Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METOLOGI TAFSIR APA YANG DIGUNAKAN OLEH QURAISY SHIHAB DALAM TAFSIRNYA AL-MISBAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Pada garis berasnya, penafsiran Al-Qura’an itu di lakukan melalui empat macam metode, yaitu: metode metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. metode muqarin (komparatif), metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.
Sejarah lahirnya tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab, yang berbentuk tafsir tematik berdasarkan surah digagas pertama kali oleh seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas alAzhar, Syaikh Mahmud Syaltut, pada Januari 1960.
Tafsir al-Misbah mempunyai  corak atau aliran tafsir yang diikuti Quraish Shihab dalam tafsir al-misbahnya adalah tafsir Adabi al-Ijtima'i, yaitu corak penafsiran al-Qur'an yang tekanannya bukan hanya ke tafsir lughawi, tafsir fiqh, tafsir ilmi dan tafsir isy'ari akan tetapi arah penafsirannya ditekankan pada kebutuhan masyarakat dan sosial masyarakat yang kemudian disebut corak tafsir Adabi al-Ijtima'i.
A.    Rumusan Masalah
1.      Metologi tafsir apa yang digunakan oleh Quraisy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah?
2.      Apa saja kelebihan dan kelemahan pendekatan yang digunakan oleh Quraisy Shihab?
B.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk dapat memahami metode tafsir yang di gunakan oleh Quraisiy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
2.      Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan pendekatan yang digunakan oleh Quraisy Shihab.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendekatan tafsir Quraisy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
1.    Biografi Quraisy Shihab
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut, UMI tahun 1959-1965 dan IAIN Alauddin 1972-1977.[1]
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[2]
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), beliau berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.[3]
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujung Pandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia diangkat menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus.[4]
Untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa DirasahNazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al- Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Dengan prestasinya itu, dia tercatat sebagai orang Asia pertama yang meraih gelar tersebut.[5] (Suatu Kajian terhadap Kitab.
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih al-Quran Departemen Agama (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia diangkat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.Dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang dilaluinya, nampak bahwa hal itulah yang menjadikannya seorang yang mempunyai kompetensi yang cukup menonjol dan mendalam dalam bidang tafsir al-Qur’an di Indonesia. Dengan kata lain, menurut Howard M. Federspiel, kondisi diatas menjadikan M. Quraish Shihab terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang-pengarang lainnya yang terdapat dalam Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab.[6]
        Di sela-sela kesibukannya, M. Quraish Shihab juga terlibat di berbagai kegiatan ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan yang tidak kalah pentingnya adalak keaktifannya dalam kegiatan tulis-menulis, baik itu di jurnal, surat kabar maupun dalam buntuk buku yang telah diterbitkan. Di antara karya monumentalnya adalah Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
2.      Karya-Karya M. Quraish Shihab
A.  Pertama: Karya-karya di bidang Tafsir
·         Tafsir Mawdhû’î
(tematik)Tafsir al-Qur’an yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Berikut karya-karya M. Quraish Shihab yang merupakan tafsir tematik atau menggunakan pendekatan tafsir tematik:
Ø  Wawasan al-Qur’an (Mizan, 1996)
Ø  Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000)
Ø  Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif al-Qur’an (Lentera Hati, 1998)
Ø  Yang Tersembunyi: Jin, Malaikat, Iblis, Setan (Lentera Hati, 1999)
Ø  Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2004)
Ø  Perempuan [Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru] (Lentera Hati, 2004)
Ø  Pengantin al-Qur’an (Lentera Hati, 2007)
a.         Tafsir Tahlîlî
Tafsir al-Qur’an yang disusun berdasarkan urutan ayat ataupun surah dalam mushaf al-Qur’an dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan dengannya. Karya M. Quraish Shihab yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
Ø  Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fâtihah (Untagma, 1988)
Ø  Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah, 1997)
Ø  Tafsir al-Mishbah (Lentera Hati, 2000)
Ø  Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil (Lentera Hati, 2001)
Ø  Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt. (Lentera Hati, 2002)
b.        Tafsir Ijmali (global)
Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara garis besar, dengan mengikuti urutan surah-surah dalam al-Qur’an sebagaimana metode Tahlîlî. Karya M. Quraish Shihab yang menjelaskan intisari kandungan ayat-ayat al-Qur’an ini yaitu:
Ø  Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur’an (Lentera Hati, 2012)
c.        Terjemah al-Qur’an.
Berawal dari ketidakpuasan M. Quraish Shihab terhadap terjemahan al-Qur’an yang banyak beredar selama ini, karya ini lahir. Banyak ulama menegaskan bahwa al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan, karena tak ada bahasa di dunia yang cukup kaya untuk merangkum seluruh makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, karya beliau ini diberi judul:
·         Al-Qur’an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010)
B.      Maqâlât Tafsîriyyah (Artikel-artikel Tafsir):
·         Membumikan al-Qur’an (Mizan, 1992)
·         Lentera Hati (Mizan, 1994)
·         Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Lentera Hati, 2006)
·         Membumikan al-Qur’an Jilid 2 (Lentera Hati, 2011)
C.     Ulumul Qur’an dan Metodologi Tafsir
·          Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya* (IAIN Alauddin, 1984)
·         Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (*diterbitkan kembali oleh Pustaka Hidayah Bandung, 1994)
·         Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (*diterbitkan kembali oleh Lentera Hati, 2005)
·         Filsafat Hukum Islam (Departemen Agama, 1987)
·         Mukjizat al-Qur’an (Mizan, 1996)
·         Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013)
D.    Tsaqâfah Islâmiyah (Wawasan Keislaman)
·         Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998)
·         Dia Di Mana-Mana (Lentera Hati, 2004)
·         Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Doa (Lentera Hati, 2006)
·         Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati, 2005)
·         Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Lentera Hati, 2007)
·         Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati, 2007)
·         Yang Sarat dan yang Bijak (Lentera Hati, 2007)
·         M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2008)
·         Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi al-Qur’an, 2008)
·         Berbisnis dengan Allah (Lentera Hati, 2008)
·         Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2009)
·         M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010)
·         Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih (Lentera Hati, 2011)
·         Doa Asmaul Husna: Doa yang Disukai Allah (Lentera Hati, 2011)
·         Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2012)
·         Kematian adalah Nikmat (Lentera Hati, 2013)
·         M. Quraish Shihab Menjawab pertanyaan Anak tentang Islam (Lentera Hati, 2014)
3.      Metode M. Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Qur’an
          Dalam perkembangan ilmu tafsir secara umum paling tidak terdapat empat macam metode tafsir, yaitu: metode ijmali (Global), metode tahlli (analitis, metode muqaranmaudhu’i (tematik). Maka untuk lebih jelasnya, penulis berusaha menguraikan secara singkat masing-masing metode tersebut, sebagai berikut:
a.     Metode ijmali adalah menafsiran ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Sistematikanya mengikuti urutan surat al-Qur’an, sehingga makna-maknanya saling berhubungan. Penyajiannya menggunakan ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kalimat penghubung, sehingga memudahkan para pembaca dalam memahaminya. Dalam metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbabun nuzulnya ayat dengan meneliti hadis yang berhubungan dengannya, sejarah dan asar dari salaf as-Salih.
b.    Metode tahlili yaitu suatu metode yang menjelaskan makna-makna yang dikandung al-Qur’an yang urutannya disesuaikan dengan tertib ayat yang ada dalam mushaf al-Qur’an. Penjelasan makna-makna tersebut, bisa makna kata atau penjelasan umumnya, susunan kalimatnya, asbabun nuzulnya serta keterangan yang dikutip dari nabi, sahabat maupun tabi'in.
c.     Metode muqaran yaitu menafsirkan ayat dengan cara perbandingan. Perbandingan ini meliputi tiga hal yakni: perbandingan antar ayat, perbandingan antara ayat al-Qur’an dengan hadis dan perbandingan penafsiran antar mufassir.Metode maudhu’i  adalah metode yang membahas d. ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.[7] Jadi, dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat. Ia mencoba mengkaji al-Qur’an dengan mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Metode ini mempunyai dua bentuk. Pertama: membahas satu surat al-Qur’an dengan menghubungkan maksud antar ayat serta pengertiannya, secara menyeluruh. Dengan metode ini ayat tampil dalam bentuknya yang utuh. Kedua: menghimpun ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan arah dan tema, lalu dianalisis, kemudian dari sana dapat ditarik sebuah kesimpulan. Biasanya model ini diletakkan di bawah bahasan tertentu.[8]
M. Quraish Shihab sendiri lebih memilih metode tahlili dan maudhu’i  dalam penafsiran al-Qur’an. M. Quraish Shihab pada awalnya lebih mengandrungi metode tafsir maudlu’i daripada metode-metode tafsir lainnya, ini seperti yang pernah ia tulis dalam bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat.M. Quraish Shihab nenggunakan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak keistimewaan. Di antaranya adalah: 
1.      Menghindari problem atau kelemahan metode yang lain. 
2.      Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur-an.
3.      Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami.
4.      Membuat pemahaman menjadi utuh.[9]
Namun metode maudhu’i  dalam penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir yang menggunakan metode ini dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk menghadirkan “dalam benaknya” pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya dan munasabah antar ayatnya.
Metode yang diterapkan M. Quraish Shihab pada dasarnya merupakan metode yang pernah dikemukakan oleh al-Farmawi.Ada beberapa langkah dalam metode ini yaitu:
1.  Menetapkan masalah yang dibahas (topik bahasan).
2.  Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbabun nuzulnya.
4.  Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
5.  Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6.  Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama.
Akan tetapi pada lain waktu, M. Quraish Shihab menulis Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, dengan menggunakan metode tahlili  (analitis). Uraian-uraian yang terdapat dalam tafsir ini merujuk pada al-Qur’an dan sunnah. Menurutnya, menerapkan metode maudhu’i, tidaklah menjadikan seorang mufassir boleh mengabaikan metode talili, karena uraian-uraian yang tersaji dalam metode tahlili, sangat diperlukan dalam uraian yang bersifat maudhu’i.[10]
Yang menarik adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu memahaminya.
Perhatian terhadap kosakata bagi M. Quraish Shihab amatlah penting, karena al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut. Perhatian semacam ini sangat memerlukan waktu yang cukup banyak untuk memahami dan mempelajari kitab suci. Oleh karena itu memaparkan kata sebanyak mungkin, serta kaidah-kaidah tafsir yang digunakan untuk memahami yang tidak ditafsirkan, mutlak diperlukan oleh seorang mufassir.
Akan tetapi setelah melihat perkembangan tafsirnya tersebut, M. Quraish Shihab ternyata kurang puas dengan apa yang dihasilkannya. Menurutnya pendalaman kosakata sebagaimana yang telah dilakukan sebelumya, menjadikan para pembaca bosan dan sangat bertele-tele. Hal ini tidak diulanginya lagi ketika ia menulis Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an. Ia hanya memperhatikan kosakata bilamana diperlukan saja.
Metode yang diterapkan dalam tafsirnya ini adalah metode tahlili, karena M. Quraish Shihab menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf. Tujuan utamanya adalah ingin membuktikan kepada masyarakat yang masih meragukan keserasian redaksi al-Qur’an, bahwa ayat-ayat maupun surat-surat yang terdapat dalam al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan tujuan mengaktualisasikan al-Qur’an tanpa meragukan keserasian ayat-ayatnya, maka M. Quraish Shihab sangat memperhatikan munasabah antar ayat maupun antar suratnya.Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa prinsip yang dipegang oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Quran, baik dalam bentuk tahlili  maupun maudhu’i, antara lain:
1. Memandang al-Quran sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan
Meskipun al-Quran diturunkan dalam kurun waktu sekitar 22 tahun, dan dalam kondisi yang berbeda-beda, tetapi ia sebenarnya saling berkaitan satu dengan lainnya. Bahkan susunannya yang bagi sementara orang ‘dianggap’ tidak berurutan dan sepintas tidak saling berkaitan memiliki keserasian makna yang menakjubkan. Tema-tema tertentu yang di dalam al-Quran berserakan di beberapa tempat sesungguhnya juga memiliki rahasia tersendiri yang hanya dapat diperoleh melalui tadabbur terhadap al-Quran. Pandangan ini kemudian melahirkan suatu model bentuk penafsiran yang dikenal dengan maudhu’i. Cara pandang ini telah dikemukakan sebelumnya oleh Imam Al-Syâthibiy, ulama abad ke VIII asal Cordova, dalam kitabnya al-Muwafaqat, dan diperkenalkan kembali di awal abad modern oleh M. Abduh yang selanjutnya diwujudkan dengan baik oleh murid-muridnya seperti, Rasyid Ridha, M. Musthafa al-Maraghi, M. Syaltout, Abdullah Diraz, Amin al-Khuli, Bintu Syathi dan sebagainya. Hemat penulis, Quraish Shihab telah melakukan itu dengan baik dalam beberapa karya tafsir maudhu’inya.
Metode ini pada dasarnya diperkenalkan untuk menutupi kekurangan metode tafsir klasik yang disusun berdasarkan urutan dalam mushaf. Namun, pengembangan metode ini jika tidak didukung dan dibatasi oleh pagar-pagar metodologis yang kuat, maka kritik yang sering dilontarkan kepada metode klasik seperti, ‘tingginya subyektifitas penafsir’, ‘penafsiran yang ‘mengikat’ generasi berikut’, ‘sebagai justifikasi pendapat mufasir’ juga akan dialaminya. Sejauhini, penerapanmetodeinisangatrentanolehtimbulnyapra-konsepsimufasir. Sebab, umumnyapenetapan dan pemecahanmasalahberangkat dari realitaskehidupan, bukansebaliknya, dari Al-Qur’an. Dari sinimufasirmaudhu’iakan terjebakpadakesalahan yang pernah dan seringdilakukanmufasirdenganittijahilmiy(saintifik), bedanya, dalamtafsirsaintifikmufasir modern terbiusdenganteori-teoriilmiah (eksak), sementaradalamtafsirmaudhu’idigunakanteori-teoriilmusosial, misalnyatentanggender, masyarakatmadani, demokrasi dan tema-temalain yang masihbersifatwacana. Selainitu, jikatafsirmaudhu’idiumpamakanolehQuraishShihabsepertimenghidangkanmakanankepadatamudalambentukkotak, sedangkantafsirtahlilisepertimenghidangkanmakanan di mejaprasmanan, makasudahbarangtentukualitaskotakmakananituberpulangkepadapenyajinya. Inimisalnya akan terlihatjikakitacobamembandingkankarya-karyamaudhu’iQuraishShihabdalamWawasan Al-Qur’an dan SecercahCahayaIlahi, DawamRaharjodalamEnsiklopedi Al-Qur’an, dan FazlurrahmandalamTema-temaPokok Al-Qur’an.Selanjutnya, keterkaitanbagian-bagian al-Quran; kata, kalimat, ayat dan surat, satudenganlainnyamelahirkanpandanganlaindalamtafsirQuraishShihab, yaitu:
2.  Pentingnyamemahamiilmumunasabah
        Munasabah adalah korelasi dan keserasianantarkata, ayat dan suratdalam al-Quran. Metode munasabah ini pertama kali diperkenalkan oleh al-Biqa’i, yang kemudian diikuti oleh mufassir setelahnya. Para ulama menekuni ilmu munasabah al-Qur’an, hubungan bagian-bagian al-Qur’an dengan mengemukakan bahkan membuktikan keserasian ayat yakni dengan mengikuti enam langkah sebagai berikut:
1.      Keserasian kata demi kata dalam satu surat.
2.      Keserasian kandungan ayat dengan fashilat, yakni penutup ayat.
3.      Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
4.      Keerasian uraian awal/mukaddimah satu surat dengan penutupnya.
5.      Keserasian penutup surat dengan uraian awal/mukaddimah surat sesudahnya.
6.      Keserasian tema surat dengan nama surat.[11]
       Ulama tafsir yang paling berhasil menerapkan pandangan ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy (809-885 H/1406-1480 M) dalam karyanya, Nazhm al-Durar Fi Tanasub al-Ayat Wa al-Suwar.
            Quraish Shihab dalam banyak hal sangat terpengaruh oleh pemikiran ulama asal Libanon ini. Perkenalannya yang sangat intensif dengan ulama ini terjadi ketika pada tahun 1980 Quraish Shihab melakukan penelitian terhadap karya al-Biqa’iy dalam disertasinya untuk meraih gelar Doktor di bidang tafsir dari Universitas Al-Azhar Kairo. Warna ini sangat kental sekali dalam tafsir Quraish Shihab, terutama dalam tafsir tahlili-nya.
7.      Menelusuri penggunaan kosa kata Al-Qur’an di kalangan para pemakainya, bangsa Arab, dan dalam Al-Qur’an sendiri.
Ini karena al-Quran adalah teks kitab suci yang berbahasa Arab. Bahasa tidak lain adalah simbol yang menyimpan beragam makna. Karenanya hak-hak kebahasaan itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum maksud-maksud lain. Dalam hal ini Quraish Shihab banyak merujuk kepada kamus-kamus berbahasa Arab seperti Mu’jam Maqayis al-Lughah, karya Ibnu Faris, Lisan al-‘Arab, karya Ibnu Manzhur dan Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur’an, karya al-Raghib al-Ashfahaniy. Kaidah ini lebih banyak ditemukan dalam Tafsir Al-Quran al-Karim daripada al-Mishbah yang terbit belakangan. Ini karena, seperti diakui Quraish Shihab sendiri, cara seperti itu terlalu akademis sehingga kurang menarik minat orang kebanyakan, bahkan sementara orang menilainya bertele-tele.[12]
Hemat penulis, menelusuri kosa kata al-Quran melalui kamus-kamus, misalnya yang disebut di atas, boleh jadi akan mengaburkan pemahaman itu sendiri. Sebab bahasa selalu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Selain itu, kamus-kamus bahasa Arab disusun belakangan jauh setelah al-Quran diturunkan, khususnya setelah kemampuan bahasa bangsa Arab menurun dengan terjadinya interaksi budaya dengan bangsa lain. Isyarat Ibnu Abbas agar dalam menafsirkan kata-kata sulit kita kembali kepada syair-syair Arab kuno nampaknya perlu dipahami sebagai anjuran untuk memahami al-Quran terlebih dahulu sebagaimana halnya bangsa Arab memahaminya ketika itu, baru setelah itu disesuaikan dengan ruang dan waktu masing-masing. Lagi-lagi ide ini dihadang dengan terbatasnya koleksi syair-syair Arab kuno (syi’r jahiliy) dan luasnya cakupan kosa kata yang harus dipahami. Betapapun, yang dilakukan Quraish Shihab telah menghantarkan umat dapat mengakses langsung pesan-pesan al-Quran yang tersembunyi di balik bahasanya.
Dari penelusuran penggunaan kosa kata ini selanjutnya Quraish Shihab menyimpulkan kaidah-kaidah yang  lain.
8.      Tidak ada kosa kata yang sinonim (muradif) di dalam al-Quran.
             Setiap kata dalam al-Qur’an mempunyai makna tersendiri yang tidak bisa digantikan kedudukannya oleh kata yang lain. Kata qasam dan hilf yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama, yaitu sumpah, menurut Quraish Shihab berbeda dalam penggunaan al-Qur’an. Kata qasam dengan berbagai derivasinya, menurutnya tidak digunakan al-Qur’an kecuali untuk sumpah yang oleh pengucapnya diyakini kebenarannya, dengan kata lain sumpah yang kukuh dan tidak dilanggar. Sementara kata hilf dan derivasinya digunakan untuk jenis sumpah palsu, atau sumpah yang boleh jadi dibatalkan oleh pengucapnya. Karena itu, ketika berbicara tentang sumpah orang-orang munafik al-Quran menggunakan kata yahlifun. (QS. 9:56).Demikian juga ketika berbicara tentang tebusan (kaffârat) sumpah yang dibatalkan digunakan kata hilf (idza halaftum, QS. 5:89).[13]
             Contoh lain, kata sabil dan shirath yang keduanya sering diartikan sebagai jalan. Sabil disebut dalam al-Quran sebanyak 166 kali dalam bentuk tunggal dan 10 kali dalam bentuk jamak. Sering kali kata ini dirangkaikan dengan Tuhan atau sesuatu atau sekelompok manusia yang baik dan sering kali pula sebaliknya. Sementara kata shirath ditemukan sebanyak 45 kali dalam al-Quran kesemuanya berbentuk tunggal dan tidak digunakan kecuali dalam arti jalan menuju kebenaran atau sesuatu yang hak adanya. Dari sini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa kata sabil mengisyaratkan keragaman “jalan baik” dan keragaman “jalan buruk”. Sedangkan shirath —sesuai dengan asal maknanya yang berarti “menelan”— menggambarkan jalan yang luas dan lebar seakan-akan menelan pejalannya, serta penempuh jalan-jalan baik yang beraneka ragam itu. Kepada shirath inilah bermuara semua sabil atau jalan-jalan yang baik (al-Maidah: 16). Karena itu yang kita panjatkan dalam shalat adalah petunjuk ke arah 4. as-Shirath al-Mustaqim, bukannya as-Sabil al-Mustaqim.Perlunya memahami al-Quran berdasarkan urutan sejarah turunnya untuk mengetahui karakteristik idiom-idiom yang digunakan,
               Misalnya, dalamwahyu-wahyupertama yang diterimaoleh Nabi.Menciptakan,Muhammad saw. kata yang digunakanuntukmenunjukkanTuhan Yang Maha Esa adalahRabb, bukanAllah. InimenurutQuraishShihabdisebabkankarenakaummusyrikinpercayajugakepada Allah, tetapikeyakinanmerekakepada Allah jauhberbedadengankeyakinan yang diajarkan dan dihayatioleh Nabi Muhammad saw. Mereka, misalnya, beranggapan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita. (QS. 17:40). Dari sini al-Quran ingin melakukan perubahan semantik kata tersebut, yaitu meskipun kosa kata yang digunakannya sama dengan yang digunakan masyarakat jahiliyah, tetapi nilai-nilainya berbeda. Dan iniperluwaktu lama. Sehinggakalaupadamasaawal kata Allah digunakan, misalnyadalamperintahmembaca (surat al.a’laq) maka akan timbulkerancuandalampemahaman.
               Agaknyainilah yang mendorongbeberapapakaral-Quran, termasukQuraishShihab, untukmenyusuntafsirberdasarkanurutanturunnyawahyu. Pendekataninibanyakmendapatkritikdenganalasanusahaitu akan sangatsulitdilakukan, karenatidakditemukanbukti-buktiotentik yang dapatdipertanggungjawabkankebenarannya. Bahkanhampirdapatdikatakanmustahil, dan kalaupundapatdilakukansangatterbatassekalipada yang diketahuisebabnuzulnya. al-Quran yang kitawarisiurutannyaadalahseperti yang ada dalammushaf. Selainitu, banyaksuratdalamal-Quranditurunkansecaraterpisah-pisah, bahkandalamkurunwaktu yang cukup lama dan diselingiolehsurat-suratlain.
               Demikianbeberapaprinsip dan metodeQuraishShihabdalammenafsirkanal-Quran. Sekalipunmetodemaudhu’idan beberapaprinsippendekatanfilologis dan retorika (bayan) Al-Qur’andikatakandapatmenjagaobyektifitaspemahaman, tetapilatarbelakangmufasir yang beragamdapatsajamenjadikannyasubyektif. KarenaituQuraishShihabmenambahkankalimat ’’Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an’’ dalam nama tafsirnya "al-Mishbah".
A.    Kelebihan dan Kelemahan tafsir al-Misbah
a.     kelebihan tafsir al-Misbah
1)      Tafsir ini sangat kontektual dengan kondisi ke idonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hl yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
2)      Quraish shihab meramu tafsirnya dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan mensesuaikan dengan kondisi di zamannya, dan persoalan masayarakat sekitarnya.
3)      Quraish shihab orang yang jujur dalam memasukkan pendapat orang lain dalam kitabnya.
4)      Quraish shihab dalam menafsirkan ayat memasukkan hubungan antara ayat dengan surat sehingga mudah di pahami pembacanya.
b.      Kelemahannya
Dalam beberapa ayat dalam tafsif al-Misbah ada yang tidak menyebutkan perawinya sehingga penafsirannya menjadi lemah tidak sesuai dengan lafalnya.
c.       Bahasa tafsinya digunkan bahasa Indonesia sehingga yang menikmati tafsir itu hanya sekelompok atau masyarakat nasional saja tidak bisa di nikmati oleh bangsa lain bangsa internasional
d.      Menurut sebahagian ulama Indonesia, beberapa penafsiran Quraish shihab di anggap keluar dari batas Islam, sehingga Quraish Shishab di golongkan kepada liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsiranya tentang hijab, dalam penafsiranya tentang hijab ini beliau berpendapat bahwasanya hijab itu pakaina orang arab dan sebahagian ada orang arab. Walaupun beliau banyak mendapatkan gritikan dari beberpa kalangan, beliau berpendapat bahwa perbedaan dalam Islam itu di jadikan sebagai rahmad, karnya bukanlah bentuk pencorengan nama baik agama Islam


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
                 Quraish Shihab memiliki dua metode penafsiran yaitu tahlilidan maudhu’i. Quraish Shihab pada awalnya menggandrungi tafsir maudhu’i.Quraish Shihab menggunakan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, karena menurutnya mempunyai banyak keistimewaan. Namun metode maudhu’idalam penerapannya tidaklah mudah, karena mufassir yang menggunakan metode ini dituntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang ditetapkannya. Selain itu ia juga dituntut untuk menghadirkan “dalam benaknya” pengertian kosakata ayat, asbabun nuzulnya dan munasabah antar ayatnya.
                 Quraish Shihab juga menggunakan metode tahlili (analitis). Beliau menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an, sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf. Tujuan utamanya adalah ingin membuktikan kepada masyarakat yang masih meragukan keserasian redaksi al-Qur’an. Dengan tujuan ini, maka M. Quraish Shihab sangat memperhatikan munasabah antar ayat maupun antar suratnya.
                 Yang menarik adalah uraian-uraiannya yang memperhatikan kosakata atau ungkapan al-Qur’an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan itu digunakan al-Qur’an lalu memahaminya. Perhatian terhadap kosakata bagi Quraish Shihab amatlah penting, karena al-Qur’an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari kosakata yang digunakan oleh masyarakat arab yang ditemuinya dan memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut.
Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa penjelasan tentang keserasian-keserasian yang telah disebutkan di atas merupakan hasil penalaran seseorang, sehingga tentunya tidak selalu dapat diterima oleh pemikir atau mufassir yang lain. Namun demikian, ini merupakan salah satu usaha manusia untuk menyampaikan pesan ilahi kepada masyarakat awam dan memberikan pengertian kepada orang-orang yang masih meragukan keaslian redaksi al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tetap menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia di dunia ini dan selalu aktual disetiap zaman dan tempat.




DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Farmawi, Abd Hayyi al-, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, alih bahasa Suryan A Jamrah, cet. ke-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994.
Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.
Shihab M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Shihab M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2000.
Shihab M. Quraish, Mukjizat al-Qur’an:Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997.
 Shihab M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Shihab M. Quraish, Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997.
Suyuthi Jalaluddin as-, al-Itqan Fi ‘Ulum al-Qur’an, cet. ke-3, Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1996.




[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 6.

[2] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 14

[3] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 6

[4] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 7

[5] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Ma’udlui atas Prlbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. v.

[6] Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, alih bahasa Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 295





[7] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, cet. ke-2(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 151.

[8] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,  hlm. 144.

[9] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,  hlm. 137
[10]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. vi-vii.

[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, vol.1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),, hlm. xii.

[12] M. Quraish Shihab, Mukaddimah Tafsir al-Mishbah, hlm. ix

[13]Lihat misalnya, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, 786

Tidak ada komentar:

Posting Komentar