Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH MACAM-MACAM ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mentalis umat Islam Indonesia masa kini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada 1914-lebih 80 tahun yang lalu-ketika D.A. Rinkes penasihat untuk urusan bumi putera mengatakan bahwa umat melakukan mistifikasi agama artinya percaya bahwa dengan Islam segalanya akan beres, tetapi tidak tahu apa yang seharusnya dikerjakan, hanya “ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas. Bisa dipahami kalau dalam waktu yang sama Radjiman Widiyodipuro-tokoh BU berpendapat bahwa agama tidak dapat menjadi pengikat masa, meskipun dapat menjadi daya Tarik. Keadaan itu agak tertolong ketika pada 1915 Tjokroaminoto merumuskan sebuah pra ideologi dengan mengatakan bahwa “Islam adalah agama bagi orang miskin dan orang tertindas”.[1]
Sejak itulah Islam dilihat sebagai ideologi. Ilmu-ilmu dalam Islam mencakup kawasan yang sangat luas dan sebagian diantaranya tidak relevan lagi dengan keperluan masa kini. Karena itu diperlukan pemilihan atas bagian-bagian mana yang perlu dikembangkan dan mana yang dibiarkan menjadi bagian dari sejarah. Tujuan pengkajian sangat menentukan dalam pemilihan ini. secara etik, tujuan ini berupa pengetahuan sistematis yang berguna bagi muslim-dan siapa saja yang mau mengambil manfaat daripadanya-dalam menjalankan fungsi sebagai khalifah Tuhan di bumi, yakni mengusahakan kemuliaan dan pemuliaan kehidupan manusia.[2]
Tapi sampai sejauh ini, perdebatan dikalangan Islam masih berkisar pada tingkat semantik. Mereka yang berlatar belakang tradisi Ilmu keislaman konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi barat, katakanlah dari cendekiawan muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris.[3]
Seiring berjalannya waktu, perdebatan itu terus terjadi. Oleh karena itu, Kuntowijoyo mengatakan bahwa harus ada cara lain untuk menjembatani perdebatan tersebut. pertama-tama perlu menghindari istilah teologi, karena disamping akan membingungkan, istilah tersebut nampaknya kurang cocok dengan apa yang dikehendaki. Semangat dari gagasan teologi transformatif yang dikemukakan moslim Abdurrahman lebih tepat diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial trasformatif.[4]
Persoalan kita sekarang adalah ilmu sosial yang bagaimana yang mampu dipakai untuk transformasi? Pertama-tama kita menyadari bahwa dewasa ini, ilmu sosial yang ada sedang mengalami kemandekan. Itu sebabnya muncul gagasan tentang ilmu sosial transformatifyang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikannya. Tetapi timbul persoalan, kearah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai disini ilmu-ilmu sosial transformatif tidak memberi jawaban yang jelas.[5]
Berkaitan dengan hal di atas, Kuntowijoyo mengemukakan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.[6]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Kuntowijoyo?
2.      Bagaimana konsep gagasan integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mendeskripsikan biografi Kuntowijoyo.
2.      Untuk mendeskripsikan konsep gagasan integrasi keilmuan Kuntowioyo.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Kuntowijoyo
1.      Biografi Intelektual Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir pada tanggal 18 September 1943, di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta dengan rata-rata masyarakatnya pada saat itu berprofesi sebagai petani dan pedagang. Ia adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di antara sekian banyak cendekiawan lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal sebagai sejarawan, budayawan dan sastrawan. Sudah banyak karya yang lahir dari tangannya baik karya fiksi maupun non fiksi. Kunto yang merupakan panggilan akrabnya sejak kecil adalah anak kedua dari sembilan bersaudara, yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu perempuan dari pasangan suami-istri H. Abdul Wahid Sastro Martoyo dengan Hj. Warasti. Latar belakang ayah dan ibunya adalah Jawa santri dan berdara bangsawan Jawa dari lingkungan Surakarta.Ayah Kunto berasal dari Merger, Klaten dan ibunya berasal dari Ngawonggo Klaten, sebuah daerah yang terletak di sebelah timur  kota Yogyakarta.  Walaupun Kunto dilahirkan di Yogyakarta, namun ia dibesarkan di Ngawonggo, Ceper, Klaten dan Surakarta.
Sebagai keturunan keluarga Jawa terkemuka, Kunto memperoleh pendidikan yang komplit. Di masa kanak-kanak dan remajanya antara lain, Ia mendapatkan pendidikan dan pergaulan yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan taat kepada agama. Masa kecil Kuntowijoyo dihabiskan di tempat tinggal kakeknya R. M. Martosumo di Ngawonggo, Ceper, Klaten, Surakarta. Setelah berumur tujuh tahun  Kunto menempuh pendidikan dasar di SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan Sekolah Jawa. Kunto menempuh pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah sejak 1950-1956. Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah ia jalani sehabis waktu dhuhur sampai selepas atsar, di sinilah ia belajar agama yang bertempat di surau seperti lazimnya anak-anak lainnya. Ketika belajar di madrasah, Kunto kecil kagum kepada Ustad Mustajab, guru mengajinya. ''Ia bisa menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik, menghanyutkan para murid seolah ikut mengalami peristiwa itu,'' tuturnya. Teman-teman Kunto sering menyebut sekolah ini sebagai Sekolah Arab. Setelah sekolah Kunto biasanya mengaji di surau sejak Maghrib sampai pada Isya’ dan terkadang bermain di surau ini sampai jam sebelas malam. Sejak belajar di surau inilah Kunto mengenal organisasi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia). Dalam PII Kunto banyak belajar berdeklamasi, bermain drama dan menulis puisi dari M. Saribi Arifin dan M. Yusmanan, yang belakangan ia kenal sebagai penyair betulan. Semua kegiatan tersebut dilakukan di surau yang serba guna selain untuk belajar juga untuk bermain dan ronda. Semenjak beraktivitas di Surau inilah Kunto mengenal Muhammadiyah walaupun menurutnya itu secara kebetulan karena surau tersebut milik Muhammadiyah. Ia juga mengikuti kegiatan Hisbul Wathon, sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah namun ia baru mulai mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah setelah ayahnya mengusahakannya untuk dapat ikut Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1990 di Yogyakarta. 
Sejak kecil Kunto rajin membaca dan rajin mengunjungi perpustakaan Masyumi yang hampir bahan bacaan yang terdapat di perpustakaan tersebut sudah dibaca. Diantara bahan bacaan yang paling ia gemari adalah Abadi. Dari Abadi inilah Kunto banyak belajar bertanya dan berfikir kritis. Ditambah selain itu keseharian Kunto yang selalu belajar di surau menjadikan kekagumannya pada Pak Mustajab yang selain mengajar juga sebagai pimpinan pandu, pemain sandiwara, dagelan dan suka berpidato agama dan politik. Setelah lulus dari sekolah Ibtidaiyah, ia melanjutkan pendidikan formalnya di pendidikan yang lebih tinggi yakni di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah pertama selama tiga tahun (1956-1959), SMP I Klaten terletak di kota yang tentunya berbeda dengan sekolah di SRN yang letaknya di desa. Selain hari-harinya diisi dengan materi-materi pendidikan formal, ia tetap menekuni kegemarannya membaca dan menulis.  Pendidikan formal yang ditempuh Kunto sejak SRN, Madrasah Ibtidaiyah dan SMP, kemudian berlanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo. Setelah dua jenjang pendidikannya dijalani di Klaten, Ia menempuh pendidikan atas di SMA II Solo sejak 1959-1962, yakni sebuah kota yang terletak sebelah timur dari kota Klaten. Setelah menamatkan pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan pendidikan selanjutnya di perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 
Minat pendidikan Kunto ternyata tidak berhenti pada jenjang SMA saja, pada jenjang pendidikan perguruan tinggi ia memilih jurusan Sejarah sebagai pilihannya di universitas itu. Ia masuk jurusan sejarah pada Fakultas Sastra UGM semenjak 1962 dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969. Semenjak tahun 1968 karyanya sudah mendapat penghargaan maupun hadiah.  Kunto yang mulai menekuni kesenian, khususnya sastra dan teater pada masa mahasiswa, Ia mendirikan LEKSI (Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam) dan menjabat sebagai Sekretaris, kemudian mendirikan ISBM bersama kawan-kawannya dari Fakultas Satra dan ASRI. Selain itu ia bersama teman-temannya membentuk grup studi Mantika. Di sinilah ia bergaul dengan para tokoh muda teater, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said. Semenjak tahun 1965-1970, Kunto sudah menjadi asisten dosen pada Jurusan Sejarah UGM. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi dengan beasiswa dari Fulbright ke University of Connecticut USA hingga memperoleh gelar MA dari Universitas tersebut. Tugas belajar yang dimulai tahun 1973 berlanjut di tahun 1975-1980 dengan menekuni Ilmu Sejarah di Columbia University, USA dengan beasiswa dari Rocklefeller Foundation. Dari universitas inilah ia mendapat gelar Ph.D, bidang Ilmu Sejarah, dengan disertasinya yang berjudul Social Change In An Agrarian Society: Madura 1850-1940.  Mengenai disertasi ini, Kunto beralasan, karena judul ini belum ada yang mengkaji dan banyak teman-temannya berasal dari Madura, selain itu Madura merupakan tempat mayoritas orang Islam. 
Keaktifannya tidak hanya dalam menulis, tetapi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan maupun organisasi profesi. Di Muhammadiyah terakhir tercatat sebagai anggota Majelis Pertimbangan PP. Muhammadiyah. Selain itu Kunto juga terlibat dalam pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) menurutnya ia terlibat dalam pendirian ICMI karena setuju dengan programnya dan bagi Kunto yang kita perlukan adalah peningkatan kualitas. Selanjutnya, Kunto juga tercatat sebagai anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan), sebuah pusat studi di Yogyakarta yang di pelopori oleh Amien Rais, di samping itu ia masuk dalam MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dan HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) dan KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall, Land, en Volkenkunde) Belanda.  Kunto selama empat bulan yakni bulan September sampai Desember 1984, menjadi dosen tamu di Universitas Filipina dan di bulan Juni sampai Agustus 1985 menjadi dosen tamu di Universitas Michigan.
Minatnya tidak berhenti oleh sakit yang pernah di deritanya, semangatnya untuk menulis dan memberikan karya-karya yang terbaik tetap ia tekuni sebagai seorang intelektual yang selalu optimis untuk berkarya dalam ilmu-ilmu yang ditekuninya.  Sejak 6 Januari 1992, Kunto terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak) serta komplikasi otak yang menyebabkan ia collapse selama beberapa waktu. Sejak itu berbagai penyakit datang dan pergi menghampiri dirinya. Dalam upaya penyembuhannya itu, ia menjalani perawatan fisioterapi untuk melatih gerakan anggota tubuhnya di bawah pengawasan neurolog, Samekto Wibowo, adik kandungnya. Tuhan Maha Pemurah, meski secara fisik kelihatan sakit, ternyata tidak demikian dengan daya kreatifnya yang terus meledak-meledak. Selama ia sakit menuju proses penyembuhan seakan-akan ia telah mengalami sebuah pencerahan rohani yang demikian dahsyat, tulisannya masih terus mengalir. Beberapa gagasan Kuntowijoyo yang terkenal misalnya: Ilmu Sosial Profetik, Sejarah Sosial, Periodesasi Kesadaran Umat Islam, dan Objektifikasi Islam serta metode Strukturalisme Transendental, kini sudah banyak dikaji dan menjadi wacana tersendiri.  Kunto meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya dikebumikan esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA, beserta dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta. Sebelum meninggal Kunto hidup bersama keluarganya dengan pola hidup yang sederhana. Pada waktu itu, rumahnya dibeli dengan harga RP 4, 5 juta. Meskipun menjadi guru besar, tapi sejak tahun 1985, ia bersama isteri dan anak-anaknya hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta.[7]

2.      Karya-karya Kuntowijoyo
Sebagai keturunan keluarga Jawa terkemuka, Kunto memperoleh pendidikan yang komplit. Di masa kanak-kanak dan remajanya antara lain, Ia mendapatkan pendidikan dan pergaulan yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan taat kepada agama. Masa kecil Kuntowijoyo dihabiskan di tempat tinggal kakeknya R. M. Martosumo di Ngawonggo, Ceper, Klaten, Surakarta. Setelah berumur tujuh tahun  Kunto menempuh pendidikan dasar di SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan Sekolah Jawa. Kunto menempuh pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah sejak 1950-1956. Pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah ia jalani sehabis waktu dhuhur sampai selepas atsar, di sinilah ia belajar agama yang bertempat di surau seperti lazimnya anak-anak lainnya. Ketika belajar di madrasah, Kunto kecil kagum kepada Ustad Mustajab, guru mengajinya. ''Ia bisa menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik, menghanyutkan para murid seolah ikut mengalami peristiwa itu,'' tuturnya. Teman-teman Kunto sering menyebut sekolah ini sebagai Sekolah Arab. Setelah sekolah Kunto biasanya mengaji di surau sejak Maghrib sampai pada Isya’ dan terkadang bermain di surau ini sampai jam sebelas malam. Sejak belajar di surau inilah Kunto mengenal organisasi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia).15 Dalam PII Kunto banyak belajar berdeklamasi, bermain drama dan menulis puisi dari M. Saribi Arifin dan M. Yusmanan, yang belakangan ia kenal sebagai penyair betulan. Semua kegiatan tersebut dilakukan di surau yang serba guna selain untuk belajar juga untuk bermain dan ronda. Semenjak beraktivitas di Surau inilah Kunto mengenal Muhammadiyah walaupun menurutnya itu secara kebetulan karena surau tersebut milik Muhammadiyah. Ia juga mengikuti kegiatan Hisbul Wathon, sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah namun ia baru mulai mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah setelah ayahnya mengusahakannya untuk dapat ikut Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1990 di Yogyakarta. 
Sejak kecil Kunto rajin membaca dan rajin mengunjungi perpustakaan Masyumi yang hampir bahan bacaan yang terdapat di perpustakaan tersebut sudah dibaca. Diantara bahan bacaan yang paling ia gemari adalah Abadi. Dari Abadi inilah Kunto banyak belajar bertanya dan berfikir kritis. Ditambah selain itu keseharian Kunto yang selalu belajar di surau menjadikan kekagumannya pada Pak Mustajab yang selain mengajar juga sebagai pimpinan pandu, pemain sandiwara, dagelan dan suka berpidato agama dan politik. Setelah lulus dari sekolah Ibtidaiyah, ia melanjutkan pendidikan formalnya di pendidikan yang lebih tinggi yakni di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah pertama selama tiga tahun (1956-1959), SMP I Klaten terletak di kota yang tentunya berbeda dengan sekolah di SRN yang letaknya di desa. Selain hari-harinya diisi dengan materi-materi pendidikan formal, ia tetap menekuni kegemarannya membaca dan menulis.  Pendidikan formal yang ditempuh Kunto sejak SRN, Madrasah Ibtidaiyah dan SMP, kemudian berlanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo. Setelah dua jenjang pendidikannya dijalani di Klaten, Ia menempuh pendidikan atas di SMA II Solo sejak 1959-1962, yakni sebuah kota yang terletak sebelah timur dari kota Klaten. Setelah menamatkan pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan pendidikan selanjutnya di perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 
Minat pendidikan Kunto ternyata tidak berhenti pada jenjang SMA saja, pada jenjang pendidikan perguruan tinggi ia memilih jurusan Sejarah sebagai pilihannya di universitas itu. Ia masuk jurusan sejarah pada Fakultas Sastra UGM semenjak 1962 dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969. Semenjak tahun 1968 karyanya sudah mendapat penghargaan maupun hadiah.  Kunto yang mulai menekuni kesenian, khususnya sastra dan teater pada masa mahasiswa, Ia mendirikan LEKSI (Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam) dan menjabat sebagai Sekretaris, kemudian mendirikan ISBM bersama kawan-kawannya dari Fakultas Satra dan ASRI. Selain itu ia bersama teman-temannya membentuk grup studi Mantika. Di sinilah ia bergaul dengan para tokoh muda teater, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, dan Salim Said. Semenjak tahun 1965-1970, Kunto sudah menjadi asisten dosen pada Jurusan Sejarah UGM. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi dengan beasiswa dari Fulbright ke University of Connecticut USA hingga memperoleh gelar MA dari Universitas tersebut. Tugas belajar yang dimulai tahun 1973 berlanjut di tahun 1975-1980 dengan menekuni Ilmu Sejarah di Columbia University, USA dengan beasiswa dari Rocklefeller Foundation. Dari universitas inilah ia mendapat gelar Ph.D, bidang Ilmu Sejarah, dengan disertasinya yang berjudul Social Change In An Agrarian Society: Madura 1850-1940.  Mengenai disertasi ini, Kunto beralasan, karena judul ini belum ada yang mengkaji dan banyak teman-temannya berasal dari Madura, selain itu Madura merupakan tempat mayoritas orang Islam.  Keaktifannya tidak hanya dalam menulis, tetapi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan maupun organisasi profesi. Di Muhammadiyah terakhir tercatat sebagai anggota Majelis Pertimbangan PP. Muhammadiyah. Selain itu Kunto juga terlibat dalam pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) menurutnya ia terlibat dalam pendirian ICMI karena setuju dengan programnya dan bagi Kunto yang kita perlukan adalah peningkatan kualitas. Selanjutnya, Kunto juga tercatat sebagai anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan), sebuah pusat studi di Yogyakarta yang di pelopori oleh Amien Rais, di samping itu ia masuk dalam MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dan HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) dan KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall, Land, en Volkenkunde) Belanda.  Kunto selama empat bulan yakni bulan September sampai Desember 1984, menjadi dosen tamu di Universitas Filipina dan di bulan Juni sampai Agustus 1985 menjadi dosen tamu di Universitas Michigan. Minatnya tidak berhenti oleh sakit yang pernah di deritanya, semangatnya untuk menulis dan memberikan karya-karya yang terbaik tetap ia tekuni sebagai seorang intelektual yang selalu optimis untuk berkarya dalam ilmu-ilmu yang ditekuninya.  Sejak 6 Januari 1992, Kunto terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak) serta komplikasi otak yang menyebabkan ia collapse selama beberapa waktu. Sejak itu berbagai penyakit datang dan pergi menghampiri dirinya. Dalam upaya penyembuhannya itu, ia menjalani perawatan fisioterapi untuk melatih gerakan anggota tubuhnya di bawah pengawasan neurolog, Samekto Wibowo, adik kandungnya. Tuhan Maha Pemurah, meski secara fisik kelihatan sakit, ternyata tidak demikian dengan daya kreatifnya yang terus meledak-meledak. Selama ia sakit menuju proses penyembuhan seakan-akan ia telah mengalami sebuah pencerahan rohani yang demikian dahsyat, tulisannya masih terus mengalir. Beberapa gagasan Kuntowijoyo yang terkenal misalnya: Ilmu Sosial Profetik, Sejarah Sosial, Periodesasi Kesadaran Umat Islam, dan Objektifikasi Islam serta metode Strukturalisme Transendental, kini sudah banyak dikaji dan menjadi wacana tersendiri.  Kunto meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya dikebumikan esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA, beserta dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta. Sebelum meninggal Kunto hidup bersama keluarganya dengan pola hidup yang sederhana. Pada waktu itu, rumahnya dibeli dengan harga RP 4, 5 juta. Meskipun menjadi guru besar, tapi sejak tahun 1985, ia bersama isteri dan anak-anaknya hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta.[8]

B.     Gagasan integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo
1.      Asal usul gagasan Ilmu Sosial Profetik
      Kuntowijoyo menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam.  Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.[9]
Pendapat lain mengatakan bahwa asal usul intelektual ilmu sosial profetik ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam(Djakarta:Tintamas, 1966). Dalam bab tentang “Jiwa kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata seorang sufi, Adul Quddus, Iqbal memaparkan perbedaan kesadaran Rasul dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus mengatakan: “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi.” Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang intelektual muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam.[10]
     Kuntowijoyo mengatakan bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni mereka yang berlatar belakang tradisi ilmu keislaman konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan mereka yang terlatih dalam tradisi barat, katakanlah dari cendekiawan muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris”.  Pandangan dari kalangan pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif dalam pelbagai karya kalam klasik, kalangan kedua cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.[11]
Dengan mengemukakan contoh di atas, sesungguhnya Kuntowijoyo hanya ingin mengatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai pembaharuan teologi atau sejenisnya, tampak belum dapat diterima. Saya kira ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Seperti disebutkan di atas, dikalangan umat Islam konsep tentang teologi dipahami dengan persepsi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan, tentang tauhid. Itu sebabnya, mereka menganggap gagasan mengenai pembaruan teologi sebagai gagasan yang membingungkan dan aneh, karena hal itu akan berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Mereka menganggap masalah teologis di dalam Islam sudah selesai, dan oleh karenanya tak perlu diutik-utik apalagi di rombak.
Disinilah titik tolak kesalahpahaman terjadi. Para penganjur pembaruan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu. Berangkat dari tradisi pemikiran barat, mereka mengartikan pembaruan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Apa yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tapi mengubah interpretasi terhadapnya. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan oleh kalangan yang pertama, mereka hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas.[12]
Dari perdebatan di atas, agaknya orang belum cukup terjelaskan dengan keterangan ini sehingga perdebatan dan salah paham masih terus terjadi. Oleh karena itu, saya kira harus ada cara lain untuk menjembatani perdebatan tersebut. pertama-tama kita perlu menghindari istilah teologi, karena disamping akan membingungkan, istilah tersebut tampaknya kurang begitu cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki. Semangat dari gagasan teologi transformatif yang dikemukakan muslim Adurrahman akan lebih tepat misalnya jika diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial transformatif kendatipun nanti ada nama lain yang akan saya tawarkan untuk ini.
Dengan mengganti istilah teologi ke ilmu sosial, kita ingin menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut. jika gagasan pembaruan teologi adalah agar agama di beri tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Jelas bahwa lingkup yang menjadi sasaran dari gagasan tersebut adalah lebih pada rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Dengan istilah ilmu sosial maka maksud dari gagasan tersebut tidak perlu diberi potensi doktrinal karena toh kita juga mengakui relativitas ilmu. Ini berarti bahwa dengan ilmu sosial kita membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun normatif, sesuatu yang jauh lebih sulit dilakukan jika kita menggunakan istilah teologi.
Ambillah pelajaran dari “Teologi Pembebasan” yang muncul di kalangan Kristen. Jika itu dirumuskan dengan potensi doktrinal bahwa hakikat teologi Kristen adalah teologi pembebasan, maka pengandaian sosialnya tentu ada penindasan struktural. Bagaimana teologi semacam itu berfungsi dalam masyarakat yang di dalamnya tidak terjadi penindasan struktural? Bagi kita, saya kira akan lebih efektif menyebut “teori sosial” dari pada “teologi sosial”. Ini karena berbeda dengan yang dihadapi Kristen, kita menghadapi kebutuhan untuk dilakukannya transformasi sosial lebih melalui perangkat-perangkat objektif dari pada normatif. Dengan perangkat teori sosial, kita akan mampu merekayasa transformasi melalui bahasa yang objektif. Disamping itu dengan teori sosial, kita menekankan bahwa bidang garap kita itu lebih bersifat empiris, historis, dan temporal.[13]
Persoalan kita sekarang adalah ilmu sosial yang bagaimana yang mampu dipakai untuk transformasi? Pertama-tama kita menyadari bahwa dewasa ini, ilmu sosial yang ada sedang mengalami kemandekan. Itu sebabnya muncul gagasan tentang ilmu sosial transformatifyang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikannya. Tetapi timbul persoalan, kearah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai disini ilmu-ilmu sosial transformatif tidak memberi jawaban yang jelas.
Dalam kaitan itulah saya pernah mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan ditengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.Tiga muatan inilah yang mengkarakteristikan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial etiknya di masa depan.[14]
     Peristiwa lain yang menjadi pemicu gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu profetik adalah Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003. Ketika itu ada pemakaian istilah “Islamisasi pengetahuan”, yang menggelisahkan Kuntowijoyo, karena makna istilah tersebut kemudian “diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang dihubungkan dengan “sunat secara Islam”, atau tetakan (bahasa.Jawa). “Tentu saja saya sakit hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga” begitu tulisan Kuntowijoyo,”Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti “Islamisasi pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi proaktif.

2.      Tradisi keilmuan Islam di Indonesia, Ilmu sosial profetik
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Ox- ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophe- cy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi ‘kenabian’. Akan tetapi, adakah ilmu sosial kenabian? Ilmu sosial seperti apa ini?[15]
Salah satu sebab keterbelakangan umat adalah tidak nyangkutnya antara teori dan praktik, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat. Kita hanya menyerahkan perkembangan sejarah umat pada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau menjadikan orang asing dengan Islam. Itu disebabkan karena ilmu yang kita kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. ilmu itu juga menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivis seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni empiris. Kita malu untuk mengakui keterkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai sosial dan budaya, kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif. Setidaknya ada tiga tradisi keilmuan Islam di Indonesia yaitu normatif, ideologis, dan ilmiah.[16]
a.       Tradisi normatif
Ada dua kemungkinan dalam tradisi ini yaitu deklaratif dan apologetik. Perkembangan ilmu deklaratif selalu diperlukan untuk dakwah, supaya pemeluk Islam menjalankan agamanya dengan ilmu, tidak ikut-ikutan. Sekolah, pesantren, masyarakat, dan banyak orang di perguruan tinggi mengembangkan ilmu-ilmu normatif deklaratif. Selain itu, ciri-ciri apologetik juga menonjol. Tema yang sering muncul ialah soal wanita, ilmu pengetahuan, sejarah, dan hak-hak asasi. Munculnya tradisi ini jelas disebabkan oleh karena para orientalis dan hegemoni barat selalu mendiskreditkan Islam baik dalam ilmu, media masa, maupun politik.
b.      Tradisi ideologis
Pada tahun 1924 Tjokroaminoto menerbitkan sebuah buku, Islam, dan Sosialisme. Buku itu jelas-jelas sebagai jawaban atas Marxisme yang dikembangkan oleh si merah. Buku itu berjasa karena sejak itu ada internasionalisasi, Islam Indonesia memakai rumusan internasional. Sekalipun demikian ideologisasi gerakan Islam adalah too late too little, tidak dapat menandingi Marxisme, karena tidak meyakinkan. Buku itu penuh contoh akhlak mulia dari Rasul dan para sahabat.
c.       Tradisi ilmiah
Tradisi ilmiah dimulai oleh sarjana asing seperti Snouck Hurgronje, Schrieke dan Pijper. Betul bahwa mereka tidak sepenuhnya disinterested, tetapi metode empirisnya patut dihargai. Tanpa mereka, kita tidak punya dokumen faktual untuk periode 1900-1940.
3.      Unsur-unsur ilmu sosial profetik
Pilar dari ilmu sosial profetik itu ada tiga yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Liberalisme mementingkan yang pertama, Marxisme yang kedua, dan kebanyakan agama yang ketiga. Ilmu sosial profetik mencoba untuk menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari yang lain. Tema-tema penelitian dapat diambil dari ketiga pilar itu, baik tema yang makro maupun mikro.
Penelitian sosial berdasar ilmu sosial profetik sekarang ini sepatutnya mempunyai prioritas tersendiri yaitu memecahkan persoalan umat menghadapi masyarakat industri (masyarakat kota, masyarakat global, masyarakat pengetahuan, masyarakat abstrak). Penelitian dapat berupa penelitian teoritis analitis (menghadapkan al-Qur’an dengan realitas sosial; misalnya “Islam dengan industrialisasi”, “Islam dan kelas sosial” dan “Islam dan industrialisasi budaya”), penelitian historis (menerangkan bagaimana sesuatu terjadi dengan perspektif Islam, misalnya “pertumbuhan nasionalisme Indonesia”, “Sejarah pergerakan buruh”, dan “partai-partai politik di Indonesia”), dan penelitian kasus yang partisipatoris (participant observation, grounded research, action research) dengan lokasi kota, desa, jamaah, pabrik, dan sebagainya; dan tentang topik apasaja, asal diingat prioritasnya.
Humanisasi dalam tema umum humanisasi dapat dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (objektivasi teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), dan loneliness (privatisasi, individuasi). Ketiganya perlu penelitian teoritis, historis dan kasus.
Liberalisasi. Teks Al-Qur’an bisa diturunkan jadi empat hal: amal, mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari adalah Islam amal yang harus selalu ada sepanjang zaman. Mitos seagai sistem pengetahuan sudah ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup di dalam dunia mitis. Kita sekarang tinggal memilih antara ideologi dan ilmu. Rupanya, mengenai ideologi dan ilmu ada pembagian zamannya. Kita menjadikan Islam sebagai ideologi ketika kita mendirikan partai-partai, sejak sarekat Islam sampai masyumi.
Transendensi. Bagi umat Islam sendiri, transendensi berarti beriman kepada Allah swt. kedua unsur ilmu sosial profetik (humanisasi, liberalisasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas.[17]


BAB III
ANALISIS
A.    Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir tanggal 18 September 1943 di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Beliau merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara, yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu perempuan dari pasangan suami-istri H. Abdul Wahid Sastro Martoyo dengan Hj. Warasti. Pendidikan SRN dan SMP di Klaten dan SMA di Solo. Meskipun berasal dari desa, pendidikannya berlanjut sampai perguruan tinggi. Kuntowijoyo adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di antara sekian banyak cendekiawan lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal sebagai sejarawan, budayawan dan sastrawan. Disebut budayawan karena memang Kuntowijoyo sering kali menuliskan fenomena sosial-budaya dengan analisis sejarah ditambah wacana sosial yang up to date. Maka ia diterima oleh kalangan `ilmuwan sosial. Dikenal sebagai sastrawan oleh karena memang piawai menulis sastra dan produktif dalam menghasilkan karya sastra baik berbentuk cerita pendek, novel, puisi, naskah drama, dan cerita fabel. Ia disebut sebagai cendekiawan karena ia adalah seorang Muslim yang dikenal saleh dan juga sering menyampaikan gagasannya melalui pidato atau tulisan mengenai persoalan umat Islam Indonesia.
Dari beberapa julukan itu, Kuntowijoyo telah menghasilkan beberapa karya diantaranya artikel, esai, dan makalah. Ada juga puisi, naskah drama, cerita pendek dan novel. Selain itu, kuntowijoyo telah menghasilkan beberapa buku. Dan hingga kini, buku-bukunya telah menghiasi sejumlah perpustakaan. Meskipun kini raganya telah tiada, tapi tulisannya terus mengalir. Salah satu gagasannya yang terkenal adalah ilmu sosial profetik. Selain telah menghasilkan sejumlah karya, Kuntowijoyo juga telah meraih beberapa penghargaan.

B.     Gagasan Integrasi Keilmuan Menurut Kuntowijoyo
Kuntowijoyo menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam.  Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional, yang mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan kubu teologi transformatif, yang memaknai teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris”. Menurut Kuntowijoyo, perbedaan pandangan ini sulit diselesaikan, karena masing-masing memberikan makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di situ, yaitu konsep teologi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial, sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial Transformatif.
     Ilmu Sosial Transformatif, “tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun juga berupaya untuk mentransformasikannya”. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo mengatakan bahwa basis dari ilmu tersebut adalah Islam. Pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud dengan Islam di sini? Oleh karena Islam dapat dimaknai dan dipahami berbagai macam, maka perlu ada rumusan minimal tentang apa yang dimaksud dengan Islam di sini. Untuk sementara, Islam di sini dimaknai sebagai keseluruhan perangkat simbol yang berbasis pada simbol-simbol yang bersumber pada kitab Al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai utusan Allah s.w.t. yang menjelaskan dan mewujudkan berbagai hal jika bukan semua hal yang ada- dalam Al Qur’an. 
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam konteks ilmu sosial profetik merupakan basis utama dari keseluruhan basis ilmu tersebut. Oleh karena itu segala se- suatu yang ada dalam Al Quran dan sunnah Rasulullah harus diketahui dan dipahami dengan baik terlebih dulu, untuk dapat dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan sosial yang profetik.
Menurut Al-Qur’an, dasar dari ilmu sosial profetik itu dapat di baca dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ada tiga unsur yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minunabillah.amar ma’ruf itu sesuai dengan peradaban barat yang percaya kepada demokrasi, ham, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme. Bahkan seorang steis menyebut eksistensialismenya sebagai humanisme. Nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme yaitu liberation. Tu’minunabillah sama dengan transedence.


BAB IV
KESIMPULAN

1.      Kuntowijoyo lahir pada tanggal 18 September 1943, di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Ia adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di antara sekian banyak cendekiawan lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal sebagai sejarawan, budayawan dan sastrawan Setelah berumur tujuh tahun  Kunto menempuh pendidikan dasar di SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan Sekolah Jawa. Kunto menempuh pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah sejak 1950-1956. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan formalnya di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah pertama selama tiga tahun (1956-1959, kemudian berlanjut ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo. Setelah menamatkan pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan pendidikan selanjutnya di perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi dengan beasiswa dari Fulbright ke University of Connecticut USA hingga memperoleh gelar MA dari Universitas tersebut. Sudah banyak karya dan penghargaan yang diraih Kuntowijoyo semasa hidupnya yang produktif, baik di dalam maupun luar negeri. Buku-bukunya menghiasi kepustakaan sejarah, budaya, dan khasanah Islam Indonesia.  Kunto meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya dikebumikan esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di Sawitsari, Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA, beserta dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta.
2.      Gagasan integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo adalah tentang ilmu sosial profetik yang mempunyai dasar dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ada tiga unsur yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minunabillah.amar ma’ruf itu sesuai dengan peradaban barat yang percaya kepada demokrasi, ham, liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme. Bahkan seorang steis menyebut eksistensialismenya sebagai humanisme. Nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme yaitu liberation. Tu’minunabillah sama dengan transedence.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah dkk. Integrasi sains-Islam mempertemukan epistemology Islam dan Sains.
 Yogyakarta: Pilar Religia, 2004.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma Profetik, mungkinkah?, perlukah? Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Profetik, tanggal 10 Februari. Yogyakarta:
 Universitas Gajah Mada, 2011.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika.
            Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung:Mizan, 2001.
Purwanto. Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi Atas Pemikiran Kuntowijoyo.
            Skripsi. Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Zainuddin. Filsafat Ilmu. Malang: Bayu Media, 2003.


[1] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung:Mizan, 2001), hlm 101
[2] Abdullah dkk, Integrasi sains-Islam mempertemukan epistemology Islam dan Sains, (Yogyakarta:Pilar Religia, 2004), hlm 138.
[3] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), hlm 83.
[4]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm 85
[5]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm 86
[6]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm 87
[7] Purwanto, “Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi Atas Pemikiran Kuntowijoyo”, Skripsi, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hlm 59
[8]Purwanto, “Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi Atas Pemikiran Kuntowijoyo…hlm 69
[9]Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik, mungkinkah?, perlukah?”, Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik, tanggal 10 Februari (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2011), hlm 5
[10]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika… hlm 107.
[11]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), hlm 83.
[12]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika …hlm 84
[13]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etikahlm 85
[14]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika… hlm 86
[15]Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik, mungkinkah?, perlukah?”, Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik, hlm 5
[16] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung:Mizan, 2001), hlm 102
[17]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika…hlm 99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar