BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mentalis
umat Islam Indonesia masa kini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada 1914-lebih
80 tahun yang lalu-ketika D.A. Rinkes penasihat untuk urusan bumi putera mengatakan
bahwa umat melakukan mistifikasi agama artinya percaya bahwa dengan Islam
segalanya akan beres, tetapi tidak tahu apa yang seharusnya dikerjakan, hanya
“ikut arus” kejadian sehari-hari tanpa tujuan yang jelas. Bisa dipahami kalau
dalam waktu yang sama Radjiman Widiyodipuro-tokoh BU berpendapat bahwa agama
tidak dapat menjadi pengikat masa, meskipun dapat menjadi daya Tarik. Keadaan
itu agak tertolong ketika pada 1915 Tjokroaminoto merumuskan sebuah pra
ideologi dengan mengatakan bahwa “Islam adalah agama bagi orang miskin dan
orang tertindas”.[1]
Sejak itulah
Islam dilihat sebagai ideologi. Ilmu-ilmu dalam Islam mencakup kawasan yang
sangat luas dan sebagian diantaranya tidak relevan lagi dengan keperluan masa
kini. Karena itu diperlukan pemilihan atas bagian-bagian mana yang perlu
dikembangkan dan mana yang dibiarkan menjadi bagian dari sejarah. Tujuan
pengkajian sangat menentukan dalam pemilihan ini. secara etik, tujuan ini
berupa pengetahuan sistematis yang berguna bagi muslim-dan siapa saja yang mau
mengambil manfaat daripadanya-dalam menjalankan fungsi sebagai khalifah Tuhan
di bumi, yakni mengusahakan kemuliaan dan pemuliaan kehidupan manusia.[2]
Tapi sampai
sejauh ini, perdebatan dikalangan Islam masih berkisar pada tingkat semantik.
Mereka yang berlatar belakang tradisi Ilmu keislaman konvensional mengartikan
teologi sebagai ilmu kalam yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan,
bersifat abstrak normatif dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih
dalam tradisi barat, katakanlah dari cendekiawan muslim yang tidak mempelajari
Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai penafsiran
terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan
refleksi-refleksi empiris.[3]
Seiring
berjalannya waktu, perdebatan itu terus terjadi. Oleh karena itu, Kuntowijoyo
mengatakan bahwa harus ada cara lain untuk menjembatani perdebatan tersebut.
pertama-tama perlu menghindari istilah teologi, karena disamping akan
membingungkan, istilah tersebut nampaknya kurang cocok dengan apa yang
dikehendaki. Semangat dari gagasan teologi transformatif yang dikemukakan
moslim Abdurrahman lebih tepat diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial
trasformatif.[4]
Persoalan
kita sekarang adalah ilmu sosial yang bagaimana yang mampu dipakai untuk
transformasi? Pertama-tama kita menyadari bahwa dewasa ini, ilmu sosial yang
ada sedang mengalami kemandekan. Itu sebabnya muncul gagasan tentang ilmu
sosial transformatifyang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun
ilmu-ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial,
namun juga berupaya untuk mentransformasikannya. Tetapi timbul persoalan,
kearah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai
disini ilmu-ilmu sosial transformatif tidak memberi jawaban yang jelas.[5]
Berkaitan
dengan hal di atas, Kuntowijoyo mengemukakan bahwa yang dibutuhkan sekarang
adalah ilmu-ilmu sosial profetik yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi
itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial
profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan
cita-cita etik dan profetik tertentu.[6]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Kuntowijoyo?
2. Bagaimana konsep gagasan integrasi keilmuan
menurut Kuntowijoyo?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mendeskripsikan biografi Kuntowijoyo.
2. Untuk mendeskripsikan konsep gagasan
integrasi keilmuan Kuntowioyo.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Kuntowijoyo
1. Biografi Intelektual Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir pada tanggal 18 September 1943, di Sorobayan,
Sanden, Bantul, Yogyakarta sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan kota
Yogyakarta dengan rata-rata masyarakatnya pada saat itu berprofesi sebagai
petani dan pedagang. Ia adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di
antara sekian banyak cendekiawan lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal
sebagai sejarawan, budayawan dan sastrawan. Sudah banyak karya yang lahir dari
tangannya baik karya fiksi maupun non fiksi. Kunto yang merupakan panggilan
akrabnya sejak kecil adalah anak kedua dari sembilan bersaudara, yang terdiri
dari delapan laki-laki dan satu perempuan dari pasangan suami-istri H. Abdul
Wahid Sastro Martoyo dengan Hj. Warasti. Latar belakang ayah dan ibunya adalah
Jawa santri dan berdara bangsawan Jawa dari lingkungan Surakarta.Ayah Kunto
berasal dari Merger, Klaten dan ibunya berasal dari Ngawonggo Klaten, sebuah
daerah yang terletak di sebelah timur
kota Yogyakarta. Walaupun Kunto
dilahirkan di Yogyakarta, namun ia dibesarkan di Ngawonggo, Ceper, Klaten dan
Surakarta.
Sebagai keturunan keluarga Jawa terkemuka, Kunto memperoleh
pendidikan yang komplit. Di masa kanak-kanak dan remajanya antara lain, Ia
mendapatkan pendidikan dan pergaulan yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan
taat kepada agama. Masa kecil Kuntowijoyo dihabiskan di tempat tinggal kakeknya
R. M. Martosumo di Ngawonggo, Ceper, Klaten, Surakarta. Setelah berumur tujuh
tahun Kunto menempuh pendidikan dasar di
SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan
Sekolah Jawa. Kunto menempuh pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga
sekolah di Madrasah Ibtidaiyah sejak 1950-1956. Pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah ia jalani sehabis waktu dhuhur sampai selepas atsar, di sinilah ia
belajar agama yang bertempat di surau seperti lazimnya anak-anak lainnya.
Ketika belajar di madrasah, Kunto kecil kagum kepada Ustad Mustajab, guru
mengajinya. ''Ia bisa menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara
dramatik, menghanyutkan para murid seolah ikut mengalami peristiwa itu,''
tuturnya. Teman-teman Kunto sering menyebut sekolah ini sebagai Sekolah Arab.
Setelah sekolah Kunto biasanya mengaji di surau sejak Maghrib sampai pada Isya’
dan terkadang bermain di surau ini sampai jam sebelas malam. Sejak belajar di
surau inilah Kunto mengenal organisasi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia).
Dalam PII Kunto banyak belajar berdeklamasi, bermain drama dan menulis puisi
dari M. Saribi Arifin dan M. Yusmanan, yang belakangan ia kenal sebagai penyair
betulan. Semua kegiatan tersebut dilakukan di surau yang serba guna selain
untuk belajar juga untuk bermain dan ronda. Semenjak beraktivitas di Surau
inilah Kunto mengenal Muhammadiyah walaupun menurutnya itu secara kebetulan
karena surau tersebut milik Muhammadiyah. Ia juga mengikuti kegiatan Hisbul
Wathon, sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah namun ia baru mulai
mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah setelah ayahnya mengusahakannya untuk
dapat ikut Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1990 di Yogyakarta.
Sejak kecil Kunto rajin membaca dan rajin mengunjungi perpustakaan
Masyumi yang hampir bahan bacaan yang terdapat di perpustakaan tersebut sudah
dibaca. Diantara bahan bacaan yang paling ia gemari adalah Abadi. Dari Abadi
inilah Kunto banyak belajar bertanya dan berfikir kritis. Ditambah selain itu
keseharian Kunto yang selalu belajar di surau menjadikan kekagumannya pada Pak
Mustajab yang selain mengajar juga sebagai pimpinan pandu, pemain sandiwara,
dagelan dan suka berpidato agama dan politik. Setelah lulus dari sekolah
Ibtidaiyah, ia melanjutkan pendidikan formalnya di pendidikan yang lebih tinggi
yakni di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah pertama
selama tiga tahun (1956-1959), SMP I Klaten terletak di kota yang tentunya
berbeda dengan sekolah di SRN yang letaknya di desa. Selain hari-harinya diisi
dengan materi-materi pendidikan formal, ia tetap menekuni kegemarannya membaca
dan menulis. Pendidikan formal yang
ditempuh Kunto sejak SRN, Madrasah Ibtidaiyah dan SMP, kemudian berlanjut ke
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Solo. Setelah dua jenjang pendidikannya dijalani
di Klaten, Ia menempuh pendidikan atas di SMA II Solo sejak 1959-1962, yakni
sebuah kota yang terletak sebelah timur dari kota Klaten. Setelah menamatkan
pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan pendidikan selanjutnya di perguruan
tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Minat pendidikan Kunto ternyata tidak berhenti pada jenjang SMA
saja, pada jenjang pendidikan perguruan tinggi ia memilih jurusan Sejarah
sebagai pilihannya di universitas itu. Ia masuk jurusan sejarah pada Fakultas
Sastra UGM semenjak 1962 dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969. Semenjak
tahun 1968 karyanya sudah mendapat penghargaan maupun hadiah. Kunto yang mulai menekuni kesenian, khususnya
sastra dan teater pada masa mahasiswa, Ia mendirikan LEKSI (Lembaga Kebudayaan
dan Seni Islam) dan menjabat sebagai Sekretaris, kemudian mendirikan ISBM
bersama kawan-kawannya dari Fakultas Satra dan ASRI. Selain itu ia bersama
teman-temannya membentuk grup studi Mantika. Di sinilah ia bergaul dengan para
tokoh muda teater, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul
Umam, dan Salim Said. Semenjak tahun 1965-1970, Kunto sudah menjadi asisten
dosen pada Jurusan Sejarah UGM. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi
dengan beasiswa dari Fulbright ke University of Connecticut USA hingga
memperoleh gelar MA dari Universitas tersebut. Tugas belajar yang dimulai tahun
1973 berlanjut di tahun 1975-1980 dengan menekuni Ilmu Sejarah di Columbia
University, USA dengan beasiswa dari Rocklefeller Foundation. Dari universitas
inilah ia mendapat gelar Ph.D, bidang Ilmu Sejarah, dengan disertasinya yang
berjudul Social Change In An Agrarian Society: Madura 1850-1940. Mengenai disertasi ini, Kunto beralasan,
karena judul ini belum ada yang mengkaji dan banyak teman-temannya berasal dari
Madura, selain itu Madura merupakan tempat mayoritas orang Islam.
Keaktifannya tidak hanya dalam menulis, tetapi juga aktif dalam
organisasi kemasyarakatan maupun organisasi profesi. Di Muhammadiyah terakhir
tercatat sebagai anggota Majelis Pertimbangan PP. Muhammadiyah. Selain itu
Kunto juga terlibat dalam pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
menurutnya ia terlibat dalam pendirian ICMI karena setuju dengan programnya dan
bagi Kunto yang kita perlukan adalah peningkatan kualitas. Selanjutnya, Kunto
juga tercatat sebagai anggota PPSK (Pusat Pengkajian dan Studi Kebijakan),
sebuah pusat studi di Yogyakarta yang di pelopori oleh Amien Rais, di samping
itu ia masuk dalam MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) dan HIPIIS (Himpunan
Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) dan KITLV (Koninklijk Instituut
voor de Tall, Land, en Volkenkunde) Belanda.
Kunto selama empat bulan yakni bulan September sampai Desember 1984,
menjadi dosen tamu di Universitas Filipina dan di bulan Juni sampai Agustus
1985 menjadi dosen tamu di Universitas Michigan.
Minatnya tidak berhenti oleh sakit yang pernah di deritanya,
semangatnya untuk menulis dan memberikan karya-karya yang terbaik tetap ia
tekuni sebagai seorang intelektual yang selalu optimis untuk berkarya dalam
ilmu-ilmu yang ditekuninya. Sejak 6
Januari 1992, Kunto terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak)
serta komplikasi otak yang menyebabkan ia collapse selama beberapa waktu. Sejak
itu berbagai penyakit datang dan pergi menghampiri dirinya. Dalam upaya
penyembuhannya itu, ia menjalani perawatan fisioterapi untuk melatih gerakan
anggota tubuhnya di bawah pengawasan neurolog, Samekto Wibowo, adik kandungnya.
Tuhan Maha Pemurah, meski secara fisik kelihatan sakit, ternyata tidak demikian
dengan daya kreatifnya yang terus meledak-meledak. Selama ia sakit menuju
proses penyembuhan seakan-akan ia telah mengalami sebuah pencerahan rohani yang
demikian dahsyat, tulisannya masih terus mengalir.
Beberapa gagasan Kuntowijoyo yang terkenal misalnya: Ilmu Sosial Profetik,
Sejarah Sosial, Periodesasi Kesadaran Umat Islam, dan Objektifikasi Islam serta
metode Strukturalisme Transendental, kini sudah banyak dikaji dan menjadi
wacana tersendiri. Kunto meninggal dunia
di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00
akibat komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya
dikebumikan esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di
Sawitsari, Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA,
beserta dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta.
Sebelum meninggal Kunto hidup bersama keluarganya dengan pola hidup yang
sederhana. Pada waktu itu, rumahnya dibeli dengan harga RP 4, 5 juta. Meskipun
menjadi guru besar, tapi sejak tahun 1985, ia bersama isteri dan anak-anaknya
hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429, Condong Catur, Sleman,
Yogyakarta.[7]
2. Karya-karya Kuntowijoyo
Sebagai keturunan keluarga Jawa terkemuka, Kunto memperoleh
pendidikan yang komplit. Di masa kanak-kanak dan remajanya antara lain, Ia
mendapatkan pendidikan dan pergaulan yang menjunjung tinggi budaya Jawa dan
taat kepada agama. Masa kecil Kuntowijoyo dihabiskan di tempat tinggal kakeknya
R. M. Martosumo di Ngawonggo, Ceper, Klaten, Surakarta. Setelah berumur tujuh
tahun Kunto menempuh pendidikan dasar di
SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan
Sekolah Jawa. Kunto menempuh pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga
sekolah di Madrasah Ibtidaiyah sejak 1950-1956. Pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah ia jalani sehabis waktu dhuhur sampai selepas atsar, di sinilah ia
belajar agama yang bertempat di surau seperti lazimnya anak-anak lainnya.
Ketika belajar di madrasah, Kunto kecil kagum kepada Ustad Mustajab, guru
mengajinya. ''Ia bisa menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara
dramatik, menghanyutkan para murid seolah ikut mengalami peristiwa itu,''
tuturnya. Teman-teman Kunto sering menyebut sekolah ini sebagai Sekolah Arab.
Setelah sekolah Kunto biasanya mengaji di surau sejak Maghrib sampai pada Isya’
dan terkadang bermain di surau ini sampai jam sebelas malam. Sejak belajar di
surau inilah Kunto mengenal organisasi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia).15
Dalam PII Kunto banyak belajar berdeklamasi, bermain drama dan menulis puisi
dari M. Saribi Arifin dan M. Yusmanan, yang belakangan ia kenal sebagai penyair
betulan. Semua kegiatan tersebut dilakukan di surau yang serba guna selain
untuk belajar juga untuk bermain dan ronda. Semenjak beraktivitas di Surau
inilah Kunto mengenal Muhammadiyah walaupun menurutnya itu secara kebetulan
karena surau tersebut milik Muhammadiyah. Ia juga mengikuti kegiatan Hisbul
Wathon, sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah namun ia baru mulai
mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah setelah ayahnya mengusahakannya untuk
dapat ikut Muktamar Muhammadiyah pada tahun 1990 di Yogyakarta.
Sejak kecil Kunto rajin membaca dan rajin mengunjungi perpustakaan
Masyumi yang hampir bahan bacaan yang terdapat di perpustakaan tersebut sudah
dibaca. Diantara bahan bacaan yang paling ia gemari adalah Abadi. Dari Abadi
inilah Kunto banyak belajar bertanya dan berfikir kritis. Ditambah selain itu
keseharian Kunto yang selalu belajar di surau menjadikan kekagumannya pada Pak
Mustajab yang selain mengajar juga sebagai pimpinan pandu, pemain sandiwara,
dagelan dan suka berpidato agama dan politik. Setelah lulus dari sekolah
Ibtidaiyah, ia melanjutkan pendidikan formalnya di pendidikan yang lebih tinggi
yakni di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah pertama
selama tiga tahun (1956-1959), SMP I Klaten terletak di kota yang tentunya
berbeda dengan sekolah di SRN yang letaknya di desa. Selain hari-harinya diisi
dengan materi-materi pendidikan formal, ia tetap menekuni kegemarannya membaca
dan menulis. Pendidikan formal yang
ditempuh Kunto sejak SRN, Madrasah Ibtidaiyah dan SMP, kemudian berlanjut ke Sekolah
Menengah Atas (SMA) di Solo. Setelah dua jenjang pendidikannya dijalani di
Klaten, Ia menempuh pendidikan atas di SMA II Solo sejak 1959-1962, yakni
sebuah kota yang terletak sebelah timur dari kota Klaten. Setelah menamatkan
pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan pendidikan selanjutnya di perguruan
tinggi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Minat pendidikan Kunto ternyata tidak berhenti pada jenjang SMA
saja, pada jenjang pendidikan perguruan tinggi ia memilih jurusan Sejarah
sebagai pilihannya di universitas itu. Ia masuk jurusan sejarah pada Fakultas
Sastra UGM semenjak 1962 dan menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969. Semenjak
tahun 1968 karyanya sudah mendapat penghargaan maupun hadiah. Kunto yang mulai menekuni kesenian, khususnya
sastra dan teater pada masa mahasiswa, Ia mendirikan LEKSI (Lembaga Kebudayaan
dan Seni Islam) dan menjabat sebagai Sekretaris, kemudian mendirikan ISBM
bersama kawan-kawannya dari Fakultas Satra dan ASRI. Selain itu ia bersama
teman-temannya membentuk grup studi Mantika. Di sinilah ia bergaul dengan para
tokoh muda teater, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul
Umam, dan Salim Said. Semenjak tahun 1965-1970, Kunto sudah menjadi asisten
dosen pada Jurusan Sejarah UGM. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi
dengan beasiswa dari Fulbright ke University of Connecticut USA hingga
memperoleh gelar MA dari Universitas tersebut. Tugas belajar yang dimulai tahun
1973 berlanjut di tahun 1975-1980 dengan menekuni Ilmu Sejarah di Columbia
University, USA dengan beasiswa dari Rocklefeller Foundation. Dari universitas
inilah ia mendapat gelar Ph.D, bidang Ilmu Sejarah, dengan disertasinya yang
berjudul Social Change In An Agrarian Society: Madura 1850-1940. Mengenai disertasi ini, Kunto beralasan,
karena judul ini belum ada yang mengkaji dan banyak teman-temannya berasal dari
Madura, selain itu Madura merupakan tempat mayoritas orang Islam. Keaktifannya tidak hanya dalam menulis,
tetapi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan maupun organisasi profesi. Di
Muhammadiyah terakhir tercatat sebagai anggota Majelis Pertimbangan PP.
Muhammadiyah. Selain itu Kunto juga terlibat dalam pendirian ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia) menurutnya ia terlibat dalam pendirian ICMI
karena setuju dengan programnya dan bagi Kunto yang kita perlukan adalah peningkatan
kualitas. Selanjutnya, Kunto juga tercatat sebagai anggota PPSK (Pusat
Pengkajian dan Studi Kebijakan), sebuah pusat studi di Yogyakarta yang di
pelopori oleh Amien Rais, di samping itu ia masuk dalam MSI (Masyarakat
Sejarawan Indonesia) dan HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-Ilmu Sosial) dan KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall, Land, en
Volkenkunde) Belanda. Kunto selama empat
bulan yakni bulan September sampai Desember 1984, menjadi dosen tamu di
Universitas Filipina dan di bulan Juni sampai Agustus 1985 menjadi dosen tamu
di Universitas Michigan. Minatnya tidak berhenti oleh sakit yang pernah di
deritanya, semangatnya untuk menulis dan memberikan karya-karya yang terbaik
tetap ia tekuni sebagai seorang intelektual yang selalu optimis untuk berkarya
dalam ilmu-ilmu yang ditekuninya. Sejak
6 Januari 1992, Kunto terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak)
serta komplikasi otak yang menyebabkan ia collapse selama beberapa waktu. Sejak
itu berbagai penyakit datang dan pergi menghampiri dirinya. Dalam upaya
penyembuhannya itu, ia menjalani perawatan fisioterapi untuk melatih gerakan
anggota tubuhnya di bawah pengawasan neurolog, Samekto Wibowo, adik kandungnya.
Tuhan Maha Pemurah, meski secara fisik kelihatan sakit, ternyata tidak demikian
dengan daya kreatifnya yang terus meledak-meledak. Selama ia sakit menuju
proses penyembuhan seakan-akan ia telah mengalami sebuah pencerahan rohani yang
demikian dahsyat, tulisannya masih terus mengalir.
Beberapa gagasan Kuntowijoyo yang terkenal misalnya: Ilmu Sosial Profetik,
Sejarah Sosial, Periodesasi Kesadaran Umat Islam, dan Objektifikasi Islam serta
metode Strukturalisme Transendental, kini sudah banyak dikaji dan menjadi
wacana tersendiri. Kunto meninggal dunia
di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00
akibat komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya
dikebumikan esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di
Sawitsari, Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA,
beserta dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta.
Sebelum meninggal Kunto hidup bersama keluarganya dengan pola hidup yang
sederhana. Pada waktu itu, rumahnya dibeli dengan harga RP 4, 5 juta. Meskipun
menjadi guru besar, tapi sejak tahun 1985, ia bersama isteri dan anak-anaknya
hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429, Condong Catur,
Sleman, Yogyakarta.[8]
B. Gagasan integrasi keilmuan menurut
Kuntowijoyo
1. Asal usul gagasan Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial
Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger
Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy
adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua
pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu
profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo adalah
seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.[9]
Pendapat lain mengatakan bahwa asal usul
intelektual ilmu sosial profetik ialah buku Muhammad Iqbal Membangun Kembali
Pikiran Agama dalam Islam(Djakarta:Tintamas, 1966). Dalam bab tentang “Jiwa
kebudayaan Islam” dengan mengutip kata-kata seorang sufi, Adul Quddus, Iqbal
memaparkan perbedaan kesadaran Rasul dengan kesadaran mistik. Abdul Quddus
mengatakan: “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi
Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak
akan kembali lagi.” Seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Seorang
intelektual muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan
tenggelam.[10]
Kuntowijoyo
mengatakan bahwa gagasan mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya
dipicu antara lain oleh perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam
mengenai teologi, yang terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta.
Saat itu ada dua kubu yang berseberangan pendapat di situ, yakni mereka yang
berlatar belakang tradisi ilmu keislaman konvensional, yang mengartikan teologi
sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan,
bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan mereka yang terlatih dalam
tradisi barat, katakanlah dari cendekiawan muslim yang tidak mempelajari Islam
dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai “penafsiran terhadap
realitas dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi
empiris”. Pandangan dari kalangan
pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normatif
dalam pelbagai karya kalam klasik, kalangan kedua cenderung menekankan perlunya
reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.[11]
Dengan mengemukakan contoh di atas,
sesungguhnya Kuntowijoyo hanya ingin mengatakan bahwa di lingkungan kita,
gagasan mengenai pembaharuan teologi atau sejenisnya, tampak belum dapat
diterima. Saya kira ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan
dengan konsep teologi itu sendiri. Seperti disebutkan di atas, dikalangan umat
Islam konsep tentang teologi dipahami dengan persepsi yang berbeda-beda.
Sebagian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang khazanah ilmu
pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan, tentang tauhid.
Itu sebabnya, mereka menganggap gagasan mengenai pembaruan teologi sebagai
gagasan yang membingungkan dan aneh, karena hal itu akan berarti mengubah
doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Mereka menganggap masalah
teologis di dalam Islam sudah selesai, dan oleh karenanya tak perlu diutik-utik
apalagi di rombak.
Disinilah titik tolak kesalahpahaman terjadi. Para
penganjur pembaruan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu. Berangkat dari
tradisi pemikiran barat, mereka mengartikan pembaruan teologi sebagai usaha
untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun
kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif
ketuhanan. Apa yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin,
tapi mengubah interpretasi terhadapnya. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan
oleh kalangan yang pertama, mereka hanya menginginkan agar ajaran agama diberi
tafsir baru dalam rangka memahami realitas.[12]
Dari perdebatan di atas, agaknya orang
belum cukup terjelaskan dengan keterangan ini sehingga perdebatan dan salah
paham masih terus terjadi. Oleh karena itu, saya kira harus ada cara lain untuk
menjembatani perdebatan tersebut. pertama-tama kita perlu menghindari istilah
teologi, karena disamping akan membingungkan, istilah tersebut tampaknya kurang
begitu cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki. Semangat dari gagasan
teologi transformatif yang dikemukakan muslim Adurrahman akan lebih tepat
misalnya jika diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial transformatif kendatipun
nanti ada nama lain yang akan saya tawarkan untuk ini.
Dengan mengganti istilah teologi ke ilmu
sosial, kita ingin menegaskan sifat dan maksud dari gagasan tersebut. jika
gagasan pembaruan teologi adalah agar agama di beri tafsir baru dalam rangka
memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut adalah
mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Jelas
bahwa lingkup yang menjadi sasaran dari gagasan tersebut adalah lebih pada
rekayasa untuk transformasi sosial. Oleh karena itu lingkupnya bukan pada
aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada
aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Dengan istilah ilmu
sosial maka maksud dari gagasan tersebut tidak perlu diberi potensi doktrinal
karena toh kita juga mengakui relativitas ilmu. Ini berarti bahwa dengan ilmu
sosial kita membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan
rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun
normatif, sesuatu yang jauh lebih sulit dilakukan jika kita menggunakan istilah
teologi.
Ambillah pelajaran dari “Teologi
Pembebasan” yang muncul di kalangan Kristen. Jika itu dirumuskan dengan potensi
doktrinal bahwa hakikat teologi Kristen adalah teologi pembebasan, maka
pengandaian sosialnya tentu ada penindasan struktural. Bagaimana teologi
semacam itu berfungsi dalam masyarakat yang di dalamnya tidak terjadi
penindasan struktural? Bagi kita, saya kira akan lebih efektif menyebut “teori
sosial” dari pada “teologi sosial”. Ini karena berbeda dengan yang dihadapi
Kristen, kita menghadapi kebutuhan untuk dilakukannya transformasi sosial lebih
melalui perangkat-perangkat objektif dari pada normatif. Dengan perangkat teori
sosial, kita akan mampu merekayasa transformasi melalui bahasa yang objektif.
Disamping itu dengan teori sosial, kita menekankan bahwa bidang garap kita itu
lebih bersifat empiris, historis, dan temporal.[13]
Persoalan kita sekarang adalah ilmu sosial
yang bagaimana yang mampu dipakai untuk transformasi? Pertama-tama kita menyadari
bahwa dewasa ini, ilmu sosial yang ada sedang mengalami kemandekan. Itu
sebabnya muncul gagasan tentang ilmu sosial transformatifyang tidak seperti
ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya
untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk
mentransformasikannya. Tetapi timbul persoalan, kearah mana transformasi itu
dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai disini ilmu-ilmu sosial
transformatif tidak memberi jawaban yang jelas.
Dalam kaitan itulah saya pernah mengemukakan
bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang
tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi
petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan,
tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam
pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai
dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Bagi kita itu berarti
perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan
transendensi, suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis
Islam sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran ayat 110: Engkau adalah umat
terbaik yang diturunkan ditengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah
kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah.Tiga
muatan inilah yang mengkarakteristikan ilmu sosial profetik. Dengan kandungan
nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik
diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial etiknya di masa
depan.[14]
Peristiwa
lain yang menjadi pemicu gagasan Kuntowijoyo tentang ilmu profetik adalah
Kongres Psikologi Islam I di Solo, 10 Oktober 2003. Ketika itu ada pemakaian
istilah “Islamisasi pengetahuan”, yang menggelisahkan Kuntowijoyo, karena makna
istilah tersebut kemudian “diplesetkan” ke arah “Islamisasi non-pri”, yang
dihubungkan dengan “sunat secara Islam”, atau tetakan (bahasa.Jawa). “Tentu saja
saya sakit hati dengan penyamaan itu, meskipun ada benarnya juga” begitu tulisan
Kuntowijoyo,”Saya sakit hati karena sebuah gerakan intelektual yang sarat nilai
keagamaan disamakan dengan gerakan bisnis pragmatis. Oleh karena itu saya tidak
lagi memakai istilah “Islamisasi pengetahuan”, dan ingin mendorong supaya
gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti
“Islamisasi pengetahuan” menjadi “Pengilmuan Islam”. Dari reaktif menjadi
proaktif.
2. Tradisi keilmuan Islam di Indonesia, Ilmu
sosial profetik
Kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi.
Menurut Ox- ford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to
a prophet or prophe- cy”; “having the character or function of a prophet”; (2)
“Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi,
makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat
prediktif, memrakirakan. Profetik di sini dapat kita terjemahkan menjadi
‘kenabian’. Akan tetapi, adakah ilmu sosial kenabian? Ilmu sosial seperti apa
ini?[15]
Salah satu sebab keterbelakangan umat adalah tidak nyangkutnya antara
teori dan praktik, atau ilmu dengan kenyataan. Kita sudah gagal menjadikan
ilmu-ilmu Islam sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi umat. Kita hanya
menyerahkan perkembangan sejarah umat pada ilmu-ilmu normatif. Ilmu-ilmu sosial
yang kita kembangkan hanya membuat orang terasing dengan dirinya sendiri, atau
menjadikan orang asing dengan Islam. Itu disebabkan karena ilmu yang kita
kembangkan adalah cangkokan, tidak berakar pada masyarakat. ilmu itu juga
menganut dikotomi yang jelas antara fakta dan nilai, mempunyai bias positivis
seperti ilmu alam, seolah-olah ilmu sosial itu bebas nilai, objektif, dan murni
empiris. Kita malu untuk mengakui keterkaitan ilmu sosial dengan nilai-nilai
sosial dan budaya, kita takut dituduh tidak ilmiah, tidak objektif. Setidaknya
ada tiga tradisi keilmuan Islam di Indonesia yaitu normatif, ideologis, dan
ilmiah.[16]
a. Tradisi normatif
Ada dua kemungkinan dalam tradisi ini yaitu deklaratif dan apologetik.
Perkembangan ilmu deklaratif selalu diperlukan untuk dakwah, supaya pemeluk
Islam menjalankan agamanya dengan ilmu, tidak ikut-ikutan. Sekolah, pesantren,
masyarakat, dan banyak orang di perguruan tinggi mengembangkan ilmu-ilmu
normatif deklaratif. Selain itu, ciri-ciri apologetik juga menonjol. Tema yang
sering muncul ialah soal wanita, ilmu pengetahuan, sejarah, dan hak-hak asasi.
Munculnya tradisi ini jelas disebabkan oleh karena para orientalis dan hegemoni
barat selalu mendiskreditkan Islam baik dalam ilmu, media masa, maupun politik.
b. Tradisi ideologis
Pada tahun 1924 Tjokroaminoto menerbitkan sebuah buku, Islam, dan Sosialisme.
Buku itu jelas-jelas sebagai jawaban atas Marxisme yang dikembangkan oleh si
merah. Buku itu berjasa karena sejak itu ada internasionalisasi, Islam
Indonesia memakai rumusan internasional. Sekalipun demikian ideologisasi
gerakan Islam adalah too late too little, tidak dapat menandingi Marxisme,
karena tidak meyakinkan. Buku itu penuh contoh akhlak mulia dari Rasul dan para
sahabat.
c. Tradisi ilmiah
Tradisi ilmiah dimulai oleh sarjana asing seperti Snouck Hurgronje,
Schrieke dan Pijper. Betul bahwa mereka tidak sepenuhnya disinterested, tetapi
metode empirisnya patut dihargai. Tanpa mereka, kita tidak punya dokumen faktual
untuk periode 1900-1940.
3. Unsur-unsur ilmu sosial profetik
Pilar dari ilmu sosial profetik itu ada
tiga yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna
billah (transendensi). Liberalisme mementingkan yang pertama, Marxisme yang
kedua, dan kebanyakan agama yang ketiga. Ilmu sosial profetik mencoba untuk
menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari yang lain. Tema-tema
penelitian dapat diambil dari ketiga pilar itu, baik tema yang makro maupun
mikro.
Penelitian sosial berdasar ilmu sosial
profetik sekarang ini sepatutnya mempunyai prioritas tersendiri yaitu
memecahkan persoalan umat menghadapi masyarakat industri (masyarakat kota,
masyarakat global, masyarakat pengetahuan, masyarakat abstrak). Penelitian
dapat berupa penelitian teoritis analitis (menghadapkan al-Qur’an dengan
realitas sosial; misalnya “Islam dengan industrialisasi”, “Islam dan kelas sosial”
dan “Islam dan industrialisasi budaya”), penelitian historis (menerangkan
bagaimana sesuatu terjadi dengan perspektif Islam, misalnya “pertumbuhan
nasionalisme Indonesia”, “Sejarah pergerakan buruh”, dan “partai-partai politik
di Indonesia”), dan penelitian kasus yang partisipatoris (participant
observation, grounded research, action research) dengan lokasi kota, desa,
jamaah, pabrik, dan sebagainya; dan tentang topik apasaja, asal diingat
prioritasnya.
Humanisasi dalam tema umum humanisasi dapat
dilakukan penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu
dehumanisasi (objektivasi teknologis, ekonomis, budaya, atau negara),
agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), dan loneliness
(privatisasi, individuasi). Ketiganya perlu penelitian teoritis, historis dan
kasus.
Liberalisasi. Teks Al-Qur’an bisa
diturunkan jadi empat hal: amal, mitos, ideologi, dan ilmu. Islam sehari-hari
adalah Islam amal yang harus selalu ada sepanjang zaman. Mitos seagai sistem
pengetahuan sudah ketinggalan zaman, meskipun masih ada orang yang hidup di
dalam dunia mitis. Kita sekarang tinggal memilih antara ideologi dan ilmu.
Rupanya, mengenai ideologi dan ilmu ada pembagian zamannya. Kita menjadikan
Islam sebagai ideologi ketika kita mendirikan partai-partai, sejak sarekat
Islam sampai masyumi.
Transendensi. Bagi umat Islam sendiri,
transendensi berarti beriman kepada Allah swt. kedua unsur ilmu sosial profetik
(humanisasi, liberalisasi) harus mempunyai rujukan Islam yang jelas.[17]
BAB III
ANALISIS
A. Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir tanggal 18 September 1943
di Sorobayan, Sanden, Bantul,
Yogyakarta. Beliau
merupakan anak kedua dari
sembilan bersaudara, yang terdiri dari delapan laki-laki dan satu perempuan
dari pasangan suami-istri H. Abdul Wahid Sastro Martoyo dengan Hj. Warasti. Pendidikan SRN dan SMP di Klaten dan SMA
di Solo. Meskipun berasal dari desa, pendidikannya berlanjut sampai perguruan
tinggi. Kuntowijoyo
adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di antara sekian banyak
cendekiawan lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal sebagai sejarawan,
budayawan dan sastrawan. Disebut budayawan karena memang Kuntowijoyo sering
kali menuliskan fenomena sosial-budaya dengan analisis sejarah ditambah wacana
sosial yang up to date. Maka ia diterima oleh kalangan `ilmuwan sosial. Dikenal
sebagai sastrawan oleh karena memang piawai menulis sastra dan produktif dalam
menghasilkan karya sastra baik berbentuk cerita pendek, novel, puisi, naskah
drama, dan cerita fabel. Ia disebut sebagai cendekiawan karena ia adalah
seorang Muslim yang dikenal saleh dan juga sering menyampaikan gagasannya
melalui pidato atau tulisan mengenai persoalan umat Islam Indonesia.
Dari beberapa julukan itu, Kuntowijoyo
telah menghasilkan beberapa karya diantaranya artikel, esai, dan makalah. Ada
juga puisi, naskah drama, cerita pendek dan novel. Selain itu, kuntowijoyo
telah menghasilkan beberapa buku. Dan hingga kini, buku-bukunya telah menghiasi
sejumlah perpustakaan. Meskipun kini raganya telah tiada, tapi tulisannya terus
mengalir. Salah satu gagasannya yang terkenal adalah ilmu sosial profetik. Selain
telah menghasilkan sejumlah karya, Kuntowijoyo juga telah meraih beberapa
penghargaan.
B. Gagasan Integrasi Keilmuan Menurut
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo menulis bahwa “Asal-usul dari
pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan
Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam,
sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Kuntowijoyo banyak mengambil gagasan dua
pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu
profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Kuntowijoyo adalah
seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa gagasan
mengenai ilmu sosial profetik yang dikemukakannya dipicu antara lain oleh
perdebatan yang terjadi di kalangan cendekiawan Islam mengenai teologi, yang
terjadi dalam sebuah seminar di Kaliurang, Yogyakarta. Saat itu ada dua kubu
yang berseberangan pendapat di situ, yakni kubu teologi konvensional, yang
mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, “yaitu suatu disiplin yang mempelajari
ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik” dengan kubu teologi
transformatif, yang memaknai teologi sebagai “penafsiran terhadap realitas
dalam perspektif ketuhanan. Jadi lebih merupakan refleksi-refleksi empiris”.
Menurut Kuntowijoyo, perbedaan pandangan ini sulit diselesaikan, karena
masing-masing memberikan makna yang berbeda terhadap konsep paling pokok di
situ, yaitu konsep teologi itu sendiri. Untuk mengatasi kemacetan dialog ini
Kuntowijoyo mengusulkan digantinya istilah teologi menjadi ilmu sosial,
sehingga istilah Teologi Transformatif diubah menjadi Ilmu Sosial
Transformatif.
Ilmu Sosial
Transformatif, “tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial namun
juga berupaya untuk mentransformasikannya”. Masalahnya kemudian adalah, “ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap
pertanyaan-pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan
penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya
ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan
dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu
sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.
Dalam kaitannya dengan ilmu sosial profetik
Kuntowijoyo mengatakan bahwa basis dari ilmu tersebut adalah Islam.
Pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud dengan Islam di sini? Oleh karena Islam
dapat dimaknai dan dipahami berbagai macam, maka perlu ada rumusan minimal
tentang apa yang dimaksud dengan Islam di sini. Untuk sementara, Islam di sini
dimaknai sebagai keseluruhan perangkat simbol yang berbasis pada simbol-simbol
yang bersumber pada kitab Al Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. sebagai
utusan Allah s.w.t. yang menjelaskan dan mewujudkan berbagai hal jika bukan
semua hal yang ada- dalam Al Qur’an.
Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam
konteks ilmu sosial profetik merupakan basis utama dari keseluruhan basis ilmu
tersebut. Oleh karena itu segala se- suatu yang ada dalam Al Quran dan sunnah
Rasulullah harus diketahui dan dipahami dengan baik terlebih dulu, untuk dapat
dijadikan landasan bagi keseluruhan bangunan ilmu pengetahuan sosial yang
profetik.
Menurut Al-Qur’an, dasar dari ilmu sosial
profetik itu dapat di baca dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 110 yang
artinya “kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Ada tiga unsur yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minunabillah.amar ma’ruf
itu sesuai dengan peradaban barat yang percaya kepada demokrasi, ham,
liberalisme, kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme. Bahkan seorang steis menyebut
eksistensialismenya sebagai humanisme. Nahi munkar itu sesuai dengan prinsip
sosialisme yaitu liberation. Tu’minunabillah sama dengan transedence.
BAB IV
KESIMPULAN
1.
Kuntowijoyo
lahir pada tanggal 18 September 1943, di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta. Ia
adalah salah seorang cendekiawan Muslim Indonesia di antara sekian banyak cendekiawan
lainnya. Selain julukan itu, ia dikenal sebagai sejarawan, budayawan dan
sastrawan Setelah berumur tujuh tahun
Kunto menempuh pendidikan dasar di SRN (Sekolah Rakyat Negeri) di
Ngawonggo yang lebih populer dengan sebutan Sekolah Jawa. Kunto menempuh
pendidikan di SRN sejak 1950-1956, Kunto juga sekolah di Madrasah Ibtidaiyah
sejak 1950-1956. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan formalnya di SMP I Klaten, Jawa Tengah. Ia menjalani pendidikan menengah
pertama selama tiga tahun (1956-1959, kemudian berlanjut ke Sekolah Menengah
Atas (SMA) di Solo. Setelah menamatkan pendidikan SMA, kemudian ia meneruskan
pendidikan selanjutnya di perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Pada tahun 1973-1974 ia melanjutkan studi dengan beasiswa dari
Fulbright ke University of Connecticut USA hingga memperoleh gelar MA dari
Universitas tersebut. Sudah banyak karya dan penghargaan yang diraih
Kuntowijoyo semasa hidupnya yang produktif, baik di dalam maupun luar negeri.
Buku-bukunya menghiasi kepustakaan sejarah, budaya, dan khasanah Islam
Indonesia. Kunto meninggal dunia di
Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat
komplikasi penyakit; sesak napas, diare dan ginjal. Jenazahnya dikebumikan
esoknya (Rabu, 23 Februari 2005), di makam keluarga UGM di Sawitsari,
Yogyakarta. Kunto meninggalkan seorang istri, Dra. Susilaningsih MA, beserta
dua putra, yakni Ir. Punang Amaripuja SE. MSc dan Alun Paradipta.
2.
Gagasan
integrasi keilmuan menurut Kuntowijoyo adalah tentang ilmu sosial profetik yang
mempunyai dasar dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110 yang artinya “kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Ada tiga unsur
yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minunabillah.amar ma’ruf itu sesuai
dengan peradaban barat yang percaya kepada demokrasi, ham, liberalisme,
kebebasan, kemanusiaan, kapitalisme. Bahkan seorang steis menyebut eksistensialismenya
sebagai humanisme. Nahi munkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme yaitu
liberation. Tu’minunabillah sama dengan transedence.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah dkk. Integrasi sains-Islam mempertemukan
epistemology Islam dan Sains.
Yogyakarta: Pilar Religia, 2004.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. Paradigma Profetik,
mungkinkah?, perlukah? Makalah
disampaikan dalam Sarasehan Profetik,
tanggal 10 Februari. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2011.
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu epistemologi,
metodologi, dan etika.
Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2006.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid.
Bandung:Mizan, 2001.
Purwanto. Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi
Atas Pemikiran Kuntowijoyo.
Skripsi.
Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Zainuddin. Filsafat Ilmu. Malang: Bayu
Media, 2003.
[1] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung:Mizan, 2001), hlm 101
[2] Abdullah dkk, Integrasi sains-Islam mempertemukan epistemology Islam
dan Sains, (Yogyakarta:Pilar Religia, 2004), hlm 138.
[3] Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika
(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2006), hlm 83.
[4]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm
85
[5]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm 86
[6]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika hlm 87
[7] Purwanto, “Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi Atas Pemikiran
Kuntowijoyo”, Skripsi, (Yogyakarta: Uin Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2008), hlm 59
[8]Purwanto, “Demistifikasi Politik di Indonesia: Studi Atas Pemikiran
Kuntowijoyo…hlm 69
[9]Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik, mungkinkah?, perlukah?”,
Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik, tanggal 10 Februari (Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, 2011), hlm 5
[10]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika…
hlm 107.
[11]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 2006), hlm 83.
[12]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika …hlm
84
[13]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etikahlm
85
[14]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika…
hlm 86
[15]Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Paradigma Profetik, mungkinkah?, perlukah?”,
Makalah disampaikan dalam Sarasehan Profetik, hlm 5
[16] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung:Mizan, 2001), hlm 102
[17]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu epistemologi, metodologi, dan etika…hlm
99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar