BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penafsiran
al-Quran dari setiap zamannya mengalami perkembangan dan atau perubahan. Ketika
membicarakn setiap metodologi dari tiap penafsiran, maka kita akan sering
berjumpa dengan istilah bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi. Sedangkan periode
kontemporer ini, istilah tersebut berkembang menjadi beberapa istilah, antara
lain ilmi, adabi, ijtima’I dan sufi.
Adabi¸
sebagai salah satu corak penafsiran yang berkembang pada periode kontemporer
ini, adalah penafsiran yang mendudukan al-Qur’an sebagai kitab Arab terbesar
dan terutama. Corak tafsir ini sebenarnya ada sudah lama, yaitu ketika
kemunculan tafsir al-kasysyaf pada abad enam Hijriyah dan mencoba di angkat
lagi oleh Amin al-Khulli, Khalafullah maupun Bint Syathi’. Menurut mereka,
seperti yang sudah dijelaskan diatas, mufassir sebelum menjelaskan soal hukum,
perundang-undangan, akidah, akhlak dan lain sebagainya, langkah pertama yang
harus ditempuh adalah melihat dan memperhatikan al-Quran sebagai kitab paling
agung dalam Bahasa Arab yang mempunyai pengaruh luar biasa dalam kehidupan
Sastra Arab. Artinya, sebelum menggali aspek lain dari ayat-ayat al-Quran,
sebaiknya terlebih dahulu diuraikan pemahaman mengenai makna kata-kata yang ada
dalam al-Quran dan bantuan semua cabang ilmu sastra dan ulumul Quran sebagai
sarana dalam proses pemahaman.
Berangkat dari hal diatas, kajian kitab
al-Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim karya Bint Syathi adalah sebuah kajian
yang penting. Kajian tersebut disamping melihat wacana corak tafsir adabi yang
berkembang belakangan ini, kajian tersebut juga dapat memetakan metodologi
penafsiran yang digunakan oleh corak tersebut. Selain itu, kajian-kajian
tentang tema-tema penting dalam studi al-Quran nantinya akan dilihat dalam
prespektif corak tersebut atau minimal preskpektif salah satu tokoh yang
mengembangkan corak tafsir adabi, yaitu Bint Syathi.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana metode penafsiran yang dipakai
oleh Aisyah Abdurrahman Bint Al-Shati’?
2.
Bagaimana
penerapan
metode penasiran dalam tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Nama asli dari Bintu Syathi’ adalah
‘Aisyah Abdurrahman. Dia dilahirkan di Dumyat sebelah barat Sungai Nil pada
tanggal 6 November 1913. Nama itu
disandangkan kepadanya karena memang ia dilahirkan di tepian sungai Nil. Jadi,
nama itu berarti anak perempuan tepian (sungai). Ia tumbuh kembang di tengah
keluarga muslim yang shaleh dan taat mengamalkan ajaran agama. Pendidikan dasar
dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya. Adapun pendidikan tingginya
dirampungkan di Universitas Fuad I, Kairo.
Nama Bintu Syathi’ mulai menjadi buah
bibir khalayak ramai lantaran studinya tentang sastra Arab dan tafsir
Al-Qur’an. Pada tahun 1960-an ia kerap memberi ceramah keagamaan kepada para
sarjana di Roma, Aljazair, Baghdad, New Delhi, Kuwait, Rabat, Khartoum, Fez,
dan Yerussalem. Pada tahun 1970-an ia dinobatkan sebagai profesor sastra dan
bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syam, Mesir. Kadang-kadang ia juga diundang
sebagai profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas
Umm Durman, Suda, dan Universitas Qarawiyyin, Maroko.[1]
Memang sejak kecil beliau sudah di didik
dengan keras, beliau sudah hafal Al-Qur’an pada usia belia. Di Universitas
Kairo, Bintu Syathi’ bertemu dengan Amin al-Khulli yang sebagai dosen dan
akhirnya menjadi suami beliau. Suaminya merupakan pakar ilmu Tafsir. Selain
membimbing dalam keluarga, Amin Khulli, sang suami juga banyak memberikan
pengaruh terhadap pemikiran Bintu Syathi. Hal ini terlihat dari corak beberapa
tulisan dan pemaparan Bintu Syathi.[2]
B. Karya-karya ‘Aisyah Bint Al-Shati’
Adapun karya-karya Bintu Syathi’ sangat
banyak, mungkin akan diklasifikasikan menjadi tiga jenis: pertama, tentang
Dirasat al-Qur’aniyah wal Islamiyyah (pembelajaran al-Qur’an dan Islam),
nama-nama kitabnya adalah:
1.
At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim-
Juz 1
2.
At Tafsir Al Bayani Lil qur’anil Karim-
Juz 2
3.
Al-I’jaz Al Bayani lil qur’ani wa
masaili ibni al-Azraq
4.
As-Syakhshiyyah al Islamiyyah- Dirasat
Qur’aniyah
5.
Maqal Fil Insan-Dirasat Qur’aniyah
6.
Al-Qur’an wa Qadhayal Insan
7.
Al Qur’an wat Tafsir Al ‘Ashri
8.
Ma’al Mushthafa ‘Alaihi Shalatu Wassalam
9.
Tarajum Sayyidati Baitinnubuwwah-5 Juz
10.
Muqaddimah Ibnu Shalah Fi Ulumil Hadis
11.
Mahasin Al-Ishthilah Lissirajil Balqini
12.
Al Israiliyyat fil Ghazwil Fikri
13.
Qira’atun fi Watsaiqil Baha’iyyah
Kedua, tentang Dirasat Lughawiyyah wal
Adabiyyah wat Tarikhiyyah (pembelajaran bahasa, sastra dan sejarah). Di antara
kitab-kitabnya antara lain:
1.
Lughatuna Wal Hayah
2.
Mu’jam al Muhkam libni Sayyidah al
andalusi
3.
Qayyimun Jadidah lil adab al arabi al
qadim wal Mu’ashir
4.
Abul ‘Ala’ al Ma’arri
5.
Al Hayah al Insaniyyah fi Adabi Abi al
‘Ala’ Al-ma’arri
6.
Al Ghufran-pelajaran tentang kritik
7.
Risalatul Ghufran Li Abi al ‘Ala’ Al
Ma’arri
8.
Qira’at Jadidah fi Risalatil Ghufran
9.
Ma’a Abi al’Ala’ fi rihlati Hayatihi
10.
Al-Khansa’ as sya’irah al’ Arabiyyah al
Ula
11.
As sya’irah al ‘arabiyyah al mu’ashirah
12.
Risalatu ibni alQarih
13.
Risalatu as Shahil was Syahij
14.
Turatsuna baina madli wa Hadlir
15.
Ardhul Mu’jizat-rihlatu fi jairatil
‘Arab
16.
A’daul Basyar-dirasat tarikhiyyah
lijawwalatil Ma’rakah
17.
Bainal Insaniyah wa a’daul basyar
18.
Muqadimah fil manhaj
Ketiga, tentang perbuatan-perbuatan yang
santun dan pembelajaran tentang sosial. Di antara karya-karyanya adalah:
1.
Ar riful Mishri (1936 M)
2.
Sayidul ‘Azbah
3.
Qadliyyatul falah
4.
Shuwarun min hayatihinn
5.
Imra’atun khathi’ah
6.
Sirru syathi’
7.
‘alal Jisr[3]
C. Metode Penafsiran ‘Aisyah Bint
Al-Shati’
Pada kata pengantar kitab al-Tafsir
al-Bayani li al-Quran, Bint Syathi menjelaskan bahwa apa yang ditulis dalam
karyanya tersebut mengikuti standarisasi metode yang sudah di tetapkan oleh
Dosen sekaligus Suami tercintanya, Amin al-Kulli. Perlu diketahui, gagasan Amin
al-Kulli adalah menciptakan paradigma baru mengenai al- Qur’an, yaitu
menjadikan metode sastra sebagai titik tolak kajian khusus lainnya. Metode
sastra yang dimaksud adalah pengkajian al-Qur’an dengan dua tahap:
1. Dirasah Min a Haula al-Nass (Kajian
seputar al-Quran) Kajian tersebut meliputi kajian khusus dan kajian umum.
Kajian khusus adalah kajian ulum al-Quran. Sedangkan kajian umum adalah kajian
konteks/situasi, material dan immaterial lingkungan Arab.
2. Dirasah ma fi al-Nass (kajian tentang
al-Quran itu sendiri) Kajian ini bermaksud
untuk mencari makna etimologis,
terminologis. Semantic yang stabil dalam sirkulasi kosakata dan makna semantic
dalam satu ayat yang ditafsirkan. Berangkat dari metode yang ditawarkan oleh
Amin al-Kulli tersebut, Bint Syathi kemudian menetapkan metode penafsirannya
sebagai berikut.
Bintu Syathi sangat terpengaruh gaya
sang guru yang juga pendamping hidupnya, Amin al-Khulli. Karakteristik khusus
yang membedakan cara pandang Bint al-Shati’ dengan mufasir lainnya adalah bahwa
dia lebih menonjolkan segi sastra. Pendekatan yang beliau pakai yaitu dengan
menggunakan metode semantik, metode yang berbasis pada analisa teks. Metode
penafsiran yang digunakan Bint al-Shati’ dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yaitu
metode yang biasa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode yang
mengkaitkan kata atau ayat dengan kata ayat yang ada di dekatnya dan bahkan
ayat yang berjauhan. Langkah pertamanya yaitu dengan mengumpulkan kata dan
penggunaannya dalam beberapa ayat al-Qur’an untuk mengetahui penjelasan apa
saja yang terkait dengan sebuah kata yang ditafsirkan atau diberi penjelasan.
Secara garis besar metodologi kajian ini disimpulkan dalam empat pokok pikiran.
Pertama: mengumpulkan unsur- unsur
tematik secara keseluruhan yang ada di beberapa surat. Untuk dipelajari secara
tematik. Dalam tafsir ini beliau tidak memakai metode kajian tematik murni
seperti itu. Namun dengan pengembangan induktif (istiqra’i). Mula- mula beliau
gambarkan ruh sastra tematik secara umum. Kemudian merincinya per-ayat. Akan
tetapi perincian ini berbeda dengan perincian yang digunakan dalam kajian
tafsir tahlily (analitik) yang cenderung menggunakan maqtha’ (pemberhentian
tematik dalam satu surat). Di sini beliau membuka dengan kupasan bahasa dalam
ayat itu kemudian dibandingkan dengan berbagai ayat yang memiliki kesamaan gaya
bahasa. Kadang menyebut jumlah kata, adakalanya memberikan kesamaan dan
perbedaan dalam penggnaannya, terakhir beliau simpulkan korelasi antara gaya
bahasa tersebut.
Kedua: memahami beberapa hal di sekitar
nash yang ada. Seperti mengkaji ayat sesuai turunnya. Untuk mengetahui kondisi
waktu dan lingkungan diturunkannya ayatayat al-Qur’an pada waktu itu.
Dikorelasikan dengan studi asbab al-Nuzul. Meskipun beliau tetap menegaskan
kaidah al-Ibrah Bi ’Umum al-Lafadz La Bi al-Khusus al-Sabab (kesimpulan yang
diambil menggunakan keumuman lafadz bukan dengan kekhususan sebab- sebab turun
ayat).
Ketiga: memahami dalalah al-Lafadz.
Maksudnya, indikasi makna yang terkandung dalam lafadz-lafadz al-Qur’an, apakah
dipahami sebagaimana dhahirnyaataukah mengandung arti majaz dengan berbagai
macam klasifikasinya. Kemudian ditadabburi dengan hubungan-hubungan kalimat
khusus dalam satu surat. Setelah itu mengkorelasikannya dengan hubungan kalimat
secara umum dalam al-Qur’an.
Keempat: memahami rahasia ta’bir dalam
al-Qur’an. Hal ini sebagai klimaks kajian sastra, dengan mengungkap keindahan,
pemilihan kata, beberapa pentakwilan yang ada di beberapa buku tafsir yang
mu’tamad tanpa mengkesampingkan kajian gramatikal arab (i’rab) dan kajian
balaghahnya.[4]
Sastra tematik yang dimaksud di sini
adalah corak tafsir kontekstual yang menganut madzhab dan aliran tematik umum
(maudhu’i ‘am). Pengkajiannya dikhususkan pada pembahasan sastra bahasa dalam
satu surat. Beliau tidak mengambil seluruh surat dalam al-Qur’an. Namun,
beberapa surat pendek saja di juz amma pada buku pertama: Adh- Dluha,
Asy-Syarh, Az- Zalzalah, Al-Adiyat, An-Nazi’at, Al-Balad, dan At-Takatsur. Dan
tujuh surat pendek lainnya pada buku kedua: Al-‘Alaq, Al-Qalam, Al-‘Ashr,
Al-Lail, Al- Fajr, Al-humazah, dan Al-Ma’un.
D. Prinsip-prinsip Metodologis ‘Aisyah
Bint Al-Shati’
Pencapaian prestasi Bintu Syathi’ tidak
bisa dilepaskan dari sosok Amin Al-Khulli, guru sekaligus suaminya. Bahkan ia
mengakui bahwa metode yang digunakannya terilhami dari Al-Khulli. Berikut ini
prinsip-prinsip metodologis Bintu Syathi’ dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Pertama, prinsip “sebagian ayat
Al-Qur’an menafsiri sebagian ayat lain”. Bertumpu pada prinsip ini, ia telaten
melacak makna suatu ayat dalam ayat-ayat lain.
Kedua, prinsip Munasabah. Artinya,
mengaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat-ayat di dekatnya, bahkan sangat
mungkin dengan kata atau ayat yang jauh dari kata atau ayat yang sedang
ditafsirkan.
Ketiga, prinsip al-‘ibratu bi ‘umum
al-lafdhi la bi khusus as-sabab. Artinya, pertimbangan dalam menentukan suatu
masalah itu berdasarkan pada redaksi dalil (Al-Qur’an dan Hadis) yang berlaku
umum bukan berdasar atas sebab khusus lahirnya dalil tersebut.
Keempat, prinsip bahwa setiap kata dalam
bahasa arab Al-Qur’an tidak mengandung sinonimitas (mutaradif). Satu kata hanya
mempunyai satu makna. Seandainya ada orang yang mencoba menggantikan suatu kata
dari Al-Qur’an dengan kata lain, maka Al-Qur’an bisa kehilangan efektivitas,
ketepatan, esensi, dan keindahannya. Tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur’an
yang bisa di tukar dengan kata lain.[5]
E. Corak Penafsiran
Tafsir al-Qur’an merupakan ilmu yang
sangat penting dalam litelatur Islam. Karena dari sinilah sebuah teks yang
tidak bernyawa akan berbicara dan memposisikan dirinya sebagai kitab petunjuk.
Pesan yang disampaikan dalam al-Qur’an akan menjadi sebuah hal yang sangat
relatif ketika diintepretasikan oleh beberapa corak pemikiran yang berbeda.
Seiiring dengan berkembangnya zaman dan semakin luasnya ilmu yang dikuasai umat
Islam, maka hal ini menyebabkan pergeseran metodologi dalam intepretasi
al-Qur’an. Para ulama zaman dahulu mengklasifikasikan metode tafsir secara global
menjadi 2 macam, yaitu;
1.
Tafsir bil ma’tsur (analisa teks Al
Qur’an dengan berpedoman pada teks lain, AlQur’an dan Hadits. Corak metode
tafsir seperti ini banyak kita dapatkan dalam tafsir Thabary.
2.
Tafsir bi ra’yi (analisa teks dengan
berpedoman pada akal). Corak metode ini banyak kita dapati dalam tafsir Al
Kasyyâf, Mafâtihul Ghaib, Al Mannâr.
Penggolongan metode tafsir menjadi 2
tersebut saat ini dipandang kurang relevan dan terkesan kaku. Maka dari itu
para pakar tafsir kontemporer mencoba mencari alternatif lain yang lebih simpel
dan sistematis. Dr. Abdul Jabar Ar Rifa’i, menyebutkan ada 4 teori dalam studi
tafsir kontemporer:
Tafsir ‘Ilmi (analisa ilmiah terhadap
ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an dengan menghubungkan dengan fenomena
alam yang terjadi). Contoh; Tafsir Jawâhirul Qur’an milik Imam Ghazali, al
Burhân Fi Ulûmil Qur’an milik Zarkasyi.
Tafsir Madhu’i (analisa sebuah teks
dengan menghimpun satu kesatuan tema di dalamnya). Contoh; Ad Dustûr Al Qur’ani
Fi Syu’ûnil Hayât milik Muhammad ‘Izzat Darwizah, Tafsir Ayat Riba milik Sayyid
Qutb, Al Qur’an Wal Mujtama’ milik Mahmud Syaltut.
Tafsir Ijtimâi (analisa teks dengan
pendekatan sosiologi dan fakta sosial yang terjadi). Contoh; Tahrîr Wa Tanwîr
milik Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafhîmul Qur’an milik Abu A’la al Maududi.
Tafsir Adabi (analisa teks dengan
mengungkap sisi sastra yang terkandung didalamnya. Metode ini lebih cenderung
kepada metode kritis dalam memahami Al Qur’an) Contohnya; Tafsir Bayani Lil
Qur’anil Karim milik Aisyah Abdurrahman atau Bint al-Shati’. Tafsir Adabi
(tafsir sastra) yang barang kali akhir-akhir ini banyak digandrungi oleh banyak
orang. Basis metode ini mulai diperkenalkan Amin Khuli, seorang intelektual
Mesir dan dosen adab di Universitas Cairo. Sosok inilah yang dikenal kuat
mempengaruhi corak penafsiran generasi selanjutnya, seperti Ahmad Khalfallah,
Nasr Hamid Abu Zayd, Aisyah Abdurrahman atau Bint Shati’. Dari ketiga penerus
beliau ini, Bint Shati’-lah yang pemikirannya secara luar dikonsumsi publik.
Selain berbasis metode analisa teks, Bint Shati’ dikenal sangat memperhatikan
sisi normatif dan tidak terlepas dari sisi ilmiah.[6]
F. Kelebihan dan Kelemahan Tafsir
Al-Bayani
Dalam kaitannya mempelajari, memahami
dan mengkaji al-Qur’an, kita mengenal adaempat metode tafsir, meliputi metode
tahlili, ijmal, maudhu’i,dan muqaran. Namun dari keempat metode diatas yang
paling populer digunakan dalam menafsirkan adalah metode tahlili dan maudhu'i.[7]
Namun saat ini telah banyak metode yangditawarkan oleh berbagai mufasir,
kesemuanya itu merupakan perangkat pendukung untuk memahami makna-makna yang
terkandung dalam teks-teks al-Qur’an. Selain itu, karena alasan bahwa bahasa
adalah bentuk pemikiran, sedangkan makna adalah kandungannya, adapun realitas
eksternal merupakan rujukan maknanya. Ketika kita berbicara kelemahan yang
terdapat dalam Tafsir al-Bayan khususnyapada langkah ketiga, jika pemahaman
lafaz al-Qur’an harus dikaji lewat pemahamanBahasa Arab yang merupakan bahasa
“induknya”, padahal kenyataannya, tidak sedikit istilah dalam syair dan prosa
Arab masa itu tidak dipakai oleh al-Qur’an, maka itu berarti membuka peluang
dan menggiring masuknya unsur-unsur tafsiran asing ke dalam pemahaman al-Qur’an;
sesuatu yang sangat dihindari oleh Bint al-Syathi sendiri. Bint al-Shati’
kurang konsisten dengan metode penafsiran yang ditawarkan, yakni mengkaji tema
tertentu, melainkan lebih pada analisis semantik. Kenyataannya, ketika Bint
al-Syathi menafsirkan ayat-ayat pendek, ia mengumpulkan lafazh-lafazh yang
serupa dengan lafaz yang ditafsirkan, kemudian menganalisis dari sisi bahasa
(semantik). Hal ini tampak pada penafsirannya pada surat al-Zalzalah, ia
mengumpulkan semua derivasi dari kata al-zilzal, tapi bukan untuk dicari
maknanya secara lebih utuh dan komprehensif, melainkan lebih pada analisis
semantiknya, untuk mendukung gagasan yang dilontarkan. Di sinilah Bint
al-Shati’ banyak menuai kritik karena tidak konsisten dengan metode yang
dikemukakannya. Dengan demikian, meskipun metode tematik yang ditawarkan sangat
bagus dan kompleks, ia tidak dianggap sebagai pencetus metode tematik
G. Contoh Penafsiran ‘Aisyah Bint
Al-Shati’
Mengenai sumpah-sumpah yang terdapat di
dalam al-Qur'an yang diawali dengan waw al-Qasam - Bint al-Syati' menolak
pendapat bahwa semua itu - seperti kebanyakan kitab tafsir - menandakan
pemuliaan obyek sumpah. Bint al-Syati’ meyakini bahwa sumpah Qur’ani adalah
hanya salah satu alat retoris yang digunakan untuk menarik perhatian terhadap
suatu hal lewat fenomena nyata untuk memperkenalkan hal-hal lain yang tak
terjangkau oleh akal. Oleh karena itu pilihan objek sumpah dalam al-Qur’an
sesuai dengan situasi dan kondisi. Bint al-Syati’ memberikan gambaran dari
berbagai surah-surah yang dipilihnya sebagai objek seperti ketika Allah
bersumpah demi waktu pada surah al-‘Asr, duha, demi siang, demi waktu malam,
dan lain sebagainya. Ia menjelaskan bahwa waktu pagi dan siang adalah
merepresentasikan makna petunjuk (hidayah) dan kebenaran (al-Haq). Sedangkan
malam merepresentasikan makna kesalahan dan dusta.
Seseorang dapat terpukau terpesona
ketika mendengar alunan ayat-ayat al-Qur’an. Seperti yang digambarkan oleh
cendikiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam TheMeaning of Gloriuos Qur’an:
“al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya
bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita” Inilah yang
dinamakan fawasil yang mengandung sajak dalam al-Qur’an. Mayoritas ulama
sependapat bahwa dalam al-Qur’an mengandung sajak. Hanya saja mereka berbeda
pendapat apakah al-Qur'an terikat dengan formulasi dan bentuk sajak dengan
mengabaikan sisi makna atau sebaliknya, memegang makna dengan mengabaikan
sajak. Bint al-Shati’ memposisikan dirinya pada pendapat kedua. Bint al-Shati
tatkala menafsirkan surah al-Duha dengan mengabaikannya kata ganti (dhamir)
‘ka’ sebagai objek dari fi’il qala , menolak argumen prosodik (argumen yang
berkaitan dengan hal-hal irama-sajak) sehubungan dengan terabaikannya dhamir
‘ka’. Argumen ini dipegangi oleh al-Naysaburi. Berdasarkan hasil studi Bint
al-Shati’ tentang sajak dalam al-Qur’an, dia percaya bahwa tidak ada lafal di
dalam al-Qur'an yang ditemui di mana pun hanya karena alasan prosodik. Ia
menyarikan pandangannya: "Perihal alasan terabaikannya dhamir ‘ka’
sehubungan dengan adanya kesan harmonisasi fasilah dengan sajak, kita tidak
menerima pandangan bahwa retorika Qur’ani didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan verbal. Yang semestinya adalah tunduk dan
menyelaraskan pada makna retoris.
Satu hal penting dari penafsiran Bint
al-Shati’ pada ayat 8 surah al-Takatsur berkenaan dengan arti dari kata na'im,
adalah bahwa dia mempunyai pemahaman yang berbeda dari makna kata na'im. Tidak
ada tafsir yang mengomentari pembedaan antara kata-kata na'im, ni'mah
(memberkati) atau ni'am (jamak). Berdasarkan penelitiannya pada kata-kata yang
terbangun dari huruf ن-ع-م ia menyatakan bahwa al-Qur'an
selalu menghubungkan kata na’im dengan al-Akhirah atau na'im al-Akhirah, dan
tidak pernah menggunakannya dengan kata al-Dunnya. Kata ni'mah atau ni'am
(jamak), sebaliknya, digunakan untuk menandai adanya bimbingan. Dan pemberkatan
dalam ayat terakhir surah al-Takatsur ini berhubungan dengan na'im al-akhirah.
Dan yang tak kalah penting dari
pemikirannya yang Menarik untuk dicatat bahwa Bint al-Shati' dalam
penyelidikannya atas kata aqsama dan halafa, yang secara umum dianggap sebagai
sinonim-sinonim oleh kebanyakan penafsiran, menemukan bahwa kata halafa tidak
menginfomasikan makna yang sama seperti kata aqsama dalam pemakaian al-Qur'an.
Semua derivasi kata halafa yang dia uji, berlaku dalam al-Qur'an dengan makna
sumpah yang akan rusak dan dibuat dengan penuh kesadaran, lebih jauh dari itu
kata halafa tidak pernah disandarkan pada Allah.
Bint al-Shati’ tidak sependapat dengan
al-Razi yang menganggap kata al-Takatsur adalah sinonim dari al-Tafakhur. Dia
menunjukkan bahwa al-Takatsur dan al-Tafakhur yang ditempatkan dalam ayat yang
sama dan digabung huruf ‘athaf waw dalam surah al- Hadid ayat 20 yang menurut
metodenya, ternyata tidak mengindikasikan sinonimitas.[8]
H. Huruf Muqatha’ah dalam
Fawatihussuwar (Surat-surat Pembuka)
Menurutnya, wacana huruf muqatha’ah
dalam konteks al-ijaz al-bayani akan lebih tepat ketika huruf-huruf tersebut
diperlakukan sebagai huruf. Huruf-huruf muqatha’ah disebutkan untuk menunjukkan
bahwa al-Quran disusun dari huruf hijaiyyah. Huruf hijaiyyah yang dirangkai
menjadi kata, kata-kata yang dirangkai menjadi sebuah kitab suci bernama
al-Quran. Hanya sesederhana itu dan tidak perlu penafsiran yang macam-macam.
Huruf-huruf tersebut juga menunjukkan kepada masyarakat Arab bahwa al-Quran
diturunkan dengan bahasa ibu serta dengan huruf-huruf seperti yang mereka
kenali dalam bahasa sehari-hari dan menjadi bukti kelemahan mereka yang tetap
tidak bisa menjawab tantangan Allah untuk membuat sebuah karya tulis seperti
al-Quran. Huruf-huruf muqatha’ah itu diucapkan menyendiri dan terpotong, oleh
karenanya huruf-huruf tersebut tidak dapat memberikan makna atau petunjuk
apapun. Bahkan hampir tidak keluar tanpa suara. Kemudian, ketika huruf-huruf
tersebut mengambil posisi yang setara dengan satu kata dalam retorika bahasa
al-Quran, maka terkuaklah rahasia besarnya.[9]
Surah al-Quran terdapat 114, dari
semuanya terdapat 26 surah Makkiah dan 3 surah Madaniyah yang dimulai dengan
huruf muqatha’ah. Adapun surah-surah Makkiah yang diawali dengan huruf
muqatha’ah sesuai dengan urutan waktu turun, adalah:
Al-Qalam (nun), Qaf,Shad, al-A’raf (alif
lam mim shad), Yasin, Maryam (Kaf Ha Ya Ain Shad), Thaha, al-Syu’ara (Tha Sin
Mim), al-Naml(Tha Sin), al-Qashash (Tha Sin Mim), Yunus (Alif Lam Ra), Hud
(Alif Lam Ra), Yusuf (Alif Lam Ra), al-Hijr (Alif Lam Ra), Luqman (Alif Lam
Mim), Ghafir dan Fushilat (Ha Mim), al-Syura (Ha Mim Ain Sin Qaf), al-Zukhruf
(Ha Mim), al-Dukhan (Ha Mim), al-Jatsiyah (Ha Mim), al-Ahqaf (Ha Mim), Ibrahim
(Alif Lam Ra), al-Sajdah (Alif Lam Mim), al-Rum (Alif Lam Mim) dan al-Ankabut
(Alif Lam Mim).
Sedangkan surah-surah Madaniyah adalah
al-Baqarah, Ali Imran (Alif Lam Mim) dan al-Ra’d (Alif Lam Mim Ra’).[10]
Dari penelitiannya tersebut, Bint Syathi menarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Fawatih dimulai surah al-Qalam yang
menunjukkan rahasia huruf. Kemudian bertambah banyak dan datang beruntun pada
pertengahan periode Makkiah-dari surah Qaf yang menempati urutan ke-34 hingga
surah al-Qashash yang menempati urutan ke-49.
2.
Setiap surah dalam al-Quran yang dimulai
dengan huruf muqatha’ah, mengandung pembuktian kebenaran al-Quran, penegasan
al-Quran adalah Firman Allah dan jawaban atas yang menentangnya. Selain itu,
terdapat penyerupaan dengan kaum terdahulu yang menentangnya, baik dari
sikapnya ataupun akhir dari nasib penentangya.
3.
Kebanyakan surah yang diawali dengan
muqatha’ah diturunkan ketika serangan orang-orang musyrik mencapai puncaknya.[11]
Kesimpulannya, Fawatih dengan muqatha’ah
adalah bagian ijaz al-Quran karena
dengan ijaz al-Quran tersebut, yang terdiri dari hanya beberapa huruf hijaiyyah
sudah bisa membungkam para kaum penentang yang meragukan al-Quran adalah Firman
Allah. Sebuah huruf yang mengandung beberapa makna dan salah satu makna yang
diyakini para ulama adalah Fawatih dengan muqatha’ah mengandung nama Allah maha
Agung. Pendapat tersebut terlihat ketika Bint Syathi menafsirkan Surah
al-Qalam. Al-Qalam sendiri dimulai dengan huruf muqatha’ah, yaitu huruf nun.
Setelah memaparkan berbagai pendapat ulama tentang tafsir huruf nun tersebut,
Bint Syathi mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan hurufnun menunjukkan
keagungan dan rahasianya huruf tersebut, bentuk sumpah dan bukti atas kenabian
Muhammad saw serta sebagai bantahan terhadap musuh yang berusaha mendatangkan
surah yang sama, itu semua sesuai dengan corak penafsiran yang diikuti dan
dikembangkannya.[12]
I. Qasam dalam Al-Qur’an
Bint Syathi dalam karyanya, al-Tafsir
al-Bayani, memuat empat belas surat yang ditafsirkannya. Dari keempat belas
itu, delapan diantaranya mengandung gaya sumpah yang jelas, yaitu al-Dhuha,
al-Adiyat, al-Nazi’at, al-Balad, al-Qalam, al-Asr, al-Lail dan al-Fajr.
Sedangkan satu surah yang menggunakan qasam samar adalah al-Takatsur. Dengan
demikian, kajian qasam prespektif Bint Syathi perlu di apresiasi.
Bint Syathi sendiri tidak mendefinisikan
qasam secara eksplisit. Dia sepertinya mengikuti definisi umum yang telah
berkembang atau menyimpan definisinya dalam apa yang dikandung dalam
pemikirannya. Dia hanya mengungkapkan bahwa tujuan utama dari qasam untuk lit
Ta’kid, li al-iqrar’, lil ‘I’dzam (penguat, penetapan, dan mengagungkan).[13]
Namun Bint Syathi membedakan antara qasam
dengan halaf. Qasam menurutnya
adalah kata yang mengandung makna sumpah yang tidak akan dilanggar oleh
pengucapnya. Sedangkan al-half digunakan khusus pelanggaran atau ingkar
terhadap sumpah.[14]
Qasam dalam al-Quran tentunya beraneka
ragam bentuknya, begitu pula dengan huruf qasam itu sendiri. Namun penulis
membatasi kepada huruf qasam berupa wawu (و).
Menurut Bint Syathi, penggunaan qasam
dengan huruf wawu mempunyai dua kategori.Pertama, wawu digunakan untuk lafal
Allah atau Rabb. Hanya saja lafal wawu yang disertakan dengan lafal Allah atau
Rabb, dua tempat merupakan sumpah yang bukan diungkapkan oleh Allah secara
langsung, akan tetapi merupakan rekaman al-Qur’an terhadap sumpah kaum musyrik
pada hari kiamat, yakni pada QS al-An’am ayat 23:
ثمَّ لَم تكم فِتنَتَهم إِلَّا أَن قَالوا وَالله رَبّنَا
مَا كنَّا مشرِكِينَ
“Kemudian
tiadalah fitnah mereka, kecuai mengatakan: demi Allah, Tuhan Kami, tiadalah
kami mempersekutukan Allah”.
.قالوا بلى
وربنا
……… mereka menjawab: “sungguh benar,
demi Tuhan kami”……
Dua ayat tersebut di dalamnya terdapat
huruf Qasam, yang pada dasarnya makna dari qasam di atas sebagai Iqrar
(penetapan/pengakuan). Sedangkan empat tempat lainnya ditempatkan pada
pertengahan pembicaraan, baik itu didahului oleh الفأ pada QS al-Hijr: 92 dan
al-Dzariyat:23, atau فلا pada QS al-Nisa: 65,
atau اي pada QS Yunus:53. Pada
kondisi inilah qasam dapat berfungsi sebagai penguat, penetapan atau
pengagungan, yang merupakan fungsi asli dari wawu qasam.[15]
Kedua, wawu qasam yang berada pada awal
kalimat dan awal surah, seluruh subyeknya Allah, seperti al-Dhuha, al-Lail,
al-Fajr, al-Nazi’at, al-Adiyat, al-Zariyat, al-Saffat, al-Sama’, al-Tur dan
lain sebagainya. Seluruh surah tersebut makiyyah.[16]
Dengan pengkategorian tersebut, Bint
Syathi ingin mengatakan bahwa ada tujuan lebih dari pemakaian lafal, qasam atau
tempatnya. Para mufassir terdahulu, menafsirkan ayat-ayat dengan menggunakan
wawu qasam, seperti penafsiran pada Q.S al-Dhuha:1-2, hanya sebatas kepada
keagungan muqsam bih. Mereka berpendapat atas keagungan malam secara mutlak,
tidak memandang tingkat kegelapan atau situasi malam yang tersebut pada ayat.[17]
Atau Mereka hanya menafsirkan al-dhuha dengan melihat hikmah dari terpilihnya
waktu tersebut.
Dengan demikian, para ulama terdahulu
melihat fenomena qasam dengan huruf wawu sering mencampur antara keagungan
muqsam bih dengan hikmah diciptakannya muqsam bih tersebut. Padahal, menurutnya
hikmah penciptaan semua orang sudah mengetahuinya, karena tidak ada ciptaan
Allah yang tidak mempunyai hikmah.[18]
Itu semua, menurutnya adalah penafsiran yang dipaksakan, dalam artian
memaksakan hikmah penciptaan kepada dibalik terpilihnya lafal tersebut menjadi
muqsam bih dengan huruf wawu.
Menurut Bint Syathi’, pemakaian wawu
qasam memperlihatkan adanya makna yang diinginkan yang keluar dari form lafal
tersebut, seperti pemakaian amr dan nahy namun tidak menunjukkan sebuah arti
perintah maupun larangan. Wawu qasam seperti dalam Q.S al-Dhuha:1 menunjukkan
adanya penekanan perhatian dari hal-hal yang bersifat indrawi atau materil
sebagai suatu fenomena alam yang umum diketahui dan tidak ada celah untuk
mendebat atau mengingkarinya, untuk persiapan menjelaskan (tautiah idhahiyyah)
sesuatu yang maknawi atau hal-hal berbau gaib yang tak tampak yang sering kali
menjadi bahan perdebatan yang dijadikan muqsam bih.[19]
Sehingga penafsiran atas al-Dhuha (dan
al-Lail) yang menggunakan wawu qasam adalah sebagai berikut: “gambaran bersifat
fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika
cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan
hening;tanpa menganggu sistem alam. Silih bergantunya dua keadaan, dapat
menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tak pernah terlintas dalam
pikiran siapa pun, bahwa langit telah meninggalkan bumi dan menyerahkannya
kepada kegelapan dan keganasa setelah cahaya memancar pada waktu dhuha, dan
adakah yang lebih merisaukan, jika sesudah wahyu yang menyenangkan, cahayanya
menerangi Nabi, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam
sunyi kita saksikan datang sesudah waktu dhuha yang cahanya gemerlapan”.[20]
BAB
III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Sebagai mufassir
era modern yang juga menggunakan metode penafsiran modern dengan latar belakang
keilmuan sastranya, Bintusy Syathi’ merupakan salah satu mufassir yang
mengangkat penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan segi semantik.
Metode yang digunakannya adalah dengan munsabah ayat dan tidak terlalu berkutat
didalam lingkup asbabun nujul suatu ayat. Beliau berusaha seobyektik mungkin
dalam menafsirkan suatu ayat dan membiarkan teks teks al-Qur’an menjelaskan dirinya
dengan dirinya sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Aisyah. “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf” dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang Menakjubkan:Bacaan Terpilih Dalam Tafsir Klasik hingga Modern
dari Seorang Ilmuan Katolik, Terj,
Bachrum Dkk. Tangerang:Lentera Hati, 2008.
al-Farmawi, Abdul Hayy,terj.
Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu'I Dan
Cara Penerapannya, Penerbit: CV Pustaka Setia, 2002.
al-Rahman, Aisyah Abd. al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II. Kairo: Dar al-Ma’arif.
1968.
Bahr, Saiful. Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik,
http://saifulesaba.wordpress.com/kajian di ambil jam 21.55 WIB tanggal
30-10-2014.
El-Anwar, Noer. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Binti
Syati’. 2014. http://noerelanwar.blogspot.com/
. Di ambil jam 19:20 tanggal 30-10-2014
Ghofur , Saiful Amin. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html
yang ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-10-2014. Jam 20.03.
Khuzaim, Muhammad Abdusalam Abu
(cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu
Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr.
Cetakan kedua. Darul yasr: 2008.
[1] Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008). Hal, 187
[2] Lihat situs http://hambawang.blogspot.com/2009/05/bintu-syathi.html.
yang ditulis Musyidah Mujahid. Diambil 30-10-2014. Jam 20.03 WIB.
[3] Muhammad Abdusalam Abu Khuzaim
(cucunya bintu Syathi’). Mauqif Bintu
Syathi’ min ittijahat at tajdid fi tafsiril qur’anil karim fi Mishr. (Darul
yasr. 2008.Cetakan kedua. ). hal: 54-56.
[4] Saiful Bahr, Bintu Syathi’ & aliran sastra tematik, http://saifulesaba.wordpress.com/kajian.
di ambil jam 21.55 WIB tanggal
30-10-2014.
[5] Saiful Amin Ghofur. Profil Para Mufassir Al-Qur’an. (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), Hal, 187
[6] Noer
El-Anwar. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an
Al-Karim Binti Syati’. 2014.. http://noerelanwar.blogspot.com/2014/05/v-behaviourdefaultvmlo_30.html?m=1.
Di ambil jam 19:20 tanggal 30-10-2014
[7] Abdul Hayy al-Farmawi,terj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu'I Dan Cara Penerapannya,
(Penerbit: CV Pustaka Setia. 2002), hal. 43-44.
[8]
Noer El-Anwar. Tafsir Al-Bayani li Al-Qur’an Al-Karim Binti
Syati’. 2014.. http://noerelanwar.blogspot.com/2014/05/v-behaviourdefaultvmlo_30.html?m=1.
[9] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan al-Quran al-Karim Juz II
(Kairo: Dar al-Ma’arif. 1968),hlm, 41-43
[10] Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar dan Rahasia Huruf”
dalam Issa J. Boullata, Al-Quran Yang
Menakjubkan:Bacaan Terpilih Dalam Tafsir
Klasik hingga Modern dari Seorang Ilmuan Katolik, Terj, Bachrum Dkk (Tangerang:Lentera Hati,
2008), hlm. 291
[11]
Aisyah Abdurrahman, “Fawatih al-Suwar…, hlm. 293-294
[12] Aisyah Abd al-Rahman, al-tafsir al-Bayan…, hlm. 42
[13] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al bayani lil Qur’an, Darul Ma’arif,
hlm. 246-247
[14] Aisyah Abd al-Rahman,, al-I’jaz al-Bayani…, hlm. 224
[15] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 100
[16] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 246-247
[17] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 24-25
[18] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25
[19] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm. 25-26
[20] Aisyah Abdurrahman, al-Tafsir al-bayani…, hlm 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar