BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Quraish
Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai
karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku
yang diterbitkan. Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang
menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia
kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir
al-Misbah.
Pengambilan
nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja
bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan
yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi
serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan.
Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang
ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup
terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an
secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agar
karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana
kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an
itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga
banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah
diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi
tersebut.
Mengingat
pentingnya metode dalam menafsirkan al-Qur'an, seperti yang telah dilakukan
oleh Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbahnya, maka dalam makalah ini, penulis
akan menghadirkan pemikiran tentang Pendekatan Quraish Shihab dalam Tafsir
al-Misbah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Metologi tafsir apa yang digunakan oleh Quraisy Shihab dalam
tafsirnya al-Misbah?
2.
Apa saja kelebihan dan kelemahan Tafsir Al-Misbah?
C. Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk dapat memahami metode tafsir yang di gunakan oleh Quraisiy
Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
2.
Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Misbah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pendekatan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
1.
Biografi
Quraish Shihab
H.M.
Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.
Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan Arab yang
terpelajar, dan menjadi ulama. Quraish Shihab adalah guru besar tafsir di IAIN
Alauddin, Ujung Pandang. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Quraish Shihab
percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan
pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang
pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang
gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam.[1]
Muhammad
Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang. la
kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di
Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun,
ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II
Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas
Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga
menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan
universitas yang sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul
Al-Ijazasyri'i li Al-Quran al-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A. Setelah
menyelesaikan studinya dengan gelar M.A. tersebut, untuk sementara ia kembali
ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai
1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik
dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi
pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih
sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat
dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur Indonesia
dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya
itu, ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya.
Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang
"Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia" (1975), dan
"Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan" (1978).
Pada
tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di
Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas
Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan
disertasinya yang berjudul "Nazm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa
Dirasah" dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.[2]
Tahun
1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan
kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas
Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum
Al-Qur'an di Program Sl, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan
tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai
Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu
ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua
bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebaga Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir
merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran
Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut
hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih
AlQur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa
organisasi profesional, antara lain
Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika
organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus
Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah
sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies,
Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, danRefleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua
penerbitan ini berada di Jakarta.[3]
Di
samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai
penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang
kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya
menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas,
rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai
penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta,
seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti
pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik,
khususnya di bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro
TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.[4]
2. Karya Quraish Shihab
Di
tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, H.M. Quraish
Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-buku yang ia
tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemologi Al-Qur'an hingga
menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia
kontemporer.
Beberapa
buku yang telah ditulisnya adalah ;
1) Tafsir
al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
2) Menyingkap
Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati,
1998);
3) Untaian
Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
4) Pengantin
al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
5) Haji Bersama
Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
6) Sahur
Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
7) Panduan Puasa bersama Quraish Shihab
(Jakarta: Penerbit Republika, Nopember 2000);
8) Panduan
Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, September 2003);
9)
Anda Bertanya,Quraish Shihab
Menjawab Berbagai Masalah Keislaman (Mizan Pustaka)
10) Fatwa-Fatwa
M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999);
11) Fatwa-Fatwa
M. Quraish Shihab Seputar Al Qur'an dan Hadits (Bandung: Mizan, 1999);
12) Fatwa-Fatwa
M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999);
13) Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar
Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999);
14) Fatwa-Fatwa
M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran (Bandung: Mizan, 1999);
15) Satu Islam,
Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
16) Filsafat
Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
17) Pandangan
Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990)
18) Kedudukan
Wanita Dalam Islam (Departemen Agama);
19) Membumikan
al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:
Mizan, 1994);
20) Lentera Hati; Kisah dan Hikmah
Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994);
21) Studi Kritis
Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
22) Wawasan
al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996);
23) Tafsir
al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
24) Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama
Al-Qur'an (Bandung; Mizan, 1999)
25) Hidangan
Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
26) Jalan Menuju
Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
27) Menjemput
Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera Hati, 2003;
28) Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer
(Jakarta: Lentera Hati, 2004);
29) Dia di
Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
30) Perempuan
(Jakarta: Lentera Hati, 2005);
31) Logika
Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera
Hati, 2005);
32) Rasionalitas
al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
33) Menabur
Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera
Hati, 2006);
34) Wawasan
al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
35) Asmâ'
al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera
Hati);
36) Sunnah -
Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran
(Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);
37) Al-Lubâb;
Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera
Hati, Agustus 2008);
38) 40 Hadits
Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
39) Berbisnis
dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera
Hati);
40) M. Quraish
Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera
Hati, 2008);
41) Doa Harian
bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2009);
42) Seri yang
Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
43) Seri yang
Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
44) Seri yang
Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
45) M. Quraish
Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera
Hati, Maret 2010);
46) Al-Qur'ân
dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera
Hati, Agustus 2010);
47) Membumikan
al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati,
Februari 2011);
Selain itu ia juga banyak menulis karya ilmiah yang
berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah dia mengasuh rubrik
"Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik
"Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas
namanya sendiri, yaitu "M. Quraish Shihab Menjawab".
3.
Ide
Pembaharuan dalam Tafsir al-Misbah
Salah satu karya yang
menjadi magnumopus dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah. Tafsir
yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004.
Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsirnya dengan alasan bahwa, bila
dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti
lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu agar
karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam
suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup.
Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa
Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat
tafsir Al-Misbah, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu
Ilahi tersebut.
Latar belakang
penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul
“tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik
minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam
menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia
tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca
surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman
dan lain-lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surah
al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan
tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing
ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan
kesan yang benar.[5]
4.
Metodologi
Penafsiran Al-Misbah
Pada garis besarnya, penafsiran al-qur’an itu dilakukan melalui
empat metode, yaitu: metode Ijlmali (global), Tahlili (analitis),
Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik).[6] Yang
paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode Tahlili,
dan metode Maudhu’iy.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî,
yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish
Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Metode tahlili, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajzi’iy, adalah satu metode tafsir yang “mufasirnya berusaha
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat
Al-Qur’an sebagaimana tercantum didalam mushaf.[7]
Dalam tafsir
al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang
tercermin dalam enam hal:
a) Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
b) Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
c) Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
d) Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
e) Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
f) Keserasian tema surah dengan nama surah.
Memang metode yang
dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili.
Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi
ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf.
Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan
bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu
Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang
menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini
dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan
menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari
kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili, Quraish Shihab memberikan
tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk
menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i. Dengan demikian,
metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili
dengan metode Maudhu’i.
Adapun corak yang
dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau
kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang
berlaku atau terjadi di masyarakat.
Adapun Adabiy wa Ijtima’iy merupakan salah satu corak penafsiran
yang dikembangkan oleh ulama tafsir kontemporer. Yang apabila kita kaji secara
etimologi kata al-adabiy, dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif)
dan kata kerja “aduba” yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra.[8]
Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan
bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan
karya seninya. Sedang kata “al-ijtima’iy”, yang berakar pada huruf jim, mim dan
‘ain, jama’a dapat berarti menyatukan sesuatu.[9]
Kata ini menjadi bentuk “ijtima’a”, yang melahirkan infinitif ijtima’, yang
berarti “banyak bergaul dengan masyarakat atau sosial.”[10]
Jadi, secara etimologi, tafsir al-adabiy al-ijtima’iy adalah tafsir
yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan, yang oleh Mu’in salim
disebut sebagai tafsir dengan pendekatan sosio-kultural.[11]
Secara terminologi, tafsir al-adabiy al-ijtima’iy sebagaimana disebutkan
farmawi adalah corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat
al-qur’an pada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun kandungannya dalam
redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan,
serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[12]
Melalui tafsir al-adabiy al-ijtima’iy, manusia diingatkan bahwa
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mampu mengatur perkembangan zaman dan
kemanusiaan. Tafsir dengan corak Adabiy wa Ijtima’iy ini menggunakan berbagai
argumentasi untuk mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang
mendeskriditkan Al-Qur’an yang dinilai tidak dapat memecahkan masalah yang
dialami oleh umat islam dan keragu-raguan atasnya. Menurut Hanafi tafsir ini
mengajak kearah perubahan sosial dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan
utama dunia muslim, menggabungkan teori dengan praktik, melampaui penafsiran
klasik untuk menggabungkan teks dengan kondisi saat ini.[13]
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan segi Balaghah
Al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang
dituju Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan
kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabiy merupakan corak baru yang
menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an serta memotivasi
untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia Al-Qur’an.[14]
Dalam penafsirannya, teks-teks al-qur’an dikaitkan dengan realitas
kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat
fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha
mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada
umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu dijalan dengan perkembangan zaman
dan manusia.
Dalam menjelaskan
ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam
menafsirkannya, diantaranya:
a) Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai
penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat,
tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
b) Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu
sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
c) Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah
ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
d) Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan
beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengan
ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber
penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber
dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan
ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari
pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun
mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan
semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata
pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa
sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini
bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama
terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak
penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w.
887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan
disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu.
Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid
Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan
Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i,
serta beberapa pakar tafsir yang lain.[15]
5.
Contoh
Penafsiran Quraish Shihab tentang Jilbab dalam Tafsir al-Misbah
Dalam
surat al-Ahzab ayat: 59, Allah SWT berfirman:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
Artinya:
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri
orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena
itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Setelah ayat-ayat yang lalu melarang siapa pun
menggangu dan menyakiti Nabi saw. bersama kaum mukminin dan mukminat, kini
secara khusus kepada kaum mukminat, bermula dari istri nabi Muhammad sa.
Diperintahkan untuk menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkan penghinaan
dan pelecehan.
Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita
merdeka atau budak yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan
sama. Karena itu lelaki usil seringkali mengganggu wanita-wanita khususnya yang
mereka ketahui atau duga sebagai hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan
tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita muslimah ayat diatas turun
menyatakan: Hai Nabi Muhammad katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita keluarga orang-orang mukmin agar
mereka mengulurkan atas diri mereka yakni ke seluruh tubuh mereka jilbab mereka. Yang demikian itu
menjadikan mereka lebih mudah dikenal sebagai wanita-wanita terhormat atau
sebagai wanita muslimah, atau sebagai wanita-wanita merdeka sehingga dengan
demikian mereka tidak diganggu. Dan Allah senantiasa Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Kalimat: (ÏtûüÏZÏB÷sßJø9$# ä!$|¡ÎSu)
diterjemahkan oleh tim Departemen Agama dengan Istri-istri orang-orang
mukmin. Penulis lebih cenderung menerjemahkannya dengan wanita-wanita
orang-orang mukmin sehingga ayat ini mencakup juga gadis-gadis semua orang
mukmin bahkan keluarga mereka semuanya.
Kata (`Íkön=tã) mengesankan bahwa seluruh badan mereka tertutupi oleh pakaian. Nabi
saw. Mengecualikan wajah dan telapak tangan atau dan beberapa bagian lain dari
tubuh wanita (baca QS. An-Nur: 34), dan penjelasan Nabi itulah yang menjadi
penafsiran ayat ini.
Kata (ﺟﻟﺑﺍﺐ) di
perselisihkan maknanya oleh ulama. Al—Baqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain, baju yang
longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju
dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat
ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud
dengannya adalah baju, maka ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau
kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutupi wajah dan lehernya.
Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah
membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.
Thabathaba’i
memahamikata jilbab dalam arti
pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan
wajah wanita.
Ibn Asyur
memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah
tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan wanita
diatas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga keseluruh
bahu dan belakangnya. Ibn Asyur menambahkan bahwa model jilbab bisa
bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan oleh
adat kebiasaan. Tetapi tujuan yang dikehendaki ayat ini adalah “...menjadikan
mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.”
Kata (ﺘﺪﻨﻲ) terambil dari
kata (ﺪﻨﺍ) yang berarti dekat
dan menurut Ibn Asyur yang dimaksud disini adalah memakai atau meletakkan.[16]
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab
memiliki pandangan dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita
muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di
atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika
itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum
mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat
di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah
“Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai
jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya.”[17]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish
Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya
yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan
bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika
menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam
buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini
secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama
Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi
Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab
dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah
gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi
apa hukumnya?[18]
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat
beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk
menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas semoga telah tergambar tafsir serta pandangan
ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak
ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan
pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.[19]
Selanjutnya,
M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan
menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها
بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك
(مقاصد الشريعة ص 91)
Artinya:Kami
percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai
adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat
dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari
Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat
Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya.
Tulisnya:
و فى القرآن:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا
ينالهم من هذا التشريع نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin;
hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah
ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain
yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi
mereka) ketentuan ini.[20]
Untuk
mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat
tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam
Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits
yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam
arti “sebaiknya” bukan seharusnya.[21]
M. Qurash Shihab juga
menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur
ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali
wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin
berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap
mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa
mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak
menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[22]
Dari pemaparan
di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh
dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat
disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah
masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa
ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka
interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga,
ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan,
serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
6.
Kelebihan
dan kelemahan tafsir al-misbah
a.
Kelebihannya:
1) Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya
banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau
internasional.
2) Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir
pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna,
serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
3) Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia
sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
4) Dalam menafsirkan ayat, Quraish shihab tidak menghilangkan korelasi antar
ayat dan antar surat.
b.
Kelemahannya:
1. Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish
dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi
pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan
kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi
Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.
2. Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish
dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan
dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab,
takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran
ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu
sendiri.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di
atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir
al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, terdiri dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad
Quraish Shihab bin Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang
menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia, al-Azhar University, lahir di
Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah
adalah metode tahlili, sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi
al-Ijtima`i.
Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat
banyak sekali, kalau pun ada kekurangannya tidak dapat menghilangkan
kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang ulama
kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan studi
Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah.
Allahu a`lam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Muin Salim, Konsepsi
Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Hasan Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a Tafsir Al-Fatihah
wa awa’il Surat Al-Baqarah, Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud
Yunus Wa Dzurriyyah, 2010
Muhammad Ali AshShabuuniy, At Tibyan fi Ulumul Qur’an,
Penerjemah: Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 2013
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan,
Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I,
vol. 11
M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi
Pada Sastra Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Volume 1, 2005
Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia,
2001
Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2009
http://jhonisamual.blogspot.com/2013/06/analisis-terhadap-tafsir-al-mishbah.html
[1] Dewan Redaksi,
Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994,
h. 110-111.
[2] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, h. 363 – 364
[3] Dewan Redaksi,
Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, . . . h. 111
[4] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh
Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, . . . h. 364 – 365
[5]
http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html
[6] Rosihan Anwar,
Samudra Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 259
[7]M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 2013, h.129-130.
[8] Muhammad Ali
AshShabuuniy, At Tibyan fi Ulumul Qur’an, Penerjemah: Aminuddin,
Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 245
[9] Usman, Ilmu
Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009, h. 298
[10] Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010, h. 93
[11] Abdul Muin
Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik
dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 2
[12] Hasan
Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a Tafsir Al-Fatihah wa awa’il Surat
Al-Baqarah, Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971, h. 12-13
[13] Quraish
Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastra Budaya dan
Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984, h.1
[14] Quraish
Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastra Budaya dan
Kemasyarakatan, . . . h. 1
[15]
http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html
[16] M. Quraish
Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 318-321
[17] M. Quraish
Shihab, Tafsir
Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta:
Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.
[18] M. Quraish
Shihab, Wawasan
Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171
[19] M. Quraish
Shihab, Wawasan
Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178
[20] M. Quraish
Shihab, Wawasan
Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178-179.
[21] M. Quraish
Shihab, Wawasan
Al-Quran, . . . h. 179
[22] M. Quraish
Shihab, Wawasan
Al-Quran, . . . h. 179
Tidak ada komentar:
Posting Komentar