BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber tasyri’ dan hukum yang menuntut
kaum muslimin untuk mengetahui, mendalami dan mengamalkan segala isinya.Di dalamnya terdapat penjelasan tentang halal-haram, perintah
dan larangan.Etika dan akhlak, dan lainnya, yang kesemuanya itu harus
dipedomani oleh mereka yang mengaku menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab Sucinya.
Keharusan itu dapat dipahami, karena memegang-teguh ajaran qur’an, al-Qur’an merupakan
sumber kebahagiaan, petunjuk dan kemenangan di sisi Tuhan berupa surga yang
penuh kenikmatan. Para ulama menjelaskan Syari’at atau hukum dalam
Al-Qur’an dengan Tafsir.Oleh karena itu ilmu pertama yang lahir sejak awal
kemunculan Islam adalah Tafsir.Begitu banyak buku tafsir yang dapat kita jumpai
sekarangan ini namun tafsir yang bernuansa Indonesia dan ditulis oleh para
Ulama Indonesia masih terbilang sedikit, di antaranya adalah Tafsir Al-Azhar.
Dalam rentang waktu 14 abad, Tafsir Al-Qur’an memiliki peran
yang sangat besar dalam perjalanan Sejarah Peradaban Islam para ahli tafsir
yang punya andil dalam mentafsirkan Al-Qur’an Al-Karim. Namun demikian,
kebutuhan masyarakat akan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim masih sangat tinggi. Oleh
karena itu para ulama kontemporer berusaha menghadirkan tafsir-tafsir yang
sesuai dengan kebutuhan zaman dan menjadi solusi untuk permasalahan-
permasalahan umat.Diantara tafsir tersebut adalah tafsir Al-Azhar karya Prof.
Dr. Buya Hamka. Tafsir Al-Azhar merupakan karya dari Ulama
Nusantara dimana ia ditulis di saat kondisi umat Islam membutuhkan Solusi dari
permasalah-permasalahan yang dihadapi oleh mereka saat itu; diantaranya adalah
lemahnya Umat islam Indonesia di bidang Tafsir dan pemahaman terhadap Al-Qur’an
Al-Karim.
“Hamzah Fanshuri Zaman Baru” julukan yang diberikan kepada
Hamka kerena kedekatan beliau dengan tasawuf dan kemahirannya dalam sastra
bahasa arab dan melayu serta kontribusi dengan tulisan-tulisannya yang sungguh
banyak. Bila ditinjau dari sisi sumber rujukan penafsiran yang
dipergunakan, Hamka juga menempuh manhaj naqlî (tafsîr bi al-ma`tsûr/bi
al-riwâyah).Dan menggunakan Thoriqoh tahlili dengan corak tafsir bil
al-ma’tsur.Metode yang digunakan dalam Dalam Tafsir Al-Azhar-nya, Hamka,
seperti diakuinya, memelihara sebaik mungkin hubungan antara naqal dan ‘aql’;
antara riwâyah dan dirâyah. Hamka menjanjikan bahwa ia tidak
hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat yang telah terdahulu, tetapi
mempergunakan juga tinjauan dan pengalaman pribadi. Pada saat yang sama, tidak
pula melulu menuruti pertimbangan akal seraya melalaikan apa yang dinukil dari
penafsir terdahulu. Suatu tafsir yang hanya mengekor riwayat atau naqal
dari ulama terdahulu, berarti hanya suatu textbook thinking belaka.
Sebaliknya, kalau hanya memperturutkan akal sendiri, besar bahayanya akan
terpesona keluar dari garis tertentu yang digariskan agama melantur ke
mana-mana, sehingga dengan tidak disadari boleh jadi menjauh dari maksud agama.
Dalam tafsir Al-Azhar sedikit banyak nya kita akan menemukan
pembahasan-pembahasan yang berkaitan permasalahan di atas, hal itu sebagai
jawaban bahwa Islam adalah Agama dan Sistem yang “rohmatan lil A’lamin”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
proses lahirnya tafsir al-Azhar?
2.
Bagaimana
Sistematika dan Pendekatan yang digunakan Hamka?
3.
Apa Metode dan
corak tafsir al-Azhar?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui proses lahirnya tafsir al-Azhar
2. Untuk mengetahui sistematika dan pendekatan yang
digunakan hamka
3. Untuk mengetahui metode dan corak tafsir al-Azhar
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Hamka
Ketika kaum muda Minang sedang
gencar-gencarnya melakukan gerakan pembaharuan di Minang Kabua maka ketika itu
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Hamka yang
merupakan salah satu putra terbaik Minang Kabau, dilahirkan di Tanah Sirah desa
Sungai Batang di tepi Danau Maninjau (Sumatra Barat) tepatnya pada tanggal 17
Februari 1908 pada tahun Masehi atau 14 Muharam 1326 H. Ayahnya Dr. H. Abdul
Karim Amrullah yang juga dikenal dengan sebutan Haji Rasul termasuk keturunan
Abdul Arif gelar Tuanku Pauh PariamanNan Tuo, salah seorang pahlawan
paderi yang juga dikenal Haji Abdul Ahmad. Hamka dilahirkan pada masa awal
gerakan “Kaum Muda”.Yang di pelopori oleh empat ulama Minang yaitu Haji Abdul
Karim Amrullah atau yang biasa dikenal dengan sebutan Haji Rasul (ayah Hamka),
Syaikh Taher Jalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek dan Haji Abdullah
Ahmad.
Menarik untuk mengetahui asal
penyebutan nama Hamka, nama aslinya adalah Abdul Malik Karim Amrullah, pada
tahun 1927 ia menunaikan Haji ke Makkah sepulangnya dari Haji namanya
mendapatkan tambahan “Haji” sehingga menjadi Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang
kemudian untuk memudahkan panggilannya disingkatlah namanya menjadi Hamka.
Tokoh yang dikenal dengan kesederhanaan ini wafat pada tanggal 24 Juli 1981 di Jakarta, ia
dikelilingi oleh istrinya Khadijah, beberapa teman dekatnya dan putranya Afif
Amrullah, Hamka berpulang ke Rahmatullah dalam usia 73 tahun. Perjalanan
Inetelektual Hamka dimulai dengan pendidikan membaca Al-Qur’an di kampung
halaman bersama orang tuanya, dalam waktu bersamaan ia masuk sekolah desa
selama 3 tahun (pagi hari) dan sekolah Agama Diniyyah (petang hari) yang
didirikan oleh Zainuddin Labai al-Yunusi di Padang panjang dan Parabek (Bukit
Tinggi) selama 3 tahun. Pada malam harinya Hamka bersama teman-temannya pergi
ke surau untuk mengaji.[1]
Begituluah putaran kegiatan Hamka
sehari-hari dalam usia kanak-kanaknya. Rutinitas kegiatan Hamka seperti itu
setiap hari membutanya jenuh dan ia merasa “terkekang” ditambah sikap ayahnya
yang “otoriter”. Kondisi demikian itu membuat prilaku Hamka menyimpang,
sampai-sampai ia dikenal sebagai seorang “anak yang nakal”. Kondisi
tersebut dibenarkan oleh A.R. Sultan Mansur, seorang yang sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan pribadi Hamka sebagai seorang Muballigh. Semenjak kecil
sebenarnya meskipun ia dikenal sebagai anak nakal, Hamka seorang yang cerdas,
ia berbakat dalam bidang bahasa, tidak heran sejak kecil ia mampu membaca
berbagai literatur dalam bahasa Arab, termasuk berbagai terjemahan dari
tulisan-tulisan Barat. Sejak masih muda Hamka dikenal sebagai seorang
pengelana, sehingga Ayahnya memberikan gelar padanya “Si Bujang Jauh”.
Pada tahun 1924, ia berencana pergi
ke Jawa dalam usia 16 tahun, tapi sayang kepergian Hamka ke tanah Jawa tidak
kesampaian karena Hamka terkena wabah cacar di daerah Bengkulen. Kondisi
tersebut membuat Hamka harus terbaring di tempat pembaringan selama dua bulan,
setelah sembuh ia tidak melanjutkan perjalanannya malahan ia kembali ke Padang
Panjang dengan wajah penuh bekas luka cacar. Kegagalan Hamka untuk pergi ke
Jawa tidak membuat surut niatnya, setahun kemudian Hamka dengan tidak bisa
tercegah mewujudkan keinginannya untuk pergi ke Jawa.Perjalanan kedua ini
ternyata berhasil dan Hamkapun sampai di Jawa. Perjalanan intelektual Hamka
ketika di Jawa di mulai dari daerah Jogjakarta, kota dimana tempat Organisasi
Muhamadiyah lahir. Lewat pamannya Ja’far Amrullah, Hamka mulai belajar
keorganisasian dan mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Muhamadiyah dan
Syarikat Islam.[2]
Disana
beliau belajar mengenal dunia pergerakan Islam modern melalui H. Oemar Said
Tjokroaminoto, dari beliau Hamka sempat mendengar ceramah-ceramah tentang Islam
dan Sosialisme, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhamadiyyah 1944-1952) dari beliau
ia menerima pengetahuan tentang tafsir al-Qur’an. Yogyakarta sebuah kota yang
mempunyai arti penting bagi perkembangan keilmuan dan kesadaran keagamaan
Hamka, sehingga ia menyebutkan bahwa di Yogyakarta ia menemukan Islam sebagai
sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang
dinamis. Perbedaan nuansa ke-agamaan yang
dilihat oleh Hamka antara di Minang kabau tempat kelahiran Hamka dengan di Jawa
nampaknya sangat jauh berbeda. Islam di Minangkabau yang menemukan citra
pembaharuan Islam dalam bentuk pemurnian, lebih banyak beroriantasi dalam soal
akidah, karena Islam di Minangkabau lebih berhadapan (berbenturan) dengan
tradisi adat daerah Minang yang barbau jahiliyah. Sehingga orientasi yang
ditampilkan oleh pembaharu lebih bercorak puritan, yakni membersihkan akidah
dan ibadah Islam dari hal-hal yang barbau syirik dan bid’ah.
Sebaliknya berbeda dengan
pembaharuan di Jawa, dengan gerakan-gerakan yang coba ditampilkan oleh
Muhammadiyah dan Syarikat Islam, telihat aktivitas pembaharuannya tidak lagi
mempertentangkan permasalahan khilafiyat, tetapi lebih berorientasi pada
usaha memerangi keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan serta mencegah bahaya
Kristenisasi. Yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial.Adapun
bentuk gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut
diantaranya adalah Syarikat Islam menampilkan penggalangan kekuatan ekonomi
masyarakat pribumi dengan jiwa dan semangat Islam, sedangkan Muhamadiyah
sendiri menyediakan berbagai lembaga pendidikan formal dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa.[3]
Aktivitas Hamka di Jawa tidak hanya
mengenal dunia pergerakan di lingkungan Muhamadiyah dan Syarikat Islam saja, ia
pun sempat “berkenalan” dengan faham komunis yang ada di Jawa. Dari
perkenalan dengan faham komunis tersebut
ia menyimpulkan bahwa faham komunis yang ada di Jawa ternyata berbeda dengan
faham komunis yang ada di Padang Panjang yang dikembangkan oleh H. Datuk Batuah
Thawalib, faham komunis yang berkembang di Minangkabau bukanlah faham komunis
yang sebenarnya. Iaberkata: “Rupanya komunis yang dilihatnya di Sumatera Barat
itu bukanlah komunis. Kekerasan sikap serta kritik mereka terhadap pemerintahan
kolonial dengan selalu memakai ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, Itulah yang
selalu didengarnya senantiasa menjadi pendirian yang terang-terangan dari
Syarikat Islam dan menjadi pembicaraan dalam kalangan Muhamadiyah. Jadi Komunis
Sumatera Barat adalah Islam yang karena kurang pengetahuan dan penyelidikan
lalu terperosok ke dalam komunis, apa lagi pandangan umum ketika itu komunis
ialah anti Belanda.[4]
Setelah
malakukan perjalanan (berkelana) di jawa pada bulan Juli 1925 dalam usia 17
tahun, ia kembali ke Padangpanjang. Disana ia mengimplementasikan ilmu-ilmu
yang ia peroleh dari tanah Jawa dengan berpidato dan bertabligh, berkat
kepiawaiannya dalam menyusun kata-kata sehingga ia dikagumi oleh teman-teman
sebayanya. terkadang ia menuliskan teks-teks pidato untuk teman-temannya dan
diterbitkan dalam sebuah majalah yang dipimpinnya yang diberi nama KhatibulUmmah.
Pada bulan Februarui 1927 ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji
dan bermukim di sana selama 6 bulan, selama di Makkah ia bekerja pada sebuah
percetakan dan akhirnya pada bulan Juli ia kembali ketanah air. Sebelum tiba di
kampung halamannya, ia singgah di Medan dan sempat menjadi guru agama pada
sebuah perkebunan selamaa beberapa bulan, setelah itu ia pulang ke tanah
kelahirannya.
Pada tahun 1928 ia mengikuti
Mukhtamar Muhamadiyah di Solo, sepulang dari solo ia memangku jabatan-jabatan
penting diantaranya pernah menjadi ketua bagian Taman Pustaka,ketua Tabligh
sampai menjadi ketua Muhamadiyah cabang Padang panjang. Pada tahun 1930 atas
prakarsa penguruas cabang Padang Panjang ia diutus untuk mendirikan Muhamadiyah di Bangkalis.
Pada tahun 1931 ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhamadiyah ke Makasar untuk
menjadi mubaligh Muhamadiyah dalam rangka menggerakan semangat untuk menyambut
Mukhtamar Muhamadiyah ke-21 di Makasar. Sehingga setelah pulang bertugas ia
diangkat menjadi Majlis Konsul Muhamadiyah Sumatera Tengah. Pada tanggal 22
Januari 1936 ia pindah ke Medan dan terjun dalam gerakan Muhamadiyah Sumatera
Timur dan memimpin majalah Pedoman Masyarakat. Tahun 1942 ia tepilih penjadi
pemimpin Muhamdiyah Sumatera Timur. Tahun 1946 ia terpilih menjadi Ketua
majelis Pimpinan Muhamadiyah Daerah Sumatera Barat. Kedudukannya ini dipegang
sampai tahun 1949. Pada Mukhtamar Muhamadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953,
ia terpilih menjadi anggota pimpinan pusat Muhamadiyah dan sejak itu ia selalu
terpilih dalam mukhtamar.
Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah
Belanda ke Indonesia melalui pidato-pidatonya dan menyertai kegiatan gerilya di
dalam hutan di Medan. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan
oleh Presiden Sukarno karena dituduh Pro-Malaysia. Pada waktu dipenjaralah
beliau menulis Tafsir Al-azhar-nya sampai selesai 30 juz. Hamka juga
menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Di
antara novel-novelnya ada yang mendapat perhatian khalayak umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura antara lain, Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck,Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Merantau ke Deli. Hamka
pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antar bangsa
seperti anugerah kehormatan Ustadziyah Fakhriyah.
Pada tahun 1949, ia pindah ke
Jakarta. Di Jakarta Hamka memulai kariernya dengan bekerja sebagai pegawai
negeri golongan F di Kementrian Agama yang waktu itu dipimpin oleh KH. Abdul
Wahab Hasyim. Disamping bekerja sebagai pegawai negeri, ia juga mengajar di
perguruan tinggi Islam diantaranya: IAIN Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta,
Fakultas Hukum dan Filsafat Muhamadiyah di Padangpanjang, Universitas Muslim
Indonesia (MUI) di Makasar, Universitas Islam Sumatera Utara. Pada tahun 1950
ia mengadakan kunjungan ke berbagai negara yang ada di Timur Tengah. Pada tahun
1952 ia juga mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Amerika Serikat atas
undangan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Pada tahun 1958 ia diutus
untuk mengikuti simposium Islam di Lahore kemudian menuju Mesir, dalam
kesempatan ini ia menyampaikan pidato untuk promosi mendapat gelar Doctor
Honoris Causa di Universitas al-Azhar Mesir, dengan judul pidato “Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia”.[5]Disamping gelar Doctor yang ia raihnya di Mesir, ia juga
mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Kebangsaan
Malaysia pada tahun 1974. Dalam kesempatan itu, Perdana mentri Malaysia berkata
“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa
Asia Tenggara”.
Hamka dikenal sebagai seorang yang
produktif meskipun aktivitas Hamka yang begitu padat, tidak membuat surut tekad
Hamka untuk membuat berbagai karya tulis. Keproduktifan Hamka bukan hanya dari
segi ide atau gagasan tetapi dalam segi tulisan pun ia sangat produktif, lebih
kurang 118 buah buku dalam berbagai
disiplin ilmu (tafsir, hadits, sejarah, tasawuf, politik, akhlak, sastra, dll),
belum termasuk berbagai tulisannya yang berserakan di media masa, majalah, atau
makalah-makalah yang disampaikan untuk perkuliahan. Di antara karya-karya yang
telah dihasilkan oleh tangannya adalah sebagai berikut :[6]
1.
Dalam bidang
tasawuf : Tasawuf modern, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya
2.
Dalam bidang
sastra : Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil dan Di
Tepi Sungai Dajlah, si Sabariyah,Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya
kapal Van der Wijck (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam
Lembah Kehidupan (1940).
3.
Dalam bidang
tafsir :Tafsir al-Azhar (30 juz), Ayat-ayat Mi’raj.
4.
Dalam bidang
sejarah : Ayahkuberisi tentang biografi orang tuanya (1949), Pembela Islam
(Tarich Sayyidina Abu Bakar), Ringkasan Tarich Umat Islam, Adat Minangkabau dan
Agama Islam (buku ini dilarang beredar oleh polisi), Sejarah Umat Islam.
2. Pengenalan Tafsir Al-Azhar
Hamka di Indonesia bahkan di
mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu karyanya adalah tafsir
al-Azhar yang menjadi karya manumental dari seluruh karyanya.Tafsir
al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di sampaikan dalam acara kuliah
subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung al-Azhar Kebayoran, Jakrta
sejak tahun 1959.Ketika itu masjid tersebut belum dinamakan masjid al-Azhar.Dalam
waktu yang sama bulan Juli 1959 Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad
(Mentri Agama dalam kabinet Wilopo 1952, Wafat tahun 1968 ketika menjabat ketua
Muhamadiyyah menerbitkan majalah “Panji
Masyarakat” yang menitik beratkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan
Agama Islam. Dalam Kata Pengantar, Hamka menyebut beberapa nama yang ia
anggap berjasa bagi dirinya dalam pengembaraan dan pengembangan keilmuan
keislaman yang ia jalani. Nama-nama yang disebutnya itu boleh jadi merupakan
orang-orang pemberi motivasi untuk segala karya cipta dan dedikasinya terhadap
pengembangan dan penyebarluasan ilmu-ilmu keislaman, Tidak terkecuali karya
tafsirnya.Nama-nama tersebut selain disebut Hamka sebagai orang-orang tua dan
saudara-saudaranya, juga disebutnya sebagai guru-gurunya. Nama-nama itu antara
lain, ayahnya sendiri yang merupakan gurunya sendiri, Dr. Syaikh Abdulkarim
Amrullah, Syaikh Muhammad Amrullah (kakek), Abdullah Shalih (Kakek Bapaknya).[7]
Tidak lama setelah itu suasana
perpolitikan bangsa Indonesia tidak menentu, suasana politik yang digambarkan
terdahulu mulai muncul.PKI dalam usaha mendiskreditkan pihak-pihak yang tidak
sejalan dengan kebijaksanaan mereka bertambah meningkat.Sampai-sampai masjid
al-Azhar ketika itu menjadi sasaran.Masjid tersebut di klaim menjadi sarang “Neo
Masyumi” dan “Hamkaisme”.[8]
Suasana bertambah tak menentu ketika
majalah ini dibredel pada penerbitan No. 22. 17 Agustus 1960 dengan alasan
memuat tulisan Dr. Muhammad Hatta yang berjudul “ Demokrasi Kita”.
Tulisan ini memuat kritik tajam terhadap konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah
Panji Masyarakat baru mulai terbit kembali ketika Orde Lama tumbang pada tahun
1967, dan jabatan pimpinan ketika itu masih dipegang oleh Hamka. Sebagaimana
kondisi yang dijelaskan di atas, izin penerbitan Majalah Panji Masyarakatpun
dicabut.Pendiskreditan terhadap Hamkapun bertambah meningkat, sehingga dengan
bantuan Jenderel Sudirman dan Kolonel Muchlas Rowi pada waktu itu menerbitkan
majalah Gama Islam. Peranan Hamka dalam majalah ini sangat aktif meskipun
sebenarnya Dalam struktur kepengurusan secara formal majalah ini dipimpin oleh Jenderal Sudirman dan Kolonel Muchlas
Rowi. Ceramah-cerama Hamka disetiap sehabis Sholat Shubuh secara teratur dimuat
dalam majalah tersebut, namun penerbitan tersebut berlangsung sampai pada bulam
Januari 1964.[9]
Penerbitan
ceramah-seramah Hamka terhenti dalam majalah tersebut disebabkan pada hari
senin 12 Romadhan 1383 atau 27 Januari 1964, ia ditangkap oleh penguasa Orde
lama pada saat setelah memberikan pengajian di masjid al-Azhar dan pada
akhirnya beliau dijebloskan dalam penjara. Dalam tahanan, Hamka tidak membuang waktu
dengan percuma, beliau isi dengan membuat karya lanjutan dari tafsit
al-Azhar. Kondisi kesehatan Hamka dalam tahanan kian lama kian menurun,
sehingga membuat ia harus dipindahkan ke Rumah sakit Persahabatan Rawamangun,
Jakarta. Dalam suasana perawatan, Hamka melanjutkan kembali penulisan dari tafsir
al-Azhar.Tak lama setelah itu Orde Lamapun tumbang digantikan dengan Orde
Baru, dan pada akhirnya dibawah pimpinan Suharto Hamka dibebaskan.Dalam suasana
bebas, Hamka kembali mengedit ulang tafsir al-Azhar.Tafsir al-Azhar
pertama kali diterbitan oleh penerbit Pembimbing Masa pimpinan H. Mahmud.Dalam
penerbitan ini hanya merampungkan juz pertama sampai juz keempat. Setelah itu
diterbutkan juz 30 dan juz 15 samapi juz 29 dengan penerbit yang berbeda yakni
Pustaka Islam, Surabaya. Dan pada akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14
diterbitkan dengan penerbit yang berbeda pula yakni Yayasan Nurul Islam,
Jakarta.[10]
3. Metodologi
Penafsiran Tafsir
Beliau menyatakan metode pentafsiran yang digunakan pada bagian pendahuluan
kitab tafsirnya yaitu di bawah judul, ‘Haluan Tafsir’. Setelah dilakukan
pemeriksaan, Hamka menggunakan metode-metode berikut ini ketika menafsirkan
Alquran:[11]
a.
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Hamka
mengaplikasikan metode ini dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran sebagaimana
ulama tafsir yang lain. Namun, tidak semua ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan
metode tersebut. Penggunaan metode tersebut dapat dilihat ketika beliau
menafsirkan surah Alqashash ayat 60. Firman Allah:
Artinya: “Dan apa saja yang diberikan kepada kamu,
maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di
sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak
memahaminya?”
Untuk
menjelaskan bentuk perhiasan tersebut, Hamka membawakan surah Ali Imran ayat
14:
Artinya: ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).”
Hamka
menjelaskan bahwa semua perhiasan tersebut adalah benar tetapi beliau
menegaskan bahwa ia hanyalah perhiasan dunia yang tidak kekal. Yang kekal
adalah surga Allah yang telah tersedia bagi mereka yang beramal soleh.
b.
Tafsir al-Qur’an dengan Hadits
Hamka tidak
meninggalkan metode kedua terpenting dalam penafsiran Alquran yaitu tafsir
Alquran dengan Hadits. Penggunaan metode ini dapat kita lihat dalam penafsiran
surah Ali Imran ayat 104:
Artinya: “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.”
Ayat di atas menerangkan tentang perintah amar ma’ruf
dan nahi munkar. Beliau menuliskan beberapa buah hadits untuk
menjelaskan pentingnya perintah tersebut setelah menerangkan panjang lebar
maksud istilah-istilah tersebut. Terdapat tiga buah hadits yang diketengahkan
yaitu hadits Hudzaifah r.a yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, hadits Abu
Sa’id Alkhudri yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Tirmidzi dan hadits
Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau kemudian membuat
ulasan terhadap tiga hadits tersebut dan hubungannya dengan dakwah.
c.
Pendapat
Sahabat dan Tabi’in
Adakalanya
Hamka memasukkan pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in untuk menguatkan
penjelasan beliau terhadap tafsiran ayat-ayat Alquran. Di antara penafsiran
ayat Alquran yang menggunakan metode ini ialah penafsiran terhadap surah
Al-naml ayat 65:
Artinya: “Katakanlah:
"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang
ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”
Ayat tersebut
menjelaskan tentang pengetahuan terhadap perkara ghaib hanya diketahui oleh
Allah saja. Dalam hal ini, hamka membawa pendapat seorang tabi’in yaitu Qatadah
tentang kedudukan orang-orang yang mempercayai ilmu bintang atau Astrologi.
Menurut Qatadah apabila seseorang menyalah gunakan tujuan Allah menjadikan
bintang-bintang (perhiasan, petunjuk dan panah terhadap syaitan) maka
kedudukannya adalah sesat.
d.
Pengambilan Riwayat dari Kitab Tafsir Muktabar
Hamka juga
merujuk kitab-kitab tafsir yang lain dalam menafsirkan Alquran. Di antaranya
adalah Tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh dan muridnya Sayyid Rasyid
Ridha, Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb, Mafatih Alghaib karangan Alrazi
dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak terikat kepada satu referensi
untuk memastikan ketepatan dan kesesuaian tafsiran beliau. Sebagai contoh,
tafsiran terhadap surah Alnaml ayat 82. Firman Allah:
Artinya: “Dan
apabila perkataan Telah jatuh atas mereka, kami keluarkan sejenis binatang
melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia
dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”
Dalam ayat
tersebut, dijelaskan bahwa apabila telah datang waktunya, ketika manusia sudah
lupa dan lalai terhadap agamanya akan keluar dari dalam bumi binatang yang
disebut dabbah. Hamka membawakan tafsiran Alrazi tentang berbagai
penafsiran dabbah yaitu 5 keadaan berdasarkan berbagai riwayat. Beliau
juga membawa tafsiran Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Alquran Al-azhim mengenai
perkara yang sama.
e.
Penggunaan Syair
Hamka dikenal
sebagai pujangga Islam dan sastrawan. Oleh karena itu, beliau juga memasukkan
unsur-unsur syair dalam ulasan terhadap ayat-ayat Alquran. Baik syair karya
beliau sendiri maupun karya sastrawan Islam lainnya seperti Iqbal. Namun, hal
ini sangat jarang. Contoh, surah Ali Imran ayat 158:
Artinya: “Dan
sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Allah saja kamu
dikumpulkan.”
Dalam ayat di
atas, Hamka menjelaskan apapun sebab-sebab kematian seseorang baik mati syahid,
sakit dan sebagainya akan dikumpulkan di hadapan Allah untuk dihisab.
Perhitungan tersebut berkaitan dengan tujuan hidup setiap manusia karena tujuan
hidup itulah yang menentukan nilai hidup bukan berdasarkan lama kehidupan di
dunia. Di sini beliau membawakan serangkap syair Iqbal yang menggambarkan
tentang nilai hidup tersebut. Umur bukan hitungan tahun, Hidup bukan bilangan
masa. Sehari hidup singa di rimba, Seribu tahun hitungan domba.
f.
Penafsiran dengan Pendapat (ra’yu) Sendiri
Hamka menegaskan bahwa suatu tafsir yang hanya
mengikuti riwayat orang yang terdahulu berarti hanya “textbook thinhking.”
Sebaliknya, tafsir yang hanya berdasarkan pendapat pribadi terlalu besar
resikonya. Dalam hal ini, beliau mengakui bahwa beliau terinspirasi
oleh tafsir kontemporer seperti Tafsir Al-manar dan Fi Zhilalil Quran, sehingga
dalam tafsirnya tidak hanya mengetengahkan riwayat semata tetapi beliau juga
mengetengahkan pendapat beliau.Di sinilah fokus tafsirnya tersebut. Dalam
tafsirnya tersebut Hamka banyak melakukan kritik sosial dan politik.
4.
Sistematika Penyusunan
Prof.Dr. Hamka dalam menyusun Tafsir al-Azhar
beliau menggunakan tartib usmani yaitu menafsirkan ayat secara runtut
berdasarkan penyusunan mushaf usmani. Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir
ini karena mengawali dengan pendahuluan yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu
al-Qur’an, seperti definisi al-Qur’an, Makkiyah dan Madaniyah, nuzulul Qur’an
Pembukuan mushaf I’jaz dan banyak lagi. Sebuah kemudahan yang didapatkan sebab
Hamka menyusun tafsiran ayat demi ayat dengan cara pengelompokan pokok bahasan
sebagaimana tafsir Sayyid Qutub dan atau al-maragi. bahkan terkadang beliau
memberikan judul terhadap pokok bahasan yang hendak ditafsirkan dalam kelompok
ayat tersebut.
Misalnya dalam menafsirkan ayat-ayat awal dari surah
al-Baqarah.Beliau mengelompokkan ayat 1-5dan memberikan judul “Takwa dan Iman”
sebelum memberi penafsirannya terhadap ayat-ayat tersebut. Adapun ayat 8-13
serta ayat 14-30 dari surah yang sama, diberi judul “Nifaq I” dan “Nifaq II”. Tafsir
ini juga member perhatian terhadap Muna sabah (korelasi) antar ayat yang hampir
mencakup seluruh ayat yang ditafsirkan. Misalnya pada hal 25, jilid 1, juz2:
“(Yaitu)
orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata;
Sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepadaNyalah kita semua akan
kembali.” (ayat 156).Ucapan yang begini mendalam, tidaklah akan keluar dari
dalam lubuk hati kalau tidak menempuh latihan.
Dalam hal asbabun
al-Nuzul, Kitab Tafsir al-Azhar ini secara skala besar menampung banyak
riwayat-riwayat tentang asbabun al-Nuzul diantaranya:
Al-Wahidi
menulis di dalam kitabnya Asbabun-Nuzul dan as-Tsa’labi di dalam tafsirnya
riwayat dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata bahwa kitab ini diturunkan di
Makkah, dari dalam suatu perbendaharaan di bawah ‘Arsy.
Itulah secara umum sistematika penyusunan yang diterapkan Hamka
dalam tafsir al-Azhar.
5.
Pendekatan
Tafsir
Pendekatan tafsir yang kami maksud disini juga seringkali
menggunakan istilah Sumber Penafsiran, dalam hal ini Prof.Dr.Hamka dalam
tafsirnya menggunakan pendekatan tafsir bi al-Ma’sur sebagaimana yang
beliau jelaskan sendiri dalam pendahuluan tafsirnya bahwa al-Qur’an terbagi
kedalam tiga bagian besar (fiqhi, Aqidah dan Kisah) yang menjadi keharusan
(bahkan wajib dalam hal fiqhi dan akidah) untuk disoroti oleh sunnah tiap-tiap
ayat yang ditafsirkan tersebut.
Beliau
juga berpandangan bahwa ayat yang sudah jelas, terang dan nyata maka merupakan
pengecualian ketika sunnah bertentangan dengannya. Meskipun didominasi oleh
riwayat, beliau juga memberikan penjelasan secara ilmiah (ra’yu) terkait
masalah ayat-ayat kauniyah.[12]
6.
Metode
Penafsiran
Berdasarkan
penelusuran pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof. Dr.Hamka menggunakan metode Tahlili
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Disamping sistematikanya yang runtut
berdasarkan urutan mushaf sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga bisa dilihat
dalam contoh tafsiran beliau:
Penafsiran
beliau tentang surat al-Tariq ayat 11 sebagai berikut:
Artinya: Demi langit yang mengandung hujan
Hamka
menafsirkan dengan:
sekali
lagi Allah bersumpah dengan langit sebagai makhluk-Nya: Demi langit yang
mengandung hujan. Langit yang dimaksud di sini tentulah yang di atas kita.
Sedangkan di dalam mulut kita yang sebelah atas kita namai “langit-langit”, dan
tabir sutera warna-warni yang dipasang di sebelah atas singgasana raja atau di
atas pelaminan tempat mempelai dua sejoli bersanding dinamai langit-langit jua
sebagai alamat bahwa kata-kata langit itu pun dipakai untuk yang di atas.
Kadang-kadang diperlambangkan sebagai ketinggian dan kemuliaan Tuhan, lalu kita
tadahkan tangan ke langit ketika berdoa.Maka dari langit itulah turunnya
hujan.Langitlah yang menyimpan air dan menyediakannya lalu menurunkannya
menurut jangka tertentu.Kalau dia tidak turun kekeringanlah kita di bumi ini
dan matilah kita.Mengapa raj’i artinya disini jadi “hujan”? sebab hujan itu
memang air dari bumi juga, mulanya menguap naik ke langit, jadi awan berkumpul
dan turun kembali ke bumi, setelah menguap lagi naik kembali ke langit dan
turun kembali ke bumi, demikian terus-menerus, naik kembali turun kembali.
7.
Corak
Penafsiran
Menurut pemakalah, corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab
al-ijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang
sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya
agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan Cuma
ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu beliau memberikan penjelasan
berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan
situasi politik kala itu. Misalnya:
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ
تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا
تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣)
Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam tafsiran ayat di atas, Hamka
menjelaskan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara.dan
Hamka juga menegaskan bahwasannya agama Islam bukanlah semata-mata mengurus
soal ibadah dan puasa saja. Bahkan urusan mu’amalah, atau kegiatan hubungan
diantara manusia dengan manusia yang juga dinamai “hukum perdata” sampai begitu
jelas disebut dalam ayat al-Qur’an, maka dapatlah kita mengatakan dengan pasti
bahwa soal-soal beginipun termasuk agama juga. Dalam Islam tidak ada pemisahan
antara agama dan negara. Islam menghendaki hubungan yang harmonis antara
keduanya, tidak adanya sutu kerusakan antara satu sama lain.
Aspek yang lain juga membuktikan
bahwa dalam perkembangannya, Hamka sendiri banyak merujuk pada tafsir al-Manar
karya Muhammad Abduh, juga mengakui dirinya bahwa Sayyid Qutub dalam tafsirnya
Fizilal al-Qur’an sangat banyak mempengaruhi Hamka dalam menulis Tafsir yang
notabene bercorak al-adab al-ijtima’i dan Haraki.[13]
8. Mengapa dinamai Tafsir Al-Azhar
Dengan kurnia Allah, pada tahun 1956 dapatlah penulis mendirikan
rumah kediaman, untuk berteduh anak dan isteri di kebayoran Baru.Kebetulan
sekali di hadapan tanah tempat mendirikan rumah itu terdapat pula sebuah
lapangan luas persediaan untuk mendirikan sebuah masjid agung, yang sesuai
dengan martabat Indonesia yang telah merdeka. Saya gembira sekali, karena
apabila satu masjid besar berdiri di muka rumah kita, dapatlah anak-anak selalu
di didik dalam hidup keislaman, terutama bila mereka selama mendengarkan suara
azan pada sembahyang lima waktu. Setiap hari saya melihat orang bekerja
membangun masjid itu dan saya selalu mendo’akannya agar lekas selesai.
Sebelum masjid itu selesai, maka di permulaan bulan januari 1985
berangkatlah saya ke Lahore Pakistan memenuhi undangan Punjab University, untuk
turut menyertai suatu seminar Islam yang diadakan di sana. Setelah selesai
menghadiri seminar tersebut, saya meneruskan perlawatan ke Mesir, memenuhi
undangan Mu’tamar Islamy, yang Sekretaris Jenderalnya ialah Sayid Anwar Sadat, salah
seorang perwira anggota “Dewan Revolusi” Mesir di samping Presiden Jamal Abdel
Nasser.
Kedatangan saya ke Mesir di waktu itu bertepatan pula dengan
melewatkannya Priseden Sukarno kesana, lantaran itu maka Duta Besar Mesir di
Indonesia di waktu itu, yaitu Sayid Ali Fahmi Al-Amrousi sedang berada di
Mesir. Dia mengetahui benar bagaimana kedudukan saya dalam masyarakat Islam di
Indonesia dan bahwa saya adalah salah seorang anggota pimpinan Muhammadiyah dan
Muhammadiyah adalah gerakan Islam di Indonesia yang menempuh faham yang
dipelopori oleh Ustadzul Imam Syaikh Mohammad Abduh. Maka bersama-sama dengan
Atase Kebudayaan Indonesia saudara Raden Hidayat, beliau telah memperkenalkan
saya di dalam Mesir, baik kepala Al-Azhar, atau kepada perkumpulan yang sama haluan
dengan muhammadiyah, yaitu perkumpulan “Asy-Syubba-nul Muslimun”. Perkenalan
dengan masyarakat Mesir ini diperluas lagi, karena ketika mengadakan seminar di
Lahore saya dapat berkenalan dengan Dr. Muhammad Al-Bahay, seorang sarjana
Islam yang telah menggabungkan kesarjanaan Al-Azhar dengan kesarjanaan Sarbonne
(Prancis) dan Bonn (Jerman).
Maka terdapatlah satu persetujuan di antara Mu’tamar Alam Islamy
yang mengundang saya dengan resmi, dengan “Syubbanul Muslimun” yang
berhaluan sama dengan Muhammaadiyah dan dengan “Al-Azhar University”,
mempersilahkan saya mengadakan suatu Muhadharah (ceramah) di gedung “Asy
Syubbanul Muslimun” tersebut, guna memperkenalkan saya dan pandangan hidup saya
lebih dekat kepada masyarakat ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum pergerakan di
Mesir. Usul beliau-beliau itu saya terima, dan judul yang dipilih buat
diceramahkan ialah pengaruh Faham Mohammad Abduh di Indonesia dan Malaya.
Banyaklah ulama dan sarjana yang datang menghadiri Muhadarah
tersebut, yang persediannya sangat sederhana, karena tidak disengaja buat
menjadi suatu kuliah-umum sambutan atas suatu gelar kehormatan ilmiyah. Tetapi
setelah ceramah itu berlangsung kira-kira 90 menit, sangatlah besar kesan yang
ditinggalkannya dalam hati para sarjana itu, terutama Prof. Dr. Osman Amin yang
telah menulis beberapa buku ilmu pengetahuan berkenaan dengan ajaran-ajaran
Ustadzul Imam Syaikh Mohammad Abduh. Dan bagi revolusi Mesir, Mohammad Abduh
dihitung sebagai pelopor pertama pembaharuan fikiran sebagai pendasar Revolusi
Mesir.[14]
Dan hadir pula dalam majelis yang berbahagia itu Syaikh Mohammad
Shaltout yang di waktu itu masih menjadi Wakil Rektor Al-Azhar, dan beberapa
ulama yang lain, dan hadir juga sahabat saya Dr. Mohammad Al-Bahay, Syaikh
Ahmad Syarbasyi, Raidul Aam (pembimbing umum) Asy-Syubbanul Muslimun menyambut
ceramah itu dengan sepenuh-penuh penghargaan, dan kekaguman betapa orang luar
Mesir dapat mengenal ajaran Mohammad Abduh, yang di Mesir sendiri hanya
terbatas sekali yang mengenalnya. Beberapa hari setelah mengadakan muhadharah
itu, sayapun melanjutkan perjalanan ke Sandi Arabia, memenuhi undangan Raja
Saud.Saya terus ke Mekah dan Jeddah dan ziarah ke makam Rasulullah di Madinah
sebagai tamu Negara.
Beberapa hari di sana, datang pulalah kawat dari Riyadh menyatakan
bahwa Raja Saud berkenan menerima saya di istana baginda di Riyadh sebagai
tetamu baginda. Sedang saya menjadi tetamu baginda itu, tiba-tiba datanglah
kawat dari Mesir, dikirim dengan perantaraan istana baginda, oleh Duta Mesir di
Indonesia, Sayid Ali Fahmi Al-Amrousi menyatakan bahwa Al-Azhar University
telah mengambil keputusan hendak memberi saya gelar ilmiyah tertinggi dari
Al-Azhar, yaitu Ustadziyah Fakhriyah, yang sama artinya dengan Doctor
Honoris Causa. Beliau meminta saya segera kembali ke Mesir buat menghadiri
upacara penyerahan gelar yang mulia itu.
Seketika telegram ini saya perlihatkan kepada Baginda Raja Saud,
baginda telah berkata: “Kehormatan ini memang layak tuan terima. Sebenarnya ini
terlambat.Sebab sudah lama tuan berhak atasnya!” (Ketika itu belum terjadi
kemelut politik di antara Mesir dengan Saudi Arabia, dan ketua Mu’tamar Islamy
di Mesir itu adalah Raja Saudi sendiri). Sayapun memohon diri kepada Baginda,
lalu kembali ke Jeddah. Setelah sampai di Jeddah, pergilah saya ke Mekkah,
bersyukur di hadapan Ka’bah, karena waktu itu bertepatan dengan 17 Februari
1958, genap usia saya 50 tahun menurut hitungan tahun masehi, dan setelah saya
selelsai mengerjakan thawaf wada’, sayapun kembali ke Jeddah. Pada malam
itu masyarakat Indonesia di Jeddah mengadakan satu jamuan mensyukuri usia yang
telah 50 tahun itu, dan mengucapkan selamat atas niat Al-Azhar memberi saya
gelar kehormatan itu dan sebagai ucapan selamat kembali ke tanah air. Besoknya
saya kembali ke Mesir.
Sampai saya di Mesir, saya hubungilah saudara Raden Hidayat Attase
kebudayaan Republik Indonesia meminta keterangan kepadanya, apakah dia
mengetahui tentang kawat Duta Besar Mesir di Indonesia, Sayid Ali Fahmi
Al-Amrousi itu. Kemudian Duta Besar yang budiman itupun menghubungi saya di
Continental Hotel menyampaikann berita lebih jelas. Yaitu bahwa kepala
Departemen Kebudayaan dari Al-Azhar, Dr. Mohammad Al-Bahay telah memasukkan
usul kepada Majelis Al-Azhar tertinggi, agar salah satu dari pada peraturan
Al-Azhar yang baru disusun, yaitu memberikan gelar-gelar ilmiyah kehormatan
kepada orang-orang yang patut menerimanya, yang belum pernah dilakukan di zaman
yang sudah-sudah, diberikan kepada saya, sebagai orang yang pertama.[15]
9. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Al-Azhar
a.
Kelebihan
Tafsir Al-Azhar
1)
Berbahasa
Indonesia. Sehingga tafsir ini mudah dipahami oleh bangsa Indonesia yang
umumnya kesulitan membaca buku-buku berbahasa Arab.
2)
Tafsir ini
menyajikan pengungkapan kembali teks dan maknanya serta penjelasan dalam istilah-istilah agama
mengenai maksud bagian-bagian tertentu dari teks.
3)
Tafsir ini
dilengkapi materi pendukung lainnya seperti ringkasan surat, yang membantu
pembaca dalam memahami materi apa yang dibicarakan dalam surat-surat tertentu
dari al-Qur’an.
4)
Dalam tafsir
ini juga Hamka berusaha mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya pada hampir
semua disiplin bidang-bidang ilmu agama Islam, ditambah juga dengan
pengetahuan-pengetahuan non keagamaannya yang begitu kaya dengan informatif.[16]
5)
Dalam
penyajiannya Hamka terkadang membicarakan permasalan, antropologi, sejarah;
seperti ketika menafsirkan lafad “Allah” ia mengaitkan dengan sejarah Melayu
dengan mengutip sebuah tulisan klasik yang terdapat pada batu kira-kira ditulis
pada tahun 1303, atau peristiwa-peristiwa kontemporer. Sebagai contoh ketika ia
menafsirkan tentang pengaruh orientalisme terhadap gerakan-gerakan kelompok
nasionalis di Asia pada abad ke-20.
b.
Kekurangan
Tafsir Al-Azhar
1)
Dalam
menyebutkan hadits kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya.
2)
Hamka dalam
melakukan penterjemahan menggunakan penterjemahan harfiah. Terjemhan seperti
itu terkadang membuat terjemahan kurang jelas dan sulit ditangkap maksudnya
secara langsung.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Hamka di
Indonesia bahkan di mancanegara di kenal sebagai seorang mufassir salah satu
karyanya adalah tafsir al-Azhar yang menjadi karya manumental dari
seluruh karyanya. Tafsir al-Azhar pada mulanya merupakan materi yang di
sampaikan dalam acara kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di masjid Agung
al-Azhar Kebayoran, Jakarta sejak tahun 1959. Yang kemudian dirampungkan di
dalam tahanan selama 2 tahun 4 bulan ketika beliau difitnah oleh pemerintah
pada masanya melakukan makar terhadap pemerintahan indonesia.
2.
Pendekatan
tafsir yang kami maksud disini juga seringkali menggunakan istilah Sumber
Penafsiran, dalam hal ini Prof. Dr.Hamka dalam tafsirnya menggunakan pendekatan
tafsir bi al-Ma’sur sebagaimana yang beliau jelaskan sendiri dalam
pendahuluan tafsirnya bahwa al-Qur’an terbagi kedalam tiga bagian besar (fiqhi,
Aqidah dan Kisah) yang menjadi keharusan (bahkan wajib dalam hal fiqhi dan
akidah) untuk disoroti oleh sunnah tiap-tiap ayat yang ditafsirkan tersebut.
3.
Metode penafsiran Berdasarkan penelusuran
pemakalah, tafsir al-Azhar karya Prof. Dr.Hamka menggunakan metode Tahlili dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan Corak
Penafsiran corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab
al-ijtima’i yang nampak terlihat dari latar belakang Hamka sebagai seorang
sastrawan dengan lahirnya novel-novel karya beliau sehingga beliau berupaya
agar menafsirkan ayat dengan bahasa yang dipahami semua golongan dan bukan Cuma
ditingkat akademisi atau ulama, disamping itu beliau memberikan penjelasan
berdasarkan kondisi sosial yang sedang berlangsung (pemerintahan orde lama) dan
situasi politik kala itu.
DAFTAR
PUSTAKA
At-Tuwaijir,
Ibrahim bin Muhammad Syaikh, 1993. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT.
Ikhtiar Baru Van Hoeve
al-Zahabi,
Husen Muhammad, 1992. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jakarta: Pustaka
Panjimas
juz. III
Hamka, 1982.Tafsir
Al-Azhar Jilid I, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka, 1983.Kenang-Kenangan
70 Tahun Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hamka, 1970.Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pembimbing Masa, Dalam
Kata Pengantar VII
Hamka, 1982.Mensyukuri
Tafisr Al-Azhar, Tafsir Al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas
Hamka, 1966.Tafsir
Al-Azhar, Jakarta: Yayasan Nurul Islam.
Hamka, 1982.Tafsir Al-Azhar Jilid I-XV Juz I-XXX,
Jakarta:Pustaka Panjimas.
Hamka, 1986.Tafsir Al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka
Panjimas)
http://Yahya.Bukansekedaropinibiasa/Metode/Tafsir/Al-Azhar.htm diakses tanggal 23 okt 2014 jam
19.04
Marzuki, Fathullah, Artikel Islamic Science Manhaj Tafsir AL-AZHAR.htm. dikutip
tanggal 24 okt 2014 jam 08.58
Shihab Alwi, 1998. Membendung
Arus Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
Bandung: Mizan.
Yusuf, Yunan Muhammad,
1990. Corak Pemikiran Kalam
Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
[1]Hamka, Tafsir
Al-Azhar Jilid I. (1982, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 1-2
[2]Hamka, Kenang-Kenangan
70 Tahun Buya Hamka, (1983, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 102
[3]Alwi Shihab, Membendung
Arus Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia,
(1998, Bandung: Mizan), h. 75
[5] Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (1966, Jakarta: Yayasan Nurul Islam), h. 43-47
[6]Syaikh Muhammad
bin Ibrahim At-Tuwaijir, Ensiklopedi Islam, (1993, Jakarta: PT. Ikhtiar
Baru Van Hoeve),
h. 77
[7] Hamka, Tafsir
Al-Azhar (1970, Jakarta: Pembimbing Masa), Dalam Kata Pengantar VII
[8] Muhammad Yunan
Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (1990, Jakarta: Pustaka
Panjimas), h. 53
[10] Hamka, Mensyukuri
Tafisr Al-Azhar, Tafsir Al-Azhar Juz I,(1982, Jakarta: Pustaka Panjimas),
h. 50-58
[11]http://Yahya.Bukansekedaropinibiasa/Metode/Tafsir/Al-Azhar.htm diakses tanggal 23 okt 2014 jam 19.04
[12] Hamka, Tafsir
Al-Azhar Jilid I-XV Juz I-XXX, (1982, Jakarta:Pustaka Panjimas), h. 27-28
[13]Fathullah Marzuki, Artikel Islamic Science Manhaj Tafsir AL-AZHAR.htm. dikutip
tanggal 24 okt 2014 jam 08.58
[14]Hamka, Tafsir
Al-Azhar Juz I, ( 1986, Jakarta: Pustaka Panjimas), h. 55-57
[15]Muhammad Husen
al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (1992, Jakarta: Pustaka Panjimas
juz. III ), hlm. 213.
[16] Fakhruddin
Faiz. 2002.Hermeneutika Qur’ani; Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi,
(melacak Hermeneutika Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Manar.Yogyakarta: Qolam.Hlm.
73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar