Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

Makalah metode dan corak tafsir al-Azhar


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber tasyri’ dan hukum yang menuntut kaum muslimin untuk mengetahui, mendalami dan mengamalkan segala isinya.Di dalamnya terdapat penjelasan tentang halal-haram, perintah dan larangan.Etika dan akhlak, dan lainnya, yang kesemuanya itu harus dipedomani oleh mereka yang mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab Sucinya. Keharusan itu dapat dipahami, karena memegang-teguh ajaran qur’an, al-Qur’an merupakan sumber kebahagiaan, petunjuk dan kemenangan di sisi Tuhan berupa surga yang penuh kenikmatan. Para ulama menjelaskan Syari’at atau hukum dalam Al-Qur’an dengan Tafsir.Oleh karena itu ilmu pertama yang lahir sejak awal kemunculan Islam adalah Tafsir.Begitu banyak buku tafsir yang dapat kita jumpai sekarangan ini namun tafsir yang bernuansa Indonesia dan ditulis oleh para Ulama Indonesia masih terbilang sedikit, di antaranya adalah Tafsir Al-Azhar.
Dalam rentang waktu 14 abad, Tafsir  Al-Qur’an memiliki peran yang sangat besar dalam perjalanan Sejarah Peradaban Islam para ahli tafsir yang punya andil dalam mentafsirkan Al-Qur’an Al-Karim.  Namun demikian, kebutuhan masyarakat akan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim masih sangat tinggi. Oleh karena itu para ulama kontemporer berusaha menghadirkan tafsir-tafsir yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan menjadi solusi untuk permasalahan- permasalahan umat.Diantara tafsir tersebut adalah tafsir Al-Azhar karya Prof. Dr. Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar merupakan karya dari Ulama Nusantara dimana ia ditulis di saat kondisi umat Islam membutuhkan Solusi dari permasalah-permasalahan yang dihadapi oleh mereka saat itu; diantaranya adalah lemahnya Umat islam Indonesia di bidang Tafsir dan pemahaman terhadap Al-Qur’an Al-Karim.
“Hamzah Fanshuri  Zaman Baru” julukan yang diberikan kepada Hamka kerena kedekatan beliau dengan tasawuf dan kemahirannya dalam sastra bahasa arab dan melayu serta kontribusi dengan tulisan-tulisannya yang sungguh banyak.  Bila ditinjau dari sisi sumber rujukan penafsiran yang dipergunakan, Hamka juga menempuh manhaj naqlî (tafsîr bi al-ma`tsûr/bi al-riwâyah).Dan menggunakan Thoriqoh tahlili dengan corak tafsir bil al-ma’tsur.Metode yang digunakan dalam Dalam Tafsir Al-Azhar-nya, Hamka, seperti diakuinya, memelihara sebaik mungkin hubungan antara naqal dan ‘aql’; antara riwâyah dan dirâyah. Hamka menjanjikan bahwa ia tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman pribadi. Pada saat yang sama, tidak pula melulu menuruti pertimbangan akal seraya melalaikan apa yang dinukil dari penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang hanya mengekor riwayat atau naqal dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu textbook thinking belaka. Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama melantur ke mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari maksud agama.
Dalam tafsir Al-Azhar sedikit banyak nya kita akan menemukan pembahasan-pembahasan yang berkaitan permasalahan di atas, hal itu sebagai jawaban bahwa Islam adalah Agama dan Sistem yang “rohmatan lil A’lamin”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses lahirnya tafsir al-Azhar?
2.      Bagaimana Sistematika dan Pendekatan yang digunakan Hamka?
3.      Apa Metode dan corak tafsir al-Azhar?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui proses lahirnya tafsir al-Azhar
2.      Untuk mengetahui sistematika dan pendekatan yang digunakan hamka
3.      Untuk mengetahui metode dan corak tafsir al-Azhar
 BAB II
PEMBAHASAN
1.      Biografi Hamka
Ketika kaum muda Minang sedang gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaharuan di Minang Kabua maka ketika itu Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka yang merupakan salah satu putra terbaik Minang Kabau, dilahirkan di Tanah Sirah desa Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 17 Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan Abdul Arif gelar Tuanku Pauh PariamanNan Tuo, salah seorang pahlawan paderi yang juga dikenal Haji Abdul Ahmad. Hamka dilahirkan pada masa awal gerakan “Kaum Muda”.Yang di pelopori oleh empat ulama Minang yaitu Haji Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul (ayah Hamka), Syaikh Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad.
Menarik untuk mengetahui asal penyebutan nama Hamka, nama aslinya adalah Abdul Malik Karim Amrullah, pada tahun 1927 ia menunaikan Haji ke Makkah sepulangnya dari Haji namanya mendapatkan tambahan “Haji” sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian untuk memudahkan panggilannya disingkatlah namanya menjadi Hamka. Tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan ini wafat  pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta, ia dikelilingi oleh istrinya Khadijah, beberapa teman dekatnya dan putranya Afif Amrullah, Hamka berpulang ke Rahmatullah dalam usia 73 tahun. Perjalanan Inetelektual Hamka dimulai dengan pendidikan membaca Al-Qur’an di kampung halaman bersama orang tuanya, dalam waktu bersamaan ia masuk sekolah desa selama 3 tahun (pagi hari) dan sekolah Agama Diniyyah (petang hari) yang didirikan oleh Zainuddin Labai al-Yunusi di Padang panjang dan Parabek (Bukit Tinggi) selama 3 tahun. Pada malam harinya Hamka bersama teman-temannya pergi ke surau untuk mengaji.[1]
Begituluah putaran kegiatan Hamka sehari-hari dalam usia kanak-kanaknya. Rutinitas kegiatan Hamka seperti itu setiap hari membutanya jenuh dan ia merasa “terkekang” ditambah sikap ayahnya yang “otoriter”. Kondisi demikian itu membuat prilaku Hamka menyimpang, sampai-sampai ia dikenal sebagai seorang “anak yang nakal”. Kondisi tersebut dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, seorang yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang Muballigh. Semenjak kecil sebenarnya meskipun ia dikenal sebagai anak nakal, Hamka seorang yang cerdas, ia berbakat dalam bidang bahasa, tidak heran sejak kecil ia mampu membaca berbagai literatur dalam bahasa Arab, termasuk berbagai terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sejak masih muda Hamka dikenal sebagai seorang pengelana, sehingga Ayahnya memberikan gelar padanya “Si Bujang Jauh”.
Pada tahun 1924, ia berencana pergi ke Jawa dalam usia 16 tahun, tapi sayang kepergian Hamka ke tanah Jawa tidak kesampaian karena Hamka terkena wabah cacar di daerah Bengkulen. Kondisi tersebut membuat Hamka harus terbaring di tempat pembaringan selama dua bulan, setelah sembuh ia tidak melanjutkan perjalanannya malahan ia kembali ke Padang Panjang dengan wajah penuh bekas luka cacar. Kegagalan Hamka untuk pergi ke Jawa tidak membuat surut niatnya, setahun kemudian Hamka dengan tidak bisa tercegah mewujudkan keinginannya untuk pergi ke Jawa.Perjalanan kedua ini ternyata berhasil dan Hamkapun sampai di Jawa. Perjalanan intelektual Hamka ketika di Jawa di mulai dari daerah Jogjakarta, kota dimana tempat Organisasi Muhamadiyah lahir. Lewat pamannya Ja’far Amrullah, Hamka mulai belajar keorganisasian dan mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Muhamadiyah dan Syarikat Islam.[2]
Disana beliau belajar mengenal dunia pergerakan Islam modern melalui H. Oemar Said Tjokroaminoto, dari beliau Hamka sempat mendengar ceramah-ceramah tentang Islam dan Sosialisme, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhamadiyyah 1944-1952) dari beliau ia menerima pengetahuan tentang tafsir al-Qur’an. Yogyakarta sebuah kota yang mempunyai arti penting bagi perkembangan keilmuan dan kesadaran keagamaan Hamka, sehingga ia menyebutkan bahwa di Yogyakarta ia menemukan Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis. Perbedaan nuansa ke-agamaan yang dilihat oleh Hamka antara di Minang kabau tempat kelahiran Hamka dengan di Jawa nampaknya sangat jauh berbeda. Islam di Minangkabau yang menemukan citra pembaharuan Islam dalam bentuk pemurnian, lebih banyak beroriantasi dalam soal akidah, karena Islam di Minangkabau lebih berhadapan (berbenturan) dengan tradisi adat daerah Minang yang barbau jahiliyah. Sehingga orientasi yang ditampilkan oleh pembaharu lebih bercorak puritan, yakni membersihkan akidah dan ibadah Islam dari hal-hal yang barbau syirik dan bid’ah.
Sebaliknya berbeda dengan pembaharuan di Jawa, dengan gerakan-gerakan yang coba ditampilkan oleh Muhammadiyah dan Syarikat Islam, telihat aktivitas pembaharuannya tidak lagi mempertentangkan permasalahan khilafiyat, tetapi lebih berorientasi pada usaha memerangi keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan serta mencegah bahaya Kristenisasi. Yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial.Adapun bentuk gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut diantaranya adalah Syarikat Islam menampilkan penggalangan kekuatan ekonomi masyarakat pribumi dengan jiwa dan semangat Islam, sedangkan Muhamadiyah sendiri menyediakan berbagai lembaga pendidikan formal dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.[3]
Aktivitas Hamka di Jawa tidak hanya mengenal dunia pergerakan di lingkungan Muhamadiyah dan Syarikat Islam saja, ia pun sempat “berkenalan” dengan faham komunis yang ada di Jawa. Dari perkenalan dengan  faham komunis tersebut ia menyimpulkan bahwa faham komunis yang ada di Jawa ternyata berbeda dengan faham komunis yang ada di Padang Panjang yang dikembangkan oleh H. Datuk Batuah Thawalib, faham komunis yang berkembang di Minangkabau bukanlah faham komunis yang sebenarnya. Iaberkata: “Rupanya komunis yang dilihatnya di Sumatera Barat itu bukanlah komunis. Kekerasan sikap serta kritik mereka terhadap pemerintahan kolonial dengan selalu memakai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, Itulah yang selalu didengarnya senantiasa menjadi pendirian yang terang-terangan dari Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan dalam kalangan Muhamadiyah. Jadi Komunis Sumatera Barat adalah Islam yang karena kurang pengetahuan dan penyelidikan lalu terperosok ke dalam komunis, apa lagi pandangan umum ketika itu komunis ialah anti Belanda.[4]
Setelah malakukan perjalanan (berkelana) di jawa pada bulan Juli 1925 dalam usia 17 tahun, ia kembali ke Padangpanjang. Disana ia mengimplementasikan ilmu-ilmu yang ia peroleh dari tanah Jawa dengan berpidato dan bertabligh, berkat kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata sehingga ia dikagumi oleh teman-teman sebayanya. terkadang ia menuliskan teks-teks pidato untuk teman-temannya dan diterbitkan dalam sebuah majalah yang dipimpinnya yang diberi nama KhatibulUmmah. Pada bulan Februarui 1927 ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama 6 bulan, selama di Makkah ia bekerja pada sebuah percetakan dan akhirnya pada bulan Juli ia kembali ketanah air. Sebelum tiba di kampung halamannya, ia singgah di Medan dan sempat menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selamaa beberapa bulan, setelah itu ia pulang ke tanah kelahirannya.
Pada tahun 1928 ia mengikuti Mukhtamar Muhamadiyah di Solo, sepulang dari solo ia memangku jabatan-jabatan penting diantaranya pernah menjadi ketua bagian Taman Pustaka,ketua Tabligh sampai menjadi ketua Muhamadiyah cabang Padang panjang. Pada tahun 1930 atas prakarsa penguruas cabang Padang Panjang ia diutus  untuk mendirikan Muhamadiyah di Bangkalis. Pada tahun 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhamadiyah ke Makasar untuk menjadi mubaligh Muhamadiyah dalam rangka menggerakan semangat untuk menyambut Mukhtamar Muhamadiyah ke-21 di Makasar. Sehingga setelah pulang bertugas ia diangkat menjadi Majlis Konsul Muhamadiyah Sumatera Tengah. Pada tanggal 22 Januari 1936 ia pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhamadiyah Sumatera Timur dan memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Tahun 1942 ia tepilih penjadi pemimpin Muhamdiyah Sumatera Timur. Tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua majelis Pimpinan Muhamadiyah Daerah Sumatera Barat. Kedudukannya ini dipegang sampai tahun 1949. Pada Mukhtamar Muhamadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhamadiyah dan sejak itu ia selalu terpilih dalam mukhtamar.
Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato-pidatonya dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh Pro-Malaysia. Pada waktu dipenjaralah beliau menulis Tafsir Al-azhar-nya sampai selesai 30 juz. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Di antara novel-novelnya ada yang mendapat perhatian khalayak umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura antara lain, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck,Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antar bangsa seperti anugerah kehormatan Ustadziyah Fakhriyah.
Pada tahun 1949, ia pindah ke Jakarta. Di Jakarta Hamka memulai kariernya dengan bekerja sebagai pegawai negeri golongan F di Kementrian Agama yang waktu itu dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasyim. Disamping bekerja sebagai pegawai negeri, ia juga mengajar di perguruan tinggi Islam diantaranya: IAIN Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Filsafat Muhamadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim Indonesia (MUI) di Makasar, Universitas Islam Sumatera Utara. Pada tahun 1950 ia mengadakan kunjungan ke berbagai negara yang ada di Timur Tengah. Pada tahun 1952 ia juga mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Pada tahun 1958 ia diutus untuk mengikuti simposium Islam di Lahore kemudian menuju Mesir, dalam kesempatan ini ia menyampaikan pidato untuk promosi mendapat gelar Doctor Honoris Causa di Universitas al-Azhar Mesir, dengan judul pidato “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”.[5]Disamping gelar Doctor yang ia raihnya di Mesir, ia juga mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Dalam kesempatan itu, Perdana mentri Malaysia berkata “Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara”.
Hamka dikenal sebagai seorang yang produktif meskipun aktivitas Hamka yang begitu padat, tidak membuat surut tekad Hamka untuk membuat berbagai karya tulis. Keproduktifan Hamka bukan hanya dari segi ide atau gagasan tetapi dalam segi tulisan pun ia sangat produktif, lebih kurang 118 buah buku  dalam berbagai disiplin ilmu (tafsir, hadits, sejarah, tasawuf, politik, akhlak, sastra, dll), belum termasuk berbagai tulisannya yang berserakan di media masa, majalah, atau makalah-makalah yang disampaikan untuk perkuliahan. Di antara karya-karya yang telah dihasilkan oleh tangannya adalah sebagai berikut :[6]
1.      Dalam bidang tasawuf : Tasawuf modern, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya
2.      Dalam bidang sastra : Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil dan Di Tepi Sungai Dajlah, si Sabariyah,Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya kapal Van der Wijck (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940).
3.      Dalam bidang tafsir :Tafsir al-Azhar (30 juz), Ayat-ayat Mi’raj.
4.      Dalam bidang sejarah : Ayahkuberisi tentang biografi orang tuanya (1949), Pembela Islam (Tarich Sayyidina Abu Bakar), Ringkasan Tarich Umat Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam (buku ini dilarang beredar oleh polisi), Sejarah Umat Islam.
2.      Pengenalan Tafsir Al-Azhar
Hamka di Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya manumental dari seluruh karyanya.Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakrta sejak tahun 1959.Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan masjid al-Azhar.Dalam waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad (Mentri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat ketua Muhamadiyyah menerbitkan majalah “Panji  Masyarakat” yang menitik beratkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan Agama Islam. Dalam Kata Pengantar, Hamka menyebut beberapa nama yang ia anggap berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan keislaman yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan orang-orang pemberi motivasi untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, Tidak terkecuali karya tafsirnya.Nama-nama tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara lain, ayahnya sendiri yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek Bapaknya).[7]
Tidak lama setelah itu suasana perpolitikan bangsa Indonesia tidak menentu, suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul.PKI dalam usaha mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka bertambah meningkat.Sampai-sampai masjid al-Azhar ketika itu menjadi sasaran.Masjid tersebut di klaim menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.[8]
Suasana bertambah tak menentu ketika majalah ini dibredel pada penerbitan No. 22. 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat tulisan Dr. Muhammad Hatta yang berjudul “ Demokrasi Kita”. Tulisan ini memuat kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah Panji Masyarakat baru mulai terbit kembali ketika Orde Lama tumbang pada tahun 1967, dan jabatan pimpinan ketika itu masih dipegang oleh Hamka. Sebagaimana kondisi yang dijelaskan di atas, izin penerbitan Majalah Panji Masyarakatpun dicabut.Pendiskreditan terhadap Hamkapun bertambah meningkat, sehingga dengan bantuan Jenderel Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi pada waktu itu menerbitkan majalah Gama Islam. Peranan Hamka dalam majalah ini sangat aktif meskipun sebenarnya Dalam struktur kepengurusan secara formal majalah ini dipimpin  oleh Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi. Ceramah-cerama Hamka disetiap sehabis Sholat Shubuh secara teratur dimuat dalam majalah tersebut, namun penerbitan tersebut berlangsung sampai pada bulam Januari 1964.[9]
Penerbitan ceramah-seramah Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu dengan percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit al-Azhar. Kondisi kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun, sehingga membuat ia harus dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun, Jakarta. Dalam suasana perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir al-Azhar.Tak lama setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde Baru, dan pada akhirnya dibawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan.Dalam suasana bebas, Hamka kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.Tafsir al-Azhar pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud.Dalam penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam, Jakarta.[10]
3.      Metodologi Penafsiran Tafsir
Beliau menyatakan metode pentafsiran yang digunakan pada bagian pendahuluan kitab tafsirnya yaitu di bawah judul, ‘Haluan Tafsir’. Setelah dilakukan pemeriksaan, Hamka menggunakan metode-metode berikut ini ketika menafsirkan Alquran:[11]
a.       Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Hamka mengaplikasikan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran sebagaimana ulama tafsir yang lain. Namun, tidak semua ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan metode tersebut. Penggunaan metode tersebut dapat dilihat ketika beliau menafsirkan surah Alqashash ayat 60. Firman Allah:
Artinya: “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Untuk menjelaskan bentuk perhiasan tersebut, Hamka membawakan surah Ali Imran ayat 14:
Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Hamka menjelaskan bahwa semua perhiasan tersebut adalah benar tetapi beliau menegaskan bahwa ia hanyalah perhiasan dunia yang tidak kekal. Yang kekal adalah surga Allah yang telah tersedia bagi mereka yang beramal soleh.
b.      Tafsir al-Qur’an dengan Hadits
Hamka tidak meninggalkan metode kedua terpenting dalam penafsiran Alquran yaitu tafsir Alquran dengan Hadits. Penggunaan metode ini dapat kita lihat dalam penafsiran surah Ali Imran ayat 104:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat di atas menerangkan tentang perintah amar ma’ruf dan nahi munkar. Beliau menuliskan beberapa buah hadits untuk menjelaskan pentingnya perintah tersebut setelah menerangkan panjang lebar maksud istilah-istilah tersebut. Terdapat tiga buah hadits yang diketengahkan yaitu hadits Hudzaifah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadits Abu Sa’id Alkhudri yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dan hadits Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau kemudian membuat ulasan terhadap tiga hadits tersebut dan hubungannya dengan dakwah.
c.       Pendapat Sahabat dan Tabi’in
Adakalanya Hamka memasukkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in untuk menguatkan penjelasan beliau terhadap tafsiran ayat-ayat Alquran. Di antara penafsiran ayat Alquran yang menggunakan metode ini ialah penafsiran terhadap surah Al-naml ayat 65:
Artinya: “Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”
Ayat tersebut menjelaskan tentang pengetahuan terhadap perkara ghaib hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam hal ini, hamka membawa pendapat seorang tabi’in yaitu Qatadah tentang kedudukan orang-orang yang mempercayai ilmu bintang atau Astrologi. Menurut Qatadah apabila seseorang menyalah gunakan tujuan Allah menjadikan bintang-bintang (perhiasan, petunjuk dan panah terhadap syaitan) maka kedudukannya adalah sesat.
d.      Pengambilan Riwayat dari Kitab Tafsir Muktabar
Hamka juga merujuk kitab-kitab tafsir yang lain dalam menafsirkan Alquran. Di antaranya adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Rasyid Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Mafatih Alghaib karangan Alrazi dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak terikat kepada satu referensi untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian tafsiran beliau. Sebagai contoh, tafsiran terhadap surah Alnaml ayat 82. Firman Allah:
Artinya: “Dan apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”
Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa apabila telah datang waktunya, ketika manusia sudah lupa dan lalai terhadap agamanya akan keluar dari dalam bumi binatang yang disebut dabbah. Hamka membawakan tafsiran Alrazi tentang berbagai penafsiran dabbah yaitu 5 keadaan berdasarkan berbagai riwayat. Beliau juga membawa tafsiran Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Alquran Al-azhim mengenai perkara yang sama.
e.       Penggunaan Syair
Hamka dikenal sebagai pujangga Islam dan sastrawan. Oleh karena itu, beliau juga memasukkan unsur-unsur syair dalam ulasan terhadap ayat-ayat Alquran. Baik syair karya beliau sendiri maupun karya sastrawan Islam lainnya seperti Iqbal. Namun, hal ini sangat jarang. Contoh, surah Ali Imran ayat 158:
Artinya: “Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu dikumpulkan.”
Dalam ayat di atas, Hamka menjelaskan apapun sebab-sebab kematian seseorang baik mati syahid, sakit dan sebagainya akan dikumpulkan di hadapan Allah untuk dihisab. Perhitungan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup setiap manusia karena tujuan hidup itulah yang menentukan nilai hidup bukan berdasarkan lama kehidupan di dunia. Di sini beliau membawakan serangkap syair Iqbal yang menggambarkan tentang nilai hidup tersebut. Umur bukan hitungan tahun, Hidup bukan bilangan masa. Sehari hidup singa di rimba, Seribu tahun hitungan domba.
f.       Penafsiran dengan Pendapat (ra’yu) Sendiri
Hamka menegaskan bahwa suatu tafsir yang hanya mengikuti riwayat orang yang terdahulu berarti hanya “textbook thinhking.” Sebaliknya, tafsir yang hanya berdasarkan pendapat pribadi terlalu besar resikonya. Dalam hal ini, beliau mengakui bahwa beliau terinspirasi oleh tafsir kontemporer seperti Tafsir Al-manar dan Fi Zhilalil Quran, sehingga dalam tafsirnya tidak hanya mengetengahkan riwayat semata tetapi beliau juga mengetengahkan pendapat beliau.Di sinilah fokus tafsirnya tersebut. Dalam tafsirnya tersebut Hamka banyak melakukan kritik sosial dan politik.


4.      Sistematika Penyusunan
Prof.Dr. Hamka dalam menyusun Tafsir al-Azhar beliau menggunakan tartib usmani yaitu menafsirkan ayat secara runtut berdasarkan penyusunan mushaf usmani. Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir ini karena mengawali dengan pendahuluan yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu al-Qur’an, seperti definisi al-Qur’an, Makkiyah dan Madaniyah, nuzulul Qur’an Pembukuan mushaf I’jaz dan banyak lagi. Sebuah kemudahan yang didapatkan sebab Hamka menyusun tafsiran ayat demi ayat dengan cara pengelompokan pokok bahasan sebagaimana tafsir Sayyid Qutub dan atau al-maragi. bahkan terkadang beliau memberikan judul terhadap pokok bahasan yang hendak ditafsirkan dalam kelompok ayat tersebut.
Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat awal dari surah al-Baqarah.Beliau mengelompokkan ayat 1-5dan memberikan judul “Takwa dan Iman” sebelum memberi penafsirannya terhadap ayat-ayat tersebut. Adapun ayat 8-13 serta ayat 14-30 dari surah yang sama, diberi judul “Nifaq I” dan “Nifaq II”. Tafsir ini juga member perhatian terhadap Muna sabah (korelasi) antar ayat yang hampir mencakup seluruh ayat yang ditafsirkan. Misalnya pada hal 25, jilid 1, juz2:
“(Yaitu) orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata; Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepadaNyalah kita semua akan kembali.” (ayat 156).Ucapan yang begini mendalam, tidaklah akan keluar dari dalam lubuk hati kalau tidak menempuh latihan.
Dalam hal asbabun al-Nuzul, Kitab Tafsir al-Azhar ini secara skala besar menampung banyak riwayat-riwayat tentang asbabun al-Nuzul diantaranya:
Al-Wahidi menulis di dalam kitabnya Asbabun-Nuzul dan as-Tsa’labi di dalam tafsirnya riwayat dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata bahwa kitab ini diturunkan di Makkah, dari dalam suatu perbendaharaan di bawah ‘Arsy.
Itulah secara umum sistematika penyusunan yang diterapkan Hamka dalam tafsir al-Azhar.


5.      Pendekatan Tafsir
Pendekatan tafsir yang kami maksud disini juga seringkali menggunakan istilah Sumber Penafsiran, dalam hal ini Prof.Dr.Hamka dalam tafsirnya menggunakan pendekatan tafsir bi al-Ma’sur sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa al-Qur’an terbagi kedalam tiga bagian besar (fiqhi, Aqidah dan Kisah) yang menjadi keharusan (bahkan wajib dalam hal fiqhi dan akidah) untuk disoroti oleh sunnah tiap-tiap ayat yang ditafsirkan tersebut.
Beliau juga berpandangan bahwa ayat yang sudah jelas, terang dan nyata maka merupakan pengecualian ketika sunnah bertentangan dengannya. Meskipun didominasi oleh riwayat, beliau juga memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu) terkait masalah ayat-ayat kauniyah.[12]
6.      Metode Penafsiran
Berdasarkan penelusuran pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof. Dr.Hamka menggunakan metode Tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Disamping sistematikanya yang runtut berdasarkan urutan mushaf sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga bisa dilihat dalam contoh tafsiran beliau:
Penafsiran beliau tentang surat al-Tariq ayat 11 sebagai berikut:
Artinya: Demi langit yang mengandung hujan
Hamka menafsirkan dengan:
sekali lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai makhluk-Nya: Demi langit yang mengandung hujan. Langit yang dimaksud di sini tentulah yang di atas kita. Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah atas kita namai “langit-langit”, dan tabir sutera warna-warni yang dipasang di sebelah atas singgasana raja atau di atas pelaminan tempat mempelai dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua sebagai alamat bahwa kata-kata langit itu pun dipakai untuk yang di atas. Kadang-kadang diperlambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan Tuhan, lalu kita tadahkan tangan ke langit ketika berdoa.Maka dari langit itulah turunnya hujan.Langitlah yang menyimpan air dan menyediakannya lalu menurunkannya menurut jangka tertentu.Kalau dia tidak turun kekeringanlah kita di bumi ini dan matilah kita.Mengapa raj’i artinya disini jadi “hujan”? sebab hujan itu memang air dari bumi juga, mulanya menguap naik ke langit, jadi awan berkumpul dan turun kembali ke bumi, setelah menguap lagi naik kembali ke langit dan turun kembali ke bumi, demikian terus-menerus, naik kembali turun kembali.
7.      Corak Penafsiran
Menurut pemakalah, corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab al-ijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan Cuma ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu beliau memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan situasi politik kala itu. Misalnya:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣)
Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam tafsiran ayat di atas, Hamka menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.dan Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam bukanlah semata-mata mengurus soal ibadah dan puasa saja. Bahkan urusan mu’amalah, atau kegiatan hubungan diantara manusia dengan manusia yang juga dinamai “hukum perdata” sampai begitu jelas disebut dalam ayat al-Qur’an, maka dapatlah kita mengatakan dengan pasti bahwa soal-soal beginipun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis antara keduanya, tidak adanya sutu kerusakan antara satu sama lain.
Aspek yang lain juga membuktikan bahwa dalam perkembangannya, Hamka sendiri banyak merujuk pada tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh, juga mengakui dirinya bahwa Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fizilal al-Qur’an sangat banyak mempengaruhi Hamka dalam menulis Tafsir yang notabene bercorak al-adab al-ijtima’i dan Haraki.[13]
8.      Mengapa dinamai Tafsir Al-Azhar
Dengan kurnia Allah, pada tahun 1956 dapatlah penulis mendirikan rumah kediaman, untuk berteduh anak dan isteri di kebayoran Baru.Kebetulan sekali di hadapan tanah tempat mendirikan rumah itu terdapat pula sebuah lapangan luas persediaan untuk mendirikan sebuah masjid agung, yang sesuai dengan martabat Indonesia yang telah merdeka. Saya gembira sekali, karena apabila satu masjid besar berdiri di muka rumah kita, dapatlah anak-anak selalu di didik dalam hidup keislaman, terutama bila mereka selama mendengarkan suara azan pada sembahyang lima waktu. Setiap hari saya melihat orang bekerja membangun masjid itu dan saya selalu mendo’akannya agar lekas selesai.
Sebelum masjid itu selesai, maka di permulaan bulan januari 1985 berangkatlah saya ke Lahore Pakistan memenuhi undangan Punjab University, untuk turut menyertai suatu seminar Islam yang diadakan di sana. Setelah selesai menghadiri seminar tersebut, saya meneruskan perlawatan ke Mesir, memenuhi undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat, salah seorang perwira anggota “Dewan Revolusi” Mesir di samping Presiden Jamal Abdel Nasser.
Kedatangan saya ke Mesir di waktu itu bertepatan pula dengan melewatkannya Priseden Sukarno kesana, lantaran itu maka Duta Besar Mesir di Indonesia di waktu itu, yaitu Sayid Ali Fahmi Al-Amrousi sedang berada di Mesir. Dia mengetahui benar bagaimana kedudukan saya dalam masyarakat Islam di Indonesia dan bahwa saya adalah salah seorang anggota pimpinan Muhammadiyah dan Muhammadiyah adalah gerakan Islam di Indonesia yang menempuh faham yang dipelopori oleh Ustadzul Imam Syaikh Mohammad Abduh. Maka bersama-sama dengan Atase Kebudayaan Indonesia saudara Raden Hidayat, beliau telah memperkenalkan saya di dalam Mesir, baik kepala Al-Azhar, atau kepada perkumpulan yang sama haluan dengan muhammadiyah, yaitu perkumpulan “Asy-Syubba-nul Muslimun”. Perkenalan dengan masyarakat Mesir ini diperluas lagi, karena ketika mengadakan seminar di Lahore saya dapat berkenalan dengan Dr. Muhammad Al-Bahay, seorang sarjana Islam yang telah menggabungkan kesarjanaan Al-Azhar dengan kesarjanaan Sarbonne (Prancis) dan Bonn (Jerman).
Maka terdapatlah satu persetujuan di antara Mu’tamar Alam Islamy yang mengundang saya dengan resmi, dengan “Syubbanul Muslimun” yang berhaluan sama dengan Muhammaadiyah dan dengan “Al-Azhar University”, mempersilahkan saya mengadakan suatu Muhadharah (ceramah) di gedung “Asy Syubbanul Muslimun” tersebut, guna memperkenalkan saya dan pandangan hidup saya lebih dekat kepada masyarakat ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum pergerakan di Mesir. Usul beliau-beliau itu saya terima, dan judul yang dipilih buat diceramahkan ialah pengaruh Faham Mohammad Abduh di Indonesia dan Malaya.
Banyaklah ulama dan sarjana yang datang menghadiri Muhadarah tersebut, yang persediannya sangat sederhana, karena tidak disengaja buat menjadi suatu kuliah-umum sambutan atas suatu gelar kehormatan ilmiyah. Tetapi setelah ceramah itu berlangsung kira-kira 90 menit, sangatlah besar kesan yang ditinggalkannya dalam hati para sarjana itu, terutama Prof. Dr. Osman Amin yang telah menulis beberapa buku ilmu pengetahuan berkenaan dengan ajaran-ajaran Ustadzul Imam Syaikh Mohammad Abduh. Dan bagi revolusi Mesir, Mohammad Abduh dihitung sebagai pelopor pertama pembaharuan fikiran sebagai pendasar Revolusi Mesir.[14]
Dan hadir pula dalam majelis yang berbahagia itu Syaikh Mohammad Shaltout yang di waktu itu masih menjadi Wakil Rektor Al-Azhar, dan beberapa ulama yang lain, dan hadir juga sahabat saya Dr. Mohammad Al-Bahay, Syaikh Ahmad Syarbasyi, Raidul Aam (pembimbing umum) Asy-Syubbanul Muslimun menyambut ceramah itu dengan sepenuh-penuh penghargaan, dan kekaguman betapa orang luar Mesir dapat mengenal ajaran Mohammad Abduh, yang di Mesir sendiri hanya terbatas sekali yang mengenalnya. Beberapa hari setelah mengadakan muhadharah itu, sayapun melanjutkan perjalanan ke Sandi Arabia, memenuhi undangan Raja Saud.Saya terus ke Mekah dan Jeddah dan ziarah ke makam Rasulullah di Madinah sebagai tamu Negara.
Beberapa hari di sana, datang pulalah kawat dari Riyadh menyatakan bahwa Raja Saud berkenan menerima saya di istana baginda di Riyadh sebagai tetamu baginda. Sedang saya menjadi tetamu baginda itu, tiba-tiba datanglah kawat dari Mesir, dikirim dengan perantaraan istana baginda, oleh Duta Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi Al-Amrousi menyatakan bahwa Al-Azhar University telah mengambil keputusan hendak memberi saya gelar ilmiyah tertinggi dari Al-Azhar, yaitu Ustadziyah Fakhriyah, yang sama artinya dengan Doctor Honoris Causa. Beliau meminta saya segera kembali ke Mesir buat menghadiri upacara penyerahan gelar yang mulia itu.
Seketika telegram ini saya perlihatkan kepada Baginda Raja Saud, baginda telah berkata: “Kehormatan ini memang layak tuan terima. Sebenarnya ini terlambat.Sebab sudah lama tuan berhak atasnya!” (Ketika itu belum terjadi kemelut politik di antara Mesir dengan Saudi Arabia, dan ketua Mu’tamar Islamy di Mesir itu adalah Raja Saudi sendiri). Sayapun memohon diri kepada Baginda, lalu kembali ke Jeddah. Setelah sampai di Jeddah, pergilah saya ke Mekkah, bersyukur di hadapan Ka’bah, karena waktu itu bertepatan dengan 17 Februari 1958, genap usia saya 50 tahun menurut hitungan tahun masehi, dan setelah saya selelsai mengerjakan thawaf wada’, sayapun kembali ke Jeddah. Pada malam itu masyarakat Indonesia di Jeddah mengadakan satu jamuan mensyukuri usia yang telah 50 tahun itu, dan mengucapkan selamat atas niat Al-Azhar memberi saya gelar kehormatan itu dan sebagai ucapan selamat kembali ke tanah air. Besoknya saya kembali ke Mesir.
Sampai saya di Mesir, saya hubungilah saudara Raden Hidayat Attase kebudayaan Republik Indonesia meminta keterangan kepadanya, apakah dia mengetahui tentang kawat Duta Besar Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi Al-Amrousi itu. Kemudian Duta Besar yang budiman itupun menghubungi saya di Continental Hotel menyampaikann berita lebih jelas. Yaitu bahwa kepala Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Mohammad Al-Bahay telah memasukkan usul kepada Majelis Al-Azhar tertinggi, agar salah satu dari pada peraturan Al-Azhar yang baru disusun, yaitu memberikan gelar-gelar ilmiyah kehormatan kepada orang-orang yang patut menerimanya, yang belum pernah dilakukan di zaman yang sudah-sudah, diberikan kepada saya, sebagai orang yang pertama.[15]
9.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Azhar
a.       Kelebihan Tafsir Al-Azhar
1)        Berbahasa Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh bangsa Indonesia yang umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.
2)        Tafsir ini menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta  penjelasan dalam istilah-istilah agama mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks.
3)        Tafsir ini dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu dari al-Qur’an.
4)        Dalam tafsir ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan pengetahuan-pengetahuan non keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[16]
5)        Dalam penyajiannya Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah; seperti ketika menafsirkan lafad “Allah” ia mengaitkan dengan sejarah Melayu dengan mengutip sebuah tulisan klasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis pada tahun 1303, atau peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh ketika ia menafsirkan tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok nasionalis di Asia pada abad ke-20.
b.      Kekurangan Tafsir Al-Azhar
1)        Dalam menyebutkan hadits kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya.
2)        Hamka dalam melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan seperti itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya secara langsung.

 

BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN
1.      Hamka di Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya manumental dari seluruh karyanya. Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun 1959. Yang kemudian dirampungkan di dalam tahanan selama 2 tahun 4 bulan ketika beliau difitnah oleh pemerintah pada masanya melakukan makar terhadap pemerintahan indonesia.
2.      Pendekatan tafsir yang kami maksud disini juga seringkali menggunakan istilah Sumber Penafsiran, dalam hal ini Prof. Dr.Hamka dalam tafsirnya menggunakan pendekatan tafsir bi al-Ma’sur sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa al-Qur’an terbagi kedalam tiga bagian besar (fiqhi, Aqidah dan Kisah) yang menjadi keharusan (bahkan wajib dalam hal fiqhi dan akidah) untuk disoroti oleh sunnah tiap-tiap ayat yang ditafsirkan tersebut.
3.      Metode penafsiran Berdasarkan penelusuran pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof. Dr.Hamka menggunakan metode Tahlili dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan Corak Penafsiran corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab al-ijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan Cuma ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu beliau memberikan penjelasan berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan situasi politik kala itu.




DAFTAR PUSTAKA

At-Tuwaijir, Ibrahim bin Muhammad Syaikh, 1993. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve
al-Zahabi, Husen Muhammad, 1992. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jakarta: Pustaka Panjimas
juz. III
Hamka, 1982.Tafsir Al-Azhar Jilid I, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka, 1983.Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka, 1970.Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pembimbing Masa, Dalam Kata Pengantar VII
Hamka, 1982.Mensyukuri Tafisr Al-Azhar, Tafsir Al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas
Hamka, 1966.Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
Hamka, 1982.Tafsir Al-Azhar Jilid I-XV Juz I-XXX, Jakarta:Pustaka Panjimas.
Hamka, 1986.Tafsir Al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas)
Marzuki, Fathullah, Artikel Islamic Science  Manhaj Tafsir AL-AZHAR.htm. dikutip tanggal 24 okt 2014 jam 08.58
Shihab Alwi, 1998.  Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan.
Yusuf, Yunan Muhammad,  1990.  Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.






[1]Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I. (1982, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 1-2
[2]Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (1983, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 102
[3]Alwi Shihab, Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (1998, Bandung: Mizan), h. 75
[4]Ibid, h. 153
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (1966, Jakarta: Yayasan Nurul Islam), h. 43-47
[6]Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijir, Ensiklopedi Islam, (1993, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve),
h. 77
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar (1970, Jakarta: Pembimbing Masa), Dalam Kata Pengantar VII
[8] Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (1990, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 53
[9]Ibid, h. 54
[10] Hamka, Mensyukuri Tafisr Al-Azhar, Tafsir Al-Azhar Juz I,(1982, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 50-58
[12] Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid I-XV Juz I-XXX, (1982, Jakarta:Pustaka Panjimas), h. 27-28
[13]Fathullah Marzuki, Artikel Islamic Science  Manhaj Tafsir AL-AZHAR.htm. dikutip tanggal 24 okt 2014 jam 08.58
[14]Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz I, ( 1986, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 55-57

[15]Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (1992, Jakarta: Pustaka Panjimas juz. III ), hlm. 213.
[16] Fakhruddin Faiz. 2002.Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, (melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar.Yogyakarta: Qolam.Hlm. 73.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar