Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH MACAM-MACAM ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan dua hal identik yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek.
Nilai suatu benda pada dasarnya inherent (suatu yang sudah melekat) dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir.
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan.
Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan yang akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini yaitu Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme dan Rekonstruktivisme.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Macam-Macam Aliran Filsafat Pendidikan Barat?
2.    Siapakah Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Barat?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Aliran Essensialisme
Kata esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu “esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti “sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.[1]
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karenaitu Esensialisme tergolong tradisionalisme.[2]
1.    Sejarah Lahirnya Aliran Essensialisme
Essensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang memandang bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai[3], kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia, yang mempunyai kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[4]
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13 dan ke 14 Masehi. Pada zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for the advancement of American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.[5]
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral anak muda. Setelah perang dunia ke-2, kritik terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luas dan tampak merujuk pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan intelektual dan sosial. Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin. Aliran ini populer pada tahun 1930 an dengan populernya Wiliam Bagley (1874-1946).[6]
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang berbeda dengan progresivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progresivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.[7]
Dengan demikian Renaissans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikiran esensialisme. Aliran esensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan progressivisme yang materialistik, yang serba bebas.
2.    Teori Pendidikan Esensialisme
Esensialisme mengharapkan agar pendidikan dan landasan-landasannya mengacu pada nilai-nilai yang esensial.[8] Dalam hal ini menurut esensialisme pendidikan harus mengacu pada nilai-nilai yang sudah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah berlaku secara turun-temurun dari zaman ke zaman.
Adapun beberapa pandangan esensialisme yang berkaitan dengan pendidikan yaitu sebagai berikut:
a.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terakumulasi, serta telah bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang.[9] Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur pendidikan yang inti (esensial), pendidikan diarahkan mencapai suatu tujuan yang mempunyai standart akademik yang tinggi, serta pengembangan intelek atau kecerdasan.
b.    Kurikulum
Menurut aliran esensialisme kurikulum pendidikan lebih diarahkan pada fakta-fakta (nilai-nilai), kurikulum pendidikan esensialisme berpusat pada mata pelajaran.[10] Dalam hal ini ditingkat sekolah dasar misalnya, kurikulum lebih ditekankan pada beberapa kemampuan dasar, diantaranya yaitu kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Sementara itu dijenjang sekolah menengah penekanannya sudah lebih diperluas, misalnya sudah mencakup sains, bahasa, sastra dan sebagainya.
Dalam hal ini menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan dalam sebuah proses belajar menganjar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu proses pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Dengan kata lain penguasaan fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial merupakan suatu keharusan. 
c.    Metode pendidikan
Dalam pandangan esensialisme, metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar lebih tergantung pada inisiatif dan kreatifitas pengajar (guru), sehingga dalam hal ini sangat tergantung pada penguasaan guru terhadap berbagai metode pendidikan dan juga kemampuan guru dalam menyesuaikan antara berbagai pertimbangan dalam menerapkan suatu metode  sehingga bisa berjalan secara efektif.
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered), umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan dan mereka harus dipaksa belajar. Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
d.   Pelajar
Dalam pandangan esensialisme sekolah bertanggung jawab untuk memberikan pengajaran yang logis atau terpercaya kepada peserta didik, sekolah berwenang untuk mengevaluasi belajar siswa.[11] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa siswa adalah mahluk rasional dalam kekuasaan (pengaruh) fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang diasah melakukan latihan-latihan intelek atau berfikir, siswa kesekolah adalah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran sesuai dengan keinginannya. Dalam hal ini sangat jelas dalam pandangan esensialisme bahwa pelajar harus diarahkan sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dakui dan tercantum dalam kurikulum, bukan didasarkan pada keinginannya.
e.    Pengajar
Menurut pandangan aliran filsafat esensialisme, dalam proses belajar mengajar posisi guru adalah sebagai berikut:
1)   Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di kelas.
2)   Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan yang hendak ditanamkan kepada peserta didik.
Dengan kata lain dalam pandangan esensialisme dalam proses belajar menganjar pengajar (guru) mempunyai peranan yang sangat dominan dibanding dengan peran siswa, hal ini tidak terlepas dari pandangan mereka tentang kurikulum dan juga tentang siswa dimana siswa harus diarahkan sesuai dengan kurikulum yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah teruji dan tahan lama, sehingga guru mempunyai peranan yang begitu dominan dalam jalannya proses belajar menganjar.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif sejak empat abad ke  belakang, sejak zaman Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19,[12]dengan munculnya tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.

3.    Tokoh-Tokoh Esensialisme Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah
a.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak. George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).[13]
b.      Desiderius Erasmus (Abad 15-16), humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat. Dia berpandangan bahwa kurikulum disekolah harus bersifat humanistis serta bersifat internasional sehingga bisa menyentuh semua lapisan masyarakat termasuk kaum aristokrat maupun kaum menengah.[14]
c.       Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Yang mengemukakan bahwa salah satu peranan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang ideal yaitu yang sesuai dengan keinginan dan kehendak Tuhan. Hal ini dikarenakan menurutnya pada dasarnya dunia adalah dinamis dan bertujuan. Atau bisa dikatakan Johann Amos comenius adalah orang yang mempunyai pandangan yang dogmatis dan idealis yang bertentangan dengan pandangan progressif. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan [15]
d.      John Locke (1632-1704), berpandangan bahwa pendidikan idealnya selalu dekat dengan realitas kehidupan, bahkan sebagai perwujudan dari gagasannya tersebut John Locke mempunya sekolah kerja yang diperuntukkan bagi golongan anak-anak kurang mampu (miskin).
e.       Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga  pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
f.        Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap  pendidikan, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
g.      Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang  berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai  pengajaran yang mendidik. Bahwa tujuan pendidikan adalah upaya untuk mewujudkan kserasian (kesinergian) jiwa seseorang dengan kebijaksanaan Tuhan atau dengan kata lain adanya penyesuaian dengan hukum kesusilaan. Pengajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu mewujudkan manusia yang ideal yang sesuai dengan hukum-hukum kesusilaan dan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh Tuhan.[16]
h.      William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan  baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti[17] dan didasarkan pada kesatuan spiritual berdasarkan kesatuan yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun  penyesuaian diri kepada masyarakat.[18]
Filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2)   Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3)   Kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4)   Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.[19]

4.    Pandangan-pandangan[20] Aliran Esensialisme
a.    Pandangan relita (ontologi)
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum sekolah  bagi esenisalisme semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan keagungan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola idealisme, realisme dan sebagainya. Adapun uraian mengenai realisme dan idealisme ialah:
1)   Realisme yang mendukung esensialisme yang disebut realisme obyektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tcmpat manusia di dalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisika dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jalan khusus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam di antaranya daya tarik bumi. Sedangkan oleh ilmu-ilmu lain dikembangkanlah teori mekanisme, dan dunia itu ada dan terbangun atas dasar sebab akibat, tarikan dan tekanan mesin yang sangat besar.
2)   ldealisme obyektif mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semestaini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini adalah nyata. Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis.

b.    Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyadari relita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, makna manusia pasti mengetahui dalam tingkat kualitas apa rasionya manpu  memikirkan kesemestaan itu.dan berdasarkan kualitas itulah manusia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam bidang-bidang: ilmu alam, biologi, sosial, estetika, dan agama.
c.    Pandangan tentang nilai (aksiologi)
Nilai, seperti hanyalah pengetahuan  berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber obyektif. Sedangkan sifat-sifat nilai terganung dari pandangan yang timbul dari relisme dan idealisme.Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konsepsuil terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau lanjutnya akan tergantung pula dari sikap subyek.Menurut idealisme, sesuatu yang nampak pada dunia temporal itu belum tentu mempunyai nilai bagi manusia. Sebb nilai itu berakar pada hal-hal yang temporal saja seperti halnya awan putih  pada pagi hari masih tampak, tetapi siang atau sore hari sudah hilang.

5.    Kelebihan dan Kelemahan Aliran Esensialisme:[21]
Kelebihan:
a.    Esensialisme membantu untuk mengembalikan subject matter ke dalam proses pendidikan, namun tidak mendukung perenialisme bahwa subject matter yang benar adalah realitas abadi yang disajikan dalam buku-buku besar dari peradaban barat. Great Book tersebut dapat digunakan namun bukan untuk mereka sendiri melainkan untuk dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang ada pada dewasa ini.
b.    Esensialis berpendapat bahwa perubahan merupaka suatu kenyataan yang tidak dapat diubah dalam kehidupan sosial. Mereka mengakui evolusi manusia dalam sejarah, namun evolusi itu harus terjadi sebagai hasil desakan masyarakat secara terus-menerus. Perubahan terjadi sebagai kemampuan imtelegensi manusia yang mampu mengenal kebutuhan untuk mengadakan amandemen cara-cara bertindak,organisasi,dan fungsisosial.
Kelemahan:
a.    Menurut esensialis, sekolah tidak boleh mempengaruhi atau menetapkan kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini mengakibatkan adanya orientasi yang terikat tradisi pada pendidikan sekolah yang akan mengindoktrinasi siswa dan mengenyampingkan kemungkinan perubahan.
b.    Para pemikir esensialis pada umumnya tidak memiliki kesatuan garis karena mereka berpedoman pada filsafat yang berbeda. Beberapa pemikir esensialis bahkan memandang seni dan ilmu sastra sebagai embel-embel dan merasa bahwa pelajaran IPA dan teknik serta kejuruan yang sukar adalah hal-hal yang benar-benar penting yang diperlukan siswa agar dapat memberi kontribusi pada masyarakat.
c.    Peran guru sangat dominan sebagai seorang yang menguasai lapangan, dan merupakan model yang sangat baik untuk digugu dan ditiru. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan dan kelas dibawah pengaruh dan pengawasan guru. Jadi, inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.

B.       Aliran Perenialisme
Perenialisme  diambil  dari kata  perennial, yang dalam  Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing throughout the whole year” atau “lasting for a very long time”– abadi atau kekal.[22] Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman moderen telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau”  regresive road to culture. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modren ini kapada  kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhan nya. [23]
1.    Sejarah Perkembangan Aliran perenialisme
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural.[24]
Solusi yang ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dari abad keabad.[25]
Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang. Jadi sikap untuk kembali kemasa lampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
2.    Tokoh Aliran Perenialisme
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles sendiri, kemudian didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquinas sebagai pemburu dan reformer utama dalam abad ke-13. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Sikap ini bukanlah nostalgia (rindu akan hal-hal yang sudah lampau semata-mata) tetapi telah berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan-kepercayaan tersebut berguna bagi abad sekarang.
Jadi sikap untuk kembali kemasa Iampau itu merupakan konsep bagi perenialisme di mana pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kemasa lampau dengan berdasarkan keyakinan bahwa kepercayaan itu berguna bagi abad sekarang ini.
Pendapat di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan H.B Hamdani Ali dalam bukunya filsafat pendidikan, bahwa Aristoteles sebagai mengembangkan philosophia perenis, yang sejauh mana seseorang dapat menelusuri jalan pemikiran manusia itu sendiri. ST. Thomas Aquinas telah mengadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntunan agama Kristen tatkala agama itu datang. Kemudian lahir apa yang dikenal dengan nama Neo-Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas di atas berpengaruh besar dalam lingkungan gereja  Katholik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Lain dari itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perenialisme. Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya.
Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan  memaham’i kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.  Jadi aliran perenialisme dipakai untuk program pendidikan yang didasarkan atas pokok-pokok aliran Aristoteles dan S.T Thomas Aquinas. Tokoh-tokoh yang mengembangkan ini timbul dari lingkungan agama Katholik atau diluarnya.
3.    Prinsip-prinsip Pendidikan Perennialisme
Dibidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi  oleh tokoh tokohnya salah satunya yaitu Thomas Aquinas. St. Thomas Aquinas dianggap sebagai filosof skolastik terbesar. Dalam semua institusi pendidikan Katolik yang mengajarkan filsafat, sistemnya diajarkan sebagai satu-satunya sistem yang benar, ini sudah menjadi aturan baku yang ditetapkan oleh Leo XIII pada tahun 1879. Oleh karena itu, St. Thomas Aquinas tidak hanya penting dalam sejarah, tetapi pengaruhnya tetap hidup seperti Plato, Aristoteles, Kant dan Hegel.[26] Dalam banyak hal, St. Thomas Aquinas lebih dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Ia memberi tempat khusus atas pemikiran Aristotelian dalam tradisi Kristen dengan memberikan penghargaan yang relatif tinggi terhadap dunia alamiah dan pengetahuan manusia.[27] St. Thomas Aquinas memadukan sistem alam Aristoteles yang komprehensif dengan teologi dan etika Kristen dan menetapkan kerangka konseptual yang tetap tak terbantahkan selama abad pertengahan.[28]
Karya terpenting St. Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, ditulis selama tahun 1259-1264.[29] Adapun target ajaran Summa Contra Gentiles adalah kecenderungan naturalistik yang dilihatnya dengan jelas terdapat pada filsuf-filsuf Arab tertentu.[30] Menurutnya, tidak ada pertentangan antara rasio, akal budi dengan wahyu Tuhan. Sebuah aliran yang disandarkan padanya adalah Thomisme. Tatkala Neo-Thomisme masih dalam bentuk awam maupun dalam paham gerejawi sampai ke tingkat kebijaksanaan, maka ia terkenal dengan nama perenialisme. Menurut epistemologi Thomisme sebagian besar ilmu pengetahuan berpusat pada pengolahan tenaga logika pada pikiran manusia. Apabila pikiran itu bermula dalam keadaan potensialitas, maka dia dapat dipergunakan untuk menampilkan tenaganya secara penuh.[31]
Pendidikan menurut St. Thomas Aquinas adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata. St. Thomas Aquinas meyakini bahwa manusia mempunyai pembawaan baik. Kejahatan adalah tidak disengaja, bukan esensi dan mempunyai sebab aksidental yang baik.[32] Menurutnya, tujuan pendidikan adalah mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata.[33] Dalam hal ini guru memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada.
St. Thomas Aquinas mempunyai pengaruh besar terhadap gagasan-gagasan psikologi yang muncul dari doktrin mengenai kemauan bebas (free will).  Menurut St. Thomas Aquinas, setiap manusia dikuasai oleh jiwa yang baka, dan jiwa itu bukan dari dunia fana.  Pada hakekatnya, jiwa tersebut berada dalam dunia fana, tetapi bukan  milik dunia ini.  Itulah sebabnya, jiwa tidak tunduk pada hukum alam atau terbatas pada hukum sebab-akibat.  Bila demikian, maka keyakinan bahwa kita bebas menentukan perilaku kita masing-masing dan mengadakan pilihan yang konkrit sebagai manusia, memang merupakan suatu kenyataan.  Bila kemauan bebas merupakan suatu kenyataan, maka itu berarti mengerikan dan menyenangkan.  Mengerikan karena kita memikul beban berat pada bahu kita.  Pada akhirnya kita bertangungjawab atas setiap pilihan dan tindakan. Dan menyenangkan karena kita bukan robot atau benda.  Will atau kemauan diartikan sebagai kemampuan mental yang memungkinkan individu dapat menentukan pilihan secara sadar.[34]
Pola pikir filosofis St. Thomas Aquinas tampak dalam dua hal, yaitu metode skolastik dan analisa falsafatinya. Skolastik menjadi ciri khas sistem pendidikan di universitas-universitas Abad Pertengahan, yaitu para biarawan-rohaniwan mengelola dan membina lembaga-lembaga pendidikan. Pada zaman Aquinas tidak ada sistem atau ajaran filsafat yang baku dan seragam. Pengajar di pelbagai sekolah bebas mengekspresikan sudut pandangnya sendiri. Namun masih ada unsur-unsur tertentu yang mempersatukan ciri khas sekolah-sekolah. Unsur-unsur tersebut adalah Lectio (kuliah) dan disputatio (debat dialektis). [35]
Metode pembelajarannya dinamai disputatio, yakni metode yang meliputi debat dialektis tentang masalah-masalah yang ditemukan dalam teks. Pengajar menemui para mahasiswa untuk menentukan dan mempertimbangkan argumentasi “pro” dan “kontra” dan merumuskan ke dalam jawaban yang sistematis atas pertanyaan yang diperdebatkan pada saat disputatio. Suasana disputatio ini melatih sikap kritis yang sehat, dan cara berpikir yang otonom. [36]
St. Thomas Aquinas, filsuf sekaligus teolog, melengkapi pandangan Agustinus yang didasari oleh gagasan Plato dan terutama Neo-Platonisme, untuk memahami secara rasional pelbagai iman Kristiani. Sebagai misal, Agustinus berusaha membuat sintesa antara filsafat Yunani (Platonisme dan Neo-Platonisme) sebagai batu tumpuan pertama untuk menuju pengajaran kristianitas. Sedangkan St. Thomas Aquinas menggunakan filsafat Yunani (Aristoteles) sebagai dasar filsafat untuk meluruskan iman Kristiani. Dia melihat keberadaan Tuhan, yang dapat menjembatani kebenaran yang dicapai oleh iman maupun akal budi. Maksudnya, di satu pihak keberadaan Tuhan dapat diterima dalam iman, di pihak lain dapat dimengerti atas dasar argumen masuk akal. Jadi semua kebenaran adalah masuk akal, karena berasal dari Tuhan sebagai Being yang rasional.
Salah satu karya Aquinas yang menunjukkan bahwa tidak adanya pemisahan antara teologi dan filsafat adalah Summa Theologiae (1265-1273). Buku ini disusun berdasarkan metode disputatio skolastik, yaitu sebuah metode berpikir yang keseluruhannya terdiri atas quaestiones (pertanyaan-pertanyaan) dan articuli. Topik pembahasan selalu dianalisa dan dirinci dalam beberapa bagian. Setiap bagian dari topik itu selalu dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan. Aquinas mengemukakan jawaban-jawaban atas setiap pertanyaan. Sumber-sumber jawaban berasal dari Kitab Suci dan filsuf-filsuf sebelumnya; filsuf-filsuf pra-Sokratik, kalangan Bapa-Bapa Gereja purba, para filsuf Islam, serta filsuf Yahudi. Jawaban-jawaban tersebut ditanggapi lewat kritik. Sesudah itu, Aquinas memberikan pendapatnya sendiri sebagai jawaban akhir atas pertanyaan yang bersangkutan.[37] St. Thomas Aquinas bersifat sintetis-deduktif. Menjalankan metode ini berarti bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya, ditarik kesimpulan-kesimpulan.
4.    Pandangan-pandangan aliran perenialisme
a.    Pandangan tentang realita (ontologis)
Peremialisme memandang bahwa realita itu bersifat universal dan ada dimana saja, juga sama disetiap waktu. Inilah jaminan yang dapat dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun tersembunyi dalam satu wujut materi atau pristiwa-pristiwa yang berubah, atau pun didalam ide-de yang bereang.[38]
Relitas bersumber dan berujan akhir kepada relitas supranatural/tuhan (asas supernatural). Relitas mempunyai watak bertujuan (asas teleologis). Substansi realitas adalah bentuk dan materi (hylemorphisme).  Dalam pengalaman, kita menemukan individual ting.  Contohnya, batu,  rumput, orang, sapi, dalam bentuk, ukuran, warna dan aktivitas tertentu. Didalam individual ting tersebut, kita menemukan hal-hal yang kebetulan (accident). Contohnya, batu yang kasar atau  halus, sapi yang gemuk, orang berbakat olahraga. Akan tetapi, di dalam realitas  tersebut terdapat sifat asasi sebagai identitasnya (esensi), yaitu wujud suatu realita yang embedakan dia dari jenis yang lainnya. Contohnya, orang atau Ahmad  adalah mahluk berfikir. Esensi tersebut membedakan Ahmad sebangai manusia dari benda-benda, tumbuhan dan hewan. Inilah yang universal dimana pun ada dan sama disetiap waktu.
Ontologi perennialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individuIl, esensi, aksiden dan substansi. Perennialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya menurut istilah ini. Benda individual disini adalah benda sebagaimana  nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indera seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna dan aktifitas tertentu.
Misalnya bila manusia ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Adapun aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan yang sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial, misalnya orang suka bermain sepatu roda, atau suka berpakaian bagus, sedangkan substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan uni versal, material dan spiritual.
b.    Pandangan tentang pengetahuan (Epistimologi)
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian an tara pikir dengan benda-benda. Benda-benda disini maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian.
lni berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi  dari sesuatu.   Kepercayaan terhadap kebenaran itu  akan terlindung apabila segala  sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikiran yang konsekuen.
Menurut perenialisme filsafat yang  tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisa empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenaran probability. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.Oleh karena itu, menurut perenialisme perlu adanya dalil-dalil yang logis, nalar, sehingga sulit untuk diubah atau ditolak kebenarannya. Seperti pada prinsip-prinsip yang di kemukakan oleh Aristoteles diatas.
c.    Pandangan tentang nilai (Aksiologi)
Pandangan tentang hakikat nilai menurut perenialisme adalah pandangan mengenai hal-hal yang bersifat spiritual. Hal yang absolut atau ideal (Tuhan) adalah sumber nilai dan oleh karna itu nilai selalu bersifat teologis.Menurut  perenialisme, hakikat manusia  juga  menentukan hakikat perbuatannya, sedangkan hakikat manusia pertama-tama tergantung pada jiwanya.
Jadi persoalan nilai berarti juga persoalan spiritual. Hakikat manusia adalah emansipasi (pancaran) yang potensial lang yang berasal dari dan dipimpin oleh  Tuhan, dan atas dasar inilah tujuan baik buruk itu dilakukan. Berarti dasar-dasar yang didukung haruslah teologis.[39]
d.   Pandangan tentang pendidikan
1)   Pendidikan
Perenialisme memandang edukation as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali,atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut.
Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat  universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai  suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
2)   Tujuan pendidikan
Bagi perenialist  bahwa nilai-nilai kebenaran  bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
3)   Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan  elite itelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bago perenialist merupakan peraturan-peraturan yang  artificial  dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
4)   Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat  subject centered  berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran haris bersifat  uniform,  universal dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
5)   Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam  the great books  dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
6)   Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “mirid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi  self-discovery,  dan ia melakukan  moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang  qualifietdan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.

C.  Aliran progresifisme
1.    Sejarah Munculnya Aliran Progresifisme
Aliran progresivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah.[40] Aliran Progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan experimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga penyebutan nama progressivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi. Progressivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian "the liberal road to cultural" yakni liberal dimaksudkan sebagai fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan bersikap terbuka, serta ingin mengetahuidan menyelidiki demi pengembangan pengalaman. Progressivisme disebut sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritual dari supernatural).[41]
Naturalisme dapat menjadi materialisme karena memandang jiwa manusia dapat menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat seperti unsur-unsur materi. Dan progressivisme identik dengan experimentalisme berarti aliran ini menyadari dan memperaktekkan bahwa experiment (percobaan ilmiah) adalah alat utama untuk menguji kebenaran suatu teori dan suatu ilmu pengetahuan. Disebut juga dengan instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia (merupakan alat, instrument) sebagai kekuatan utama untuk menghadapi dan memecahkan problem kehidupan manusia.
Dengan sebutan lain yakni environtalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup sebagai medan tempat untuk berjuang menghadapi tantangan dalam hidup baik lingkungan fislk maupun lingkungan sosial. Manusia diuji sejauh mana berinteraksi dengan lingkungan, menghadapi realita dan perubahan. Sedangkan disebut sebajai aliran pragmatisme dan dianggap aliran ini pelaksana terbesar dari progressivisme dan merupakan petunjuk bahwa pelaksanaan pendidikan lebih maju dari sebelumnya. Dari pemikiran yang demikian ini maka tidaklah heran kalau pendidikan progressivisme selalu menekankan akan tumbuh dan  berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Juga kemajuan adalah di dalamnya mengandung nilai dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Kemajuan nampak kalau tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu tujuan tertentu itu dapat menjadi alat jika ingin dipakai untuk mencapai tujuan lain lagi. misalnya faedah kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.[42]
2.    Ciri-ciri Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem punyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi: Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.[43]
3.    Pandangan-pandangan Aliran Progresivisme
a.       Pandangan progresivisme tentang pendidikan
Istilah progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara harmonis dan sistematis dalam hal mendidik.Keyakinan¬keyakinan yang didasarkan pada sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatism, instrumentalisme, dan eksperimentalisme.
Progresivisme sebagai filsafat dan progresifisme sebagai pendidikan eras sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasanya tentang pendidikan, serta mempraktekkannya disekolah-sekolah yang ia dirikan Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikanya lebih mengutamakan bidang studi yang berguna atau langsung bisa dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah, dan keterampilan.Progresivisme tidak menghendaki adanya mats pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan hams diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak menghindar, dari perubahan, tidak terikat le suatu dokrin tertentu, bersifat ingin tabu, toleran, berpandangan luas serfs terbuka.
b.      Pandangan Mengenai Kurikulum
Dewey menyatakan bahwa "thr good school is cocerned with every kind of learning that helps student, young and old, to grow" (2: 124). "sekolah yang baik ialah yang memperhatikan dengan sunguh-sungguh semua jenis belajar (dan bahannya) yang membantu murid, pemuda dan orang dewasa, untuk berkembang."[44]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat. Yang dimaksud dengan pengalaman yang edukatif adalah peng alaman apa saja yang serasi tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang "berpusat pada pengalaman".
Selain jenis ini, menurut progresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang disebut "Core Curriculum", ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.
Core curriculum maupun kurikulum yang bersendikan peng alaman perlu disusun dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan penga laman yang diperlukan dan yang dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini di antaranya adalah yang di susun atas dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.[45]
c.       Pandangan Progressivisme Terhadap Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan menifestasinya, dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu berkembang dan berubah. Filsafat progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus berevolusi meningkatkan kuilitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia. De ngan sifatnya yang tidak iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa, cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
4.    Perkembangan Aliran Progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh ke belakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates (469 - 399), Protagoras (480 - 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut prag matisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan axiologi. la mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). la percaya bahwa manusia sanggup melakukan yang baik.
Dalam asas modern - sejak abad ke-16 - Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbang an dengan usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus motode experimentil (metode ilmiah dalam pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari para manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dm penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Tkinas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemuka kan teori tentang pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu "bekerja", yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat di pisahkan dari kegiatan intelek (berpikir).[46]
5.    Tokoh Progressivisme
Adapun tokoh Progressivisme ini yang dapat diambil sebagai contoh yaitu John Dewey. Pemikiran Dewey dalam dunia filsafat pendidikan termasuk dalam daftar tokoh aliran progresivisme. Progresivisme pendidikan adalah sebuah aliran filsafat pendidikan yang berorientasi ke depan dan memosisikan peserta didik sebagai salah satu subjek pendidikan yang memiliki bekal atau potensi dalam pengembangan dirinya serta berpotensi untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Progresivisme pendidikan John Dewey berarti teori-teori progresivisme pendidikan yang dikemukakan oleh John Dewey, seorang filsuf Amerika yang pragmatis.
Progresivisme bersifat evolusionistis dan percaya pada anggapan tentang adanya kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan. Progresivisme beranggapan bahwa dalam merintis sebuah perubahan ke arah kemajuan, manusia dibantu oleh jiwa dan akalnya. Dalam progresivisme, kurikulum bersifat eksperimental, sedangkan isinya harus mencerminkan pengalaman yang edukatif. Oleh karena pengalaman bisa diperoleh di dalam maupun di luar kelas, maka sekolah harus menghindarkan diri dari sifat-sifat konvensional, yakni pemisahan dikotomis antara problem kelas dengan problem luar kelas. Dengan demikian garis pemisah antara sekolah dan masyarakat atau pendidikan formal dan non formal tidak diperlukan lagi.[47]
Kurikulum pendidikan harus berisi tentang berbagai pengetahuan dan kebenaran. Dewey menegaskan bahwa muatan kurikulum bagi peserta didik tidak boleh terlalu banyak. Dia mengkritik keberadaan sekolah kuno yang terlalu banyak muatan materi yang diberikan kepada peserta didik. Sekolah kuno bertujuan agar para siswa menduduki jabatan intelektual di kemudian hari, sehingga bahan pelajaran menjadi pusat (matter-centris). Hal ini jelas tidak realistis, sebab hanya sedikit saja yang dapat memenuhi tujuan tersebut. Menurut Dewey, materi ajar kepada siswa harus dikurangi dan diganti dengan latihan dan bekerja. Tidak hanya dengan berhitung orang dididik untuk berfikir tetapi juga dengan bekerja, begitu kata Dewey. Materi pada sekolah kuno juga sering terpisah dari realitas sosial, sehingga bersifat text book centris, ini jelas tidak banyak berguna bagi pemecahan persoalan sosial peserta didik. Mestinya, materi pendidikan juga berorientasi pada integrasi antara realitas sosial dengan teori-teori yang ada.
Dewey kemudian merekomendasikan kurikulum pendidikan yang berisi tentang berbagai materi pelajaran yang mempunyai nilai guna dalam hidup atau memberikan impulse bagi peserta didik. Materi ini antara lain terdiri dari manajemen pelaksanaan perusahaan dan industri, IPS dan IPA, materi liberal dan humanistik serta kesenian.[48]
Semuanya diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan melalui proses yang membebaskan.
Pelaksanaan pendidikan Dewey didasarkan pada aspek psikologi dan sosiologi. Dari aspek psikologis, kurikulum pendidikan harus memuat masalah yang diambilkan dari kehidupan anak dalam masyarakatnya sendiri, sejajar dengan perkembangan anak, sehingga pelajaran itu hidup. Misalnya: mengenai makanan, peternakan, pertanian, sejarah, penerangan, dan lain sebagainya. Sementara dari aspek sosiologis, mata pelajaran harus dipusatkan pada masalah yang bernilai fungsional untuk peserta didik. Dengan demikian harus ada kesesuaian antara teori dan praktik; juga tidak boleh terpisah secara dikotomis antara sekolah dan masyarakat.[49] Proses Pendidikan Progresivisme John Dewey Pandangan progresivisme mengenai proses pendidikan atau belajar dalam pendidikan bertumpu pada pandangan mengenai peserta didik sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Di samping itu, menipisnya dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat menjadi pijakan pengembangan ide-ide proses pendidikan bagi progresivisme. Peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain. Dengan kecerdasan serta sifatnya yang dinamis dan kreatif, peserta didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan problem-problem yang ada. Terkait dengan itu, usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah tugas utama dalam pendidikan. Peserta didik hendaklah dipandang tidak sekadar sebagai makhluk yang berkesatuan jasmani dan ruhani saja, melainkan juga manifestasinya sebagai tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan ruhani –terutama kecerdasan- perlu difungsikan secara aktif dalam memanfaatkan lingkungannya secara optimal. Ia perlu mendapat kebebasan dalam mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya. Di sini, agar sekolah dapat berlaku wajar, maka perlu terbuka dan tidak perlu ada dinding pemisah dengan masyarakat. Sekolah merupakan miniatur masyarakat kecil.
Dengan demikian diharapkan bahwa peserta didik dapat menghayati belajar yang edukatif dan bukan mis-edukatif. Yang pertama, belajar edukatif, adalah belajar yang secara bijaksana ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang konstruktif, yang nilai-nilai dan syarat-syaratnya ditentukan berdasarkan konsepsi yang baik, yang dikehendaki oleh kebudayaan negara atau bangsa. Sementara yang kedua, belajar mis-edukatif, ialah belajar yang ditentukan oleh nilai-nilai yang kurang mendorong ke arah perkembangan yang dinamis, yang mengandung unsur-unsur yang berlawanan. Belajar model kedua bersifat tidak serasi dengan tujuan. Untuk suasana belajar edukatif, bisa dilaksanakan di dalam kelas maupun di luar kelas, sehingga pendidikan merupakan hidup itu sendiri.
Dewey menentang keberadaan sekolah kuno yang dalam proses pendidikannya terlalu meninggikan posisi guru, sehingga cenderung berperan sangat menentukan terhadap segala sesuatu (teacher-centris). Ini jelas kurang mendidik terhadap kebebasan berfikir siswa, dan yang terjadi adalah model paksaan dari guru kepada siswa. Bagi Dewey, ini tidak perlu terjadi. Guru hanyalah sebagai motivator, fasilitator, pendamping, dan penunjuk bagi minat siswa. Misal, peserta didik berminat terhadap ilmu alam, tetapi malas untuk berhitung, maka tugas guru adalah membimbing dan menunjukkan bahwa untuk bisa memahami ilmu alam, haruslah belajar untuk bisa berhitung, dan begitu seterusnya.
Di sekolah kuno, murid hanya mendengarkan (it is made for listening). Dewey menamai sekolah tradisional dengan sebutan sekolah duduk, sekolah dengar, sekolah percaya, sekolah pasif, juga sekolah buku karena anak dipaksa megambil hal yang telah lengkap dituturkan dan difikirkan dalam buku. Keadaan ini harus diubah, anak harus bekerja sendiri, mengamati, dan berfikir sendiri sesuai dengan insting yang ada padanya, dan pada akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Inilah makna istilah learning by doing yang dikehendaki Dewey dalam do school.
Menurut Dewey, metode pendidikan perlu dilakukan dengan disiplin; tetapi bukan disiplin otoritas, namun disiplin yang berorientasi pada aktivitas peserta didik. Cara yang ditempuh di sini adalah sebagai berikut. 1) Semua paksaan harus dibuang; guru harus bisa membangkitkan kekuatan internal peserta didik sehingga bisa mencapai mastery (ketuntasan). 2) Guru harus intim dengan kecakapan dan minat setiap peserta didik; tidak ada minat universal, yang ada adalah plural, sehinggga beragam dan berbeda, 3) Guru harus bisa menciptakan situasi di kelas, sehingga setiap peserta didik bisa berpartisipasi dalam proses belajar. Dengan demikian, cara mengajar harus diperhatikan oleh guru dan mendapat perhatian peserta didik. Guru harus memperhatikan insting yang dipunyai peserta didik dan guru juga perlu memperhatikan perkembangan jiwa peserta didik. Tujuan Pendidikan Progresivisme John Dewey
Pendidikan bertujuan untuk memberikan nilai-nilai bagi peserta didik sebagai pegangan dalam hidupnya. Dewey memandang bahwa sekolah merupakan lingkungan masyarakat kecil, dan cerminan daripadanya. Ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan sekolah terhadap masyarakat. Setidaknya, sekolah jangan hanya sebagai ”menara gading” yang menjulang jauh di atas masyarakat. Keduanya perlu saling berinteraksi secara positif. Pandangan ini perlu dipegang dengan teguh disertai harapan terwujud, meskipun realisasinya tidak semata hasil terjemahan harfiah.[50] Dengan demikian, tujuan pendidikan dalam progresivisme pendidikan Dewey adalah untuk memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dewey menulis bahwa pendidikan itu mengehendaki (dalam tingkatan yang urgen) adanya filsafat pendidikan yang berlandaskan pada filsafat pengalaman. Secara singkat Dewey menyinggung adanya kesatuan rangkaian pengalaman. Kesatuan rangkaian pengalaman ini mempunyai dua aspek penting bagi pendidikan; 1) hubungan kelanjutan di antara individu dan masyarakat, dan 2) hubungan kelanjutan di antara fikiran dan benda. Dalam hal ini, Dewey sejalan dengan Plato, bahwa tidak ada individu atau masyarakat yang lepas antara satu dengan yang lain. Fikiran pun tidak bisa lepas dari aktivitas mental dan pengalaman. Maka pendidikan juga harus bertujuan untuk menghilangkan skat antara ruang kelas dan masyarakat. Dalam artian, ruang pendidikan di kelas merupakan forum untuk mendiskusikan berbagai persoalan di masyarakat.
Dewey juga melihat arti pentingnya bekerja. Bekerja memberikan pengalaman, dan pengalaman memimpin orang untuk berfikir, sehingga orang dapat bertindak bijaksana dan benar. Pengalaman mempengaruhi pula budi pekerti orang. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman positif merupakan pengalaman yang benar, pengalaman yang berguna dan dapat diterapkan dalam kehidupan. Sementara pengalaman negatif adalah pengalaman yang tidak benar, merugikan, atau menghambat kehidupan dan tidak perlu dipakai lagi.[51] Pengalaman dalam suatu waktu terdiri dari beberapa aspek yang saling berhubungan dan sebagai rentetan kejadian. Sebuah pengalaman harus bisa dibuktikan berguna atau tidak; yang tidak berguna harus dibuang.
Dengan begitu, pendidikan bertujuan untuk memberikan hal-hal yang berguna bagi peserta didik berdasar pada pengalaman-pengalaman yang ada. Pengalaman-pengalaman yang tidak membawa guna sebaiknya tidak dipakai lagi. Sekolah harus merupakan sekolah kerja, agar peserta didik selalu aktif dalam permainan dan bekerja. Pendidikan juga bertujuan untuk mencari dan mencari pengetahuan yang benar. The truth is in the making.
Menurut Dewey, pendidikan juga memberikan kesempatan hidup. Hidup itu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Kesempatan diberikan dengan jalan berbuat secara individual maupun kelompok untuk mendapatkan pengalaman sebagai suatu modal berharga dalam berfikir kritis secara produktif dan berbuat susila. Sekolah yang dikehendaki Dewey adalah “sekolah kerja”. Masyarakat harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan warganya untuk pendidikannya, agar tidak bergantung pada dogma, melainkan berfikir secara bebas, disiplin, obyektif, kreatif, dan dinamis. Bagi Dewey peserta didik memiliki empat (4) insting; yakni insting sosial, membentuk/membangun, menyelidiki, dan kesenian.
Bagi Dewey, pendidikan bahkan merupakan kebutuhan hidup. Pendidikan merupakan suatu transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Komunikasi adalah proses dari pernyataan empiris dan proses modifikasi watak, sehingga menjadi suatu keadaan pribadi. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap rancangan sosial memiliki bagian penting dari sebuah kelompok, dari yang tertua hingga yang termuda. Sebagai sebuah masyarakat yang sangat kompleks dalam struktur maupun sumber daya, manusia membutuhkan pengajaran formal serta proses pembelajaran. Maka pendidikan bermaksud untuk memberikan kesiapan hidup bagi peserta didiknya agar mudah dalam menjalani hidup.
Dewey menyatakan bahwa pendidikan itu “preparing or getting ready for some future duty or privilege” (mempersiapkan atau mendapat kesiapan untuk banyak tugas atau tanggung jawab di masa mendatang). Lebih lanjut, Dewey menegaskan, “The notion that education is an unfolding from within appears to have more likeness to the conception of growth which has been set forth. Dengan demikian, pemikiran Dewey tentang pendidikan lebih condong kepada suatu konsepsi pendidikan yang harus dibentangkan dari yang tampak dan memiliki banyak kesamaan dengan konsepsi pertumbuhan yang menjadi perlengkapan seterusnya. Progresivisme pendidikan Dewey mengehendaki adanya asas fleksibilitas demi memajukan pendidikan. Untuk tujuan itu, pendidikan harus bersifat demokratis; dan untuk mencapai demokratisasi pendidikan diperlukan modal yang besar, sehingga –bisa dikatakan- Dewey sangat mendukung terhadap program-program kapitalisme demi mewujudkan tatanan yang demokratis, baik dalam lingkup pendidikan maupun tatanan yang lebih luas. Dewey menegaskan:
“We still find a view put forth as to an intrinsic and necessary connection between democracy and capitalism which has a psychological foundation and temper. For it is only because of belief in ascertain theory of human nature that the two are said to be siamese twins, so that attack upon one is threat directed at the life of the other.”

D.      Aliran Rekontruksionisme
1.    Latar Belakang Aliran Rekontruksionisme
Rekonstrusionisme di pelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru, masyrakat yang pantas dan adil.[52] Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivme, gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.
Selain itu, mazhab ini juga berpandangan bahwa pendidikan hendaknya memelopori melakukan pembaharuan kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih baik.karena itu pendidikan harus mengembangkan ideology kemasyarakatan yang demokratis.
Alasan mengapa rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.Dalam aliran rekonstruksionisme berusaha menciptakan kurikulum baru dengan memperbaharui kurikulum lama.
Progresivisme pendidikan didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang studi.ini berkelanjutan pada pendidikan rekonstruksionisme yaitu guru harus menyadarkan sipendidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia untuk diselesaikan, sehingga anak didik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut.
2.      Rekontruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang  bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930. [53]
Pada dasarnya aliran rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina konsensus yang paling luas dan  paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia “restore to the original form”. Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan, rekonstruksioonalisme ingin “merombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru”.[54]
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari kesepakatan antar sesama manusia atau agar dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya.Maka, proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru. Untuk tujuan tersebut diperlukan kerja sama antarumat manusia.[55]
Rekonstruksinalisme mencita-citakan terwujudnya sutu dunia baru, dengan kebudayaan baru dibawah suatu kedaulatan dunia, dalam control mayoritas umat manusia.Dengan  kata lain perkataan aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang menghendaki  agar anak didiknya dapat dibandingkan kemampuaannya untuk secara kontruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan perkembangan masyarakat sebagai akibat adanya  pengaruh dari ilmu pengetahuaan dan teknologi. Dengan penyesuaian seperti anak didik akan tetap berada dalam suasana aman dan bebas.[56]
  1. Prinsip-Prinsip Aliran Rekonstruksionisme
a.       Masyarakat dunia sedang dalam kondisi  Krisis , jika praktik- praktik yang ada  sekarang  tidak dibalik,maka peradaban yang kita kenal ini akan mengalami kehancuran. Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran) kekayaan, poliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan penggunaan teknologi yang ‘sembrono’  dan tidak bertanggung jawab telah mengancam dunia kita sekarang dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi segera mungkin. Persoalan-persoalan tersebut menurut kalangan rekonstruksionisme, berjalan seiring dengan tantangan totalitarisme modern, yakni hilangnya nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya kedunguan fungsional penduduk dunia. Singkatnya, dunia sedang menghadapi persoalan-persoalan sosial, militer dan ekonomi pada skala yang terbayangkan. Persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut sudah sedemikian beratnya sehingga tidak dapat lagi diabaikan.
b.      Solusi efektif satu-satunya bagi pesoalan- pesoalan dunia kita  adalah penciptaan social yang menjagat. Kerjasama dari semua bangsa adalah satu-satunya harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem nilai dan mentalitas politik yang dianut di era kuda dan andong.Menurut rekonstruksionisme, umat manusia sekarang hidup dalam masyarakat dunia yang mana kemampuan teknologinya dapat membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang. Dalam masyrakat ini, sangat mungkin muncul penghayal karena komunitas internasional secara bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan material menuju ke tingkat dimana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap paling penting. Dunia semasa itu, orang-orang berkonsentrasi untuk menjadi manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
c.       Pendidikan formal dapat menjadi agen utama dalam rekonstruksi  tatanan sosial. Sekolah-sekolah yang merefleksikan nilai-nilai sosial dominan, menurut rekonstruksionisme hanya akan mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang ini mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi baru. Tugas mengubah peran pendidikan amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan memusnahkan diri.Kalangan rekontruksionis di satu sisi tidak memandang sekolah sebagai memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial seorang diri. Di sisi lain, mereka melihat sekolah sebagai agen kekuatan utama yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia menyantuni anak-anak didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan sosial.
d.      Metode-metode pengajaran  harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis  yang bertumpu pada kecerdasan ‘ asali’  jumlah mayoritas  untuk merenungkan  dan menewarkan solusi  yang paling valid  bagi persoalan –persoalan umat manusia. Dalam pandangan kalangan rekonstruksionisme, demokrasi adalah sistem politik yang terbaik karena sebuah keharusan bahwa prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
Brameld menggunakan istilah pemihakan defensif untuk mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi ini, guru membolehkan uji pembuktian terbuka yang setuju dan yang tidak setuju dengan pendapatnya, dan ia menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mengungkapkan dan mempertahankan pemihakannya secara publik. Di luar ini, guru harus berupaya agar pendirian-pendiriannya diterima dalam skala seluas mungkin. Tampaknya telah diasumsikan oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu sedemikian clear-cut (jelas-tegas) sehingga sebagian besar akan setuju terhadap persoalan-persoalan dan solusi-solusi jika dialog bebas dan demokratis diizinkan.
e.       Jika pendidkan formal adalah   bagian yang tak terpisahkan dari  solusi social  dalam krisis dunia sekarang , maka ia harus  secara  aktif mengerjakan perubahan social.[57]
  1. Tokoh-tokoh Aliran Rekonstruksionisme
Aliran filsafat Rekonstruksionisme dipelopori oleh Goerge Count dan Harold Rugg pada 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru, masyarakat yang dipandang pantas dan adil.Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh pemikiran progresif Dewey; dan ini menjelaskan mengapa aliran Rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatism.
  1. Pandangan rekonstruskionisme
Pandangan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme terhadap pendidikan yaitu pertama kita harus mengetahui pengertian dari filsafat.Yangmana filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu khusus.Menurut pendapat Runes (1971:235), bahwa filsafat adalah keterangan rasional tentang sesuatu yang merupakan prinsip umum yang kenyataannya dapat dijelaskan dengan membedakan pengetahuan rasional dan pengetahuan empiris (sains).
Filsafat bagi pendidikan adalah teori umum sehingga dapat menjadi pilar bagi bangunan dunia pendidikan yang berusaha memberdayakan setiap pribadi warga negara untuk mengisi format kebudayaan bangsa yang didinginkan dan diwariskan.Aliran rekonstruksionisme adalah sepaham dengan aliran perenialisme dalam tindakan mengatasi krisis kehidupan modern.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.[58]
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani.Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna dengan azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, sementara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak, Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekalisunyi dan subtansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan.Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pendidikan. Yang mana pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhirnya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik).
  1. Teori Pendidikan Rekonstruksionisme
a.       Tujuan Pendidikan
1)   Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan   perubahan sosial,     ekonomi dan politik dalam masyarakat.
2)   Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial,    warga-warga negara yang mempunyai tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
3)   Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b.      Metode pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan.Dengan demikian menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan program aksi perbaikan masyarakat.
c.       Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusi, yang termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.
Pelajar, Siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
Pengajar, Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Guru harus terampil dalam membantu peserta didik menghadapi kontroversi dan perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir berbeda-beda sebaga suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme ada 5 yaitu:
1)   Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
2)   Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati dimana sumber dan   lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.
3)   Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
4)   Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi dirinnya dengan cara bijaksana dengan   cara memperhatikan prosedur yang demokratis
5)   Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
6)   meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.[59]

BAB III
PENUTUP

Aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
Aliran Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Salah satu tokohnya yaitu John Dewey.
Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran pendidikan rekonstruksionisme Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hamdani. 1986. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kota Kembang
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy (terj: Hasan Langgulung), 1979.  Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Alwasiah, Chaedra. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Pt Remaja Rosdakarya
Amri, Amsal. 2009. Studi Filsafat Pendidikan, Banda Aceh: PENA
Barnadib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP
Davies, Brian. 1993.  The Thought of Thomas Aquinas.  Oxford : Clarendon Press.
Djumransyah, 2004. Filsafat Pendidikan, Jakarta: Bayumedia
Gandhi, Teguh Wangsa. 2013. Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat Pendidikan Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Gilson, Etienne. 1948. The Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Dorset Press.
Idi, Jalaluddin dan Abdullah. 2010. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: Arruz Media. Cet. III
Indar, Djumberansyah. 1994. Filsafata Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama
Jalaluddin, 2010. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-ruzz media
Kaderi, M . Alwi. 2011. Filsafat Pendidikan, Banjarmasin
Khobir, Abdul. 2007. Filsafat Pendidikan Islam, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press
Knight, George. 2007. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif. Yogyakarta, Gama Media
Maksum, Ali. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Parasetya,  Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia,  2002).
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 2.
Sa’dullah, 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta
Sadullah, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandumg: ALFABETA
Santoso, 2012. Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Agung Harapan
Soejono. 1978. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bagian 1. Bandung: CV. Ilmu
Suhar. 2009. Filsafat Umum. Jakarta: Persada Press
Syam, M. Noor. 1998. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Wahyuni, Dinn. 2010. Pengantar Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka
Zuhairini, 1975. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Angkasa
Anonim Aquinas (Thomas Aquinas). http://psiko-edu.blogspot.com
Fadliyanur. Aliran Rekontruksionisme. Dalam http://fadliyanur.blogspot.com
Makalah Filsafat Pendidikan. Dalam http://adanfa.blogspot.com
Silautama, Kukuh. 2009. Aliran Perenialisme dalam Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com
Syamsul, Rukiyah Hadi. 2009, Filsafat Pendidikan rekonstruksionalisme, dalam http/syamsulhadi.blogsport.com
Wahyudi. Aliran Esensialisme. Dalam http://wahyudisy.blogspot.com



[1] Santoso, Kamus Praktis Bahasa Indonesia,( Jakarta: Pustaka Agung Harapan), 2012, hlm. 162
[2]Dinn Wahyuni, dkk, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), hlm.14.
[3] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany (terj: Hasan Langgulung),  Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Hlm. 14
[4] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[5]Djumransyah, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Bayumedia, 2004), hlm.183.
[6] Djumransyah, Filsafat Pendidikan, hlm. 184.
[7]Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Pt Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.102-103.
[8] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan,Banda. (Aceh: Yayasan Pena). Hlm. 70
[9] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 161
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 162
[11] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Aggota IKAPI, 2007). Hlm. 165
[12] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: Arruz Media, 2010), Cet. III, hlm. 100
[13] Wahyudi. Aliran Esensialisme. Dalam http://wahyudisy.blogspot.com
[14] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[15] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[17] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982), Hlm. 38-40
[18] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004). Hlm. 25
[19]Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986), Hlm. 96.
[20] Parasetya,  Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia,  2002). Hlm. 85 
[21] Makalah Filsafat Pendidikan. Dalam http://adanfa.blogspot.com
[22] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 27
[23] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 28
[24] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[25] Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009), Hlm. 151.
[26] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 598
[27] Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 110
[28] Suhar. Filsafat Umum. (Jakarta: Persada Press, 2009). Hlm. 122
[29] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 600
[30] Ali Maksum. 2010. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik Hingga Postmoderisme. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA. Hlm. 100
[31] Kukuh Silautama. 2009. Aliran Perenialisme dalam Pendidikan. http://kukuhsilautama.wordpress.com
[32] Bertrand Russell. 2004. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar ). Cet. 2. Hlm. 606
[33] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). Hlm. 29
[34] Anonim Aquinas (Thomas Aquinas). http://psiko-edu.blogspot.com
[35] Davies, Brian. 1993.  The Thought of Thomas Aquinas.  Oxford : Clarendon Press. Hlm. 6
[36] Davies, Brian. 1993.  The Thought of Thomas Aquinas.  Oxford : Clarendon Press. Hlm. 10
[37]Etienne Gilson. 1948. The Philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Dorset Press. Hlm 37-38.
[38] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm. 72
[39] Amsal Amri, Studi Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: PENA, 2009). Hlm. 74
[40] Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2007). Hlm. 53
[41] Uyoh Sadullah. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandumg: ALFABETA, 2007). Hlm. 141-142
[42] Djumberansyah Indar. Filsafata Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994). Hlm. 131-132
[43] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 28
[44] M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1998) Hlm. 252

[45] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 36
[46] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1975) Hlm. 22-24
[47] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 29.
[48] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 81-82
[49] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi Offset, 1990) Hlm. 77-78
[50] Imam Barnadib. Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2002),  hlm. 61-62.
[51] Soejono. Aliran Baru dalam Pendidikan. Bagian 1. (Bandung: CV. Ilmu, 1978), hlm. 128-130
[52] Fadliyanur. Aliran Rekontruksionisme. Dalam http://fadliyanur.blogspot.com
[53] Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Hlm. 189
[54] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Hlm. 29
[55] Jalaluddin, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Ar-ruzz media, 2010). Hlm. 118-119
[56] M . Alwi Kaderi, Filsafat Pendidikan, ( Banjarmasin, 2011 ) Hlm. 125
[57] George Knight. Issue and Alternative in Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif. (Yogyakarta, Gama Media, 2007). Hlm. 185-190
[58] Jalaludin, Filsafat Pendidikan, Filsafat Dan Pendidikan  (Yogyakarta, Ar-ruzz Media, 2010) Hlm. 119
[59] Rukiyah Hadi Syamsul. 2009, Filsafat Pendidikan rekonstruksionalisme, dalam http/syamsulhadi.blogsport.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar