BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pemikiran keislaman yang berkembang pada
masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi.
Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri
disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode
tersebut tentunya.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi
yang tepat dalam memahami agama dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya
diperlukan metode-meode yang dapat dipergunakan untuk mendapat pemahaman yang
tepat. Islam yang diturunkan di Arab lahir dan berkembang seiring dengan adat
budaya Arab. Hal ini memerlukan pengkajian yang komprehensif sebab sumber agama
Islam yakni Al Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Sehingga untuk memahaminya
wajib untuk memahami bahasa Arab.
Seperti halnya dengan tafsir bayani ini,
tafsir yang digunakan oleh Aisyah Abdurrahman ini menggunakan pemaknaan kata
dalam sebuah kalimat. Sehingga tidak hanya mengartikan mufrodat dalam ayat
Al-Quran melainkan makna mufrodat tersebut yang berada di sebuah kalimat
didalam suatu ayat Al-Quran.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
biografi dari Aisyah Abdurrahman?
2. Metode
apa yang dipakai Aisyah Abdurrahman dalam menafsirkan Al-Quran?
3. Sebutkan
contoh tafsir bayani Aisyah Abdurrahman!
4. Apa
kelebihan dan kekurangan tafsir bayani?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui biografi dari Aisyah Abdurrahman
2. Untuk
mendeskripsikan metode yang digunakan oleh Aisyah Abdurrahman
3. Untuk
memahami tafsir bayani dengan contohnya
4. Untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir bayani
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Biografi
Aisyah Abdurrahman
Bint
al-Syathi’ adalah nama julukan, sedang nama aslinya adalah ‘A’isyah ‘Abd
ar-Rahman. Seorang guru besar sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain
al-Syams, Mesir. Juga menjadi guru besar tamu di Universitas Umm Durman, Sudan,
serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyin, Maroko. Beliau juga adalah
seorang Mufassir besar dari Mesir. Bint al-Syathi’ Lahir di Dumyath, sebelah
barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di
tengah-tengah keluarga muslim yang saleh. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali
Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasyir. Bintu Syathi’ sendiri memiliki
arti yakni anak perempuan pinggir sungai.[1]
Dimasa
kecilnya, ia dididik secara tradisional oleh ayahnya yang tidak pernah
memperbolehkan untuk menempuh pendidikan formal. Namun berkat ibu dan kakeknya,
yang menyekolahkannya secara diam-diam di sekolah umum, akhirnya dia dapat
menyelesaikan pendidikan formalnya. Pada tahun 1936, Bint Syathi mendaftarkan
dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I. ia meraih gelar LC dalam bidang
Sastra dan Bahasa Arab pada tahun 1939 dan di Universitas yang sama, ia meraih
gelar Master pada tahun 1941. Dia menyelesaikan program Doktornya pada tahun
1950 dangan disertasi tentang puisi Abu al-A’la al-Ma’ari. Pada awal bulan
Desember 1998, Bint Syathi wafat di usia 85 tahun karena serangan jantung.[2]
Di
samping minat dalam bidang sastra, Bint al-Syathi’ juga mempunyai bakat
jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di media masa sejak di
pendidikan lanjutan, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Bakat
ini kemudian dikembangkan dengan menerbitkan majalah al-Nahdah
an-Nisa’iyyah pada 1933, di mana ia bertindak sebagai redakturnya.
Minatnya
terhadap kajian Tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan prof. Amin al-Khulli,
seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya, ketika ia bekerja di
Universitas Kairo. Dari sini, lalu Bint al-Syathi’ mendalami tafsirnya yang
terkenal, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim I, yang
diterbitkan pada 1962. karya-karya Bint al-Syathi’ lainnya tentang tafsir
antara lain:[3]
1. Kitabina al-akbar
(1967)
2. Tafsir al-Bayani li al-Qur’an
II (1969);
3. Maqal fi al-Insan Dirasah
Qur’aniyyah (1969);
4. al-Qur’an wa al-Tafsir
al-‘Asyri (1970);
5. Al-I’jaz al-Bayani li
al-Qur’an (1971);
6. asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyyah (1973).
B. Metode
Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan
beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikansebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam
kaitannyadengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan)
berkaitandengan visi dari metode bayani.[4]
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti
(1)sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat
memproduksiwacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak
awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni
padamasa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak
langsung. Secaralangsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsungmengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung
berartimemahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir
dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa
bebasmenentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Selanjutnya,
untuk mendapatkan pengetahuan dari teks,metode bayani menempuh dua jalan.[5]
Pertama,
berpegang pada redaksi (lafadz)teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan
logika, penalaran atau rasiosebagai sarana analisa.
Pada jalan
yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empatmacam cara. Pertama, berpegang
pada tujuan pokok (al-maqashid al-dharuriyah) yang mencakup lima
kepentingan utama, yakni menjaga keselamatan agama (al din ), jiwa ( al
nafs ), akal ( al ‟aql ), keturunan ( al nasb ) dan harta (al mal ).
Caranya dengan menggunakan induksi tematis ( al- istiqra‟ al -ma‟wi) dan
disitulah tempat penalaran rasional.
C. Metode Penafsiran Aisyah Bintusy-Syathi’.
Metode
yang digunakan Bintusy-Syathi diperoleh dari Guru Besarnya di Universitas Fuad
I, yang menjadi suaminya yaitu Amin Al-Khuli yang menggunakan metode
penafsiran berbasis pada analisa teks. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Manahij
Tajdid, ke dalam empat butir:[6]
1.
Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami
dari Al-Qur’an secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan semua surah dan
ayat mengenai topik yang ingin dipelajari atau dikaji.
2.
Surat dan ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan
kronologi pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempatnya (asbab
al-nuzul) dapat diketahui. Namun asbab nuzul di sini tidak
dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai keterangan
kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus diperhatikan
di sini adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan peristiwa
pewahyuannya (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz la bikhusus al-sabab). Oleh
karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan
dikacaukan oleh perdebatan ulama tentang asbab an-nuzul. Pentingnya
pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada
kekhususan peristiwa pewahyuannya.
3.
Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa bahasa
Arab adalah Bahasa Al-Qur’an. Karena itu, hendaknya kita mencari petunjuk pada
bahasa aslinya, yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal-lafal
yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki maupun majazi, kemudian kita
simpulkan muatan petunjukknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang
ada di dalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan umum di dalam ayat dan
surah al-Qur’an secara keseluruhan. Untuk memahami petunjuk lafaz, karena
al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa
aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafaz-lafaz yang digunakan secara
berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafaz
yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum
dalam ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Di sini digunakan “analisa bahasa”
(semantik).
4.
Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita mengikuti
konteks nash dalam al-Qur’an baik dengan berpegang pada makna nash
maupun semangatnya(maqasid asy-syari’). Kemudian makna tersebut kita
konfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Melalui cara ini kita terima apa
yang ditetapkan nash, dan kita jauhi israiliyat, noda-noda nafsu, paham
sektarian, dan takwil yang berbau bid’ah Untuk memahami pernyataan-pernyataan
yang sulit, seorang mufasir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqasid
asy-syari’), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat yang sejalan dengan
maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sektarian dan israiliyyat
bisa dijauhkan.
Dari
uraian diatas, dapat dipahami bahwa pertama dalam metode yang dilakukan
Bintusy-Syathi’ adalah mengumpulkan semua surat beserta ayat yang berkaitan
dengan apa yang ingin dipelajari. Kemudian untuk dapat memahami dengan benar
maksud dari setiap ayat Al-Quran, maka dibutuhkan konteks atau asbabul nuzul
dari ayat tersebut. Sebab adanya kronologi dari pewahyuan tersebut dipandang
sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini bahasa Arab sangat
penting. Karena bahasa dalam Al-Quran adalah bahasa Arab, maka untuk memahami
kata-kata yang termuat dalam Al-Quran harus mencari arti linguistik aslinya.
Dengan demikian, makna Al-Quran diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata
di dalam Al-Quran.Setelah itu adalah berpegang pada nash dan maqasid
asy-syari’ ketika menjumpai pernyataan-pernyataan yang sulit. Kemudian
mengkonfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Dengan begitu akan terhindar
dari isra’iliyat.
Menurut
Bintusy-Syathi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang
menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara
berurutan, karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama,
memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks
umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di
mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan; kedua,
kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat
yang sebenarnya.[7]
Kritik
Bint al-Syathi’ terhadap metode tafsir klasik ini bukan tidak beralasan.
Kenyataannya, setelah tafsir al-Tabari, kitab-kitab tafsir senantiasa memiliki
corak tertentu yang bisa dirasakan secara jelas bahwa penulisannya “memaksakan
sesuatu pada al-Qur’an”, bisa berupa paham akidah, fiqh, tasawuf, atau
setidaknya aliran kaidah bahasa tertentu. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada
tafsir al-Kasysyaf, karya Az-Zamakhsyari (1074-1143), Anwar
al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 1388), atau Bahr al-Muhith karya
Abu Hayyan (1344).[8]
Dalam
metode yang dikembangkan Bintusy-Syathi’ ini tampak jelas kehati-hatian yang
sengaja dipatok agar dapat membiarkan Al-Quran berbicara mengenai dirinya
sendiri, dan agar kitab suci itu dipahami dengan cara-cara yang paling langsung
sebagaimana orang-orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Rujukan-rujukan Al-Quran kepada orang-orang yang hidup pada masa itu
diminimalkan hanya sebagai data sejarah, maksudnya agar signifikan religius
orang-orang maupun kejadian-kejadian tersebut dipahami pada konteks pesan
Al-Quran dalam totalitasnya. Dengan demikian, tekanan diletakkan pada apa yang
menjadi maksud Tuhan dengan sebuah pewahyuan, yang melampaui dan berada diatas
peristiwa sejarah tertentu yang menjadi latar belakangnya.
Dalam
usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahamannya atas
Al-Quran, dalam kitab tafsirnya Bintusy-Syathi’ menolak terlibat pada
pembahasan-pembahasan mendetail mengenai materi-materi yang berhubungan dengan
kitab injil dan rekanaman-rekaman Arab serta non-Arab yang bersifat mistis atau
historis, jika di dalam Al-Quran terdapat rujukan materi-materi atau
rekaman-rekaman tersebut.[9]
Ia
menyatakan bahwa, jika Al-Quran memang bermaksud mengungkap sejarah dalam
detailnya, kitab suci itu pasti telah melakukannya. Namun Al-Quran menggunakan
materi-materi semacam itu dalam bentuk ringkasan biasa, maksudnya agar
teladan-teladan moral yang harus ditelaah dan pelajaran-pelajaran spiritual
yang harus diturunkan dari Al-Quran diperhatikan.
Ia
tak ingin terperangkap pada kesalahan para mufasir masa lalu yang menerima isra’iliyat. Sehingga ia memasukkannya
kedalam tafsir mereka, apa yang sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh Al-Quran
sendiri. Demikian juga, ia menolak terlibat dalam pembahasan-pembahasan
mendetail mengenai sejauh mana ayat-ayat tertentu Al-Quran sejalan dengan ilmu
dan teknologi modern, sebab hal ini menurutnya juga tidak pernah dimaksudkan
oleh Al-Quran. Ayat-ayat tersebut yang menjabarkan yang menjabarkan fenomena
alam, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, aspek-aspek ruang angkasa serta
hal-hal lain yang menakjubkan, tidak dimaksudkan sebagai pelajaran pada
berbagai ilmu modern yang berbeda-beda atau sebagai bukti-bukti tekstual yang
sejalan dengan teori-teori mutakhir di berbagai lapangan pengetahuan empirik
modern; tetapi ayat-ayat tersebut memiliki makna-makna intrinsik Qurani dan
religiusnya sendiir yang hanya dapat ditemukan dengan mempelajari konteksnya.[10]
Satu
diantara temuan-temuan penting metode di atas adalah bahwa apa yang oleh
sebagian ahli linguistik tertentu biasanya dipandang sebagai sinonim-sinonim,
pada kenyataannya tidak pernah muncul di dalam Al-Quran dengan pengertian yang
benar-benar sama. Ketika Al-Quran menggunakan sebuah kata, kata tersebut tidak
dapat diganti dengan kata lain yang biasanya dipandang sebagai sinonim kata
pertama tadi dalam kamus-kamus bahasa Arab dan kitab-kitab tafsir. Contohnya
kata aqsama dan kata tersebut
biasanya disinonimkan dengan halafa ,
yang artinya “bersumpah”. Bintusy-Syathi’ telah memperlihatkan bahwa aqsama digunakan untuk jenis sumpah
sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementara halafa selalu digunakan untuk
menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar.[11]
D. Asbabul Nuzul Prespektif ‘Aisyah ‘Abdurrahman
Analisis
konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab,
konsep “wahyu” itu tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks
sebelumnya. Hal ini menandakan terdapat hubungan antara realitas (sebagai
konteks) dengan teks. Seseorang tidak mungkin memahami dengan mengambil teks di
luar realitas. Oleh karena itu, asbab al-nuzul (peristiwa yang terjadi
dan menyertai turunnya suatu ayat al-Qur’an) menjadi sangat diperlukan untuk
memahami suatu kondisi. Tetapi konteks di sini lebih luas dari asbab
al-nuzul, karena asbab al-nuzul menjadi diperlukan hanya untuk
melihat kejadian-kejadian khusus.[12]
Asumsi
tentang asbab al-nuzul seperti inilah yang dikembangkan oleh A’isyah
Bint al-Syathi’. Menurutnya, asbab al-nuzul tidak lebih dari
postulat-postulat di seputar teks, atau kondisi-kondisi eksternal dari
pewahyuan. Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada universalitas makna dari
pada kekhususan kondisi tersebut (al-‘ibratu bi’umum al-lafzi la bi khusus
al-sabab). Ia mencoba mengembangkan “teori teks narasi” bahwa ayat-ayat
yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafaz
umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafaz umum.
Misalnya
Q.S al-Maidah (5:38). Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah
perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan
lafaz ‘am, yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif
lam (al) jinsiyah. Maka Bint al-Syathi memahami ayat tersebut berlaku
umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.[13]
Mengenai
asbab al-Nuzul surat al-Duha, tampak keunikan metode A’isyah
Bint al-Syathi’ dibanding dengan para mufasir klasik seperti, al-Tabari,
al-Razi, dan al-Suyuthi, yang memahami bahwa turunnya surat ini sebagai jawaban
atas pernyataan masyarakat Quraisy bahwa Rasul telah ditinggalkan Tuhannya.
Namun surat ini sendiri sangat terlambat turun, sampai dua bulan. Menurut
al-Razi, keterlambatan tersebut disebabkan jawaban Rasul bahwa beliau akan
memberi jawaban besok tanpa mengucapkan kata insya’ Allah atas pertanyaan orang
Yahudi tentang ruh, Zu al-Qarnain dan Ashab al-Kahfi, atau
bahwa surat ini terlambat karena adanya anak anjing kepunyaan Hasan dan Husein
di rumah Rasul, sehingga Jibril mengatakan, “tidakkah kamu tahu bahwa kami
tidak masuk rumah yang ada anjing atau gambarnya, atau karena ada keluarga
Rasul yang tidak memotong kukunya.
Menurut
Bint al-Syathi’, alasan keterlambatan wahyu yang disampaikan al-Razi tidak pada
tempatnya, terlalu dibuat-buat dan tidak ada kaitannya dengan al-Al-Qur’an.
Yang diinspirasikan oleh zahir nass adalah bahwa keterlambatan wahyu
merupakan fenomena alami, tidak lebih dari itu. Jika al-Qur’an memandang perlu
untuk menjelaskan keterlambatan itu, untuk menenangkan jiwa, tentu ia tidak
akan tinggal diam. Sebab tujuan dari bayan al-Qur’an adalah pemenuhan segala
tuntutan situasi yang berkaitan dengan tujuan. Artinya, jika al-Qur’an tidak
membahas hal-hal yang seperti itu, berarti yang dipentingkan adalah esensi dari
situasi itu sendiri, bukan rincian-rinciannya yang parsial.
E. Contoh Penafsiran Bintu Syathi’
Contoh-contoh
penafsiran yang dilakukan oleh Bintu Syathi’ sebagai aplikasi dari metode yang
digunakannya adalah sebagai berikut:
Q.S
Al-Balad :1-3
لَآ
أُقۡسِمُ بِهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ١ وَأَنتَ
حِلُّۢ بِهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٢ وَوَالِدٖ
وَمَا وَلَدَ ٣
Artinya:
1. Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini
(Mekah),
2. Dan kamu (Muhammad)
bertempat di kota Mekah ini,
3. Dan demi bapak dan
anaknya.
Surat
makkiyah ini urutan yang ketiga puluh lima menurut tertib nuzul. Ia turun
sesudah surah Qaf. Surah ini merupakan salah satu dari dua buah surat yang
dimulai dengan lafal qasam (sumpah)
secara terang-terangan dan didahului lafal lâ(untuk
penegasan). Surat yang lain adalah surat Q.S Al-Qiyamah: 1
لَآ
أُقۡسِمُ بِيَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ ١
Artinya: “Aku bersumpah
demi hari kiamat”
Q.S
Al-Waqiah: 75-76
۞فَلَآ أُقۡسِمُ بِمَوَٰقِعِ ٱلنُّجُومِ ٧٥ وَإِنَّهُۥ لَقَسَمٞ لَّوۡ تَعۡلَمُونَ عَظِيمٌ
٧٦
Artinya:
75. Maka aku bersumpah
dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.
76. Sesungguhnya sumpah
itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
Semua
ini adalah ayat-ayat makiyah dan semuanya adalahfi’l qasam (kata kerja untuk sumpah). Sebagian besar mufassir
mengutarakan pendapat bahwa lâ uqsimu, maknanya uqsimu (aku bersumpah). Lâ
ditambahkan untuk penegasan, tanpa tuntutan keterangan untuk penyimpangan dari uqsimu menjadi lâ uqsimu.[14]
Dalam
kamus termuat halafa berarti aqsama (bersumpah). Tetapi penelitian
mengenai dua buah kata tersebut di dalam Al-Quran mencegah persamaan ini. Kata halafaada dalam Al-Quran ada di tiga
belas tempat, semuanya tanpa pengecualian, dalam hal dosa karena melanggar
sumpah. Enam ayat diantaranya berisi celaan terhadap mengenai orang-orang
munafik, didalam surah Al-Taubah : 56
وَيَحۡلِفُونَ
بِٱللَّهِ إِنَّهُمۡ لَمِنكُمۡ وَمَا هُم مِّنكُمۡ وَلَٰكِنَّهُمۡ قَوۡمٞ
يَفۡرَقُونَ ٥٦
Artinya: “Dan mereka (orang-orang
munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa Sesungguhnya mereka Termasuk
golonganmu; Padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah
orang-orang yang sangat takut (kepadamu)”
Selain
ayat tersebut ada juga surat At-Taubah ayat 42; 62; 74; 96; 107, Q.S Al-Mujadalah: 14; 18, Q.S Al-Qalam: 10-12,
dan Q.S Al-Nisa’: 61-62. Fi’il (kata kerja) tersebut datang hanya sekali
disandarkan kepada orang-orang yang beriman, sehingga mereka berkewajiban
membayar kafarah (penebus) atas dosa
karena melanggar sumpah.[15]
Dari
sini jelaslah berbeda antara makna halafa
dan aqsama , karena al-qasam (sumpah) digunakan dalam
sumpah-sumpah yang benar.
Tidak
mudah bagi kita untuk menafsirkan al-qasam dengan al-halaf. Perbuatan Al-Quran pada keduanya mengalihkan kepada
perbedaan yang cermat antara dua kata yang dikatan sebagai sinonim. Yaitu
perbedaan yang dikukuhkan oleh pemahaman bahasa Arab. Perbedaan kedua materi
dari kedua lafal itu menunjukkan perbedaan pengertian masing-masing dan
perbedaan antara hint (sumpah) dan hint (pelanggaran dalam sumpah) dari
dekat, berbeda dengan perbedaan antara hilf
dan qasam, sehingga jauhlah
kemungkinan jika keduanya sama.
Contoh
kedua Q.S Al-Balad : 4
لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ
فِي كَبَدٍ ٤
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia berada dalam susah payah.”
Kata
kabad yang dalam terjemahannya diartikan dengan “kesusahan”, merupakan
sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan panjang, dan memunculkan
pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu Syathi’ dalam menafsirkan
kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang keadaannya. Kata tersebut
mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul tanggung jawab dan memilih
antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang kemudian diungkapkan oleh Bintu
Syathi; sebagai kabadnya, bebannya, penderitaannya jika ia memang
memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’ memperkuat argumennya dengan
mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Q.S. Al-Balad :
8-10.
أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ ٨ وَلِسَانٗا وَشَفَتَيۡنِ ٩ وَهَدَيۡنَٰهُٱلنَّجۡدَيۡنِ
١٠
Artinya : “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya
dua buah mata (8), lidah dan dua buah bibir (9), dan Kami telah menunjukkan
kepadanya dua jalan (10).
Bintu
Syathi’ menyatakan bahwa dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan
yang menuju kepada kebaikan dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di
pisahkan secara tegas sehingga manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini.
Dan ketika manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus
bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
F. Kritik
Terhadap Metodologi Ibnu Syathi’
Setelah melakukan telaah atas langkah operasionalisasi penafsiran
al-Qur’an (metode tematik) yang digagas oleh Bint al-Syathi yang disertai
dengan aplikasi metodologinya dalam penafsiran surat al-Zalzalah
di atas. Penulis dapat uraikan bahwa metode Bint al-Syathi ini
mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya:
1.
Pada langkah ketiga, jika pemahaman
lafaz al-Qur’an harus juga dikaji lewat pemahaman bahasa Arab yang merupakan
bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan
prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka
peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur asing ke dalam pemahaman al-Qur’an;
sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
2.
Bint al-Syathi kurang konsisten
dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu,
melainkan lebih pada analisis semantic. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi
menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafaz-lafaz yang serupa dengan
lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantic). Hal
ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua
derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara
lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk
mendukung gagasan yang dilontarkan.
3.
Di sinilah Bint al-Syathi banyak
menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan
demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia
tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.
G. Kelebihan
Dan Kekurangan Tafsir Bayani
1. Kelebihan
a. Dalam
metode ini tampak jelas kehati-hatian yang sengaja dipatok agar dapat
membiarkan al-qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri
b. Pandangan-panangan
para mufasir lampau, terutama At-Thabari, Al-Zamakhsyari, Al-Rozi, Al-Roghib
al-Asfahani, Nizamuddin AlNaisauri, Ibnul Qoyyim al Jauziyyah, al-Suyuti, dan
Muhammad Abduh kerap dikutip untuk menunjukan kekeliruan mereka dan untuk
menolak penjelasan-penjelasan yang terlalu dibuat-buat yang tidak mereka
sepakati sendiri atau tidak sejalan dengan naskah al-Qur’an sebagai mana yang
ia pahami lewat metode yang digunakannya itu. Selain mengutip, ia juga memilih
pandangan yang tampaknya mendukung atau bersepakat dengan pemahamannya sendiri,
sehingga dapat mendukung pandangannya. Antara lain mengenai masalah-masalah
tata bahasa serta linguistik dan lain-lain.
c. Dalam
usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahannya atas
al-qur’an, dalam kitab tafsirnya ia menolak terlibat pada pembahasan mendetail
mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab injil dan rekaman-rekaman
arab serta non arab yang bersifat mistis atau historis (isroiliyyat),
jika didalam al-qur’an terdapat rujukan materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut.
Ia menyatakan bahwa, jika al-qur’an memang bermaksud mengungkap sejarah dalam
detilnya, kitab suci itu pasti telah melkukannya namun dalam bentuk ringkasan
biasa.[16]
2. Kekurangan
Namun
bagaimanapun, tafsir-tafsir yang bercorak bayani belum mencererminkan satu
kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an yang fundamental. Karena
seorang mufassir kadang terjebak dengan keterkungkungan kebahasaan dengan tidak
menguak nilai-nilai yang lain.[17]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Aisyah
Abdurrahman adalah seorang Mufassir wanita yang lahir di Dumyath, sebelah barat
Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah
keluarga muslim yang saleh. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman
dan Faridah Abdussalam Muntasyir. Bintu Syathi’ sendiri memiliki arti yakni
anak perempuan pinggir sungai.
2. Dalam
tafsirnya Aisyah Abdurrahman beliau sendiri mengakui bahwa dirinya mengadopsi
metode dari guru sekaligus suaminya yaitu Al-Khuli, yang mana terdiri dari
empat butir yaitu: (a) mengumpulkan ayat atau surat yang ingin dipelajari atau
yang setema, (b) mencari asbabul nuzul dari ayat-ayat tersebut, (c) mencari
makannya dengan bahasa Arab, dan (d) mengkaitkan atau berpegang pada nash
Al-Quran dan Maqosid Syariat serta mengkonfirmasikan dengan para mufassir
lainnya jika mendapat pernyataan yang sulit.
3. Dalam
QS.Al- Balad pada ayat pertama mengandung fi’l Qosam yang mana sebagian mufasir
mensinonimkan kata aqsama dengan halaf. Yang mana kedua kata ini sangat
berbeda makna. Jika aqsama digunakan
untuk sumpah yang sebenarnya sedang halaf
untuk pelanggaran sumpah.
4. Kelebihan
dari tafsirnya Aisyah Abdurrahman adalah kehati-hatian dalam menafsirkan ayat,
merujuk pada pendapat mufassir lampau, dan menghinari isra;iliyat. Sedang kelemahannya bahwa tafsir bayani ini belum
mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an yang
fundamental.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdurahman, ‘Aisyah. 1996. Tafsir Bintusy-Syathi ’ terj Mudzakkir
Abdussalam. Bandung:Mizan, C.I.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2000. Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad
Baso. Yogyakarta: LkiS.
Abdullah,
Amin . 1996. Studi Agama. Yogyakarta:
pustaka pelajar. cet. I.
Boullata , Issa
J.. 1991. “Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam
Jurnal Al-Hikmah, no. 3.
Hamid abu Zayd,
Nasr . 2001. Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin.
Yogyakarta: LkiS.
Nata, Abuddin.
2004. Metodologi Studi Islam. Rajawali Pers : Jakarta.
Shaleh, Khudhari.
2007. Metode-metode Epistemologi Islam .Yogyakarta: Ar-Ruzz.
[1]Muhammad Amin, A
Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), hlm. 6
[2] ‘Aisyah
‘Abdurahman, Tafsir Bintusy-Syathi ’ terj Mudzakkir Abdussalam,
(Bandung:Mizan, C.I 1996),Halm 9-40
[3]Issa J. Boullata, “Tafsir
al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah,
(no. 3, oktober 1991), hlm. 6
[4]Muhammad
Abid al-Jabiri. Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 60
[5]Khudhari
Shaleh. Metode-metode Epistemologi Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007),
hlm. 61
[6]Muhammad Amin, A
Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), hlm. 32.
[7]Issa J. Boullata, “Tafsir
al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah,
(no. 3, oktober 1991), hlm. 6
[8]Issa J. Boullata, “Tafsir
al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah,
hlm. 8
[9]A’isyah ‘Abdurrahman
Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani
Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm.18
[10]A’isyah ‘Abdurrahman
Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani
Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal), hlm. 19
[11]A’isyah ‘Abdurrahman
Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani
Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 21
[12]A’isyah Bint Al-Syathi,. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz
Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm.43
[13]Nasr Hamid abu Zayd, Tekstualitas
Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin (Yogyakarta: LkiS. 2001), hlm. 126
[14]A’isyah ‘Abdurrahman
Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani
Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 277
[15]A’isyah ‘Abdurrahman
Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani
Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal), hlm. 280-281
[16]Amin Abdullah. Studi Agama ( Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1996 cet. I ), hal 136.
[17]Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam ( Rajawali Pers: Jakarta, 2004), hlm. 214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar