Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METODOLOGI TAFSIR YANG DI GUNAKAN SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang  
            Pada garis besarnya, penafsiran al-Qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik). Lahirnya metode-metode tafsir tersebut merupakan implementasi dan respon atas tuntutan perkembangan zaman yang selalu dinamis. Pada umumnya orang yang hidup pada masa Nabi Saw dan sahabat, adalah ahli dalam bahasa arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (Asbab al-Nuzul), serta mengalami langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat.[1]
Salah satu yang mendorong lahirnya tafsir modern adalah semakin melebar, meluas, dan mendalamnya perkembangan aneka ilmu, dan semakin kompleksnya persoalan yang memerlukan bimbingan al-Qur’an. Disisi lain, kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntuan itu semakin menuntut gerak cepat untuk meraih informasi dan bimbingan.
Pada periode berikutnya, umat Islam semakin majemuk, terutama setelah tersebarnya Islam di luar tanah Arab. Kondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan ilmu tafsir. Akibatnya, para pakar tafsir ikut mengantisipasinya dengan menyajikan penafsiran ayat al-Qur’an yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan umat yang semakin beragam, dari sinilah lahir istilah tafsir modern.

Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.
Tafsir al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir popular di kalangan para peminat studi Al-Qur’an. Majalah Al-Manar, yang memulai tafsir ini secara berkala pada awal abad ke-20 tersebar luas ke seluruh penjuru dunia Islam dan memiliki peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama.tokoh utama dalam penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar – dasarnya  adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
B.  Rumusan masalah
1.     Metodologi  tafsir apa yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya ?
2.    Apa saja kelemahan dan kelebihan yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya ?

C.  Tujuan Pembahasan
1.    Untuk memahami Metodologi  tafsir yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
2.    Apa saja kelemahan dan kelebihan yang di gunakan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Metodologi  tafsir Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir Al- Manarnya
1.      Biografi Muhammad Rasyid Ridha
                 Ada dua hal yang membuat nama sayyid Rasyid Ridha cukup dikenal dalam dunia islam, yaitu posisinya sebagai murid Muhammad Abduh yang menjadi “juru tulis” sekaligus komentator atas diri gurunya itu dan karir jurnalistiknya yang dengan nya ia berjasa dalam menyebarkan ide-ide pembaruan ke seluruh penjuru dunia islam, khususnya dengan majalah Al-Manar-nya. [2]
                 Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ibn ‘Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Al-Sayyid Baha’uddin Ibn Al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah Al-Bagdadi. Ia dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Lebanon pada tanggal 27 Jumadil ‘Ula 1282. Gelar sayyid di depan namanya menunjukkan posisinya sebagai keturunan Rasulullah; dan memang berdasarkan catatan sejarah, ia mempunyai garis keturunan langsung dari Husain,putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah .[3]
                 Syaikh Rasyid Ridha di lahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan – gerakan tarikat. Kondisi masyarakat semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah meskipun ia keluar karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut tidak sesuai dengan ajaran islam yang benar. Pengalaman ini nantinya mengilhami gerakan reformasi yang dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat islam dari pengaruh negatif tasawuf dan membersihkan islam dari berbagai praktik yang menyimpang. [4] pendiriannya ini semakin kuat setelah bertemu dengan Abduh.
                 Dalam aspek pendidikan, di samping belajar kepada orang tuanya sendiri, Sayyid Rasyid Ridha juga belajar dari banyak guru. Pada masa kecilnya ia belajar di suatu taman kanak-kanak yang bernama “Al-Kuttab”. Di sana ia belajar membaca, menulis dan dasar-dasar berhitung. Kemudian ia menempuh pendidikan pada sekolah formal yang cukup maju yang didirikan oleh syaikh Husain Al-Jisr (W. 1909). Pada tahun 1314 H/ 1897 M. Syaikh Al-Jisr memberikan ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa dan filsafat kepada Rasyid Ridha.[5]  
                 Di samping kepada syaikh Husain Al-Jisr, Syaikh Rasyid Ridha juga belajar kepada guru-guru lain, seperti ; Syaikh Mahmud Nasyabah, Syaikh Muhammad Al-Qawiji,Syaikh Abd Al-Gani Al-Rafi’, Al Ustadz Muhammad Husaini dan syaikh Muhammad Kamil Al-Rafi’. [6]
                 Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian – pengajian untuk masyarakat sekitarnya maupun melalui tulisan – tulisan di media massa, Muhammad Abduh sedang memimpin gerakan pembaharuan di Mesir. Majalah Al- Urwah Al-Wusqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al- Afghani dan Muhammad Abduh sempat dibaca oleh Rasyid Ridha dan mampu mengubah jiwa pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat, sebagaimana yang ia tulis :
                 Dengan membacanya (Al- Urwah Al-Wusqa), aku berpindah ke suatu jalan baru dalam memahami agama islam, yakni bahwa islam bukan hanya agama rohani- ukhrawi semata, tetapi ia adalah agama rohani- jasmani, ukhrawi- duniawi, yang bertujuan antara lain untuk memberikan petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan sungguh-sungguh. [7]
                 Kekaguman Rasyid Ridha terhadap Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada tahun 1885 dan mengajar sambil mengarang, pertemuan antara keduanya terjadi ketika Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, syaikh Abdullah Al-Barakah, yang mengajar di sekolah al- khanutiyah. Pada kesempatan pertemuan pertama ini, Rasyid Ridha bertanya tentang tafsir al kasyaf karya Al Zamakhsyari adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi sastra bahasa yang di uraikannya.[8]
                 Setelah terjadi pertemuan tersebut, pada tahun 1897 Rasyid Ridha bertekad pergi ke mesir untuk bergabung dengan perjuangan Muhammad Abduh. Dan tidak lama kemudian ia menjadi murid yang sangat dekat dan berpengaruh. Di Mesir ia menerbitkan majalah Al- Manar yang terbit pertama kali tahun 1898 sebagai majalah mingguan kemudian menjadi majalah, sampai ia meninggal tahun 1935.[9]
                 Sepanjang hidupnya, disamping sangat memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat, Rasyid Ridha juga banyak terlibat dalam dunia politik. Dilihat dari latar belakang sejarah hidupnya. Ia hidup dalam kondisi politik yang tidak menentu; misalnya terjadinya konflik antara turki dan arab serta pemberontakan syarif Husain terhadap kekuasaan turki.
                 Dalam urusan politik ini Rasyid Ridha pernah pergi ke Istambul untuk mempersatukan kelompok turki dan kelompok arab setelah abu hamid turun tahta. Pada tahun 1916. Saat perang dunia I berlangsung, Rasyid Ridha pergi ke hijaz untuk naik haji sekaligus mengucapkan selamat kepada syarif Husain atas pemberontakannya. Pada tahun 1919, rasyid ridha menghadiri kongres suria raya yang menuntut kemerdekaan penuh bagi Negara tersebut. Sementara itu pada tahun 1925, di samping pergi ke jenewa untuk menghadiri kongres suria- palestina dalam kapasitas nya sebagai anggota persatuan kairo, rasyid ridha juga menghadiri kongres islam di hijaz untuk membicarakan soal pemerintahan islam dan jabatan khalifah. Dan pada tahun 1931, ia di undang oleh amin husein, mufti palestina, untuk membicarakan masalah yahudi- Israel. [10]
                 Rasyid ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah, di samping tafsir al-manar dan tulisan – tulisannya di majalah- majalah yang dikelolanya, beberapa karya nya yang patut di catat antara lain adalah tarikh al- ustadz al- imam mengenai biografi gurunya, Muhammad Abduh, nida’ li al-jins al-latif mengenai hak dan kewajiban wanita, zikra mauled al- nabawi, risalah hujat al-islam al – ghazali, al- sunah wa syi’ah, al wahdah al islamiyyah, dan haqiqah riba.[11]
                 Rasyid ridha wafat dalam perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Sa’ud Al-faisal. Mobil yang di kendarainya mengalami kecelakaan dan menderita gegar otak, kemudian wafat pada 22 agustus 1935 M.[12]
2.      Ide-ide Pembaharuan Rasyid Ridha
Ide-ide pembaharuan Muhammad Rasyid Ridha dimulai dari suatu usaha sekiranya dapat merubah keadaan ummat islam, maka ia mulai mengadakan pembaharuan sebagai berikut:
a.       Dalam bidang pendidikan
Melihat suatu kenyataan pada masanya itu Muhammad Rasyid Ridha mempunyai suatu anggapan, bahwa penyebab dari timbulnya perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan kepentingan hidup manusia salah satu sebabnya adalah salahnya penerapan dalam sistem pendidikan yang ada ada masa itu. Pendidikannya yang bersifat tradisional banyak berorientasi kepada ilmu pengetahuan yang bersifat ukhrawi dan tidak mementingkan pendidikan yang bersifat duniawi. Hal seperti ini akan mengakibatkan ummat manusia menjadi mundur, sebab apabila dihadapkan kepada masalah-masalah yang berhubungan dengan keduniawian, mereka tidak akan dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, karena tidak memiliki kemampuan yang berhubungan dengan hal itu, maka terjadilah kepincangan-kepincangan dalam tubuh umat umat Islam itu yang disebabkan salahnya menentukan dan menerapkan sistem pendidikan pada waktu itu. Dan hal ini mengakibatkan kebudayaan dan peradaban mereka tertinggal.
Melihat kenyataan ini, maka Muhammad Rasyid Ridha merubah sistem pendidikan yang tradisional kepada sisitem pendidikan yang modern yaitu dengan tidak melupakan memasukannya ilmu pengetahuan umum disamping ilmu pengetahuan Agama. Hal ini dimulai dengan mendirikan sekolah (Madrasah) sebagai mana telah penulis jelaskan pada pembahasan di atas.
b.      Toleransi Mazhab
Timbulnya sikap dari umat Islam acuh tak acuh terhadap hal-hal yang bersifat keduniaaan, dan fanatik terhadap Mazhab, hal ini akan membahayakan terhadap ummat islam dan akan mengakibatkan ummat Islam mundur dan berpecah-pecah. Untuk menghadapi masalah ini, maka Muhammad Rasyid Ridha memimpin gerakan Salafiyah. Kaum Salafi menyetujui kaum modernis dalam penolakan kuasa mazhab-mazhab abad pertengahan dan menerima Al-Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya dan menerima Al-Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya kebenaran Agama.[13]
Selanjutnya ia berprinsip, bahwa dalam hal-hal dasarlah yang perlu di pertahankan kesamaaan faham ummat, tetapi dalam hal perincian dan bukan dasar diberi kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya. [14]
c.       Dalam pemerintahan
Didalam pemerintahan Rasyid Rida menganjurkan ialah negara dalam bentuk kekhalifahan, karena mempunyai kekuasaan legislatif harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh absolut. Ulama-ulama merupakan pembantu-pembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.[15] Masalah bentuk kepala negara atau pemerintahan tidak usah menjadi masalah bagi kita, sebab apakah memang cocok bentuk pemerintahan yang dianjurkan oleh Rasyid Rida untuk diterapkan dalam negara yang masing-masing situasi dan kondisi masyarakatnya berlainan ? tetapi yang penting ummat Islam harus mempunyai kemampuan untuk melatar belakangi kehidupan  negara itu dengan aspek-aspek ajaranya sehingga kehidupan pemerintahannya tidak terlepas dari ajaran islam.
d.      Persatuan Ummat
Salah satu sebab yang menjadi kemunduran ummat islam tidak adanya kesatuan yang didasarkan kepada satu keyakinan. Oleh karena itu ia tidak setuju gerakan nasionalisme di pelapori Mustafa. Kamil di Mesir. [16]  didalam masalah persatuan ummat, dasar yang penting itu bukan hanya dasar keyakinan saja, juga ummat Islam harus mempunyai persatuan yang didasari oleh rasa kesatuan bangsa dan bahasa, sebab ummat Islam pun tidak hidup dalam satu negara yang tertentu tetapi kondisi negaranya satu sama lain berlainan pula. Kalau persatuan ummat itu hanya didasarkan dengan satu keyakinan saja, dengan demikian ummat Islam tidak bisa bersatu dengan yang berlainan keyakinan. Apakah bisa berjalan baik persatuan ummat dalam hal yang demikian.
3.      Realitas Historis Seputar Penyusunan Tafsir Al-Manar
                 Salah satu ide pembaruan Rasyid Ridha dalam tafsirnya disebabkan adanya kemunduran umat Islam dalam berbagai aspek dan kehidupan lantaran mereka tidak lagi menganut ajaran Islam yang sebenarnya. Perilaku umat Islam juga sudah banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat sudah banyak masuk ke dalam Islam. Misalnya, anggapan yang menyatakan bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan rohani yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Padahal menurut ajaran agama, kebahagiaan dunia dan akhirat hanya dapat diperoleh melalui amal usaha yang sesuai dengan sunatullah.[17]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[18]
                 Rasyid ridha pada dasarnya adalah anak-anak zamannya yang hidup dan berjuang serta berkarya dalam kerangka pemikiran dan kondisi zamannya. Maka tidak heran apabila di kaitkan dan corak dan cara Ridha menyikapi dan menafsirkan al-Qur’an, isi dan kandungan tafsir yang disusun berkait dan bahkan di arahkan sesuai dengan kondisi yang melatarbelakangi nya dalam upaya mendayagunakan Al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.[19]
                 Disisi lain, corak Al-Adabiy Al-Ijtima’i yang menjadi dasar penafsiran mereka merupakan satu landasan yang kuat untuk menyatakan bahwasanya kedua kitab tafsir ini sangat erat bergumul dengan realitas historis yang terjadi saat kedua kitab tafsir tersebut disusun. 
                 Ulama-ulama tafsir menilai Muhammad Abduh sebagai tokoh dan peletak dasar-dasar penafsiran yang bercorak Adabiy wa Ijtima’iy (budaya dan kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taklid dan pengabaian peranan akal.[20]
                 Muhammad Abduh berusaha membuktikan bahwa Al-Qur’an memerintahkan umatnya untuk menggunaka akal mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu walaupun pendapat tersebut dikemukakan oleh orang yang seyogyannya dihormati dan dipercaya, serta mengetahui secara pasti hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut.[21]
                 Dari segi ini pula M. Abduh berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan penafsiran-penafsiran yang ilmiah baik yang berhubungan dengan ilmu alam dan ilmu sosiologi. Selain itu seperti diketahui Abduh mengarahkan juga pandangannya terhadap perbaikan bahasa Arab. Maka tidak mengeherankan dalam tafsirnya ditemukan usaha-usaha tersebut. Kemampuan berbahasa, menurut Abduh, bukannya dinilai dari pengetahuan tata bahasa atau istilah-istila ilmu bahasa, namun ia dinilai dari rasa bahasa yang telah meresap dalam jiwa seseorang karena mempelajari bahasa harus bertujuan  menciptakan rasa tersebut, hal inilah yang kemudian menimbulkan kemampuan ekspresi serta ketelitian redaksi, bahkan mengasah penalaran.[22]
                 Atas dasar ini di dalam tafsirnya, Abduh tidak hanya memberikan perhatian kepada pembahasan, kosakata atau bahasa dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang mengantarkan pada pemahaman kandungan petunjuk-petunjuk Al-Quran.
                 Yang pada intinya, ada dua pokok yang melatarbelakangi pemikiran M. Abduh dalam menggunakan corak penafsiran Adabiy wa Ijtima’iy, kedua persoalan tersebut adalah:[23]
a.    Membebaskan akal pikiran belenggu taklid yang mengambat perkembangan pengetahuan agama  sebagaimana halnya ulama sebelum abad ketiga hijriyah.
b.    Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah atau tulisan di media massa, penerjemah atau korespondensi.
c.    Menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni.
d.   Menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa kini.

Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
a.    Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
b.    Ayat Al-Qur’an bersifat umum
c.    Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
d.   Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
e.    Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
f.     Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat

Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya tidak mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
4.      Pengertian Metodologi Tafsir Al- Adabi Al- Ijtima’I
                 Kata “metode” berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan.[24] Dalam bahasa inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti:”cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya)”. Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.[25]
                 Pengertian metode yang umum itu dapat di gunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. [26]
                 Menurut manna Khalil Al Qattan[27] dalam bukunya mabahis fi ulumil quran, menjelaskan bahwa secara etimologi kata tafsir bermakna mengikuti wazan taf’il berasal dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan secara istilah tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya. Sedangkan sebagian ahli tafsir mengemukakan  bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas Al-Qur’anul karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.[28]
                 Adapun Adabiy wa Ijtima’iy merupakan salah satu corak penafsiran yang dikembangakn oleh ulama tafsir kontemporer. Yang apabila kita kaji secara etimologi kata al- adabiy, dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dan kata kerja “aduba” yang berarti sopan santun, tata karma dan sastra.[29] Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang di jadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. [30] oleh karena itu, istilah “al- adabiy” dapat berarti “sastra budaya/ kesusteraan”.[31] Sedang kata “al- Ijtima’iy”, yang berakar pada huruf jim, mim dan ‘ain, jama’a, dapat berarti menyatukan sesuatu. [32] kata ini menjadi bentuk “Ijtama’a”, yang melahirkan infinitive ijtima’, yang berarti “banyak bergaul dengan masyarakat atau sosial”.[33] Jadi secara Etimologis , tafsir al- adabiy al-ijtimaiy Adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan ke- masyarakatan, yang oleh Mu’in salim disebut sebagai tafsir dengan pendekatan sosio-kultural.[34]
                 Secara terminology, tafsir al-adabiy al ijtimaiy sebagai di sebutkan oleh farmawi adalah corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-qur’an pada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. [35]
                 Ciri khusus yang dimiliki tafsir al- adabiy al-ijtima’iy, sebagai definisi diatas adalah relevansi antara tafsir dengan masyarakat dan pembangunan manusia. Ringkasnya abduh menjelaskan keindahan ayat Al-Qur’an tersebut dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an. Inilah salah satu tafsir al-adabiy al-ijtima’iy di sebut dengan tafsir modern, karena ia memiliki tingkat relevansi yang tinggi dengan realita perkembangan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Sedangkan yang dimaksud al- ijtima’iy menurutnya, bahwa tafsir corak ini berusaha menjawab persoalan – persoalan masyarakat sebagaimana yang terkandung di dalam tujuan di turunkan al-qur’an. [36]
                 Melalui tafsir al-adabi al-Ijtima’i ini, manusia diingatkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab Allah swt yang mampu mengatur perkembangan zaman dan kemanusiaan. Tafsir dengan corak Adabiy wa Ijtima’iy ini menggunkan berbagai argumentasi untuk mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang mendeskriditkan Al-Qur’an yang di nilai tidak dapat memecahkan masalah yang dialami oleh umat islam dan keragu-raguan atasnya. Menurut hanafi tafsir ini mengajak ke arah perubahan sosial dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan utama dunia muslim, menggabungkan teori dengan praktik, melamapui penafsiran klasik untuk menggabungkan teks dengan kondisi saat ini.[37]
                 Penafsiran ayat-ayat alqur’an dengan mengungkapkan segi balaghah Al Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabi merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia Al Qur’an.[38]
5.      Karakteristik Manhaj Tafsir Al Adabi Al Ijtima
                 Sebagai salah satu akibat perkembangan modern adalah munculnya corak tafsir yang mempunyai karakteristik tersendiri berbeda dari corak tafsir lainnya dan memiliki corak tersendiri yang betul-betul baru dari dunia tafsir.
                 Corak tafsir ini berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara, pertama mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud dalam Al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafisran berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang telah dikaji dengan kenyataan sosial dan sitem budaya yang ada.[39]
                 Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, yang tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Al-Qur’an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian ayat – ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Disamping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Al-Qur’an sampai pada pembaca.[40]
                 Dalam penafsirannya, teks-teks al-quran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan perkembangan zaman dan manusia.
                 Dari uraian di atas, menurut M. Quraish Shihab unsur pokok tafsir Ijtima’ adalah sebagai berikut;
a.    Menguraikan ketelitian dan kandungan ayat-ayat Al Qur’an
b.    Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan susunan kalimat yang indah
c.    Aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan Al-Qur’an.  Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yang berlaku dalam masyarakat.


6.      Contoh Penafsiran bercorak Al-Adabiywa Ijtima’I dalam tafsir Al-Manar
Contoh penafsiran bercorak Al-Adabiywa Ijtima’i adalah dalam QS. An-nisa:36)

”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,[41] dan teman sejawat, Ibnu sabil[42] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS. An-nisa:36)[43]
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk beribadah kepada-Nya dan menunaikan hak-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan hak-hak hamba-Nya secara berurutan (sesuai skala prioritas), yang lebih dekat dan seterusnya.   
Dari ayat dan penafsiran di atas, kita bisa berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya. Terlebih kepada kerabat-kerabat dekat yang juga muslim, mereka memiliki hak-hak yang banyak atas kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik kepada segala sesuatu.” (HR. Muslim dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu)
Berdasarkan contoh lain dalam (Q.S.Al-Lail : 15-17)
  
Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, (QS.Al-Lail:15-17)[44]
Kata al asyqa dan al atqa artinya celaka dan taqwa oleh Abduh dikembangkan. Menurut Abduh siapapun yang mempunyai amalan yang mendatangkan dosa, sekalipun orang yang melakukan berpredikat mukmin dihukumi celaka. Sebaliknya kata al Atqa tidak hanya ditujukan kepada Abu Bakar (mertua dan sahabat Nabi), tetapi Abduh berani menafsirkan al Atqa juga berlaku untuk kalangan umum.
Menurut tafsir klasik, yang dimaksud “orang-orang yang paling celaka” tersebut adalah Abu Jahal dan Umayyah ibn Khalaf, sedangkan “orang yang paling takwa” adalah Abu Bakar. Menurut Abduh kandungan ketiga ayat tersebut bukan lah dimaksudkan untuk Abu Bakar atau Abu Jahal saja, tapi siapa pun manusia yang memenuhi kriteria sebagai orang yang paling celaka dan paling taqwa bisa ditujukan oleh ketiga ayat tersebut.
Prinsip itulah yang digunakan oleh Abduh bahwa Al Qur’an benar-benar berfungsi sebagai petunjuk, misi kemanusiaan universal dan berlaku abadi. Al Qur’an mengandung formula untuk mengatasi penyakit fenomena yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Al Qur’an juga merupakan rahmat bagi manusia. Tetapi bukan berarti Abduh memperlakukan ayat-ayat secara umum. Abduh tetap berpegang pada Qarinah yang memang menunjukkan kekhususan ayat.
Penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Amma oleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar”.
 Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak (3). “yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل  berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[45]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيراtersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[46]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat soaial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Berbeda halnya dengan corak penafsiran lain yang dilakukan oleh beberapa ulama eraklasik ataupun pertengahan. Sebut saja misalnya penafsiran dalam Tafsir al-Qurthubi dengan corak fiqhinya, yang hanya menafsirinya dengan memaknai ayat secara linguistik saja. Yakni hanya membahas mengenai segi kebalaghannnya saja dengan mengkaitkannya pada riwayat-riwayat dari beberapa sahabat. Tanpa memaknainya dengan mengkaitkan kehidupan sosial atau pengetahuan yang ada ketika itu dalam masyarakat. Beliau lebih mencantumkan mengenai perbedaan dari beberapa sahabat dengan pengertian bahwa lafadh طيرا berarti burung yang lebih mirip dengan kelelawar yang bewarna merah dan hitam, sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah. Disebutkan juga bahwa lafadh tersebut bermakna burung khudlur (riwayat Said bin Jubair), dan sebagainya. Sedangkan mengenai lafadh بحجارة dalam tafsir tersebut ditafsiri dengan batu yang terbuat dari tanah liat, yang dibakar di atas api neraka, dan pada batu-batu itu tertuliskan nama setiap orang yang berhakatasnya.[47]
Maka dapat disimpulkan dari contoh tersebut bahwa dalam corak adabi ijtimai mempunyai karakteristik atau ciri tersendiri dalam penafsirannya.Yakni bahwa corak tafsir tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial dan perkembangan pengetahuan yang berkembang pada masa modern.
Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an itu terus mengalami peningkatan disebabkan minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas kata dalam al-Qur’an.
Hal itu sebagaimana dalam firman Allah dalam ( Q.S al-Baqarah; 143)  yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
 “sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha pengasih serta penyayang kepada semua manusia”.
Maka yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi min al-adna ila al-a’la).
Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’ yang berbunyi:
لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا لِلَّهِ وَلا الْمَلائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ وَمَنْ يَسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًا
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.
Pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa ( Q.S al-Baqarah; 14
3) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab)  itu tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yang lebih karena adanya pemisah.[48]
B.       Kelebihan dan kelemahan Al Adabi Al Ijtima’
a.    Kelebihan
Menurut pendapat Adzhabi dalam bukunya tafsir wal mufassirun,[49] bahwa kelebihan dari tafsir ini terletak dari gaya bahasa yang digunakan, mengungkapan segi balaghah al-qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang di tuju Al-Qur’an , mengungkapkan hukum-hukum alam, serta berusaha menghilangkan dari penafsiran-penafsiran yang berbau khurofat dan bidah. Serta menghindari tafsir israiliyat, yang sering digunakan oleh para mufassir terdahulu. Corak adabi Ijtima’i juga tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Qur’an; serta tidak larut dalam pembicaraan-pembicaraan masalah ghaib, yang tidak bisa diketahui kecuali dari nash-nash yang shohih.
Adapun menurut Quraish Shihab kelebihan corak tafsir Adabiy wa Ijtima’iy terletak pada aspek-aspek sebagai berikut :
1)   Membumikan Al-Qur’an dalam kehidupan
2)   Menjadikan ajaran Al-Qur’an praktis dan pragmatis
3)   Mendorong semangat obyektif dan rasa persatuan
4)   Membangkitkan dinamika umat islam untuk membangun dunia yang lebih cerah.
Ketika produk tafsir klasik dihadapkan pada persoalan sekarang, produk tafsir tersebut tidak mampu lagi menjawab sebagian persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat saat ini. Hal-hal itulah yang menyebabkan Al-Quran kurang membumi, atau tidak dapat mengikuti tuntutan zaman. Sedangkan tafsir Adabi Ijtima’I berangkat dari persoalan masyarakat  terlebih dahulu. Oleh karena itu maka tafsir Adabi ijtima’I memiliki daya solutif yang tinggi. Artinya, ia lebih diharapkan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan sosial dalam segala seginya dengan berdasarkan pada petunjuk ilahiyah.
b.   Kelemahan
Mengutip dari pendapatnya Adzahabi[50] bahwa kelemahan dari corak tafsir Adabiy wa Ijtima’iy adalah memberikan ruang seluas-luasnya untuk akal dalam menafsirkan Al-Qur’an sehingga kadang corak tafsir ini menakwilkan sebagian ajaran-ajaran syariat dalam Al-Qur’an, kemudian menyelewengkan maknanya dari haqiqi kepada majazi atau tamsil.
Sebenarnya, tidak ada indikator yang mengarahkan kepada hal tersebut kecuali hanya semata-mata menjauh dan mengasingkan, yaitu menjauh sebatas kemampuan manusia yang terbatas dan pengasingan itu hanya dilakukan oleh orang yang bodoh atas kekuasaan Allah dan keterkaitannya sebisa mungkin, disebabkan oleh kebebasan akal yang terbatas ini, sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama-ulama mu’tazilah yang memaknai sebagin lafadz-lafadz Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh orang Arab ketika turunnya Al-Qur’an.
Corak tafsir ini kadang juga meragukan sebagian hadits dengan mendhaifkannya dan menganggapnya palsu, meskipun hadits-hadits tersebut telah dinilai shahih oleh sebagian besar ulama.
Sedangkan menurut Quraish Shihab kelemahan corak tafsir  Adabiy wa Ijtima’iy terletak pada aspek-aspek sebagai berikut:
1)   Kecenderungan untuk melegalisasi masalah sosial budaya seiring perkembangan ilmu.
2)   Ada potensi ke arah pemaksaan ayat-ayat Al-Quran tunduk pada teori ilmiah.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada bagian akhir ini dapat disimpulkan bahwa Adabiy wa Ijtima’iy, merupakan corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkitan langsung dengan masyarakat. Serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Latar belakang munculnya tafsir adabiy wa Ijtima’iy berawal dari kondisi masyarakat umat Islam pada abad ke-19 mengalami masa suram, kemerosotan moral, terbelakang, banyak Negara muslim yang sedang menghadapi pendudukan asing. Imbas dari kondisi tersebut adalah muncul anggapan bahwa ajaran-ajaran agama Islam tidak dapat mengikuti kehidupan modern, peradaban, serta apa yang bernama kemajuan. Sehingga muncullah tokoh pembaharu Jamaludin Al Afghani bersama muridnya yang membawa tafsir Adabiy wa Ijtimaiy. Kemudian muncullah para mufassir yang konsen terhadap Manhaj Adabiy wa Ijtima’iy, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al Maraghi, Mahmud Syaltut.
Karakteristik tafsir Adabiy wa Ijtimaiy menurut M. Quraish Shihab adalah sebagai berikut; menguraikan ketelitian dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an; menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al Qur’an dengan susunan kalimat yang indah serta aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikan Al-Qur’an.  Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunatullah yng berlaku dalam masyarakat.
Tafsir ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Diantara kelebihannya adalah membumikan Al-Qur’an dalam kehidupan; menjadikan ajaran al-qur’an praktis dan pragmatis; mendorong semangat obyektif dan rasa persatuan; dan membangkitkan dinamika umat islam untuk membangun dunia yang lebih cerah. Sedangkan kelemahannya adalah kecenderungan untuk melegalisasi masalah sosial budaya seiring perkembangan ilmu dan ada potensi ke arah pemaksaan ayat-ayat Al Qur’an tunduk pada teori ilmiah
Kritik terhadap tafsir Adabiy wa Ijtimaiy ini dapat dilihat dari dua segi, segi positif dan segi negatif. Positifnya, penafsiran mereka sangat membantu umat Islam dalam memahami surat atau ayat yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Sedangkan dari segi negatifnya, terkadang tafsir bercorak adabiy wa ijtima’iy membawa dampak pada tatanan sosial, terutama bila orang yang menerima tafsiran ini belum mempunyai pengetahuan yang mendalam (awwam). Akibatnya, seperti yang diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa  nantinya dalam pengambilan contoh tafsir adabiy Ijtimaiy, terkesan dipaksakan.
Tafsir ini nantinya akan berkembang menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, terutama masyarakat muslim dalam menghadapai perkembangan zaman. Sehingga bisa memunculkan penafsiran-penafisran yang baru di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al- Qur’an, 1971),
Al-syirbashi, Ahmad. sejarah tafsir Al-qur’an (Jakarta : firdaus, 2001).
Al- Aridl, Ali hasan .sejarah dan metodologi tafsir (Jakarta : CV. Rajawali pers,     1992).
Al Qattan. Manna Khalil Studi Ilmu-Ilmu Quran, penerjemah: Mudzakir As,(Bogor:           Pustaka            Lentera, 2001)
Ash Shaabuuniy. Muhammad Ali. At Tibyan fi Ulumil Quran,          Penerjemah:Aminuddin,(        Bandung: Pustaka Setia, 1998,)
Baidan. Nashruddin Metodologi Penafsiran Al-qur’an. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.        1998).
Faiz Fakhrudidin: Hermeneutika Qur’ani : antara teks, konteks, dan kontekstualisasi,         melacak             hermeneutika tafsir al-manar dan tafsir al- azhar, (Yogyakarta : penerbit qalam. 2002)
 Gusmian, Islah Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hinga Ideologi        (Jakarta: Teraju,           2003),
Mahmud. Manni’ Abdul Halim.Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode    Para Ahli         Tafsir. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006,
Muin Salim, Abdul.  konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an (Jakarta: Raja       Grafindo         Persada, 1994),
Shihab, M. Quraish Mukjizat Al-Qur’an (Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan       Pemberitaan Gaib), Bandung: Mizan, 1996,
Shihab, M. Quraish.Studi kritis tafsir al-manar, (bandung : pustaka hidayah, 1994)
Sadzali, Munawir .Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta :           UI press,          1990).
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Balai    Pustaka.1988). Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke-9,             Jakarta: Balai Pustaka. 1986.
Usman. Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta: Penerbit Teras.        2009).
A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakannya, (jakarta : Bulan bintang, , 1975 )


[1] Rosihan Anwar, Samudera al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  hal  259
[2] Fakhrudidin faiz: Hermeneutika Qur’ani : antara teks, konteks, dan kontekstualisasi, melacak hermeneutika tafsir al-manar dan tafsir al- azhar, (Yogyakarta : penerbit qalam. 2002) hal 61
[3]  Emad al-din shanin, “Rashid ridha” dalam john L Esposito, (ed), the oxford
Encyclopedia of the modern Islamic word (oxford: oxford university press, 1995), jilid III, hal. 410
[4] Ibid. hal. 411
[5] M. Quraish Shihab, Studi kritis tafsir al-manar, (bandung : pustaka hidayah, 1994). hal 60
[6] Ibrahim Ahmad Al-Adawi, Rasyid Ridha: Al-imam Al-Mujtahid (kairo : matba’ah al- misr, 1964), hal. 30
[7] Ibid hal.88
[8] Op.cit. M. Quraish shihab, studi kritis, hal. 63-64
[9] Ibid . hal. 65
[10] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI press, 1990), hal. 123-124
[11] Op.cit. M. Quraish Shihab, Studi kritis, hal. 63-64
[12] Ibid. hal. 66
[13] H.A.R Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah, ( Jakarta : Bharata, ) hal 147
[14] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakannya, (jakarta : Bulan bintang, , 1975 ) hal 73
[15] Ibid hal 75
[16] Ibid hal 74
[17] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006),  hal. 34.
[18] Ibid hal 7
[19] Op.cit. fakhruddin faiz, hermeneutika Qur’ani…. hal.74
[20] Quraish Shihab. Studi Kritis Tafsir al Manar, (Jakarta: Pustaka Hidayah, ttp,) hal. 55
[21] Ibid. hal. 44
[22] Ibid. hal. 55
[23] Manni’ Abdul Halim Mahmud. Metodologi Tafsir; Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), hal. 254
[24] Fuad Hassan dan Koentjaraningrat. “Beberapa Asas Metodologi Ilmiah”. Dalam Koentjaraningrat (ed.) Metode- Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia. 1997), hal. 16
[25] Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka.1988). hal. 580-581; poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke-9, (Jakarta: Balai Pustaka. 1986) hal. 649
[26] Nashruddin Baidan. Metodologi Penafsiran Al-qur’an. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1998). hal.1-2
[27] Manna Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Quran, penerjemah: Mudzakir As,(Bogor: Pustaka Lentera, 2001), hal. 455
[28] Muhammad Ali Ash Shaabuuniy. At Tibyan fi Ulumil Quran, Penerjemah:Aminuddin,( Bandung: Pustaka Setia, 1998,) hal. 245
[29] Usman. Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, (Yogyakarta: Penerbit Teras. 2009), hal. 298
[30] Ibid. hal 298
[31] Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia. Jakarta:tp, 1990. hal.37
[32] Op. cit. Usman. Ilmu tafsir Untuk… hal. 298
[33] Op. cit. Mahmud Yunus. Kamus Arab Indonesia…hal 91
[34] Abdul Muin Salim, konsepsi kekuasaan politik dalam al-qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 2
[35], Hasan Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a tafsir AlFatihah wa awa’il surat al- baqarah, (Kuwait; dari al-qur’an al- karim, 1971) hal 12-13
[36] M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastera Budaya dan Kemasyarakatan (Ujung pandang: IAIN Alauddin, 1984). hal. 1
[37] Ibid
[38] Ibid. 48
[39] Muhammad Husayn Adz Dzahabi, Op.Cit, hal. 551
[40] Ibid, hal. 549
[41] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[42] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
[43] Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hal. 84
[44] Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Yayasan Peyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1971), hal.595
[45] Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 320
[46] Ibid hlm 322
[47] Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, tej.DudiRosyadidanFaturrahman (Jakarta: PustakaAzzam, 2009), hal. 755-760
[48] Ignaz Goldziher,mazhab hal 422
[49] Ibid, hal. 548
[50] Ibid, hal. 549

Tidak ada komentar:

Posting Komentar