BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan
melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili
(analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik).
Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas
tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup
pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui
secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta
mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan
demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar,
tepat, dan akurat.[1]
Salah satu yang mendorong
lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya
perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan
bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia
bagi peminat tuntuan itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi
dan bimbingan.
Pada
periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya
Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap
perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya
dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah
tafsir modern.
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang
sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan
penjelasan ayat Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan
pada tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan
manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang
berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.
Tafsir
al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat
studi Al-Qur’an. Majalah Al-Manar, yang memulai tafsir ini secara berkala pada awal
abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dan memiliki peranan
yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.tokoh utama
dalam penafsiran ini serta yang berjasa
meletakkan dasar – dasarnya adalah
Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus
sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
B.
Rumusan masalah
1.
Metodologi
tafsir apa yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-
Manarnya ?
2.
Apa saja kelemahan dan kelebihan yang di
gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami Metodologi tafsir yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid
Ridha
2.
Apa saja kelemahan dan kelebihan yang di
gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metodologi tafsir Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al-
Manarnya
1.
Biografi Muhammad Rasyid Ridha
Ada dua hal
yang membuat nama sayyid Rasyid Ridha cukup dikenal dalam dunia islam, yaitu
posisinya sebagai murid Muhammad Abduh yang menjadi “juru tulis” sekaligus
komentator atas diri gurunya itu dan karir jurnalistiknya yang dengan nya ia
berjasa dalam menyebarkan ide-ide pembaruan ke seluruh penjuru dunia islam,
khususnya dengan majalah Al-Manar-nya. [2]
Nama lengkapnya
adalah Muhammad Rasyid Ibn ‘Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Al-Sayyid
Baha’uddin Ibn Al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah Al-Bagdadi. Ia dilahirkan
di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Lebanon pada tanggal 27 Jumadil
‘Ula 1282. Gelar sayyid di depan namanya menunjukkan posisinya sebagai
keturunan Rasulullah; dan memang berdasarkan catatan sejarah, ia mempunyai
garis keturunan langsung dari Husain,putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah .[3]
Syaikh Rasyid
Ridha di lahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan –
gerakan tarikat. Kondisi masyarakat semacam ini membuatnya turut menyesuaikan
diri, dimana ia sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah meskipun ia
keluar karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut tidak sesuai dengan
ajaran islam yang benar. Pengalaman ini nantinya mengilhami gerakan reformasi
yang dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat islam dari pengaruh negatif
tasawuf dan membersihkan islam dari berbagai praktik yang menyimpang. [4]
pendiriannya ini semakin kuat setelah bertemu dengan Abduh.
Dalam aspek
pendidikan, di samping belajar kepada orang tuanya sendiri, Sayyid Rasyid Ridha
juga belajar dari banyak guru. Pada masa kecilnya ia belajar di suatu taman
kanak-kanak yang bernama “Al-Kuttab”. Di sana ia belajar membaca, menulis dan
dasar-dasar berhitung. Kemudian ia menempuh pendidikan pada sekolah formal yang
cukup maju yang didirikan oleh syaikh Husain Al-Jisr (W. 1909). Pada tahun 1314
H/ 1897 M. Syaikh Al-Jisr memberikan ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama,
bahasa dan filsafat kepada Rasyid Ridha.[5]
Di samping kepada
syaikh Husain Al-Jisr, Syaikh Rasyid Ridha juga belajar kepada guru-guru lain,
seperti ; Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-Qawiji,Syaikh Abd Al-Gani
Al-Rafi’, Al Ustadz Muhammad Husaini dan syaikh Muhammad Kamil Al-Rafi’. [6]
Pada saat Rasyid
Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian –
pengajian untuk masyarakat sekitarnya maupun melalui tulisan – tulisan di media
massa, Muhammad Abduh sedang memimpin gerakan pembaharuan di Mesir. Majalah Al-
Urwah Al-Wusqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al- Afghani dan Muhammad Abduh sempat
dibaca oleh Rasyid Ridha dan mampu mengubah jiwa pemuda yang berjiwa sufi ini
menjadi seorang pemuda yang penuh semangat, sebagaimana yang ia tulis :
Dengan membacanya (Al-
Urwah Al-Wusqa), aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami agama islam,
yakni bahwa islam bukan hanya agama rohani- ukhrawi semata, tetapi ia adalah
agama rohani- jasmani, ukhrawi- duniawi, yang bertujuan antara lain untuk
memberikan petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh. [7]
Kekaguman Rasyid
Ridha terhadap Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk
kedua kalinya pada tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang, pertemuan antara
keduanya terjadi ketika Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya,
syaikh Abdullah Al-Barakah, yang mengajar di sekolah al- khanutiyah. Pada
kesempatan pertemuan pertama ini, Rasyid Ridha bertanya tentang tafsir al
kasyaf karya Al Zamakhsyari adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya
serta segi sastra bahasa yang di uraikannya.[8]
Setelah
terjadi pertemuan tersebut, pada tahun 1897 Rasyid Ridha bertekad pergi ke
mesir untuk bergabung dengan perjuangan Muhammad Abduh. Dan tidak lama kemudian
ia menjadi murid yang sangat dekat dan berpengaruh. Di Mesir ia menerbitkan
majalah Al- Manar yang terbit pertama kali tahun 1898 sebagai majalah mingguan
kemudian menjadi majalah, sampai ia meninggal tahun 1935.[9]
Sepanjang
hidupnya, disamping sangat memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat, Rasyid
Ridha juga banyak terlibat dalam dunia politik. Dilihat dari latar belakang
sejarah hidupnya. Ia hidup dalam kondisi politik yang tidak menentu; misalnya
terjadinya konflik antara turki dan arab serta pemberontakan syarif Husain
terhadap kekuasaan turki.
Dalam urusan
politik ini Rasyid Ridha pernah pergi ke Istambul untuk mempersatukan kelompok
turki dan kelompok arab setelah abu hamid turun tahta. Pada tahun 1916. Saat
perang dunia I berlangsung, Rasyid Ridha pergi ke hijaz untuk naik haji
sekaligus mengucapkan selamat kepada syarif Husain atas pemberontakannya. Pada
tahun 1919, rasyid ridha menghadiri kongres suria raya yang menuntut
kemerdekaan penuh bagi Negara tersebut. Sementara itu pada tahun 1925, di
samping pergi ke jenewa untuk menghadiri kongres suria- palestina dalam kapasitas
nya sebagai anggota persatuan kairo, rasyid ridha juga menghadiri kongres islam
di hijaz untuk membicarakan soal pemerintahan islam dan jabatan khalifah. Dan
pada tahun 1931, ia di undang oleh amin husein, mufti palestina, untuk
membicarakan masalah yahudi- Israel. [10]
Rasyid ridha berhasil
menulis banyak karya ilmiah, di samping tafsir al-manar dan tulisan –
tulisannya di majalah- majalah yang dikelolanya, beberapa karya nya yang patut
di catat antara lain adalah tarikh al- ustadz al- imam mengenai biografi
gurunya, Muhammad Abduh, nida’ li al-jins al-latif mengenai hak dan kewajiban
wanita, zikra mauled al- nabawi, risalah hujat al-islam al – ghazali, al- sunah
wa syi’ah, al wahdah al islamiyyah, dan haqiqah riba.[11]
Rasyid ridha
wafat dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud Al-faisal.
Mobil yang di kendarainya mengalami kecelakaan dan menderita gegar otak,
kemudian wafat pada 22 agustus 1935 M.[12]
2.
Ide-ide Pembaharuan Rasyid Ridha
Ide-ide pembaharuan Muhammad Rasyid Ridha dimulai dari suatu usaha
sekiranya dapat merubah keadaan ummat islam, maka ia mulai mengadakan
pembaharuan sebagai berikut:
a. Dalam bidang pendidikan
Melihat suatu kenyataan pada masanya itu Muhammad Rasyid Ridha mempunyai
suatu anggapan, bahwa penyebab dari timbulnya perbuatan-perbuatan yang tidak
sesuai dengan ajaran agama dan kepentingan hidup manusia salah satu sebabnya
adalah salahnya penerapan dalam sistem pendidikan yang ada ada masa itu.
Pendidikannya yang bersifat tradisional banyak berorientasi kepada ilmu
pengetahuan yang bersifat ukhrawi dan tidak mementingkan pendidikan yang
bersifat duniawi. Hal seperti ini akan mengakibatkan ummat manusia menjadi
mundur, sebab apabila dihadapkan kepada masalah-masalah yang berhubungan dengan
keduniawian, mereka tidak akan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya,
karena tidak memiliki kemampuan yang berhubungan dengan hal itu, maka
terjadilah kepincangan-kepincangan dalam tubuh umat umat Islam itu yang
disebabkan salahnya menentukan dan menerapkan sistem pendidikan pada waktu itu.
Dan hal ini mengakibatkan kebudayaan dan peradaban mereka tertinggal.
Melihat kenyataan ini, maka Muhammad Rasyid Ridha merubah sistem pendidikan
yang tradisional kepada sisitem pendidikan yang modern yaitu dengan tidak
melupakan memasukannya ilmu pengetahuan umum disamping ilmu pengetahuan Agama.
Hal ini dimulai dengan mendirikan sekolah (Madrasah) sebagai mana telah penulis
jelaskan pada pembahasan di atas.
b. Toleransi Mazhab
Timbulnya sikap dari umat Islam acuh tak acuh terhadap hal-hal yang
bersifat keduniaaan, dan fanatik terhadap Mazhab, hal ini akan membahayakan
terhadap ummat islam dan akan mengakibatkan ummat Islam mundur dan
berpecah-pecah. Untuk menghadapi masalah ini, maka Muhammad Rasyid Ridha
memimpin gerakan Salafiyah. Kaum Salafi menyetujui kaum modernis dalam
penolakan kuasa mazhab-mazhab abad pertengahan dan menerima Al-Qur’an dan
sunnah sebagai satu-satunya dan menerima Al-Qur’an dan sunnah sebagai
satu-satunya kebenaran Agama.[13]
Selanjutnya ia berprinsip, bahwa dalam hal-hal dasarlah yang perlu di
pertahankan kesamaaan faham ummat, tetapi dalam hal perincian dan bukan dasar
diberi kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya. [14]
c. Dalam pemerintahan
Didalam pemerintahan Rasyid Rida menganjurkan ialah negara dalam bentuk
kekhalifahan, karena mempunyai kekuasaan legislatif harus mempunyai sifat
mujtahid. Tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh absolut. Ulama-ulama
merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.[15]
Masalah bentuk kepala negara atau pemerintahan tidak usah menjadi masalah bagi
kita, sebab apakah memang cocok bentuk pemerintahan yang dianjurkan oleh Rasyid
Rida untuk diterapkan dalam negara yang masing-masing situasi dan kondisi
masyarakatnya berlainan ? tetapi yang penting ummat Islam harus mempunyai kemampuan
untuk melatar belakangi kehidupan negara
itu dengan aspek-aspek ajaranya sehingga kehidupan pemerintahannya tidak
terlepas dari ajaran islam.
d. Persatuan Ummat
Salah satu sebab yang menjadi kemunduran ummat islam tidak adanya kesatuan
yang didasarkan kepada satu keyakinan. Oleh karena itu ia tidak setuju gerakan
nasionalisme di pelapori Mustafa. Kamil di Mesir. [16] didalam masalah persatuan ummat, dasar yang
penting itu bukan hanya dasar keyakinan saja, juga ummat Islam harus mempunyai
persatuan yang didasari oleh rasa kesatuan bangsa dan bahasa, sebab ummat Islam
pun tidak hidup dalam satu negara yang tertentu tetapi kondisi negaranya satu
sama lain berlainan pula. Kalau persatuan ummat itu hanya didasarkan dengan
satu keyakinan saja, dengan demikian ummat Islam tidak bisa bersatu dengan yang
berlainan keyakinan. Apakah bisa berjalan baik persatuan ummat dalam hal yang
demikian.
3.
Realitas Historis Seputar Penyusunan Tafsir
Al-Manar
Salah
satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran
umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi
menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak
yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya,
anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang
membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal
menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh
melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.[17]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara
tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut
terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya
yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan
Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu,
maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya
seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi
yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi
tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan
sunatullah.[18]
Rasyid ridha pada
dasarnya adalah anak-anak zamannya yang hidup dan berjuang serta berkarya dalam
kerangka pemikiran dan kondisi zamannya. Maka tidak heran apabila di kaitkan
dan corak dan cara Ridha menyikapi dan menafsirkan al-Qur’an, isi dan kandungan
tafsir yang disusun berkait dan bahkan di arahkan sesuai dengan kondisi yang
melatarbelakangi nya dalam upaya mendayagunakan Al-Qur’an sebagai rujukan dan
pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.[19]
Disisi lain, corak Al-Adabiy
Al-Ijtima’i yang menjadi dasar penafsiran mereka merupakan satu landasan yang
kuat untuk menyatakan bahwasanya kedua kitab tafsir ini sangat erat bergumul
dengan realitas historis yang terjadi saat kedua kitab tafsir tersebut
disusun.
Ulama-ulama tafsir
menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang
bercorak Adabiy wa Ijtima’iy (budaya dan kemasyarakatan). Ayat-ayat yang
ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha
mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat
Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat
taklid dan pengabaian peranan akal.[20]
Muhammad Abduh
berusaha membuktikan bahwa Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk menggunaka
akal mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun
pendapat tersebut dikemukakan oleh orang yang seyogyannya dihormati dan
dipercaya, serta mengetahui secara pasti hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat
tersebut.[21]
Dari segi ini pula M.
Abduh berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan
penafsiran-penafsiran yang ilmiah baik yang berhubungan dengan ilmu alam dan
ilmu sosiologi. Selain itu seperti diketahui Abduh mengarahkan
juga pandangannya terhadap perbaikan bahasa Arab. Maka tidak mengeherankan
dalam tafsirnya ditemukan usaha-usaha tersebut. Kemampuan berbahasa, menurut
Abduh, bukannya dinilai dari pengetahuan tata bahasa atau istilah-istila ilmu
bahasa, namun ia dinilai dari rasa bahasa yang telah meresap dalam jiwa
seseorang karena mempelajari bahasa harus bertujuan menciptakan rasa tersebut, hal inilah yang
kemudian menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi, bahkan
mengasah penalaran.[22]
Atas dasar ini di
dalam tafsirnya, Abduh tidak hanya memberikan perhatian kepada pembahasan,
kosakata atau bahasa dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang
mengantarkan pada pemahaman kandungan petunjuk-petunjuk Al-Quran.
Yang pada intinya,
ada dua pokok yang melatarbelakangi pemikiran M. Abduh dalam menggunakan corak
penafsiran Adabiy wa Ijtima’iy, kedua persoalan tersebut adalah:[23]
a.
Membebaskan akal pikiran belenggu taklid yang
mengambat perkembangan pengetahuan agama
sebagaimana halnya ulama sebelum abad ketiga hijriyah.
b.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah atau tulisan di
media massa, penerjemah atau korespondensi.
c.
Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni.
d.
Menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa
kini.
Pada dasarnya Muhammad Rasyid
Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya,
Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
a.
Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan
ayat-ayat yang serasi
b.
Ayat Al-Qur’an bersifat umum
c.
Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
d.
Penggunaan akal secara luas dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an
e.
Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
f.
Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar
adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan
kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya
tidak mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat
komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat.
4.
Pengertian Metodologi Tafsir Al- Adabi Al-
Ijtima’I
Kata “metode” berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[24]
Dalam bahasa inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa arab menerjemahkannya
dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung
arti:”cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam
ilmu pengetahuan dan sebagainya)”. Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[25]
Pengertian
metode yang umum itu dapat di gunakan pada berbagai objek, baik berhubungan
dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi
dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Al-Qur’an
tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur terpikir baik-baik untuk
mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud allah di dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. [26]
Menurut manna Khalil
Al Qattan[27] dalam bukunya mabahis fi ulumil quran, menjelaskan bahwa secara etimologi
kata tafsir bermakna mengikuti wazan taf’il berasal dari kata al-fasr yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang
abstrak. Sedangkan secara istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Sedangkan sebagian ahli tafsir
mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang membahas Al-Qur’anul karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah
sesuai dengan kemampuan manusia.[28]
Adapun Adabiy
wa Ijtima’iy merupakan salah satu corak penafsiran yang dikembangakn oleh ulama
tafsir kontemporer. Yang apabila kita kaji secara etimologi kata al- adabiy,
dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dan kata kerja “aduba” yang
berarti sopan santun, tata karma dan sastra.[29]
Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang di jadikan pegangan
bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan
karya seninya. [30]
oleh karena itu, istilah “al- adabiy” dapat berarti “sastra budaya/
kesusteraan”.[31]
Sedang kata “al- Ijtima’iy”, yang berakar pada huruf jim, mim dan ‘ain, jama’a,
dapat berarti menyatukan sesuatu. [32]
kata ini menjadi bentuk “Ijtama’a”, yang melahirkan infinitive ijtima’, yang
berarti “banyak bergaul dengan masyarakat atau sosial”.[33]
Jadi secara Etimologis , tafsir al- adabiy al-ijtimaiy Adalah tafsir yang
berorientasi pada sastra budaya dan ke- masyarakatan, yang oleh Mu’in salim
disebut sebagai tafsir dengan pendekatan sosio-kultural.[34]
Secara terminology,
tafsir al-adabiy al ijtimaiy sebagai di sebutkan oleh farmawi adalah corak
tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-qur’an pada aspek
ketelitian redaksinya, lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah
dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta
menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia. [35]
Ciri khusus
yang dimiliki tafsir al- adabiy al-ijtima’iy, sebagai definisi diatas adalah
relevansi antara tafsir dengan masyarakat dan pembangunan manusia. Ringkasnya
abduh menjelaskan keindahan ayat Al-Qur’an tersebut dengan apa yang ada di
dalam Al-Qur’an. Inilah salah satu tafsir al-adabiy al-ijtima’iy di sebut
dengan tafsir modern, karena ia memiliki tingkat relevansi yang tinggi dengan
realita perkembangan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Sedangkan yang
dimaksud al- ijtima’iy menurutnya, bahwa tafsir corak ini berusaha menjawab
persoalan – persoalan masyarakat sebagaimana yang terkandung di dalam tujuan di
turunkan al-qur’an. [36]
Melalui tafsir
al-adabi al-Ijtima’i ini, manusia diingatkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab
Allah swt yang mampu mengatur perkembangan zaman dan kemanusiaan. Tafsir dengan
corak Adabiy wa Ijtima’iy ini menggunkan berbagai argumentasi untuk
mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang mendeskriditkan Al-Qur’an yang
di nilai tidak dapat memecahkan masalah yang dialami oleh umat islam dan
keragu-raguan atasnya. Menurut hanafi tafsir ini mengajak ke arah perubahan
sosial dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan utama dunia muslim,
menggabungkan teori dengan praktik, melamapui penafsiran klasik untuk
menggabungkan teks dengan kondisi saat ini.[37]
Penafsiran ayat-ayat
alqur’an dengan mengungkapkan segi balaghah Al Qur’an dan kemukjizatannya,
menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al-Qur’an,
mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang
dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan
menumbuhkan kecintaan kepada al qur’an serta memotivasi untuk menggali
makna-makna dan rahasia-rahasia Al Qur’an.[38]
5.
Karakteristik Manhaj Tafsir Al Adabi Al Ijtima
Sebagai salah satu
akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang mempunyai
karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan memiliki corak
tersendiri yang betul-betul baru dari dunia tafsir.
Corak tafsir ini
berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara, pertama mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti,
selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an tersebut
dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya,
penafisran berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang telah dikaji dengan
kenyataan sosial dan sitem budaya yang ada.[39]
Pembahasan tafsir ini
sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, yang tidak akan
menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya
sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Al-Qur’an
yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan
pengertian ayat – ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia. Disamping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok
diturunkannya Al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti
pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan
perkembangan masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah
bagaimana misi Al-Qur’an sampai pada pembaca.[40]
Dalam
penafsirannya, teks-teks al-quran dikaitkan dengan realitas kehidupan
masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat fungsional
dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa
persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk
kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an,
sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan perkembangan zaman dan
manusia.
Dari uraian di
atas, menurut M. Quraish Shihab unsur pokok tafsir Ijtima’ adalah sebagai
berikut;
a.
Menguraikan ketelitian dan kandungan ayat-ayat
Al Qur’an
b.
Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al Qur’an
dengan susunan kalimat yang indah
c.
Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama
diuraikan Al-Qur’an. Penafsiran ayat
dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku
dalam masyarakat.
6.
Contoh
Penafsiran bercorak Al-Adabiywa Ijtima’I dalam tafsir Al-Manar
Contoh penafsiran bercorak Al-Adabiywa Ijtima’i adalah dalam QS.
An-nisa:36)
”Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,[41]
dan teman sejawat, Ibnu sabil[42]
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri,” (QS. An-nisa:36)[43]
Setelah
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah
kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas),
yang lebih dekat dan seterusnya.
Dari ayat dan
penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih
kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang
banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mewajibkan
perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Berdasarkan contoh lain dalam (Q.S.Al-Lail :
15-17)
Tidak ada yang masuk ke dalamnya
kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling
(dari iman). dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,
(QS.Al-Lail:15-17)[44]
Kata al
asyqa dan al atqa artinya celaka dan taqwa oleh Abduh dikembangkan.
Menurut Abduh siapapun yang mempunyai amalan yang mendatangkan dosa, sekalipun
orang yang melakukan berpredikat mukmin dihukumi celaka. Sebaliknya kata al
Atqa tidak hanya ditujukan kepada Abu Bakar (mertua dan sahabat Nabi),
tetapi Abduh berani menafsirkan al Atqa juga berlaku untuk kalangan umum.
Menurut tafsir
klasik, yang dimaksud “orang-orang yang paling celaka” tersebut adalah Abu
Jahal dan Umayyah ibn Khalaf, sedangkan “orang yang paling takwa” adalah Abu
Bakar. Menurut Abduh kandungan ketiga ayat tersebut bukan lah dimaksudkan untuk
Abu Bakar atau Abu Jahal saja, tapi siapa pun manusia yang memenuhi kriteria
sebagai orang yang paling celaka dan paling taqwa bisa ditujukan oleh ketiga
ayat tersebut.
Prinsip itulah
yang digunakan oleh Abduh bahwa Al Qur’an benar-benar berfungsi sebagai
petunjuk, misi kemanusiaan universal dan berlaku abadi. Al Qur’an mengandung
formula untuk mengatasi penyakit fenomena yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat. Al Qur’an juga merupakan rahmat bagi manusia. Tetapi bukan berarti
Abduh memperlakukan ayat-ayat secara umum. Abduh tetap berpegang pada Qarinah
yang memang menunjukkan kekhususan ayat.
Penafsiran dalam corak
tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik,
tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan
yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai
kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi
sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai
petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi
ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh
penafsiran juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam
QS. Al-Fiil: 3-4.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ
مِنْ سِجِّيلٍ
“Dan Dia kirimkan kepada
mereka, burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar”.
Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang
masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud
dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar;
tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak (3). “yang melempari mereka
dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa
Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[45]
Di dalam tafsir tersebut,
Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيراtersebut merupakan dari
jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah
kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di
kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh
tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan
bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya
daging dari tubuh itu.[46]
Dengan begitu, dapat
dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern.
Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat
tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan
redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama eraklasik
ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi
dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara
linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan
mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya
dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam
masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat
dengan pengertian bahwa lafadh طيرا berarti burung yang lebih
mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang
diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur (riwayat Said bin
Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafadh بحجارة dalam tafsir tersebut
ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api
neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang
berhakatasnya.[47]
Maka dapat disimpulkan
dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi ijtimai mempunyai karakteristik
atau ciri tersendiri dalam penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut
berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang
pada masa modern.
Muhammad Abduh
memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa
nilai al-Qur’an itu terus
mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura
balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.
Hal itu sebagaimana dalam firman
Allah dalam ( Q.S al-Baqarah; 143) yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha
pengasih serta penyayang kepada semua manusia”.
Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang
menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan
tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan
menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi
daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah
ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih
tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la).
Serta
pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia
derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan
sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para
malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya
menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama
daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih
utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
لَنْ يَسْتَنْكِفَ
الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلا الْمَلائِكَةُ
الْمُقَرَّبُونَ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ
فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak
(pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang
enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan
mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.
Pada ayat
tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa ( Q.S al-Baqarah; 143) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) itu tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yang lebih karena adanya pemisah.[48]
Jelaslah, bahwa ( Q.S al-Baqarah; 143) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) itu tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yang lebih karena adanya pemisah.[48]
B.
Kelebihan dan kelemahan
Al Adabi Al Ijtima’
a.
Kelebihan
Menurut
pendapat Adzhabi dalam bukunya tafsir wal mufassirun,[49]
bahwa kelebihan dari tafsir ini terletak dari gaya bahasa yang digunakan,
mengungkapan segi balaghah al-qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan
makna-makna dan sasaran-sasaran yang di tuju Al-Qur’an , mengungkapkan
hukum-hukum alam, serta berusaha menghilangkan dari penafsiran-penafsiran yang
berbau khurofat dan bidah. Serta menghindari tafsir israiliyat, yang sering
digunakan oleh para mufassir terdahulu. Corak adabi Ijtima’i juga tidak merinci
persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas
lalu oleh Al-Qur’an; serta tidak larut dalam pembicaraan-pembicaraan masalah
ghaib, yang tidak bisa diketahui kecuali dari nash-nash yang shohih.
Adapun menurut Quraish Shihab kelebihan corak tafsir Adabiy wa Ijtima’iy
terletak pada aspek-aspek sebagai berikut :
1)
Membumikan Al-Qur’an dalam kehidupan
2)
Menjadikan ajaran Al-Qur’an praktis dan
pragmatis
3)
Mendorong semangat obyektif dan rasa persatuan
4)
Membangkitkan dinamika umat islam untuk
membangun dunia yang lebih cerah.
Ketika produk
tafsir klasik dihadapkan pada persoalan sekarang, produk tafsir tersebut tidak
mampu lagi menjawab sebagian persoalan-persoalan yang sedang dihadapi
masyarakat saat ini. Hal-hal itulah yang menyebabkan Al-Quran kurang membumi,
atau tidak dapat mengikuti tuntutan zaman. Sedangkan tafsir Adabi Ijtima’I
berangkat dari persoalan masyarakat
terlebih dahulu. Oleh karena itu maka tafsir Adabi ijtima’I memiliki
daya solutif yang tinggi. Artinya, ia lebih diharapkan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial dalam segala seginya dengan berdasarkan pada
petunjuk ilahiyah.
b.
Kelemahan
Mengutip dari
pendapatnya Adzahabi[50]
bahwa kelemahan dari corak tafsir Adabiy wa Ijtima’iy adalah memberikan ruang
seluas-luasnya untuk akal dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga kadang corak
tafsir ini menakwilkan sebagian ajaran-ajaran syariat dalam Al-Qur’an, kemudian
menyelewengkan maknanya dari haqiqi kepada majazi atau tamsil.
Sebenarnya,
tidak ada indikator yang mengarahkan kepada hal tersebut kecuali hanya
semata-mata menjauh dan mengasingkan, yaitu menjauh sebatas kemampuan manusia
yang terbatas dan pengasingan itu hanya dilakukan oleh orang yang bodoh atas
kekuasaan Allah dan keterkaitannya sebisa mungkin, disebabkan oleh kebebasan
akal yang terbatas ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama
mu’tazilah yang memaknai sebagin lafadz-lafadz Al-Qur’an yang tidak dipahami
oleh orang Arab ketika turunnya Al-Qur’an.
Corak tafsir
ini kadang juga meragukan sebagian hadits dengan mendhaifkannya dan
menganggapnya palsu, meskipun hadits-hadits tersebut telah dinilai shahih oleh
sebagian besar ulama.
Sedangkan
menurut Quraish Shihab kelemahan corak tafsir
Adabiy wa Ijtima’iy terletak pada aspek-aspek sebagai berikut:
1)
Kecenderungan untuk melegalisasi masalah
sosial budaya seiring perkembangan ilmu.
2)
Ada potensi ke arah pemaksaan ayat-ayat Al-Quran
tunduk pada teori ilmiah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada bagian akhir ini dapat disimpulkan bahwa Adabiy wa Ijtima’iy,
merupakan corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an
yang berkitan langsung dengan masyarakat. Serta usaha-usaha untuk menanggulangi
masalah masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Latar belakang munculnya tafsir adabiy wa Ijtima’iy berawal dari kondisi
masyarakat umat Islam pada abad ke-19 mengalami masa suram, kemerosotan moral,
terbelakang, banyak Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan asing. Imbas dari
kondisi tersebut adalah muncul anggapan bahwa ajaran-ajaran agama Islam tidak
dapat mengikuti kehidupan modern, peradaban, serta apa yang bernama kemajuan.
Sehingga muncullah tokoh pembaharu Jamaludin Al Afghani bersama muridnya yang
membawa tafsir Adabiy wa Ijtimaiy. Kemudian muncullah para mufassir yang konsen
terhadap Manhaj Adabiy wa Ijtima’iy, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al Maraghi,
Mahmud Syaltut.
Karakteristik
tafsir Adabiy wa Ijtimaiy menurut M. Quraish Shihab adalah sebagai berikut;
menguraikan ketelitian dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an; menguraikan makna dan
kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan susunan kalimat yang indah serta
aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan Al-Qur’an. Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah
yng berlaku dalam masyarakat.
Tafsir ini
memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Diantara kelebihannya adalah membumikan
Al-Qur’an dalam kehidupan; menjadikan ajaran al-qur’an praktis dan pragmatis;
mendorong semangat obyektif dan rasa persatuan; dan membangkitkan dinamika umat
islam untuk membangun dunia yang lebih cerah. Sedangkan kelemahannya adalah
kecenderungan untuk melegalisasi masalah sosial budaya seiring perkembangan
ilmu dan ada potensi ke arah pemaksaan ayat-ayat Al Qur’an tunduk pada teori
ilmiah
Kritik
terhadap tafsir Adabiy wa Ijtimaiy ini dapat dilihat dari dua segi, segi
positif dan segi negatif. Positifnya, penafsiran mereka sangat membantu umat
Islam dalam memahami surat atau ayat yang berkaitan dengan kemasyarakatan.
Sedangkan dari segi negatifnya, terkadang tafsir bercorak adabiy wa ijtima’iy
membawa dampak pada tatanan sosial, terutama bila orang yang menerima tafsiran
ini belum mempunyai pengetahuan yang mendalam (awwam). Akibatnya, seperti yang
diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa
nantinya dalam pengambilan contoh tafsir adabiy Ijtimaiy, terkesan
dipaksakan.
Tafsir ini
nantinya akan berkembang menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, terutama
masyarakat muslim dalam menghadapai perkembangan zaman. Sehingga bisa
memunculkan penafsiran-penafisran yang baru di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta:
Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al- Qur’an,
1971),
Al-syirbashi,
Ahmad. sejarah tafsir Al-qur’an
(Jakarta : firdaus, 2001).
Al- Aridl, Ali
hasan .sejarah dan metodologi tafsir
(Jakarta : CV. Rajawali pers, 1992).
Al Qattan.
Manna Khalil Studi Ilmu-Ilmu Quran, penerjemah:
Mudzakir As,(Bogor: Pustaka Lentera, 2001)
Ash
Shaabuuniy. Muhammad Ali. At Tibyan fi
Ulumil Quran, Penerjemah:Aminuddin,(
Bandung: Pustaka Setia, 1998,)
Baidan.
Nashruddin Metodologi Penafsiran Al-qur’an. (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 1998).
Faiz
Fakhrudidin: Hermeneutika Qur’ani :
antara teks, konteks, dan kontekstualisasi, melacak
hermeneutika tafsir al-manar
dan tafsir al- azhar, (Yogyakarta : penerbit qalam. 2002)
Gusmian, Islah Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hinga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003),
Mahmud. Manni’
Abdul Halim.Metodologi Tafsir; Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2006,
Muin Salim,
Abdul. konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994),
Shihab, M.
Quraish Mukjizat
Al-Qur’an (Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan
Gaib), Bandung: Mizan, 1996,
Shihab, M.
Quraish.Studi kritis tafsir al-manar,
(bandung : pustaka hidayah, 1994)
Sadzali,
Munawir .Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran
(Jakarta : UI press, 1990).
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka.1988). Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke-9, Jakarta: Balai Pustaka. 1986.
Usman. Ilmu
Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta: Penerbit Teras. 2009).
A.
Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan
Gerakannya, (jakarta : Bulan bintang, , 1975 )
[1]
Rosihan
Anwar, Samudera al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal 259
[2] Fakhrudidin faiz: Hermeneutika Qur’ani : antara teks, konteks,
dan kontekstualisasi, melacak hermeneutika tafsir al-manar dan tafsir al-
azhar, (Yogyakarta : penerbit qalam. 2002) hal 61
[3] Emad al-din shanin, “Rashid ridha” dalam john L Esposito, (ed), the oxford
Encyclopedia of the
modern Islamic word
(oxford: oxford university press, 1995), jilid III, hal. 410
[4] Ibid. hal. 411
[6] Ibrahim Ahmad Al-Adawi, Rasyid Ridha: Al-imam Al-Mujtahid (kairo
: matba’ah al- misr, 1964), hal. 30
[7] Ibid hal.88
[8] Op.cit. M. Quraish shihab, studi kritis, hal. 63-64
[9] Ibid . hal. 65
[10] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran
(Jakarta : UI press, 1990), hal. 123-124
[11] Op.cit. M. Quraish Shihab, Studi kritis, hal. 63-64
[12] Ibid. hal. 66
[13]
H.A.R Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah,
( Jakarta : Bharata, ) hal 147
[14] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah
dan Gerakannya, (jakarta : Bulan bintang, , 1975 ) hal 73
[15]
Ibid hal 75
[17] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam
Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 34.
[20] Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir al Manar, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, ttp,) hal. 55
[21] Ibid. hal. 44
[22] Ibid. hal. 55
[23] Manni’ Abdul Halim Mahmud. Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), hal.
254
[24] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat.
“Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”. Dalam Koentjaraningrat (ed.) Metode- Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia. 1997), hal.
16
[25] Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Balai
Pustaka.1988). hal. 580-581; poerwadaminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Cet.
Ke-9, (Jakarta: Balai Pustaka. 1986) hal. 649
[26] Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-qur’an. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
1998). hal.1-2
[27] Manna Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Quran, penerjemah:
Mudzakir As,(Bogor: Pustaka Lentera, 2001), hal. 455
[28] Muhammad Ali Ash Shaabuuniy. At Tibyan fi Ulumil Quran, Penerjemah:Aminuddin,(
Bandung: Pustaka Setia, 1998,) hal. 245
[29] Usman. Ilmu Tafsir untuk UIN,
IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta: Penerbit Teras. 2009), hal. 298
[30] Ibid. hal 298
[31] Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:tp, 1990.
hal.37
[32] Op. cit. Usman. Ilmu tafsir
Untuk… hal. 298
[33] Op. cit. Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia…hal 91
[34] Abdul Muin Salim, konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), hal. 2
[35], Hasan Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a tafsir Al – Fatihah
wa awa’il surat al- baqarah,
(Kuwait; dari al-qur’an al- karim, 1971) hal 12-13
[36] M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi
Pada Sastera Budaya dan Kemasyarakatan (Ujung pandang: IAIN
Alauddin, 1984). hal.
1
[37] Ibid
[38] Ibid. 48
[39] Muhammad Husayn Adz Dzahabi, Op.Cit, hal. 551
[40] Ibid, hal. 549
[41] Dekat dan jauh di sini ada yang
mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang
Muslim dan yang bukan Muslim.
[42] Ibnus sabil ialah orang yang
dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak
yang tidak diketahui ibu bapaknya.
[43] Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hal. 84
[44] Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hal.595
[46]
Ibid hlm 322
[47]
Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.DudiRosyadidanFaturrahman
(Jakarta: PustakaAzzam, 2009), hal. 755-760
[49] Ibid, hal. 548
[50] Ibid, hal. 549
Tidak ada komentar:
Posting Komentar