KHULAFAUR RASYIDIN: PEMERINTAHAN
YANG DEMOKRATIS
A.
Pendahuluan
Pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kelompok,
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu komunitas masyarakat, bangsa dan
Negara tidak akan maju, aman dan terarah jika tidak adanya pemimpin. Maka
pemimpin menjadi kunci keberhasilkan dalam suatu komunitas masyarakat. Pemimpin
yang mampu memberi rasa aman, tentram, mampu mewujudkan keinginan rakyatnya.
Maka dianggap sebagai pemimpin yang sukses. Pemimpin yang sukses adalah
pemimpin yang dicintai oleh yang dipimpinnya, sehingga pikirannya selalu
didukung, perintahnya selalu di ikuti dan rakyat membelanya tanpa diminta
terlebih dahulu. Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah
Rasulullah beserta para sahabatnya (khulafaur Rasyidin).
Khulafaur Rasyidin yaitu sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW. Dalam memimpin
pemerintahan. Dalam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin banyak terjadi
peristiwa-peristiwa yang pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan
melaksanakan sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai cara pengangkatan sebagai khalifah,
sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan
lain sebagainya.
Meskipun hanya berlangsung 30 tahun, masa Khalifah
Khulafaur-Rasyidin adalah masa yang penting
dalam sejarah Islam. Khulafaur-Rasyidin berhasil menyelamatkan
Islam, mengkonsolidasi dan meletakkan dasar bagi keagungan umat Islam.
Dalam pembahasan
ini dibahas secara terperinci salah satu khalifah, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Khalifah
pertama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang secara tidak langsung dipilih secara
demokrasi oleh para sahabat,
walaupun pada saat itu ada
dua kubu yang berbeda, yang
pada akhirnya
bersatu.
B.
Pembahasan
1. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Dalam
sejarah islam, Khulafaur rasyidin (yang mendapat bimbingan dijalan lurus)
adalah sebuah gelar yang diberikan kepada empat orang sahabat pengganti Nabi.[1]
Yaitu sebagai pemimpin kaum muslimin dalam
memberikan petunjuk ke
jalan yang benar
dan melestarikan
hukum-hukum Agama Islam.
Dialah yang menegakkan
keadilan yang selalu
berdiri diatas kebenaran.
Menurut bahasa, Khalifah (خليفة Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa,
yang berarti : menggantikan atau menempati tempatnya. Menurut istilah adalah
gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah"
sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau
"perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah
Allah di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya. Sebagaimana
firman Allah dalam QS. Al-An’am: 165:
uqèdur Ï%©!$# öNà6n=yèy_ y#Í´¯»n=yz ÇÚöF{$# yìsùuur öNä3Ò÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy öNä.uqè=ö7uÏj9 Îû !$tB ö/ä38s?#uä 3 ¨bÎ) y7/u ßìÎ| É>$s)Ïèø9$# ¼çm¯RÎ)ur Öqàÿtós9 7LìÏm§ ÇÊÏÎÈ
Artinya: Dan
Dia lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat
(derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan
sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.[2]
Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah
pengganti Nabi Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga
menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas kedaulatan Islam (negara).
Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai Nabi dan Rasul juga
sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain sebagainya.
Adapun yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah
para pemimpin pengganti Rosulullah dalam mengatur kehidupan umat manusia yang
adil, bijaksana, cerdik, selalu melaksanakan tugas dengan benar dan selalu
mendapat petunjuk dari Alloh. Tugas Khulafaur Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan Rosulullah dalam
mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas Rosulullah terdiri dari dua hal
yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Maka Khulafaur Rasyidin bertugas
menggantikan kepemimpinan Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai
kepala Negara atau kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas kerosulan tidak dapat digantikan
oleh Khulafaur Rasyidin karena
Rasulullah adalah Nabi dan Rosul yang terakhir.
Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rosul lagi.
Tugas Khulafaur Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur kehidupan
rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur, aman, dan sentosa.
Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur
Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan masalah
keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka kholifah yang berhak
mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafaur Rasyidin dalam melaksanakan
tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama, sehingga setiap kebijakan yang
diambil tidak bertentangan dengan kaum muslimin.[3]
2. Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar Ash-Shiddiq (nama lengkapnya Abu
Bakar Abdullah bin abi Quhafah bin Utsman bin Amr bin Masud bin Taim bin Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr At-Taimi al-Qurasyi. Berarti
silsilahnya dengan Nabi bertemu pada Murrah bin Ka’ab). Dilahirkan pada tahun
573 M. Dia dilahirkan di lingkungan suku yang sangat berpengaruh dan suku yang
banyak melahirkan tokoh-tokoh besar.[4] Ayahnya
bernama Utsman Ibn Amir dan di juluki Abu Quhafah, ibunya bernama Ummu Al-Khair
Salma binti Sakhr. Nasabnya bertemu Rasulullah Saw. Pada kakeknya, Murrah Ibn
Ka’ab Ibn Lu’ai. Abu bakar berasal dari Kabilah Taim Ibn Murrah Ibn Ka’ab,
Kabilah Taim adalah satu dari dua belas cabang dari suku Quraisy. Namun,
kabilah ini bukanlah kabilh yang besar.[5]
Disebutkan juga,
bahwa sebelum Islam ia bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah
ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq, karena
dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar
jika ia melahirkan anak laki-lak ia kan diberi nama Abdul Ka'bah dan akan disedekahkan
kepada Ka'bah. Sesudah Abu Bakr hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah
ia telah dibebaskan dari maut.
Tetapi sumber-sumber
itu lebih jauh menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan
karena warna kulitnya yang putih. Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa
ketika Aisyah putrinya ditanyai: mengapa Abu Bakr diberi nama Atiq ia menjawab:
Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: Ini yang dibebaskan Allah dari neraka;
atau karena suatu hari Abu Bakr datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah
berkata: Barang siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini.
Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu
tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan
bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini dalam Islam dibanding dengan yang
lain.[6]
Abu Bakar telah mengharamkan minuman keras untuk dirinya pada masa
jahiliyah. Bahkan, dia tidak pernah menyembah dan bersujud pada sebuah berhala
apapun. Dia adalah sahabat Rasullullah yang dianggap sebagai orang kedua dalam
islam setelah Rasullullah.[7]
Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di makkah.
Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian.
Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda ini ia menikah dengan Kutailah
binti Abdul Uzza, dari perkawinan ini Abu Bakar memiliki dua anak yaitu
Abdullah dan Asma’ (Zatun-ni-taqoin). Sesudah dengan Kutailah ia menikah lagi
dengan Umm Rauman binti Amir bin Awaimar dari perkawinan ini Abu Bakar memiliki
anak Abdurrahman dan Aisyah. Kemudian di Madinah Abu Bakar menikah dengan
Habibah binti Kharij, setelah itu menikah dengan Asma’ binti Umais melahirkan
seorang putra bernama Muhammad. [8]
Keberhasilannya dalam perdagangan itu mungkin saja disebabkan oleh pribadi
dan wataknya. Berperawakan kurus, putih, dengan sepa-sang bahu yang kecil dan muka
lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan
yang tampak jelas—begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummul mukminin.
Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang
sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu
tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya. Aisyah menyebutkan bahwa ia
tak pernah minum minuman keras, dizaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Mekah
umumnya sudah begitu hanyutke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi—ahli
silsilah bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam,
penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab dikalangan masyarakatnya,
disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Kuraisy yang paling dekat dan paling
banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang
pedagang dengan perangai yangs udah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka
masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena
perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."
Ia tinggal di Mekah, dikampung yang sama dengan Khadijah bint
Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dalam perjalanan
musim dingin dan musim panas ke Syam dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal dikampung
itu, itulah yang membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad
kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan
saja Abu Bakr lebih muda dari Muhammad.
Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, persamaan
bidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, disamping ketidak senangannya
pada kebiasaan-kebiasaan Kuraisy—dalam kepercayaan dan adat—mungkin sekali itulah
semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber
berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi
Rasul. Diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu
akrab sejak sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakr
cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian
dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya
kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barang kali karena kecenderungan
Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya
menjauhi orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada
Abu Bakr dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut
ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakr pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah
hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakr makin
mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnyapun bertambah kuat. Seperti
dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku sudah memeluk agama
ini, dan setiap kali lewat didepan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ketempat
kami, pagi atau sore."
Sejak hari pertama Abu Bakr sudah bersama-sama dengan Muhammad melakukan
dakwah demi agama Allah. Keakraban masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul
dan mendengarkan pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang mula-mula
itu dalam masuk Islam itu. Yang mengikuti jejak Abu Bakr menerima Islam ialah
Usman binAffan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas
dan Zubair bin Awwam. Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam—atas ajakan
Abu Bakr— ialah Abu Ubaidah bin larrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Mekah.
Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakr. tidak merasa ragu
menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena
menerimanya tanpa ragu itu kemudian Rasulullahberkata:
"Tak seorangpun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak
tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr bin Abi Quhafah.
Ia tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang
tauhid dan dia diajaknya lalu menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila
Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia
mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila
kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Mekah yang memandang penyembahan
berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar Muhammad—kejujurannya,
kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam
hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan
didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya
memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi,
ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.
Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali masuk Islam ketika Islam mulai
didakwakan. Baginya, tidaklah sulit untuk memercayai ajaran yang dibawa oleh
Muhammad SAW.[9]
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman
kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya tampil kedepan umum dalam
situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati.
Keberanian Abu Bakr ini patut sekali kita hargai, mengingat dia pedagang, yang demi
perdagangannya diperlukan perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan orang lain
serta menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan
dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk terhadap
hubungan dengan para relasi itu. Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada
pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan, suatu cakap kosong yang tak mengandung
arti apa-apa, lalu dengan sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya
hanya untuk mencari selamat, mencari keuntungan dibalik semua itu, menjaga hubungan
dagangnya dengan mereka. Sikap munafik begini kita jumpai bukan dikalangan awamnya,
tapi dikalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga. Bahkan akan kita jumpai
di kalangan mereka yang menamakan diri pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran.
Kedudukan Abu Bakr yang sejak semula sudah dikatakan oleh Rasulullah itu, patut
sekali ia mendapat penghargaan, patutdikagumi.
Usaha Abu Bakr melakukan dakwah Islam
itulah yang patut dikagumi. Barangkali ada juga orang yang berpandangan semacam
dia, merasa sudah cukup puas dengan mempercayainya secara diam-diam dan tak perlu
berterang-terang di depan umum agar perdagangannya selamat, berjalan lancar. Dan
barang kali Muhammad pun merasa cukup puas dengan sikap demikian itu dan sudah boleh
dipuji. Tetapi Abu Bakr dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu
mengaja korang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk
meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti
ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali mereka yang sudah
begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi
kebenaran. Orang demikian ini sudah berada diatas kepentingan hidup pribadinya sehari-hari.
Kita lihat, dalam membela agama, dalam berdakwah untuk agama, segala kebesaran dan
kemewahan hidup duniawinya dianggapnya kecil belaka. Demikianlah keadaan Abu Bakr
dalam persahabatannya dengan Muhammad, sejak ia memeluk Islam, hingga Rasulullah
berpulang ke sisi Allah dan Abu Bakrpun kemudian kembali kesisi-Nya.
Abu Bakar selalu senantiasa menemani
Rasullullah sejak masuk islam hingga wafat Rasullullah. Dia behijrah bersama
Rasullullah ke Madinah dan bersama-sama pula bersembunyi di gua Tsur, pada
malam permulaan hijrah sebelum melanjutkan perjalanan.[10]
Abu Bakar selalu terlibat dalam berbagai peristiwa yang dialami Rasullullah.
Dia adalah orang yang tidak lari dan tetap pendirian ketika banyak pasukan
melarikan diri pada saat perang Hunain. Abu Bakar dikenal sebagai salah seorang
pemberani yang selalu gagah didalam segala medan perang, dia dikenal sebagai
sosok yang dermawan dan menginfakan sebagian hartanya di jalan Allah.
Dalam menjalankan dakwah itu tidak hanya berbicara saja dengan
kawan-kawannya dan meyakinkan mereka, dan dalam menghibur kaum duafa dan orang-orang
miskin yang disiksa dan dianiaya oleh musuh-musuh dakwah, tidak hanya dengan kedamaian
jiwanya, dengan sifatnya yang lemah lembut, tetapi ia menyantuni mereka dengan
hartanya. Digunakannya hartanya itu untuk membela golongan lemah dan orang-orang
tak punya, yang telah mendapat petunjuk Allah kejalan yang benar, tetapi lalu dianiaya
oleh musuh-musuh kebenaran itu. Sudah cukup diketahui, bahwa ketika ia masuk Islam,
hartanya tak kurang dari empat puluh ribu dirham yang disimpannya dari hasil perdagangan.
Dan selama dalam Islam ia terus berdagang dan mendapat laba yang cukup besar. Tetapi
setelah hijrah ke Medinah sepuluh tahun kemudian, hartanya itu hanya tinggal lima
ribu dirham. Sedang semua harta yang adapa danya dan yang disimpannya, kemudian
habis untuk kepentingan dakwah, mengajak orang kejalan Allah dan demi agama dan
Rasul-Nya. Kekayaannya itu digunakan untuk menebus orang-orang lemah dan budak-budak
yang masuk Islam, yang oleh majikannya disiksa dengan pelbagai cara, tak lain hanya
karena mereka masuk Islam.
Suatu hari Abu Bakr melihat Bilal yang negro itu oleh tuannya dicampakkan
keladang yang sedang membara oleh panas matahari, dengan menindihkan batu didadanya
lalu dibiarkannya agar ia mati dengan begitu, karena ia masuk Islam. Dalam keadaan
semacam itu tidak lebih Bilal hanya mengulang-ulang kata-kata: Ahad, Ahad. Ketika
itulah ia dibeli oleh Abu Bakr kemudian dibebaskan! Begitu juga Amir bin Fuhairah
oleh Abu Bakr ditebus dan ditugaskan menggembalakan kambingnya. Tidak sedikit budak-budak
itu yang disiksa, laki-laki dan perempuan, oleh Abu Bakr dibeli lalu dibebaskan.
Muhammad berbicara kepada penduduk Mekah
bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidil haram keMasjidil aksa
dan bahwa ia bersembah yang disana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu
diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islampun merasa ragu. Tidak sedikit orang
yang berkata ketika itu: Soalnya sudah jelas . Perjalanan kafilah Mekah-Syam yang
terus-meneruspun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya
satu malam saja Muhammad pergi pulang keMekah!
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam
kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi. Mereka
pergi menemui Abu Bakr, karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya
dengan Muhammad. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya kepada mereka itu
mengenaiIsra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakr berkata:
"Kalian berdusta."
"Sungguh,"kata mereka."Dia dimesjid sedang berbicara
dengan Orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya,"kata
Abu Bakr lagi,"tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku,
bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit kebumi, pada waktu malam atau siang,
aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakr lalu pergi kemesjid dan mendengarkan
Nabi yang sedang Melukiskan keadaan Baitul mukadas. Abu Bakr sudah pernah mengunjungi
kota itu. Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
"Rasulullah, saya percaya."
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "as-Siddlq".
Pernahkah suatu kali orang bertanya dalam
hati: Sekiranya Abu Bakr juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan
Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama
yang baru tumbuh ini, akiba tkesangsian itu? Dapatkah orang memperkirakan berapa
banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum
Muslimin yang lain? Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakr ini memperkuat
keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat kedudukan
Islam?
Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya,
sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan
penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam
hidup kita ini ,lebih besar dari pada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus.
Kata-kata Abu Bakr itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang
benar ini. Kata-kata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan yang
besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh kekuatan Hamzah dan Umar sebelumnya.
Ini memang suatu kenyataan apabila didalam sejarah Islam Abu Bakr mempunyai tempat
tersendiri sehingga Rasulullah berkata: "Kalau ada diantara hamba Allah yang
akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan), maka Abu Bakr-lah khalil-ku. Tetapi
persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Allah
mempertemukan kita."
Kata-kata Abu Bakar mengenai Isra’
Mi’raj menunjukkan pemahamannya yang dalam tentang wahyu dan risalah, yang
tidak dapat ditangkap oleh kebanyakan orang. Disinilah pula Allah telah
memperlihatkan kebijakan-Nya tatkala Rasulullah memilih seorang teman dekat
saat ia di pilih oleh Allah menjadi Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya
kepada umat munusia. Itulah pula bukti kuat, bahwa kata yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya tertanam kukuhdan cabangnya (menjulang) ke langit,
dengan jejak yang abadi sepanjang zaman, dengan karunia Allah. Ia tak akan di
kalahkan oleh waktu, tak akan dilupakan.[11]
Pengorbanan Abu Bakar terhadap Islam tidak dapat
diragukan. Ia juga pernah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya untuk mengimami
shalat ketika Nabi sakit. Pada tahun 623
M bersamaan dengan hari wafatnya Rasulullah, beliau diangkat menjadi khalifah
setelah dibai’at oleh kaum muslimin. Setelah menjalankan tugas khalifah selama
2 tahun 3 bulan dan 11 hari, beliau wafat pada tanggal 23 Agustus 624 M setelah
lebih kurang 15 hari terbaring ditempat tidur karena sakit.[12]
3. Sistem Pemilihan Khalifah
Subuh
hari itu Rasulullah Sallallahn 'alaihi wasallam merasa sudah sembuh dari sakitnya.
Ia keluar dari rumah Aisyah kemesjid dan ia sempat berbicara dengan kaum Muslimin.
Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkannya berangkat untuk menghadapi Rumawi.
Setelah
tersiar berita bahwa Rasulullah telah wafat tak lama setelah duduk-duduk dan berbicara
dengan mereka, mereka sangat terkejut sekali. Umar bin Khattab yang berada ditengah-tengah
mereka berdiri dan berpidato, membantah berita itu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
tidak meninggal, melainkan sedang pergi menghadap Tuhan seperti halnya dengan Musa
bin Imran, yang menghilang dari masyarakatnya selama empat puluh malam, kemudian
kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal. Umar terus mengancam orang-orang
yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Dikatakannya bahwa Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam akan kembali kepada mereka dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Abu Bakr
sudah pulang kerumahnya di Sunh dipinggiran kota Medinah setelah Nabi 'alaihis-salam
kembali dari mesjid kerumah Aisyah. Sesudah tersiar berita kematian Nabi orang menyusul
Abu Bakr menyampaikan berita sedih itu. Abu Bakr segera kembali. La melihat Muslimin
dan Umar yang sedang berpidato. Ia tidak berhenti tetapi terus menuju kerumah Aisyah.
Dilihatnya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam disalah satu bagian dalam rumah itu,
sudah diselubungi kain. Ia maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya
dan katanya:
"Alangkah
sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat. "la
keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka: "Saudara-saudara!
Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa
menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati."Selanjutnya ia membacakan
firman Allah:
$tBur î£JptèC wÎ) ×Aqßu ôs% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ß9$# 4 û'ïÎ*sùr& |N$¨B ÷rr& @ÏFè% ÷Läêö6n=s)R$# #n?tã öNä3Î6»s)ôãr& 4 `tBur ó=Î=s)Zt 4n?tã Ïmøt6É)tã `n=sù §ÛØt ©!$# $\«øx© 3 Ìôfuyur ª!$# tûïÌÅ6»¤±9$# ÇÊÍÍÈ
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Setelah
didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ketanah. Kedua kakinya
sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat.
Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar
dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak
merekaperbuat.
Setelah
Nabi wafat, umat Islam terjadi konflik yang kritis mengenai siapakah pengganti
Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa-siapa yang akan
menggantikan Beliau, bahkan bagaimana memilih dan mencari sosok tersebut Beliau
tidak memberikan petunjuk.
Meskipun
demikian, sebenarnya Nabi SAW telah memberikan contoh bagaimana sebuah negara
dijalankan, yaitu asas musyawarah. Beliau senantiasa bermusyawarah dengan para
sahabat setiap akan menghadapi sebuah peperangan, tidak semata-mata atas
pemikiran Beliau. Beliau senantiasa membuka lebar pendapat sahabat-sahabatnya.
Sehingga tanpa disusun adanya teori, Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahkan
menurut ahli fiqih, anjuran Nabi SAW bisa berarti perintah asas musyawarah yang
tiada lain sama dengan demokrasi.
Dalam menanggapi masalah ini para sahabat yang terbagi menjadi
empat kelompok (Kaum Anshor, Muhajirin, keluarga dekat Nabi/Ahlul Bait dan
kelompok Aristokrat Mekkah)[13]berkumpul
untuk membicarakan siapa yang akan memegang kepemimpinan umat.
Khalifah Abu Bakar memangku jabatan berdasarkan pilihan yang
berlangsung secara demokratis dalam pertemuan di Tsaqifah (balairung) Bani
Sa’idah. Tata cara tersebut sesuai degan sistem perundingan yang digunakan
di zaman modern sekarang ini.
Tidak adanya pesan khusus Nabi Muhammad tentang calon penggantian
kepemimpinan negara mendorong umat islam pada waktu itu secepatnya mencari
penggantinya. Kaum anshar mengadakan pertemuan di tsaqifah bani sa’idah
yang menghasilkan kesimpulan sementara yaitu Kaum Anshar, menekankan pada
persyaratan jasa yang mereka telah berikan bagi umat islam dan pengembangan
islam. Dengan demikian, maka pengganti kedudukan nabi sebagai kepala negara
pantas di pilih dari golongan mereka.[14] Mereka
mengajukan calon sebagai kandidat pemimpin yaitu Sa’ad bin Ubadah.
Ketika itu Abu Bakr, Ali bin Abi Talib dan keluarga Nabi yang lain sedang
berada disekeliling jenazah, menyiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman. Umar,
setelah yakin benar bahwa Nabi memang sudah wafat, mulai berpikir apa yang akan
terjadi sesudah itu. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa pihak Ansar sudah lebih
dulu berpikir kearah itu, atau mereka ingin menguasai keadaan diluar yang lain.
Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengatakan:
"Umar mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengatakan:
'Bentangkan tanganmu akan ku baiat engkau. Engkaulah orang kepercayaan umat ini
atas dasar ucapan Rasulullah. Abu Ubaidah segera menjawab:
"Sejak engkau masuk Islam tak pernah kau tergelincir. Engkau akan
memberikan sumpah setia kepadaku padahal masih ada AbuBakr?'"
Sementara mereka sedang berdialog demikian itu, berita tentang
Ansar serta pertemuan mereka di Saqifah Banu Sa'idah sampai kepada Umar dan kawan-kawan.
Umar mengutus orang menyusul Abu Bakr di rumah Aisyah dan memintanya segera datang.
Abu Bakr mengatakan kepada utusan itu: Saya sedang sibuk. Tetapi Umar menyuruh kembali
lagi utusan itu dengan pesan kepada AbuBakr: "Ada suatu kejadian penting memerlukan
kedatanganmu."
Dengan penuh keheranan Abu Bakr datang menemui Umar. Ada persoalan apa
meminta ia datang sampai harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah.
"Engkau tidak tahu,"kata Umar kemudian, "bahwa Ansar
sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Mereka ingin menyerahkan pimpinan ini ketangan
Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang
amir dan dari Kuraisy seorang amir."
Mendengar itu, tanpa ragu lagi Abu Bakr bersama Umar berangkat cepat-cepat
ke Saqifah disertai juga oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Bagaimana ia akan ragu sedang
masalah yang dihadapinya kini masalah Muslimin dan hari depannya, bahkan masalah
agama yang telah diwahyukan kepada Muhammad serta masa depannya juga. Dalam-mengurus
jenazah Rasulullah sudah ada keluarganya, mereka yang akan mempersiapkan pemakaman.
Maka sebaliknya ia dan kedua sahabatnya itu pergi ke Saqifah. Ini sudah menjadi
kewajiban; suatu hal yang tak dapat dipikulkan kepada orang lain. Tak boleh seharipun
dibiarkan tanpa suatu tanggung jawab serta memikul beban yang betapapun beratnya,
meskipun harus dengan pengorbanan harta dan nyawa.
Tatkala ketiga orang itu tiba, pihak Ansar masih berdiskusi, belum
mengangkat Sa'd, juga belum mengambil suatu keputusan mengenai kekuasaan itu. Seperti
menyesali keadaan, orang-orang Ansar itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga.
Orang-orang Ansar berhenti bicara. Ditengah-tengah mereka ada seorang laki-laki
berselimut, yang oleh Umar bin Khattab ditanya siapa orang itu.
"Ini Sa'd bin Ubadah, sedang sakit, "jawabmereka.
Abu Bakr dan kedua kawannya itu juga duduk ditengah-tengah mereka dengan
pikiran masing-masing sudah ditimbuni oleh pelbagai pertanyaan, apa yang akan dihasilkan
oleh pertemuan itu.
Sementara kaum Muhajirin, mendesak abu Bakar sebagai calon mereka
Karena dipandang paling layak untuk menggantikan Nabi. Sedang Ahlul Bait
menghendaki Ali bin Abi Thalib dicalonkan sebagai khalifah. Pengajuan
nama Ali dalam permusyawaratan tersebut didasari atas jasa, kedudukan
dan statusnya sebagai anak angkat sekaligus menantu Rasulullah.[15]
Perdebatan
siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi SAW. sebagai kepala
pemerintahan, hampir menimbulkan konflik internal dikalangan umat islam, antara
Muhajirin dengan Anshar dan Bani Abbas. Melalui perdebatan panjang dengan
argumentasi masing-masing, akhirnya Abu Bakar disetujui secara aklamasi
menduduki jabatan khalifah.
Musyawarah yang
menghasilkan “mufakat bulat” itu merupakan suatu tradisi baru dalam musyawarah
yag berdasarkan ukhuwah. Menurut Fazlur Rahman bahwa sistem syura dalam Al-Qur’an
adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas,
karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[16]
Dilihat dari perspektif ini, maka pilihan kelompok muslim modernis kepada
demokrasi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, atau sesuatu yang bersifat
akomodatif terhadap institusi politik demokratik Barat, tetapi Al-Qur’an memang
mengajar demikian, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada masa awal
kepemimpinan umat.
Selesai
dipilih, Abu Bakar berpidato yang isinya: “Wahai manusia! Aku telah diangkat
untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang yang terbaik diantara
kamu. Maka jikalau aku menunaikan tugasku dengan baik, bantulah aku, tetapi
jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku
pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang
kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya
kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah
perlu menaatiku.”[17]
Pidato tersebut
menggambakan kepribadian Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai
seorang pemimpin umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang
diembannya tidak akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapat dukungan dari
para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta dalam
mengontrol perjalanan dalam kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan
berjalan dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, ia
tidak gila kedudukan, jabatan dan harta.
Kepemimpinan
Abu Bakar sangat diwarnai jiwa yang demokratis. Selama masa dua tahun memegang
tampu pemerintahan, sangatlah nampak kedemokrasian Abu Bakar. Kepemimpinannya
dapat disimpulkan dari salah satu isi pidatonya pada hari pembaiatan bahwa ia
akan mengakui kekurangan dan kelemahannya serta memberikan hak berpendapat
untuk menegur dan memperbaiki khalifah bila berbuat salah.[18]
Ketika pelantikan Abu Bakar selesai sudah di Saqifah, jenazah Nabi di rumah masih dikelilingi
keluarga: Ali Ibn Abi Talib, Abbas Ibn Abdul Muttalib bersama beberapa orang
yang ikut menyelenggarakan. Tidak jauh dari mereka, di dalam masjid ada juga
beberapa orang dari kalangan Muhajirin.
Seperti kita lihat, bai’at ini selesai dalam keadaan yang membuat
beberapa sumber menghubungkan kata-kata ini pada Umar: “peristiwa sangat
tiba-tiba sekali.”
Tetapi sumber-sumber lain berpendapat, bahwa Abu Bakar, Umar dan
Abu Ubaidah sudah sepakat, bahwa pimpinan memang akan berada di tangan Abu
Bakar. Apapun yang akan dikatakan kedua sumber itu, yang tak jelas ialah, bahwa
keputusan Saqifah ini telah menyelamatkan Islam yang baru tumbuh itu dari
malapetaka, yang hanya Allah saja yang tahu akan segala akibatnya. [19]
Abu Bakar telah meratakan jalan untuk menghilangkan segala
perselisihan dikalangan muslimin. Ia juga telah meratakan jalan menuju politik
yang polanya sudah diletakkan oleh Rasullullah untuk mencapai keberhasialan
sehingga membuka pula jalan kearah kedaulatan Islam di kemudian hari. Dengan
karunia Allah juga, akhirnya agama ini tersebar ke segenap penjuru dunia.
Sejak kejadian Saqifah itu pihak Anshor sudah tidak lagi berambisi
untuk memegang pimpinan Muslimin. Baik pada waktu pelantikan Umar Ibn Khatab,
pelantikan Usman Ibn Affan sampai pada waktu terjadinya pertentangan antara ali
dengan Muawiya, hak anshar tidak berbeda dengan apa yang sudah diperoleh oleh
kalangan Arab lainnya, seolah mereka sudah yakin benar apa yang pernah
dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa dalam hal ini orang-orang Arab itu hanya
mengenal lingkungan Quraisy. Bahkan sesudah itu mereka merasa cukup senang
hidup disamping Muhajirin. Merekapun puas sekali dengan wasiat Rasulullah dalam
sakitnya yang terakhir tatkala berkata: [20]
“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu dengan baik;
sebab selama orang bertamah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga
keadaanya, tidak bertambah. Mereka orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku
dan yang telah memberikan perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik
atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka.”
Tak lama setelah selasai pelantikan
itu Abu Bakar dan mereka yang hadir di Tsaqifah kembali ke Masjid. Waktu itu
sudah sore. Kaum Muslimin sedang mengikuti berita-berita dari rumah Aisyah
mengenai penyelenggaraan pemakaman Rasulullah.
Keesokan harinya ketika Abu Bakr sedang
duduk dimesjid, Umar datang meminta maaf atas peristiwa kemarin tatkala ia berkata
kepada kaum Muslimin, bahwa Nabi tidak mati.
"Kepada Saudara-saudara kemarin
saya mengucapkan kata-kata yang tidak terdapat dalam Kitabullah, juga bukan suatu
pesan yang diberikan Rasulullah kepada saya. Ketika itu saya berpendapat, bahwa
Rasulullah yang akan mengurus soal kita, sebagai orang terakhir yang tinggal bersama-sama
kita. Tetapi Allah telah memberikan Qur'an untuk selamanya kepada kita, yang juga
menjadi penuntun Rasul-Nya. Kalau kita berpegang teguh pada Qur'an, Allah akan membimbing
kita yang juga telah membimbing Rasulullah. Sekarang Allah telah menyatukan
segala persoalan kita ditangan sahabat Rasulullah—Sallallahu'alaihl
wasallam—orang yang terbaik diantara kita dan dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua. Maka marilah kita baiat dia, kita ikrarkan."
4. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa
Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan
atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam.
Dengan terpilihnya Abu Bakar menjadi
Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik
sebagai pemimpin umat
maupun sebagai pemimpin
pemerintahan.
Ucapan pertama ketika di bai’at, ini menunjukkan garis besar politik dan
kebijaksanaan Abu Bakar dalam Pemerintahan. Di dalamnya terdapat prinsip
kebebasan berpendapat, tuntutan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan, dan
mendorong masyarakat berjihad, serta shalat sebagai intisari takwa. Secara
umum, dapat dikatakan bahwa pemerintahan Abu bakar melanjutkan kepemimpinan
sebelumnya, baik kebijaksanaan dalam kenegaraan maupun pengurusan terhadap
agama, diantara kebijaksanaannya ialah sebagai berikut:
a. Kebijaksanaan pengurusan terhadap agama
Pada awal pemerintahannya, ia diuji dengan adanya ancaman yang datang dari
umat Islam sendiri yang menentang kepemimpinannya. Diantara perbuatan makar
tersebut ialah timbulnya orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat,
orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, dan pemberontakan dari beberapa Kabilah.
Ada beberapa
kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar yang menyangkut terhadap Agama antara lain :
1) Memerangi Nabi palsu, orang-orang yang murtad (Riddah) dan tidak
mengeluarkan zakat
a)
Memerangi
Kaum Murtad
Peristiwa
kaum murtad ini dikenal dengan istilah “Ar-riddah”, yang berarti kemurtadan
atau beralih agama dari Islam kepada kepercayaan semula. Secara politis, Ar-riddah
merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan. Gerakan ini muncul
sebagai akibat kewafatan Rasulullah Saw. Mereka melepaskan kesetiaannya kepada
khalifah, bahkan menentang agama Islam karena menganggap bahwa perjanjian yang
dibuat Rasulullah Saw. batal disebabkan kewafatannya. Gerakan mereka mengancam
stabilitas keamanan wilayah dan kekuasaan Islam. Oleh karena itu, khalifah
dengan tegas melancarkan operasi pembersihan gerakan tersebut.[21]
kabilah-kabilah
yang tinggal diantara Mekah, Medinah dan Ta'if keislamannya sudah mantap. Mereka
ini terdiri dari kabilah-kabilah Muzainah, Gifar, Juhainah, Bali, Asyja', Aslam
dan Khuza'ah. Sedang kabilah-kabilah lain masih belum menentu. Diantara mereka,
yang baru masuk Islam, ada yang murtad, ada yang karena ajaran Islam belum meresap
kedalam hati mereka, dan ada pula yang karena memang keyakinannya yang sudah kacau.
Disamping itu, yang terbaik di antara mereka ada yang tetap berpegang pada Islam
namun tidak menyukai adanya kekuasaan Medinah, baik oleh kalangan Muhajirin atau
Ansar. Mereka itulah yang menganggap zakat itu sebagai pajak yang dibebankan Medinah
kepada mereka. Jiwa mereka yang mau bebas dari segala kekuasaan menentang. Sejak
masuk Islam mereka mau melaksanakan kewajiban itu hanya kepada Rasulullah yang sudah
menerima wahyu, dan yang menjadi pilihan Allah sebagai Nabi diantara hamba-Nya.
Tetapi karena Nabi sudah berpulang kerahmatullah, maka tak ada dari penduduk Medinah
yang patut dimuliakan. Selain Nabi, mereka tidak berhak memungut zakat.
Kabilah-kabilah
yang merasa keberatan menunaikan zakat ialah mereka yang tidak jauh dari Medinah,
terdiri dari kabilah Abs dan Dubyan serta kabilah-kabilah lain yang bergabung dengan
mereka, yakni Banu Kinanah, Gatafan dan Fazarah. Mereka yang tinggal jauh dari
Medinah lebih gigih lagi menentang. Sebagian besar mereka mengikuti orang-orang
yang mendakwakan diri nabi, seperti Tulaihah dikalangan Banu Asad, Sajah dari BanuTamim,
Musailimah di Yamamah dan Zut TajLaqit bin Malik di Oman, disamping sejumlah besar
pengikut-pengikut Aswad al-Ansi di Yaman. Mereka menjadi pengikutnya hanya
sampai waktu orang itu sudah mati. Sesudah itu mereka masih bersikeras dengan mengobarkan
fitnah dan pembangkangan hingga berakhirnya perang Riddah.[22]
Terjadinya
pergolakan dikota-kota dan didaerah-daerah pedalaman terhadap kekuasaan Kuraisy
itu serta berbaliknya mereka dariI slam, bukan karena letak geografisnya dengan
Medinah saja, tetapi karena faktor-faktor masyarakat Arab dan unsur-unsur asing
lainnya, yang bekasnya tampak sekali pada saat-saat terakhir masa Rasulullah.
Islam
tersebar dan masuk kedaerah-daerah yang jauh dari Mekah dan Medinah di semenanjung
itu baru setelah penaklukan Mekah serta terjadinya ekspedisi Hunain dan pengepungan
Ta'if. Sampai pada waktu itu kegiatan Rasulullah terbatas disekitar kedua kota suci
itu, Mekah dan Medinah. Islam baru keluar perbatasan Mekah tak lama sebelum hijr'ah
keYasrib (Medinah). Sampai sesudah hijrahpun selama beberapa tahun berikutnya kegiatan
Nabi tetap tertuju untuk menjaga kebebasan dakwah Islam ditempat yang baru ini.
Setelah kaum Muslimin berhasil menghilangkan kekuasaan Yahudi di Yasrib, dan sesudah
memperoleh kemenangan di Mekah, barulah orang-orang itu mau menerima agama yang
benar ini. Utusan-utusan berdatangan dari segenap penjuru Semenanjung untuk menyatakan
telah masuk Islam. Nabipun mengutus wakil-wakilnya untuk mengajarkan dan memperdalam
ajaran Islam serta sekaligus memungut zakat atau sedekah.
Wajar
saja bila agama ini tidak dapat mengakar kedalam hatika bilah-kabilah itu seperti
yang sudah dihayati oleh penduduk Mekah dan Medinah serta masyarakat Arab yang berdekatan
disekitarnya. Ditempat asalnya Islam memerlukan waktu dua puluh tahun penuh untuk
menjadi stabil. Selama itu pula lawan-lawannya terus berusaha mati-matian
melancarkan permusuhan, yang berlangsung hingga selama beberapa tahun. Akibat dari
semua itu, kemudian permusuhan berakhir dengan kemenangan ditangan Islam. Ajaran-ajarannya
sekarang dapat dirasakan dan meresap kedalam hati orang-orang Arab Mekah, Ta'if,
Medinah sertatempat-tempat dan kabilah-kabilah berdekatan yang dapat berhubungan
dengan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Tetapi mereka yang berada jauh dari daerah
yang pernah menyaksikan kegiatan Muhammad selama bertahun-tahun terus-menerus itu,
mengajak orang kepada ajaran Allah dan agama Allah, agama baru itu tidak membekas
pada mereka. Bahkan mereka memberontak dan berusaha hendak kembali kepada
kebebasan politik dan agamanya yang lama.[23]
Dalam
membangkit kan pergolakan ini faktor-faktor asing sebenarnya tidak pula kurang pengaruhnya
daripada faktor-faktor setempat. Mekah dan Medinah serta para kabilah disekitarnya
sama sekali tidak mau tunduk pada kekuasaan Persia atau Rumawi yang ketika itu memang
sedang menguasai dunia. Bagian utara Semenanjung itu bersambung dengan Syam, sebelah
selatannya bersambung dengan Persia dan berdekatan dengan Abisinia(Etiopia), dan
keduanya sudah berada dibawah pengaruh kedua imperium itu. Bahkan kawasan itu dan
beberapa keamiran sudah berada dibawah kekuasaan mereka. Dengan demikian
tidaklah mengherankan jika pihak yang merasa punya pengaruh dan kekuasaan itu mati-matian
berusaha hendak menentang agama baru ini dengan segala cara, dengan jalan propaganda
politik, menganjurkan kekuasaan otonomi, dan dengan propaganda agama, kadang untuk
kepentingan pihak Nasrani, kadang untuk kepentingan pihak Yahudi dan adakalanya
untuk kepentingan paganisma Arab.
Kegiatan
segala faktor itu tampak jelas pengaruhnya bcgitu tersebar berita tentang kematian
Nabi. Dengan cukup berhati-hati kegiatan Itu sebenarnya memang sudah mulai tampak
sebelum Rasulullah wafat.
b)
Gerakan
Terhadap Orang-orang yang Enggan Membayar Zakat
Adapun
orang-orang yang tidak mau membayar zakat di antaranya ada yang semata-mata
karena kedegilannya. Orang-orang ini memandang zakat suatu pajak yang
dipaksakan, karena itu mereka tidak mau
mematuhinya. Tetapi golongan terbesar dari mereka tidak mau membayar zakat
adalah karena salah memahamkan ayat suci QS At-Taubah: 103:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ª!$#ur ììÏJy íOÎ=tæ ÇÊÉÌÈ
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.
Mereka
mengira bahwa hanya Nabi Muhammad sajalah yang berhak memungut zakat, karena
beliaulah yang disuruh mengambil zakat pada ayat tersebut. Menurut paham
mereka, hanya pemungutan yang dilakukan Nabi Muhammad saja yang dapat membersihkan
dan menghapus kesalahan-kesalahan dari ayat suci tersebut, begitu juga
ayat-ayat lain yang lebih jelas lagi, seperti firman Allah QS. Al-Ma’arij:
24-25:
úïÉ©9$#ur þÎû öNÏlÎ;ºuqøBr& A,ym ×Pqè=÷è¨B ÇËÍÈ È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãósyJø9$#ur ÇËÎÈ
Artinya:
dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau
meminta)
c)
Gerakan
Penumpasan Nabi Palsu
Setelah
Rasulullah wafat, seluruh jazirah Arab murtad dari agama Islam kecuali Makkah,
Madinah, dan Thaif. Sebagian orang murtad ini kembali kepada kekufuran lamanya
dan mengikuti orang-orang yang mengaku sebagai nabi, sebagian yang lain hanya
tidak mau membayar zakat.
Orang
yang mengaku sebagai nabi sebenarnya sudah ada pada hari-hari terakhir
kehidupan Nabi Muhammad SAW, walaupun mereka masih sembunyi-sembunyi.
Dari kekacauan yang
muncul di awal pemerintahan tersebut, Abu Bakar bekerja keras untuk menumpasnya
.
Untuk menumpas kelompok-kelompok
tersebut di atas, Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan
para sahabat dan kaum muslimin menentukan apa tindakan yang harus diambil
mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Para
sahabat menasehati Abu Bakar agar dia tidak memerangi mereka karena kondisi ummat
Islam yang sangat sulit dan karena sebagian pasukan Islam sedang diberangkatkan
untuk berperang melawan tentara Ramawi yang dipimpin oleh Usama Ibn Zaid. Namun
Abu Bakar menolak usulan mereka.
Didalam
kesulitan yang memuncak inilah kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu
Bakar. Dengan tegas dinyatakannya seraya bersumpah, bahwa beliau akan memerangi
semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, biar yang murtad, maupun
yang mengaku jadi nabi, ataupun yang tidak mau membayar zakat, sehingga
semuanya kembali kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam
memperjuangkan kemuliaan agama Allah.
Tatkala
Abu Bakar mengantarkan pasukan Usama, para sahabat segera keluar
ketempat-tempat masuk kota Madinah untuk menjaganya. Dia memerintahkan kepada
kaum muslimin untuk selalu siap siaga di masjid untuk bersiap-siap menjaga
kemungkinan terjadinya serangan mendadak di kota Madinah agar mereka akan
gampang mengusir musuh yang datang itu. Abu Bakar keluar sendiri melihat
kondisi pintu-pintu masuk kota Madinah.
Tak
berapa lama datang sedekah dalam jumlah yang sangat banyak dari berbagai pihak.
Setelah berlangsung dua bulan, pasukan Usamah kembali dengan membawa
kemenangan.
Abu Bakr
tinggal di Medinah sampai benar-benar ia merasa yakin bahwa pasukan Usamah sudah
berkumpul semua, kemudian bersama mereka ia berangkat ke Zul-Qassah. Pasukan itu
dibaginya menjadi sebelas brigade dengan masing-masing dibawah pimpinan satu orang.
Kemudian ia mengeluarkan perintah kepada mereka masing-masing agar memobilisasi
Muslimin yang kuat-kuat dan dipersiapkan untuk berangkat menghadapi kaum murtad.
Abu Bakr
membagi brigade-brigade itu sehingga jumlah dan pimpinan masing-masing
berimbang dengan kekuatan kabilah yang akan dihadapi serta berapa jauh kegigihan
kabilah-kabilah itu dalam melakukan kemurtadan. Karenanya ia menempatkan:
1.
Khalid bin Walid
memimpin brigade pertama untuk menggempur Tulaihah bin Khuwailid dari Banu Asad.
Selesai dari sana ia harus berangkat menghadapi Malik bin Nuwairah, pemimpin Banu
Tamim di Butah. Banu Asad dan Banu Tamim ini kabilah-kabilah murtad yang terdekat
ke Medinah. Wajar sekali bila Muslimin harus memulai dari mereka untuk memperlihatkan
kehancuran mereka dimata kekuatan-kekuatan yanglain. Khalid adalah komandan yang
paling pantas untuk memperoleh kemenangan.
2.
Ikrimah bin Abi Jahl oleh Abu Bakr ditempatkan sebagai komandan
brigade kedua untuk menghadapi Musailimah dari Banu Hanifah di Yamamah, dan
3.
Syurah bil bin Hasanah
pada brigade ketiga dengan perintah untuk membantu Ikrimah dalam menghadapi
Musailimah. Setelah tugas itu selesai Syurah bil diperintahkan menyusul Amr bin
As sebagai bala bantuan dalam menghadapi Quda'ah. Buat Ikrimah dan Syurah bil tampaknya
Yamamah cukup alot, yang kemudian datang Khalid bin Walid yang akhirnya dapat
menumpas kaum murtad setelah Musailimah terbunuh dalam pertempuran 'Aqriba'.
4.
Abu Bakr menempatkan
Muhajir bin Abi Umayyah al-Makhzumi memimpin brigade keempat untuk menghadapi pasukan
Aswad di Yaman, Amr bin Ma' di Karibaz-Zubaidi dan Qais bin Maksyuh al-Muradi. Bila
tugas ini sudah diselesaikan, mereka harus berangkat ke Kindah dan Hadra maut untuk
menghadapi Asy'as bin Qais serta para pemberontaknya.
5.
Brigade kelima ditugaskan
ke Tihamah Yaman, dipimpin oleh Suwaid bin Muqarrin al-Awsi.
6.
Brigade keenam dipimpin
oleh Ala' bin al-Hadrami untuk menyerbu Hutam bin Dabi'ah sekutu Banu Qais bin Sa'labah
yang murtad di Bahrain.
7.
Huzaifah bin Mihsan
al-Gilfani dari Himyar memimpin brigade ketujuh untuk memerangi Zut-Taj Laqit bin
Malik al-Azdi yang mengaku nabi di Oman.
8.
Brigade kedelapan
dipimpin oleh Arfajah bin Harsamah menuju Mohrah. Sudah wajar sekali bila brigade-brigade
itu dikerahkan keselatan mengingat kekuatan ada dibagian ini serta kegigihannya
yang bertahan sebagai kaum murtad.
9.
Sedangkan
Semenanjung bagian utara cukup dihadapi oleh tiga brigade, salah satunya dipimpin
oleh Amr bin As untuk menghadapi Quda'ah, yang kedua dipimpin oleh Mi'an bin
Hajiz as-Sulami untuk menghadapi Banu Sulaim dans ekutu-sekutunya di Hawazin, dan
yang ketiga dipimpin oleh Khalid bin Sa'id bin As untuk membebaskan dataran Syam.
Untuk
melindungi kota Medinah Abu Bakr memperkuatnya dengan brigade yang lebih kecil.
Soalnya ketika itu Medinah sudah aman dari kemungkinan adanya serangan dari luar.
Kota yang makmur membuat penduduk hidup lebih tenteram. Bagaimana mungkin kabilah
itu akan dapat menyerang Medinah sementara serangan kota itu diarahkan ke
segenap penjuru. Berita kemenangan pasukannya sudah terdengar ke mana-mana disamping
kekuatan dan keberaniannya, yang selama sangat didambakan oleh para pemberontak.[24]
Sejak
itu Abu Bakr tidak lagi menginggalkan Medinah. Bukan karena tidak ingin bersama-sama
dengan Muslimin dalam segala perjuangan itu, tetapi karena Medinah sudah menjadi
markas komando tertinggi seluruh pasukan, dan sumber semua pengiriman perintah untuk
bergerak dari tempat ketempat yang lain. Abu Bakr mengeluarkan perintah kepada
semua komandan pasukan agar jangan ada yang pindah dari perang berkelompok yang
sudah dimenangkan untuk bergerak ketempat lain sebelum mendapat izin. Dia yakin
sekali bahwa kesatuan komando dalam perang merupakan salah satu taktik yang paling
kuat dan tepat, dan jaminan untuk mencapai kemenangan.
Brigade
Khalid bin Walid adalah yang terkuat dari antara sebelas brigade yang dibentuknya.
Anggotanya terdiri atas para pejuang pilihan dari Muhajirin dan Ansar. Dan barang
kali Khalid sendiri yang memilih mereka. Nanti akan kita lihat bahwa dalam Perang
Riddah mereka telah benar-benar berjuang mati-matian. Kemudian dalam menghadapi
Irak dan Syam perjuangan mereka juga tiada taranya, tiada celanya.
Tidak
heran jika demikian keadaan brigade yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Allah telah
memberi karunia berupa bakat kepadanya, seperti yang diberikan kepada Iskandar Agung,
Jengiz Khan, Julius Caesar, Hannibal dan Napoleon. Ia seorang pahlawan lapangan
yang berani dan nekat, penilaiannya cepat dan tepat, tak pernah mundur menghadapi
bahaya, pandai mengelak dan menyerang dalam perang. Sudah banyak orang yang menyaksikan
kejelian dan kehebatannya dimedan perang.
Rasulullah
pernah memberikan gelar Saifullah—"Pedang Allah" kepadanya tatkala ia
memimpin pasukan di Mu'tah setelah terbunuhnya Zaid bin Harisah, Ja'far bin Abi
Talib dan Abdullah bin Rawahah. Dalam menghadapi pasukan Rumawi ia pandai mengelak
dan menyerang, kemudian ia berbalik dan dapat melepaskan diri dengan selamat. Meskipun
tidak membawa kemenangan, tetapi juga tidak dalam kekalahan yang memalukan. Khalid
Saifullah selalu berada dalam medan pertempuran sampai akhir hayatnya.
Sebelum
menganut Islam Khalid adalah seorang pahlawan Kuraisy yang ditakuti dan penunggang
kuda yang hebat. Dalam Perang Badr, Uhud dan Khandaq ia masih berada dalam barisan
kaum musyrik. Ia mempunyai sifat-sifat seorang prajurit yang berwatak kasar, cenderung
pada kekerasan dan mengandalkan kekuatan. Kalau tidak karena punya penilaian yang
tepat dan cepat, wataknya akan membahayakan dirinya sendiri. Tak pernah ia gentar
menghadapi lawan dimedan perang, tak pernah takut kepada siapapun. Ketika Rasulullah
pergi ke Mekah dalam menunaikan umrah setelah Perjanjian Hudaibiyah kemudian kembali
ke Medinah, dihadapan orang-orang Kuraisy Khalid berkata: "Bagi orang
berpikiran sehat sudah jelas sekarang bahwa Muhammad bukan tukang sihir dan bukan
penyair. Yang dikatakannya itu ialah firman Allah seru sekalian alam. Sudah seharusnya
orang yang punya hati nurani akan mengikutinya."
Pernah
terjadi diskusi dia dengan Ikrimah bin Abi Jahl, tetapi tak sampai terjadi kekerasan
karena khawatir akan akibatnya. Dalam pertemuan itu Abu Sufyan tidakh adir. Tetapi
ketika mendengar Khalid sudah masuk Islam, dipanggilnya Khalid dan ditanya: Benarkah
demikian?
Khalid
menjawab bahwa memang benar, dia sudah masuk Islam dan bersaksi tentang kerasulan
Muhammad. Abu Sufyan berang, lalu katanya:"Demi Lat dan Uzza, kalau aku tahu
apa yang kau katakan itu benar, sebelum Muhammad tentu kaulah yang akan kumulai.
"Tetapi sebagai orang yang punya harga diri Khalid menjawab dengan nada keras:
"DemiAllah, orang suka atau tidak, sungguh dia benar."
Khalid
lalu pergi ke Medinah. La segera mendapat tempat dihati Muslimin sebagai seorang
panglima perang. Ketika terjadi perang Mu'tah, dialah Pedang Allah disana, dan Pedang
Allah sesudah itu. Ditangannya Allah memberi kemenangan atas Irak dan Syam dan menundukkan
Persia dan imperium Rumawi, dua adi kuasa yang menguasai dunia saat itu. Tidak heran
jika Abu Bakr menempatkannya untuk memimpin brigadenya yang paling tangguh. Tidak
pula heran jika juga Khalid yang harus menghadapi perang Riddah dan yang sesudahnya,
seperti yang akan kita uraikan nanti lebih lanjut.
Sebelum
pemberangkatan pertama, sudah lebih dulu dipersiapkan suatu gerakan damai dengan
sebaik-baiknya. Keseluruh Semenanjung itu terlebih dulu disiarkan surat pengumuman
yang ditujukan kepada siapa saja yang mengetahui isi surat itu, yang awam atau yang
khas, yang tetap dalam Islam atau yang murtad. Surat itu dimulai dengan ucapan hamdalah
dan puji-pujian kepada Allah. Kemudian menyebutkan bahwa risalah Muhammad itu benar
datang dari Yang Maha kuasa sebagai berita baik dan peringatan. Kemudian menyebutkan
bahwa Rasulullah telah wafat setelah selesai menyampaikan apa yang diperintahkan
Allah kepada umat manusia, dan Allah sudah menjelaskan itu kepada umat Islam
denganfirman-Nya:
y7¨RÎ) ×MÍhtB Nåk¨XÎ)ur tbqçFÍh¨B ÇÌÉÈ
Artinya:
Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula). (Qur'an, 39: 30).
$tBur $uZù=yèy_ 9|³t6Ï9 `ÏiB Î=ö6s% t$ù#ãø9$# ( û'ïÎ*sùr& ¨MÏiB ãNßgsù tbrà$Î#»sø:$# ÇÌÍÈ
Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi
seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah
mereka akan kekal? (Qur'an,21:34).
$tBur î£JptèC wÎ) ×Aqßu ôs% ôMn=yz `ÏB Ï&Î#ö7s% ã@ß9$# 4 û'ïÎ*sùr& |N$¨B ÷rr& @ÏFè% ÷Läêö6n=s)R$# #n?tã öNä3Î6»s)ôãr& 4 `tBur ó=Î=s)Zt 4n?tã Ïmøt6É)tã `n=sù §ÛØt ©!$# $\«øx© 3 Ìôfuyur ª!$# tûïÌÅ6»¤±9$# ÇÊÍÍÈ
Artinya:
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Qur'an,3:144).
Maksud
Abu Bakr menyebutkan ayat-ayat itu untuk menangkis pangkal fitnah dan kekacauan
karena mereka mengatakan: Kalau Muhammad benar seorang rasul, tentu ia tidak akan
mati. Kemudian setelah mengingatkan supaya orang tetap bertakwa kepada Allah dan
bertahan dengan agama-Nya, iaberkata: "Kepada saya diberitahukan adanya orang-orang
yang telah meninggalkan agamanya setelah berikrar dalam Islam dan menjalankan segala
syariatnya, berbalik tidak lagi mengindahkan Allah Subhanahu wata'ala dan perintah-Nya,
tetapi sebaliknya telah mengikuti kehendak setan... Saya sudah mengeluarkan perintah
kepada polan memimpin pasukan bersenjata yang terdiri atas kaum Muhajirin,
Ansar dan para pengikut yang baik, kepadamu sekalian, dan saya perintahkan untuk
tidak memerangi dan membunuh siapapun sebelum diajak mematuhi ajaran Allah. Barang
siapa memenuhi ajakan itu, mengakui dan meninggalkan kesesatan, lalu kembali mengerjakan
pekerjaan yang baik, harus diterima dan dibantu. Tetapi barang siapa tetap membangkang,
maka harus diperangi dan jangan ada yang ditinggalkan. Mereka harus dihujani dan
dibakar dengan api, dibunuh; perempuan dan anak-anak ditawan, dan siapapun janganlah
diterima kecuali kedalam Islam. Barang siapa setuju, itulah yang baik untuk dirinya
dan barang siapa mengelak Allah tidak akan lemah karenanya. Aku sudah memerintahkan
utusanku untuk membacakan surat ini kepada setiap kelompok dari kamu sekalian.
Dan ajakan itu ialah dengan azan. "Ketika itu bila Muslimin menyerukan
azan dan orang menyambut azan itu, mereka dibiarkan, dan kalau tidak menyerukan
ditanya apa sebabnya. Kalau menolak cepat-cepat ditindak.
Abu Bakr
menyiarkan seruannya itu disegenap penjuru Semenanjung. Dengan itu tujuannya supaya
mereka yang masih ragu, mendapat kesempatan berpikir. Ternyata banyak orang yang
mengikuti penganjur-penganjuru golongan murtad itu karena mereka takut akibatnya
bila tetap bertahan dalam Islam. Jika melihat dirinya berada diantara dua kekuatan,
mereka lebih cenderung kepada Islam, atau setidak-tidaknya diam tidak membela pemimpin-pemimpin
kaum murtad itu. Mereka sudah tidak berdaya, dan tidak sedikit dari mereka yang
tidak mengadakan perlawanan. Pengaruh rencana Abu Bakr dengan gerakan damainya itu
hasilnya akan kita lihat jelas sekali.[25]
Dengan
dua pucuk surat serta brigade-brigade yang dibentuk oleh Abu Bakr itu persiapan
memerangi kaum murtad selesai sudah. Semua ini kita lihats ebagai gambaran yang
lengkap tentang ketegasan politik yang diterapkan oleh Abu Bakr dalam pemerintahannya.
Sebagian orang menganggap semua ini aneh sekali, mengingat Abu Bakr yang terkenal
dengan perangainya yang sangat halus, lemah lembut dan biasanya banyak mengalah
demi kebaikan bersama.
Tetapi
sebenarnya bukan hal yang mengherankan. Dengan imannya yang kuat kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya Abu Bakr tak pernah mengenai arti ragu. Orang yang berwatak lembut
memang tidak menyukai kekerasan dengan sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi bila sudah berhubungan dengan soal yang sudah menjadi keyakinannya, ia tidak
lag mengukur kekerasan dan kekuatan itu dengan kekerasannya dan kekuatannya sendiri.
Pada setiap pribadi manusia sifat-sifat itu seolah sudah tersusun dengan ukuran
yang hampir berimbang antara kekerasan dengan kelembutan. Kemudian dalam mengukur
waktu dan kesempatan, harus dengan kekerasan atau harus dengan kelembutan,
terdapat peringkat yang berbeda-beda. Ada yang wataknya lebih sering dikuasai oleh
kekerasan, sehingga kita mengira ia tidak akan pernah mengendur. Kebalikannya, ada
yang wataknya lebih sering dikuasai oleh sifat lemah lembut, dan kita mengira ia
tidak akan pernah menggunakan kekerasan. Tetapi dalam kenyataan, orang yang kita
lihat sering dikuasai oleh kekerasan kadang jadi lemah lembut sedemikian rupa, sehingga
pada orang lain yang biasa begitu halus dan lembutpun tidak kita jumpai. Orang yang
lebih sering begitu halus perasaannya, sampai ia merasa pilu dan menangisi penderitaan
orang lain, kadang menjadi orang yang sangat tegar dan keras tak mengenal ampun,
sehingga tak akan kita jumpai pada orang yang berwatak keras sekalipun.
2) Pengumpulan Al-Qur’an
Selama dua tahun satu
kwartal pemerintahan Abu Bakar, Islam sekali lagi kembali dihidupkan. Api
pemberontakan di seluruh Arabia telah dipadamkan dan kekuasaan Islam dengan mantap
ditegakkan. Tidak, suatu daya kekuatan baru disuntikkan kedalamnya, maka ketika
saatnya tiba, dia mampu dalam satu pukulan menjungkalkan dua kekaisaran raksasa
pada masa itu. Tetapi ini hanya satu sudut pandang dari lukisan, satu fase dari
pencapaian besar khalifah. Dia juga melakukan kerja luar biasa dalam pelayanan
besar di beberapa bidang lain. Dalam masa pemerintahannya yang pendek itu
diusung pengumpulan Qur’an Suci.
Penulisan
ayat-ayat al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah, bahkan sejak masa
awal diturukannya al-Qur’an yang diwahyukan secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Pada masa Rasulullah, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam
satu mushaf, tetapi masih berserakan.
Ada para sekretaris
yang selalu siaga yang melakukan penulisannya, ada juga yang menghafalkannya
dalam ingatan. Sekarang hendaknya dicatat baha wahyu dari surat-surat tertentu
itu bisa berlangsung bertahun, karena mereka itu diturunkan sedikit demi
sedikit. Jadi, pada saat satu wahyu segar turun yang merupakan bagian dari
surat yang sudah diwahyukan sebelumnya, Nabi, ketika mengarahkan perintahnya
untuk menulis dan mengingat, disana juga dan kemudian akan menunjukkan disurat
apa dan dikonteks mana dari surat itu harus disisipkan. Jadi, seluruh Al-Qur’an
diatur dan dibacakan dalam susunan yang benar-benar asli sesuai dengan yang
kita pegang sekarang ini. Dengan susunan asli inilah al-Qur’an disimpan dalam
ingatan manusia. Susunan dan pengaturannya dilakukan dibawah arahan Nabi
sendiri. Satu-satunya perkara yang belum dilakukan adalah menjadikan perbagai
manuskrip itu dalam satu jilid. Hal itu tak mungkin bisa dijalankan ketika Nabi
masih hidup, ketika setiap saat suatu bagian yang baru boleh jadi diwahyukan
dan suatu pengaturan kembali harus dilakukan, sehingga menuliskan perbagian
karenanya menjadi perlu. Bagian-bagian ini dituliskan pada daun kurna, kertas
atau kulit.[26]
Selama peperangan
Riddah, banyak dari penghafal Al-Qur’an yang tewas. Karena orang-orang ini
merupakan penghafal bagian-bagian Al-Qur’an, Umar cemas jika bertambah lagi
angka kematian itu, yang berarti beberapa bagian lagi dari Al-Qur’an akan
musnah. Karena itu, menasehati Abu Bakar untuk membuat suatu “kumpulan”
Al-Qur’an kemudian ia memberikan persetujuan dan menugaskan Zaid ibn Tsabit
karena beliau paling bagus Hafalannya. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa
pengumpulan Al-Qur’an ini termasuk salah satu jasa besar dari khalifah Abu
Bakar.[27]
3) Ilmu
Pengetahuan
Pola
pendidikan pada masa Abu Bakar masih seperti pada masa Nabi, baik dari segi
materi maupun lembaga pendidikannya. Dari segi materi pendidikan Islam terdiri
dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain
sebagainya. Menurut Ahmad Syalabi lembaga untuk belajar membaca menulis ini
disebut dengan Kuttab. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk
setelah masjid, selanjutnya Asama Hasan Fahmi mengatakan bahwa Kuttab didirikan
oleh orang-orang Arab pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini
adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para
sahabat Rasul terdekat.
Lembaga
pendidikan Islam masjid, masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani,
tempat pertemuan, dan lembaga pendidikan Islam, sebagai tempat shalat
berjama’ah, membaca Al-qur’an dan lain sebagainya.[28]
b. Kebijaksanaan kenegaraan
Dalam masalah
penataan birokrasi pemerintahan khalifah Abu Bakar masih meneruskan system
pemerintahan yang bersifat sentral, yakni sepertihalnya pemerintahan yang
berjalan dimasa Rasululla, yaitu kekuasaan eksekutif, legeslatif, yudikatif
terpusat disatu tangan. Suyuthi
Pulungan ada beberapa kebijaksanaan Abu Bakar dalam pemerintahan atau
kenegaraan,[29]
yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Bidang eksekutif
Pendelegasian
terhadap tugas-tugas pemerintahan di Madinah maupun daerah. Misalnya untuk
pemerintahan pusat menunjuk Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, dan Zaid bin
Tsabit sebagai sekretaris dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan. Untuk
daerah-daerah kekuasaan Islam, dibentuklah provinsi-provinsi, dan untuk setiap
provinsi ditunjuk seorang amir. Antara lain:
1)
Itab bin Asid menjadi Amir dikota Mekkah, amir yang
diangkat pada masa Nabi
2)
Ustman bin Abi Al-Ash, amir untuk kota Thaif, diangkat
pada masa nabi
3)
Al-Muhajir bin Abi Umayyah, amir untuk San’a
4)
Ziad bin Labid, amir untuk Hadramaut
5)
Ya’la bin Umayyah, amir untuk khaulan
6)
Abu Musa Al-Ansyari, amir untuk zubaid dan rima’
7)
Muaz bin Jabal, Amir untuk Al-Janad
8)
Jarir bin Abdullah, amir untuk Najran
9)
Abdullah bin Tsur, amir untuk Jarasy
10)
Al-Ula bin hadrami, amir untuk Bahrain, sedangakn
untuk Iraq dan Syam (Syria) dipercayakan kepada para pemimpin Militer.[30]
Para Amir tersebut bertugas sebagai pemimpin agama, juga menetapkan hukum dan
melaksanakan undang-undang. Artinya seorang amir di samping sebagai ppemimpin
agama, juga sebagai hakim dan pelaksana tugas kepolisian. Namun demikian,
setiap amir diberi hak untuk mengangkat pembantu-pembantunya, seperti katib,
amil, Dan sebagainya.
b. Pertahanan dan keamanan
Dengan mengorganisasika pasukan-pasukan
yang ada untuk mempertahankan eksistensi keagamaan dan pemerintahan. Pasukan
itu disebarkan untuk memelihara stabilitas didalam maupun diluar negri.
Diantara panglima yang ada ialah Khalid bin Walid, Musannah bin Harisah, Amr
bin ‘Ash, Zaid bin Tsabit, dll.
c. Yudikatif
Fungsi kehakiman dilaksanakan oleh Umar bin
Khaththab dan selama masa pemerintahan Abu Bakar tidak ditemukan suatu
permasalahan yang berarti untuk dipecahkan. Hal ini karena kemampuan dan sifat
Umar sendiri, dan masyarakat pada waktu itu dikenal ‘alim.
d. Sosial ekonomi
Sebuah lembaga mirip Bait Al-Mal,
didalamnya dikelola harta benda yang didapat dari zakat, infak, sedekah,
ghanimah, dll. Penggunaan harta tersebut digunakan untuk gaji pegawai negara
dan untuk kesejahtraan umat sesuai dengan aturan yang ada.[31]
Jadi dapat
disimpulkan bahwa khalifah Abu bakar diangkat menjadi Khalifah dengan jalan
Musyawarah, walaupun diantara Sahabat ada yang tidak ikut dalam pembai’atan dan
pada akhirnya mereka melakukan sumpah setia.[32]
Dengan demikian, secara nyata, pengangkatan Abu bakar sebagai khalifah
disetujui.
c. Penyebaran Islam pada masa Abu Bakar
Islam pada
hakikatnya adalah agama dakwah, artinya agama yang harus dikembangkan dan
didakwahkan. Terdapat dua pola pengembangan wilayah Islam, yaitu dengan dakwah
dan perang.[33]
Setelah dapat mengembalikan stabilitas keamanan jazirah Arabiah, Abu Bakar
beralih pada permasalahan luar negeri. Pada masa itu, di luar kekuasaan Islam
terdapat dua kekuatan adidaya yang dinilai dapat menganggu keberadaan Islam,
baik secara politisi maupun agama. Kedua kerajaan itu adalah Persia dan Romawi.
Rasulullah sendiri memerintahkan tentara Islam untuk memerangi orang-orang
Ghassan dan Romawi, karena sikap mereka sangat membahayakan bagi Islam. Mereka
berusaha melenyapkan dan menghambat perkembangan Islam dengan cara membunuh
sahabat Nabi. Dengan demikian cikal bakal perang yang dilakukan oleh ummat
Islam setuju untuk berperang demi mempertahankan Islam.[34]
Pada tahap
pertama, Abu Bakar terlebih dahulu menaklukkan persia. Pada bulan Muharram
tahun 12 H (6333 M), ekspedisi ke luar Jazirah Arabia di mulai. Musanna dan
pasukannya dikirim ke persia menghadapi perlawanan sengit dari tentara kerajaan
Persia. Mengetahui hal itu, Abu Bakar segera memerintahkan Khalid bin Walid
yang sedang berada di Yamamah untuk membawa pasukannya membantu Musanna.
Gabungan kedua pasukan ini segera bergerak menuju wilayah persia. Kota Ubullah
yang terletak di pantai teluk Persia, segera duserbu. Pasukan Persia berhasil
diporak-porandakan. Perang ini dalam sejarah Islam disebut dengan Mauqi’ah Zat
as-Salasil artinya peristiwa untaian Rantai.
Pada tahap
kedua, Abu Bakar berupaya menaklukkan Kerajaan Romawi dengan membentuk empat
barisan pasukan. Masing-masing kelompok dipimpin seorang panglima dengan tugas
menundukkan daerah yang telah ditentukan. Kempat kelompok tentara dan
panglimanya itu adalah sebagai berikut :
a. Abu Ubaidah bin Jarrah bertugas di daerah Homs, Suriah Utara, dan Antiokia
b. Amru bin Ash mendapat perintah untuk menaklukkan wilayah Palestina yang
saat itu berada di bawah kekuasaan Romawi Timur.
c. Syurahbil bin Sufyan diberi wewenang menaundukkan Tabuk dan Yordania.
d. Yazid bin Abu Sufyan mendapat perintah untuk menaklukkan Damaskus dan
Suriah Selatan.
Perjuangan
tentara-tentara Muslim tersebut untuk menaklukkan Persia dan Romawi baru tuntas
pada mas ke khalifaan Umar bin khathab.
d. Peradaban Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Bentuk peradaban yang paling besar dan luar biasa dan merupakan satu kerja
besar yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan
Al-Qur’an. Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk
menghimpun Al-Qur’an dari pelepah kurma, kulit binatang, dan dari hapalan kaum
muslimin. Hal yang dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian Al-Qur’an
setelah Syahidnya beberapa orang penghapal Al-Qur’an pada perang Yamamah.
Umarlah yang mengusulkan pertama kainya penghimpunan ini. Sejak saat itulah
Al-Qur’an dikumpulkan pada satu Mushaf.
Selain itu,
peradaban Islam yang terjadi pada praktik pemerintahan Abu Bakar terbagi pada
beberapa Tahapan, yaitu sebagai berikut :
a. Dalam bidang penataan sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial masyarakat. Untuk kemaslahatan rakyat ini, ia mengelola
zakat, infak, dan sedekah yang berasal dari kaum muslimin, serta harta ghanimah
yang dihasilkan dari rampasan perang dan jizyah dari warga negara non-muslim,
sebagai sumber pendapatan baitul Mal. Penghasilan yang diperoleh dari
sumber-sumber pendapatan negara ini dibagikan untuk kesejahteraan para tentara,
gaji para pegawai negara, dan kepada rakyat yang berhaq menerimanya sesuai
dengan ketentuan Al-Qur’an.
b. Praktik pemerintahan khalifah Abu Bakar yang terpenting adalah suksesi
kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk umar sebagai
penggantinya. Ada beberapa faktor Abu Bakar menunjuk atau mencalonkan Umar
menjadi Khalifah. Faktor utama adalah kekhawatiran akan terulang kembali
peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqilah Bani Saidah yang nyaris menyulut
umat Islam kejurang perpecahan, bila tidak merujuk seorang untuk
menggantikannya.
Dari penunjukan Umar tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicatat :
a. Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan asa musyawarah. Ia lebih
dahulu mengadakan konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui
tokoh-tokoh kaum muslimin.
b. Abu Bakar tidak menunjuk salah seorang putranya ataupun kerabatnya,
melainkan memilih seorang yang mempunyai nama dan mendapat tempat dihati
masyarakat serta disegani oleh rakyat karena sifat-sifat terpuji yang
dimilikinya.
c. Pengukuhan Umar menjadi khilafah sepeninggal Abu Bakar berjalan dengan baik
dalam suatu baiat umum dan terbuka tanpa ada pertentangan di kalangan kaum
muslimin.[35]
e.
Kemajuan-kemajuan yang dicapai
Abu Bakar
Kemajuan
yang telah dicapai pada masa pemerintahan Abu Bakar selama kurang lebih dua
tahun, antara lain:
a.
Perbaikan sosial (masyarakat)
b.
Perluasan dan pengembangan wilayah Islam
c.
Pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an
d.
Sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam
e.
Meningkatkan kesejahteraan umat.
Perbaikan
sosial yang dilakukan Abu Bakar ialah usaha untuk menciptakan stabilitas
wilayah Islam dengan berhasilnya mengamankan tanah Arab dari para penyeleweng
(orang-orang murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar
zakat).
Adapun usaha
yang ditempuh untuk perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar
melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab.
Daerah yang
dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan
Islam. Kedua daerah itu menurut Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk
memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan
Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke
Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan
Surahbil bin Hasanah.
Sedangkan
usaha yang ditempuh untuk pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an adalah atas usul dari
sahabat Umar bin Khattab yang merasa khawatir kehilangan Al Qur'an setelah para
sahabat yang hafal Al Qur'an banyak yang gugur dalam peperangan, terutama waktu
memerangi para nabi palsu.
Alasan lain
karena ayat-ayat Al Qur'an banyak berserakan ada yang ditulis pada daun, kulit
kayu, tulang dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan mudah rusak dan hilang.[36]
Atas usul
Umar bin Khattab tersebut pada awalnya Abu Bakar agak berat melaksanakan tugas
tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad SAW. Namun
karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat penghafal Al Qur'an
yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya,
akhirnya Abu Bakar menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada Zaid bin
Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas
pengumpulan itu.
Kemajuan
yang diemban sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar
senantiasa meneladani perilaku rasulullah SAW. Bahwa prinsip musyawarah dalam
pengambilan keputusan seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW selalu
dipraktekkannya. Ia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan tidak
segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesama sahabat juga sangat
besar perhatiannya.
Sahabat yang
telah menduduki jabatan pada masa Nabi Muhammad SAW tetap dibiarkan pada
jabatannya, sedangkan sahabat lain yang belum mendapatkan jabatan dalam
pemerintahan juga diangkat berdasarkan kemampuan dan ketrampilan yang
dimiliki..
Sedangkan
kemajuan yang dicapai untuk meningkatkan kesejahteraan umum, Abu Bakar
membentuk lembaga "Baitul Mal", semacam kas negara atau lembaga keuangan.
Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi SAW yang digelari
"amin al-ummah" (kepercayaan umat). Selain itu didirikan pula lembaga
peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab .[37]
Kebijaksanaan
lain yang ditempuh Abu Bakar membagi sama rata hasil rampasan perang
(ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang
menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan
yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama
Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena
itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama.
Persoalan
besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon
khalifah yang akan menggantikannya. Dengan demikian ia telah mempersempit
peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan
khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya Abu Bakar tidak memilih anak atau
kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif
dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sahabat Umar
bin Khattab. Pilihan tersebut tidak diputuskannya sendiri, tetapi
dimusyawarahkannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat besar. Setelah
disepakati, barulah ia mengumumkan calon khalifah itu.
Abu Bakar
dengan masa pemerintahannya yang amat singkat (kurang lebih dua tahun) telah
berhasil mengatasi tantangan-tantangan dalam negeri Madinah yang baru tumbuh
itu, dan juga menyiapkan jalan bagi perkembangan dan perluasan Islam di
Semenanjung Arabi
D. PENUTUP
1.
Dalam catatan
sejarah islam klasik, persoalan pertama yang muncul dan menjadi masalah besar
setelah Rasulullah wafat adalah soal suksesi. Persoalan ini muncul karena sejak
awal kepemimpinan Rasulullah hingga akhir hayatnya, beliau tidak memberikan
isyarat atau atau menunjuk kira-kira siapa yang akan menggantikan posisinya
sebagai seorang kepala negara dan kepala pemerintahan. Persoalan ini sepenuhnya
diserahkan kepada masyarakat muslim untuk melakukan proses pemilihan setelahnya
dengan mekanisme yang didasari atas prinsip syura. Prinsip dasar ini kemudian
diterapkan pada masa-masa awal ketika kelompok ketika masyarakat Muhajirin dan
Anshar tengah mendiskusikan persoalan khilafah di Tsaqifah Bani Saidah. Dengan
mekanisme dan prinsip syura, akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti
jabatan Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan dan negara. Para pengganti
Rasulullah sebagai dalam masalah kepemimpinan negara dalam sejarah Islam
disebut Khulafa Al-Rasyidin, yaitu para khalifah yang mendapat petunjuk
Allah untuk menjalankan amanat demi kebenaran.
2.
Nama Abu Bakar aslinya
adalah Abdullah Ibnu Abi Quhafah at Tamimi. Di masa jahiliyah bernama Abdul
Ka’bah.
3.
Abu Bakar diberi gelar
Ash-Shiddiq artinya yang amat membenarkan. Diberikan gelar itu karena Abu Bakar
selalu membenarkan apa yang diajarkan Rasulullah saw.
4.
Terpilihnya Abu Bakar
sebagai Khalifah merupakan hasil musyawarah antara kaum muhajirin dan Anshar.
5.
Abu Bakar menghadapi
kaum riddah:
a. Orang-orang murtad.
b. Orang yang tidak mau membayar zakat.
c. Orang yang mengaku sebagai nabi palsu.
6.
Perilaku politik lain
yang di jalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi:
a. Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid bin Walid.
b. Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang, yaitu Ubaidah, Amr bin
Ash, Yazid ibn Sufyan dan Syurahbil.
7.
Jasa besar yang
dilakukan oleh Abu Bakar adalah pengumpulan mushaf Al Qur’an.
8.
Khalifah Abu Bakar ra.
Meniggal dunia, senin, 23 agustus 634 M setelah lebih kurang 15 hari terbaring
di tempat tidur. Dia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3
bulan 11 hari.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
[1] Ali Mufrodi, Islam
di KawasanKebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997, h. 46.
[1] Departemen
Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro,
2008, h. 150
[1]
http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html
[1] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 67
[1] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar, 2003, h. 142
[1] Muhammad Husaen Haekal, Abu Bakar
As-Shiddiq, Jakarta: PT. Pustka Litera Antarnusa, 2013, h. 3
[1] Ahmad
Al-usairy, Sejarah Islam,. . . h. 142.
[1] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq, . . . h. 3.
[1] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 67
[1] A. Syalabi,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, h. 226.
[1] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 11.
[1] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2013, h. 98
[1] Muhaimin,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta: Prenada Media, h. 233
[1] Mahmud Maan
Sadifah, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 27.
[1] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 92
[1] A. Syafi
Ma’arif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985, h. 50
[1] A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT.
Pustaka Al-Husna Baru, 2003, h. 196
[1] Muhaimin,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, . . . h. 242
[1] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 45.
[1] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 46.
[1]Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa,
Bandung: Pustaka
Setia, 2013, h. 64.
[1] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 59
[1] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 60
[1] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 98-99.
[1] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 101-105.
[1] Maulana
Muhammad Ali, Early Caliphate, .
. . h. 63-65
[1] Ali Mufrodi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, . . . h.
50
[1] Badri Yatin, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. h. 34
[1] Suyuty
pulungan, Fiqih Siasati, Sejarah dan Pemikiran Islam, Jakarta : PT
Rajawali Prees, 1994, h. 112-113
[1] Ali Mufradi, Islam
dan Kawasan Kebudayaa Arab, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu,1997, h. 107
[1] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 70-71
[1] D. Humam, Terjemah
Islamic And History From Colture, Oleh Hasan Ibrahim, Cetakan I, Yogyakarta
Kota Kembang,1989. h. 32
[1] Departemen
Agama RI, Sejarah dan kebudayaan Islam, Ujung Padang : Proyek Pembinaan
PTA IAIN Alauddin, 1982, h. 65
[1] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 27
[1] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 73-76
[1] Drs. Amir
Abiyan dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Departemen Agama RI,
1990, hlm. 10
[1] Drs. Amir
Abiyan dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, . . . h. 40
[1] Ali Mufrodi, Islam
di KawasanKebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997, h. 46.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro,
2008, h. 150
[3]
http://abdimanfaat.blogspot.com/2014/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur.html
[4] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, h. 67
[7] Ahmad
Al-usairy, Sejarah Islam,. . . h. 142.
[8] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq, . . . h. 3.
[9] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 67
[10] A. Syalabi,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, h. 226.
[11] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 11.
[12] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2013, h. 98
[13] Muhaimin,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam,
Jakarta: Prenada Media, h. 233
[14] Mahmud Maan
Sadifah, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 27.
[15] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 92
[16] A. Syafi
Ma’arif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985, h. 50
[17] A. Syalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT.
Pustaka Al-Husna Baru, 2003, h. 196
[18] Muhaimin,
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, . . . h. 242
[19] Muhammad
Husaen Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 45.
[20] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 46.
[21]Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa,
Bandung: Pustaka
Setia, 2013, h. 64.
[22] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 59
[23] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 60
[24] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 98-99.
[25] Muhammad
Husean Haekal, Abu Bakr As-Shiddiq,
. . . h. 101-105.
[26] Maulana
Muhammad Ali, Early Caliphate, .
. . h. 63-65
[27] Ali Mufrodi, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, . . . h.
50
[28] Badri Yatin, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. h. 34
[29] Suyuty
pulungan, Fiqih Siasati, Sejarah dan Pemikiran Islam, Jakarta : PT
Rajawali Prees, 1994, h. 112-113
[30] Ali Mufradi, Islam
dan Kawasan Kebudayaa Arab, Jakarta: Logos, Wacana Ilmu,1997, h. 107
[31] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 70-71
[32] D. Humam, Terjemah
Islamic And History From Colture, Oleh Hasan Ibrahim, Cetakan I, Yogyakarta
Kota Kembang,1989. h. 32
[33] Departemen
Agama RI, Sejarah dan kebudayaan Islam, Ujung Padang : Proyek Pembinaan
PTA IAIN Alauddin, 1982, h. 65
[34] Badri yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, h. 27
[35] Dedi Supriadi,
Sejarah Peradaban Islam, . . . h. 73-76
[36] Drs. Amir
Abiyan dkk, Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Departemen Agama RI,
1990, hlm. 10
[37] Drs. Amir
Abiyan dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, . . . h. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar