Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METODE YANG DIGUNAKAN OLEH AISYAH ABDURRAHMAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pemikiran keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode tersebut tentunya.
Dalam rangka mencapai suatu intepretasi yang tepat dalam memahami agama dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya diperlukan metode-meode yang dapat dipergunakan untuk mendapat pemahaman yang tepat. Islam yang diturunkan di Arab lahir dan berkembang seiring dengan adat budaya Arab. Hal ini memerlukan pengkajian yang komprehensif sebab sumber agama Islam yakni Al Qur’an dan Sunah berbahasa Arab. Sehingga untuk memahaminya wajib untuk memahami bahasa Arab.
Seperti halnya dengan tafsir bayani ini, tafsir yang digunakan oleh Aisyah Abdurrahman ini menggunakan pemaknaan kata dalam sebuah kalimat. Sehingga tidak hanya mengartikan mufrodat dalam ayat Al-Quran melainkan makna mufrodat tersebut yang berada di sebuah kalimat didalam suatu ayat Al-Quran.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana biografi dari Aisyah Abdurrahman?
2.      Metode apa yang dipakai Aisyah Abdurrahman dalam menafsirkan Al-Quran?
3.      Sebutkan contoh tafsir bayani Aisyah Abdurrahman!
4.      Apa kelebihan dan kekurangan tafsir bayani?
C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui biografi dari Aisyah Abdurrahman
2.      Untuk mendeskripsikan metode yang digunakan oleh Aisyah Abdurrahman
3.      Untuk memahami tafsir bayani dengan contohnya
4.      Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan tafsir bayani








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Aisyah Abdurrahman
Bint al-Syathi’ adalah nama julukan, sedang nama aslinya adalah ‘A’isyah ‘Abd ar-Rahman. Seorang guru besar sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain al-Syams, Mesir. Juga menjadi guru besar tamu di Universitas Umm Durman, Sudan, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyin, Maroko. Beliau juga adalah seorang Mufassir besar dari Mesir. Bint al-Syathi’ Lahir di Dumyath, sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasyir. Bintu Syathi’ sendiri memiliki arti yakni anak perempuan pinggir sungai.[1]
 Dimasa kecilnya, ia dididik secara tradisional oleh ayahnya yang tidak pernah memperbolehkan untuk menempuh pendidikan formal. Namun berkat ibu dan kakeknya, yang menyekolahkannya secara diam-diam di sekolah umum, akhirnya dia dapat menyelesaikan pendidikan formalnya. Pada tahun 1936, Bint Syathi mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I. ia meraih gelar LC dalam bidang Sastra dan Bahasa Arab pada tahun 1939 dan di Universitas yang sama, ia meraih gelar Master pada tahun 1941. Dia menyelesaikan program Doktornya pada tahun 1950 dangan disertasi tentang puisi Abu al-A’la al-Ma’ari. Pada awal bulan Desember 1998, Bint Syathi wafat di usia 85 tahun karena serangan jantung.[2]
Di samping minat dalam bidang sastra, Bint al-Syathi’ juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di media masa sejak di pendidikan lanjutan, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingkungannya. Bakat ini kemudian dikembangkan dengan menerbitkan majalah al-Nahdah an-Nisa’iyyah pada 1933, di mana ia bertindak sebagai redakturnya.
Minatnya terhadap kajian Tafsir dimulai sejak pertemuannya dengan prof. Amin al-Khulli, seorang pakar tafsir yang kemudian menjadi suaminya, ketika ia bekerja di Universitas Kairo. Dari sini, lalu Bint al-Syathi’ mendalami tafsirnya yang terkenal, al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim I, yang diterbitkan pada 1962. karya-karya Bint al-Syathi’ lainnya tentang tafsir antara lain:[3]
1.      Kitabina al-akbar (1967)
2.      Tafsir al-Bayani li al-Qur’an II (1969);
3.      Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyyah (1969);
4.      al-Qur’an wa al-Tafsir al-‘Asyri (1970);
5.      Al-I’jaz al-Bayani li al-Qur’an (1971);
6.      asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Dirasah al-Qur’aniyyah (1973).
B.     Metode Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikansebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannyadengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitandengan visi dari metode bayani.[4]
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1)sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksiwacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni padamasa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang   menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secaralangsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsungmengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berartimemahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebasmenentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks,metode bayani menempuh dua jalan.[5]
Pertama, berpegang pada redaksi (lafadz)teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasiosebagai sarana analisa.
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empatmacam cara. Pertama, berpegang pada tujuan pokok (al-maqashid al-dharuriyah) yang mencakup lima kepentingan utama, yakni menjaga keselamatan agama (al din ), jiwa ( al nafs ), akal ( al ‟aql  ), keturunan ( al nasb ) dan harta (al mal ). Caranya dengan menggunakan induksi tematis ( al- istiqra‟ al  -ma‟wi) dan disitulah tempat penalaran rasional.
C.     Metode Penafsiran Aisyah Bintusy-Syathi’.
Metode yang digunakan Bintusy-Syathi diperoleh dari Guru Besarnya di Universitas Fuad I, yang menjadi suaminya yaitu  Amin Al-Khuli yang menggunakan metode penafsiran berbasis pada analisa teks. Hal ini dijelaskan dalam bukunya Manahij Tajdid, ke dalam empat butir:[6]
1.    Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Qur’an secara objektif, yang dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topik yang ingin dipelajari atau dikaji.
2.    Surat dan ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologi pewahyuannya sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempatnya (asbab al-nuzul) dapat diketahui. Namun asbab nuzul di sini tidak dipandang sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat. Yang harus diperhatikan di sini adalah generalitas kata yang digunakan bukan kekhususan peristiwa pewahyuannya (al-‘ibrah bi ‘umum al-lafz la bikhusus al-sabab). Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan dikacaukan oleh perdebatan ulama tentang asbab an-nuzul. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.
3.    Dalam memahami petunjuk lafal, saya menegaskan bahwa bahasa Arab adalah Bahasa Al-Qur’an. Karena itu, hendaknya kita mencari petunjuk pada bahasa aslinya, yang memberikan kepada kita rasa kebahasaan bagi lafal-lafal yang digunakan secara berbeda, baik yang hakiki maupun majazi, kemudian kita simpulkan  muatan petunjukknya dengan meneliti segala bentuk lafal yang ada di dalamnya, lalu mencari konteksnya yang khusus dan umum di dalam ayat dan surah al-Qur’an secara keseluruhan. Untuk memahami petunjuk lafaz, karena al-Qur’an menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafaz-lafaz yang digunakan secara berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti segala bentuk lafaz yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Di sini digunakan “analisa bahasa” (semantik).
4.    Dalam memahami rahasia-rahasia ungkapan, kita mengikuti konteks nash dalam al-Qur’an baik dengan berpegang pada makna nash maupun semangatnya(maqasid asy-syari’). Kemudian makna tersebut kita konfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Melalui cara ini kita terima apa yang ditetapkan nash, dan kita jauhi israiliyat, noda-noda nafsu, paham sektarian, dan takwil yang berbau bid’ah Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufasir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqasid asy-syari’), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sektarian dan israiliyyat bisa dijauhkan.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa pertama dalam metode yang dilakukan Bintusy-Syathi’ adalah mengumpulkan semua surat beserta ayat yang berkaitan dengan apa yang ingin dipelajari. Kemudian untuk dapat memahami dengan benar maksud dari setiap ayat Al-Quran, maka dibutuhkan konteks atau asbabul nuzul dari ayat tersebut. Sebab adanya kronologi dari pewahyuan tersebut dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Dalam hal ini bahasa Arab sangat penting. Karena bahasa dalam Al-Quran adalah bahasa Arab, maka untuk memahami kata-kata yang termuat dalam Al-Quran harus mencari arti linguistik aslinya. Dengan demikian, makna Al-Quran diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata di dalam Al-Quran.Setelah itu adalah berpegang pada nash dan maqasid asy-syari’ ketika menjumpai pernyataan-pernyataan yang sulit. Kemudian mengkonfirmasikan dengan pendapat para mufasir. Dengan begitu akan terhindar dari isra’iliyat.
Menurut Bintusy-Syathi’, metodenya dimaksudkan untuk mendobrak metode klasik yang menafsirkan al-Qur’an secara tartil, dari ayat ke ayat secara berurutan, karena metode klasik ini setidaknya mengandung dua kelemahan: pertama, memperlakukan ayat secara atomistic, individual yang terlepas dari konteks umumnya sebagai kesatuan, padahal al-Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, di mana ayat dan surat yang satu dengan yang lainnya saling terkait, dan; kedua, kemungkinan masuknya ide mufasir sendiri yang tidak sesuai dengan maksud ayat yang sebenarnya.[7]
Kritik Bint al-Syathi’ terhadap metode tafsir klasik ini bukan tidak beralasan. Kenyataannya, setelah tafsir al-Tabari, kitab-kitab tafsir senantiasa memiliki corak tertentu yang bisa dirasakan secara jelas bahwa penulisannya “memaksakan sesuatu pada al-Qur’an”, bisa berupa paham akidah, fiqh, tasawuf, atau setidaknya aliran kaidah bahasa tertentu. Hal ini bisa dilihat, misalnya pada tafsir al-Kasysyaf, karya Az-Zamakhsyari (1074-1143), Anwar al-Tanzil karya al-Baidhawi (w. 1388), atau Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan (1344).[8]
Dalam metode yang dikembangkan Bintusy-Syathi’ ini tampak jelas kehati-hatian yang sengaja dipatok agar dapat membiarkan Al-Quran berbicara mengenai dirinya sendiri, dan agar kitab suci itu dipahami dengan cara-cara yang paling langsung sebagaimana orang-orang Arab pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW. Rujukan-rujukan Al-Quran kepada orang-orang yang hidup pada masa itu diminimalkan hanya sebagai data sejarah, maksudnya agar signifikan religius orang-orang maupun kejadian-kejadian tersebut dipahami pada konteks pesan Al-Quran dalam totalitasnya. Dengan demikian, tekanan diletakkan pada apa yang menjadi maksud Tuhan dengan sebuah pewahyuan, yang melampaui dan berada diatas peristiwa sejarah tertentu yang menjadi latar belakangnya.
Dalam usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahamannya atas Al-Quran, dalam kitab tafsirnya Bintusy-Syathi’ menolak terlibat pada pembahasan-pembahasan mendetail mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab injil dan rekanaman-rekaman Arab serta non-Arab yang bersifat mistis atau historis, jika di dalam Al-Quran terdapat rujukan materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut.[9]
Ia menyatakan bahwa, jika Al-Quran memang bermaksud mengungkap sejarah dalam detailnya, kitab suci itu pasti telah melakukannya. Namun Al-Quran menggunakan materi-materi semacam itu dalam bentuk ringkasan biasa, maksudnya agar teladan-teladan moral yang harus ditelaah dan pelajaran-pelajaran spiritual yang harus diturunkan dari Al-Quran diperhatikan.
Ia tak ingin terperangkap pada kesalahan para mufasir masa lalu yang menerima isra’iliyat. Sehingga ia memasukkannya kedalam tafsir mereka, apa yang sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh Al-Quran sendiri. Demikian juga, ia menolak terlibat dalam pembahasan-pembahasan mendetail mengenai sejauh mana ayat-ayat tertentu Al-Quran sejalan dengan ilmu dan teknologi modern, sebab hal ini menurutnya juga tidak pernah dimaksudkan oleh Al-Quran. Ayat-ayat tersebut yang menjabarkan yang menjabarkan fenomena alam, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, aspek-aspek ruang angkasa serta hal-hal lain yang menakjubkan, tidak dimaksudkan sebagai pelajaran pada berbagai ilmu modern yang berbeda-beda atau sebagai bukti-bukti tekstual yang sejalan dengan teori-teori mutakhir di berbagai lapangan pengetahuan empirik modern; tetapi ayat-ayat tersebut memiliki makna-makna intrinsik Qurani dan religiusnya sendiir yang hanya dapat ditemukan dengan mempelajari konteksnya.[10]
Satu diantara temuan-temuan penting metode di atas adalah bahwa apa yang oleh sebagian ahli linguistik tertentu biasanya dipandang sebagai sinonim-sinonim, pada kenyataannya tidak pernah muncul di dalam Al-Quran dengan pengertian yang benar-benar sama. Ketika Al-Quran menggunakan sebuah kata, kata tersebut tidak dapat diganti dengan kata lain yang biasanya dipandang sebagai sinonim kata pertama tadi dalam kamus-kamus bahasa Arab dan kitab-kitab tafsir. Contohnya kata aqsama dan kata tersebut biasanya disinonimkan dengan halafa , yang artinya “bersumpah”. Bintusy-Syathi’ telah memperlihatkan bahwa aqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementara halafa selalu digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar.[11]
D.    Asbabul Nuzul Prespektif  ‘Aisyah ‘Abdurrahman
Analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab, konsep “wahyu” itu tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan terdapat hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Seseorang tidak mungkin memahami dengan mengambil teks di luar realitas. Oleh karena itu, asbab al-nuzul (peristiwa yang terjadi dan menyertai turunnya suatu ayat al-Qur’an) menjadi sangat diperlukan untuk memahami suatu kondisi. Tetapi konteks di sini lebih luas dari asbab al-nuzul, karena asbab al-nuzul menjadi diperlukan hanya untuk melihat kejadian-kejadian khusus.[12]
Asumsi tentang asbab al-nuzul seperti inilah yang dikembangkan oleh A’isyah Bint al-Syathi’. Menurutnya, asbab al-nuzul tidak lebih dari postulat-postulat di seputar teks, atau kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan. Oleh karena itu, ia lebih menekankan pada universalitas makna dari pada kekhususan kondisi tersebut (al-‘ibratu bi’umum al-lafzi la bi khusus al-sabab). Ia mencoba mengembangkan “teori teks narasi” bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafaz umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafaz umum.
Misalnya Q.S al-Maidah (5:38). Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafaz ‘am, yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam (al) jinsiyah. Maka Bint al-Syathi memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.[13]
Mengenai asbab al-Nuzul surat al-Duha, tampak keunikan metode A’isyah Bint al-Syathi’ dibanding dengan para mufasir klasik seperti, al-Tabari, al-Razi, dan al-Suyuthi, yang memahami bahwa turunnya surat ini sebagai jawaban atas pernyataan masyarakat Quraisy bahwa Rasul telah ditinggalkan Tuhannya. Namun surat ini sendiri sangat terlambat turun, sampai dua bulan. Menurut al-Razi, keterlambatan tersebut disebabkan jawaban Rasul bahwa beliau akan memberi jawaban besok tanpa mengucapkan kata insya’ Allah atas pertanyaan orang Yahudi tentang ruh, Zu al-Qarnain dan Ashab al-Kahfi, atau bahwa surat ini terlambat karena adanya anak anjing kepunyaan Hasan dan Husein di rumah Rasul, sehingga Jibril mengatakan, “tidakkah kamu tahu bahwa kami tidak masuk rumah yang ada anjing atau gambarnya, atau karena ada keluarga Rasul yang tidak memotong kukunya.
Menurut Bint al-Syathi’, alasan keterlambatan wahyu yang disampaikan al-Razi tidak pada tempatnya, terlalu dibuat-buat dan tidak ada kaitannya dengan al-Al-Qur’an. Yang diinspirasikan oleh zahir nass adalah bahwa keterlambatan wahyu merupakan fenomena alami, tidak lebih dari itu. Jika al-Qur’an memandang perlu untuk menjelaskan keterlambatan itu, untuk menenangkan jiwa, tentu ia tidak akan tinggal diam. Sebab tujuan dari bayan al-Qur’an adalah pemenuhan segala tuntutan situasi yang berkaitan dengan tujuan. Artinya, jika al-Qur’an tidak membahas hal-hal yang seperti itu, berarti yang dipentingkan adalah esensi dari situasi itu sendiri, bukan rincian-rinciannya yang parsial.
E.     Contoh Penafsiran Bintu Syathi’
Contoh-contoh penafsiran yang dilakukan oleh Bintu Syathi’ sebagai aplikasi dari metode yang digunakannya adalah sebagai berikut:
Q.S Al-Balad :1-3
لَآ أُقۡسِمُ بِهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ١  وَأَنتَ حِلُّۢ بِهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٢  وَوَالِدٖ وَمَا وَلَدَ ٣
Artinya:
1.  Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah),
2. Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini,
3. Dan demi bapak dan anaknya.
Surat makkiyah ini urutan yang ketiga puluh lima menurut tertib nuzul. Ia turun sesudah surah Qaf. Surah ini merupakan salah satu dari dua buah surat yang dimulai dengan lafal qasam (sumpah) secara terang-terangan dan didahului lafal lâ(untuk penegasan). Surat yang lain adalah surat Q.S Al-Qiyamah: 1
لَآ أُقۡسِمُ بِيَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ ١
Artinya: “Aku bersumpah demi hari kiamat”
Q.S Al-Waqiah: 75-76
۞فَلَآ أُقۡسِمُ بِمَوَٰقِعِ ٱلنُّجُومِ ٧٥  وَإِنَّهُۥ لَقَسَمٞ لَّوۡ تَعۡلَمُونَ عَظِيمٌ ٧٦
Artinya:
75. Maka aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran.
76. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
Semua ini adalah ayat-ayat makiyah dan semuanya adalahfi’l qasam (kata kerja untuk sumpah). Sebagian besar mufassir mengutarakan pendapat bahwa lâ uqsimu, maknanya uqsimu (aku bersumpah). Lâ ditambahkan untuk penegasan, tanpa tuntutan keterangan untuk penyimpangan dari uqsimu menjadi lâ uqsimu.[14]
Dalam kamus termuat halafa berarti aqsama (bersumpah). Tetapi penelitian mengenai dua buah kata tersebut di dalam Al-Quran mencegah persamaan ini. Kata halafaada dalam Al-Quran ada di tiga belas tempat, semuanya tanpa pengecualian, dalam hal dosa karena melanggar sumpah. Enam ayat diantaranya berisi celaan terhadap mengenai orang-orang munafik, didalam surah Al-Taubah : 56
وَيَحۡلِفُونَ بِٱللَّهِ إِنَّهُمۡ لَمِنكُمۡ وَمَا هُم مِّنكُمۡ وَلَٰكِنَّهُمۡ قَوۡمٞ يَفۡرَقُونَ ٥٦
Artinya: “Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa Sesungguhnya mereka Termasuk golonganmu; Padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu)”
Selain ayat tersebut ada juga surat At-Taubah ayat 42; 62; 74; 96; 107, Q.S   Al-Mujadalah: 14; 18, Q.S Al-Qalam: 10-12, dan Q.S Al-Nisa’: 61-62. Fi’il (kata kerja) tersebut datang hanya sekali disandarkan kepada orang-orang yang beriman, sehingga mereka berkewajiban membayar kafarah (penebus) atas dosa karena melanggar sumpah.[15]
Dari sini jelaslah berbeda antara makna halafa dan aqsama , karena al-qasam (sumpah) digunakan dalam sumpah-sumpah yang benar.
Tidak mudah bagi kita untuk menafsirkan al-qasam  dengan al-halaf. Perbuatan Al-Quran pada keduanya mengalihkan kepada perbedaan yang cermat antara dua kata yang dikatan sebagai sinonim. Yaitu perbedaan yang dikukuhkan oleh pemahaman bahasa Arab. Perbedaan kedua materi dari kedua lafal itu menunjukkan perbedaan pengertian masing-masing dan perbedaan antara hint (sumpah) dan hint (pelanggaran dalam sumpah) dari dekat, berbeda dengan perbedaan antara hilf dan qasam, sehingga jauhlah kemungkinan jika keduanya sama.
Contoh kedua Q.S Al-Balad : 4
 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِي كَبَدٍ ٤
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
Kata kabad yang dalam terjemahannya diartikan dengan “kesusahan”, merupakan sebuah kata pada Al-Qur’an yang membutuhkan pembahasan panjang, dan memunculkan pandangan yang bersifat teologis. Dan menurut Bintu Syathi’ dalam menafsirkan kata ini, apabila kita melihat kepada latar belakang keadaannya. Kata tersebut mengacu pada kualitas alamiah manusia untuk memikul tanggung jawab dan memilih antara yang baik dan yang buruk. Inilah yang kemudian diungkapkan oleh Bintu Syathi; sebagai kabadnya, bebannya, penderitaannya jika ia memang memilihnya. Selain itu juga, Bintu Syathi’ memperkuat argumennya dengan mengajukan sebuah ayat yang berkaitan dengan hal itu, yaitu Q.S. Al-Balad : 8-10.
 أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ ٨  وَلِسَانٗا وَشَفَتَيۡنِ ٩ وَهَدَيۡنَٰهُٱلنَّجۡدَيۡنِ ١٠
Artinya : “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata (8), lidah dan dua buah bibir (9), dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (10).
Bintu Syathi’ menyatakan bahwa dua jalan itu adalah al-najdayn adalah jalan yang menuju kepada kebaikan dan jalan menuju kepada kejahatan yang telah di pisahkan secara tegas sehingga manusia dapat memilih satu dari kedua jalan ini. Dan ketika manusia memilih salah satu dari dua jalan itu, maka dia harus bertanggung jawab atas pilihan tersebut. 
F.      Kritik Terhadap Metodologi Ibnu Syathi’
Setelah melakukan telaah atas langkah operasionalisasi penafsiran al-Qur’an (metode tematik) yang digagas oleh Bint al-Syathi yang disertai dengan aplikasi metodologinya dalam penafsiran surat al-Zalzalah di atas. Penulis dapat uraikan bahwa metode Bint al-Syathi ini mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya:
1.             Pada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus juga dikaji lewat pemahaman bahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri.
2.             Bint al-Syathi kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantic. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafaz-lafaz yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantic). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan.
3.             Di sinilah Bint al-Syathi banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik.
G.    Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Bayani
1.      Kelebihan
a.       Dalam metode ini tampak jelas kehati-hatian yang sengaja dipatok agar dapat membiarkan al-qur’an berbicara mengenai dirinya sendiri
b.      Pandangan-panangan para mufasir lampau, terutama At-Thabari, Al-Zamakhsyari, Al-Rozi, Al-Roghib al-Asfahani, Nizamuddin AlNaisauri, Ibnul Qoyyim al Jauziyyah, al-Suyuti, dan Muhammad Abduh kerap dikutip untuk menunjukan kekeliruan mereka dan untuk menolak penjelasan-penjelasan yang terlalu dibuat-buat yang tidak mereka sepakati sendiri atau tidak sejalan dengan naskah al-Qur’an sebagai mana yang ia pahami lewat metode yang digunakannya itu. Selain mengutip, ia juga memilih pandangan yang tampaknya mendukung atau bersepakat dengan pemahamannya sendiri, sehingga dapat mendukung pandangannya. Antara lain mengenai masalah-masalah tata bahasa serta linguistik dan lain-lain.
c.       Dalam usahanya menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing terhadap pemahannya atas al-qur’an, dalam kitab tafsirnya ia menolak terlibat pada pembahasan mendetail mengenai materi-materi yang berhubungan dengan kitab injil dan rekaman-rekaman arab serta non arab yang bersifat mistis atau historis (isroiliyyat),  jika didalam al-qur’an terdapat rujukan materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut. Ia menyatakan bahwa, jika al-qur’an memang bermaksud mengungkap sejarah dalam detilnya, kitab suci itu pasti telah melkukannya namun dalam bentuk ringkasan biasa.[16]
2.      Kekurangan
Namun bagaimanapun, tafsir-tafsir yang bercorak bayani belum mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an yang fundamental. Karena seorang mufassir kadang terjebak dengan keterkungkungan kebahasaan dengan tidak menguak nilai-nilai yang lain.[17]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Aisyah Abdurrahman adalah seorang Mufassir wanita yang lahir di Dumyath, sebelah barat Delta Nil, tanggal 6 November 1913. Bint al-Syathi’ lahir di tengah-tengah keluarga muslim yang saleh. Dia lahir dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Faridah Abdussalam Muntasyir. Bintu Syathi’ sendiri memiliki arti yakni anak perempuan pinggir sungai.
2.      Dalam tafsirnya Aisyah Abdurrahman beliau sendiri mengakui bahwa dirinya mengadopsi metode dari guru sekaligus suaminya yaitu Al-Khuli, yang mana terdiri dari empat butir yaitu: (a) mengumpulkan ayat atau surat yang ingin dipelajari atau yang setema, (b) mencari asbabul nuzul dari ayat-ayat tersebut, (c) mencari makannya dengan bahasa Arab, dan (d) mengkaitkan atau berpegang pada nash Al-Quran dan Maqosid Syariat serta mengkonfirmasikan dengan para mufassir lainnya jika mendapat pernyataan yang sulit.
3.      Dalam QS.Al- Balad pada ayat pertama mengandung fi’l Qosam yang mana sebagian mufasir mensinonimkan kata ­aqsama dengan halaf. Yang mana kedua kata ini sangat berbeda makna. Jika aqsama digunakan untuk sumpah yang sebenarnya sedang halaf  untuk pelanggaran sumpah.
4.      Kelebihan dari tafsirnya Aisyah Abdurrahman adalah kehati-hatian dalam menafsirkan ayat, merujuk pada pendapat mufassir lampau, dan menghinari isra;iliyat. Sedang kelemahannya bahwa tafsir bayani ini belum mencererminkan satu kesatuan yang utuh dan terpadu dalam ajaran al-Qur’an yang fundamental.

 
DAFTAR PUSTAKA

 ‘Abdurahman, ‘Aisyah. 1996.  Tafsir Bintusy-Syathi ’ terj Mudzakkir Abdussalam. Bandung:Mizan, C.I.

Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2000.  Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LkiS.

Abdullah, Amin . 1996. Studi Agama. Yogyakarta: pustaka pelajar. cet. I.
Amin, Muhammad . 1992. A Study of Binth al-Shati Exegesis. Kanada: Tesis Mcgill.
Boullata , Issa J.. 1991. “Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah, no. 3.

Hamid abu Zayd, Nasr . 2001. Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin. Yogyakarta: LkiS.

Nata, Abuddin. 2004.  Metodologi Studi Islam. Rajawali Pers : Jakarta.

Shaleh, Khudhari. 2007. Metode-metode Epistemologi Islam .Yogyakarta: Ar-Ruzz.


[1]Muhammad Amin, A Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), hlm. 6
[2]Aisyah ‘Abdurahman, Tafsir Bintusy-Syathi ’ terj Mudzakkir Abdussalam, (Bandung:Mizan, C.I 1996),Halm 9-40
[3]Issa J. Boullata, “Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), hlm. 6
[4]Muhammad Abid al-Jabiri. Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 60
[5]Khudhari Shaleh. Metode-metode Epistemologi Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007), hlm. 61
[6]Muhammad Amin, A Study of Binth al-Shati Exegesis (Kanada: Tesis Mcgill, 1992), hlm. 32.

[7]Issa J. Boullata, “Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah, (no. 3, oktober 1991), hlm. 6
[8]Issa J. Boullata, “Tafsir al-Qur’an Modern Studi atas Metode Bint al-Syathi”, dalam Jurnal Al-Hikmah, hlm. 8
[9]A’isyah ‘Abdurrahman Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm.18
[10]A’isyah ‘Abdurrahman Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal), hlm. 19
[11]A’isyah ‘Abdurrahman Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 21
[12]A’isyah Bint Al-Syathi,. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm.43
[13]Nasr Hamid abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an terj. Khoiron Nahdhiyin (Yogyakarta: LkiS. 2001), hlm. 126
[14]A’isyah ‘Abdurrahman Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal) (Mizan: Bandung, 1996), hlm. 277
[15]A’isyah ‘Abdurrahman Bintusy-Syathi’. Al-Tafsir Al-Bayani Lil-Quran Al-Karim, (juz Awal), hlm. 280-281
[16]Amin Abdullah. Studi Agama ( Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 cet. I ), hal 136.
[17]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Rajawali Pers: Jakarta, 2004), hlm. 214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar