Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH HERMENEUTIKA DALAM TAFSIR AL-QUR’AN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’anul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikan Al-Qur’an itu kepada sahabatnya sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apaila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya pada Rasulullah.
Akhir-akhir ini, dikalangan kaum muslimin tertama kaum modernis telah banyak memanfaatkan hermeneutika sebagai salah satu instrument untuk menggali isi dan kandungan al-Qur’an. Penggunaan ilmu tersebut dalam penafsiran al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai komplemen dan ada pula yang menempatkannya sebagai sublemen.
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam Al-Qur’an, jelas membuktikan adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis (penafsiran) dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an, pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemikiran kitab suci itupun semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan hermeneutic ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sacral dan semua ayat bisa dipahami. berangkat dari latar belakang di atas, maka dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang pendekatan hermeneutika dalam tafsir.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hermeneutika?
2.      Bagaimana sejarah hermeneutika?
3.      Bagaimana pendekatan hermeneutika?
4.      Bagaimanakah hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an?

C.    Tujuan
1.      Untuk mendeskripsikan pengertian hermeneutika.
2.      Untuk mendeskripsikan sejarah hermeneutika.
3.      Untuk mendeskripsikan pendekatan hermeneutika.
4.      Untuk mendeskripsikan hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an.


 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya tafsir.[1] Secara etimologis,  hermeneutika yang dalam bahasa Inggrisnya adalah Hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan Yunani kuno, seperti yang digunakan oleh Aristoteles dalam sebuah risalahnya yang berjudul peri Hermeneias (tentang penafsiran). Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup dari para penggagasnya.[2]
Sedangkan menurut terminologis, kata hermeneutika ini bisa di definisikan sebagai tiga hal berikut[3]:
1.      Mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2.      Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh si pembaca.
3.      Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Secara ringkas, hermeneutika biasa diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Secara lebih luas, hermeneutika di definisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.[4]
Dalam definisi yang agak berbeda, Haber mas menyatakan hermeneutika sebagai suatu seni memahami makna komunikasi linguistik dan menafsirkan simbol yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak di alami, kemudian di bawa ke masa sekarang.[5]
Dengan demikian, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat di mengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul.[6]
Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya yang muncul dari keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika. Gambaran kronologis perkembangan terhadap hermeneutika ini oleh Richad E. Palmer dibagi dalam enam kategori yaitu: (1) Teori  eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.[7]
B.     Sejarah Hermeneutika
Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad Dannhauer pada sekitar abad ke-17 dengan dua pengertian yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl Braathen merupakan filosof yang mengkomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dan menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung aturan-aturan metodologis untuk di aplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.[8]
Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial. Seorang protestan, F.D.E. Schleiermacher lah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga apa saja yang berbentuk teks bisa menjadi objek hermeneutika, oleh karena itu, dia dianggap sebagai filosof yang membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebagai metode interpretasi yang tidak hanya terbatas pada teks kitab suci, tetapi juga pada seni, sastra, dan sejarah. Selanjutnya, hermeneutika dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Whilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, lalu Hans Georg Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean Baudrillard dan seterusnya.[9]
Pada prinsipnya, diantara para filosof tersebut terdapat beberapa kesamaan pemikiran, terutama dalam hal bagaimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tetapi, diantara mereka juga terdapat perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Perbedaan tersebut terjadi karena pada dasarnya mereka menitikberatkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.[10]
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan” berbagai bidang kajian keilmuan, maka dengan melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks sebagaimana dikemukakan Trigg[11]:
The paradigm for her meneutics is the interpretation of a traditional text, where the problem must always be how we can come to under stand in our own context something which was written in a radically different situation.
Menurut Howard, hermeneutika tidak muncul tiba-tiba sebagai suatu daftar khusus dalam khazanah ilmu pengetahuan, tetapi merupakan suatu subdisiplin teologi yang sudah muncul sangat-sangat awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh. Sebab, tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja hermeneutika telah diperluas maknanya. Teks bukan lagi semata merujuk kepada pengertian teks ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks lain. Bahkan definisi teks dalam perkembangan hermeneutika lebih lanjut juga kian meluas, bukan lagi teks tertulis tetapi juga lisan dan isyarat-isyrat dengan bahasa tubuh. Karena itu, sikap diam seseorang misalnya, juga bisa di anggap sebagai teks, karena mengandung banyak interpretasi.[12]
Maulidin, berupaya menggambarkan evolusi gagasan hermeneutika dengan mengacu kepada tema-tema garapannya. Pada awal perkembangannya, sekitar awal abad pertengahan, hermeneutika digagas sebagai praksis murni yang menggarap tema keagamaan. hermeneutika pada tahap ini, lebih merupakan piranti penafsir ayat suci (eksegesis), khususnya Bibel. Perkembangan tahap kedua dari gagasan hermeneutika tampak dari semakin dibutuhkannya metodologi, tidak hanya untuk menggarap tema-tema keagamaan tetapi juga tema-tema kemanusiaan (humaniora). Pertanyaan hermeneutika yang di angkatpun juga bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam kitab suci seperti Bibel dan bagaimana menerjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh manusia modern.[13]
Menurut Inyiak Ridwan Munir dalam bukunya hermeneutika filosofis Hans George Gadamer, sejarah hermeneutika di bagi menjadi tiga zaman[14]:
1.      Hermeneutika di zaman klasik
Istilah hermeneutika pertama kali diperkenalkan ke dalam kebudayaan barat (Eropa) dalam bentuk kata latin hermeneutica oleh seorang teolog dari Strasbourg bernama Johann Dannhauer. Danhauer memakainya dalam pengertian disiplin yang diperlukan setiap ilmu yang mendasar keabsahannya pada teks. Pengertian ini senada dengan semangat zaman Renaissance yang ingin menghidupkan kembali kearifan kuno dengan menyusuri teks-teks klasik. Agaknya, inspirasi pengambilan kata ini berasal dari risalah Aristoteles Peri Hermeneias.
Sementara itu, sejarawan hermeneutika modern pertama, Wilhelm Dilthey, menyatakan bahwa istilah ini muncul abad ke-16, seabad sebelum Danhauer, di bawah terang semangat sola scriptura Protestanisme. Pengikut Luther yang pertama kali mengemukakan hermeneutika sebagai teori penafsiran teks bibel dan sekaligus respons terhadap keteguhan Katolikisme yang berpegang pada otoritas gereja dalam menafsirkannya adalah Philip Melanchton dalam risalahnya tentang retorika pada tahun 1519 dan Matthias Flacius dalam  buku Clavis scripture sacrae tahun 1967. Secara metodologis, Flacius menekankan pentingnya pengetahuan gramatika bahasa, atau sekarang yang kita sebut Linguistik, serta beberapa kaidah penafsiran ungkapan-ungkapan musykil dari kitab suci yang dipinjam dari tradisi retorika dan dari risalah hermeneutis Dedoctrina christiana, karangan Santo Agustinus.
Sepintas, hermeneutika tampaknya berasal dari tradisi pengetahuan keagamaan, utamanya tradisi Kristiani. Namun perlu di ingat bahwa kata hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, beberapa abad sebelum dia menjelma jadi kata latin di dunia Barat abad pertengahan.
Menurut Danhauer di abad ke 17 ada dua jenis ilmu paling dasar, logika dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan kita dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sementara itu, untuk mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, diperlukan ilmu jenis lain yaitu hermeneutika.
2.      Hermeneutika di zaman pertengahan
Seperti disinggung di atas, istilah hermeneutika jadi baku di Eropa abad ke-17. Istilah ini berarti sebuah disiplin yang diperlukan untuk menafsirkan kitab suci bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat perbedaan dua pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah Eropa: katolik sebagai pemegang status quo dan protestanisme sebagai pembawa gerbong pembaruan. Diwilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman kristiani lahir, bahwa bibel mestinya selalu ditafsirkan dan dijelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang terlatih dan punya otoritas sakral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang digawangi oleh Martin Luther menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala memang sama berbulu, namun pendapat apa yang disebutkan bibel boleh saja berbeda-beda. Manusia yang punya iman dan mau membaca kitab sucilah yang berhak menafsirkan kandungannya.
3.      Hermeneutika di zaman modern
Paul Ricouer mengistilahkan dengan hermeneutika regional. Dengan istilah ini, Ricouer memaksudkan hermeneutika yang baru berada di satu wilayah tertentu seperti teks keagamaan, teks pada umumnya, atau hanya pada persoalan dialog tatap muka, seperti yang ada dalam teori retorika. Mengingat fakta ini, tidak heran jika muncul dua gerak yang cenderung sejalan. Pertama, gerak untuk mengangkat hermeneutika regional tadi menjadi hermeneutika universal. Gerak ini disebut Ricoeur dengan de-regionalisasi. Namun pada saat bersamaan, de-regionalisasi baru menjadi mungkin ketika di dalam hermeneutika dilakukan usaha-usaha untuk memberinya status epistemologis yang sama dengan ilmu-ilmu dan kemudia mengangkatnya ke level ontologis. Kedua, usaha untuk menundukkan hermeneutika bukan hanya sekedar cara mengetahui, akan tetapi sebagai cara mengada. Gerak ini disebut radikalisasi, sehingga hermeneutika tidak hanya menjadi umum, tetapi juga sekaligus fundamental.
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk menafsirkan berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci.
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci, keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an menunjukkan betapa daya Tarik hermeneutika memang luar biasa. Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan sampai kepada manusia.[15]
Sebenarnya term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang. Sementara itu, istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini- kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern- mulai popular beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an: Pluralism dan Liberation, praktik hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu adalah:
1.      Problematika hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh mansukh.
2.      Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap Al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir.
3.      Tafsir traditional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi’ah, tafsir Mu’tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horizon-horison tertentu dari tafsir.
Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan historisitas pemahaman yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu, meskipun tidak disebut secara definitif, dapat dikatakan corak hermeneutik yang berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki bibit-bibitnya dalam ulumul Qur’an klasik.
Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Al-Qur’an bisa dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim; seperti di India dikenal Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti mengenai mukjizat dan hal-hal ghaib.
Dalam dekade 1960-1970-an, muncul tokoh-tokoh yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hasan Hanafi mempublikasikan tiga karyanya yang bercorak hermeneutik; yang pertama berkaitan dengan upaya rekonstruksi ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan hermeneutika fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, dan yang ketiga, berhubungan dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsiran perjanjian baru. Muhammed Arkoun dari Aljazair menelorkan idenya mengenai car abaca semiotic terhadap Al-Qur’an, dan Fazlur Rahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematik terhadap Al-Qur’an dan dikenal sebagai double movement.
Dewasa ini, telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melakukan kritik historis dan linguistic yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan yang menyangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalangan outsider maupun dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara tulisan-tulisan tersebut diantaranya adalah Qur’anic Hermeneutic:  The Views Of al-Tabari and Ibn Katsir karya Jane Mc Auliffe yang menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horizon sosialnya, lalu tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta’wil dalam tradisi keilmuan Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr Hamid Abu Zayd yang dengan intensif menggeluti kaian hermeneutik dlam tafsir klasik.
C.    Pendekatan Hermeneutika
1.      Model-model Hermeneutika
Secara sederhana, hermeneutika di artikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih jelas, hermeneutika di artikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan. namun, dalam perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya seni, maupun tradisi masyarakat.
Selanjutnya sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama, hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Emilio Betti (1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak di dasarkan atas kesimpulan kita melainkan di turunkan dan bersifat intruktif.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikemangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques Derida (1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang di maksud si penulis seperti yang di asumsikan model hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan subjektif.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (1935) dan Farid Esack (1959). Hermeneutika ini sebenarnya di dasarkan atas pemikiran hermeneutika subjektif khususnya dari Gadamer. Namun menurut tokoh hermeneutika pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dengan kaitannya dengan al-Qur’an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada pemikiran manusia.[16]
2.      Pendekatan Hermeneutika
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. horizon yang dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca.[17]
a.       Horizon teks
Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah  metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar Sejarah peradaban arab Islam  adalah sejarah peradaban teks (Khadarat al-nash) artinya, itu merupakan peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks. Oleh karena itu dalam pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas seperti menulis, membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga dengan al-Qur’an, bahasa (teks) menjadi salah satu faktor penting dalam memahami al-Qur’an maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Qur’an maupun sendiri menggunakan bahasa arab sebagai alat komunikasi yang di pakainya.
Menyadari pentingnya teks ini, maka langkah pertama dalam menafsirkan al-Qur’an adalah memahami teksnya yang berbahasa arab. Dengan memahami bahasa arab, seorang penafsir akan memiliki bekal awal untuk memahami makna, hikmah maupun hokum al-Qur’an secara tepat. Oleh karena itu dari sudut teks ini terdapat tiga aspek yang harus di pahami, yakni; pertama, dalam teks maksudnya, ide dan maksud  teks tersebut lepas dari pengarang. Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil kristalisasi linguistik dari realitas yang mengitarinya. Ketiga, di depan teks, makna baru yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya untuk memahami teks tersebut.[18]
b.      Horizon pengarang
Ketika pengarang ( Author ) al-Qur’an adalah Tuhan yang transenden dan ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw. Yang diyakini umat Islam sebagai penafsir otoritatif atas al-Qur’an. Relasi Muhammad dan al-Qur’an dengan relasi historis ini dapat dilihat beberapa hal berikut. Pertama tema-tema yang diusung al-Qur’an seperti doktrin monoteisme, keadilan sosial, ekonomi, merupakan bagian pengalaman religious Muhammad yang orisinil. Kedua reformasi yang dilakukan nabi selalu dimulai dengan mempersiapkan dahulu landasan yang kuat sebelum memperkenalkan suatu tindakan atau perubahan yang besar. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, Nabi belum memiliki kekuasaan untuk bertindak dalam sector legislasi umum. Setelah tinggal di Madinah dan memiliki wewenang administrasi dan politik nabi baru membuat hokum-hukum. Ketiga al-Qur’an selalu mempunyai konteks sosial ( asbab al-nuzul ). Karena Muhammad hidup dan berinteraksi dengan masyarkat Arab, maka menjadi keharusan bagi penafsir yang ingin memahami al-Qur’an untuk memahami pula dimensi historis-sosiologis yang menyertai masyarakat arab itu. Dengan demikian, untuk menangkap makna al-Qur’an secara komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad yang merupakan penjabaran al-Qur’an pada tingkat actual harus dipahami secara utuh.  Dari narasi tersebut ada proses terciptanya sebuah teks; a) tahapan pengalaman atau gagasan yang belum termasukkan ( Prafigurasi ), b) ketika author mulai menciptakan gagasannya ( konfigurasi ), c) tahap teks yang sudah di ciptakan dan di tafsiri banyak orang (Transfigurasi ).[19]
c. Horizon Pembaca
Selain situasi sosial pada masa Nabi, situasi sosial masyarakat kontemporer , yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Qur’an dalam kasus actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang membentuk situasi masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang lain, lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian menentukan prioritas-prioritas baru untuk biasa menerapkan al-Quran secara baru pula.    Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah sangat berbeda di bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman Nabi, lebih-lebih setelah arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki dunia Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa benua yang terdiri dari berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Perubahan politik ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang lain. Perkembangan modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung tema-tema seperti demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi style dan pola pikir masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam sendiri terjadi transformasi sosial, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi maupun sistem nilai. [20]
Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yakni teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.[21]
Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap suatu teks keberadaan konteks di seputar teks tersebut tidak bisa dinafikkan. Sebab, justru konteks yang menentukan apa makna teks; bagaimana teks harus di baca, dan seberapa jauh teks harus dipahami. Teks yang sama dalam waktu yang sama dapat memiliki makna yang berbeda di mata penafsir yang berbeda; bahkan seorang penafsir yang sama sekalipun dapat memberikan pemaknaan teks yang sama secara berbeda-beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di sini fokus perhatian hermeneutika sebagai metode menafsir teks.[22]
Hermeneutika menempatkan bahasa sebagai bagian sangat penting dalam kajiannya. Sebab, bahasa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Manusia berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya seni dan sebagainya melalui bahasa. Habermas sebagaimana dikutip Wolff mengatakan bahwa untuk memahami makna hanya bisa diperoleh melalui pemahaman bahasa. Sedangkan Gadamer dengan jelas dan tegas menyatakan peran penting bahasa seagai pusat untuk memahami dan pemahaman manusia.[23]
D.    Hermeneutika dalam Tafsir AL-Qur’an
1.      Pro Kontra Hermeneutik[24]
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan hermeneutika dalam kajian al-Qur’an menjadi kontroversial dikalangan umat muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit mengapa sebagian dari kalangan muslim menerima dan menolak hermeneutik dalam mengkaji al-Qur’an.
Ada beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan muslim yang menolak hermeneutika sebagai salah satu teori dan metode penafsiran dalam al-Qur’an, diantaranya adalah:
a.       Berangkat dari sejarah hermeneutika yang berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap sebagai sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal ini menemukan relevansinya dalam kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik bagi kalangan muslim, karena ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan pertentangan yang cukup tajam di dalam teks  dapat didamaikan dengan hermeneutik. Bagi penolak hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah karena diyakini sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi dan bukan perkataan Muhammad.
b.      Hermeneutika dalam hal ini adalah teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi. Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika tidak dapat diterapkan atas al-Quran.
c.       Tafsir al-Quran yang diterima oleh jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah berbahasa Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika, interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana kedua faktor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian faktor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
d.      Tafsir dianggap lebih mempunyai pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir. Sementara itu bible dianggap bermasalah dengan persoalan otentisitas, sehingga penggunaan hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi kemudian ketika hermeneutika mulai diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.
Keempat hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim menolak hermeneutika secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir al-Qur’an. Ada ketakutan akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an ditafsirkan secara hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai metode-metode tafsir yang telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama terdahulu, tanpa bersusah payah membuat metode baru. Disini metode tafsir al-Qur’an yang sudah ada dianggap sudah final dan tidak perlu dikembangkan. Istilah hermeneutik sendiri juga dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam kamus arab atau Islam terutama bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga apapun yang berbau barat akan ditolak secara mentah-mentah.
Bagi kalangan yang pro terhadap hermeneutik, mereka melihat hermeneutik sebagai jawaban atas keterpurukan umat muslim karena persoalan dan kemunduran yang terjadi dalam masyarakat muslim saat ini persoalan terhadap penafsiran baik terhadap al-Qur’an maupun hadis. Sehingga diperlukan perangkat-perangkat dan metode-metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu saja hermeneutika tidak akan merubah al-Qur’an atau mendesakralisasi al-Qur’an tetapi justru hal ini akan membawa penyegaran dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga al-Qur’an menjadi lebih kontekstual dan bermakna dalam setiap zaman.
Istilah hermeneutika memang tidak dikenal dalam sejarah keilmuan Islam, tetapi sebenarnya praktek hermeneutika telah dilakukan oleh kalangan muslim sejak lama. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Farid Esack dalam bukunya Membebaskan yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralism,dimana hal itu dibuktikan, pertama, problematika hermeneutik senantiasa dikaji dan dialami meski tidak dihadapi secara tematis, seperti kajian mengenaiasbabun-nuzul dan nasikh mansukhKedua, perbedaan antara tafsiran aktual dengan aturan, metode, atau teori interpretasi yang mengaturnya, sudah ada dalam literatur awal tafsir. Ini disistematisasikan dalam prinsip-prinsio tafsir dan ketiga, tafsir tradisional telah di kategorisasi. Beberapa kategori seperti syi’ah, mu’tazilah, ‘Asy’ariyah, dan sebagainya menunjukkan afiliasi ideology, periode, dan aspek historis si penafsir.
Namun demikian, meskipun dalam tradisi Islam telah mempraktekkan hermeneutik, tetapi sedikit sekali karya tafsir yang bersifat historis-kritis tentang hubungan antara aspek sosial si penafsir dengan tafsirannya, serta tentang asumsi-asumsi sosiopolitis dan filosofis eksplisit dan implisit yang mendasari kecenderungan teologisnya, hal-hal yang merupakan fokus utama dalam hermeneutika kontemporer.
Apa yang telah dijelaskan oleh Farid Esack ini sebenarnya adalah merupakan bantahan bahwa tradisi hermeneutik adalah bukanlah semata-mata merupakan produk keilmuan barat. Meski dalam kenyataanya memang demikian tetapi sebenarnya dalam Islampun akar-akar hermeneutik bukanlah sesuatu yang asing sama sekali karena memang bisa di dapatkan dalam tradisi Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Sehingga penolakan terhadap hermeneutik yang hanya mendasarkan bahwa hermeneutik merupakan metode asing yang coba dipaksakan di dalam kajian al-Qur’an dianggap terlalu berlebihan.
Lebih lanjut ketakutan para penolak hermeneutik yang menganggap penggunaannya (baca hermeneutik) akan menyamakan al-Qur’an dengan teks-teks yang lain termasuk kitab suci agama lain tidak perlu terjadi. Hal ini karena setiap umat beragama memiliki hermeneutika sendiri sebagaimana masing-masing memiliki kitab sucinya sendiri. Sehingga ada hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika bible, hermeneutika Upanishad, yang memiliki kekhasan masing-masing yang tidak dimiliki oleh lainnya. Diantara yang berpengaruh dalam penentuan perbedaan antara masing-masing hermeneutika kitab suci adalah hakekat teks atau kitab suci itu sendiri, baik secara historis, teologis, dan linguistik. Dari sini kemudian kitab seci sebagai obyek penafsiran sangatlah menentukan metodologi penafsiran yang dipergunakan. Meskipun metodologi ini ditentukan juga oleh subyek yang menafsirkan tetapi cara pandang subyek terhadap obyek (penafsir terhadap kitab suci), akan sangat berpengaruh terhadap hermeneutika yang diterapkannya. Disinilah kemudian hermeneutika al-Qur’an jelas tidak akan sama dengan hermeneutika bible ataupun hermeneutika teks yang lain, karena al-Qur’an dipandang sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad untuk semua manusia di segala zaman dan bukan hanya eksklusif bagi zaman Muhammad. Al-Qur’an yang ada sekarang ini juga diyakini sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi.  Selain itu bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an yakni bahasa Arab dimana penerjemahannya kedalam bahasa lain tetap tidak akan mendapatkan status yang sama dengan al-Qur’an. Hal-hal yang telah disebutkan tersebut tentunya akan membawa hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan hermeneutika teks yang lain.
Selain itu hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an ini baru berfungsi setelah Nabi Saw menyampaikan wahyu tersebut. Hermeneutika tidak berurusan dengan sifat hubungan antara Tuhan dan Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut, melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah dan disampaikan dari satu manusia kepada manusia lain. Dengan demikian hermeneutika melihat kata-kata tersebut bukan dalam dimensi vertikalnya, tetapi dalam dimensi horizontalnya.


 
BAB III
ANALISIS

Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad Dannhauer pada sekitar abad ke-17. Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial.
Setelah mengetahui definisi hermeneutika, manfaat, sejarah perkembangannya, dan aplikasinya serta perbandingan dengan tafsir Al Qur’an dalam Islam, di penghujung makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa hermeneutika mempunyai latar belakang dan metode yang berbeda bahkan cenderung bertentangan dengan karakter al- Quran, tafsir, serta pandangan hidup Islam.Hermeneutika lebih mengutamakan rasio/ akal, dan mencurigai segala sesuatu sehingga membutuhkan riset untuk membuktikan kebenaran. Sedangkan dalam Islam rasio bukanlah sumber utama, melainkan wahyu. Hermeneutika lebih cocok untuk teks-teks di luar Al Qur’an, yaitu teks-teks yang diragukan keotentikannya dan teks-teks yang saling berbenturan satu sama lain, sedangkan Al Qur’an tidak. Jika kita menerima Hermeneutika dalam penafsiran al Quran maka akan muncul sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al Quran


 
BAB IV
KESIMPULAN

Hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat di fahami dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Objek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul
Term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang. Sementara itu, istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini- kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern- mulai popular beberapa dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer.
Model hermenetika adalah pertama, hermeneutika Objektif, kedua, hermeneutika subjektif, dan ketiga, hermeneutika pembebasan. Selain model, ada juga beberapa pendekatan yaitu horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca.
Pandangan hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an setiap tokoh berbeda-beda. Dalam menafsirkan teks, Hasan Hanafi memberikan solusi, yaitu tafsir kesadaran (hermeneutika pembebasan) tematik, yang memposisikan al-qur’an agar mendeksripsikan manusia, hubungannya antar sesama,tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial danpolitik dan mengajukan alternatif melalui metode analisis pengalaman yangmembawa kepada makna teks bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan teori double movement Fazlur Rahman merupakan teori yang terdiri dari dea gerakan yaitu yang khusus dan umum. Artinya, sebelum seseorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus mengetahui terlebih dahulu arti yang di kehendaki secara tekstual dalam suatu ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya baik yang di sebutkan secara eksplisit maupun emplisit.

DAFTAR PUSTAKA

Muzir, Inyiak Ridwan. 2010.Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika Qur’ani: antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.
            Yogyakarta: PT Qalam.
Faiz, Fakhruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: tema-tema kontroversial. Yogyakarta: Elsaq Press.
Wijaya, Aksin. 2009.Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: kritikideologis hermeneutis.
            Yogyakarta: LKiS.
Rahardjo, Mudjia.  2008. Dasar-dasar Hermeneutika: antara intensionalisme & Gadamerian.
            Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur. Malang: UIN Maliki Press.
Husaini Adian & Abdurrahman Al-Baghdadi. 2007. Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
Richard E. Palmer. 2005. Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Terj Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurdi dkk. 2010. HermeneutikaAl-Qur’an dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press.



[1] Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm 7.
[2] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutiaka antara Intensionalisme & Gadamerian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm 27.
[3] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani antara Teks, Konteks, dan kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm 22.
[4] Fakhruddin Faiz,  hlm 22.
[5] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,(Malang: Uin Maliki Press, 2010), hlm 88.
[6] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: kritik ideologis hermeneutis, (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009), hlm 23.
[7] Richard E. Palmer, Hermeneutika: teori baru mengenai interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 38
[8] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 89.
[9] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 89.
[10] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 89.
[11]Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutiaka antara Intensionalisme & Gadamerian,  hlm30
[12]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 93.
[13] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 93.
[14] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 61.
[15] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: tema-tema kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005). Hlm 11.
[16] Erik Sabti Rahmawati, Perbandingan Hermeneutika dan Tafsir, www.nitro PDF Profesional, hlm 1
[17] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 90.

[18] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka metodologi, Makalah Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, 2013), hlm 10.
[19] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka metodologi, hlm 10
[20] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka metodologi,  hlm 11
[21]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 90.
[22]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 90.
[23]M udjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur,  hlm 90.
[24] Zunlynadia, signifikansi-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-kontemporer-sebuah-pengantar, http://zunlynadia.wordpress.com diakses 30-09-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar