Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH METODE PENAFSIRAN YANG DIPAKAI OLEH AISYAH ABDURRAHMAN BINT AL-SHATI’


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Penafsiran al-Quran dari setiap zamannya mengalami perkembangan dan atau perubahan. Ketika membicarakn setiap metodologi dari tiap penafsiran, maka kita akan sering berjumpa dengan istilah bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi. Sedangkan periode kontemporer ini, istilah tersebut berkembang menjadi beberapa istilah, antara lain ilmi, adabi, ijtima’I dan sufi.
Adabi¸ sebagai salah satu corak penafsiran yang berkembang pada periode kontemporer ini, adalah penafsiran yang mendudukan al-Qur’an sebagai kitab Arab terbesar dan terutama. Corak tafsir ini sebenarnya ada sudah lama, yaitu ketika kemunculan tafsir al-kasysyaf pada abad enam Hijriyah dan mencoba di angkat lagi oleh Amin al-Khulli, Khalafullah maupun Bint Syathi’. Menurut mereka, seperti yang sudah dijelaskan diatas, mufassir sebelum menjelaskan soal hukum, perundang-undangan, akidah, akhlak dan lain sebagainya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah melihat dan memperhatikan al-Quran sebagai kitab paling agung dalam Bahasa Arab yang mempunyai pengaruh luar biasa dalam kehidupan Sastra Arab. Artinya, sebelum menggali aspek lain dari ayat-ayat al-Quran, sebaiknya terlebih dahulu diuraikan pemahaman mengenai makna kata-kata yang ada dalam al-Quran dan bantuan semua cabang ilmu sastra dan ulumul Quran sebagai sarana dalam proses pemahaman.    
    Berangkat dari hal diatas, kajian kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim karya Bint Syathi adalah sebuah kajian yang penting. Kajian tersebut disamping melihat wacana corak tafsir adabi yang berkembang belakangan ini, kajian tersebut juga dapat memetakan metodologi penafsiran yang digunakan oleh corak tersebut. Selain itu, kajian-kajian tentang tema-tema penting dalam studi al-Quran nantinya akan dilihat dalam prespektif corak tersebut atau minimal preskpektif salah satu tokoh yang mengembangkan corak tafsir adabi, yaitu Bint Syathi.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana metode penafsiran yang dipakai oleh Aisyah Abdurrahman Bint Al-Shati’?
2.      Bagaimana penerapan metode penasiran dalam tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Nama asli dari Bintu Syathi’ adalah ‘Aisyah Abdurrahman. Dia dilahirkan di Dumyat sebelah barat Sungai Nil pada tanggal 6 November  1913. Nama itu disandangkan kepadanya karena memang ia dilahirkan di tepian sungai Nil. Jadi, nama itu berarti anak perempuan tepian (sungai). Ia tumbuh kembang di tengah keluarga muslim yang shaleh dan taat mengamalkan ajaran agama. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya. Adapun pendidikan tingginya dirampungkan di Universitas Fuad I, Kairo.
Nama Bintu Syathi’ mulai menjadi buah bibir khalayak ramai lantaran studinya tentang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an. Pada tahun 1960-an ia kerap memberi ceramah keagamaan kepada para sarjana di Roma, Aljazair, Baghdad, New Delhi, Kuwait, Rabat, Khartoum, Fez, dan Yerussalem. Pada tahun 1970-an ia dinobatkan sebagai profesor sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syam, Mesir. Kadang-kadang ia juga diundang sebagai profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Umm Durman, Suda, dan Universitas Qarawiyyin, Maroko.[1]
Memang sejak kecil beliau sudah di didik dengan keras, beliau sudah hafal Al-Qur’an pada usia belia. Di Universitas Kairo, Bintu Syathi’ bertemu dengan Amin al-Khulli yang sebagai dosen dan akhirnya menjadi suami beliau. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain membimbing dalam keluarga, Amin Khulli, sang suami juga banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syathi. Hal ini terlihat dari corak beberapa tulisan dan pemaparan Bintu Syathi.[2]


B.     Karya-karya ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Adapun karya-karya Bintu Syathi’ sangat banyak, mungkin akan diklasifikasikan menjadi tiga jenis: pertama, tentang Dirasat al-Qur’aniyah wal Islamiyyah (pembelajaran al-Qur’an dan Islam), nama-nama kitabnya adalah:
1.                       At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 1
2.                       At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim- Juz 2
3.                       Al-I’jaz Al Bayani lil qur’ani wa masaili ibni al-Azraq
4.                       As-Syakhshiyyah al Islamiyyah- Dirasat Qur’aniyah
5.                       Maqal Fil Insan-Dirasat Qur’aniyah
6.                       Al-Qur’an wa Qadhayal Insan
7.                       Al Qur’an wat Tafsir Al ‘Ashri
8.                       Ma’al Mushthafa ‘Alaihi Shalatu Wassalam
9.                       Tarajum Sayyidati Baitinnubuwwah-5 Juz
10.                   Muqaddimah Ibnu Shalah Fi Ulumil Hadis
11.                   Mahasin Al-Ishthilah Lissirajil Balqini
12.                   Al Israiliyyat fil Ghazwil Fikri
13.                   Qira’atun fi Watsaiqil Baha’iyyah
Kedua, tentang Dirasat Lughawiyyah wal Adabiyyah wat Tarikhiyyah (pembelajaran bahasa, sastra dan sejarah). Di antara kitab-kitabnya antara lain:
1.                       Lughatuna Wal Hayah
2.                       Mu’jam al Muhkam libni Sayyidah al andalusi
3.                       Qayyimun Jadidah lil adab al arabi al qadim wal Mu’ashir
4.                       Abul ‘Ala’ al Ma’arri
5.                       Al Hayah al Insaniyyah fi Adabi Abi al ‘Ala’ Al-ma’arri
6.                       Al Ghufran-pelajaran tentang kritik
7.                       Risalatul Ghufran Li Abi al ‘Ala’ Al Ma’arri
8.                       Qira’at Jadidah fi Risalatil Ghufran
9.                       Ma’a Abi al’Ala’ fi rihlati Hayatihi
10.                   Al-Khansa’ as sya’irah al’ Arabiyyah al Ula
11.                   As sya’irah al ‘arabiyyah al mu’ashirah
12.                   Risalatu ibni alQarih
13.                   Risalatu as Shahil was Syahij
14.                   Turatsuna baina madli wa Hadlir
15.                   Ardhul Mu’jizat-rihlatu fi jairatil ‘Arab
16.                   A’daul Basyar-dirasat tarikhiyyah lijawwalatil Ma’rakah
17.                   Bainal Insaniyah wa a’daul basyar
18.                   Muqadimah fil manhaj
Ketiga, tentang perbuatan-perbuatan yang santun dan pembelajaran tentang sosial. Di antara karya-karyanya adalah:
1.                       Ar riful Mishri (1936 M)
2.                       Sayidul ‘Azbah
3.                       Qadliyyatul falah
4.                       Shuwarun min hayatihinn
5.                       Imra’atun khathi’ah
6.                       Sirru syathi’
7.                       ‘alal Jisr[3]

C.    Metode Penafsiran ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode sastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah Min a Haula al-Nass (Kajian seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum. Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2. Dirasah ma fi al-Nass (kajian tentang al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud
untuk mencari makna etimologis, terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya sebagai berikut.
Bintu Syathi sangat terpengaruh gaya sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin al-Khulli. Karakteristik khusus yang membedakan cara pandang Bint al-Shati’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan menggunakan metode semantik, metode yang berbasis pada analisa teks. Metode penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’ dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yaitu metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan. Secara garis besar metodologi kajian ini disimpulkan dalam empat pokok pikiran.
Pertama: mengumpulkan unsur- unsur tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya bahasa. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan perbedaan dalam penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya bahasa tersebut.
Kedua: memahami beberapa hal di sekitar nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi waktu dan lingkungan diturunkannya ayatayat al-Qur’an pada waktu itu. Dikorelasikan dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang diambil menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun ayat).
Ketiga: memahami dalalah al-Lafadz. Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah dipahami sebagaimana dhahirnyaataukah mengandung arti majaz dengan berbagai macam klasifikasinya. Kemudian ditadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat secara umum dalam al-Qur’an.
Keempat: memahami rahasia ta’bir dalam al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap keindahan, pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian balaghahnya.[4]
Sastra tematik yang dimaksud di sini adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum (maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun, beberapa surat pendek saja di juz amma pada buku pertama: Adh- Dluha, Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr, Al-Lail, Al- Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.
D.    Prinsip-prinsip Metodologis ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Pencapaian prestasi Bintu Syathi’ tidak bisa dilepaskan dari sosok Amin Al-Khulli, guru sekaligus suaminya. Bahkan ia mengakui bahwa metode yang digunakannya terilhami dari Al-Khulli. Berikut ini prinsip-prinsip metodologis Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Pertama, prinsip “sebagian ayat Al-Qur’an menafsiri sebagian ayat lain”. Bertumpu pada prinsip ini, ia telaten melacak makna suatu ayat dalam ayat-ayat lain.
Kedua, prinsip Munasabah. Artinya, mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat-ayat di dekatnya, bahkan sangat mungkin dengan kata atau ayat yang jauh dari kata atau ayat yang sedang ditafsirkan.
Ketiga, prinsip al-‘ibratu bi ‘umum al-lafdhi la bi khusus as-sabab. Artinya, pertimbangan dalam menentukan suatu masalah itu berdasarkan pada redaksi dalil (Al-Qur’an dan Hadis) yang berlaku umum bukan berdasar atas sebab khusus lahirnya dalil tersebut.
Keempat, prinsip bahwa setiap kata dalam bahasa arab Al-Qur’an tidak mengandung sinonimitas (mutaradif). Satu kata hanya mempunyai satu makna. Seandainya ada orang yang mencoba menggantikan suatu kata dari Al-Qur’an dengan kata lain, maka Al-Qur’an bisa kehilangan efektivitas, ketepatan, esensi, dan keindahannya. Tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur’an yang bisa di tukar dengan kata lain.[5]
E.     Corak Penafsiran
Tafsir al-Qur’an merupakan ilmu yang sangat penting dalam litelatur Islam. Karena dari sinilah sebuah teks yang tidak bernyawa akan berbicara dan memposisikan dirinya sebagai kitab petunjuk. Pesan yang disampaikan dalam al-Qur’an akan menjadi sebuah hal yang sangat relatif ketika diintepretasikan oleh beberapa corak pemikiran yang berbeda. Seiiring dengan berkembangnya zaman dan semakin luasnya ilmu yang dikuasai umat Islam, maka hal ini menyebabkan pergeseran metodologi dalam intepretasi al-Qur’an. Para ulama zaman dahulu mengklasifikasikan metode tafsir secara global menjadi 2 macam, yaitu;
1.      Tafsir bil ma’tsur (analisa teks Al Qur’an dengan berpedoman pada teks lain, AlQur’an dan Hadits. Corak metode tafsir seperti ini banyak kita dapatkan dalam tafsir Thabary.
2.      Tafsir bi ra’yi (analisa teks dengan berpedoman pada akal). Corak metode ini banyak kita dapati dalam tafsir Al Kasyyâf, Mafâtihul Ghaib, Al Mannâr.
Penggolongan metode tafsir menjadi 2 tersebut saat ini dipandang kurang relevan dan terkesan kaku. Maka dari itu para pakar tafsir kontemporer mencoba mencari alternatif lain yang lebih simpel dan sistematis. Dr. Abdul Jabar Ar Rifa’i, menyebutkan ada 4 teori dalam studi tafsir kontemporer:
Tafsir ‘Ilmi (analisa ilmiah terhadap ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an dengan menghubungkan dengan fenomena alam yang terjadi). Contoh; Tafsir Jawâhirul Qur’an milik Imam Ghazali, al Burhân Fi Ulûmil Qur’an milik Zarkasyi.
Tafsir Madhu’i (analisa sebuah teks dengan menghimpun satu kesatuan tema di dalamnya). Contoh; Ad Dustûr Al Qur’ani Fi Syu’ûnil Hayât milik Muhammad ‘Izzat Darwizah, Tafsir Ayat Riba milik Sayyid Qutb, Al Qur’an Wal Mujtama’ milik Mahmud Syaltut.
Tafsir Ijtimâi (analisa teks dengan pendekatan sosiologi dan fakta sosial yang terjadi). Contoh; Tahrîr Wa Tanwîr milik Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafhîmul Qur’an milik Abu A’la al Maududi.
Tafsir Adabi (analisa teks dengan mengungkap sisi sastra yang terkandung didalamnya. Metode ini lebih cenderung kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an) Contohnya; Tafsir Bayani Lil Qur’anil Karim milik Aisyah Abdurrahman atau Bint al-Shati’. Tafsir Adabi (tafsir sastra) yang barang kali akhir-akhir ini banyak digandrungi oleh banyak orang. Basis metode ini mulai diperkenalkan Amin Khuli, seorang intelektual Mesir dan dosen adab di Universitas Cairo. Sosok inilah yang dikenal kuat mempengaruhi corak penafsiran generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah, Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman atau Bint Shati’. Dari ketiga penerus beliau ini, Bint Shati’-lah yang pemikirannya secara luar dikonsumsi publik. Selain berbasis metode analisa teks, Bint Shati’ dikenal sangat memperhatikan sisi normatif dan tidak terlepas dari sisi ilmiah.[6]
F.     Kelebihan dan Kelemahan Tafsir Al-Bayani
Dalam kaitannya mempelajari, memahami dan mengkaji al-Qur’an, kita mengenal adaempat metode tafsir, meliputi metode tahlili, ijmal, maudhu’i,dan muqaran. Namun dari keempat metode diatas yang paling populer digunakan dalam menafsirkan adalah metode tahlili dan maudhu'i.[7] Namun saat ini telah banyak metode yangditawarkan oleh berbagai mufasir, kesemuanya itu merupakan perangkat pendukung untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam teks-teks al-Qur’an. Selain itu, karena alasan bahwa bahasa adalah bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungannya, adapun realitas eksternal merupakan rujukan maknanya. Ketika kita berbicara kelemahan yang terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnyapada langkah ketiga, jika pemahaman lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahamanBahasa Arab yang merupakan bahasa “induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an; sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri. Bint al-Shati’ kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa (semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik
G.    Contoh Penafsiran ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di dalam al-Qur'an yang diawali dengan waw al-Qasam - Bint al-Syati' menolak pendapat bahwa semua itu - seperti kebanyakan kitab tafsir - menandakan pemuliaan obyek sumpah. Bint al-Syati’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah hanya salah satu alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap suatu hal lewat fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak terjangkau oleh akal. Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi. Bint al-Syati’ memberikan gambaran dari berbagai surah-surah yang dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah bersumpah demi waktu pada surah al-‘Asr, duha, demi siang, demi waktu malam, dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang adalah merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq). Sedangkan malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
Seseorang dapat terpukau terpesona ketika mendengar alunan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti yang digambarkan oleh cendikiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam TheMeaning of Gloriuos Qur’an: “al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita” Inilah yang dinamakan fawasil yang mengandung sajak dalam al-Qur’an. Mayoritas ulama sependapat bahwa dalam al-Qur’an mengandung sajak. Hanya saja mereka berbeda pendapat apakah al-Qur'an terikat dengan formulasi dan bentuk sajak dengan mengabaikan sisi makna atau sebaliknya, memegang makna dengan mengabaikan sajak. Bint al-Shati’ memposisikan dirinya pada pendapat kedua. Bint al-Shati tatkala menafsirkan surah al-Duha dengan mengabaikannya kata ganti (dhamir) ‘ka’ sebagai objek dari fi’il qala , menolak argumen prosodik (argumen yang berkaitan dengan hal-hal irama-sajak) sehubungan dengan terabaikannya dhamir ‘ka’. Argumen ini dipegangi oleh al-Naysaburi. Berdasarkan hasil studi Bint al-Shati’ tentang sajak dalam al-Qur’an, dia percaya bahwa tidak ada lafal di dalam al-Qur'an yang ditemui di mana pun hanya karena alasan prosodik. Ia menyarikan pandangannya: "Perihal alasan terabaikannya dhamir ‘ka’ sehubungan dengan adanya kesan harmonisasi fasilah dengan sajak, kita tidak menerima pandangan bahwa retorika Qur’ani didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan verbal. Yang semestinya adalah tunduk dan menyelaraskan pada makna retoris.
Satu hal penting dari penafsiran Bint al-Shati’ pada ayat 8 surah al-Takatsur berkenaan dengan arti dari kata na'im, adalah bahwa dia mempunyai pemahaman yang berbeda dari makna kata na'im. Tidak ada tafsir yang mengomentari pembedaan antara kata-kata na'im, ni'mah (memberkati) atau ni'am (jamak). Berdasarkan penelitiannya pada kata-kata yang terbangun dari huruf ن-ع-م ia menyatakan bahwa al-Qur'an selalu menghubungkan kata na’im dengan al-Akhirah atau na'im al-Akhirah, dan tidak pernah menggunakannya dengan kata al-Dunnya. Kata ni'mah atau ni'am (jamak), sebaliknya, digunakan untuk menandai adanya bimbingan. Dan pemberkatan dalam ayat terakhir surah al-Takatsur ini berhubungan dengan na'im al-akhirah.
Dan yang tak kalah penting dari pemikirannya yang Menarik untuk dicatat bahwa Bint al-Shati' dalam penyelidikannya atas kata aqsama dan halafa, yang secara umum dianggap sebagai sinonim-sinonim oleh kebanyakan penafsiran, menemukan bahwa kata halafa tidak menginfomasikan makna yang sama seperti kata aqsama dalam pemakaian al-Qur'an. Semua derivasi kata halafa yang dia uji, berlaku dalam al-Qur'an dengan makna sumpah yang akan rusak dan dibuat dengan penuh kesadaran, lebih jauh dari itu kata halafa tidak pernah disandarkan pada Allah.
Bint al-Shati’ tidak sependapat dengan al-Razi yang menganggap kata al-Takatsur adalah sinonim dari al-Tafakhur. Dia menunjukkan bahwa al-Takatsur dan al-Tafakhur yang ditempatkan dalam ayat yang sama dan digabung huruf ‘athaf waw dalam surah al- Hadid ayat 20 yang menurut metodenya, ternyata tidak mengindikasikan sinonimitas.[8]
H.    Huruf Muqatha’ah dalam Fawatihussuwar (Surat-surat Pembuka)
Menurutnya, wacana huruf muqatha’ah dalam konteks ­al-ijaz al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut diperlakukan sebagai huruf. Huruf-huruf muqatha’ah disebutkan untuk menunjukkan bahwa al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai menjadi kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama al-Quran. Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam. Huruf-huruf tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran diturunkan dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka kenali dalam bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap tidak bisa menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti al-Quran. Huruf-huruf muqatha’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong, oleh karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[9]
Surah al-Quran terdapat 114, dari semuanya terdapat 26 surah Makkiah dan 3 surah Madaniyah yang dimulai dengan huruf muqatha’ah. Adapun surah-surah Makkiah yang diawali dengan huruf muqatha’ah sesuai dengan urutan waktu turun, adalah:
Al-Qalam (nun), Qaf,Shad, al-A’raf (alif lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf Ha Ya Ain Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin Mim), al-Naml(Tha Sin), al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud (Alif Lam Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif Lam Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin Qaf), al-Zukhruf (Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim (Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut (Alif Lam Mim).
Sedangkan surah-surah Madaniyah adalah al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[10] Dari penelitiannya tersebut, Bint Syathi menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.                       Fawatih dimulai surah al-Qalam yang menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan datang beruntun pada pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2.                       Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai dengan huruf muqatha’ah, mengandung pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya. Selain itu, terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik dari sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3.                       Kebanyakan surah yang diawali dengan muqatha’ah diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik  mencapai puncaknya.[11]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatha’ah adalah bagian ijaz al-Quran  karena dengan ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqatha’ah mengandung nama Allah maha Agung. Pendapat tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah al-Qalam. Al-Qalam sendiri dimulai dengan huruf muqatha’ah, yaitu huruf nun. Setelah memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut, Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan hurufnun menunjukkan keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan dikembangkannya.[12]
I.       Qasam dalam Al-Qur’an
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir al-Bayani, memuat empat belas surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas itu, delapan diantaranya mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha, al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr. Sedangkan satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di apresiasi.
Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan qasam secara eksplisit. Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah berkembang atau menyimpan definisinya dalam apa yang dikandung dalam pemikirannya. Dia hanya mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk lit Ta’kid, li al-iqrar’, lil ‘I’dzam (penguat, penetapan, dan mengagungkan).[13] Namun Bint Syathi membedakan antara qasam  dengan  halaf. Qasam menurutnya adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan dilanggar oleh pengucapnya. Sedangkan al-half digunakan khusus pelanggaran atau ingkar terhadap sumpah.[14]
Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka ragam bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu sendiri. Namun penulis membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam dengan huruf wawu mempunyai dua kategori.Pertama, wawu digunakan untuk lafal Allah atau Rabb. Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau Rabb, dua tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am ayat 23:
ثمَّ لَم تكم فِتنَتَهم إِلَّا أَن قَالوا وَالله رَبّنَا مَا كنَّا مشرِكِينَ
“Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuai mengatakan: demi Allah, Tuhan Kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”.
.قالوا بلى وربنا
……… mereka menjawab: “sungguh benar, demi Tuhan kami”……
Dua ayat tersebut di dalamnya terdapat huruf Qasam, yang pada dasarnya makna dari qasam di atas sebagai Iqrar (penetapan/pengakuan). Sedangkan empat tempat lainnya ditempatkan pada pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ   pada QS al-Hijr: 92 dan al-Dzariyat:23, atau فلا  pada QS al-Nisa: 65, atau اي  pada QS Yunus:53. Pada kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan atau pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam.[15]
Kedua, wawu qasam yang berada pada awal kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha, al-Lail, al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’, al-Tur dan lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[16]
Dengan pengkategorian tersebut, Bint Syathi ingin mengatakan bahwa ada tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau tempatnya. Para mufassir terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan wawu qasam, seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada keagungan muqsam bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak, tidak memandang tingkat kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[17] Atau Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya waktu tersebut.
Dengan demikian, para ulama terdahulu melihat fenomena qasam dengan huruf wawu sering mencampur antara keagungan muqsam bih dengan hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya hikmah penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan Allah yang tidak mempunyai hikmah.[18] Itu semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian memaksakan hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi muqsam bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu qasam memperlihatkan adanya makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal tersebut, seperti pemakaian amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti perintah maupun larangan. Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan adanya penekanan perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil sebagai suatu fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk mendebat atau mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah) sesuatu yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali menjadi bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[19]
Sehingga penafsiran atas al-Dhuha (dan al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya gemerlapan”.[20]


BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan
Sebagai mufassir era modern yang juga menggunakan metode penafsiran modern dengan latar belakang keilmuan sastranya, Bintusy Syathi’ merupakan salah satu mufassir yang mengangkat penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan segi semantik. Metode yang digunakannya adalah dengan munsabah ayat dan tidak terlalu berkutat didalam lingkup asbabun nujul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektik mungkin dalam menafsirkan suatu ayat dan membiarkan teks teks al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisyah. “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk. Tangerang:Lentera Hati, 2008.
al-Farmawi, Abdul Hayy,terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu'I Dan Cara Penerapannya, Penerbit: CV Pustaka Setia, 2002.
al-Rahman, Aisyah Abd. al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II. Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968.
Bahr, Saiful. Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian di ambil jam 21.55 WIB tanggal 30-10-2014.
El-Anwar, Noer. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Binti Syati’. 2014. http://noerelanwar.blogspot.com/ . Di ambil jam 19:20 tanggal 30-10-2014
Ghofur , Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html yang ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-10-2014. Jam 20.03.
Khuzaim, Muhammad Abdusalam Abu (cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. Cetakan kedua. Darul yasr: 2008.



[1]  Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008). Hal, 187
[2]  Lihat situs http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html. yang ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-10-2014. Jam 20.03 WIB.
[3] Muhammad Abdusalam Abu Khuzaim (cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. (Darul yasr. 2008.Cetakan kedua. ). hal: 54-56.
[4]  Saiful Bahr, Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian.  di ambil jam 21.55 WIB tanggal 30-10-2014.
[5] Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), Hal, 187
[6]  Noer El-Anwar. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Binti Syati’. 2014.. http://noerelanwar.blogspot.com/2014/05/v-behaviourdefaultvmlo_30.html?m=1. Di ambil jam 19:20 tanggal 30-10-2014
[7]  Abdul Hayy al-Farmawi,terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu'I Dan Cara Penerapannya, (Penerbit: CV Pustaka Setia. 2002), hal. 43-44.
[8] Noer El-Anwar. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Binti Syati’. 2014.. http://noerelanwar.blogspot.com/2014/05/v-behaviourdefaultvmlo_30.html?m=1.
[9] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II (Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm, 41-43
[10] Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan  Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik,  Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati, 2008), hlm. 291
[11]    Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar…, hlm. 293-294
[12]  Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan…, hlm. 42
[13] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani lil Qur’an, Darul Ma’arif,  hlm. 246-247
[14] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
[15] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100
[16] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 246-247
[17] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25
[18] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25
[19] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25-26
[20] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar