BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’anul karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya
selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada
Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap
menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW
menyampaikan Al-Qur’an itu kepada sahabatnya sehingga mereka dapat memahaminya
berdasarkan naluri mereka. Apaila mereka mengalami ketidakjelasan dalam
memahami suatu ayat, mereka menanyakannya pada Rasulullah.
Akhir-akhir ini, dikalangan kaum muslimin tertama kaum modernis telah
banyak memanfaatkan hermeneutika sebagai salah satu instrument untuk menggali
isi dan kandungan al-Qur’an. Penggunaan ilmu tersebut dalam penafsiran
al-Qur’an ada yang menempatkannya sebagai komplemen dan ada pula yang
menempatkannya sebagai sublemen.
Munculnya berbagai pendekatan baru dalam Al-Qur’an, jelas membuktikan
adanya dinamika pada diri umat Islam dalam upaya memahami universalitas kitab
sucinya. Hermeneutika misalnya, merupakan salah satu pendekatan eksegesis
(penafsiran) dalam diskursus ulum al-Qur’an yang banyak mendapat sorotan para
pemerhati al-Qur’an.
Sejak hermeneutika menjadi bagian dari upaya pemahaman atas al-Qur’an,
pemikiran-pemikiran yang muncul terkait dengan pemikiran kitab suci itupun
semakin progressif. Hal yang kemudian menjadi sangat menarik dalam pendekatan
hermeneutic ini adalah ketika teks tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang sacral
dan semua ayat bisa dipahami. berangkat dari latar belakang di atas, maka dalam
makalah ini, penulis akan membahas tentang pendekatan hermeneutika dalam
tafsir.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hermeneutika?
2. Bagaimana sejarah hermeneutika?
3. Bagaimana pendekatan hermeneutika?
4. Bagaimanakah hermeneutika dalam tafsir
al-Qur’an?
C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan pengertian
hermeneutika.
2. Untuk mendeskripsikan sejarah hermeneutika.
3. Untuk mendeskripsikan pendekatan
hermeneutika.
4. Untuk mendeskripsikan hermeneutika dalam
tafsir al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya tafsir.[1]
Secara etimologis, hermeneutika yang
dalam bahasa Inggrisnya adalah Hermeneutics, berasal dari kata Yunani
hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan
“penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah
literatur peninggalan Yunani kuno, seperti yang digunakan oleh Aristoteles
dalam sebuah risalahnya yang berjudul peri Hermeneias (tentang penafsiran).
Lebih dari itu, sebagai sebuah terminologi, hermeneutika juga bermuatan
pandangan hidup dari para penggagasnya.[2]
Sedangkan menurut terminologis, kata
hermeneutika ini bisa di definisikan sebagai tiga hal berikut[3]:
1. Mengungkapkan pikiran seseorang dalam
kata-kata, menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.
2. Usaha mengalihkan dari suatu bahasa asing yang
maknanya gelap tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh
si pembaca.
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang
jelas, diubah menjadi bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Secara ringkas, hermeneutika biasa diartikan sebagai proses mengubah
sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi tahu dan mengerti. Secara lebih
luas, hermeneutika di definisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan
dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan
kebingungan bagi pendengar atau pembaca.[4]
Dalam definisi yang agak berbeda, Haber mas menyatakan hermeneutika
sebagai suatu seni memahami makna komunikasi linguistik dan menafsirkan simbol
yang berupa teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti
dan maknanya, dimana metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan
masa lampau yang tidak di alami, kemudian di bawa ke masa sekarang.[5]
Dengan demikian, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya
yang lalu dapat di mengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Objek
kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan
variabelnya. Tugas utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang
mengatur struktur kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan
memungkinkan makna itu muncul.[6]
Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perkembangan dan
perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya yang muncul dari keragaman
pendefinisian dan pemahaman terhadap hermeneutika. Gambaran kronologis
perkembangan terhadap hermeneutika ini oleh Richad E. Palmer dibagi dalam enam
kategori yaitu: (1) Teori eksegesis
Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4)
fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan
pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun
iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol.[7]
B. Sejarah Hermeneutika
Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir pertama kali diperkenalkan oleh
seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad Dannhauer pada sekitar abad ke-17
dengan dua pengertian yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip
metodologis penafsiran dan hermeneutika sebagai penggalian filosofis dari sifat
dan kondisi yang tak bisa dihindarkan dari kegiatan memahami. Carl Braathen
merupakan filosof yang mengkomodasi kedua pengertian tersebut menjadi satu dan
menyatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu
kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan
menjadi bermakna secara nyata di masa sekarang sekaligus mengandung
aturan-aturan metodologis untuk di aplikasikan dalam penafsiran dan
asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman.[8]
Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai
gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan kemudian berkembang menjadi
“filsafat penafsiran” kehidupan sosial. Seorang protestan, F.D.E.
Schleiermacher lah yang bertanggung jawab membawa hermeneutika dari ruang biblical
studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga apa saja yang berbentuk teks
bisa menjadi objek hermeneutika, oleh karena itu, dia dianggap sebagai filosof
yang membangkitkan kembali hermeneutika dan membakukannya sebagai metode
interpretasi yang tidak hanya terbatas pada teks kitab suci, tetapi juga pada
seni, sastra, dan sejarah. Selanjutnya, hermeneutika dikembangkan oleh
tokoh-tokoh seperti Whilhelm Dilthey yang menggagas hermeneutika sebagai
landasan bagi ilmu-ilmu kemanusiaan, lalu Hans Georg Gadamer yang mengembangkannya
menjadi metode filsafat yang diteruskan oleh para filosof kontemporer seperti
Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean
Baudrillard dan seterusnya.[9]
Pada prinsipnya, diantara para filosof tersebut terdapat beberapa
kesamaan pemikiran, terutama dalam hal bagaimana hermeneutika jika dikaitkan
dengan studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tetapi, diantara mereka juga
terdapat perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Perbedaan tersebut
terjadi karena pada dasarnya mereka menitikberatkan pada hal yang berbeda atau
beranjak dari titik tolak yang berbeda.[10]
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk “menafsirkan”
berbagai bidang kajian keilmuan, maka dengan melihat sejarah kelahiran dan
perkembangannya, harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah
dalam bidang ilmu sejarah dan kritik teks sebagaimana dikemukakan Trigg[11]:
The paradigm for her meneutics is the
interpretation of a traditional text, where the problem must always be how we
can come to under stand in our own context something which was written in a
radically different situation.
Menurut Howard, hermeneutika tidak muncul tiba-tiba sebagai suatu daftar
khusus dalam khazanah ilmu pengetahuan, tetapi merupakan suatu subdisiplin teologi
yang sudah muncul sangat-sangat awal dalam sejarah peradaban manusia yang
mencakup kajian metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. Namun,
dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran
secara menyeluruh. Sebab, tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja
hermeneutika telah diperluas maknanya. Teks bukan lagi semata merujuk kepada
pengertian teks ajaran agama (kitab suci), tetapi juga mencakup teks-teks lain.
Bahkan definisi teks dalam perkembangan hermeneutika lebih lanjut juga kian
meluas, bukan lagi teks tertulis tetapi juga lisan dan isyarat-isyrat dengan
bahasa tubuh. Karena itu, sikap diam seseorang misalnya, juga bisa di anggap
sebagai teks, karena mengandung banyak interpretasi.[12]
Maulidin, berupaya menggambarkan evolusi gagasan hermeneutika dengan
mengacu kepada tema-tema garapannya. Pada awal perkembangannya, sekitar awal
abad pertengahan, hermeneutika digagas sebagai praksis murni yang menggarap
tema keagamaan. hermeneutika pada tahap ini, lebih merupakan piranti penafsir
ayat suci (eksegesis), khususnya Bibel. Perkembangan tahap kedua dari gagasan
hermeneutika tampak dari semakin dibutuhkannya metodologi, tidak hanya untuk
menggarap tema-tema keagamaan tetapi juga tema-tema kemanusiaan (humaniora).
Pertanyaan hermeneutika yang di angkatpun juga bergeser menjadi bagaimana
menangkap realitas yang terkandung dalam kitab suci seperti Bibel dan bagaimana
menerjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang dipahami oleh manusia
modern.[13]
Menurut Inyiak Ridwan Munir dalam bukunya hermeneutika filosofis Hans
George Gadamer, sejarah hermeneutika di bagi menjadi tiga zaman[14]:
1. Hermeneutika di zaman klasik
Istilah hermeneutika pertama kali
diperkenalkan ke dalam kebudayaan barat (Eropa) dalam bentuk kata latin hermeneutica
oleh seorang teolog dari Strasbourg bernama Johann Dannhauer. Danhauer
memakainya dalam pengertian disiplin yang diperlukan setiap ilmu yang mendasar
keabsahannya pada teks. Pengertian ini senada dengan semangat zaman Renaissance
yang ingin menghidupkan kembali kearifan kuno dengan menyusuri teks-teks
klasik. Agaknya, inspirasi pengambilan kata ini berasal dari risalah
Aristoteles Peri Hermeneias.
Sementara itu, sejarawan hermeneutika modern pertama, Wilhelm Dilthey,
menyatakan bahwa istilah ini muncul abad ke-16, seabad sebelum Danhauer, di
bawah terang semangat sola scriptura Protestanisme. Pengikut Luther yang
pertama kali mengemukakan hermeneutika sebagai teori penafsiran teks bibel dan
sekaligus respons terhadap keteguhan Katolikisme yang berpegang pada otoritas
gereja dalam menafsirkannya adalah Philip Melanchton dalam risalahnya tentang
retorika pada tahun 1519 dan Matthias Flacius dalam buku Clavis scripture sacrae tahun 1967.
Secara metodologis, Flacius menekankan pentingnya pengetahuan gramatika bahasa,
atau sekarang yang kita sebut Linguistik, serta beberapa kaidah penafsiran
ungkapan-ungkapan musykil dari kitab suci yang dipinjam dari tradisi retorika
dan dari risalah hermeneutis Dedoctrina christiana, karangan Santo Agustinus.
Sepintas, hermeneutika tampaknya berasal dari tradisi pengetahuan
keagamaan, utamanya tradisi Kristiani. Namun perlu di ingat bahwa kata
hermeneutika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, beberapa abad sebelum dia
menjelma jadi kata latin di dunia Barat abad pertengahan.
Menurut Danhauer di abad ke 17 ada dua jenis ilmu paling dasar, logika
dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan
kita dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip
rasional yang lebih tinggi. Sementara itu, untuk mengerti apa sesungguhnya yang
dimaksud oleh seseorang, diperlukan ilmu jenis lain yaitu hermeneutika.
2. Hermeneutika di zaman pertengahan
Seperti disinggung di atas, istilah hermeneutika jadi baku di Eropa abad
ke-17. Istilah ini berarti sebuah disiplin yang diperlukan untuk menafsirkan
kitab suci bibel. Khususnya kegunaan hermeneutika ini muncul akibat perbedaan
dua pendapat antara dua golongan Kristen yang muncul di akhir abad tengah
Eropa: katolik sebagai pemegang status quo dan protestanisme sebagai pembawa
gerbong pembaruan. Diwilayah penafsiran dogma-dogma keagamaan, status quo tetap
berpegang pada tradisi yang sudah ada semenjak iman kristiani lahir, bahwa bibel
mestinya selalu ditafsirkan dan dijelaskan kepada gembala awam oleh mereka yang
terlatih dan punya otoritas sakral. Di lain pihak, gerakan reformasi yang
digawangi oleh Martin Luther menganggap hal ini tidak mungkin, karena kepala
memang sama berbulu, namun pendapat apa yang disebutkan bibel boleh saja
berbeda-beda. Manusia yang punya iman dan mau membaca kitab sucilah yang berhak
menafsirkan kandungannya.
3. Hermeneutika di zaman modern
Paul Ricouer mengistilahkan dengan hermeneutika regional. Dengan istilah
ini, Ricouer memaksudkan hermeneutika yang baru berada di satu wilayah tertentu
seperti teks keagamaan, teks pada umumnya, atau hanya pada persoalan dialog
tatap muka, seperti yang ada dalam teori retorika. Mengingat fakta ini, tidak
heran jika muncul dua gerak yang cenderung sejalan. Pertama, gerak untuk
mengangkat hermeneutika regional tadi menjadi hermeneutika universal. Gerak ini
disebut Ricoeur dengan de-regionalisasi. Namun pada saat bersamaan,
de-regionalisasi baru menjadi mungkin ketika di dalam hermeneutika dilakukan
usaha-usaha untuk memberinya status epistemologis yang sama dengan ilmu-ilmu
dan kemudia mengangkatnya ke level ontologis. Kedua, usaha untuk menundukkan
hermeneutika bukan hanya sekedar cara mengetahui, akan tetapi sebagai cara
mengada. Gerak ini disebut radikalisasi, sehingga hermeneutika tidak hanya
menjadi umum, tetapi juga sekaligus fundamental.
Meskipun hermeneutika bisa dipakai sebagai alat untuk menafsirkan
berbagai bidang kajian keilmuan, melihat sejarah kelahiran dan perkembangannya,
harus diakui bahwa peran hermeneutika yang paling besar adalah dalam bidang
ilmu sejarah dan kritik teks, khususnya kitab suci.
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci,
keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci
Al-Qur’an. Menjamurnya berbagai literatur ilmu tafsir kontemporer yang
menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an menunjukkan
betapa daya Tarik hermeneutika memang luar biasa. Hasan Hanafi dalam tulisannya
Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak
sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang
menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat
dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan sampai kepada manusia.[15]
Sebenarnya term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan
interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya
dalam bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam
pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang.
Sementara itu, istilah hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam,
khususnya tafsir Al-Qur’an klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini-
kalau melihat sejarah perkembangan hermeneutika modern- mulai popular beberapa
dekade terakhir, khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga
the rise of education yang melahirkan banyak intelektual muslim
kontemporer. Meski demikian, menurut Farid Esack dalam bukunya Qur’an: Pluralism
dan Liberation, praktik hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat
Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi Al-Qur’an. Bukti dari hal itu
adalah:
1. Problematika hermeneutik itu senantiasa
dialami dan dikaji, meski tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti
dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh mansukh.
2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual
terhadap Al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah
ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk
ilmu tafsir.
3. Tafsir traditional itu selalu dimasukkan
dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi’ah, tafsir Mu’tazilah, tafsir hukum,
tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kesadaran
tentang kelompok-kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode
tertentu, maupun horizon-horison tertentu dari tafsir.
Ketiga hal ini jelas menunjukkan adanya kesadaran akan historisitas
pemahaman yang berimplikasi kepada pluralitas penafsiran. Oleh karena itu,
meskipun tidak disebut secara definitif, dapat dikatakan corak hermeneutik yang
berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya telah memiliki
bibit-bibitnya dalam ulumul Qur’an klasik.
Operasional hermeneutika modern dalam penafsiran Al-Qur’an bisa
dikatakan dirintis oleh para pembaharu muslim; seperti di India dikenal Ahmad
Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi
konsep-konsep dalam Al-Qur’an yang dianggap bersifat mitologis, seperti
mengenai mukjizat dan hal-hal ghaib.
Dalam dekade 1960-1970-an, muncul tokoh-tokoh yang mulai serius
memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hasan Hanafi mempublikasikan tiga
karyanya yang bercorak hermeneutik; yang pertama berkaitan dengan upaya
rekonstruksi ilmu ushul fiqih, yang kedua berkaitan dengan hermeneutika
fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, dan yang
ketiga, berhubungan dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial
dalam kerangka penafsiran perjanjian baru. Muhammed Arkoun dari Aljazair
menelorkan idenya mengenai car abaca semiotic terhadap Al-Qur’an, dan
Fazlur Rahman merumuskan metode hermeneutika yang sistematik terhadap Al-Qur’an
dan dikenal sebagai double movement.
Dewasa ini, telah banyak pemerhati Al-Qur’an yang melakukan kritik
historis dan linguistic yang menjadi ciri khas hermeneutika. Tulisan-tulisan
yang menyangkut bidang ini banyak bermunculan, baik dari kalangan outsider
maupun dari kalangan umat Islam sendiri. Diantara tulisan-tulisan tersebut
diantaranya adalah Qur’anic Hermeneutic:
The Views Of al-Tabari and Ibn Katsir karya Jane Mc Auliffe yang
menekankan pada metode tafsirnya dan sedikit pada horizon sosialnya, lalu
tulisan Azim Nandji yang membahas tentang teori ta’wil dalam tradisi keilmuan
Isma’ili yang banyak membantu dalam kritik sastra, juga Nasr Hamid Abu Zayd
yang dengan intensif menggeluti kaian hermeneutik dlam tafsir klasik.
C. Pendekatan Hermeneutika
1. Model-model Hermeneutika
Secara
sederhana, hermeneutika di artikan sebagai seni dan ilmu untuk menafsirkan
teks-teks yang punya otoritas, khususnya teks suci. Dalam definisi yang lebih
jelas, hermeneutika di artikan sebagai sekumpulan kaidah atau pola yang harus
diikuti oleh seorang mufassir dalam memahami teks keagamaan. namun, dalam
perjalanan sejarahnya, hermeneutika ternyata tidak hanya digunakan untuk
memahami teks suci melainkan meluas untuk semua bentuk teks, baik sastra, karya
seni, maupun tradisi masyarakat.
Selanjutnya
sebagai sebuah metodologi penafsiran, hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk
yang tunggal melainkan terdiri atas berbagai model dan varian. Paling tidak ada
tiga bentuk atau model hermeneutika yang dapat kita lihat. Pertama,
hermeneutika objektif yang dikembangkan tokoh-tokoh klasik, khususnya Friedrick
Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Emilio Betti
(1890-1968). Menurut model pertama ini, penafsiran berarti memahami teks
sebagaimana yang dipahami pengarangnya, sebab apa yang disebut teks, menurut
Schleiermacher, adalah ungkapan jiwa pengarangnya, sehingga seperti juga
disebutkan dalam hukum Betti, apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya
tidak di dasarkan atas kesimpulan kita melainkan di turunkan dan bersifat
intruktif.
Kedua, hermeneutika subjektif yang dikemangkan
oleh tokoh-tokoh modern khususnya Hans Georg Gadamer (1900-2002) dan Jacques
Derida (1930). Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan
makna objektif yang di maksud si penulis seperti yang di asumsikan model
hermeneutika objektif melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu
sendiri. Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada
ide awal si penulis. Inilah perbedaan mendasar antara hermeneutika objektif dan
subjektif.
Ketiga, hermeneutika pembebasan yang dikembangkan
oleh tokoh-tokoh muslim kontemporer khususnya Hasan Hanafi (1935) dan Farid
Esack (1959). Hermeneutika ini sebenarnya di dasarkan atas pemikiran
hermeneutika subjektif khususnya dari Gadamer. Namun menurut tokoh hermeneutika
pembebasan ini, hermeneutika tidak hanya berarti ilmu interpretasi atau metode
pemahaman tetapi lebih dari itu adalah aksi. Menurut Hanafi, dengan kaitannya
dengan al-Qur’an, hermeneutika adalah ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai
kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga transformasi wahyu dari pikiran
Tuhan kepada pemikiran manusia.[16]
2. Pendekatan Hermeneutika
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang
teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari
itu, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan
horizon-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. horizon yang
dimaksud adalah horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca.[17]
a. Horizon teks
Abu Zaid mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar
Sejarah peradaban arab Islam adalah
sejarah peradaban teks (Khadarat al-nash) artinya, itu merupakan peradaban yang
dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri atas prinsip yang
tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks. Oleh karena itu dalam
pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia
dapat melakukan aktivitas seperti menulis, membaca dan berfikir tidak lepas
dari bahasa. Demikian juga dengan al-Qur’an, bahasa (teks) menjadi salah satu
faktor penting dalam memahami al-Qur’an maupun hadis, sebab bahasa (teks)
merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Qur’an
maupun sendiri menggunakan bahasa arab sebagai alat komunikasi yang di
pakainya.
Menyadari pentingnya teks ini, maka langkah pertama dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah memahami teksnya yang berbahasa arab. Dengan memahami bahasa
arab, seorang penafsir akan memiliki bekal awal untuk memahami makna, hikmah
maupun hokum al-Qur’an secara tepat. Oleh karena itu dari sudut teks ini
terdapat tiga aspek yang harus di pahami, yakni; pertama, dalam teks maksudnya,
ide dan maksud teks tersebut lepas dari
pengarang. Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil kristalisasi
linguistik dari realitas yang mengitarinya. Ketiga, di depan teks, makna baru
yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya untuk memahami
teks tersebut.[18]
b. Horizon pengarang
Ketika pengarang ( Author ) al-Qur’an adalah Tuhan yang transenden dan
ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw. Yang diyakini umat Islam sebagai
penafsir otoritatif atas al-Qur’an. Relasi Muhammad dan al-Qur’an dengan relasi
historis ini dapat dilihat beberapa hal berikut. Pertama tema-tema yang
diusung al-Qur’an seperti doktrin monoteisme, keadilan sosial, ekonomi,
merupakan bagian pengalaman religious Muhammad yang orisinil. Kedua
reformasi yang dilakukan nabi selalu dimulai dengan mempersiapkan dahulu
landasan yang kuat sebelum memperkenalkan suatu tindakan atau perubahan yang
besar. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, Nabi belum memiliki kekuasaan untuk
bertindak dalam sector legislasi umum. Setelah tinggal di Madinah dan memiliki
wewenang administrasi dan politik nabi baru membuat hokum-hukum. Ketiga
al-Qur’an selalu mempunyai konteks sosial ( asbab al-nuzul ). Karena Muhammad
hidup dan berinteraksi dengan masyarkat Arab, maka menjadi keharusan bagi
penafsir yang ingin memahami al-Qur’an untuk memahami pula dimensi
historis-sosiologis yang menyertai masyarakat arab itu. Dengan demikian, untuk
menangkap makna al-Qur’an secara komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad
yang merupakan penjabaran al-Qur’an pada tingkat actual harus dipahami secara
utuh. Dari narasi tersebut ada proses
terciptanya sebuah teks; a) tahapan pengalaman atau gagasan yang belum
termasukkan ( Prafigurasi ), b) ketika author mulai menciptakan gagasannya (
konfigurasi ), c) tahap teks yang sudah di ciptakan dan di tafsiri banyak orang
(Transfigurasi ).[19]
c. Horizon Pembaca
Selain situasi sosial pada masa Nabi, situasi sosial masyarakat
kontemporer , yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal yang
penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk
menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Qur’an dalam kasus
actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang membentuk situasi
masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang
lain, lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian
menentukan prioritas-prioritas baru untuk biasa menerapkan al-Quran secara baru
pula. Asumsinya, kehidupan masyarakat
dewasa ini sudah sangat berbeda di bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman
Nabi, lebih-lebih setelah arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat
setelah memasuki dunia Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa
benua yang terdiri dari berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang
lainnya. Perubahan politik ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang
lain. Perkembangan modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung
tema-tema seperti demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi
manusia (HAM), dan sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi style dan pola
pikir masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam sendiri terjadi
transformasi sosial, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi maupun sistem
nilai. [20]
Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya
pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna
teks, yang selain melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya
dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks,
juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi
saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah
metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok
dalam upaya penafsiran yakni teks, konteks, kemudian melakukan upaya
kontekstualisasi.[21]
Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap suatu
teks keberadaan konteks di seputar teks tersebut tidak bisa dinafikkan. Sebab,
justru konteks yang menentukan apa makna teks; bagaimana teks harus di baca,
dan seberapa jauh teks harus dipahami. Teks yang sama dalam waktu yang sama
dapat memiliki makna yang berbeda di mata penafsir yang berbeda; bahkan seorang
penafsir yang sama sekalipun dapat memberikan pemaknaan teks yang sama secara
berbeda-beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Di sini fokus
perhatian hermeneutika sebagai metode menafsir teks.[22]
Hermeneutika menempatkan bahasa sebagai bagian sangat penting dalam
kajiannya. Sebab, bahasa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Manusia berpikir, menulis, berbicara, mengapresiasi karya
seni dan sebagainya melalui bahasa. Habermas sebagaimana dikutip Wolff
mengatakan bahwa untuk memahami makna hanya bisa diperoleh melalui pemahaman
bahasa. Sedangkan Gadamer dengan jelas dan tegas menyatakan peran penting bahasa
seagai pusat untuk memahami dan pemahaman manusia.[23]
D. Hermeneutika dalam Tafsir AL-Qur’an
1. Pro Kontra Hermeneutik[24]
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kemunculan hermeneutika dalam kajian al-Qur’an menjadi
kontroversial dikalangan umat muslim. Disini penulis akan memaparkan sedikit
mengapa sebagian dari kalangan muslim menerima dan menolak hermeneutik dalam
mengkaji al-Qur’an.
Ada
beberapa hal yang menjadi alasan bagi kalangan muslim yang menolak hermeneutika
sebagai salah satu teori dan metode penafsiran dalam al-Qur’an, diantaranya
adalah:
a.
Berangkat dari sejarah hermeneutika
yang berasal dari penafsiran terhadap mitos Yunani, maka hermeneutika dianggap
sebagai sebuah desakan rasionalisasi terhadap sebuah mitos yang kemudian hal
ini menemukan relevansinya dalam kitab bible yang dianggap sudah tidak otentik
bagi kalangan muslim, karena ditulis oleh manusia sehingga jurang perbedaan dan
pertentangan yang cukup tajam di dalam teks dapat didamaikan dengan
hermeneutik. Bagi penolak hermeneutik hal ini tentu saja berbeda dengan
al-Qur’an yang tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah karena diyakini
sebagai wahyu Tuhan/kalam ilahi dan bukan perkataan Muhammad.
b.
Hermeneutika dalam hal ini adalah
teori interpretasi yang hanya dapat digunakan terhadap teks-teks yang manusiawi.
Sedang konsep al-Quran, wahyu dan sejarahnya membuktikan otentisitas bahwa
al-Quran lafzhan wa ma‘nan dari Allah Swt. Konsekuensinya, konsep Hermeneutika
tidak dapat diterapkan atas al-Quran.
c.
Tafsir al-Quran yang diterima oleh
jumhur selalu bertolak dari arti kosakata bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah
berbahasa Arab. Tafsir bi al-ra’yi dan alisyârî pun disyaratkan untuk tidak
menafikan dan menyimpang jauh dari arti kata yang sebenarnya. Takwil yang
dilakukan para ulama pun harus dengan alasan yang menyebabkan sebuah kata tidak
dapat diartikan dengan makna aslinya. Dengan nash sebagai titik tolak, al-Quran
terhindar dari penafsiran-penafsiran yang liar. Sedang dalam hermeneutika,
interpretasi sebuah teks dapat saja berbeda menimbang unsur yang terlibat dalam
penafsiran jauh lebih banyak. Perbedaan tempat, waktu dapat menyebabkan
perbedaan arti. Belum lagi perbedaan pengetahuan antara penafsir satu dengan
lainnya mengenai sisi sejarah teks, psikologis sang pengarang dan sejauh mana
kedua faktor tersebut mempengaruhi pemikiran pengarang dalam teks. Sekian
faktor tersebut menjadikan hermeneutika lebih bernilai relatif.
d.
Tafsir dianggap lebih mempunyai
pondasi tradisi yang kuat. Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran,
Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut
ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Rasulullah Saw menjelaskan
arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada para sahabat.
Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah
untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya
untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.
Sementara itu bible dianggap bermasalah dengan persoalan otentisitas, sehingga
penggunaan hermeneutika dari tradisi Yunani dianggap untuk mempertahankan
status Bibel sebagai kitab suci. Tetapi kemudian ketika hermeneutika mulai
diterapkan, “kesucian” Bibel justru dibongkar karena dianggap merintangi upaya
penafsiran yang ilmiah. Puncaknya terjadi ketika Schleiermacher menyamakan
antara teks bibel dan teks Yunani atau Romawi kuno.
Keempat
hal diatas yang menyebabkan sebagian kalangan muslim menolak hermeneutika
secara mentah-mentah untuk diterapkan dalam metode tafsir al-Qur’an. Ada ketakutan
akan hilangnya kesakralan al-Qur’an jika al-Qur’an ditafsirkan secara
hermeneutis. Sehingga mereka lebih suka menyukai metode-metode tafsir yang
telah dilakukan dan dirumuskan oleh para ulama terdahulu, tanpa bersusah payah
membuat metode baru. Disini metode tafsir al-Qur’an yang sudah ada dianggap
sudah final dan tidak perlu dikembangkan. Istilah hermeneutik sendiri juga
dipermasalahkan karena memang tidak ada dalam kamus arab atau Islam terutama
bagi kalangan muslim yang anti barat, sehingga apapun yang berbau barat akan
ditolak secara mentah-mentah.
Bagi
kalangan yang pro terhadap hermeneutik, mereka melihat hermeneutik sebagai
jawaban atas keterpurukan umat muslim karena persoalan dan kemunduran yang
terjadi dalam masyarakat muslim saat ini persoalan terhadap penafsiran baik
terhadap al-Qur’an maupun hadis. Sehingga diperlukan perangkat-perangkat dan
metode-metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Tentu saja hermeneutika tidak
akan merubah al-Qur’an atau mendesakralisasi al-Qur’an tetapi justru hal ini
akan membawa penyegaran dalam penafsiran al-Qur’an, sehingga al-Qur’an menjadi
lebih kontekstual dan bermakna dalam setiap zaman.
Istilah
hermeneutika memang tidak dikenal dalam sejarah keilmuan Islam, tetapi
sebenarnya praktek hermeneutika telah dilakukan oleh kalangan muslim sejak
lama. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Farid Esack dalam bukunya Membebaskan
yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralism,dimana hal itu
dibuktikan, pertama, problematika hermeneutik senantiasa
dikaji dan dialami meski tidak dihadapi secara tematis, seperti kajian mengenaiasbabun-nuzul dan nasikh
mansukh. Kedua, perbedaan antara tafsiran aktual dengan
aturan, metode, atau teori interpretasi yang mengaturnya, sudah ada dalam
literatur awal tafsir. Ini disistematisasikan dalam prinsip-prinsio tafsir
dan ketiga, tafsir tradisional telah di kategorisasi. Beberapa
kategori seperti syi’ah, mu’tazilah, ‘Asy’ariyah, dan sebagainya menunjukkan
afiliasi ideology, periode, dan aspek historis si penafsir.
Namun
demikian, meskipun dalam tradisi Islam telah mempraktekkan hermeneutik, tetapi
sedikit sekali karya tafsir yang bersifat historis-kritis tentang hubungan
antara aspek sosial si penafsir dengan tafsirannya, serta tentang asumsi-asumsi
sosiopolitis dan filosofis eksplisit dan implisit yang mendasari kecenderungan
teologisnya, hal-hal yang merupakan fokus utama dalam hermeneutika kontemporer.
Apa
yang telah dijelaskan oleh Farid Esack ini sebenarnya adalah merupakan bantahan
bahwa tradisi hermeneutik adalah bukanlah semata-mata merupakan produk keilmuan
barat. Meski dalam kenyataanya memang demikian tetapi sebenarnya dalam Islampun
akar-akar hermeneutik bukanlah sesuatu yang asing sama sekali karena memang
bisa di dapatkan dalam tradisi Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.
Sehingga penolakan terhadap hermeneutik yang hanya mendasarkan bahwa
hermeneutik merupakan metode asing yang coba dipaksakan di dalam kajian
al-Qur’an dianggap terlalu berlebihan.
Lebih
lanjut ketakutan para penolak hermeneutik yang menganggap penggunaannya (baca
hermeneutik) akan menyamakan al-Qur’an dengan teks-teks yang lain termasuk
kitab suci agama lain tidak perlu terjadi. Hal ini karena setiap umat beragama
memiliki hermeneutika sendiri sebagaimana masing-masing memiliki kitab sucinya
sendiri. Sehingga ada hermeneutika al-Qur’an, hermeneutika bible,
hermeneutika Upanishad, yang memiliki kekhasan masing-masing yang tidak
dimiliki oleh lainnya. Diantara yang berpengaruh dalam penentuan perbedaan
antara masing-masing hermeneutika kitab suci adalah hakekat teks atau kitab
suci itu sendiri, baik secara historis, teologis, dan linguistik. Dari sini
kemudian kitab seci sebagai obyek penafsiran sangatlah menentukan metodologi
penafsiran yang dipergunakan. Meskipun metodologi ini ditentukan juga oleh
subyek yang menafsirkan tetapi cara pandang subyek terhadap obyek (penafsir
terhadap kitab suci), akan sangat berpengaruh terhadap hermeneutika yang
diterapkannya. Disinilah kemudian hermeneutika al-Qur’an jelas tidak akan sama
dengan hermeneutika bible ataupun hermeneutika teks yang lain, karena al-Qur’an
dipandang sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad untuk semua
manusia di segala zaman dan bukan hanya eksklusif bagi zaman Muhammad.
Al-Qur’an yang ada sekarang ini juga diyakini sama dengan al-Qur’an yang ada
pada zaman Nabi. Selain itu bahasa yang digunakan oleh al-Qur’an yakni
bahasa Arab dimana penerjemahannya kedalam bahasa lain tetap tidak akan
mendapatkan status yang sama dengan al-Qur’an. Hal-hal yang telah disebutkan
tersebut tentunya akan membawa hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan
hermeneutika teks yang lain.
Selain
itu hermeneutika dalam penafsiran al-Qur’an ini baru berfungsi setelah Nabi Saw
menyampaikan wahyu tersebut. Hermeneutika tidak berurusan dengan sifat hubungan
antara Tuhan dan Rasul-Nya dan bagaimana Nabi menerima wahyu tersebut,
melainkan dengan kata-kata yang diturunkan dalam sejarah dan disampaikan dari
satu manusia kepada manusia lain. Dengan demikian hermeneutika melihat
kata-kata tersebut bukan dalam dimensi vertikalnya, tetapi dalam dimensi
horizontalnya.
BAB III
ANALISIS
Istilah hermeneutika sebagai ilmu tafsir
pertama kali diperkenalkan oleh seorang teolog Jerman bernama Johann Konrad
Dannhauer pada sekitar abad ke-17. Semula hermeneutika berkembang di kalangan
gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegesis (penafsiran teks-teks agama) dan
kemudian berkembang menjadi “filsafat penafsiran” kehidupan sosial.
Setelah mengetahui definisi hermeneutika, manfaat, sejarah
perkembangannya, dan aplikasinya serta perbandingan dengan tafsir Al Qur’an
dalam Islam, di penghujung makalah ini, penulis menyimpulkan bahwa hermeneutika
mempunyai latar belakang dan metode yang berbeda bahkan cenderung bertentangan
dengan karakter al- Quran, tafsir, serta pandangan hidup Islam.Hermeneutika
lebih mengutamakan rasio/ akal, dan mencurigai segala sesuatu sehingga
membutuhkan riset untuk membuktikan kebenaran. Sedangkan dalam Islam rasio
bukanlah sumber utama, melainkan wahyu. Hermeneutika lebih cocok untuk
teks-teks di luar Al Qur’an, yaitu teks-teks yang diragukan keotentikannya dan
teks-teks yang saling berbenturan satu sama lain, sedangkan Al Qur’an tidak.
Jika kita menerima Hermeneutika dalam penafsiran al Quran maka akan muncul
sikap syak (ragu) pada setiap kebenaran al Quran
BAB IV
KESIMPULAN
Hermeneutika
berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu
kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat di fahami dan menjadi bermakna
secara eksistensial dalam situasi sekarang. Objek kajian utamanya adalah
pemahaman makna pesan yang terkandung dalam teks dengan variabelnya. Tugas
utama hermeneutika adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur
kerja suatu teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu
muncul
Term khusus yang digunakan untuk menunjuk kegiatan interpretasi dalam
wacana keilmuan Islam adalah tafsir. Kata yang dalam asalnya dalam bahasa Arab
fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di
kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang. Sementara itu, istilah
hermeneutika sendiri dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir Al-Qur’an
klasik, tidak ditemukan. Istilah hermeneutika ini- kalau melihat sejarah
perkembangan hermeneutika modern- mulai popular beberapa dekade terakhir,
khususnya dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan juga the rise of
education yang melahirkan banyak intelektual muslim kontemporer.
Model
hermenetika adalah pertama, hermeneutika Objektif, kedua, hermeneutika
subjektif, dan ketiga, hermeneutika pembebasan. Selain model, ada juga beberapa
pendekatan yaitu horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca.
Pandangan
hermeneutika dalam tafsir al-Qur’an setiap tokoh berbeda-beda. Dalam
menafsirkan teks, Hasan Hanafi memberikan solusi, yaitu tafsir kesadaran
(hermeneutika pembebasan) tematik, yang memposisikan al-qur’an agar
mendeksripsikan manusia, hubungannya antar sesama,tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial danpolitik dan mengajukan
alternatif melalui metode analisis pengalaman yangmembawa kepada makna teks
bahkan realitas itu sendiri. Sedangkan teori double movement Fazlur Rahman
merupakan teori yang terdiri dari dea gerakan yaitu yang khusus dan umum.
Artinya, sebelum seseorang mufassir mengambil kesimpulan hukum, ia harus
mengetahui terlebih dahulu arti yang di kehendaki secara tekstual dalam suatu
ayat dengan meneliti alasan-alasan hukumnya baik yang di sebutkan secara
eksplisit maupun emplisit.
DAFTAR PUSTAKA
Muzir, Inyiak Ridwan. 2010.Hermeneutika
Filosofis Hans Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika
Qur’ani: antara teks, konteks, dan kontekstualisasi.
Yogyakarta: PT Qalam.
Faiz, Fakhruddin. 2005. Hermeneutika
Al-Qur’an: tema-tema kontroversial. Yogyakarta: Elsaq Press.
Wijaya, Aksin. 2009.Teori Interpretasi
Al-Qur’an Ibnu Rusyd: kritikideologis hermeneutis.
Yogyakarta:
LKiS.
Rahardjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika: antara
intensionalisme & Gadamerian.
Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Rahardjo, Mudjia. 2010. Hermeneutika
Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana politik Gus Dur. Malang:
UIN Maliki Press.
Husaini Adian & Abdurrahman
Al-Baghdadi. 2007. Hermeneutika & Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Gema
Insani.
Richard E. Palmer. 2005.
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer.
Terj Musnur Hery & Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurdi dkk. 2010. HermeneutikaAl-Qur’an
dan Hadis. Yogyakarta: eLSAQ Press.
[1] Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir
Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm 7.
[2] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutiaka antara Intensionalisme &
Gadamerian, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm 27.
[3] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani antara Teks, Konteks, dan
kontekstualisasi, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm 22.
[4] Fakhruddin Faiz, hlm 22.
[5] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur,(Malang: Uin Maliki Press, 2010), hlm 88.
[6] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd: kritik ideologis
hermeneutis, (Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang, 2009), hlm 23.
[7] Richard E. Palmer, Hermeneutika: teori baru mengenai interpretasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm 38
[8] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 89.
[9] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 89.
[10] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 89.
[11]Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutiaka antara Intensionalisme &
Gadamerian, hlm30
[12]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 93.
[13] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 93.
[14] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm 61.
[15] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: tema-tema kontroversial,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2005). Hlm 11.
[17] Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 90.
[18] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka
metodologi, Makalah Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman, (Semarang: Institut Agama
Islam Negeri Wali Songo, 2013), hlm 10.
[19] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka
metodologi, hlm 10
[20] Akmal Bashori, Pendekatan Hermeneutika:sebuah paradigma dan kerangka
metodologi, hlm 11
[21]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 90.
[22]Mudjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 90.
[23]M udjia Raharjo, Hermeneutika Gadamerian: kuasa bahasa dalam wacana
politik Gus Dur, hlm 90.
[24] Zunlynadia, signifikansi-hermeneutika-dalam-tafsir-al-quran-kontemporer-sebuah-pengantar, http://zunlynadia.wordpress.com diakses 30-09-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar