BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak manusia itu
dilahirkan ke dunia ini, sejatinya ia belum menjadi manusia yang sempurna
secara lahir ataupun batin. Karena menurut al Qur’an, kondisi manusia pada
waktu itu adalah tanpa mengetahui pengetahuan sedikitpun.[1]
Maka dari itu, secara berangsur-angsur manusia membutuhkan proses
pendidikan yang mana bertujuan untuk menjadikannya sebagai makhluk ahsanitakwim
atau manusia yang sempurna.
Proses memanusiakan
manusia menjadi makhluk yang ahsanitakwim tentu tak terlepas dari proses
yang terjadi di dalam dunia pendidikan sendiri, yang mana manusia terbagi atas
dua golongan, yakni menjadi subjek ataupun objek dalm pendidikan itu sendiri.
Disini terlihat bahwa manusia berkembang secara paralel. Semakin maju peradaban
manusia maka semakin maju pula proses pendidikan yang terjadi. Begitu pula
sebaliknya, semakin maju proses pendidikan yang tejadi maka semakin maju pula
peradabannya. Dalam kaitannya disini, manusia dikenal sebagai manusia
pedagogis, yaitu makhluk yang harus di didik.[2]
Pedagogik merupakan
suatu kajian tentang pendidikan anak, berasal dari kata Yunani “paedos”, yang
berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Menurut
Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah
bimbingan anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara
mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”.[3]
Dengan demikian maka pedagogik
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak sedangkan orang yang memberikan
bimbingan pada anak disebut pedagogik.
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogik tersebut berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada peserta didik.
Terkait dengan kata
bimbingan sangat erat hubungannya dengan yang namanya pendidikan, karna muatan
dalam pendidikan itu sendiri adalah membimbing. Jadi sudah sepantasnya jika
kita memperhatikan pendidikan di seluruh dunia ini khususnya Indonesia seiring
dengan era yang serba gelobal ini.
Untuk itu, ilmu pendidikan memang peranan yang sangat penting dan merupakan
ilmu yang mempersiapkan tenaga kependidikan yang professional, sebab kemampuan
professional bagi guru dalam melaksanakan peroses belajar-mengajar merupakan
sarat utama. Ilmu pendidikan merupakan salah satu bidang pengajaran yang harus ditempuh para siswa lembaga
pendidikan dalam rangka mempersiapkan tenaga guru dan tenaga ahli kependidikan
lainnya yang professional.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa hakikat kejadian manusia sebagai makhluk pedagogik dalam Islam?
2.
Apa Implikasi
Konsep Manusia dalam Pendidikan Islam?
C.
Tujuan
1. Mengetahui hakikat kejadian manusia sebagai
makhluk pedagogik dalam Islam
2.
Untuk
mengetahui Implikasi Konsep Manusia dalam Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik Menurut Islam
A.
Hakekat
Manusia
What is a man?, demikian sebuah pertanyaan yang dikemukakan Jujun S.
Suriasumantri ketika mulai membahas bidang telaah filsafat. Maksud pertanyaan
ini adalah bahwa peda tahap permulaan, filsafat senantiasa mempersoalkan
siapakah manusia itu. Jika pada tahap awal
filsafat mempersoalkan masalah manusia, demikian pula halnya dengan
pendidikan Islam. Ia tidak akan memiliki paradigma yang sempurna tanpa
menentukan sikap konseptual filosofis tentang hakikat manusia, sebab
bagaimanapun juga manusia adalah bagian dari alam ini. Perlunya menentukan
sikap dan tanggapan tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam, pada hakikatnya
didasarkan pada asumsi bahwamanusia adalah subjek sekaligus objek pendidikan
Islam.[4]
Untuk menjawab
permasalahan diatas, terlebih dahulu dikemukakan prinsip-prinsip yang menjadi
dasar filosofis bagi pandangan pendidikan Islam. Al-Syaibani dalam hal ini
menyebutkan delapan prinsip, yaitu:
1.
Manusia
adalah makhluk paling mulia di alam ini. Allah telah membekalinya dengan
keistimewaan-keistimewaan yang menyebabkan ia berhak mengungguli makhluk lain.
2.
Kemuliaan
manusia atas makhluk lain adalah karena manusia diangkat sebagai khalifah
(wakil) Allah yang bertugas memakmurkan bumi atas dasar ketakwaan
3.
Manusia
adalah makhluk berpikir yang menggunakan bahasa sebagai media
4.
Manusia
adalah makhluk tiga dimensi seperti segitiga sama kaki, yang terdiri dari
tubuh, akal, dan ruh
5.
Pertumbuhan
dan perkembangan manusia dipengaruhi oleh faktor keturunan dan lingkungan
6.
Manusia
mempunyai motivasi dan kebutuhan
7.
Manusia
sebagai individu berbeda dengan manusia lainnya, karena pengaruh faktor
keturunan dan lingkungan
8.
Manusia
mempunyai sifat luwes dan selalu berubah melalui proses pendidikan.[5]
Dengan berpegang kepada delapan prinsip ini, kiranya mudah bagi
Filsafat pendidikan Islam untuk menentukan konsep tentang hakikat manusia.
Konsepsi ini tentunya mencakup pembahasan tentang proses penciptaan manusia,
tujuan hidup, kedudukan, dan tugas manusia. Semua pembahasan ini berkaitan
dengan pemikiran ontologis tentang manusia. Oleh karena itu, ia senantiasa
tidak dapat dilepaskan dari pandangan Islam.
Abd. Muin Salim[6]
ketika menguraikan fitrah manusia dalam Al-Qur’an memperkenalkan tiga istilah
yang biasa dipakai Al-Qur’an berkaitan dengan penamaan manusia. Pertama:
al-Insan, al-Isn, al-Nas, Annasiy, dan Insiy. Kata ini mengandung konsep
manusia sebagai makhluk yang memiliki sifat keramahan dan kemampuan mengetahui
yang sangat tinggi. Atau dengan ungkapan lisan manusia sebagai makhluk sosial
dan makhluk kultural. Kedua: al-Basyar mengisyaratkan manusia sebagai
mempunyai, menanggapi, dan menyatakan emosinya dalam komunikasi dengan sesamanya,
juga manusia mempunyai kedudukan sebagai “penguasa bumi” dan hanya akan
memperoleh kegembiraan (kebahagiaan) jika ia melaksanakan tugasnya itu. Ketiga:
Bani Adam dan Zurriyat Adam, kedua istilah ini merujuk kepada manusia
karena adanya dan mendapat penghormatan dari Allah.
Penggunaan kedua kata tersebut diatas bermakna atau memberi kesan
kesejarahan dalam konsep manusia, dan bahwa manusia mempunyai satu asal.[7]
Kedua kata itupun memberi arti konsep keragaman manusia yang terdiri atas
berbagai warna dan bangsa. Dengan begitu, kedua istilah diatas relevan dengan
konsep politik, sebab konsep-konsep tersebut merupakan basis bagi prinsip
musyawarah.
Musa
Asy’ari ketika membahas manusia dengan memakai pendekatan semantik, menyebutkan
bahwa Alquran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara
komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah: al-Insān yang bentuk jamaknya
al-Nās, memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata
tersebut mengan dung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan
kemam puan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin dalam
rangka menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya. Pengertian ini menunjukkan dengan jelas adanya potensi manusia untuk
dapat didik.
Kata kunci
yang kedua adalah kata al-basyar jamak dari kata basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh manusia. Olehnya itu, kata mubāsyarah
diartikan mulāmasah yang artinya persentuhan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan.
Menurut
Asy-Syāti[8]
pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam Alquran seluruhnya memberikan
pengertian anak Adam yang bisa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam
pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Dengan demikian, kata
basyar selalu mengacu kepada manusia dari aspek lahiriyah, mempunyai
bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari
bahan yang sama yang ada dalam alam ini, dan
karena pertambahan usia maka kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya akan mati.
Dari kedua
kata tersebut, kata insan menunjukkan bahwa manusia memiliki kualitas pemikiran
dan kesadarannya. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan termasuk di dalamnya
adalah pendidikan. Sedangkan kata Basyar merujuk pada dimensi alamiahnya, yang
menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan kemudian
mati.
1.
Proses penciptaan manusia
Allah berfirman dalam QS Al Mukminun:
12 – 14:
Artinya: Dan
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah
Allah, Pencipta yang paling baik.
Manusia diciptakan Tuhan melalui sebuah proses
alami yang berlangsung dalam beberapa tahap. Musa Asy’arie menyebutkan empat
tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, hayat, ruh, dan nafs.
Berikut penjelasan keempat tahapan ini:
a.
Tahap Jasad. Al Quran
menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah dari tanah (turab),[9]
yaitu tanah yang berdebu. Terkadang Al Quran
menyebut tanah ini dengan istilah tin[10] dan terkadang dengan istilah tsaltsal[11]. Namun yang dimaksud dengan tanah ini
adalah saripatinya sulalah[12].
b.
Tahap Hayat. Awal mula
kehidupan manusia menurut Al Quran adalah air. Maksud air kehidupan di sini
adalah air sperma. Sperma ini kemudian membuahi sel telur yang ada dalam rahim
seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula kehidupan seorang manusia.
c.
Tahap Ruh. Yang dimaksud
dengan ruh disini adalah sesuatu yang dihembuskan Tuhan dalam diri manusia dan
kemudian menjadi bagian dari diri manusia. Pada saat yang sama, Tuhan juga
menjadikan manusia pendengaran, penglihatan, dan hati. Dengan adanya proses
peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan kemudian diiringi
dengan pemberian pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang
menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang dapat membimbing
pendengaran, penglihatan, dan hati untuk memahami kebenaran.
d.
Tahapan Nafs. Kata ‘nafs’
dalam Al Quran mempunyai empat pengertian, yaitu nafsu, nafas, jiwa, dan diri
(kelakuan). Dari keempat pengertian ini Al Quran lebih sering menggunakan kata
‘nafs’ untuk pengertian diri (kelakuan). Diri atau kelakuan adalah kesatuan
diri dari jasad, hayat, atau ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau
kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas
kehidupan manusia.
Berdasarkan surah Al-Qur’an diatas Hadis yang diriwayatkan Bukhari
dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah SWT kedalam janin setelah ia
mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah dan 40
hari mudghah.[13]
Berdasarkan proses penciptaan itu, manusia merupakan rangkaian utuh
antara komponen materi dan immateri. Menurut Harun Nasution, unsur materi
manusia mempunyai daya fisik seperti mendengar, melihat, merasa, meraba,
mencium, dan daya gerak. Sementara itu unsur immateri mempunyai dua daya, yaitu
daya berfikir yang disebut akal dan daya rasa yang berpusat di kalbu. Konsep
ini membawa konsekuensi bahwa secara filosofis pendidikan Islam seyogyanya
merupakan kesatuan pendidikan Qalbiyah dan Aqliyah agar tercipta
manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh sesuai dengan filsafat
penciptaannya.[14]
2.
Tujuan
hidup manusia
Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam pengertian yang
sempit, tetapi dalam pengertian yang luas. Yaitu nama bagi segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Pendeknya
tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah dengan segala tingkah
lakunya.
Tujuan hidup ini pada gilirannya akan
bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, sebab pendidikan pada dasarnya
bertujuan memelihara kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam harus berkaitan
dengan tujuan hidup manusia. Manusia seperti apa yang hendak dibentuk dan
diinginkan oleh pendidikan Islam, jawabannya tergantung kepada tujuan hidup
yang hendak ditempuh oleh seorang muslim. Dengan demikian, tujuan hidup muslim
sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.[15]
a.
Sebagai pemanfaat dan penjaga
kelestarian alam
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS.
Al-Jumu’ah: 10)
b.
Sebagai
peneliti alam dan dirinya untuk mencari tuhan
Artinya: Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. Al-Baqarah: 164)
c.
Sebagai
khalifah di muka bumi
Artinya: Dan
Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat
siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-An’am: 165)
d.
Sebagai makhluk
yang tinggi dan paling mulia
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (QS. At-Tin: 4)
e.
Sebagai hamba
Allah
Artinya:
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
f.
Sebagai makhluk
yang bertanggung jawab
Artinya: kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
(QS. At-Takasur: 8)
g.
Sebagai makhluk
yang dapat di didik dan mendidik
Artinya:
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)
Artinya: dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar". (QS. Luqman:
13)
4.
Tugas manusia
Tugas manusia dalam pandangan
Islam adalah kemakmuran bumi dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam
dirinya. Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuknya.
Satu hal yang perlu dikemukakan adalah bahwa
sifat-sifat Tuhan hanya dapat dimanifestasikan oleh manusia dengan bentuk dan
cara yang terbatas. Hal ini dikarenakan watak keterbatasan manusia, juga agar
manusia tidak mengaku sebagai Tuhan. Seharusnya manusia menganggap proses
perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu, agar manusia mempunyai tanggung
jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.[17]
5. Manusia makhluk berpengetahuan
Manusia
lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, karsa, dan rasa. Cipta adalah
kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai kebenaran. Rasa
adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan nilai keindahan
sedangkan karsa adalah kemampuan spiritual yang secara khusus mempersoalkan
nilai kebaikan. Ketiga nilai jenis tersebut dibingkai dalam satu ikatan sistem.
Selanjtnya dijadikan landasan dasar untuk mendirikan filsafat hidup, menentukan
pedoman hidup, dan mengatur sikap dan prilaku agar senantiasa terarah ke
pencapaian tujuan hidup.
Filsafat
hidup mengandung pengetahuan yang bernilai universal, meliputi masalah-masalah
asal mula, tujuan, dan eksistensi kehidupan. Ketiganya berhubungan menurut asas
sebab akibat. Asal mula kehidupan sebagai sebab bagi tujuan kehidupan,
sedangkan tujuan kehidupan menentukan jenis, bentuk, dan sifat perilaku hidup.
Sedangkan sikap dan perilaku hidup adalah pengetahuan khusus dan konkret berupa
langkah kehidupan yang ditentukan sepenuhnya oleh pedoman hidup.[18]
6. Manusia makhluk berpendidikan
Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia
berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha
mengamalkan pengetahuannya di dalam perilaku sehari-hari. Persoalan pendidikan
adalah persoalan yang lingkupnya seluas persoalan kehidupan manusia. Masalah
kehidupan secara kodrati melekat pada tubuh dalam diri manusia. Secara langsung
atau tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi
pendidikan. Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas.
Karena manusia, pendidikan mutlak ada, dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi
diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.[19]
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGIS
Pedagogik merupakan
suatu kajian tentang pendidikan anak, berasal dari kata Yunani “paedos”, yang
berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing. Menurut
Prof. Dr. J. Hoogveld (Belanda) pedagogik adalah ilmu yang mempelajari masalah
bimbingan anak kearah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara
mandiri menyelesaikan tugas hidupnya”.[20]
Dengan demikian maka pedagogik
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak sedangkan orang yang memberikan bimbingan
pada anak disebut pedagogik. Dalam
perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogik
tersebut berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh
orang dewasa kepada peserta didik.
Menurut pandangan Islam, manusia adalah
makhluk Allah yang bertugas sebagai khalifah di bumi. Allah telah
memberitahukan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan manusia yang
diserahi tugas menjadi khalifah, sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur’an
berikut:
Artinya:
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."( Qs. Al-Baqarah:30)
Disamping manusia sebagai khalifah, mereka juga termasuk makhluk
pedagogik yaitu makhluk Allah yang dilahirkan membawa potensi dapat dididik dan
dapat mendidik. Makhluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensi dapat
dididik dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan
pengembangan kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah, berupa bentuk atau
wadah yang dapat diisi dengan berbagai kecakapan dan keterampilan yang dapat
berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia. Pikiran,
perasaan dan kemampuannya berbuat merupakan komponen dari fitrah itu. Itulah
fitrah Allah yang melengkapi penciptaan manusia.[21]
Manusia sebagai yang diriwayatkan Al-Qur’an, lahir tanpa memiliki
pengetahuan apapun.[22]
Namun, pada diri manusia terdapat sejumlah potensi yang memungkinkannya
memiliki pengetahuan setelah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Bahkan
menurut ajaran Islam potensi-potensi tersebut menyebabkan manusia memiliki
kewajiban untuk harus berpengetahuan, bahkan harus cerdas, karena untuk
mencapai atau memiliki keunggulan komparatif (kebahagiaan) didunia maupun di
akhirat, manusia harus berilmu.
Pilihan untuk berpengetahuan atau cerdas biasanya disinergikan
dengan pendidikan, yang telah berlangsungsepanjang umur manusia, pada
masyarakat primitif maupun masyarakat modern, dan akan tetap berlangsung
sepanjang hayat manusia.
Firman Allah yang berbentuk potensi itu tidak akan mengalami
perubahan dengan pengertian bahwa manusia terus dapat berpikir, merasa,
bertindak dan dapat terus berkembang. Fitrah inilah yang membedakan antara
manusia dengan makhluk Allah lainnya, dan fitrah ini pulalah yang membuat
manusia itu istimewa serta lebih mulia, yang sekaligus berarti bahwa manusia
adalah makhluk pedagogik.
Allah memang telah menciptakan semua makhluk-Nya ini berdasarkan
fitrah-Nya. Tetapi fitrah Allah untuk manusia disini diterjemahkan dengan
potensi yang dapat dididik dan mendidik, memiliki kemungkinan berkembang dan
meningkat sehingga kemampuannya dapat melampaui jauh dari kemampuan fisiknya
yang tidak berkembang.
Meskipun demikian, kalau potensi itu tidak dikembangkan, niscaya ia
akan kurang bermakna dalam kehidupan. Oleh karena itu perlu dikembangkan dan
pengembangan itu senantiasa dilakukan dalam usaha kegiatan pendidikan. Dengan
pendidikan dan pengajaran, potensi itu dapat dikembangkan manusia. Meskipun
dilahirkan seperti kertas putih, bersihbelum berisi apa-apa dan meskipun ia
lahir dengan pembawaan yang dapat berkembang sendiri, namun perkembangan itu tidak
akan dapat maju kalau tidak melalui proses tertentu, yaitu proses pendidikan.
Kewajiban mengembangkan potensi itu merupakan beban dan tanggung jawab manusia
kepada Allah. Kemungkinan pengembangan potensi itu mempunyai arti bahwa manusia
mungkin dididik, sekaligus mungkin pula bahwa pada suatu saat ia akan mendidik.
Kenyataan dalam sejarah memberikan bukti bahwa memang manusia secara potensial
adalah makhluk yang pantas dibebani kewajiban dan tanggungjawab, menerima dan
melaksanakan ajaran Allah pencipta. Ajaran yang dibebankan kepada manusia untuk
dilaksanakannya. Setiap umat Islam dituntut supaya beriman dan beramal sesuai
dengan petunjuk yang digariskan oleh Allah dan rasul-Nya. Tetapi petunjuk itu
tidak datang begitu saja kepada setiap orang, seperti kepada para Nabi dan
Rasul, melainkan harus melalui usaha dan kegiatan. Karena itu, usaha dan
kegiatanmembina pribadi, agar beriman dan beramal merupakan suatu kewajiban
mutlak. Usaha dan kegiatan itu disebutkan pendidikan dalam arti yang umum.
Dengan kalimat lain dapat dikatakan, bahwa pendidikan ialah usaha dan kegiatan
pembinaan pribadi. Adapun materi, tujuan dan prinsip serta cara pelaksanaanya
dapat dipahami dalam petunjuk Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya.[23]
Ada tiga alasan penting mengapa pendidikan menjadi yang terpenting
dalam kehidupan manusia,. Pertama, pendidikan belangsung lama dan terus
menerus. Kedua, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial penting
yang direncanakan matang oleh suatu masyarakat. Ketiga, pendidikan
bertalian erat dengan pembentukan watak dan kepribadian manusia.
Fakta-fakta historis menunjukkan bahwa kemajuan bangsa-bangsa
modern sangat ditentukan oleh sejauhmana kualitas pendidikan masyarakat. Proses
pemanusiaan manusia ternyata sangat ditentukan oleh kontinuitas pendidikan yang
dijalani manusia, baik dalam kapasitas sebagai objek pendidikan maupun subjek
pendidikan. Disini terlihat bahwa
manusia berkembang secara paralel. Semakin maju peradaban manusia maka semakin
maju pula proses pendidikan yang terjadi. Begitu pula sebaliknya, semakin maju
proses pendidikan yang tejadi maka semakin maju pula peradabannya. Dalam
kaitannya disini, manusia dikenal sebagai manusia pedagogis, yaitu makhluk yang
harus di didik.[24]
Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi muslim. Isi pribadi
muslim itu ialah pengamalan sepenuhnya ajaran Allah dan rasul-Nya. Tetapi pendidikan muslim tidak akan tercapai
atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan. Membina pribadi muslim
adalah wajib, karena pribadi muslim tidak mungkin terwujud kecuali dengan
pendidikan. Maka pendidikan itupun menjadi wajib dalam pandangan Islam.
Dalam ajaran Islam bertakwa itu wajib, tetapi tidak mungkin
bertakwa itu tercapai kecuali dengan pendidikan. Maka itu pendidikan juga
wajib. Karena manusia adalah makhluk pedagogik, maka kewajiban menyelenggarakan
pendidikan yang menuju kepada pembinaan manusia bertakwa.[25]
C.
Manusia
dan Kebutuhannya Terhadap Pendidikan
Jika diakui bahwa Adam as. adalah penghulu umat manusia, maka itu
berarti adanya pengakuan bahwa umur pendidikan setua umur manusia. Bahwa
pendidikan itu telah ada sejak adanya manusia dipermukaan bumi.
Dalam Al-Qur’an didapati informasi tentang bagaimana Allah berkenan
mengajarkan Adam berbagai nama (ilmu pengetahuan), bahkan pengetahuan Adam
mengenai nama-nama tersebut telah menjadi keunggulan komparatif manusia dari
makhluk-makhluk lain.[26]
Dari sini pula dapat dipahami bahwa manusia sangat membutuhkan pendidikan.
Tanpa pendidikan manusia tidak memiliki arti apa-apa. Oleh karena itu, Allah
berkenan melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan dengan aneka hati,
agar manusia dapat
mengkomunikasikan dengan potensi-potensi lain sehingga ia dapat menjadi manusia
yang dapat dididik maupun mendidik (pedagogik).
Menurut Umar Tirtarahardja[27],
manusia lahir telah dikarunia dimensi hakekat manusia yang masih dalam wujud potensi,
belum teraktualisasi menjadi wujud aktualisasi. Dari kondisi potensi menjadi
wujud aktualisasi terdapat rentang proses yang mengandung pendidikan untuk
berperan dalam memberikan jasanya. Seseorang yang dilahirkan dengan bakat seni,
misalnya, memerlukan pendidikan untuk proses menjadi seniman terkenal.
Perbincangan selanjutnya tentang manusia sebagai makhluk yang dapat
dididik (pedagogik) melahirkan berbagai pandangan menyangkut dominasi
pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam dunia pendidikan
dikenal berbagai aliran yang berprasangka tentang kurangnya peranan pendidikan
dalam perkembangan anak. Aliran ini biasanya disebut aliran pesimisme, dan
sebaliknya aliran yang sangat optimis terhadap peranan pendidikan dalam
perkembangan jiwa anak.
1.
Aliran
Pesimisme dalam Pendidikan
Aliran ini bertolak dari leibnitzion tradition yang
menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk
faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Aliran ini
berpendapat bahwa anak tumbuh dalam kemampuan diri yang bersifat kodrati,
sedangkan pengaruh dari faktor luar lingkungan dianggap tidak memberikan bekas
pada pertumbuhan anak.
Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer, filsof Jerman (1788-1880),[28]
berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan
buruk, karena itu hasil pendidikan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir.
Berdasarkan pandangan ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak
itu sendiri, yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik.
Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak tidak akan berguna
untuk perkembangan anak itu sendiri.
Sesuai dengan makna asal katanya natie yang berarti
terlahir,[29]
aliran ini berpendapat lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan
tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Mereka berpendapat sifat
baik dan buruk yang dibawa sejak lahir tidak akan dapat diubah oleh kekuatan
luar.
Dengan demikian, aliran pedagogisch pesimisme atau optimisme
yang bersifat natifisme berpendapat bahwa pendidikan tidak mempunyai
kekuatan. Pendidikan hanya merubah lapisan permukaan atau kulit dari watak anak
didik. Sedangkan lapisan paling dalam dari kepribadian anak tidak perlu
ditentukan. Apa yang patut dihargai dari pendidikan tidak lebih dari sekedar
memoles lapisan permukaan peradaban dan tingkah laku sosial.
2.
Aliran
Optimisme dalam pendidikan
Aliran optimisme dalam pendidikan dikenal dengan nama empirisme.
Berbeda dengan nativisme, aliran ini berpendapat bahwa pengaruh atau
faktor-faktor dari luar saja yang berpengaruh pada perkembangan anak.
Aliran empirisme bertilak dari Lockean Traditional
yang mementingkan simulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan
bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak
dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari
didapat dari duni sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulan berasal
dari alam bebas maupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program
pendidikan.
Tokoh perintis aliran ini adalah seorang filosof Inggris bernama
John Locke (1632-1704), yang mengembangkan teori tabula rasa[30],
yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih. Pengalaman empirik yang diperoleh
dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam perkembangan anak. Menurut
pandangan empirisme, pendidikan memegang peranan yang sangat penting,
sebab pendidikan dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan
diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan tujuan
pendidikan.
3.
Aliran
Teori Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli
pendidikan bangsa Jerman. Seperti ingin menengahi du pemikiran terdahulu yang
terkesan bertentangan. Aloran ini mengakui adanya pembawaan baik dan buruk yang
dibawa anak sejak lahir, begitu pula mengakui peran yang dimainkan oleh
lingkungan maupun pendidikan.
Menurut aliran ini, dalam proses perkembangan anak baik faktor
pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peran yang sangat
penting. Bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat itu.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan
untuk itu. Jadi, pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis konvergensi
(memusat ke satu titik) dan kedua-duanya sangat penting bagi perkembangan.
Sebagai sebuah ajaran yang diyakini kesempurnaannya, maka Islam
melalui ajaran-ajarannya telah menginformasikan dan mengkonfirmasikan keppada
umatnya tentang berbagai faktor yang dominan dan mempengaruhi pendidikan.
Dalam kaitannya dengan pendapat aliran nativisme yang
mengembangkan potensi “dasar” yang dominan dalam perkembangan anak, maka Islam
melalui ajaran-ajarannya telah memperkenalkan adanya ajaran tentang potensi
“dasar” atau bawaan.
Ajaran-ajaran ini dapat dilihat antara lain dalam:
a.
(QS. Al-Nahl
(16): 78
Artinya:
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur. (QS. Al-Nahl (16): 78
b.
(QS. Al-Rum
(30): 30
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum (30): 30
c.
Hadis
Rasulullah tentang manusia yang dilahirkan dengan membawa potensi dasar (fitrah)
d.
Hadis
Rasulullah tentang selektif didalam memiliki keturunan karena keturunan karena
keturunan berpotensi mempengaruhi perkembangan anak
e.
Hadis
Rasulullah tentang adanya penetapan bahwa anak swjak dalam rahim ibu
f.
Dan
lain-lain
Menyangkut adanya pengaruh lingkungan atau “ajar” terhadap
perkembangan anak, Allah maupun Rasul-Nya telah mengajarkan bahwa:
a.
Perkembangan
seseorang ditentukan oleh hasil usaha, lihat QS. Al-Najam (53): 39.
b.
Yang
merubah nasib manusia adalah manusia sendiri. Lihat QS. Al-Ra’ad (13): 11.
Dalam pengertian yang sama dapat dilihat juga QS. Al-Baqarah (2): 286.
c.
Hadis
Nabi tentang peranan orangtua terhadap perkembangan anak
Dengan demikian, Islam lebih cenderung kepada aliran konvergensi,
yang mengakui adanya peranan “dasar” atau bawaan dan “ajar”, atau lingkungan
pendidikan dalam proses perkembangan anak.
Menurut Ibn Taimiyah,[31]
manusia dikaruniai tabiat atau kecenderungan beribadah hanya kepada Allah.
Namun, seseorang tidak akan dapat mencapai perkembangan kecenderungan tauhidnya
itu dengan sempurna kecuali melalui pendidikan dan pengajaran.
Ibnu Maskawaih[32]
mengakui potensi atau tabiat manusia yang dibawa sejak lahir yang salah satu
contohnya adalah tabiat memelihara diri, yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan yang dilakukan oleh lingkungan sekolah. Lingkungan pemerintahan, dan
lingkungan rumah tangga.
D.
Implikasi
Konsep Manusia dalam Pendidikan Islam
para ahli pendidikanmuslim umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang
sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsepsi ini, pendidikan
akan meraba-rabahkan menurut Ahli Ashraf, pendidikan Islam tidak akan dapat
difahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang
pengembangan individu seutuhnya.
Pada uraian terdahulu telah dikemukakan tentang filsafat penciptaan
manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta. Dari uraian tersebut,
paling tidak ada 2 implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan
Islam, yaitu:
1.
Karena
manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari dua komponen (materi dan
immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah
realisasi dan pengembangan komponen-komponen tersebut. Hal ini berarti bahwa
sistem pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep kesatuan (integrasi)
antara pendidikan Qalbiyah dan ‘Aqliyah sehingga mampu
menghasilkan manusia muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara
moral. Jadi kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses
kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan
pernah menjadi pribadi-pribadi yang sempurna.
2.
Al-Quran
menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah sebagai khalifah
dan ‘abd. Untuk melaksanakan fungsi ini
Allah swt membekali manusia dengan seperangkat potensi. Dalam konteks
ini, maka pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan kearah
pengembagan potensi yang dimiliki manusia secara maksimal sehingga dapat
diwujudkan dalam bentuk konkrit, dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu
yang bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi
fungsi dan tujuan penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.[33]
Kedua hal diatas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan
mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan masa depan. Fungsionalisasi
pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana
kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan konsep filsafat
penciptaan manusia dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta ini. Untuk
menjaab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang kondusif
bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini difahami bahwa posisi manusia sebagai
khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan
sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar
sebagai khalifah dan taqwa
sebagai subtansi dan aspek ‘abd. Sementara itu, keberadaan
manusia sebagai resultan dari dua komponen (materi dan immateri) menghendaki
pula program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada konsep equilibrium,
yaitu integrasi yang utuh antara pendidikan aqliyah dan qalbiyah.[34]
BAB III
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk pedagogis
menurut islam adalah bahwa manusia selama panjang hidupnya masih tetap
membutuhkan yaitu apa yang dinamakan pendidikan. Karena dengan adanya pendidkan
manusaia dapat belajar untuk membedakan mana yang baik dan yang mana yang
buruk. Dan dengan pendidikan manusia juga bisa menjadi pelakunya sebagai pendidik
maupun yang dididik.
Menurut hakikatnya sebagai manusia, manusia tidak hanya menjadi pelaku
pendidikan tetapi manusia itu juga harus bisa mengarahkan dirinya pada tujuan
akhir yaitu kembali pada Allah SWT.
Jadi, sebagai makhluk yang butuh akan pendidikan manusia memerlukan
pendidikan dalam hidupnya karena manusia merupakan makhluk pedagogis. Dengan
itu manusia mampu bertahan hidup dan dapat berhubungan langsung dengan
lingkungan sekitarnya. Wallahu a’lam bi al-shawab
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abd.
Muin Salim, Fitrah Manusia dalam Al-Qur’an, Ujung Pandang: Lembaga Studi
Kebudayaan Islam (LKSI), 1990
Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, cet. II, 2001
Aisyah
‘Abd al-Rahman binti Asy-Syati, Al-Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyah, Mesir:
Dar al-Ma’arif, 1996
H. M. Said, Ilmu Pendidikan, Bandung: Alumni, 1985
M.
Sastra prateja, Manusia Multi Dimensional Sebuah Renongan Filsafat,
Jakarta: Gramedia, 1982
Umar
Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
cet. I, 2000
Uyoh
Sadulloh, dkk, Pedagogik (Ilmu Mendidik), Bandung: Alfabeta, 2011
Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006
Ramayulis,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Suparlan
Suhartono, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
Sudiyono,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers,
2002
Zakiyah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, cet V, 2004
[6] Abd. Muin
Salim, Fitrah Manusia dalam Al-Qur’an, Ujung Pandang: Lembaga Studi
Kebudayaan Islam (LKSI), 1990, h. 1-13
[7] M.
Sastraprateja, Manusia Multi Dimensional Sebuah Renongan Filsafat,
Jakarta: Gramedia, 1982, h. ix-x
[8] Aisyah ‘Abd
al-Rahman binti Asy-Syati, Al-Maqal fi al-Insan Dirasah Qur’aniyah, Mesir:
Dar al-Ma’arif, 1996, h. 13-14
[26] Ayat 31 s/d 34
surah al-Baqarah dapat menjadi rujukan untuk mendeteksi adanya proses belajar
mengajar yang dilakukan Allah terhadap hambanya Adam, yang dalam ayat-ayat
tersebut dapat pula dimaknai adanya keunggulan manusia dari makhluk yang lain
karena berilmu. Kata, Usjudu li Adam, sujudlah kepada Adam, dapat
dimaknai sebagai perantara untuk memberi pengakuan terhadap eksistensi Adam
sebagai makhluk yang berilmu yang telah lulus dalam proses belajar mengajar, (falamma
anbaahum bi asmaihim), yang tidak dapat dilakukan oleh malaikat (mawakili
makhluk selain manusia),
[27] Umar
Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,
cet. I, 2000, h. 24
[31] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. II, 2001,
h. 141-142
[32] Abuddin Nata, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. II, 2001,
h. 22
[33] Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002, h.
21-22
[34] Samsul Nizar,
Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, . . . h. 22-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar