BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia.
Pendidikan (terutama Islam) dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan
bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui
konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis
dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya
berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis), tetapi
kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya.
Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang concern kepada
pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi
ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis
merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk
umat Islam. Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan dalam pendidikan Islam. Banyak memperoleh tantangan dari para
pemikir yang terlahir dari dunia Barat
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.
Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Konsep Pendidikan Islam
Menurut Naquib Al-Attas ?
2.
Bagaimana
Relevansi Pemikiran Naquib Al-attas terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk Mengetahui Konsep Pendidikan Islam
Menurut Naquib Al-Attas
2.
Untuk mengetahui Relevansi Pemikiran
Naquib Al-attas terhadap Pendidikan
Islam di Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Muhammad Naquib Al Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah salah seorang
pemikir Islam yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat,
metafisika, sejarah dan sastra. Kontribusi dia dalam pengembangan pelbagai
disiplin ilmu dan peradaban Melayu tidak diragukan lagi. Kata Fazlurrahman Syed
Naquib Al Attas adalah seorang pemikir yang “jenius”.[1]
Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan diuraikan dalam riwayat hidup dan latar
belakang pendidikan serta peran sosialnya dan pemikira-pemikirannya.
1.
Riwayat Hidup
Syed Muhammad Naquib ibn Abdullah ibn Muhsin
Al-Attas lahir pada tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Silsilah
keluarganya bisa dilacak melalui silsilah sayyid dalam keluarga Ba’Alawi
di Hadramaut dengan silsilah yang sampai pada Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad
Saw.[2]
Ayahnya bernama Syed Ali putra dari Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas.
Kakek Syed Muhammad Naquib adalah salah seorang wali yang sangat berpengaruh di
Indonesia maupun negeri Arab. Neneknya, Ruqayah Hanum adalah wanita Turki
berdarah aristocrat yang menikah dengan Ungku Abdul Majid, Adik Sultan Abu
Bakar Johor (w 1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang
kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku Abdul Majid meninggal, Ruqayah
menikah lagi dengan Syed Abdullah Al Attas dan dikarunia anak bernama Syed Ali
Attas (ayah Muhammad Naquib).[3] Sedangkan
Ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Aydarus, yang masih keturunan dari kerabat
raja-raja Sunda Sukapura, Bogor Jawa. Barat.[4]
Salah seorang ulama leluhur Muhammad Naquib dari pihak ibu adalah Syed Muhammad
Al-Aydarus. Dimana beliau merupakan guru dan pembimbing ruhani Syed Abu Hafs
Umar ba Syaiban dari Hadramaut, dan yang mengantarkan Nur Al-Din Ar-Raniri,
salah satu ulama terkemuka didunia Melayu, ke tarekat Rifa’iyah.[5]
2.
Pendidikan Muhammad Naquib Al Attas
Usia 5 tahun, al-Attas dibawa orang tuanya migrasi ke Malaysia. Al-Attas
mendapat pendidikan dasar di Ngee Heng Primary School. [6]sampai
usia 10 tahun.Di sana , al-Attas tingal bersama pamannya, Ahmad, kemudian
dengan bibinya, Azizah yang suaminya bernama Dato’ Jaafar ibn Haji Muhammad,
Kepala menteri Johor Modern yang pertama. Kemudian al-Attas dan keluarganya
kembali ke Indonesia. Disini al-Attas melanjutkan pendidikan di “urwah
al-wusqa:, Sukabumi selama 4 tahun pada tahun 1941-1945. Al-Attas mendalami
tradisi Isla, bisa dipahami karena saat itu di Sukabumi berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[7]
Al-Attas kembali ke Malaysia dengan memasuki dunia militer dengan mendaftarkan
sebagai tentara kerajaan upaya mengusir penajah Jepang. Dalam bidang
kemiliteran al-attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasanya memilih dia
sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia juga
belajar sekolah militer di Inggris.
Setelah
menamatkan sekolah menengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu
sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama
kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami.
Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara
kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan
komunis yang bersarang di hutan, namun tidak
lama.
Setelah Malaysia merdeka (1957), al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer,
dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelekual. Untuk itu al-Attas
sempat masuk Universitas Malaya selama 2 tahun. Berkat kecerdasannya dan
ketekunannya, di dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di
Institut of Islamic Studies, Mc.Gill, Canada. Berhasil menggondol gelar master
dengan mempertahankan tesis Reniry and the Wujudyyah of 17th
Century Acheh.[8]
Setelah
menamatkan sekolahmenengah pada 1951, al-Attas mendaftar di resiman Melayu
sebagai kadet dengan nomor 6675. Di Sandhurst al-Attas berkenalan untuk pertama
kalinya dengan pendangan metafisika tasawuf, terutama dari karya-karya Jami.
Setamatnya dari sandhurst, al-Attas ditugaskan sebagai kantor resimen tentara
kerajaan Malaya, Federasi Malaya, yang ketika itu sibuk menghadapi serangan
komunis yang bersarang di hutan, namun tidak lama.
Al-attas kembali ke Malaysia pada 1965, Termasuk di antara orang sedikit orang
Malaysia pertama yang memperolehelar Doctor of Philosophy dan yang
didapatkan dari Universitas London, al-Attas dilantik menjadi Ketua Jurusan
Sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur, dari 1968
sampai 1070, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama.
Dia juga bertanggung jawab dalam upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar di lingkungan fakultas dan universitas, yang karenanya terpaksa
menghadapi oposisi dosen-dosen lain yang tidak menyetujui usaha terebut.
Pada 1979, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang Pendiri Senior UKM Universitas
Kebangsaan Malaysia), al-Attas juga berusaha mengganti pemakaian bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar di UKM dengan bahasa Melayu. Dia juga ikut
mengonseptualisasikan dasr-dasar filsafat UKM dan melopori pendidikan fakultas
ilmu dan kajian Islam.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai perbagai
disiplin ilmu, seperti teologi, filsafat dan metefisika, sejarah dan sastra.
Dia juga seorang penulis yang produktif ferensi peradaban Melayu.
Dia juga orang yang merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC pada 1991.
Pada tahun 1993, dia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk Kursi
Kehormatan Al-Ghazali. Pa tahun 1994 dia diminta untuk menggambar auditorium
dan masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan dekorasi interior yang bercirikan
seni arsitektur Islamyang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya Kosmopolitan.[9] Tahun
1997 Al-Attas dipercaya untuk membangun kampus ISTAc baru yang hanyaa beberapa
kilometer dari bangunan ISTAC sekarang.
Al-Attas sering mendapat penghargaan internasional, misalnya al-Attas
pernah dipercaya untuk memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara
pada Congres Internasional des Orientalistes yang ke-29 di paris tahun 1979.
Pada tahun 1975, atas kontribusinya dalam perbandingan filsafat, dia dilantik
sebagai anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy. Dia juga pernah menjadi
konsultan
Utama penyelenggaraan
Festival Islam Internasional (World of Islam Festival) di London 1976,
sekaligus menjadi pembicara dan utusan dalam Konferensi Islam Internasional
yang diadakan secara bersamaan di tempat yang sama.
3.
Karya-karya Muhammad Naquib Al Attas
Al-Attas merupakan seorang pemikir yang dapat
dikategorikan sebagai pemikir Islam yang sangat produktif. Selain mendirikan
International Institute of Islamic Thought and Civilization. Menurut catatan
Wan Mohd Nor Wan Daud, Al Attas sampai sekarang telah menulis 26 buku dan Monograf,
baik yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris maupun Melayu, dan banyak yang
diterjemahkan ke dalam bahasa lain : seperti Bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu,
melayu, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania, karya-karyanya tersebut adalah:
1.
Islam
and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978, di-terjemah oleh Karsidjo
Djojosumarno dengan judul: Islam dan sekularisme, Pustaka, Bandung,
1981.
2.
Aims and Objectives of Islamic
Education, Hodder Stoughton, London and University of King
Abdul Aziz, Jeddah, 1979. Buku ini di tulis bersama tujuh orang termasuk juga
Al-Attas dengan bahasan: Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and
the Definition and Aims of Education, dan sekaligus dia sebagai penyunting.
3.
The Concept of Education in Islam:
A Framework for an Islamic Philosophy of Education,
ABIM, Kuala Lumpur, 1980, di-terjemah oleh Haidar Baqir, dengan judul: Konsep
pendidikan dalam Islam: Suatu rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Mizan Bandung, 1994.
4.
Islam and the Philosophy of Science,
ISTAC, Malaysia, 1989 di-terjemah oleh Saiful Muzani, dengan judul: Islam
dan Filsafat Sains, Mizan, Bandung, 1995.
Adapun karya-karya Al-Attas yang berkaitan dengan
kebudayaan Islam Melayu adalah: Rangkaian Ruba’iyat (1959), Some
Aspect of Sufism as understood and Practiced among the Malays (1963),
Raniri and the wujudiyah of 17th century Acheh, Monograph of the
Royal Asiatic Society (1966), The Origin of the Malay Sha’ir (1968),
Preleminary Statement on a general Theory of the Islamization of the
malay-Indonesia Archipelago(1969),
The
Mysticism of Hamzah Fansuri (1969), Concluding
Postcript to the Malay Sha’ir (1971), The Correct date of the Trengganu
Inscription (1971), Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (1972),
Risalah untuk kaum Muslimin (tt), Comments on the Refutation (tt),
A Commentary on the Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri (1986), The
Oldest Known malay Manuscript: A 16 th century Malay Translation of the Aqaid
of Al-Nasafi (1988).31 The Nature of
Man and the phsychology of the Human Soul (1990),
The Intuition of Existence (1990), On Quiddity and Essence(1990),
The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993) The Degrees
of Existence (1994), Prolegomena to the Metaphysics of Islam ; An
Exposition of the fundamental Elements of the worldview of Islam (1995).[10]
B. Konsep Pendidikan
Islam Menurut Naquib Al-Attas
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Arti pendidikan secara terminologiy adalah usaha
sadar yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan
dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan
tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup
tumbuh kearah kemajuan.[11]
Kata Pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk
menerjemahkan kata education dalam bahasa Inggris. Sedangkan pengajaran
digunakan untuk menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris.
Kata education yang berarti pendidikan[12]
secara konseptual dikaitkan dengan kata-kata lain educare yang menurut Al-Attas
berarti menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau
potensial yang didalamnya proses menghasilkan dan mengembangkan mengacu kepada
segala sesuatu yang bersifat fisik material.[13]
Adapun kata pendidikan dalam bahasa Arab memiliki
tiga istilah, yaitu pertama, adalah kata Tarbiyah (
تربية)
yang berarti mendidik.[14] kedua,
kata Ta’lim (تعليم) yang berarti mendidik,
mengajarkan.[15]
ketiga kata Ta’dib ( تأديب)
yang berarti mengajarkan.[16]
Keberagaman Khasanah pemikiran Islam, juga membawa
perbedaan para pemikir di dalam menggunakan Istilah pendidikan Islam. Ada
menggunakan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Menurut
Syed Muhammad Naquib Al-Attas Istilah ta’dib lebih tepat untuk
mengartikan pendidikan Islam. Dari pada menggunakan istilah tarbiyah atau
ta’lim. Al-Attas merujuk Hadist. “ Addabani rabbi fa aksana ta’dibi” (
HR.Imam Muslim). Tuhanku telah mendidikku (addabani, yang secara literal
berarti telah menanamkan adab pada diriku), maka sangat baiklah mutu
pendidikanku (ta’dibi).[17]
Sehingga Naquib Al Attas mendefinisikan pendidikan
Islam sebagaimana berikut: “Pengenalan dan pengakuan, yang secara
berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan, sedemikian rupa sehingga
membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat
dalam tatanan wujud dan kepribadian”.
Menurut Al-Attas, ada beberapa kosa kata yang
merupakan konsep kunci untuk membangun konsep pendidikan yaitu: makna (ma’na),
ilmu (‘ilm), keadilan (‘adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan
(‘amal), kebenaran atau ketepatan sesuai dengan fakta (haqq),
nalar (Nathiq), jiwa (nafs), hati (qalb), pikiran (‘aql),
tatanan hirarkhis dalam penciptaan (maratib dan darajat),
kata-kata, tanda-tanda dan simbol-simbol (ayat) dan interpretasi (tafsir
dan ta’wil).
Adapun konsep kunci yang merupakan inti pendidikan
dan proses pendidikan adalah Adab. Karena Adab adalah disiplin tubuh,
jiwa, dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang
tepat mengenai hubungannya dengan potensi Jasmani, intelektual dan ruhaniyah.
Adab diartikan juga
disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh
pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru,
yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari kehinaan.
Istilah Ta’dib adalah paling tepat untuk
mengartikan pendidikan Islam, karena ta’dib sasaran pendidikannya adalah
manusia. Dimana Pendidikan meliputi unsur pengetahuan, pengajaran dan
pengasuhan yang baik. Ketiga unsur tersebut sudah masuk dalam konsep ta’dib.
Menurut Al-Attas, ta’dib merupakan bentuk mashdar dari addaba
yang berarti memberi adab atau pendidikan. Dengan demikian adab yang
diturunkan dari akar yang sama dengan ta’dib diartikan sebagai lukisan (masyhad)
keadilan yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai
hirarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan dan
perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu.[18]
Mengingat makna pengetahuan dan pendidikan hanya
berkenaan dengan manusia saja dan lebih luas adalah masyarakat, maka pengenalan
dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan mesti paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia
itu sendiri tentang tempatnya yang tepat yaitu kedudukannya dan kondisinya
dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarganya, kelompoknya,
komunitasnya dan masyarakatnya, serta kepada disiplin pribadinya di dalam
mengaktualisasikan dalam dirinya pengenalan dan pengakuan. Hal ini berarti
bahwa dia mesti mengetahui tempatnya di dalam tatanan kemanusiaan yang mesti
dipahami sebagai teratur secara hirarkhis dan sah ke dalam berbagai derajat (darajat)
keutamaan berdasarkan kriteria Al-Qur’an tentang akal, ilmu dan kebaikan (ihsan)
dan mesti bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan cara yang positif,
dipujikan dan terpuji. Pengenalan diri pribadi yang dipenuhi dalam pengakuan
diri inilah yang didefinisikan di sini sebagai adab. Apabila kita
berkata bahwa pengakuan merupakan unsur fundamental dalam pengenalan yang
benar, dan bahwa pengakuan tentang apa-apa yang dikenali inilah yang menjadikan
pendidikan.[19]
Dalam kaitannya dengan Kebebasan manusia sebenarnya
secara implicit, kalau di lihat lebih jauh dari konsep adab yang dijelaskan
oleh Al Attas cukup memberikan ruang terhadap kebebasan manusia namun ada
penekanan yang berbeda. Artinya akomodasi kebebasan ini tidak bercorak
antroposentris an sich tapi juga ditekankan nilai transendensi atau
spriritualitasnya. Sebagimana yang diidealkan bahwa pendidikan untuk membentuk
manusia universal.
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan adalah masalah inti dalam
pendidikan. Hakekat atau Tujuan pendidikan harus berorientasi kepada manusia,
oleh sebab itu pendidikan dan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan. Rumusan
tentang tujuan pendidikan Islam menurut konggres Pendidikan Islam se-Dunia di
Islam tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita
(idealitas) Islam yang mencakup pengembangan kepribadian muslim yang bersifat
menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah)
manusia yang mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan
secara berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna yang
berjiwa tawakkal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah.
Sedangkan Tujuan pendidikan Menurut Al-Attas,
sebagaimana di kutip oleh Ismail SM. Bahwa tujuan mencari pengetahuan dalam
Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri sebagai manusia maupun
sebagai diri individu. Ismail SM menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah lebih berorientasi pada Individu.[20] Al
Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk
dan menghasilkan manusia yang “baik”.[21]
Baik dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni
meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum
menjadi manusia, telah mengikat perjanjian (mitsaq) individual secara
kolektif dengan Tuhan serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan.
Hal ini berarti bahwa sebelum manusia memperoleh bentuk jasmaniah ia
telah dilengkapi dengan kemampuan ilmu pengetahuan ruhaniah.[22]
Pada hakikatnya tujuan pendidikan Islam Al Attas
lebih berorientasi pada Individu. Hal ini tidak hanya sebatas penekanan tetapi
juga sebagai strategi yang jitu pada masa sekarang. Sebagaimana dikutip neither
Wan Mohd Nor Wan Daud, Al Attas mengingatkan: Penekanan pada individu
mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan, dan maksud
yang sebenarnya (dari kehidupan ini), sebab akal, nilai, dan jiwa adalah
unsur-unsur inheren setiap individu, (sedangkan) penekanan terhadap masyarakat
dan negara membuka pintu menuju sekularisme, termasuk di dalamnya ideology dan
pendidikan secular.[23]
Dari pernyataan di atas, menjelaskan bahwa Al Attas
sangat memberikan perhatian terhadap pengembangan individu-kebebasan individu
karena tujuan tertinggi dan perhentian terakhir etika dalam perspektif Islam
adalah untuk individu-individu itu sendiri. Sebagai agent moral manusia
nantinya yang kelak akan di beri pahala atau azab pada hari perhitungan.[24]
Disisi lain,
individu-individu itulah bagian dari masyarakat, ketika individu itu baik maka
masyarakat yang merupakan kumpulan individu-individu pun akan baik. Sehingga
dari sini sebenarnya pendidikan menjadi bagian penting dalam pembentukan
struktur masyarakat yang baik.
Dengan demikian
tujuan pendidikan muslim adalah menciptakan manusia yang baik dan berbudi
luhur, yang menyembah Allah dalam pengertian yang benar, membangun struktur
kehidupan dunia sesuai dengan syari’ah dan melaksanakan untuk menjunjung
imannya. Kalau di lihat secara cermat dari konsep pendidikannya Al Attas, maka
tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia paripurna (insan kamil).
3.
Sistem Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan merupakan proses untuk menjadikan
seorang manusia yang baik. Sehingga sistem pendidikan Islam pun harus
mencerminkan manusia. Adapun perwujudan tertinggi dan paling sempurna dari
sistem pendidikan adalah universitas. Karena bagi al Attas, dari universitaslah
di bangun metode, konsep dan tujuan, serta sistem pendidikan yang mencerminkan
universal atau sempurna dan target pencapaian out put nya adalah “manusia yang
sempurna” (al-insanul-kamil).[25]
Al Attas, mengkritik model-model universitas Barat
yang tidak mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan Negara sekuler.
Menurutnya, di Barat tidak ditemukan sosok manusia sempurna yang dapat
dijadikan model untuk ditiru dalam hidup dan yang dapat memproyeksikan
pengetahuan dan tindakan dalam bentuk universal sebagai universitas.[26]
Bagi Al Attas, hanya Islam yang mempunyai figur
manusia universal, yaitu pribadi Nabi Muhammad Saw. Karena konsep pendidikan
dalam Islam berkaitan dan berkenaan dengan manusia. Maka perumusannya sebagai
satu sistem juga harus mengambil model manusia sebagaimana ada dalam pribadi
Nabi Saw. Dengan demikian universitas Islam harus mencerminkan Nabi Saw. Dalam
hal pengetahuan dan tindakan yang benar, dan fungsinya adalah untuk
menghasilkan manusia, laki-laki dan perempuan yang kualitasya mendekati atau
menyerupai Nabi.
Dalam konteks pemikiran Al-Attas, sistem yang
dimaksud adalah rangkaian yang tersusun dan saling berkaitan dari komponen yang
bekerja untuk mencapai tujuan pendidikan yakni, manusia, ilmu pengetahuan dan
universitas. Pengetahuan adalah pemberian Allah, the god given
knowledge mengacu pada fakultas dan indra ruhaniah lurus.manusia, sedangkan ilmu capaian mengacu
pada fakultas dan indra jasmaniah-nya.[27]
Sementara Intelek (‘aql) nya adalah mata
rantai penghubung antara yang jasmaniah dan yang ruhaniah, karena
‘aql pada hakikatnya adalah substansi ruhaniah yang menjadikan
manusia bisa memahami hakekat dan kebenaran ruhaniah.
Bagi Al-Attas, sistem pendidikan dibagi dalam tiga
tahapan (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardlu ‘ain diajarkan tidak
hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder (menengah)
pra-universitas dan juga tingkat universitas. Pengetahuan inti pada tingkat
universitas, di dasarkan pada beberapa konsep unsur esensial yaitu Manusia (insan),
sifat agama (din) dan keterlibatan manusia di dalamnya, pengetahuan (‘ilmu
dan ma’rifah), kearifan (hikmah) dan keadilan (‘adl) mengenai
manusia dan agamanya, sifat perbuatan yang benar (‘amal-adab).[28] Dan
Konsep Universitas (kuliiyah-jami’ah). Kandungan terperinci dari dua
kategori tersebut pada tingkat pendidikan tinggi. adalah sebagai berikut :
1.
Fardu Ain (Ilmu-ilmu agama)
b.
Kitab Suci Al-Qur’an: pembacaan dan
interpretasinya (tafsir dan ta’wil)
c.
Sunnah: kehidupan Nabi; sejarah dan
risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawinya.
d.
Syari’at: fiqih dan hukum;
prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, Iman, Ihsan)
e.
Teologi (ilmu Kalam); Tuhan, Zat-Nya,
Sifat-Sifat, Nama- Nama, dan perbuatan-Nya (al-tauhid)
f.
Metafisika Islam (at-Tasawwuf-irfan);
psikologi, kosmologi dan ontologi; elemen-elemen dalam filsafat Islam
(termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan
tingkatan-tingkatan wujud)
g.
Ilmu-ilmu bahasa (linguistik); bahasa
Arab, tata bahasa, leksikografi dan sastra.
2.
Fardu Kifayah
Pengetahuan fardu kifayah tidak diwajibkan kepada
setiap muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat muslim harus
bertanggung jawab kalau tidak ada seorang pun yang mempelajarinya. Bagaimanapun
juga ilmu ini penting untuk memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan
kepadaumat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu pengetahuan
ataupun Teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Dalam hal ini Al
Attas membagi pengetahuan fardu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu. [29]
a.
Ilmu-ilmu Kemanusiaan
b.
Ilmu-ilmu Alam
c.
Ilmu-ilmu Terapan
d.
Ilmu-ilmu Teknologi
e.
Perbandingan Agama
f.
Kebudayaan dan peradaban Barat.
g.
Ilmu-ilmu Linguistik: bahasa-bahasa
Islam, dan
h.
Sejarah Islam
Walaupun begitu Al Attas tidak membatasi pengetahuan
fardu kifayah hanya delapan disiplin ilmu saja. Tetapi tidak terbatas. Karena
pada prinsipnya pengetahuan (ilm) itu sendiri adalah sifat Tuhan.
1.
Kurikulum Pendidikan Islam
Al-Attas dalam hal ini tidak memberikan suatu definisi tentang
kurikulum seperti kebanyakan para ahli pendidikan lainnya. Bagi Al-Attas,
rumusan kurikulum itu merupakan suatu hal yang lebih mudah jika telah difahami
definisi dan bentuk pendidikan dalam Islam.[30]
Menutut Al-Attas dalam penyusunan kurikulum pendidikan yang terlebih
dahulu ditetapkan adalah ruang lingkup dan kandungan ilmu pada tingkat
universitas. Langkah ini perlu karena dalam peemikirannya, perwujudan yang
paling tinggi dan sempurna dalam sistem pendidikan Islam adalah pada tingkat
universitas, maka formulasi kandungannya harus diutamakan. Dalam hal ini
seperti apa yang dikatakannya.
“ Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih
dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang
lebih sedikit secara berurutan ke tingkat-tingkat yang lebih rendah, mengingat
tingkat universitas mencerminkan perumusan sistemasi yang paling lengkap dan
paling tinggi, dan hanya jika hal ini bisa dicapai barulah dia akan menjadi
model bagi yang berada dibawahnya”.[31]
Apa yang selama ini ditiru dari dunia Barat yang menurutnya sekuler
ialah menyusun kukulum dari tingkat-tingkat yang lebih rendah. Menurutnya, cara
ini tidak akan pernah berhasil mengingat tidak adanya model yang sempurna dan
lengkap dari keteraturan yang lebih tinggi untuk dijadikan kriteria bagi
perumusan ruang lingkup dan
kandungannya. Pada pendidikan sekuler, gambaran mengenai manusia yang utuh itu
memang tidak dimilikinya.
Dalam rangka
menggambarkan hubungan antar manusia, ilmu dan universitas, dapat dijelaskan
dengan rangkaian hubungan sebagai berikut :
|
|
|
||||||||
|
|
|
||||||||
Dengan skema itu Al-Attas ingin
mengatakan bahwa semua ilmu datang dari Allah. Adapun yang membedakannya ialah
cara datang dan fakultas indera yang menerimanya.[32]
“Ilmu berian Allah mengacu pada fakultas dan indera-indera Ruhaniah manusia,
sementara ilmu capaian mengacu pada indera jasmaniahnya”. Karena Aql menurutnya
sebagai substansi ruhaniah yang menjadikan manusia mampu memahami hakikat dan
kebenaran ruhaniah, maka intelek (aql) akan bertindak sebagai penghubung antara
yang jasmaniah dan ruhaniah. Demikian juga, karena ilmu berian Allah yang
dideskripsikannya sebagai ilmu-ilmu agama itu mutlak bagi pembimbingan dan
penyelamatan manusia, maka mempelajari ilmu ini hukumya fard’ain, atau wajib
atas semua Muslim. Sedangkan terhadap “ilmu capaian” sifatnya fard kifayah,
hanya bagi sebagian Muslim. Berkaitan dengan kurikulum, maka ilmu-ilmu agama
mutlak harud diadakan pada seluruh tingkat pendidikan.[33]
Sehubungan dengan ilmu-ilmu
rasional, intelektual dan filosofis, setiap cabang mesti diserapi dengan
unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam setelah unsur-unsur dan konsep-konsep
kunci asing dibersihkan dari semua cabangnya. Proses ini meliputi
islamisasinya. Islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari
penafsiran-penafsiran yang didasarkan padateologi sekuler dan dari makna-makna
serta ungkapan manusia – manusia sekuler.
Oleh karena itu, pendidikan islam
harus diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature), aspek
fisiknya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan
teknikal, atau fardu kifayah sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana
terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb dan ‘aql lebih tepatnya
berhubungan dengan ilmu-ilmu inti atau fardhu’ain.
2.
Metode Pendidikan Islam
Salah satu karakteristik pendidikan
dan epistomologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktekkan oleh
Al-Attas adalah apa yang dinamakannya sebagai metode tauhid dalam ilmu
pengetahuan. Dia mengamati bahwa dalam keseluruhan sejarah kebudayaan,
keagamaan dan intelektual islam, tidak terdapat zaman khusus seperti yang
dialami oleh barat yang ditandai dengan dominasi sistem-sistem pemikiran yang
berdasarkanmaterialisme atau idealisme yang didukung oleh pendekatan dan posisi
metodologis, seperti empirisme, rasionalisme, pragmatisme dan positivisme yang
bergerak maju mundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti hingga kini.[34]
Sebaliknya, Al-Attas menemukan
bahwa representasi tradisi Islam juga telah mengaplikasikan berbagai metode di
dalam penyelidikan mereka, seperti religius dan ilmiah, empiris dan rasional,
deduktif dan induktif, subyektif dan obyektif tanpa menjadikan salah satu
metode lebih dominan dari yang lain.
Metode tauhid ini menyelesaikan problematika
dokotomi yang salah, seperti antara aspek obyektif dan subyektif ilmu
pengetahuan. Al-Attas menerangkan bahwa yang obyektif dan subyektif tidak dapat
dipisahkan, sebab hal itu merupakan aspek dari realitas yang sama sehingga satu
sama lain saling melengkapi.
Tentang metode ini, Al-Attas juga
memberikan perumpamaan bahwa seorang arsitek akan dapat bersikap obyektif jika
mengetahui rumah yang telah didesain, seperti bentuk, tinggi, lebar, panjang
dari tiap bagian, sebagaimana materi dan segala sesuatu yang diperlukan. Namun,
dia tidak akan mengetahui keadaaan yang sebenarnya dari rumah itu sebelum
berdiam di rumah tersebut. Hanya dengan mendiami rumah tersebut dia dapat
mengetahui ruangan mana yang lebih nyaman pada saat itu. Penilaian subyektif ini
tidaklah menghilangkan aspek luar yang obyektif dari pengetahuan mengenai
rumah.[35]
Ciri-ciri metode pendidikan Al-Attas yang lain
adalah penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan, sebuah
metode yang banyak digunakan dalam al-Qur’an dan hadist. Para ulama, khususnya
para sufi menggunakan cara-cara ini sebagai bagian integral dari pedagogi
mereka. Efektifitas metode ini pun tidak diragukan lagi di dalam sejarah barat.
C. Relevansi
Pemikiran Naquib Al-attas terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia
Fakta membuktikan bahwa di Indonesia sekarang ini
banyak mengalami krisis di berbagai bidang atau krisis multi dimensi, dari
krisis ekonomi hingga krisis ahlak, kita dapat melihatnya dari berbagai masa
baik media cetak maupun elektronik.
Memiliki ahlak yang baik merupakan cita-cita semua
orang, tetapi fenomena yang dapat kita lihat dan rasakan korup melanda
diberbagai bidang, kejahatan ada disetiap tempat dan waktu, pelakunya dari
orang tua sampai anak-anak. Hal ini membuat hati kita terasa miris dan
terenyuh. Padahal semua ini bukan merupakan tujuan atau bahan dari kurikulum
dalam dunia pendidikan lebih khusus lagi bagi pendidikan Islam di Indonesia.
Satu contoh dari jenis pendidikan di Indonesia
adalah madrasah yang terdiri dari Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Dalam sistem
pendidikan ini juga memiliki tujuan untuk menciptakan insan yang bertaqwa
kepada Allah Swt, berahlak mulia dan berbudi luhur demi kebahagiaan dunia dan
akhirat. Hal ini senada dengan apa yang dipikirkan oleh Syed Muhammad Naquib
al-Attas yang menandaskan bahwa pendidikan itu untuk menciptakan manusia yang
beradab berahlakul karimah sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.
Pembentukan ahlak yang mulia akan lebih mudah
diciptakan pada sekolah-sekolah Islam mengingat alokasi jam pelajaran tentang
keislaman yang berisi tentang ajaran-ajaran kebaikan atau sering juga disebut
ajaran keakhiratan lebih banyak dibandingkan dengan alokasi jam pelajaran umum.
Al-Attas memprioritaskan ahlakul karimah itu dimiliki oleh individu-individu
dari masyarakat yang ada, kalau setiap individu-individu telah memiliki ahlak
yang baik niscaya akan lebih mudah untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang
telah terpuruk. Individu disini tidak pandang bulu, baik itu pemerintah maupun
rakyat jelata.
Suasana di atas berbeda dengan suasan di
sekolah-sekolah umum, disini merupakan kebalikan dari sekolah Islam. Di SLTP
atau SMU alokasi untuk pelajaran agama Islam relatif sedikit sekali, mereka
lebih berorientasi pada isi otak agar lebih pintar tetapi menomor duakan isi hati
(budi pekerti yang luhur). Padahal sepandai apapun manusia harus tetap memiliki
ahlak yang baik (budi pekerti), sehingga kehidupan dunia ini akan seimbang,
seiring sejalan, serasi dan sejahtera.
Tujuan pendidikan baik itu pendidikan Islam maupun
pendidikan umum semua memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menciptakan manusia
yang sempurna atau insan kamil.
Al-Attas telah melakukan jihad intelektual yang
berikhtiar mendesain suatu sistem pendidikan Islam terpadu dengan sinaran adab,
dan ta’dib sebagai kata kuncinya. Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas dari
makna pendidikan yang dirumuskan yaitu “Pengenalan dan pengakuan yang secara
berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang
tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga
membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat didalam tatanan
dan keperiadaan.” Dan tujuan pendidikan yang dirumuskannya yakni mewujudkan
manusia yang “baik” yaitu manusia universal atau insan kamil. Term insan
kamil merupakan term yang sangat penting dalam konteks keberagamaan Islam,
di mana ia memiliki dua makna : Pertama, manusia seimbang yang memiliki
keterpaduan dua dimensi kepribadian sekaligus. Yaitu (1) Dimensi isoterik
vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah SWT, (2) Dimensi
eksoterik dialektikal horisontal yakni membawa misi dan visi keselamatan
bagi lingkungan sosialalamnya. Kedua, manusia seimbang dalam kualitas pikir,
dzikir dan amalnya.[36]
Syed. Moh. Naquib Al-Attas merupakan salah satu pemikir yang
mencoba mengajukan buah pikirannya, tentang konsep makna dan tujuan pendidikan dengan
konsep ta’dib. Hal ini rupanya perlu untuk dijadikan bahan perenungan bagi
kita semua, untuk menerapkan konsep yang telah dirumuskan oleh Al-Attas, sebagai
sumbangsih dalam dunia pendidikan. Karena arti dari kata ta’dib di atas sebagaimana
hadits berikut :
ادبنى ربي
فاحسن تاديبي
“Tuhanku
telah mendidikku dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik.”[37]
“My
lord educatien me, and also made may education most excellent.”[38]
Adalah mendidik yang telah tertuju pada
penyempurnaan akhlak budi pekerti, siapa tahu dengan menerapkan konsep ini
kerusakan moral yang melanda dunia pendidikan lambat laun bisa kita perbaiki,
jika dilihat dari maknanya saja sebagaimana tersebut di atas maka secara
otomatis (dengan sendirinya) tujuan yang ingin dicapai
adalah cerminan dari makna tersebut yaitu menciptakan
manusia
yang beradab, berakhlaqulkarimah dan berbudi pekerti yang luhur.
Sementara itu, perkembangan pemikiran pendidikan
Islam di tanah air selama ini agaknya belum bisa tumbuh secara menggembirakan.
Hal ini disebabkan karena tradisi pemikiran yang belum mengakar secara mendalam
pada kebanyakan orang, di samping belum adanya kesiapan umat untuk menerima ide-ide
baru secara terus menerus. Oleh karena itu sebagai generasi muda yang berkonsentrasi
pada dunia pendidikan marilah kita berusaha menyelesaikan problem-problem
pendidikan yang muncul akhir-akhir ini.
Manusia adalah makhluk rasional (hayawan natiq), sehingga
mereka mampu merumuskan makna-makna yang melibatkan penilaian, pembedaan dan penjelasan.
Kenyataan ini tidak tepat dikaitkan dengan istilah tarbiyah, karena tarbiyah
lebih bermakna pemeliharaaan dan melatih (yang biasanya terjadi karena hubungan
kepemilikan) yang tidak hanya dapat diberlakukan kepada manusia, melainkan juga
berlaku pada hewan dan rumbuh-tumbuhan, sedangkan adab berarti pembinaan yang
khas berlaku pada manusai. Istilah yang digunakan untuk pendidikan dan proses
pendidikan harus membawa gagasan yang benar mengenai pendidikan tersebut,
dengan demikian juga mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
pendidikan. Oleh karena itu menurut Al-Attas istilah yang berlaku selama ini
harus diuji secara kritis dan jika perlu diganti dengan pilihan. Istilah yang
lebih tepat dan benar.[39] Istilah
“tarbiyah” tidak cukup representatif untuk pendidikan tetapi telah
berlaku secara “salah kaprah”. Kata ta’dib” lebih luas
cakupannya, karena meliputi pengetahuan (’ilm-ma’rifah), mengajarkan (ta’lim)
dan pengasuhan (tarbiyah).
Bagi Al-Attas sebagaimana pandangannya tentang
pentingnya bahasa, kesalahan semantik dalam memahami konsep pendidikan dan
proses pendidikan mengakibatkan kesalahan isi, maksud dan tujuan pendidikan.
Dan kesalahan itu mengakibatkan kemunduruan, ketertinggalan
dan kebodohan umat Islam. Adapun kenyataan yang membela relevansi istilah tarbiyah
untuk pendidikan dengan mengutip Q.S al-Isra’ : 24 menyatakan bahwa kata “rabba”
dalam ayat tersebut tidak berarti pendidikan, tetapi kasih sayang.
Selanjutnya, pembahasan tentang pendidikan harus
berhubungan dengan hakekat manusia yang memiliki dua dimensi, tidak hanya
dikaitkan dengan aspek fisiknya, karena pada aspek fisik itu terdapat aspek
kebinatangan. Sebagaimana disebutkan, manusia adalah hewan rasional (ration
animal, hayawan natiq). Yang dimaksud “rasional” adalah kapasitas untuk
dapat memahami pembicaraan dan kemampuan yang bertanggung jawab atas perumusan
makna, termasuk penilaian, pembedaan, perincian dan penjelasan serta berkait
dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan.
Setelah dilaksanakannya konferensi dunia pertama
tentang pendidikan yang dilaksanakan di Mekkah pada April 1971. Nampaknya
masyarakat dunia belum juga dapat menerima pemikiran Al-Attas sepenuhnya,
mereka menerimanya dengan kompromis, hal ini menimbulkan penolakan Al-Attas tentang
penerimaan yang kompromis ini ketika dilaksanakannya konferensi dunia kedua
tentang pendidikan yang dilaksanakan di Islamabad pada tahun 1980. Selama ini
dunia pendidikan Islam kita menggunakan istilah tarbiyah yang banyak
memunculkan tujuan-tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan tokohtokoh pencetusnya
dan kebanyakan mereka mengelompokkan tujuan sesuai kategori-kategori yang
mereka buat. Misalnya saja ada tujuan umum dan tujuan khusus, karena terlalu
banyak tujuan yang ingin dicapai, dan saling berbeda antara instansi yang satu
dengan yang lainnya, walaupun pada intinya pada akhirnya adalah kembali pada
Allah, namun nampaknya hal itulah yang sering membuat masyarakat kebingungan
dan bertanya sesungguhnya mau dibawa kemana dunia pendidikan kita.
Menurut al-Attas ”The aim of Education in Islam
is to Produce a good man “ [40]tujuan
pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik,” bukan
warga negara yang baik. Baik di sini meliputi kehidupan spiritual dan material
manusia. Dari sini tersirat bahwa tujuan pendidikan Islam untuk mengabdi
kepada Tuhan (Allah) sebagaimana perjanjian awal yang disepakati manusia
dengan-Nya. Sejalan dengan tujuan tersebut maka filosofis pendidikan
Islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar
manusia menjadi abdi Allah SWT yang patuh dan setia. Tujuan ini tidak
mungkin tercapai secara utuh dan sekaligus, melainkan memerlukan proses
dan pentahapan. Tujuan pendidikan sebagaimana di atas memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1.
Mengarahkan manusia agar menjadi
khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan
tugas-tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2.
Mengarahkan manusia agar seluruh
pelaksanaan tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka
beribadah kepada Allah sehingga, tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
3.
Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia
sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4.
Membina dan mengarahkan potensi akal,
jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang
semua ini dapat digunakan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahannya.
5.
Mengarahkan manusia agar dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Manusia yang memiliki ciri-ciri tersebut di atas
secara umum adalah manusia yang baik. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa para
ahli pendidikan Islam pada hakikatnya sependapat bahwa tujuan umum pendidikan
Islam ialah terbentuknya manusia yang baik. Yaitu manusia yang beribadah kepada
Allah
dalam rangka pelaksanaan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.
Kalau menurut penulis akar dari kebingungan kita
selama ini adalah mengkiblatkan kita pada dunia Barat dalam bidang pendidikan,
mereka (bangsa Barat) telah memisahkan agama dari segala persoalan di dunia ini
sehingga muncul paham sekularisme. Jika hal ini kita konsumsi, dan kita
terapkan pada dunia pendidikan kita jelas akan memunculkan dikotomi pendidikan
yang telah kita jalani selama ini, dan kita tidak akan bisa lepas dari masalah
ini kalau kita meniru bangsa Barat tetapi kita jangan lupakan budaya kita, kita
bangsa Timur memiliki budaya, ciri khas tersendiri budaya Islam yang diturunkan
oleh Allah kepada rasul-Nya dalam bentuk-bentuk yang termuat dalam al-Qur’an.
Perlu kiranya bagi kita untuk merenungkan kembali,
berfikir kembali (rethinking) untuk menemukan hakekat pendidikan Islam
dan hakekat tujuan pendidikan Islam kita. Konsep pemikiran Al-Attas
tentang makna dan tujuan pendidikan Islam patut kita pertimbangkan
sebagai solusi bagi berbagai problem yang kita hadapi sekarang ini. Agar
kita (warga negara Indonesia) dapat mencapai apa yang sesungguhnya kita
inginkan yaitu bahagia di dunia dan akhirat.
Mengenai kelemahan dari konsep pemikiran Al-Attas
yang dapat penulis ungkapkan adalah beliau tidak mengenal pembaharuan,
baginya ajaran Islam telah bersifat total dan final yang ada hanya
pemurnian. Hal ini yang menurut Aminullah El Hady mengkategorikannya
sebagai pemikir yang tradisionalis atau neo tradisionalis.[41]
Dan bagi kita apa yang telah diungkapkan oleh Al-Attas pada bab
sebelumnya terlalu filosofis, panjang, abstrak, sulit ditangkap, dan sulit dioperasionalkan.
Tetapi demikian itu merupakan wahana berpikir bagi setiap manusia. Dan
merupakan kelebihan dari pemikiran Al-Attas yang berusaha mengembalikan
kemurnian ajaran Islam, dan sesuai pula dengan Filsafat Pendidikan Islam
kita.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Bagaimanapun hebatnya pemikiran
seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali
paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang
digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan
Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan
tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan
secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat
manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara
filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan
formatnya secara konkrit dan operasional.
Secara akademis pemikiran kritis dan
inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia
pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk
ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan
refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama
sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Al-Attas
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh manusia melalui suatu proses
intuitif. Hal ini dapat dimengerti karena semua yang tampak dan
merupakan realitas adalah Tuhan. Dari Tuhan inilah adanya pancaran, atau dengan
kata lain melimpah menjadi wujud-wujud yang sangat banyak, yang diantaranya
adalah ilmu pengetahuan.
Hal
ini juga diperkuat dengan pandangan al-Attas bahwa Islam baginya adalah way
of life atau jalan hidup yang terlengkap. Sedangkan dalam kaitan dengan
tujuan sejati hidup manusia, adalah untuk menjalankan ibadah atau berbakti
kepada Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003, Filsafat
dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas Bandung, Mizan.
Ismail SM, Paradigma Pendidikan Islam Prof.
DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan Darmu’in,
(Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik
Nizar Samsul, 2002, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta Selatan, Ciputat Press
Prof Dr.H Abudin Nata, 2003, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bandung, Angkara
Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
1980, Konsep Pendidikan Islam,
kuala lumpur, ABIM
Louis Ma’loup, 1986, Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, Beirut, Dar
Al-Masyriq
Naquib Al-Attas, 1981, Islam dan
Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), Bandung, Pustaka
Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), 1999, Pemikiran
Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
Naquib
Al-Attas, 1979, Aims and Objectives Of Islamic Education, London,
Hodder & Stoughton
Dr. H. Maksum,
1999, Madrasah sejarah dan perkembangannya, Jakarta, Logos wacana ilmu
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 1995, Prolegomena
to the Metaphysics of Islam, An
exposition of the Fundamental elements of the Worldview of Islam, kuala
lumpur, ISTAC
Ahmadi,
1997, Paradigma Ilmu dalam
Pendidikan Islam, Jakarta, Aditya Media
Imam Jalaluddin Abu Bakar as-Suyuti, al-Jami’us
Shogir, Jilid 1– 2, (Beirut : dar al- Kutub al-Ilmiyah, tth)
SMN. Al-Attas, 1991, The Concept of
Education in Islam a Frame Work for an Islamic Philosophy of Education, Malaysia
Kuala Lumpur, International Institute Islamic Thought Civilation Internasional
Islamic University
Mulyadhi
Kertanegara, 2003, Pemikiran
Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela
Aminullah Elhady “Naquib Al Attas :
Islamisasi Ilmu”, dalam Khudori Soleh, ed, 2003, Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta, Jendela
[1]
Wan Mohd
Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas,(Bandung : Mizan, 2003) hlm. 61
[4]
Ismail SM, Paradigma Pendidikan
Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam Ruswan Thoyyib dan
Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik
dan
Kontemporer, (Yogyakarta
; Pustaka Pelajar 1999) hlm. 271.
[6] Ibid 46
[7] Nizar,Samsul.Filsafat Pendidikan Islam.(Jakarta
Selatan:Ciputat Press, 2002) hlm118
[8] Ibid.hlm 119
[9]
Ibid hlm 50
[10] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam
Syed Naquib Al Attas,(Bandung ; Mizan,2003) hlm 56-57
[11]
Prof Dr.H
Abudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Bandung, Angkara, 2003), cet
ke-1, hlm 11
[12]
John M Echols
dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia,1990) hlm
207
[13] Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, hlm 64
[14]
Louis Ma’loup,
Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, ( Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), cet ke-16,
hlm 247
[15]
Louis Ma’loup,
Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, hlm 526
[16]
Louis Ma’loup,
Al-Munjid Fi Al-Lughoh Wa Al-A’lam, hlm 5
[17]
Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, The concept of Education in Islam a Frame Work for
an Islamic Philosophy of Education, (Malaysia Kuala Lumpur : International
Institute Islamic Thought Civilation Internasional Islamic University, 1991), hlm 26
[18]
Naquib
Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), (Bandung
: Pustaka, 1981) hlm 221
[19]ibid, hlm
62-63
[20]Ismail SM,
Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dalam
Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, (Ed.), Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian
Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 1999) . hlm 283
[21]
Naquib
Al-Attas, Aims and Objectives Of Islamic Education, (London; Hodder
& Stoughton, 1979) hlm, 1
[22]
Naquib
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, ( Kuala lumpur : ABIM, 1980), hlm. 55
[23]
Wan Muhd
Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 173
[24]
ibid
[25]
Wan Muhd
Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm. 202
[26]
Naquib
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Op.Cit, hlm.85
[27]
Ismail SM, Op.Cit.
hlm 287
[28]
Naquib
Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Op.Cit, hlm. 238-239
[29]
Wan Mohd
Nor Wan Daud, Op.Cit, hlm.282
[30]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, konsep
Pendidikan Islam, hlm 88
[31] ibid
[32] Naquib Al-Attas, Islam dan
Sekularisme, Karsidjo Djojosumarno, (Penerjemah), (Bandung : Pustaka, 1981) hlm 222-245
[33] Dr. H. Maksum, Madrasah sejarah dan
perkembangannya ( Jakarta: Logos wacana ilmu, 1999) hlm : 50
[34]
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena
to the Metaphysics of Islam: An
exposition of the Fundamental elements of the Worldview of Islam, ( kuala
lumpur: ISTAC, 1995) hlm 3
[35]
Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, hlm 298
[36]
Ahmadi,
Paradigma Ilmu dalam Pendidikan Islam, (Jakarta : Aditya Media, 1997),
hlm 130
[37]
Imam
Jalaluddin Abu Bakar as-Suyuti, al-Jami’us Shogir, Jilid 1– 2, (Beirut :
dar al- Kutub al-Ilmiyah, tth), hlm. 25
[38]
SMN.
Al-Attas, The Concept of Education in Islam a Frame Work for an Islamic Philosophy
of Education, (Malaysia Kuala Lumpur : International Institute Islamic
Thought Civilation Internasional Islamic University, 1991), hlm. 26
[39]
Mulyadhi
Kertanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), Cet.
I, hlm 346
[40]
SMN.
Al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education, (Jedda : Hodder and
Stoughton King Abdul Aziz Uiversity, tth), hlm
[41]
Aminullah
Elhady “Naquib Al Attas : Islamisasi Ilmu”, dalam Khudori Soleh, ed., Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Jendela, 2003), Cet. 1, hlm. 349
Tidak ada komentar:
Posting Komentar