Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH MEKANISME PEMBERIAN SERTIFIKAT HALAL DAN PELABELAN PRODUK MAKANAN HALAL DI INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perkembangan pembangunan di Indonesia telah membawa dampak yang berarti bagi masyarakat. Seiring dengan itu, adanya perubahan dalam hal kesejahteraan masyarakat baik yang mengalami peningkatan maupun penurunan telah memberikan dampak juga terhadap perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman. Perubahan gaya hidup dan cara pandang masyarakat terutama dalam hal konsumsi makanan dan minuman ini mau tidak mau harus disikapi oleh semua pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan dunia usaha pangan maupun mereka yang bergerak dalam tataran pengambilan kebijakan.
Indonesia adalah negara Islam dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekitar 86% penduduk Indonesia adalah muslim, maka hukum asal makanan di Indonesia adalah halal. Persoalan produk halal pernah menjadi polemik di Indonesia. Selama ini sertifikasi halal ditentukan oleh MUI dengan memberikan fatwa terhadap produsen yang menginginkan produknya diaudit, melalui uji coba laboratorium LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika).[1]
Perlindungan konsumen terhadap makanan yang halal selama ini dilakukan oleh MUI, dimana pada tahun 1989 mendirikan LPPOM-MUI, 1991 untuk mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan produksi makanan olahan sebagai tindak lanjut sertifikasi halal, maka lahirlah INPRES nomor 23 tahun 1991 yang dikoordinasikan oleh Menko Kesra bersama MUI. Baru pada tahun 1992 melalui UU Nomor 23 tahun 1992, maka masalah makanan halal mulai mendapat tempat.[2]
Berdasarkan peraturan tersebut Menteri Kesehatan berwenang melakukan pengawasan terhadap makanan halal baik dari segi kesehatan maupun dari segi kehalalalnya. Tahun 1996 pengawasan makanan halal kembali dipertegas dengan lahirnya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, secara tegas menyatakan baik produk luar (impor) maupun dalam negeri harus berlabel halal.[3] Untuk pelaksanaan labelisasi halal operasionalnya kemudian di atur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 83/Menkes/SK/VII/1996 tentang pencantuman label halal pada makanan. SK ini kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kesehatan Nomor   924/Menkes/SK/VIII/1996.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Dalam menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya dan kepastian hokum. Maka perlu dipertimbangkan dengan membentuk Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal. Seperti yang tercantum pada peraturan terbaru di Indonesia, yaitu dalam “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.”

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan makanan halal?
2.      Bagaimana mekanisme pemberian sertifikat halal dan pelabelan produk makanan halal di Indonesia?
3.      Bagaimana cara perlindungan konsumen terhadap sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia?





BAB II
PEMBAHASAN

 

A.  Makanan Halal (Produk Halal)

Kata اكل (makanan) dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks, maka dapat ditemukan sebanyak 27 kali. Sedangkan perintah memakan makanan yang halal dan haram terdapat dalam al- Qur’an, yaitu: 
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Q.S al-Baqarah: 168).

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kamu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih (dengan menyebut) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampu lagi maha penyayang.” (Q.S al-Baqarah:172-173).
Berdasarkan ayat tersebut manusia diberikan kebebasan untuk mengkonsumsi apa saja yang ada di muka bumi, karena Allah telah memberikan kekayaan, sumber daya alam, dan tempat berteduh (rumah), namun terdapat persyaratan bagi manusia untuk mengkonsumsi sesuatu yang bernilai, halal dan baik.[4]
Makanan yang baik juga mengandung arti menghindari makanan yang kurang baik, tidak aman dan kotor yang dalam khazanah fiqh sering disebut khabatsah, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an:
 Artinya: “..dan dihalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk…” (Q.S al-A’raf: 157).

Di samping kehalalan dan sifat baik dari makanan masih ada lagi persyaratan yang lain yang cukup penting dalam mengkonsumsi makanan. Persyaratan adalah sebagai usaha yang dilakukan dalam memperoleh dan membuatnya. Rezeki yang diperoleh dengan cara yang haram seperti pangan, sandang, tempat tinggal, sebagian ulama ada yang berpendapat hasilnya haram untuk dikonsumsi meskipun makanan tersebut makanan yang halal.
“Nabi menjelaskan bahwa tubuh yang dibesarkan dari makanan yang haram, baik cara mendapatkannya, maupun jenis makanan itu sendiri, maka neraka lebih baik untuknya”. (H.R. Tirmidzi).[5]
Hadis di atas mengandung arti cara yang digunakan, dengan demikian dalam arti luas teknologi yang dipergunakan dalam  memperoleh atau memproduksi makanan, hendaknya diperhatikan hal-hal  yang diperbolehkan dalam Hukum Islam, misalnya tidak mencampur dengan bahan yang haram ke dalam proses produksi, tidak melakukan penipuan dengan mengkemaskan makanan haram menjadi makanan yang halal.
Dari uraian pola konsumsi makanan dalam Islam, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Kriteria Makanan Halal dalam Hukum Islam
KRITERIA
KETENTUAN
CONTOH

Makanan yang baik
Makanan/pangan yang berguna bagi tubuh manusia, sehat,
mengandung gizi dan aman mengkonsumsinya
-          Sayur-sayuran
-          Susu
-          Daging
-          dan sebagainya

Makanan
Pangan yang diproduksi
-      daging babi

yang dilarang
atau dibuat dari jenis-
-      binatang anjing

(diharamkan)
jenis pangan atau unsur-
-      alkohol

unsur zat yang dilarang
-      gelatin, shortening babi

dalam Hukum Islam
-      dan sebagainya

atau makananyang telah

terkontaminasi pangan

yang dilarang

Khabaits
Makanan yang karena sesuatu hak rusak atau terkontaminasi bahan perusak, beracun dan berbahaya, sehingga tidak layak dimakan
-          makanan kadaluarsa
-          makanan beracun
-                       makanan terkontaminasi racun


Berlebih-lebihan
Dalam mengkonsumsi makanan dilarang melakukan pola konsumsi yang berlebih-lebihan atau pola produksi yang menggunakan zat makanan yang berlebih-lebihan (tidak rasional)
-                       penggunaan zat pewarna yang berlebihan
-                       penggunaan zat perasa yang berlebihan
-                       mengkonsumsi melampaui batas








Mengingat pentingnya konsumsi yang halal bagi manusia, dan harapan Allah agar manusia selalu dalam kebaikan, baik jasmani maupun rohani, maka islam memberikan perhatian dan peringatan keras terhadap kaum muslimin agar tidak mengkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Maka dikeluarkanlah undang-undang yang mengatur mengenai kehalalan suatu produk yang ada di Indonesia.

B.  Proses Pemberian Sertifikat Halal Dan Jangka Waktu Sertifikat Halal Serta Prosedur Perpanjangan Sertifikat Halal Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha

Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyebutkan bahwa:
“Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan atau jasa”.
Sertifikasi mutu pangan adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses pengawasan mutu pangan, yang penyelenggaraannya dapat dilakukan secara laboratoris atau cara lain sesuai dengan  perkembangan  teknologi. Sertifikasi mutu diberlakukan untuk lebih  memberikan  jaminan  kepada masyarakat  bahwa  pangan  yang  di beli telah memenuhi  standar  mutu  tertentu, tanpa          mengurangi tanggun jawab     pihak   yang            memproduksi pangan.[6]
Selanjutnya, Pasal 1 Angka 12 Peraturan Pemerintah  Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyebutkan bahwa:
“Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan”.
Berdasarkan pada pengertian kedua Pasal di atas, dapat dikatakan bahwa sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat, sedangkan sertifikat itu sendiri berarti dokumen yang menyatakan bahwa suatu produk dan/atau jasa sesuai dengan persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu. Agar dapat melakukan sertifikasi, maka pelaku usaha harus terlebih dahulu melaksanakan standardisasi. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional menyatakan bahwa:
“Standardisasi adalah proses  merumuskan,  menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak”.
Jika dirumuskan dalam bentuk lain, standardisasi berkaitan dengan proses penetapan dan penerapan standar yang dilakukan secara tertib dalam suatu kerjasama yang melibatkan semua pihak.[7]  Tujuan dilaksanakannya standardisasi adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, serta mewujudkan mutu terhadap produk dan/atau jasa yang dihasilkan dengan meningkatkan efisiensi dalam proses mengelola sistem mutu, sedangkan sertifikasi merupakan proses yang berkaitan dengan pemberian sertifikat adalah pengakuan formal terhadap keberhasilan penerapan sistem mutu di suatu  pelaku  usaha berdasarkan  standar  sistem  mutu yang  telah dipilihnya,[8]   dengan  demikian,  sertifikasi  merupakan  kelanjutan dari proses standardisasi, yang sekaligus merupakan bentuk pengakuan  formal  dan bukti atau jaminan bahwa suatu produk telah di proses sesuai dengan standar yang telah disyaratkan guna memenuhi kualitas mutu tertentu.
Salah satu bentuk dari pemberian sertifikat adalah sertifikat  halal. Pengertian sertifikat halal, dapat di lihat dalam Pasal 1 Huruf d  Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Pemeriksaan Dan Penetapan Pangan Halal yang menyatakan bahwa:
“Sertifikat halal adalah fatwa tertulis  yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksa”.
Lembaga Pemeriksa adalah lembaga keagamaan yang di tunjuk oleh Menteri Agama untuk melakukan pemeriksaan pangan halal setelah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh lembaga pemeriksa adalah sebagai berikut:
1.    Memiliki tenaga auditor atau inspektor pangan halal dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Tenaga auditor atau inspektor pangan halal di sini juga harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
a.    Beragama Islam, memiliki wawasan yang luas, dan mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi atau golongan;
b.    Minimal berpendidikan S-1 bidang pangan, Kimia  Biokimia, Teknik Industri, Syariah, atau Administrasi;
c.    Mempunyai sertifikat auditor atau inspektor pangan halal dari pelatihan atau penataran auditor atau inspektor pangan halal yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemeriksa.
2.    Memiliki Standar Prosedur Tetap Pemeriksaan pangan Halal;
3.    Memiliki laboratorium yang mampu melakukan pengujian pangan untuk mendukung pemeriksaan kehalalan pangan;
4.    Memiliki jaringan dan kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal di dalam negeri dan luar negeri.
Apabila pangan yang di periksa oleh Lembaga Pemeriksa telah memenuhi persyaratan mengenai pangan halal dan telah difatwakan halal, maka selanjutnya, Lembaga Pemeriksa akan menerbitkan Sertifikat Halal. Sertifikat Halal ini dapat di cabut oleh Lembaga Pemeriksa apabila pelaku usaha pemegang Sertifikat tersebut melakukan pelanggaran di bidang pangan halal  karena  Lembaga Pemeriksa   berhak   melakukan   pemeriksaan   mendadak   kepada   pelaku   usaha pemegang Sertifikat Halal, oleh karena itu, jika di kemudian hari  terjadi perubahan proses produksi, bahan baku, bahan tambahan, atau bahan penolong, maka Auditor Halal Internal wajib segera melapor kepada Lembaga Pemeriksa untuk dievaluasi dan diperoleh persetujuan sebelum digunakan. Auditor Halal Internal di sini adalah petugas yang di angkat oleh pelaku usaha untuk mengawasi dan menjaga kehalalan produk sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Lembaga Pemeriksa.
Sebelum pelaku usaha mengajukan sertifikat halal bagi produknya, maka terlebih dahulu disyaratkan menyiapkan suatu jaminan halal  dari pelaku  usaha yang menyangkut hal-hal sebagai berikut:[9]
1.    Pelaku usaha menyiapkan suatu Sistem jaminan Halal (Halal Assurance System).
2.    Sistem jaminan Halal (Halal Assurance System) tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan perusahaan.
3.    Dalam pelaksanaannya, Sistem jaminan Halal (Halal  Assurance System) ini diuraikan dalam bentuk panduan halal (Halal Manual). Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan pelaku usaha. Selain itu, panduan halal ini dapat berfungsi sebagai rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
4.    Pelaku usaha menyiapkan prosedur baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin.
5.    Baik panduan halal  (Halal Manual)  maupun  prosedur  baku pelaksanaan (Standard Operating Prosedure) yang disiapkan harus disosialisasikan terlebih dahulu dan di uji coba di lingkungan perusahaan,   sehingga   seluruh   jajaran,   mulai   dari   direksi   sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.
6.    Pelaku usaha melakukan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah Sistem jaminan Halal (Halal Assurance System) yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya.
7.    Untuk melaksanakan pemeriksaan intern (audit internal) serta mengevaluasi apakah Sistem jaminan Halal (Halal Assurance System) yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya, pelaku usaha harus mengangkat  minimal  seorang  Auditor  Halal Internal yang beragama Islam dan berasal dari bagian yang terkait dengan produksi halal.
Setelah adanya jaminan halal dari pelaku usaha ini, maka langkah-langkah yang harus di tempuh oleh para pelaku usaha apabila ingin memperoleh sertifikat halal adalah sebagai berikut:[10]
1.    Pengajuan Permohonan
a.    Data Pelaku Usaha;
b.    Nama dan jenis Produk;
c.    Daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d.   Proses pengolahan Produk
2.    Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
a.    BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
b.    Penetapan LPH dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap
3.    Pemeriksaan dan Pengujian
a.    Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh Auditor Halal.
b.    Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
c.    Dalam hal pemeriksaan Produk terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
d.   Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal
e.    LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
f.       BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk


4.    Penetapan  Kehalalan Produk
a.      Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal.
b.     Sidang Fatwa Halal MUI mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
c.      Sidang Fatwa Halal memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
d.     Keputusan Penetapan Halal Produk ditandatangani oleh MUI.
e.      Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal
5.    Penerbitan Sertifikat Halal
a.      Dalam hal Sidang Fatwa Halal menetapkan halal pada  Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
b.     Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk       tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alas an
c.      Sertifikat Halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI
6.    Label Halal
a.    BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional
b.    Pelaku  Usaha  yang  telah  memperoleh  Sertifikat  Halal wajib mencantumkan Label Halal pada:
1)      Kemasan Produk;
2)      Bagian tertentu dari Produk; dan/atau
3)      Tempat tertentu pada Produk
4) Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak
7.    Pembaruan Sertifikat Halal
a.      Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak      diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
b.     Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir
8.    Pembiayaan
a.      Biaya Sertifikasi Halal  dibebankan kepada  Pelaku Usaha          yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
b.     Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain

Mengenai jangka waktu sertifikat halal, telah ditentukan bahwa sertifikat halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Ketentuan ini sesuai dengan  Pasal 42 Ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.[11]
Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal. Sertifikat halal adalah fatwa tertulis dari MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat  Islam.  Tujuan  pelaksanaan  sertifikat  halal adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentukan batin yang mengkonsumsinya. Maksud kehalalan suatu produk di sini adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syariat Islam, yaitu:
1.    Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2.    Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan- bahan yang berasal dari organ manusia,  darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
3.    Semua bahan yang bearsal dari hewan halal yang di sembelih menurut tata cara syariat Islam.
4.    Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasinya tidak boleh  digunakan  untuk  babi. Jika pernah digunakan untuk babi atau barang yang tidak halal lainnya, terlebih dahulu harus dibersihkan dengan tata cara yang di atur menurut syariat Islam.
5.    Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar

C.  Pemberian Labelisasi Halal Yang Dilakukan Oleh Pelaku Usaha

Label adalah setiap keterangan mengenai produk yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada produk, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan produk. Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan[12] menyebutkan bahwa isi pada label, harus memuat sekurang- kurangnya keterangan mengenai:
1.    Nama produk
2.    Daftar bahan yang digunakan;
3.    Berat bersih atau isi bersih;
4.    Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;
5.    Keterangan tentang halal; dan
6.    Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa
Sedangkan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk di lihat dan di baca.[13]
Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi  administratif berupa:
a.    Teguran lisan;
b.    Peringatan tertulis; atau
c.    Pencabutan Sertifikat Halal.
Salah satu jenis dari label adalah labelisasi halal. Labelisasi  halal merupakan tulisan halal baik dalam huruf Latin dan atau huruf Arab yang ditempelkan pada kemasan makanan, minuman, obat-obatan atau kosmetika atas persetujuan Departemen Kesehatan yang sebelumnya telah memperoleh sertifikat halal terlebih dahulu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Labelisasi halal ini akan menunjukkan kepada konsumen bahwa makanan yang memiliki label halal tersebut memang telah di periksa kehalalannya dan di jamin kehalalannya oleh lembaga yang memeriksanya.[14]

D.    Perlindungan  Konsumen Terhadap  Sertifikasi Dan Labelisasi Halal
Label adalah merupakan bagian dari sistem pengawasan mutu atas suatu produk dan menurut ketentuan hukum yang berlaku diisyaratkan bahwa terhadap pangan halal yang dinyatakan  dapat di konsumsi oleh  masyarakat umat  Islam harus ditandai dengan “Label Halal” sebagai suatu signal yang menandai bahwa terhadap produk tersebut baik sebelum maupun sesudahnya telah melalui proses berproduksi secara halal, termasuk didalamnya kandungan bahan bakunya serta keseluruhan muatan isi produknya adalah benar-benar halal sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yaitu ditentukan bahwa yang di maksud  dengan pangan halal adalah adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang di olah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam. (Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan). Jadi jelaslah bahwa aturan tentang label halal menurut hukum adalah suatu tanda yang disebut sebagai “Label Halal” merupakan keterangan jaminan mutu, berlaku sebagai bahan informasi kepada masyarakat yang menjelaskan bahwa produk tersebut adalah halal untuk dikonsumsi oleh umat Islam.
Dasar dari pengaturan Undang-Undang tentang sertifikasi dan labelisasi halal di Indonesia, antara lain di atur dalam  Undang-Undang Nomor  8  Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label Dan Iklan Pangan. Berdasarkan pada beberapa ketentuan peraturan perundang- undangan ini, pada prinsipnya penerapan label halal bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan hak informasi suatu barang yang dikehendakinya dan di jamin oleh Undang-Undang, mengingat labelisasi halal merupakan salah satu sarana yang seketika bisa konsumen memanfaatkan agar mereka dapat terjaga dan terlindungi mengkonsumsi produk-produk yang telah terjamin kehalalannya, oleh karena itu, sistem dan prosedur labelisasi halal harus dilakukan secara benar. Hal ini dapat di lihat dalam ketentuan Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan yang menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang di kemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label (yang salah satunya memuat keterangan tentang halal).
Berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan  tersebut  di atas terhadap label halal, Undang-Undang mensyaratkan beberapa hal yaitu:
1.    PencantumanLabel Halal” bersifat sukarela
2.    Kewajiban mencantumkan Label Halal” hanya terbatas  pada produk yang dinyatakan sebagai produk halal oleh pihak perusahaan,
3.    Pencantuman Label Halal” lebih dititikberatkan pada “kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kebenarannya” atas kehalalan produk tersebut.
Kesemuanya ini sesuai dengan prinsip keseimbangan kepentingan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga menimbulkan sikap jujur dan bertanggung jawab bagi pelaku usaha di dalam menjalankan usahanya.

E.     Tanggung  Jawab Pelaku Usaha Apabila Produknya Tidak Mencantumkan Labelisasi Halal
Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku  usaha  mempunyai  kewajiban  sebagai berikut:
a.    Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.    Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi   penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.    Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.   Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.    Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang di buat dan/atau diperdagangkan;
f.     Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.    Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang  di terima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Berbicara mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang merupakan perlindungan terhadap konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab pelaku usaha/tanggung jawab produk, karena pada dasarnya  tanggung jawab   pelaku   usaha  dimaksudkan  untuk  memberikan  perlindungan  terhadap konsumen.  Tanggung   jawab   produk   sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang  dibawanya  ke  dalam  peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan  suatu  perjanjian  maupun  tanggung  jawab  perundang-undangan/berdasarkan  perbuatan  melawan  hukum.
Mengenai tanggung jawab produk, dapat ditemukan dalam Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (5) serta Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berbunyi:
“(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (5) Ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku  usaha  dapat  membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen”.
Selanjutnya, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berbunyi:
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di maksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”.
Pada Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengandung  makna bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen apabila konsumen mengalami kerugian, kerusakan, dan/atau pencemaran  sebagai  akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh pelaku usaha.  Membebankan tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian secara langsung kepada pelaku usaha, sekalipun tidak terdapat hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen, merupakan salah satu indikasi  penggunaan  pertanggungjawaban produk.
Pada Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa terdapat unsur kesalahan dari pelaku usaha yang apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen, maka pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memberikan ganti kerugian. Tanggung jawab atas dasar kesalahan dalam hukum perdata di sebut sebagai tanggung jawab atas dasar perbuatan melawan hukum (liability based on fault).
Secara khusus dapat dikemukakan bahwa tujuan pertanggungjawaban produk adalah pembagian risiko yang adil antara pelaku usaha dan  konsumen. Sebagaimana telah diuraikan di atas, pertanggungjawaban produk adalah lembaga hukum keperdataan yang merupakan derivasi/penjelmaan dari lembaga hukum perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum sering di sebut juga sebagai pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault) karena apabila digunakan oleh konsumen untuk menggugat ganti  kerugian dari pelaku usaha, maka konsumen berkewajiban untuk membuktikan 4 (empat) hal yaitu:
a.    Pelaku usaha telah melakukan perbuatan melawan hokum
b.    Pelaku usaha telah melakukan kesalahan
c.    Konsumen telah mengalami kerugian
d.   Kerugian   yang   dialami   oleh   konsumen   merupakan   akibat   dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha
Terhadap keempat macam kewajiban konsumen tersebut di atas ini, kewajiban konsumen untuk membuktikan bahwa pelaku usaha telah melakukan kesalahan merupakan kewajiban yang relatif paling sulit dipenuhi oleh konsumen, karena selain dibutuhkan keahlian tertentu, pada umumnya pelaku usaha sebagai pihak yang harus memberikan ganti kerugian kepada konsumen tidak mudah akan mengakui kesalahannya sekalipun sesungguhnya pelaku usaha memang telah melakukan kesalahan. Padahal apabila konsumen  tidak  berhasil  memenuhi keempat macam kewajiban tersebut di atas secara  kumulatif,  maka  konsumen akan kehilangan haknya untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku usaha. Jika kondisi ini terjadi, maka tujuan melindungi konsumen secara hukum tidak akan tercapai, oleh karena itu, pertanggungjawaban produk yang bertujuan melindungi konsumen meniadakan kewajiban  konsumen  untuk  membuktikan  kesalahan pelaku usaha, dan sebaliknya pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Konsekuensi logis dari konstruksi hukum bahwa pelaku usaha harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah adalah bahwa pelaku usaha di anggap telah melakukan kesalahan (presumption of fault) seketika setelah konsumen mengalami kerugian akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Kasus yang sebenarnya termasuk dalam pertanggungjawaban produk adalah kasus bumbu masak Ajinomoto yang terjadi setelah berlakunya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia  (MUI),  bumbu  masak yang di produksi oleh Ajinomoto antara bulan September 2000 sampai dengan bulan Nopember 2000  di duga di proses dengan menggunakan media pembiakan yang mengandung enzim babi sehingga harus dinyatakan haram. Kasus ini telah dilaporkan oleh Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai kasus pidana kepada Kepolisian daerah Metro Jakarta Raya, namun tidak terdapat pihak yang mengajukan gugatan ganti kerugian secara perdata, bahkan pada tanggal 25 Juni 2001 Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Telah menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) untuk menghentikan semua proses pidana dalam kasus tersebut.
Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk yang halal, perlu dikemukakan beberapa perbuatan yang di larang bagi pelaku usaha dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa: “(1) Pelaku usaha          di larang memproduksi  dan / atau memperdagangkan barang dan / atau jasa yang:
a.    Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan;
b.    Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.    Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.   Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.    Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.     Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.    Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h.    Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.      Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku  usaha  serta keterangan lain untuk penggunaan yang  menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.      Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan pada beberapa uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pencantuman labelisasi halal pada dasarnya bersifat sukarela. Namun jika terdapat pelaku usaha pangan yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dengan menyatakan produknya sebagai produk yang  halal, maka pelaku usaha pangan  tersebut sesuai ketentuan wajib mencantumkan labelisasi halal dan bertanggung jawab atas kehalalan produknya, agar hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dapat terlindungi secara layak dan memadai



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Budaya konsumen muslim terhadap produk halal tidak saja berupa labelisasi halal yang diatur dalam undang-undang pangan, tetapi terkait juga dengan hukum ekonomi lainnya, sehingga ada jaminan pelaksanaan labelisasi halal. Bagaimana perlindungan konsumen muslim dapat disamakan dengan perlindungan konsumen pada umumnya di Indonesia dengan memberlakukan UU yang memuat perlindungan konsumen yang terdapat pada Hukum Ekonomi Indonesia. Hal itu disebabkan labelisasi halal berhubungan erat dengan pelaksanaan hukum Islam, maka Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia setidaknya menyerap unsur-unsur, nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam Hukum Islam terutama yang sangat erat hubungannya dengan perlindungan konsumen, labelisasi halal dan regulasasi bisnis produk-produk halal dan haram hukum ekonomi Islam.
Oleh karena itu, Pemberian sertifikasi dan labelisasi halal pangan olahan adalah guna memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi atas produk yang dikehendakinya termasuk didalamnya terhadap produk yang tidak mengandung bahan dan atau perlakuan yang  tidak  diizinkan  agama atau diharamkan agama, oleh karena itu diperlukan oleh keseluruhan pelaku usaha dalam rangka  perlindungan  konsumen  sebagai keterangan dan atau pernyataan mengenai suatu produk pangan olahan dengan benar, jujur dan tidak menyesatkan konsumen. Pencantuman labelisasi halal pada dasarnya tidak wajib (bersifat sukarela), namun jika terdapat pelaku usaha pangan olahan yang memproduksi dan atau memasukkan pangan olahan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dengan menyatakan produknya sebagai produk yang halal, maka pelaku usaha pangan olahan tersebut wajib mencantumkan labelisasi halal dan bertanggung jawab atas kehalalan produknya, agar hak konsumen atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang  dan/atau  jasa dapat terlindungi secara layak dan memadai

DAFTAR RUJUKAN

Bisma. Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, (Fakultas Hukum USU Medan, Seminar Sertifikasi Pangan Olahan : Label Halal atau Haram)
Bisri, Hasan. 1995. 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: MUI
Dahlan, Abdul Aziz. 1997. Ensiklopedi Hukum Islam. Jil. 3. Jakarta: PT. Ihctioar Van Hoeve
Mudzhar, M. Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarkat. Bandung: Mizan
Undang-Undang Nomor 7 Pasal 25 Ayat (1) Tahun 1996 Tentang Pangan
UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dalam Bab IV pasal 30, ayat (1) dan (2)
UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
Wahyuni, Endang  Sri. 2003. Aspek  Hukum  Sertifikasi  &  Keterkaitannya  Dengan  Perlindungan Konsumen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
______ 2002. Pedoman Untuk Memperoleh Sertifikat Halal. Jakarta: LP POM MUI



[1] M.Atho Mudzhar. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Hlm. 12-13
[2] Hasan Bisri dkk, 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI, 1995), Hlm. 81, 89, dan 242-249
[3] UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan Tertuang dalam Bab IV pasal 30, ayat (1) dan (2)
[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarkat. (Bandung: Mizan, 1994), Hlm. 287
[5] Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam. Jil. 3. (Jakarta: PT. Ihctioar Van Hoeve, 1997), hlm. 1075
[6] Penjelasan Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
[7] Endang  Sri  Wahyuni,  Aspek  Hukum  Sertifikasi  &  Keterkaitannya  Dengan  Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Hlm. 104
[8] Endang  Sri  Wahyuni,  Aspek  Hukum  Sertifikasi  &  Keterkaitannya  Dengan  Perlindungan Konsumen, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Hlm. 104
[9] Pedoman Untuk Memperoleh Sertifikat Halal, (Jakarta: LP POM MUI, 2002), hlm. 3
[10] UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 14-19
[11] UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 18
[12] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan : Label Halal atau Haram, Fakultas Hukum USU Medan
[13] UU Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Hlm. 17-18
[14] Bisma, Sertifikat Halal dan Cara Memperolehnya, Disampaikan pada Seminar Sertifikasi Pangan Olahan : Label Halal atau Haram, Fakultas Hukum USU Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar