Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TAFSIR AL-MISBAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Quraish Shihab merupakan salah seorang penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. Quraish Shihab juga menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Salah satu karya yang fenomenal dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah.
Pengambilan nama Al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab tentu saja bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan memilih nama ini, dapat diduga bahwa Quraish Shihab berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara lansung karena kendala bahasa. Disamping itu, beliau juga berharap agar karyanya dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah diharapkan, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu ilahi tersebut.
Mengingat pentingnya metode dalam menafsirkan al-Qur'an, seperti yang telah dilakukan oleh Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbahnya, maka dalam makalah ini, penulis akan menghadirkan pemikiran tentang Pendekatan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah.
B.   Rumusan Masalah
1.   Metologi tafsir apa yang digunakan oleh Quraisy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah?
2.   Apa saja kelebihan dan kelemahan Tafsir Al-Misbah?
C.  Tujuan Pembahasan
1.   Untuk dapat memahami metode tafsir yang di gunakan oleh Quraisiy Shihab dalam tafsirnya al-Misbah
2.   Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Tafsir Al-Misbah.

BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah

1.    Biografi Quraish Shihab
H.M. Quraish Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab adalah keluarga keturunan Arab yang terpelajar, dan menjadi ulama. Quraish Shihab adalah guru besar tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Quraish Shihab percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam.[1]
Muhammad Quraish Shihab menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung Pandang. la kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar agama di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia diterima sebagai mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan universitas yang sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul Al-Ijazasyri'i li Al-Quran al-Karim pada tahun 1969 dengan gelar M.A. Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A. tersebut, untuk sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu kurang lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi pemerintah setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia terpilih sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta wilayah Timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah. Di tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan kegiatan ilmiah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Timur Indonesia" (1975), dan "Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan" (1978).
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis, Universitas Al-Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul "Nazm al-Durar li al-Biqai Tahqiq wa Dirasah" dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum Laude.[2]
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Qur'an di Program Sl, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebaga Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih AlQur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara  lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, danRefleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.[3]
Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.[4]
2.    Karya Quraish Shihab
Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut, H.M. Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat prolifik. Buku-buku yang ia tulis antara lain berisi kajian di sekitar epistemologi Al-Qur'an hingga menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer.
Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah ;
1)   Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
2)   Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998);
3)   Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
4)   Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
5)   Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
6)   Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
7)    Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, Nopember 2000);
8)   Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit Republika, September 2003);
9)        Anda Bertanya,Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah Keislaman (Mizan Pustaka)
10)    Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999);
11)    Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al Qur'an dan Hadits (Bandung: Mizan, 1999);
12)    Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999);
13)     Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999);
14)    Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran (Bandung: Mizan, 1999);
15)    Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
16)    Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
17)    Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990)
18)    Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departemen Agama);
19)    Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994);
20)     Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994);
21)    Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
22)    Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996);
23)    Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
24)     Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung; Mizan, 1999)
25)    Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
26)    Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
27)    Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta: Lentera Hati, 2003;
28)    Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
29)    Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
30)    Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
31)    Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
32)    Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
33)    Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
34)    Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
35)    Asmâ' al-Husnâ; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1 boks) (Jakarta: Lentera Hati);
36)    Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2007);
37)    Al-Lubâb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008);
38)    40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
39)    Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
40)    M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008);
41)    Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2009);
42)    Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
43)    Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
44)    Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
45)    M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010);
46)    Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010);
47)    Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011);
Selain itu ia juga banyak menulis karya ilmiah yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah dia mengasuh rubrik "Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh rubrik "Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas namanya sendiri, yaitu "M. Quraish Shihab Menjawab".
3.    Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Misbah
Salah satu karya yang menjadi magnumopus dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah.  Tafsir yang terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004. Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsirnya dengan alasan bahwa, bila dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup. Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat tafsir Al-Misbah, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu Ilahi tersebut.
Latar belakang penulisan tafsir al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak, bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.[5]
4.    Metodologi  Penafsiran Al-Misbah
Pada garis besarnya, penafsiran al-qur’an itu dilakukan melalui empat metode, yaitu: metode Ijlmali (global), Tahlili (analitis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’i (tematik).[6] Yang paling populer dari keempat metode yang disebutkan itu, adalah metode Tahlili, dan metode Maudhu’iy.
Secara metodologis tafsir al-Misbah ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Metode tahlili, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy, adalah satu metode tafsir yang “mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat  Al-Qur’an sebagaimana tercantum didalam mushaf.[7]
Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam hal:
a)    Keserasian kata demi kata dalam satu surah;
b)   Keserasian kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
c)    Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
d)   Keserasian uraian awal satu surah dengan penutupnya;
e)    Keserasian penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
f)    Keserasian tema surah dengan nama surah.
Memang metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish Shihab mengemukakan  bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode Tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur’an adalah metode Maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan metode Maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di masyarakat.
Adapun Adabiy wa Ijtima’iy merupakan salah satu corak penafsiran yang dikembangkan oleh ulama tafsir kontemporer. Yang apabila kita kaji secara etimologi kata al-adabiy, dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dan kata kerja “aduba” yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra.[8] Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Sedang kata “al-ijtima’iy”, yang berakar pada huruf jim, mim dan ‘ain, jama’a dapat berarti menyatukan sesuatu.[9] Kata ini menjadi bentuk “ijtima’a”, yang melahirkan infinitif ijtima’, yang berarti “banyak bergaul dengan masyarakat atau sosial.”[10]
Jadi, secara etimologi, tafsir al-adabiy al-ijtima’iy adalah tafsir yang berorientasi pada sastra budaya dan kemasyarakatan, yang oleh Mu’in salim disebut sebagai tafsir dengan pendekatan sosio-kultural.[11] Secara terminologi, tafsir al-adabiy al-ijtima’iy sebagaimana disebutkan farmawi adalah corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-qur’an pada aspek ketelitian redaksinya, lalu menyusun kandungannya dalam redaksi yang indah dengan penonjolan aspek-aspek petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.[12]
Melalui tafsir al-adabiy al-ijtima’iy, manusia diingatkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mampu mengatur perkembangan zaman dan kemanusiaan. Tafsir dengan corak Adabiy wa Ijtima’iy ini menggunakan berbagai argumentasi untuk mempertahankan atau menjawab tuduhan-tuduhan yang mendeskriditkan Al-Qur’an yang dinilai tidak dapat memecahkan masalah yang dialami oleh umat islam dan keragu-raguan atasnya. Menurut Hanafi tafsir ini mengajak kearah perubahan sosial dengan mempertimbangkan persoalan-persoalan utama dunia muslim, menggabungkan teori dengan praktik, melampaui penafsiran klasik untuk menggabungkan teks dengan kondisi saat ini.[13]
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengungkapkan segi Balaghah Al-Qur’an dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam, dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya. Tafsir Adabiy merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an serta memotivasi untuk menggali makna-makna dan rahasia-rahasia Al-Qur’an.[14]
Dalam penafsirannya, teks-teks al-qur’an dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu dijalan dengan perkembangan zaman dan manusia.
Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
a)    Pada setiap awal penulisan surat diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam surat, nama lain dari surat.
b)   Penulisan ayat dalam tafsir ini, dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti dengan terjemahannya.
c)    Menjelaskan kosa kata yang dipandang perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat sebelum maupun sesudahnya.
d)   Kemudian menafsirkan ayat yang sedang dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil hadis nabi yang berkaitan dengan ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi, juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain.[15]
5.      Contoh Penafsiran Quraish Shihab tentang Jilbab dalam Tafsir al-Misbah
Dalam surat al-Ahzab ayat: 59, Allah SWT berfirman:         
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
Artinya: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Setelah ayat-ayat yang lalu melarang siapa pun menggangu dan menyakiti Nabi saw. bersama kaum mukminin dan mukminat, kini secara khusus kepada kaum mukminat, bermula dari istri nabi Muhammad sa. Diperintahkan untuk menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkan penghinaan dan pelecehan.
Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil seringkali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan kehormatan wanita muslimah ayat diatas turun menyatakan: Hai Nabi Muhammad katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita keluarga orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan atas diri mereka  yakni ke seluruh tubuh mereka  jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih mudah dikenal sebagai wanita-wanita terhormat atau sebagai wanita muslimah, atau sebagai wanita-wanita merdeka sehingga dengan demikian mereka tidak diganggu. Dan Allah  senantiasa Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kalimat: (ÏtûüÏZÏB÷sßJø9$# ä!$|¡ÎSu) diterjemahkan oleh tim Departemen Agama dengan Istri-istri orang-orang mukmin. Penulis lebih cenderung menerjemahkannya dengan wanita-wanita orang-orang mukmin sehingga ayat ini mencakup juga gadis-gadis semua orang mukmin bahkan keluarga mereka semuanya.
Kata (`ÍköŽn=tã) mengesankan bahwa seluruh badan mereka tertutupi oleh pakaian. Nabi saw. Mengecualikan wajah dan telapak tangan atau dan beberapa bagian lain dari tubuh wanita (baca QS. An-Nur: 34), dan penjelasan Nabi itulah yang menjadi penafsiran ayat ini.
Kata (ﺟﻟﺑﺍﺐ) di perselisihkan maknanya oleh ulama. Al—Baqa’i menyebut beberapa pendapat. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengannya adalah baju, maka ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau kerudung, maka perintah mengulurkannya adalah menutupi wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.
Thabathaba’i memahamikata  jilbab dalam arti pakaian yang menutupi seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita.
Ibn Asyur memahami kata jilbab dalam arti pakaian yang lebih kecil dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan wanita diatas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga keseluruh bahu dan belakangnya. Ibn Asyur menambahkan bahwa model jilbab bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang diarahkan oleh adat kebiasaan. Tetapi tujuan yang dikehendaki ayat ini adalah “...menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu.
Kata (ﺘﺪﻨﻲ) terambil dari kata (ﺪﻨﺍ) yang berarti dekat dan menurut Ibn Asyur yang dimaksud disini adalah memakai atau meletakkan.[16]
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[17]

Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?[18]
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas semoga telah tergambar tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.[19]
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Artinya:Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.         
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.[20]
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.[21]
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[22]

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
6.    Kelebihan dan kelemahan tafsir al-misbah
a.    Kelebihannya:
1)    Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
2)    Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna, serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
3)    Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
4)    Dalam menafsirkan ayat, Quraish shihab tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan antar surat.
b.   Kelemahannya:
1.    Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.
2.    Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab, takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu sendiri.


BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir al-Mishbah adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
            Kedua, nama pengarang tafsir ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia, al-Azhar University, lahir di Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
            Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah adalah metode tahlili, sedangkan corak yang digunakan corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
            Keempat, kelebihan dalam Tafsir al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau pun ada kekurangannya tidak dapat menghilangkan kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang ulama kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan studi Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah. 
Allahu a`lam.

 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Muin Salim, Konsepsi  Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Hasan Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a Tafsir Al-Fatihah wa awa’il Surat Al-Baqarah, Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010
Muhammad Ali AshShabuuniy, At Tibyan fi Ulumul Qur’an, Penerjemah: Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 2013
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11
M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastra Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, Volume 1, 2005
Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2001
Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009
http://jhonisamual.blogspot.com/2013/06/analisis-terhadap-tafsir-al-mishbah.html




[1] Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, h. 110-111.
[2] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 363 – 364
[3] Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, . . . h. 111
[4] Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikaan Islam di Indonesia, . . . h. 364 – 365
[5] http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html
[6] Rosihan Anwar, Samudra Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 259
[7]M. Quraish Shihab,Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 2013, h.129-130.

[8] Muhammad Ali AshShabuuniy, At Tibyan fi Ulumul Qur’an, Penerjemah: Aminuddin, Bandung: Pustaka Setia, 1998, h. 245
[9] Usman, Ilmu Tafsir untuk UIN, IAIN, STAIN, PTAIS, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009, h. 298
[10] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2010, h. 93
[11] Abdul Muin Salim, Konsepsi  Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 2
[12] Hasan Al-Banna, Muqaddimah fi al-Tafsir Ma’a Tafsir Al-Fatihah wa awa’il Surat Al-Baqarah, Kuwait: Dar al-Qur’an al-Karim, 1971, h. 12-13
[13] Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastra Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1984, h.1
[14] Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi Pada Sastra Budaya dan Kemasyarakatan, . . . h. 1
[15] http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 318-321

[17] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.
[18] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171
[19] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178
[20] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178-179.
[21] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, . . . h. 179
[22] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, . . . h. 179 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar