Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer
(Lentera Hati, 2004)
Ø
Perempuan [Dari Cinta Sampai Seks,
Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru] (Lentera Hati, 2004)
Ø
Pengantin al-Qur’an (Lentera Hati, 2007)
a.
Tafsir Tahlîlî
Tafsir al-Qur’an yang disusun berdasarkan urutan ayat ataupun surah dalam
mushaf al-Qur’an dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan dengannya. Karya
M. Quraish Shihab yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
Ø
Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah
al-Fâtihah (Untagma, 1988)
Ø
Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir
atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah, 1997)
Ø
Tafsir al-Mishbah (Lentera Hati, 2000)
Ø
Perjalanan Menuju Keabadian:
Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil (Lentera Hati, 2001)
Ø
Menjemput Maut: Bekal Perjalanan
Menuju Allah swt. (Lentera Hati, 2002)
b.
Tafsir Ijmali (global)
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan
makna ayat secara garis besar, dengan mengikuti urutan surah-surah dalam
al-Qur’an sebagaimana metode Tahlîlî. Karya M. Quraish Shihab yang menjelaskan
intisari kandungan ayat-ayat al-Qur’an ini yaitu:
Ø Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an (Lentera Hati, 2012)
c.
Terjemah al-Qur’an.
Berawal dari ketidakpuasan M. Quraish Shihab terhadap terjemahan al-Qur’an
yang banyak beredar selama ini, karya ini lahir. Banyak ulama menegaskan bahwa
al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan, karena tak ada
bahasa di dunia yang cukup kaya untuk merangkum seluruh makna yang
dikandungnya. Oleh karenanya, karya beliau ini diberi judul:
·
Al-Qur’an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010)
B.
Maqâlât Tafsîriyyah (Artikel-artikel Tafsir):
·
Membumikan al-Qur’an (Mizan, 1992)
·
Lentera Hati (Mizan, 1994)
·
Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan
Dinamika Kehidupan Masyarakat (Lentera Hati, 2006)
·
Membumikan al-Qur’an Jilid 2 (Lentera Hati, 2011)
C.
Ulumul Qur’an dan Metodologi Tafsir
·
Tafsir al-Manar:
Keistimewaan dan Kelemahannya* (IAIN Alauddin, 1984)
·
Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya
Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (*diterbitkan kembali oleh Pustaka
Hidayah Bandung, 1994)
·
Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis
atas Tafsir al-Manar (*diterbitkan kembali oleh Lentera
Hati, 2005)
·
Filsafat Hukum Islam (Departemen Agama, 1987)
·
Mukjizat al-Qur’an (Mizan, 1996)
·
Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013)
D.
Tsaqâfah Islâmiyah (Wawasan
Keislaman)
·
Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998)
·
Dia Di Mana-Mana (Lentera Hati, 2004)
·
Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan
Doa (Lentera Hati, 2006)
·
Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan
Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati, 2005)
·
Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Lentera
Hati, 2007)
·
Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati, 2007)
·
Yang Sarat dan yang Bijak (Lentera Hati, 2007)
·
M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal
Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2008)
·
Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban
Islam di Tengah Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi
al-Qur’an, 2008)
·
Berbisnis dengan Allah (Lentera Hati, 2008)
·
Doa Harian bersama M. Quraish Shihab
(Lentera Hati, 2009)
·
M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal
Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010)
·
Membaca Sirah Nabi Muhammad saw.
dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih (Lentera
Hati, 2011)
·
Doa Asmaul Husna: Doa yang Disukai
Allah (Lentera Hati, 2011)
·
Haji dan Umrah Bersama M. Quraish
Shihab (Lentera Hati, 2012)
·
Kematian adalah Nikmat (Lentera Hati, 2013)
·
M. Quraish Shihab Menjawab
pertanyaan Anak tentang Islam (Lentera Hati, 2014)
3.
Metode M. Quraish Shihab
dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Dalam
perkembangan ilmu tafsir secara umum paling tidak terdapat empat macam metode
tafsir, yaitu: metode ijmali (Global), metode tahlli (analitis,
metode muqaranmaudhu’i (tematik). Maka untuk lebih jelasnya, penulis
berusaha menguraikan secara singkat masing-masing metode tersebut, sebagai berikut:
a.
Metode ijmali adalah
menafsiran ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global.
Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling
berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an
sendiri dengan menambahkan kalimat penghubung, sehingga memudahkan para pembaca
dalam memahaminya. Dalam metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan
menyajikan asbabun nuzulnya ayat dengan meneliti hadis yang berhubungan
dengannya, sejarah dan asar dari salaf as-Salih.
b.
Metode tahlili yaitu suatu
metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung al-Qur’an yang urutannya
disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an. Penjelasan
makna-makna tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya,
susunan kalimatnya, asbabun nuzulnya serta keterangan yang dikutip dari
nabi, sahabat maupun tabi'in.
c.
Metode muqaran yaitu
menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Perbandingan ini meliputi tiga hal
yakni: perbandingan antar ayat, perbandingan antara ayat al-Qur’an dengan hadis
dan perbandingan penafsiran antar mufassir.Metode maudhu’i adalah
metode yang membahas d. ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang
telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara
mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab
al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas,
serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an,
hadis, maupun pemikiran rasional.[7]
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia
mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai
macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an.
Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama: membahas satu surat al-Qur’an
dengan menghubungkan maksud antar ayat serta pengertiannya, secara menyeluruh.
Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Kedua: menghimpun
ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, lalu dianalisis, kemudian
dari sana dapat ditarik sebuah kesimpulan. Biasanya model ini diletakkan di
bawah bahasan tertentu.[8]
M. Quraish Shihab sendiri lebih memilih metode
tahlili dan maudhu’i dalam penafsiran al-Qur’an. M. Quraish
Shihab pada awalnya lebih mengandrungi metode tafsir maudlu’i daripada
metode-metode tafsir lainnya, ini seperti yang pernah ia tulis dalam bukunya
yang berjudul Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat.M. Quraish Shihab nenggunakan metode ini
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak
keistimewaan. Di antaranya adalah:
1.
Menghindari problem atau kelemahan
metode yang lain.
2.
Menafsirkan ayat dengan ayat atau
dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur-an.
3.
Kesimpulan yang dihasilkan mudah
dipahami.
4.
Membuat pemahaman menjadi utuh.[9]
Namun
metode maudhu’i dalam penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir
yang menggunakan metode ini dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang
berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk
menghadirkan “dalam benaknya” pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya
dan munasabah antar ayatnya.
Metode
yang diterapkan M. Quraish Shihab pada dasarnya merupakan metode yang pernah
dikemukakan oleh al-Farmawi.Ada beberapa langkah dalam metode ini yaitu:
1.
Menetapkan masalah yang dibahas (topik bahasan).
2.
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai
dengan pengetahuan tentang asbabun nuzulnya.
4.
Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5.
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6.
Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun
ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama.
Akan
tetapi pada lain waktu, M. Quraish Shihab menulis Tafsir al-Qur’an: Tafsir
atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, dengan
menggunakan metode tahlili (analitis). Uraian-uraian yang terdapat
dalam tafsir ini merujuk pada al-Qur’an dan sunnah. Menurutnya, menerapkan
metode maudhu’i, tidaklah menjadikan seorang mufassir boleh mengabaikan
metode talili, karena uraian-uraian yang tersaji dalam metode tahlili,
sangat diperlukan dalam uraian yang bersifat maudhu’i.[10]
Yang menarik adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau
ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian
memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu
memahaminya.
Perhatian terhadap kosakata bagi M. Quraish Shihab amatlah penting,
karena al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang
digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna
yang berbeda pada kata tersebut. Perhatian semacam ini sangat memerlukan waktu
yang cukup banyak untuk memahami dan mempelajari kitab suci. Oleh karena itu
memaparkan kata sebanyak mungkin, serta kaidah-kaidah tafsir yang digunakan
untuk memahami yang tidak ditafsirkan, mutlak diperlukan oleh seorang mufassir.
Akan tetapi setelah melihat perkembangan tafsirnya tersebut, M. Quraish
Shihab ternyata kurang puas dengan apa yang dihasilkannya. Menurutnya
pendalaman kosakata sebagaimana yang telah dilakukan sebelumya, menjadikan para
pembaca bosan dan sangat bertele-tele. Hal ini tidak diulanginya lagi ketika ia
menulis Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an. Ia
hanya memperhatikan kosakata bilamana diperlukan saja.
Metode yang diterapkan dalam tafsirnya ini adalah metode tahlili,
karena M. Quraish Shihab menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai
aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan
yang terdapat dalam mushaf. Tujuan utamanya adalah ingin membuktikan kepada
masyarakat yang masih meragukan keserasian redaksi al-Qur’an, bahwa ayat-ayat
maupun surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’an mempunyai keserasian yang
sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan
tujuan mengaktualisasikan al-Qur’an tanpa meragukan keserasian ayat-ayatnya,
maka M. Quraish Shihab sangat memperhatikan munasabah antar ayat maupun
antar suratnya.Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa prinsip yang
dipegang oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran, baik dalam bentuk tahlili
maupun maudhu’i, antara lain:
1. Memandang al-Quran
sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan
Meskipun
al-Quran diturunkan dalam kurun waktu sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang
berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan
susunannya yang bagi sementara orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas
tidak saling berkaitan memiliki keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema
tertentu yang di dalam al-Quran berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga
memiliki rahasia tersendiri yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap
al-Quran. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang
dikenal dengan maudhu’i. Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya
oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwafaqat,
dan diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya
diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa
al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan
sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam
beberapa karya tafsir maudhu’inya.
Metode
ini pada dasarnya diperkenalkan untuk menutupi kekurangan metode tafsir klasik
yang disusun berdasarkan urutan dalam mushaf. Namun, pengembangan metode ini
jika tidak didukung dan dibatasi oleh pagar-pagar metodologis yang kuat, maka
kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya
subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat’ generasi berikut’,
‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya. Sejauhini, penerapanmetodeinisangatrentanolehtimbulnyapra-konsepsimufasir.
Sebab, umumnyapenetapan dan pemecahanmasalahberangkat dari realitaskehidupan,
bukansebaliknya, dari Al-Qur’an. Dari sinimufasirmaudhu’iakan
terjebakpadakesalahan yang pernah dan seringdilakukanmufasirdenganittijahilmiy(saintifik),
bedanya, dalamtafsirsaintifikmufasir modern terbiusdenganteori-teoriilmiah
(eksak), sementaradalamtafsirmaudhu’idigunakanteori-teoriilmusosial,
misalnyatentanggender, masyarakatmadani, demokrasi dan tema-temalain yang
masihbersifatwacana. Selainitu, jikatafsirmaudhu’idiumpamakanolehQuraishShihabsepertimenghidangkanmakanankepadatamudalambentukkotak,
sedangkantafsirtahlilisepertimenghidangkanmakanan di mejaprasmanan,
makasudahbarangtentukualitaskotakmakananituberpulangkepadapenyajinya.
Inimisalnya akan terlihatjikakitacobamembandingkankarya-karyamaudhu’iQuraishShihabdalamWawasan
Al-Qur’an dan SecercahCahayaIlahi, DawamRaharjodalamEnsiklopedi
Al-Qur’an, dan FazlurrahmandalamTema-temaPokok Al-Qur’an.Selanjutnya,
keterkaitanbagian-bagian al-Quran; kata, kalimat, ayat dan surat,
satudenganlainnyamelahirkanpandanganlaindalamtafsirQuraishShihab, yaitu:
2. Pentingnyamemahamiilmumunasabah
Munasabah adalah korelasi dan keserasianantarkata, ayat dan suratdalam al-Quran. Metode munasabah ini pertama kali diperkenalkan oleh al-Biqa’i, yang
kemudian diikuti oleh mufassir setelahnya. Para ulama menekuni ilmu munasabah
al-Qur’an, hubungan bagian-bagian al-Qur’an dengan mengemukakan bahkan
membuktikan keserasian ayat yakni dengan mengikuti enam langkah sebagai
berikut:
1.
Keserasian kata demi kata dalam
satu surat.
2.
Keserasian kandungan ayat dengan fashilat,
yakni penutup ayat.
3.
Keserasian hubungan ayat dengan
ayat berikutnya.
4.
Keerasian uraian awal/mukaddimah
satu surat dengan penutupnya.
5.
Keserasian penutup surat dengan
uraian awal/mukaddimah surat sesudahnya.
6.
Keserasian tema surat dengan nama
surat.[11]
Ulama tafsir
yang paling berhasil menerapkan pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar
al-Biqa’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam karyanya, Nazhm al-Durar Fi Tanasub
al-Ayat Wa al-Suwar.
Quraish
Shihab dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon
ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada
tahun 1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam
disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas
Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab,
terutama dalam tafsir tahlili-nya.
7.
Menelusuri penggunaan kosa
kata Al-Qur’an di kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Al-Qur’an
sendiri.
Ini karena al-Quran adalah teks kitab
suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan
beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu
sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada
kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqayis al-Lughah, karya Ibnu
Faris, Lisan al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradat Fi Gharib
al-Qur’an, karya al-Raghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan
dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit
belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara
seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan,
bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[12]
Hemat penulis, menelusuri kosa kata al-Quran
melalui kamus-kamus, misalnya yang disebut di atas, boleh jadi akan mengaburkan
pemahaman itu sendiri. Sebab bahasa selalu berkembang sesuai dengan
perkembangan peradaban manusia. Selain itu, kamus-kamus bahasa Arab disusun
belakangan jauh setelah al-Quran diturunkan, khususnya setelah kemampuan bahasa
bangsa Arab menurun dengan terjadinya interaksi budaya dengan bangsa lain.
Isyarat Ibnu Abbas agar dalam menafsirkan kata-kata sulit kita kembali kepada
syair-syair Arab kuno nampaknya perlu dipahami sebagai anjuran untuk memahami
al-Quran terlebih dahulu sebagaimana halnya bangsa Arab memahaminya ketika itu,
baru setelah itu disesuaikan dengan ruang dan waktu masing-masing. Lagi-lagi
ide ini dihadang dengan terbatasnya koleksi syair-syair Arab kuno (syi’r
jahiliy) dan luasnya cakupan kosa kata yang harus dipahami. Betapapun, yang
dilakukan Quraish Shihab telah menghantarkan umat dapat mengakses langsung
pesan-pesan al-Quran yang tersembunyi di balik bahasanya.
Dari
penelusuran penggunaan kosa kata ini selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan
kaidah-kaidah yang lain.
8.
Tidak ada kosa kata yang
sinonim (muradif) di dalam al-Quran.
Setiap kata dalam
al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya
oleh kata yang lain. Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa
Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah, menurut Quraish Shihab berbeda dalam
penggunaan al-Qur’an. Kata qasam dengan berbagai derivasinya, menurutnya
tidak digunakan al-Qur’an kecuali untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini
kebenarannya, dengan kata lain sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara
kata hilf dan derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau
sumpah yang boleh jadi dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika
berbicara tentang sumpah orang-orang munafik al-Quran menggunakan kata yahlifun.
(QS. 9:56).Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat)
sumpah yang dibatalkan digunakan kata hilf (idza halaftum, QS.
5:89).[13]
Contoh lain, kata sabil
dan shirath yang keduanya sering diartikan sebagai jalan. Sabil disebut
dalam al-Quran sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk
jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau
sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula sebaliknya. Sementara kata shirath
ditemukan sebanyak 45 kali dalam al-Quran kesemuanya berbentuk tunggal dan
tidak digunakan kecuali dalam arti jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak
adanya. Dari sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata sabil mengisyaratkan
keragaman “jalan baik” dan keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirath —sesuai
dengan asal maknanya yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan
lebar seakan-akan menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang
beraneka ragam itu. Kepada shirath inilah bermuara semua sabil atau
jalan-jalan yang baik (al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam
shalat adalah petunjuk ke arah 4. as-Shirath al-Mustaqim,
bukannya as-Sabil al-Mustaqim.Perlunya memahami al-Quran berdasarkan
urutan sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang
digunakan,
Misalnya, dalamwahyu-wahyupertama yang
diterimaoleh Nabi.Menciptakan,Muhammad saw. kata yang
digunakanuntukmenunjukkanTuhan Yang Maha Esa adalahRabb, bukanAllah.
InimenurutQuraishShihabdisebabkankarenakaummusyrikinpercayajugakepada Allah,
tetapikeyakinanmerekakepada Allah jauhberbedadengankeyakinan yang diajarkan dan
dihayatioleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya,
beranggapan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita. (QS. 17:40). Dari sini
al-Quran ingin melakukan perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa
kata yang digunakannya sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi
nilai-nilainya berbeda. Dan
iniperluwaktu lama. Sehinggakalaupadamasaawal kata Allah digunakan,
misalnyadalamperintahmembaca (surat al.a’laq) maka akan timbulkerancuandalampemahaman.
Agaknyainilah yang mendorongbeberapapakaral-Quran,
termasukQuraishShihab, untukmenyusuntafsirberdasarkanurutanturunnyawahyu.
Pendekataninibanyakmendapatkritikdenganalasanusahaitu akan sangatsulitdilakukan,
karenatidakditemukanbukti-buktiotentik yang
dapatdipertanggungjawabkankebenarannya. Bahkanhampirdapatdikatakanmustahil, dan
kalaupundapatdilakukansangatterbatassekalipada yang diketahuisebabnuzulnya.
al-Quran yang kitawarisiurutannyaadalahseperti yang ada dalammushaf. Selainitu,
banyaksuratdalamal-Quranditurunkansecaraterpisah-pisah,
bahkandalamkurunwaktu yang cukup lama dan diselingiolehsurat-suratlain.
Demikianbeberapaprinsip dan
metodeQuraishShihabdalammenafsirkanal-Quran. Sekalipunmetodemaudhu’idan
beberapaprinsippendekatanfilologis dan retorika (bayan)
Al-Qur’andikatakandapatmenjagaobyektifitaspemahaman, tetapilatarbelakangmufasir
yang beragamdapatsajamenjadikannyasubyektif.
KarenaituQuraishShihabmenambahkankalimat ’’Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an’’ dalam nama tafsirnya "al-Mishbah".
A.
Kelebihan dan Kelemahan tafsir
al-Misbah
a.
kelebihan tafsir al-Misbah
1)
Tafsir ini sangat kontektual
dengan kondisi ke idonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hl yang aktual
di dunia Islam Indonesia atau internasional.
2)
Quraish shihab meramu tafsirnya
dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan mensesuaikan dengan
kondisi di zamannya, dan persoalan masayarakat sekitarnya.
3)
Quraish shihab orang yang jujur
dalam memasukkan pendapat orang lain dalam kitabnya.
4)
Quraish shihab dalam menafsirkan
ayat memasukkan hubungan antara ayat dengan surat sehingga mudah di pahami
pembacanya.
b.
Kelemahannya
Dalam beberapa ayat dalam tafsif al-Misbah
ada yang tidak menyebutkan perawinya sehingga penafsirannya menjadi lemah tidak
sesuai dengan lafalnya.
c.
Bahasa tafsinya digunkan bahasa
Indonesia sehingga yang menikmati tafsir itu hanya sekelompok atau masyarakat
nasional saja tidak bisa di nikmati oleh bangsa lain bangsa internasional
d.
Menurut sebahagian ulama Indonesia,
beberapa penafsiran Quraish shihab di anggap keluar dari batas Islam, sehingga
Quraish Shishab di golongkan kepada liberal Indonesia. Sebagai contoh
penafsiranya tentang hijab, dalam penafsiranya tentang hijab ini beliau
berpendapat bahwasanya hijab itu pakaina orang arab dan sebahagian ada orang
arab. Walaupun beliau banyak mendapatkan gritikan dari beberpa kalangan, beliau
berpendapat bahwa perbedaan dalam Islam itu di jadikan sebagai rahmad, karnya
bukanlah bentuk pencorengan nama baik agama Islam
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Quraish Shihab
memiliki dua metode penafsiran yaitu tahlilidan maudhu’i. Quraish Shihab
pada awalnya menggandrungi tafsir maudhu’i.Quraish Shihab menggunakan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak keistimewaan. Namun metode maudhu’idalam
penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir yang menggunakan metode ini
dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang
ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk menghadirkan “dalam benaknya”
pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya dan munasabah antar
ayatnya.
Quraish Shihab
juga menggunakan metode tahlili (analitis). Beliau menganalisis secara
kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat
al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf. Tujuan
utamanya adalah ingin membuktikan kepada masyarakat yang masih meragukan
keserasian redaksi al-Qur’an. Dengan tujuan ini, maka M. Quraish Shihab sangat
memperhatikan munasabah antar ayat maupun antar suratnya.
Yang menarik
adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau ungkapan al-Qur’an
dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana
kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu memahaminya. Perhatian
terhadap kosakata bagi Quraish Shihab amatlah penting, karena al-Qur’an tidak
jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang digunakan oleh
masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna yang berbeda
pada kata tersebut.
Quraish
Shihab menggarisbawahi bahwa penjelasan tentang keserasian-keserasian yang
telah disebutkan di atas merupakan hasil penalaran seseorang, sehingga tentunya
tidak selalu dapat diterima oleh pemikir atau mufassir yang lain. Namun
demikian, ini merupakan salah satu usaha manusia untuk menyampaikan pesan ilahi
kepada masyarakat awam dan memberikan pengertian kepada orang-orang yang masih
meragukan keaslian redaksi al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tetap menjadi petunjuk
bagi seluruh umat manusia di dunia ini dan selalu aktual disetiap zaman dan
tempat.
DAFTAR
PUSTAKA
Baidan,
Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. ke-2, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Farmawi, Abd Hayyi
al-, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, alih bahasa Suryan A
Jamrah, cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994.
Federspiel, Howard
M., Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish
Shihab, alih bahasa Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.
Shihab M. Quraish,
Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, 1996.
Shihab M. Quraish,
Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung: Mizan, 2000.
Shihab M. Quraish,
Mukjizat al-Qur’an:Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.
Shihab M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Kesan,
Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Shihab
M. Quraish, Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Suyuthi Jalaluddin
as-, al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an, cet. ke-3, Beirut: Dar Ibnu Katsir,
1996.
[1] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 6.
[2] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 14
[3] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 6
[4] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 7
[5] M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Prlbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. v.
[6] Howard
M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M.
Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 295
[7]
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet.
ke-2(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 151.
[8] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 144.
[9] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 137
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an:
Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1997), hlm. vi-vii.
[11] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1
(Jakarta: Lentera Hati, 2000),, hlm. xii.
[12] M.
Quraish Shihab, Mukaddimah Tafsir al-Mishbah, hlm. ix
[13]Lihat misalnya, Tafsir Al-Qur’an al-Karim,
786
Tidak ada komentar:
Posting Komentar