Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT NAQUIB AL-ATTAS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis), tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya.
Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam. Banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari dunia Barat
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.





B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimana Konsep Pendidikan Islam Menurut Naquib Al-Attas ?
2.         Bagaimana Relevansi Pemikiran Naquib Al-attas terhadap  Pendidikan Islam di Indonesia ?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk Mengetahui Konsep Pendidikan Islam Menurut Naquib Al-Attas
2.      Untuk mengetahui Relevansi Pemikiran Naquib Al-attas terhadap  Pendidikan Islam di Indonesia
                                                                         BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Muhammad Naquib Al Attas

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah salah seorang pemikir Islam yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat, metafisika, sejarah dan sastra. Kontribusi dia dalam pengembangan pelbagai disiplin ilmu dan peradaban Melayu tidak diragukan lagi. Kata Fazlurrahman Syed Naquib Al Attas adalah seorang pemikir yang “jenius”.[1] Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diuraikan dalam riwayat hidup dan latar belakang pendidikan serta peran sosialnya dan pemikira-pemikirannya.
1.      Riwayat Hidup

Syed Muhammad Naquib ibn Abdullah ibn Muhsin Al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah keluarganya bisa dilacak melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad Saw.[2] Ayahnya bernama Syed Ali putra dari Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas. Kakek Syed Muhammad Naquib adalah salah seorang wali yang sangat berpengaruh di Indonesia maupun negeri Arab. Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki berdarah aristocrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, Adik Sultan Abu Bakar Johor (w 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid meninggal, Ruqayah menikah lagi dengan Syed Abdullah Al Attas dan dikarunia anak bernama Syed Ali Attas (ayah Muhammad Naquib).[3] Sedangkan Ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Aydarus, yang masih keturunan dari kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Bogor Jawa. Barat.[4] Salah seorang ulama leluhur Muhammad Naquib dari pihak ibu adalah Syed Muhammad Al-Aydarus. Dimana beliau merupakan guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs Umar ba Syaiban dari Hadramaut, dan yang mengantarkan Nur Al-Din Ar-Raniri, salah satu ulama terkemuka didunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.[5]

2.      Pendidikan Muhammad Naquib Al Attas

            Usia 5 tahun, al-Attas dibawa orang tuanya migrasi ke Malaysia. Al-Attas mendapat pendidikan dasar di Ngee Heng Primary School. [6]sampai usia 10 tahun.Di sana , al-Attas tingal bersama pamannya, Ahmad, kemudian dengan bibinya, Azizah yang suaminya bernama Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad, Kepala menteri Johor Modern yang pertama. Kemudian al-Attas dan keluarganya kembali ke Indonesia. Disini al-Attas melanjutkan pendidikan di “urwah al-wusqa:, Sukabumi selama 4 tahun pada tahun 1941-1945. Al-Attas mendalami tradisi Isla, bisa dipahami karena saat itu di Sukabumi berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[7]
            Al-Attas kembali ke Malaysia dengan memasuki dunia militer dengan mendaftarkan sebagai tentara kerajaan upaya mengusir penajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran al-attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasanya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia juga belajar sekolah militer di Inggris.
       Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan, namun tidak lama.       
            Setelah Malaysia merdeka (1957), al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer, dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelekual. Untuk itu al-Attas sempat masuk Universitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasannya dan ketekunannya, di dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institut of Islamic Studies, Mc.Gill, Canada. Berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Reniry and the Wujudyyah of 17th Century Acheh.[8]
            Setelah menamatkan sekolahmenengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami. Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan komunis yang bersarang di hutan, namun tidak lama.
            Al-attas kembali ke Malaysia pada 1965, Termasuk di antara orang sedikit orang Malaysia pertama yang memperolehelar Doctor of Philosophy dan yang didapatkan dari Universitas London, al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan Sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur, dari 1968 sampai 1070, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama. Dia juga bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di lingkungan fakultas dan universitas, yang karenanya terpaksa menghadapi oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha terebut.
            Pada 1979, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang Pendiri Senior UKM Universitas Kebangsaan Malaysia), al-Attas  juga berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan bahasa Melayu. Dia juga ikut mengonseptualisasikan dasr-dasar filsafat UKM dan melopori pendidikan fakultas ilmu dan kajian Islam.
            Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai perbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metefisika, sejarah dan sastra. Dia juga seorang penulis yang produktif ferensi peradaban Melayu.
            Dia juga orang yang merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991. Pada tahun 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi Kehormatan Al-Ghazali. Pa tahun 1994 dia diminta untuk menggambar auditorium dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islamyang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya Kosmopolitan.[9] Tahun 1997 Al-Attas dipercaya untuk membangun kampus ISTAc baru yang hanyaa beberapa kilometer dari bangunan ISTAC sekarang.
            Al-Attas sering mendapat penghargaan internasional,  misalnya al-Attas pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara pada Congres Internasional des Orientalistes yang ke-29 di paris tahun 1979. Pada tahun 1975, atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy. Dia juga pernah menjadi konsultan
Utama penyelenggaraan Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) di London 1976, sekaligus menjadi pembicara dan utusan dalam Konferensi Islam Internasional yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.

3.      Karya-karya Muhammad Naquib Al Attas

Al-Attas merupakan seorang pemikir yang dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam yang sangat produktif. Selain mendirikan International Institute of Islamic Thought and Civilization. Menurut catatan Wan Mohd Nor Wan Daud, Al Attas sampai sekarang telah menulis 26 buku dan Monograf, baik yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris maupun Melayu, dan banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa lain : seperti Bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, melayu, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan Albania, karya-karyanya tersebut adalah:
1.       Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978, di-terjemah oleh Karsidjo Djojosumarno dengan judul: Islam dan sekularisme, Pustaka, Bandung, 1981.
2.      Aims and Objectives of Islamic Education, Hodder Stoughton, London and University of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979. Buku ini di tulis bersama tujuh orang termasuk juga Al-Attas dengan bahasan: Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, dan sekaligus dia sebagai penyunting.
3.      The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education, ABIM, Kuala Lumpur, 1980, di-terjemah oleh Haidar Baqir, dengan judul: Konsep pendidikan dalam Islam: Suatu rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Mizan Bandung, 1994.
4.      Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Malaysia, 1989 di-terjemah oleh Saiful Muzani, dengan judul: Islam dan Filsafat Sains, Mizan, Bandung, 1995.
Adapun karya-karya Al-Attas yang berkaitan dengan kebudayaan Islam Melayu adalah: Rangkaian Ruba’iyat (1959), Some Aspect of Sufism as understood and Practiced among the Malays (1963), Raniri and the wujudiyah of 17th century Acheh, Monograph of the Royal Asiatic Society (1966), The Origin of the Malay Sha’ir (1968), Preleminary Statement on a general Theory of the Islamization of the malay-Indonesia Archipelago(1969), The Mysticism of Hamzah Fansuri (1969), Concluding Postcript to the Malay Sha’ir (1971), The Correct date of the Trengganu Inscription (1971), Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1972), Risalah untuk kaum Muslimin (tt), Comments on the Refutation (tt), A Commentary on the Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri (1986), The Oldest Known malay Manuscript: A 16 th century Malay Translation of the Aqaid of Al-Nasafi (1988).31 The Nature of Man and the phsychology of the Human Soul (1990), The Intuition of Existence (1990), On Quiddity and Essence(1990), The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993) The Degrees of Existence (1994), Prolegomena to the Metaphysics of Islam ; An Exposition of the fundamental Elements of the worldview of Islam (1995).[10]

B.       Konsep Pendidikan Islam Menurut Naquib Al-Attas

1.      Pengertian Pendidikan Islam

Arti pendidikan secara terminologiy adalah usaha sadar yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan.[11]
Kata Pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata education dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengajaran digunakan untuk menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris. Kata education yang berarti pendidikan[12] secara konseptual dikaitkan dengan kata-kata lain educare yang menurut Al-Attas berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau potensial yang didalamnya proses menghasilkan dan mengembangkan mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik material.[13]
Adapun kata pendidikan dalam bahasa Arab memiliki tiga istilah, yaitu pertama, adalah kata Tarbiyah ( تربية) yang berarti mendidik.[14] kedua, kata Ta’lim (تعليم) yang berarti mendidik, mengajarkan.[15] ketiga kata Ta’dib ( تأديب) yang berarti mengajarkan.[16]
Keberagaman Khasanah pemikiran Islam, juga membawa perbedaan para pemikir di dalam menggunakan Istilah pendidikan Islam. Ada menggunakan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas Istilah ta’dib lebih tepat untuk mengartikan pendidikan Islam. Dari pada menggunakan istilah tarbiyah atau ta’lim. Al-Attas merujuk Hadist. “ Addabani rabbi fa aksana ta’dibi” ( HR.Imam Muslim). Tuhanku telah mendidikku (addabani, yang secara literal berarti telah menanamkan adab pada diriku), maka sangat baiklah mutu pendidikanku (ta’dibi).[17]
Sehingga Naquib Al Attas mendefinisikan pendidikan Islam sebagaimana berikut: “Pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan, sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian”.
Menurut Al-Attas, ada beberapa kosa kata yang merupakan konsep kunci untuk membangun konsep pendidikan yaitu: makna (ma’na), ilmu (‘ilm), keadilan (‘adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan (‘amal), kebenaran atau ketepatan sesuai dengan fakta (haqq), nalar (Nathiq), jiwa (nafs), hati (qalb), pikiran (‘aql), tatanan hirarkhis dalam penciptaan (maratib dan darajat), kata-kata, tanda-tanda dan simbol-simbol (ayat) dan interpretasi (tafsir dan ta’wil).
Adapun konsep kunci yang merupakan inti pendidikan dan proses pendidikan adalah Adab. Karena Adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi Jasmani, intelektual dan ruhaniyah.
Adab diartikan juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari kehinaan.
Istilah Ta’dib adalah paling tepat untuk mengartikan pendidikan Islam, karena ta’dib sasaran pendidikannya adalah manusia. Dimana Pendidikan meliputi unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Ketiga unsur tersebut sudah masuk dalam konsep ta’dib. Menurut Al-Attas, ta’dib merupakan bentuk mashdar dari addaba yang berarti memberi adab atau pendidikan. Dengan demikian adab yang diturunkan dari akar yang sama dengan ta’dib diartikan sebagai lukisan (masyhad) keadilan yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai hirarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan dan perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu.[18]
Mengingat makna pengetahuan dan pendidikan hanya berkenaan dengan manusia saja dan lebih luas adalah masyarakat, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan mesti paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarganya, kelompoknya, komunitasnya dan masyarakatnya, serta kepada disiplin pribadinya di dalam mengaktualisasikan dalam dirinya pengenalan dan pengakuan. Hal ini berarti bahwa dia mesti mengetahui tempatnya di dalam tatanan kemanusiaan yang mesti dipahami sebagai teratur secara hirarkhis dan sah ke dalam berbagai derajat (darajat) keutamaan berdasarkan kriteria Al-Qur’an tentang akal, ilmu dan kebaikan (ihsan) dan mesti bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan cara yang positif, dipujikan dan terpuji. Pengenalan diri pribadi yang dipenuhi dalam pengakuan diri inilah yang didefinisikan di sini sebagai adab. Apabila kita berkata bahwa pengakuan merupakan unsur fundamental dalam pengenalan yang benar, dan bahwa pengakuan tentang apa-apa yang dikenali inilah yang menjadikan pendidikan.[19]
Dalam kaitannya dengan Kebebasan manusia sebenarnya secara implicit, kalau di lihat lebih jauh dari konsep adab yang dijelaskan oleh Al Attas cukup memberikan ruang terhadap kebebasan manusia namun ada penekanan yang berbeda. Artinya akomodasi kebebasan ini tidak bercorak antroposentris an sich tapi juga ditekankan nilai transendensi atau spriritualitasnya. Sebagimana yang diidealkan bahwa pendidikan untuk membentuk manusia universal.

2.      Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan adalah masalah inti dalam pendidikan. Hakekat atau Tujuan pendidikan harus berorientasi kepada manusia, oleh sebab itu pendidikan dan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan. Rumusan tentang tujuan pendidikan Islam menurut konggres Pendidikan Islam se-Dunia di Islam tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang berjiwa tawakkal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah.
Sedangkan Tujuan pendidikan Menurut Al-Attas, sebagaimana di kutip oleh Ismail SM. Bahwa tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri sebagai manusia maupun sebagai diri individu. Ismail SM menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah lebih berorientasi pada Individu.[20] Al Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang “baik”.[21] Baik dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia, telah mengikat perjanjian (mitsaq) individual secara kolektif dengan Tuhan serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan. Hal ini berarti bahwa sebelum manusia memperoleh bentuk jasmaniah ia telah dilengkapi dengan kemampuan ilmu pengetahuan ruhaniah.[22]
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam Al Attas lebih berorientasi pada Individu. Hal ini tidak hanya sebatas penekanan tetapi juga sebagai strategi yang jitu pada masa sekarang. Sebagaimana dikutip neither Wan Mohd Nor Wan Daud, Al Attas mengingatkan: Penekanan pada individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan, dan maksud yang sebenarnya (dari kehidupan ini), sebab akal, nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu, (sedangkan) penekanan terhadap masyarakat dan negara membuka pintu menuju sekularisme, termasuk di dalamnya ideology dan pendidikan secular.[23]
Dari pernyataan di atas, menjelaskan bahwa Al Attas sangat memberikan perhatian terhadap pengembangan individu-kebebasan individu karena tujuan tertinggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam adalah untuk individu-individu itu sendiri. Sebagai agent moral manusia nantinya yang kelak akan di beri pahala atau azab pada hari perhitungan.[24]
Disisi lain, individu-individu itulah bagian dari masyarakat, ketika individu itu baik maka masyarakat yang merupakan kumpulan individu-individu pun akan baik. Sehingga dari sini sebenarnya pendidikan menjadi bagian penting dalam pembentukan struktur masyarakat yang baik.
Dengan demikian tujuan pendidikan muslim adalah menciptakan manusia yang baik dan berbudi luhur, yang menyembah Allah dalam pengertian yang benar, membangun struktur kehidupan dunia sesuai dengan syari’ah dan melaksanakan untuk menjunjung imannya. Kalau di lihat secara cermat dari konsep pendidikannya Al Attas, maka tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia paripurna (insan kamil).
3.      Sistem Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan merupakan proses untuk menjadikan seorang manusia yang baik. Sehingga sistem pendidikan Islam pun harus mencerminkan manusia. Adapun perwujudan tertinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Karena bagi al Attas, dari universitaslah di bangun metode, konsep dan tujuan, serta sistem pendidikan yang mencerminkan universal atau sempurna dan target pencapaian out put nya adalah “manusia yang sempurna” (al-insanul-kamil).[25]
Al Attas, mengkritik model-model universitas Barat yang tidak mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan Negara sekuler. Menurutnya, di Barat tidak ditemukan sosok manusia sempurna yang dapat dijadikan model untuk ditiru dalam hidup dan yang dapat memproyeksikan pengetahuan dan tindakan dalam bentuk universal sebagai universitas.[26]
Bagi Al Attas, hanya Islam yang mempunyai figur manusia universal, yaitu pribadi Nabi Muhammad Saw. Karena konsep pendidikan dalam Islam berkaitan dan berkenaan dengan manusia. Maka perumusannya sebagai satu sistem juga harus mengambil model manusia sebagaimana ada dalam pribadi Nabi Saw. Dengan demikian universitas Islam harus mencerminkan Nabi Saw. Dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar, dan fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki-laki dan perempuan yang kualitasya mendekati atau menyerupai Nabi.
Dalam konteks pemikiran Al-Attas, sistem yang dimaksud adalah rangkaian yang tersusun dan saling berkaitan dari komponen yang bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan yakni, manusia, ilmu pengetahuan dan universitas. Pengetahuan adalah pemberian Allah, the god given knowledge mengacu pada fakultas dan indra ruhaniah  lurus.manusia, sedangkan ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indra jasmaniah-nya.[27]
Sementara Intelek (‘aql) nya adalah mata rantai penghubung antara yang jasmaniah dan yang ruhaniah, karena ‘aql pada hakikatnya adalah substansi ruhaniah yang menjadikan manusia bisa memahami hakekat dan kebenaran ruhaniah.
Bagi Al-Attas, sistem pendidikan dibagi dalam tiga tahapan (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardlu ‘ain diajarkan tidak hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder (menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Pengetahuan inti pada tingkat universitas, di dasarkan pada beberapa konsep unsur esensial yaitu Manusia (insan), sifat agama (din) dan keterlibatan manusia di dalamnya, pengetahuan (‘ilmu dan ma’rifah), kearifan (hikmah) dan keadilan (‘adl) mengenai manusia dan agamanya, sifat perbuatan yang benar (‘amal-adab).[28] Dan Konsep Universitas (kuliiyah-jami’ah). Kandungan terperinci dari dua kategori tersebut pada tingkat pendidikan tinggi. adalah sebagai berikut :
1.      Fardu Ain (Ilmu-ilmu agama)
b.      Kitab Suci Al-Qur’an: pembacaan dan interpretasinya (tafsir dan ta’wil)
c.       Sunnah: kehidupan Nabi; sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawinya.
d.      Syari’at: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, Iman, Ihsan)
e.       Teologi (ilmu Kalam); Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama- Nama, dan perbuatan-Nya (al-tauhid)
f.       Metafisika Islam (at-Tasawwuf-irfan); psikologi, kosmologi dan ontologi; elemen-elemen dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud)
g.      Ilmu-ilmu bahasa (linguistik); bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan sastra.
2.      Fardu Kifayah
Pengetahuan fardu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat muslim harus bertanggung jawab kalau tidak ada seorang pun yang mempelajarinya. Bagaimanapun juga ilmu ini penting untuk memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepadaumat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu pengetahuan ataupun Teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Dalam hal ini Al Attas membagi pengetahuan fardu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu. [29]
a.       Ilmu-ilmu Kemanusiaan
b.      Ilmu-ilmu Alam
c.       Ilmu-ilmu Terapan
d.      Ilmu-ilmu Teknologi
e.       Perbandingan Agama
f.       Kebudayaan dan peradaban Barat.
g.      Ilmu-ilmu Linguistik: bahasa-bahasa Islam, dan
h.      Sejarah Islam
Walaupun begitu Al Attas tidak membatasi pengetahuan fardu kifayah hanya delapan disiplin ilmu saja. Tetapi tidak terbatas. Karena pada prinsipnya pengetahuan (ilm) itu sendiri adalah sifat Tuhan.

1.      Kurikulum Pendidikan Islam

Al-Attas dalam hal ini tidak memberikan suatu definisi tentang kurikulum seperti kebanyakan para ahli pendidikan lainnya. Bagi Al-Attas, rumusan kurikulum itu merupakan suatu hal yang lebih mudah jika telah difahami definisi dan bentuk pendidikan dalam Islam.[30]
Menutut Al-Attas dalam penyusunan kurikulum pendidikan yang terlebih dahulu ditetapkan adalah ruang lingkup dan kandungan ilmu pada tingkat universitas. Langkah ini perlu karena dalam peemikirannya, perwujudan yang paling tinggi dan sempurna dalam sistem pendidikan Islam adalah pada tingkat universitas, maka formulasi kandungannya harus diutamakan. Dalam hal ini seperti apa yang dikatakannya.
“ Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke tingkat-tingkat yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistemasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal ini bisa dicapai barulah dia akan menjadi model bagi yang berada dibawahnya”.[31]
Apa yang selama ini ditiru dari dunia Barat yang menurutnya sekuler ialah menyusun kukulum dari tingkat-tingkat yang lebih rendah. Menurutnya, cara ini tidak akan pernah berhasil mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi perumusan  ruang lingkup dan kandungannya. Pada pendidikan sekuler, gambaran mengenai manusia yang utuh itu memang tidak dimilikinya.
Dalam rangka menggambarkan hubungan antar manusia, ilmu dan universitas, dapat dijelaskan dengan rangkaian hubungan sebagai berikut :













2.    Jiwa dan wujud        Bathiniyah
(ruh, nafs, qalb, aql)
 

2.    Ilmu berian Allah (husnul)      

 

2.    Ilmu-ilmu agama (fard’Ain)
 


1.    Jasad, fakultas jasmani dan indera-inderanya
 

1.    Ilmu capaian      

 

1.    Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis (fard kifayah)

 


 












Dengan skema itu Al-Attas ingin mengatakan bahwa semua ilmu datang dari Allah. Adapun yang membedakannya ialah cara datang dan fakultas indera yang  menerimanya.[32] “Ilmu berian Allah mengacu pada fakultas dan indera-indera Ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada indera jasmaniahnya”. Karena Aql menurutnya sebagai substansi ruhaniah yang menjadikan manusia mampu memahami hakikat dan kebenaran ruhaniah, maka intelek (aql) akan bertindak sebagai penghubung antara yang jasmaniah dan ruhaniah. Demikian juga, karena ilmu berian Allah yang dideskripsikannya sebagai ilmu-ilmu agama itu mutlak bagi pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka mempelajari ilmu ini hukumya fard’ain, atau wajib atas semua Muslim. Sedangkan terhadap “ilmu capaian” sifatnya fard kifayah, hanya bagi sebagian Muslim. Berkaitan dengan kurikulum, maka ilmu-ilmu agama mutlak harud diadakan pada seluruh tingkat pendidikan.[33]
Sehubungan dengan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis, setiap cabang mesti diserapi dengan unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep kunci asing dibersihkan dari semua cabangnya. Proses ini meliputi islamisasinya. Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan padateologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia – manusia sekuler.
Oleh karena itu, pendidikan islam harus diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature), aspek fisiknya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardu kifayah sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb dan ‘aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu-ilmu inti atau fardhu’ain.

2.      Metode Pendidikan Islam

Salah satu karakteristik pendidikan dan epistomologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktekkan oleh Al-Attas adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu pengetahuan. Dia mengamati bahwa dalam keseluruhan sejarah kebudayaan, keagamaan dan intelektual islam, tidak terdapat zaman khusus seperti yang dialami oleh barat yang ditandai dengan dominasi sistem-sistem pemikiran yang berdasarkanmaterialisme atau idealisme yang didukung oleh pendekatan dan posisi metodologis, seperti empirisme, rasionalisme, pragmatisme dan positivisme yang bergerak maju mundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti hingga kini.[34]
Sebaliknya, Al-Attas menemukan bahwa representasi tradisi Islam juga telah mengaplikasikan berbagai metode di dalam penyelidikan mereka, seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional, deduktif dan induktif, subyektif dan obyektif tanpa menjadikan salah satu metode lebih dominan dari yang lain.
Metode tauhid ini menyelesaikan problematika dokotomi yang salah, seperti antara aspek obyektif dan subyektif ilmu pengetahuan. Al-Attas menerangkan bahwa yang obyektif dan subyektif tidak dapat dipisahkan, sebab hal itu merupakan aspek dari realitas yang sama sehingga satu sama lain saling melengkapi.
Tentang metode ini, Al-Attas juga memberikan perumpamaan bahwa seorang arsitek akan dapat bersikap obyektif jika mengetahui rumah yang telah didesain, seperti bentuk, tinggi, lebar, panjang dari tiap bagian, sebagaimana materi dan segala sesuatu yang diperlukan. Namun, dia tidak akan mengetahui keadaaan yang sebenarnya dari rumah itu sebelum berdiam di rumah tersebut. Hanya dengan mendiami rumah tersebut dia dapat mengetahui ruangan mana yang lebih nyaman pada saat itu. Penilaian subyektif ini tidaklah menghilangkan aspek luar yang obyektif dari pengetahuan mengenai rumah.[35]
Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah metode yang banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadist. Para ulama, khususnya para sufi menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral dari pedagogi mereka. Efektifitas metode ini pun tidak diragukan lagi di dalam sejarah barat.

C.       Relevansi Pemikiran Naquib Al-attas terhadap  Pendidikan Islam di Indonesia

Fakta membuktikan bahwa di Indonesia sekarang ini banyak mengalami krisis di berbagai bidang atau krisis multi dimensi, dari krisis ekonomi hingga krisis ahlak, kita dapat melihatnya dari berbagai masa baik media cetak maupun elektronik.
Memiliki ahlak yang baik merupakan cita-cita semua orang, tetapi fenomena yang dapat kita lihat dan rasakan korup melanda diberbagai bidang, kejahatan ada disetiap tempat dan waktu, pelakunya dari orang tua sampai anak-anak. Hal ini membuat hati kita terasa miris dan terenyuh. Padahal semua ini bukan merupakan tujuan atau bahan dari kurikulum dalam dunia pendidikan lebih khusus lagi bagi pendidikan Islam di Indonesia.
Satu contoh dari jenis pendidikan di Indonesia adalah madrasah yang terdiri dari Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Dalam sistem pendidikan ini juga memiliki tujuan untuk menciptakan insan yang bertaqwa kepada Allah Swt, berahlak mulia dan berbudi luhur demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini senada dengan apa yang dipikirkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menandaskan bahwa pendidikan itu untuk menciptakan manusia yang beradab berahlakul karimah sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.
Pembentukan ahlak yang mulia akan lebih mudah diciptakan pada sekolah-sekolah Islam mengingat alokasi jam pelajaran tentang keislaman yang berisi tentang ajaran-ajaran kebaikan atau sering juga disebut ajaran keakhiratan lebih banyak dibandingkan dengan alokasi jam pelajaran umum. Al-Attas memprioritaskan ahlakul karimah itu dimiliki oleh individu-individu dari masyarakat yang ada, kalau setiap individu-individu telah memiliki ahlak yang baik niscaya akan lebih mudah untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang telah terpuruk. Individu disini tidak pandang bulu, baik itu pemerintah maupun rakyat jelata.
Suasana di atas berbeda dengan suasan di sekolah-sekolah umum, disini merupakan kebalikan dari sekolah Islam. Di SLTP atau SMU alokasi untuk pelajaran agama Islam relatif sedikit sekali, mereka lebih berorientasi pada isi otak agar lebih pintar tetapi menomor duakan isi hati (budi pekerti yang luhur). Padahal sepandai apapun manusia harus tetap memiliki ahlak yang baik (budi pekerti), sehingga kehidupan dunia ini akan seimbang, seiring sejalan, serasi dan sejahtera.
Tujuan pendidikan baik itu pendidikan Islam maupun pendidikan umum semua memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan manusia yang sempurna atau insan kamil.
Al-Attas telah melakukan jihad intelektual yang berikhtiar mendesain suatu sistem pendidikan Islam terpadu dengan sinaran adab, dan ta’dib sebagai kata kuncinya. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dari makna pendidikan yang dirumuskan yaitu “Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat didalam tatanan dan keperiadaan.” Dan tujuan pendidikan yang dirumuskannya yakni mewujudkan manusia yang “baik” yaitu manusia universal atau insan kamil. Term insan kamil merupakan term yang sangat penting dalam konteks keberagamaan Islam, di mana ia memiliki dua makna : Pertama, manusia seimbang yang memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian sekaligus. Yaitu (1) Dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah SWT, (2) Dimensi eksoterik dialektikal horisontal yakni membawa misi dan visi keselamatan bagi lingkungan sosialalamnya. Kedua, manusia seimbang dalam kualitas pikir, dzikir dan amalnya.[36]
Syed. Moh. Naquib Al-Attas merupakan salah satu pemikir yang mencoba mengajukan buah pikirannya, tentang konsep makna dan tujuan pendidikan dengan konsep ta’dib. Hal ini rupanya perlu untuk dijadikan bahan perenungan bagi kita semua, untuk menerapkan konsep yang telah dirumuskan oleh Al-Attas, sebagai sumbangsih dalam dunia pendidikan. Karena arti dari kata ta’dib di atas sebagaimana hadits berikut :
ادبنى ربي فاحسن تاديبي

“Tuhanku telah mendidikku dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik.”[37]
“My lord educatien me, and also made may education most excellent.”[38]
Adalah mendidik yang telah tertuju pada penyempurnaan akhlak budi pekerti, siapa tahu dengan menerapkan konsep ini kerusakan moral yang melanda dunia pendidikan lambat laun bisa kita perbaiki, jika dilihat dari maknanya saja sebagaimana tersebut di atas maka secara otomatis (dengan sendirinya) tujuan yang ingin dicapai adalah cerminan dari makna tersebut yaitu menciptakan manusia yang beradab, berakhlaqulkarimah dan berbudi pekerti yang luhur.
Sementara itu, perkembangan pemikiran pendidikan Islam di tanah air selama ini agaknya belum bisa tumbuh secara menggembirakan. Hal ini disebabkan karena tradisi pemikiran yang belum mengakar secara mendalam pada kebanyakan orang, di samping belum adanya kesiapan umat untuk menerima ide-ide baru secara terus menerus. Oleh karena itu sebagai generasi muda yang berkonsentrasi pada dunia pendidikan marilah kita berusaha menyelesaikan problem-problem pendidikan yang muncul akhir-akhir ini.
Manusia adalah makhluk rasional (hayawan natiq), sehingga mereka mampu merumuskan makna-makna yang melibatkan penilaian, pembedaan dan penjelasan. Kenyataan ini tidak tepat dikaitkan dengan istilah tarbiyah, karena tarbiyah lebih bermakna pemeliharaaan dan melatih (yang biasanya terjadi karena hubungan kepemilikan) yang tidak hanya dapat diberlakukan kepada manusia, melainkan juga berlaku pada hewan dan rumbuh-tumbuhan, sedangkan adab berarti pembinaan yang khas berlaku pada manusai. Istilah yang digunakan untuk pendidikan dan proses pendidikan harus membawa gagasan yang benar mengenai pendidikan tersebut, dengan demikian juga mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pendidikan. Oleh karena itu menurut Al-Attas istilah yang berlaku selama ini harus diuji secara kritis dan jika perlu diganti dengan pilihan. Istilah yang lebih tepat dan benar.[39] Istilah “tarbiyah” tidak cukup representatif untuk pendidikan tetapi telah berlaku secara “salah kaprah”. Kata ta’dib” lebih luas cakupannya, karena meliputi pengetahuan (’ilm-ma’rifah), mengajarkan (ta’lim) dan pengasuhan (tarbiyah).
Bagi Al-Attas sebagaimana pandangannya tentang pentingnya bahasa, kesalahan semantik dalam memahami konsep pendidikan dan proses pendidikan mengakibatkan kesalahan isi, maksud dan tujuan pendidikan. Dan kesalahan itu mengakibatkan kemunduruan, ketertinggalan dan kebodohan umat Islam. Adapun kenyataan yang membela relevansi istilah tarbiyah untuk pendidikan dengan mengutip Q.S al-Isra’ : 24 menyatakan bahwa kata “rabba” dalam ayat tersebut tidak berarti pendidikan, tetapi kasih sayang.
Selanjutnya, pembahasan tentang pendidikan harus berhubungan dengan hakekat manusia yang memiliki dua dimensi, tidak hanya dikaitkan dengan aspek fisiknya, karena pada aspek fisik itu terdapat aspek kebinatangan. Sebagaimana disebutkan, manusia adalah hewan rasional (ration animal, hayawan natiq). Yang dimaksud “rasional” adalah kapasitas untuk dapat memahami pembicaraan dan kemampuan yang bertanggung jawab atas perumusan makna, termasuk penilaian, pembedaan, perincian dan penjelasan serta berkait dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan.
Setelah dilaksanakannya konferensi dunia pertama tentang pendidikan yang dilaksanakan di Mekkah pada April 1971. Nampaknya masyarakat dunia belum juga dapat menerima pemikiran Al-Attas sepenuhnya, mereka menerimanya dengan kompromis, hal ini menimbulkan penolakan Al-Attas tentang penerimaan yang kompromis ini ketika dilaksanakannya konferensi dunia kedua tentang pendidikan yang dilaksanakan di Islamabad pada tahun 1980. Selama ini dunia pendidikan Islam kita menggunakan istilah tarbiyah yang banyak memunculkan tujuan-tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan tokohtokoh pencetusnya dan kebanyakan mereka mengelompokkan tujuan sesuai kategori-kategori yang mereka buat. Misalnya saja ada tujuan umum dan tujuan khusus, karena terlalu banyak tujuan yang ingin dicapai, dan saling berbeda antara instansi yang satu dengan yang lainnya, walaupun pada intinya pada akhirnya adalah kembali pada Allah, namun nampaknya hal itulah yang sering membuat masyarakat kebingungan dan bertanya sesungguhnya mau dibawa kemana dunia pendidikan kita.
Menurut al-Attas ”The aim of Education in Islam is to Produce a good man[40]tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik,” bukan warga negara yang baik. Baik di sini meliputi kehidupan spiritual dan material manusia. Dari sini tersirat bahwa tujuan pendidikan Islam untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah) sebagaimana perjanjian awal yang disepakati manusia dengan-Nya. Sejalan dengan tujuan tersebut maka filosofis pendidikan Islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi abdi Allah SWT yang patuh dan setia. Tujuan ini tidak mungkin tercapai secara utuh dan sekaligus, melainkan memerlukan proses dan pentahapan. Tujuan pendidikan sebagaimana di atas memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.      Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2.      Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga, tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3.      Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4.      Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5.      Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Manusia yang memiliki ciri-ciri tersebut di atas secara umum adalah manusia yang baik. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa para ahli pendidikan Islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terbentuknya manusia yang baik. Yaitu manusia yang beribadah kepada Allah dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.
Kalau menurut penulis akar dari kebingungan kita selama ini adalah mengkiblatkan kita pada dunia Barat dalam bidang pendidikan, mereka (bangsa Barat) telah memisahkan agama dari segala persoalan di dunia ini sehingga muncul paham sekularisme. Jika hal ini kita konsumsi, dan kita terapkan pada dunia pendidikan kita jelas akan memunculkan dikotomi pendidikan yang telah kita jalani selama ini, dan kita tidak akan bisa lepas dari masalah ini kalau kita meniru bangsa Barat tetapi kita jangan lupakan budaya kita, kita bangsa Timur memiliki budaya, ciri khas tersendiri budaya Islam yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya dalam bentuk-bentuk yang termuat dalam al-Qur’an.
Perlu kiranya bagi kita untuk merenungkan kembali, berfikir kembali (rethinking) untuk menemukan hakekat pendidikan Islam dan hakekat tujuan pendidikan Islam kita. Konsep pemikiran Al-Attas tentang makna dan tujuan pendidikan Islam patut kita pertimbangkan sebagai solusi bagi berbagai problem yang kita hadapi sekarang ini. Agar kita (warga negara Indonesia) dapat mencapai apa yang sesungguhnya kita inginkan yaitu bahagia di dunia dan akhirat.
Mengenai kelemahan dari konsep pemikiran Al-Attas yang dapat penulis ungkapkan adalah beliau tidak mengenal pembaharuan, baginya ajaran Islam telah bersifat total dan final yang ada hanya pemurnian. Hal ini yang menurut Aminullah El Hady mengkategorikannya sebagai pemikir yang tradisionalis atau neo tradisionalis.[41] Dan bagi kita apa yang telah diungkapkan oleh Al-Attas pada bab sebelumnya terlalu filosofis, panjang, abstrak, sulit ditangkap, dan sulit dioperasionalkan. Tetapi demikian itu merupakan wahana berpikir bagi setiap manusia. Dan merupakan kelebihan dari pemikiran Al-Attas yang berusaha mengembalikan kemurnian ajaran Islam, dan sesuai pula dengan Filsafat Pendidikan Islam kita.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Al-Attas berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui suatu proses intuitif. Hal ini dapat dimengerti karena semua yang tampak dan merupakan realitas adalah Tuhan. Dari Tuhan inilah adanya pancaran, atau dengan kata lain melimpah menjadi wujud-wujud yang sangat banyak, yang diantaranya adalah ilmu pengetahuan.
Hal ini juga diperkuat dengan pandangan al-Attas bahwa Islam baginya adalah way of life atau jalan hidup yang terlengkap. Sedangkan dalam kaitan dengan tujuan sejati hidup manusia, adalah untuk menjalankan ibadah atau berbakti kepada Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas Bandung, Mizan.
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik
Nizar Samsul, 2002, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta Selatan, Ciputat Press
Prof Dr.H Abudin Nata, 2003,  Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung, Angkara
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 1980,  Konsep Pendidikan Islam, kuala lumpur, ABIM
Louis Ma’loup, 1986,  Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, Beirut, Dar Al-Masyriq
Naquib Al-Attas, 1981, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), Bandung, Pustaka
Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), 1999, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Naquib Al-Attas, 1979, Aims and Objectives Of Islamic Education, London, Hodder & Stoughton
Dr. H. Maksum, 1999, Madrasah sejarah dan perkembangannya, Jakarta, Logos wacana ilmu
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 1995, Prolegomena to the Metaphysics of  Islam, An exposition of the Fundamental elements of the Worldview of Islam, kuala lumpur, ISTAC
Ahmadi, 1997,  Paradigma Ilmu dalam Pendidikan Islam, Jakarta, Aditya Media
Imam Jalaluddin Abu Bakar as-Suyuti, al-Jami’us Shogir, Jilid 1– 2, (Beirut : dar al- Kutub al-Ilmiyah, tth)
SMN. Al-Attas, 1991, The Concept of Education in Islam a Frame Work for an Islamic Philosophy of Education, Malaysia Kuala Lumpur, International Institute Islamic Thought Civilation Internasional Islamic University
Mulyadhi Kertanegara, 2003,  Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela
Aminullah Elhady “Naquib Al Attas : Islamisasi Ilmu”, dalam Khudori Soleh, ed, 2003, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela



[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas,(Bandung  : Mizan, 2003) hlm. 61
[2] Ibid, hlm. 45
[3] Ibid, hlm. 45-46
[4] Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik
dan Kontemporer, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar 1999)  hlm. 271.
[5] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 45
[6] Ibid 46
[7] Nizar,Samsul.Filsafat Pendidikan Islam.(Jakarta Selatan:Ciputat Press, 2002)  hlm118
[8] Ibid.hlm 119
[9] Ibid hlm 50
[10]  Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas,(Bandung ; Mizan,2003) hlm  56-57
[11] Prof Dr.H Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Bandung, Angkara, 2003), cet ke-1, hlm 11
[12] John M Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia,1990) hlm 207
[13] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, hlm 64
[14] Louis Ma’loup, Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, ( Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), cet ke-16, hlm 247
[15] Louis Ma’loup, Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, hlm 526
[16] Louis Ma’loup, Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, hlm 5
[17] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The concept of Education in Islam a Frame Work for an Islamic Philosophy of Education, (Malaysia Kuala Lumpur : International Institute Islamic Thought Civilation Internasional Islamic University, 1991), hlm 26
[18] Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), (Bandung  : Pustaka, 1981)  hlm 221
[19]ibid, hlm 62-63
[20]Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 1999)  . hlm 283
[21] Naquib Al-Attas, Aims and Objectives Of Islamic Education, (London; Hodder & Stoughton, 1979) hlm, 1
[22] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ( Kuala lumpur : ABIM, 1980),  hlm. 55
[23] Wan Muhd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 173
[24] ibid

[25] Wan Muhd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 202
[26] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Op.Cit, hlm.85
[27] Ismail SM, Op.Cit. hlm 287
[28] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Op.Cit, hlm. 238-239
[29] Wan Mohd Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm.282
[30] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, konsep Pendidikan Islam, hlm 88
[31] ibid
[32] Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), (Bandung  : Pustaka, 1981) hlm 222-245
[33] Dr. H. Maksum, Madrasah sejarah dan perkembangannya ( Jakarta: Logos wacana ilmu, 1999)  hlm : 50
[34] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of  Islam: An exposition of the Fundamental elements of the Worldview of Islam, ( kuala lumpur: ISTAC, 1995) hlm 3

[35] Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hlm 298

[36] Ahmadi, Paradigma Ilmu dalam Pendidikan Islam, (Jakarta : Aditya Media, 1997), hlm 130
[37] Imam Jalaluddin Abu Bakar as-Suyuti, al-Jami’us Shogir, Jilid 1– 2, (Beirut : dar al- Kutub al-Ilmiyah, tth), hlm. 25
[38] SMN. Al-Attas, The Concept of Education in Islam a Frame Work for an Islamic Philosophy of Education, (Malaysia Kuala Lumpur : International Institute Islamic Thought Civilation Internasional Islamic University, 1991), hlm. 26
[39] Mulyadhi Kertanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), Cet. I, hlm  346
[40] SMN. Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jedda : Hodder and Stoughton King Abdul Aziz Uiversity, tth), hlm
[41] Aminullah Elhady “Naquib Al Attas : Islamisasi Ilmu”, dalam Khudori Soleh, ed., Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), Cet. 1, hlm. 349

Tidak ada komentar:

Posting Komentar