Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH KEBIJAKAN PEMERINTAH BERKAITAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PERGURUAN TINGGI


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan posisi yang amat strategis bagi masa depan bangsa karena dari PTU lah diharapkan akan muncul ahli-ahli ilmu pengetahuan umum (teknik, kedokteran, pertanian, kimia, dsb.) yang akan menduduki posisi-posisi penting di masa depan, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta.  Sementara itu, missi PAI di PTU adalah untuk memberikan keseimbangan mental, imtak dan akhlaq mulia pada penguasaan iptek para mahasiswa PTU.  Keberhasilan PAI pada PTU diharapkan akan menghasilkan sarjana-sarjana iptek yang, di samping ahli di bidang keilmuannya, juga memiliki pemahaman, penghayatan dan pengaamalan agama yang mantap.  Dengan kata lain, mereka akan menjadi ahli ilmu yang saleh.  Sebaliknya, kekurangberhasilan PAI pada PTU dikhawatirkan akan menghasilkan sarjana-sarjana iptek yang hanya ahli di bidang keilmuannya tanpa disertai pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang mantap, atau sarjana iptek yang mempunyai kepribadian ganda (split personality) karena mereka tidak mampu mengintegrasikan penguasaan bidang ilmunya dengan pemahaman ajaran agamanya.
Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI di PTU, menjadi tak terbina sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan.  Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah tidak memberi dampak apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi).  Keberhasilan PAI di PTU sepenuhnya tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di PTU itu sendiri.  Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal saja.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum dan materi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum?
2.      Bagaimana standart proses dan standart evaluasi dalam pembelajaran PAI di PTU dan problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum?
3.      Bagaimana pengembangan kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum dan materi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum.
2.      Untuk mengetahui standart proses dan standart evaluasi dalam pembelajaran PAI di PTU, dan problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum?
3.      Untuk mengetahui pengembangan kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I.







BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum.
Yang tidak kalah penting adalah kebijakan pemerintah akan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sendiri. Karena kalau berlandaskan item-item pancasila, maka memberikan prioritas pada mata kuliah pendidikan agama Islam akan memberikan keuntungan bagi pemerintah sendiri. Permasalahan dekadensi moral anak muda menjadi permasahann besar negara ini. Maka dengan mengoptimalkan Pendidikan Agama Islam, akan dapat menimalisir penyelewengan-penyelewengan di kalangan anak muda. Seperti, minuman keras, berjudi, konsumsi narkoba, pergaulan bebas, dan yang tidak kalah penting adalah korupsi.
Pemerintah sudah memberikan ruang yang sangat besar pada pendidikan karakter, tapi itu hanya sebatas wacana. Karena pendidikan karakter tidak mempunyai landasan yang kuat bagi individu-individu. Sehingga akan sangat sedikit kemungkinan bisa dapat mencegah tindakan-tindakan amoral yang selama ini menjadi isu.
Akan sangat baik jika pemerintah memaksimalkan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi. Karena agama sendiri mempunyai landasan yang kuat untuk membentuk keyakinan dan kepribadian individu. Apalagi materi pendidikan karakter sudah tercakup semua pada Pendidikan Agama Islam, pada konteks akhlak dan etika. Oleh karena itu, tinggal melakukan penekanan pada aspek tertentu saja pada tingkatan pengetahuan mahsiswa sendiri, sebagaimana yang harus dilakukan pada tahap awal.
1.    Rekonstruksi Kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum Pasca pemerintahan Orde Baru
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) memperoleh landasan yang kokoh sejak dikeluarkan Tap. MPRS No. II Tahun 1960 dan UU. Perguruan Tinggi No. 22 Tahun 1961, yang mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di perguruan tinggi negeri. Dengan ketetapan tersebut, eksistensi PAI sebagai sarana pembentukan kepribadian mahasiswa semakin kuat.
Sebagai bagian dari kurikulum inti perguruan tinggi, mata kuliah PAI tentu tidak lepas dari kontrol Pemerintah. Kurikulum PAI, dengan demikian, tidak bisa lepas dari kepentingan politik yang sedang berkembang pada saat mana kurikulum itu diberlakukan. Sehingga, perbedaan orientasi, visi dan misi sebuah rezim pemerintahan, akan berimplikasi pada muatan kurikulum PAI itu sendiri.
Pada masa Orde Baru, PAI di Perguruan Tinggi Umum berorientasi murni pada konsep-konsep dasar ajaran Islam normatif. Domain pembahasannya meliputi tiga pilar utama ajaran Islam, yakniakidah, syariah, dan akhlak. Inilah yang dijabarkan dalam kurikulum PAI di PTU.
Apakah kurikulum yang demikian masih tetap dipertahankan di era Reformasi? Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa hingga tahun 2002 muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum masih meneruskan materi yang telah diterapkan pada masa Orde Baru, meskipun mata kuliah ini telah dimasukkan sebagai salah satu kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Namun, sejak tahun 2002, muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum mengalami perubahan yang cukup drastis.
Pada bagian berikut, akan diuraikan tentang bagaimana perbedaan yang ada antara kurikulum PAI di PTU tahun 2000 dengan kurikulum PAI di PTU tahun 2002.[1]
  1. Perbedaan Paradigma
Kepmen Diknas Nomor: 232/U/2000, menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian hasil Belajar Mahasiswa. SK ini menjadi dasar penyelenggaraan program studi di Perguruan Tinggi yang terdiri atas (a) kurikulum inti, dan (b) kurikulum intruksional. Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi terdiri atas (a) kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK); (b) kelompok Matakulaih Keahlian Berkarya (MKB); Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Mata kuliah Pendidikan Agama termasuk dalam kelompok MPK seperti halnya PPKN.
Seiring dengan itu, dalam rumusan penyempurnaan kurikulum mata kuliah PAI di Perguruan Tinggi Umum, dijelaskan:
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi bertujuan untuk membantu terbinanya mahasiswa yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berfikir filosofis, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas, ikut serta dalam kerjasama antar umat beragama dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi serta seni untuk kepentingan manusia dan nasional (Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000).
Rumusan di atas tampak berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam kurikulum PAI di masa Orde Baru. Sebagaimana dideskripsikan dalam GBPP PAI bahwa mata kuliah PAI bertujuan:
Mengkaji dan memberi pemahaman tetang hakikat manusia yang membutuhkan panduan hidup, baik secara individu maupun sosial dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan memahami dirinya dan alam semesta yang telah diberi aturan oleh Penciptanya, aturan itulah yang disebut ayat kauniyah dan tanziliyah. Ayat tanziliyah inilah yang dirinci pada bahasan akidah, syari’ah, akhlak dan sejarah Islam. Penekanan utama ada pada aplikasi ajaran tersebut pada tingkah laku keseharian, baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah S.A.W (GBPP PAI dalam http://bima.ipb.ac.id).
Dengan kondisi yang demikian, tidak dapat dihindari dominannya pendekatan doktriner dalam proses pembelajaran PAI tersebut. Ajaran agama sebagai sesuatu yang harus diimani, diterima tanpa kritik, dan merupakan barang jadi yang siap pakai.
Paradigma kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2000 tersebut masih merupakan kelanjutan dari paradigma kurikulum Orde Baru. Wilayah keislaman terkesan begitu sempit, seputar rukun iman dan rukun Islam ditambah dengan seperangkat aturan tata krama dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, konsep keagamaan cenderung bersifat statis karena sekedar melanjutkan tradisi teologis dari para ulama terdahulu.
Mungkinkah paradigma yang demikian ini sengaja ditanamkan penguasa pada masa Orde Baru untuk meredam kekuatan oposisi yang bisa lahir dari pemahaman keagamaan yang dinamis. Kecurigaan seperti ini tentu cukup beralasan, mengingat kurikulum merupakan produk dari penguasa, dan bahwa umat Islam dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu kekuatan yang sangat diperhitungkan.
  1. Paradigma Kurikulum PAI di PTU Tahun 2002
Perubahan iklim politik di Indonesia pada masa-masa awal Orde Reformasi, konflik sosial di berbagai daerah, serta lahirnya semacam fobia terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, semua itu berimplikasi terhadap dunia pendidikan, termasuk dalam hal ini kurikulum PAI di PTU.
Oleh karena itu, jika pada konsep penyempurnaan kurikulum PAI tahun 2000 paradigma yang digunakan masih merupakan warisan Orde Baru maka pada kurikulum 2002 paradigmanya sangat berbeda. Mata kuliah PAI di PTU tidak lagi berbicara tentang rukun iman dan rukun Islam belaka (bahkan untuk materi ini porsinya sangat minim), melainkan lebih dominan mengkaji tentang Islam dalam kaitannya dengan isu-isu kontemporer, seperti, hak-hak asasi manusia, demokrasi, hukum, sistem politik, masyarakat madani dan toleransi antar umat beragama.
Dalam Surat Keputusan Dikti Nomor 38 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “Visi Matakuliah Kelompok Pengembagan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantar mahasiswa mengembangkan kepribadiannya (Dikti, 2002: pasal 1).”
Selanjutnya, kompetensi dasar yang ditargetkan adalah menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual (Dikti, 2002: pasal 3). Sedangkan, untuk tujuan PAI di Perguruan Tinggi Umum, adalah:
Mengantarkan mahasiswa sebagai modal (kapital) intelektual melaksanakan proses belajar sepanjang hayat untuk menjadi ilmuwan yang berkepribadian dewasa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kehidupan (Dikti, 2002, pasal 3 ayat 1).
Dalam rumusan di atas, tidak lagi ditemukan term “iman” dan “takwa” sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum sebelumnya. Sehingga jika rumusan tersebut dibaca tanpa melihat judulnya, tentu tidak ada kesan yang mencerminkan bahwa itu merupakan rumusan tujuan mata kuliah PAI.
Namun, dalam materi instruksional PAI yang diterbitkan oleh Dipertais Departemen Agama RI pada tahun 2004 ditegaskan bahwa kompetensi PAI adalah mengantar mahasiswa untuk (1) mengusai ajaran agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber nilai dan pedoman serta landasan berpikir dan berperilaku dalam menerapkan ilmu dan profesi yang dikuasainya; (2) menjadi “intellectual capital” yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia dan berkepribadian Islami.[2]
Paradigma yang mendasari kurikulum PAI tahun 2002 ini adalah paradigma yang melihat agama sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup dalam setiap aspek kehidupan. Agama bukanlah sekedar seperangkat aturan normatif untuk memenuhi kebutuhan spritualitas manusia. Agama adalah sebuah pandangan hidup, dan dengan demikian, agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk cara pandang terhadap realitas kehidupan. Dan karena realitas selalu dalam proses perubahan maka konsep keagamaan haruslah bersifat dinamis dalam merespon kondisi kekinian.
Krisis multidimensi yang melanda Indonesia di era reformasi, menghendaki lahirnya perubahan paradigma dalam berbangsa dan bernegara. Penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, penegakan demokrasi, supremasi hukum, dan pemberdayaan masyarakat sipil, merupakan agenda penting reformasi yang mesti “dibudidayakan” melalui pendidikan.
Di samping itu, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah di tanah air, menuntut peninjauan ulang terhadap cara pandang kita terhadap pluralisme agama, budaya, suku dan etnik. Yang dibutuhkan adalah kesepahaman dalam perbedaan dan bukannya menciptakan keseragaman dalam keragaman sebagaimana yang dilakukan di masa Orde Baru.
Berangkat dari paradigma baru ini, muncullah konsep pendidikan agama yang berwawasan kultural, seperti yang ditawarkan Zakiyuddin Baidhawy dalam bukunya Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Konsep ini menawarkan pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan, dibangun atas semangat kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai persamaan, perbedaaan, keunikan dan independensi.[3] Model pendidikan semacam ini memberikan konstruk baru yang bebas dari prasangka dan stereotipe mengenai agama orang lain, bebas dari bias dan diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, jender, ras, warna kulit, kebudayaan, maupun kelas sosial.
Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan klaim kesesatan atas kelompok-kelompok agama lain, berpotensi meningkatkan sentiment permusuhan antar umat beragama. Penganjur-pengajur dengan pendekatan teologis dogmatis semacam ini dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya, semua mengatasnamakan Tuhan.[4]
Pendekatan multikultural dalam pendidikan agama mendapat dukungan luas dari kalangan akademis, sebagai sebuah pendekatan yang tepat dalam merespon konteks sosial masyarakat Indonesia yang pluralis.
Demikianlah, bila dibandingkan dengan kurikulum tahun 2000, dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma yang sangat tajam pada kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum tahun 2002.
Kepentingan politik, tentu saja memiliki andil dalam hal ini. Penulis beranggapan bahwa pembaruan kurikulum ini, di samping diperuntukkan untuk menyukseskan agenda reformasi dalam hal penegakan HAM, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat sipil, serta memupuk kesadaran akan pluralisme, juga untuk meredam lahirnya kelompok-kelompok radikal yang berbasiskan Islam. Seperti diketahui, isu terorisme yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia, merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian ekstra serius dari pemeritah Indonesia di era reformasi. Bahkan kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia mendapat “pengawasan khusus” dari dunia international.
B.  Perbedaan Materi Kurikulum
1.    Materi PAI di PTU pada Kurikulum Tahun 2000
Pada penyempurnaan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, sesuai dengan Keputusan Dikti Nomor: 263 tahun 2000, materi pembahasannya terdiri dari 9 pokok bahasan dengan beberapa sub bahasan masing-masing, sebagaimana yang terlihat pada tabel 1.
Materi yang disajikan masih terkonsentrasi pada tiga domain utama ajaran Islam, yakni Akidah, syari’at dan akhlak. Tampak jelas adanya pengulangan dari materi Pendidikan Agama Islam pada tingkat dasar dan menengah, sehingga pada dasarnya materi PAI di tingkat perguruan tinggi dapat dianggap sebagai pematangan dari materi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dipelajari sebelumnya pada tingkat SLTA ke bawah. Perbedaan yang tampak hanya pada aspek penghayatan terhadap nilai-nilai (hikmah) yang terkandung dalam ajaran Islam itu, seperti hikmah salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan yang terkait dengan akidah masih berkisar pada persoalan rukun iman.
Meskipun persoalan HAM telah disinggung dalam materi kuruikulum PAI tahun 2000 tersebut, namun tidak dikaji secara mendalam, melainkan sekedar pelengkap dalam materi pembahasan tentang akhlak dan takwa.
Dengan memperhatikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan pada tabel 1 di bawah ini, dapat dipahami bahwa mata kuliah PAI dalam kurikulum tahun 2000 lebih banyak menggunakan pendekatan teologis doktriner.
Tabel 1. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 263 tahun 2000[5]

Pokok Bahasan
Sub Bahasan

Manusia dan Agama


Agama Islam

Sumber Ajaran Islam

Kerangka Dasar Ajaran Islam


Akidah





Syariat, Ibadah dan Muamalah






Akhlak


Takwa




Ilmu Pengetahuan dalam Islam

a. Macam-macam ciptaan Allah
b. Manusia makhluk Allah yang paling sempurna
c. Kebutuhan manusia akan pedoman hidup
a. Macam agama dan kedudukan agama Islam
b. Peranan agama Islam dalam menentramkan batin dan membawa kedamaian
a. Sistematika sumber ajaran Islam
b. Penggunaan akal sebagai sumber ajaran Islam
a. Akidah, syariat dan akhlak
b. Agama Islam dan Ilmu-ilmu keislaman
c. Filsafat, tasawuf dan pembaharuan dalam Islam
a. Arti dan ruang lingkup akidah
b. Kemaha-esaan Allah
c. Kiamat, hukum alam dan akhirat
d. Peranan malaikat dan makhluk gaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia
e. Tugas dan peranan nabi dan rasul
f. Fungsi kitab suci yang dibawa rasul bagi umatnya
g. Pengertian kada dan kadar
a. Pengertian dan ruang lingkup syariat Islam
b. Pengertian, tujuan, kedudukan dan hikmah ibadah dalam Islam
c. Arti salat dan hikmahnya bagi kehidupan
d. Pelaksanaan dan hikmah puasa
e. Pelaksanaan dan hikmah zakat
f. Pelaksanaan dan hikmah haji
g. Muamalah dalam Islam
h. Kewarisan dalam Islam
i. Prinsip kerja sama umat beragama
a. Pengertian dan ruang lingkup akhlak yang menghormati HAM, serta perbedaannya dengan moral dan etika
b. Akhlak terhadap Allah, manusia dan HAM serta lingkungan hidup
a. Pengertian, ruang lingkup dan kedudukan takwa yang menghormati HAM
b. Hubungan manusia dengan Allah
c. Hubungan manusia dengan sesame manusia
d. Hubungan manusia dengan diri sendiri
e. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup
a. Kedudukan akal, wahyu dan ilmu dalam Islam
b. Klasifikasi dan karakteristik ilmu dalam Islam
c. Kewajiban menuntut ilmu
d. Disiplin ilmu dalam Islam
Sumber data: Keputusan Dikti Nomor:263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000
2.    Materi PAI di PTU pada Kurikulum Tahun 2002
Berbeda dengan kurikulum PAI sebelumnya, dalam kurikulum PAI tahun 2002 materi yang disajikan lebih responsif terhadap isu-isu kontemporer yang berkembang di tengah masyarakat, khususnya di era reformasi. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan pokok bahasan dan sub bahasan dalam mata kuliah PAI di PTU sesuai yang diamanahkan dalam Keputusan. Dikti No. 38 tahun 2002, tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, pada pasal 4 dijelaskan tentang dasar substansi kajian mata kuliah Pendidikan agama, meliputi:
1.         Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
·      Keimanan dan ketakwaan
·      Filsafat ketuhanan (teologi)
2.    Manusia
·      Hakekat dan martabat manusia
·      Tanggung jawab manusia
3.    Moral
·      Implementasi iman dan takwa dalam kehidupan sehari-hari
4.    Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
·      Iman, ilmu, amal sebagai kesatuan
·      Kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu
·      Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam dan lingkungan
5.    Kerukunan antar umat beragama
·      Agama merupakan rahmat bagi semua
·      Hakekat kebersamaan dalam pluralitas beragama
6.    Masyarakat
·      Peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera
·      Tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi
7.    Budaya
·      Tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan cara berpikir kritis, bekerja keras dan bersifat fair.
8.    Politik
·      Konstribusi agama dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara
9.    Hukum
·      Menumbuhkan kesadaran untuk taat hokum Tuhan
·      Peran agama dalam perumusan dan penegakan hokum yang adil
·      Fungsi profetik agama dalam hukum (Dikti, 2002).
Dasar substansi pokok bahasan tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam pokok bahasan dalam mata kuliah Pendidikan Agama untuk masing-masing agama, artinya, Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi memiliki topik yang sama pada masing-masing agama, topik itulah yang akan diterjemahkan berdasarkan konsep atau persepsi dari setiap agama.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 Dipertais Depag menerbitkan buku pedoman Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Dalam buku ini terdapat 9 materi pokok yang selanjutnya diuraikan dalam beberapa sub bahasan, sebagaimana yang dipaparkan pada tabel 2 berikut ini:[6]
Tabel 2. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 38 tahun 2002
No
Pokok Bahasan
Sub Bahasan
1.


2.


3.








4.



5.



6.



7.





8.


9.
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan

Hakekat Manusia Menurut Islam

Hukum, HAM dan Demokrasi dalam Islam







Etika, Moral, dan Akhlak



Ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni

Kerukunan antar umat beragama


Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat




Kebudayaan Islam


Sistem Politik Islam

a. Filsafat ketuhanan dalam Islam
b. Keimanan dan ketakwaan
c. Implementasi iman dan takwa dalam kehidupan modern
a. Konsep Manusia
b. Eksisitensi dan martabat manusia
c. Tanggung jawab manusia

a. Hukum Islam merupakan bagian dari Agama
b. Ruang lingkup hukum Islam
c. Tujuan hukum Islam
d. Sumber hukum Islam
e. Konstribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
f. Fungsi hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat
g. HAM menurut ajaran Islam
h. Demokrasi dalam Islam

a. Konsep etika, moral, dan akhlak
b. Hubungan tasawuf dengan akhlak
c. Indicator manusia berakhlak
d. Akhlak dan aktualisasinya dalam kehidupan

a. Konsep ipteks dalam Islam
b. Integrasi, iman, ilmu dan amal
c. Keutamaan orang beriman dan berilmu
d. Tanggung jawab para ilmuwan terhadap alam dan lingkungan

a. Agama Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam
b. Ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah
c. Kebersamaan umat beragama dalam kehidupan sosial

a. Konsep masyarakat madani
b. Peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat madani
c. Sistem ekonomi Islam dan kesejahteraan umat
d. Manajemen zakat
e. Manajemen wakaf

a. Definisi kebudayaan Islam
b. Sejarah intelektual Islam
c. Nilai-nilai Islam dalam budaya Indonesia
d. Masjid sebagai pusat peradaban Islam
a. Pengertian politik Islam
b. Nilai-nilai dasar sistem politik dalam Alquran
c. Ruang lingkup pembahasan siyâsahdusturiyyah
Uraian materi PAI di atas menunjukkan wawasan yang lebih luas sebagai sebuah pandangan hidup yang dinamis dan selalu berdialog dengan konteks sosial. Tidak lagi mengulang-ulang materi pelajaran SLTA ke bawah yang terbatas pada persoalan-persoalan rukun iman dan rukun Islam.
Pendidikan Agama Islam di era sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi[7] dihadapkan kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang nantinya akan berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya memahami budaya yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.
Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.[8]
Berbagai upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan Agama Islam yang berwawasan multikultural.
C.  Standar Proses
1.      Proses pembelajaran dilakukan secara variatif dengan memperhatikan karakteristik tujuan pembelajaran, peserta didik, dan bahan kajiannya. Sebagai implikasinya, maka dalam hal-hal tertentu dapat digunakan pendekatan pembelajaran non-direktif, partisipatif/kolaboratif, inovatif dan kreatif yang banyak melibatkan mahasiswa dalam setiap kajian bahan belajar, dalam hal-hal lainnya digunakan pendekatan ditektif.
2.      Media yang digunakan berupa media cetak dan media elektronik.[9]
D.  Standart Evaluasi
  1. Cara evaluasi yang digunakan terdiri dari portofolio, yang mengintegrasikan empat indikator, yaitu formatif dan sumatif, tugas-tugas terstruktur, catatan perilaku harian, dan laporan aktivitas di dalam kampus atau diluar kampus yang signifikan dengan pencapaian kompetensi lulusan.
  2. Alat evaluasi yang digunakan terdiri dati tes, laporan individual dan laporan kelompok.[10]
E.  Problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
Berdasarkan uraian kedudukan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum di atas, maka ditemukan beberapa problem yang masih menjadi batu sandungan. Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut seefektif mungkin. Beberapa problem tersebut antara lain:
1.    Beban SKS yang minimalis (hanya 2 SKS)
Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa kurang memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan agama. Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi 4 (empat) SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan tinggi umum mampu mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama islam dalam mata kuliah lain. Begitu juga osen untuk mata kuliah pendidikan agama islam. Namun skill ini masih sulit didapat.
2.    Pola Pembelajaran Yang Berkelanjutan
Perlunya menjabarkan pendidikan agama di perguruan tinggi, sebagai kelanjutan dari materi pendidikan agama dari TK sampai dengan SLTA. Apabila pada tingkat TK materi pendidikan agama tekanannya kepada akhlak, tingkat SD kepada ibadah, tingkat SLTP kepada muamalat, tingkat SLTA kepada munakahat, maka pada perguruan tinggi materi pendidikan agama diarahkan kepada pengenalan terhadap perkembangan pemikiran dalam Islam. Penyusunan program seperti ini secara berkelanjutan dapat pula disusun pada mata kuliah agama lain. Namun pola ini lah yang belum muncul, bahkan terkadang kita jumpai ada tenaga pendidik yang menganggap pembelajaran pendidikan agama islam itu ya itu-itu saja dari SD sampai perguruan tinggi. Paradigma tenaga pendidik yang seperti ini menunjukkan betapa PAI cenderung dinilai dari segi simbolis-kuantitatif, dan bukan substansial-kualitatif. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidiknya pun belum mampu menumbuhkan kesinambungan pendidikan itu.
3.    Pola Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau Perguruan Tinggi Umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horizontal lateral (independent), yakni bidang studi (non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non agama) dikonsultasikan dengan nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical linier, mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral (independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen, kemampuan, atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan lateral-sekuensial dan vertical linier.
Dari kutipan diatas dapat dinyatakan bahwa masih banyak perguruan tinggi umum yang menjadikan PAI sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain. Ibarat syair lagu “Kau di sana, dan aku di sini”.[11]
4.    Tenaga Pendidik/dosen Agama Islam.
Faktor inilah yang memegang central core (intinya) pelaksanaan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi. Hal ini menyangkut gezaag di mata mahasiswa. Akan ada persoalan : apakah dosen tersebut harus sarjana agama Islam ataukah sarjana umum yang beragama Islam? Bilamana kedua-duanya dapat dipandang qualified sudah tentu harus mendapat upgrading dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan: sarjana agama di-upgrade dalam pengetahuan umum menurut corak dasar fakultas dimana ia mengajar, sedangkan sarjana umum yang beragama Islam juga harus di-upgrade dalam pengetahuan agama Islam yang secara luas. Kedua-duanya mungkin dapat dipakai dengan persyaratan-persyaratan antara lain punya kepribadian yang dapat jadi suri tauladan mahasiswa serta masyarakat sekitarnya, memahami metode-metode penyajian yang menarik minat mahasiswa, punya sikap sosio-kultural yang baik, dan sebagainya. Selain dari itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi untuk mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya. Misalnya, untuk mengikuti program S-2 dan S-3 merupakan hal yang sangat dianjurkan. Karena dengan demikianlah diharapkan munculnya kemampuan untuk mengembangkan memahami ajaran-ajaran agama secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa kebanggaan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua) SKS, tetapi yang lebih penting lagi semakin meyakini akan keberadaan ajaran agama yang dianutnya. Namun kebijakan ini terkadang ditanggapi sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak dosen yang melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-sarjana yang motivasi belajarnya telah mati, namun masih tergiur dengan iming-iming tahta. Kemudian seiring perkembangan Teknologi Informasi saat ini, maka tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan tinggi umum juga harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke berbagai disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif-nya. Tenaga pendidik PAI adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini kepada peserta didik (mahasiswa).
5.    Perilaku Mahasiswa Yang Menyimpang dari Nilai-Nilai Akademik.
Melalui media cetak atau pun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan berbagai perilaku mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus VCD porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), dan lain-lain. Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan agama ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum. Guru agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum. Peserta didik merasa sudah beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah, namun jauh dari implementasinya. Perlu juga kita cermati, semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama untuk kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang hadir di masyarakat.
6.    Lingkungan Kampus.
Lingkungan perguruan tinggi berada harus juga dijadikan pendidikan yang bersangkutan dalam arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan dalam hubungan ini ialah: apakah dosen dan mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis atau secara autoplastis? Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang langsung berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas perlu diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam kampus, peringatan-peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan sebagainya.
H.M. Ridwan Lubis mengemukakan kekhawatirannya akan fenomena problem tersebut yang nantinya berujung pada kegagalan pendidikan agama di perguruan tinggi. Ini dikhawatirkan akan menimbulkan problem yang serius bagi jalannya pembangunan di masa depan karena dikhawatirkan munculnya ilmuan yang disatu sisi memiliki tingkat keahlian yang tinggi dalam disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi mengalami kekosongan batin yaitu landasan etik, moral dan dari ketinggian profesionalisme itu membawa dampak negatif yaitu tidak diimbanginya penemuan itu dengan kokohnya prinsip-prinsip moral. Padahal tujuan pendidikan itu seseungguhnya adalah memanusiakan manusia.[12]
Kemudian jika dihubungkan dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan Alhaji A.D. Ajijola dalam Restructure of Islamic Education, yaitu “Islamic education is an education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their attitude to life, their actions, decisions and approach to all kinds of knowledge, they are governed by the spiritual and deeply felt ethical values of Islam. They are trained, and mentally disciplined, so that they want to acquire knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or just for material worldly benefit, but to develop as rational, righteous beings and bring about the spiritual, moral and physical welfare of their families, their people, their country and mankind”. Terjemahan bebasnya adalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih kepekaan murid sedemikian rupa dalam menyikapi kehidupan, tindakan mereka, keputusan dan pendekatan untuk semua jenis pengetahuan, mereka dibangun secara spiritual dan sangat merasakan nilai-nilai etika Islam. Mereka dilatih, secara mental disiplin, sehingga mereka ingin memperoleh pengetahuan bukan hanya untuk memuaskan keingintahuan intelektual atau hanya untuk keuntungan materi duniawi, melainkan untuk berkembang secara rasional, makhluk sebenarnya dan bermental spiritual, moral dan sumber kesejahteraan bagi keluarga mereka, masyarakat disekitar mereka, negara mereka dan umat manusia.[13]
Berdasarkan kutipan tujuan pendidikan Islam di atas, maka dapat dinyatakan betapa pentingnya solusi guna menyelesaikan beberapa problem tersebut. Karena problem-problem tersebut jika dibiarkan bisa ber-transformasi menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
F.   Model Pengembangan Kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I Malang
1.      Model pengembangan Kurikulum PAI di Universitas Brawijaya Malang
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata kuliah wajib dalam kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian atau MPK. Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya ini dilaksanakan sebagai mata kuliah paket oleh masing-masing fakultas yang dilaksanakan di semester 1 dan semestaer 2 yang mana tergantung kebijakan fakultas masing-masing. Pelaksanaan PAI di universitas Brawijaya ini berbobot 3 sks. Hal ini sesuai ddengna ketentuan dari pemerintah bahwa mata kuliah agama dan etika islam atau dalam hal ini pendidikan agama islam diperguruan tinggi umum mencakup maksimum 4 (empat) sks dari total 144-160 sks pada program sarjana, dengan lama studi 4 (empat) tahun.
 Untuk mancapai tujuan pendidikan nasional, universitas Barwijaya dalam perkuliahan pendidikan Agma Islam ini tetap berpijak pada kurikulum nasional. Selanjutnya diadakan pengembangan-pengembangan terhadap kurikulum PAI dalam prakteknya.
 Pengembangan kurikulum pada Hakikatnya merupakan pengembangan komponen-komponen kurikulum yang membentuk kurikulum itu sendiri. Komponen-komponen kurikulum tersebut harus dikembangkan, agar tujuanpendidikan dapat dicapai sebagaimana mestinya.
Pengembangan kurikulum diperguruan tinggi dilakukan oleg beberapa pihak antara lain lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan pelatihan atau diklat, para ahli dalam bidangn ilmu, komponen-komponen terkaitsecara organisatoris kelompok pengajar atau pelatih (dasar, inti, penunjang, metodologi, kediklatan), yang ahli dan berpengalaman, orang luar (yang dianggap perlu), nara sumber, dan tenaga lapangan dan guru yang berpengalaman luas.
 Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh universitas Brawijaya ini terdapaat dua pihak sebagai pengembang kurikulum yaitu pusat pembinaan agama (PPA) dan para dosen pendidikan Agama Islam.pusat Pembinaan Agama sebagai lembaga yang mengelola mata kuliah PAI dan menaungi para dosen pendidikan agama islam. Melalui PPA lahpara dosen mengembangan kurikulum PAI.
  Model pengembangan kurikulum PAI di universitas Brawijaya ini bersifat top dow dan bottom up. Dikatakan termasuk model pengembang kurikulum yang bersifa top down karena pengembangn kurikulum PAI tersebut tetap terpacu pada kebijakan Dikti mengenikti tersebut berubah atau rambu-rambunya. Ketika kurikulum dari Dikti tersebut berubah atau mengalami pengembangan, maka para pengembang kurikulum pihak bawah juga mengikutinya begitu pula di universitas Brawijaya Malang.
 Pengembangan kurikulm yang bersifat Bottop up merupakan pengembangan yang dilakukan oleh para dosen ditingkat Universitas Brawijaya. Rambu-rambu atau silabus yang berasal dari dikti tersebut selanjurnya diserahkan kepada dosen pendidikan Agama Islam untuk pengembangannya karena sebenarnya yang memegang peranan dalam pengembangan kurikulum adalahdosen sebagai perencana dan pelaksana di dalam kelas.
  Model pengembangan kurikulum PAI di universitas Brawijaya Malang jika dilihat dalam lingkup universitas, maka termasuk model grass roots karena inisiatis dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi berasaldari bawah, yaitu para dosen. Dan pengembangan kurikulum tersebut hanya satu bidang studi dalam hal iniyaitu mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Terdapat beberapa langkah dalam mengembangkan kurikulum model grass roots menurut Taba. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:
a. Diagnosis kebutuhan
b. Perumusan tujuan
c. Pemilihan isi
d. Organisasi konten
e. Pemilihan pengalaman belajar
f. Organisasi kegiatan belajar
g. Evaluasi dan sarana evaluasi.
Langkah Pengembangan Kurikulum Model Grass Roots
Komponen kurikulum yang berkaitan
1.    Diagnosis kebutuhan                                    : Materi kurikulum
2.    Perumusan tujuan                             : Tujuan kurikulum
3.    Pemilihan isi                                      : Materi kurikulum
4.    Organisasi konten                             : Organisasi kurikulum
5.    Pemilihan pengalaman belajar           : Metode
6.    Organisasi kegiatan belajar               : Organisasi kurikulum
7.    Evaluasi dan sarana evaluasi : evaluasi
      Pengembangan kurikulm PAI yang dilakukan universitas Brawijaya yang dalam hal ini dikelola oleh PPA biasanya dilakukan dalam waktu 2 tahun sekali. Materi yang disampaikan tidak hanya berada di dalam kelas, tetapi dikemvbangkan diluar perkuliahan melakui forum tutorial dan mentoring.
      Tutorial merupakan forum diskusi untuk membahas permasalahan-permasalahan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat. Sedangkan untuk mentoring materinya adalah Al-Qur’an. Mahasiswa universitas Brawijaya yang tidak membaca al-Qur’an, maka melalui mentoring ini bisa mengajari mereka mambaca al-Qur’an. Sedangkan bagi yang sudah bisa membaca al-quran, maka yang dibahas adalah kandungan al-Qur’an. Forum mentoring ini dikelola oleh mahasiswa.
      Pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh para dosen PAI ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada bahan pelajaran dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan pengajaran.
Ø Faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya Malang
 Dalam suatu pengembangan kurikulum terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat dalam pelaksanaannya. Faktor-faktor tersebut tidak terlepas dari komponen dari kurikulum itu sendiri.
      Dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama islam di Universitas Brawijaya Malang yang menjadi faktor pendukungnya adalah adanya perhatian yang bagus dari pimpinan dalam hal ini yaitu rektor dari Universitas Brawijaya Malang terhadap para dosen Pendidikan Agama Islam. Selain itu lengkapnya sarana dan prasarana atau fasilitas yang ada di Universitas Brawijaya menjadi faktor pendukung yang penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam.
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada pendidik. Pendidik kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu di sebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kurang sesuaian pendapat, baik antara sesama pendidik maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan pendidik sendiri.
Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat. Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah masalah biaya.
Hambatan-hambatan tersebut tidak terjadi dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di Universitas Brawijaya Malang. Yang menjadi penghambat dalam pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam adalah keterbatasan jumlah dosen Pendidikan Agama Islam.
Jumlah dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya yang terbatas menjadi kendala dalam pengembangan kurikulum. Ketika jumlah dosen tersebut sedikit, maka ide-ide yang cemerlang dalam mengembangkan suatu kurikulum akan sedikit pula.
  Selain karena keterbatasan jumlah dosen Pendidikan Agama Islam dan Jam pembelajaran, yang menjadi penghambat dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya adalah kurangnya partisipasi dari mahasiswa. Hal ini dikarenakan adanya mahasiswa yang menganggap bahwa belajar pelajaran agama itu nomor dua sehingga komitmen serta semangat belajar agama pun kurang. Ketika kurang adanya partisipasi dari mahasiswa, maka pengembangan-pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh para dosen tidak akan maksimal karena hanya berjalan satu arah tanpa adanya timbal balik dari para mahasiswa.
2.    Model pengembangan Kurikulum PAI di LP3I Malang
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Kurikulum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Para praktisi pendidikan harus mampu menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat peserta didik, tak terkecuali Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I).
Pendidikan Agama Islam yang merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian mahasiswa harus dikembangkan dengan baik agar tujuan dari adanya mata kuliah Pendidikan Agama tersebut tercapai.
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) merupakan kampus menyiapkan konsep pendidikan selain memberikan hard skill tetapi soft skill menjadi perhatian khusus di kampus LP3I Malang dengan mengimplementasikannya. Kampus yang didirikan pada tahun 1989 cukup mengedepankan aspek Agama dalam kehidupan ini, seperti adanya pelajaran-pelajaran khusus Islam yang dimasukan sebagai SKS. Mata kuliah pendidikan agama Islam di LP3I dilaksanakan dua periode yaitu pada semester pertama dan semester tiga dengan bobot dua sks.
Kurikulum pendidikan agama Islam di kampus LP3I mentoring yang langsung diaplikasikan yaitu dengan melakukan shalat dhuha berjamaah sebelum pemulai perkuliahan agar mahasiswa terbiasa untuk melakukannya meskipun ketika sudah terjun kedunia kerja nanti.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.    Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma pada kurikulum PAI di perguruan tinggi umum pasca pemerintahan Orde Baru, khususnya pada kurikulum PAI tahun 2002. Paradigma yang dikembangkan melihat Islam sebagai sebuah cara pandang yang bersifat dinamis dan responsif terhadap kekinian.
2.    Pergeseran paradigma ini berimplikasi pada perubahan materi pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum yang tidak lagi mengulang-ulang materi yang ada pada tingkat dasar dan menengah, melainkan lebih akomodatif terhadap isu-isu kontemporer seperti HAM, demokrasi, pluralisme dan masyarakat madani.
3.    Materi PAI dalam kurikulum tahun 2002 cukup relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia di era reformasi ini, di samping juga sejalan dengan kebutuhan peserta didik pada tingkat perguruan tinggi yang memerlukan wawasan keislaman yang lebih luas dan dinamis.
4.    Model pengembangan kurikulum PAI di universitas Brawijaya ini bersifat top dow dan bottom up. Kurikulum pendidikan agama Islam di kampus LP3I mentoring yang langsung diaplikasikan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, 1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter.
Alhaji A.D. Ajijola, 1999. Restructure of Islamic Education. Delhi: Adam publisher & Distributors.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga.
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI. 2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Keputusan Dikti Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000.
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor: 38/DIKTI/KEP/2002 Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Lubis, M.Ridwan, 2000. Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan Masyarakat. Medan: Media Persada.
Mubarak, Zaki. 2008. Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
Muhaimin, 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo.
Salinan UU No. 4 Tahun 1950 Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
Salinan UU No. 22 Tahun 1961 Tentang Perguruan Tinggi
Salinan UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas
Salinan PP No. 30 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Tinggi
Salinan SK Mendiknas No.23/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa Salinan UU No.23 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.


[1]. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm. 21.
[2]. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI,. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 2004), hlm.7
[3]. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 48.
[4]. Mubarak, Zaki. 2008. Geneologi Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi.Jakarta: LP3ES. Hlm. 77.
[5]. Keputusan Dikti Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000
[6]. Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor: 38/DIKTI/KEP/2002 Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
[7]. al-Faruqi, 1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5, No. 1, Winter. Hlm. 45
[8]. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2009, hlm. 78.
[9]. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm. 300-301
[10]. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm 301
[11]. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2007, hlm 23.
[12]. M.Ridwan Lubis, Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan Masyarakat (Medan: Media Persada, 2000), hlm. 43
[13]. Alhaji A.D. Ajijola, Restructure of Islamic Education (Delhi: Adam publisher & Distributors, 1999), hlm. 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar