BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
Agama Islam (PAI) pada Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan posisi yang amat
strategis bagi masa depan bangsa karena dari PTU lah diharapkan akan muncul
ahli-ahli ilmu pengetahuan umum (teknik, kedokteran, pertanian, kimia, dsb.)
yang akan menduduki posisi-posisi penting di masa depan, baik di pemerintahan
maupun di sektor swasta. Sementara itu, missi PAI di PTU
adalah untuk memberikan keseimbangan mental, imtak dan akhlaq mulia pada
penguasaan iptek para mahasiswa PTU. Keberhasilan PAI pada PTU
diharapkan akan
menghasilkan sarjana-sarjana iptek yang, di samping ahli di bidang keilmuannya,
juga memiliki pemahaman, penghayatan dan pengaamalan agama yang mantap.
Dengan kata lain, mereka akan
menjadi ahli ilmu yang saleh. Sebaliknya, kekurangberhasilan PAI pada PTU
dikhawatirkan akan menghasilkan sarjana-sarjana iptek yang hanya ahli di bidang
keilmuannya tanpa disertai pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama yang
mantap, atau sarjana iptek yang mempunyai kepribadian ganda (split personality)
karena mereka tidak mampu mengintegrasikan penguasaan bidang ilmunya dengan
pemahaman ajaran agamanya.
Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI
di PTU, menjadi tak terbina sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan.
Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah tidak memberi dampak
apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi). Keberhasilan PAI di
PTU sepenuhnya tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang
bekerja di PTU itu sendiri. Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi
tinggi mungkin akan mampu menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi
pengaruh mendalam pada diri mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang
kurang kreatif mungkin akan menghasilkan program PAI yang ‘seadanya’, yang
hanya memenuhi kewajiban formal saja.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum
dan materi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi umum?
2.
Bagaimana
standart proses dan standart evaluasi dalam pembelajaran PAI di PTU dan problem
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum?
3.
Bagaimana
pengembangan kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui kebijakan pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di Perguruan
tinggi umum dan materi kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan tinggi
umum.
2.
Untuk
mengetahui standart proses dan standart evaluasi dalam pembelajaran PAI di PTU,
dan problem Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum?
3.
Untuk
mengetahui pengembangan kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kebijakan
pemerintah berkaitan Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi umum.
Yang tidak
kalah penting adalah kebijakan pemerintah akan mata kuliah Pendidikan Agama Islam sendiri. Karena kalau berlandaskan item-item
pancasila, maka memberikan prioritas pada mata kuliah pendidikan agama Islam
akan memberikan keuntungan bagi pemerintah sendiri. Permasalahan dekadensi moral anak
muda menjadi permasahann besar negara ini. Maka dengan mengoptimalkan
Pendidikan Agama Islam, akan
dapat menimalisir penyelewengan-penyelewengan di kalangan anak muda. Seperti,
minuman keras, berjudi, konsumsi narkoba, pergaulan bebas, dan yang tidak kalah
penting adalah korupsi.
Pemerintah sudah
memberikan ruang yang sangat besar pada pendidikan karakter, tapi itu hanya
sebatas wacana. Karena pendidikan karakter tidak mempunyai landasan yang kuat bagi
individu-individu. Sehingga akan
sangat sedikit kemungkinan bisa dapat mencegah tindakan-tindakan amoral yang
selama ini menjadi isu.
Akan
sangat baik jika pemerintah memaksimalkan Pendidikan Agama Islam di perguruan
tinggi. Karena agama sendiri mempunyai landasan yang kuat untuk membentuk
keyakinan dan kepribadian individu. Apalagi materi pendidikan karakter sudah tercakup semua pada Pendidikan
Agama Islam, pada konteks akhlak dan etika. Oleh karena itu, tinggal melakukan
penekanan pada aspek tertentu saja pada tingkatan pengetahuan mahsiswa sendiri,
sebagaimana yang harus dilakukan pada tahap awal.
1.
Rekonstruksi
Kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum Pasca pemerintahan Orde Baru
Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) memperoleh landasan
yang kokoh sejak dikeluarkan Tap. MPRS No. II Tahun 1960 dan UU. Perguruan
Tinggi No. 22 Tahun 1961, yang mewajibkan pengajaran mata kuliah agama di
perguruan tinggi negeri. Dengan ketetapan tersebut, eksistensi PAI sebagai
sarana pembentukan kepribadian mahasiswa semakin kuat.
Sebagai
bagian dari kurikulum inti perguruan tinggi, mata kuliah PAI tentu tidak lepas
dari kontrol Pemerintah. Kurikulum PAI, dengan demikian, tidak bisa lepas dari
kepentingan politik yang sedang berkembang pada saat mana kurikulum itu diberlakukan.
Sehingga, perbedaan orientasi, visi dan misi sebuah rezim pemerintahan, akan
berimplikasi pada muatan kurikulum PAI itu sendiri.
Pada masa
Orde Baru, PAI di Perguruan Tinggi Umum berorientasi murni pada konsep-konsep
dasar ajaran Islam normatif. Domain pembahasannya meliputi tiga pilar utama
ajaran Islam, yakniakidah, syariah, dan akhlak. Inilah yang dijabarkan dalam
kurikulum PAI di PTU.
Apakah
kurikulum yang demikian masih tetap dipertahankan di era Reformasi? Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa hingga tahun 2002 muatan kurikulum PAI di
Perguruan Tinggi Umum masih meneruskan materi yang telah diterapkan pada masa
Orde Baru, meskipun mata kuliah ini telah dimasukkan sebagai salah satu
kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Namun, sejak tahun 2002,
muatan kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Umum mengalami perubahan yang cukup
drastis.
Pada
bagian berikut, akan diuraikan tentang bagaimana perbedaan yang ada antara
kurikulum PAI di PTU tahun 2000 dengan kurikulum PAI di PTU tahun 2002.[1]
- Perbedaan Paradigma
Kepmen
Diknas Nomor: 232/U/2000, menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian hasil Belajar Mahasiswa. SK ini menjadi dasar
penyelenggaraan program studi di Perguruan Tinggi yang terdiri atas (a) kurikulum
inti, dan (b) kurikulum intruksional. Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi terdiri
atas (a) kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK); (b) kelompok
Matakulaih Keahlian Berkarya (MKB); Kelompok Matakuliah Berkehidupan
Bermasyarakat (MBB). Mata kuliah Pendidikan Agama termasuk dalam kelompok MPK
seperti halnya PPKN.
Seiring
dengan itu, dalam rumusan penyempurnaan kurikulum mata kuliah PAI di Perguruan
Tinggi Umum, dijelaskan:
Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi bertujuan untuk membantu terbinanya mahasiswa yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berfikir filosofis, bersikap
rasional dan dinamis, berpandangan luas, ikut serta dalam kerjasama antar umat
beragama dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi
serta seni untuk kepentingan manusia dan nasional (Nomor: 263/DIKTI/KEP/2000).
Rumusan di
atas tampak berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam kurikulum PAI di masa
Orde Baru. Sebagaimana dideskripsikan dalam GBPP PAI bahwa mata kuliah PAI bertujuan:
Mengkaji dan memberi pemahaman
tetang hakikat manusia yang membutuhkan panduan hidup, baik secara individu
maupun sosial dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan
memahami dirinya dan alam semesta yang telah diberi aturan oleh Penciptanya,
aturan itulah yang disebut ayat kauniyah dan tanziliyah. Ayat tanziliyah inilah
yang dirinci pada bahasan akidah, syari’ah, akhlak dan sejarah Islam. Penekanan
utama ada pada aplikasi ajaran tersebut pada tingkah laku keseharian,
baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah S.A.W (GBPP PAI
dalam http://bima.ipb.ac.id).
Dengan
kondisi yang demikian, tidak dapat dihindari dominannya pendekatan doktriner
dalam proses pembelajaran PAI tersebut. Ajaran agama sebagai sesuatu yang harus
diimani, diterima tanpa kritik, dan merupakan barang jadi yang siap pakai.
Paradigma
kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2000 tersebut masih merupakan kelanjutan
dari paradigma kurikulum Orde Baru. Wilayah keislaman terkesan begitu sempit,
seputar rukun iman dan rukun Islam ditambah dengan seperangkat aturan tata
krama dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, konsep keagamaan cenderung
bersifat statis karena sekedar melanjutkan tradisi teologis dari para ulama
terdahulu.
Mungkinkah
paradigma yang demikian ini sengaja ditanamkan penguasa pada masa Orde Baru
untuk meredam kekuatan oposisi yang bisa lahir dari pemahaman keagamaan yang
dinamis. Kecurigaan seperti ini tentu cukup beralasan, mengingat kurikulum
merupakan produk dari penguasa, dan bahwa umat Islam dalam sejarah Indonesia
merupakan salah satu kekuatan yang sangat diperhitungkan.
- Paradigma Kurikulum PAI di PTU Tahun 2002
Perubahan
iklim politik di Indonesia pada masa-masa awal Orde Reformasi, konflik sosial
di berbagai daerah, serta lahirnya semacam fobia terhadap segala hal yang
berhubungan dengan Orde Baru, semua itu berimplikasi terhadap dunia pendidikan,
termasuk dalam hal ini kurikulum PAI di PTU.
Oleh
karena itu, jika pada konsep penyempurnaan kurikulum PAI tahun
2000 paradigma yang digunakan masih merupakan warisan Orde Baru maka pada
kurikulum 2002 paradigmanya sangat berbeda. Mata kuliah PAI di PTU tidak lagi
berbicara tentang rukun iman dan rukun Islam belaka (bahkan untuk materi ini
porsinya sangat minim), melainkan lebih dominan mengkaji tentang Islam dalam
kaitannya dengan isu-isu kontemporer, seperti, hak-hak asasi manusia,
demokrasi, hukum, sistem politik, masyarakat madani dan toleransi antar umat
beragama.
Dalam
Surat Keputusan Dikti Nomor 38 Tahun 2002 dinyatakan bahwa: “Visi Matakuliah
Kelompok Pengembagan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi menjadi sumber nilai
dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantar mahasiswa
mengembangkan kepribadiannya (Dikti, 2002: pasal 1).”
Selanjutnya,
kompetensi dasar yang ditargetkan adalah menguasai kemampuan berpikir, bersikap
rasional dan dinamis, berpandangan luas sebagai manusia intelektual (Dikti,
2002: pasal 3). Sedangkan, untuk tujuan PAI di Perguruan Tinggi Umum, adalah:
Mengantarkan mahasiswa sebagai modal
(kapital) intelektual melaksanakan proses belajar sepanjang hayat untuk menjadi
ilmuwan yang berkepribadian dewasa yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan
kehidupan (Dikti, 2002, pasal 3 ayat 1).
Dalam
rumusan di atas, tidak lagi ditemukan term “iman” dan “takwa” sebagaimana yang
ditekankan pada kurikulum sebelumnya. Sehingga jika rumusan tersebut dibaca
tanpa melihat judulnya, tentu tidak ada kesan yang mencerminkan bahwa itu
merupakan rumusan tujuan mata kuliah PAI.
Namun,
dalam materi instruksional PAI yang diterbitkan oleh Dipertais Departemen Agama
RI pada tahun 2004 ditegaskan bahwa kompetensi PAI adalah mengantar mahasiswa
untuk (1) mengusai ajaran agama Islam dan mampu menjadikannya sebagai sumber
nilai dan pedoman serta landasan berpikir dan berperilaku dalam menerapkan ilmu
dan profesi yang dikuasainya; (2) menjadi “intellectual capital” yang beriman
dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia dan berkepribadian Islami.[2]
Paradigma
yang mendasari kurikulum PAI tahun 2002 ini adalah paradigma yang melihat agama
sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup dalam setiap aspek kehidupan. Agama
bukanlah sekedar seperangkat aturan normatif untuk memenuhi kebutuhan
spritualitas manusia. Agama adalah sebuah pandangan hidup, dan dengan demikian,
agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk cara pandang terhadap
realitas kehidupan. Dan karena realitas selalu dalam proses perubahan maka
konsep keagamaan haruslah bersifat dinamis dalam merespon kondisi kekinian.
Krisis
multidimensi yang melanda Indonesia di era reformasi, menghendaki lahirnya
perubahan paradigma dalam berbangsa dan bernegara. Penghargaan terhadap hak-hak
asasi manusia, penegakan demokrasi, supremasi hukum, dan pemberdayaan
masyarakat sipil, merupakan agenda penting reformasi yang mesti “dibudidayakan”
melalui pendidikan.
Di samping
itu, konflik sosial yang terjadi di berbagai daerah di tanah air, menuntut
peninjauan ulang terhadap cara pandang kita terhadap pluralisme agama, budaya,
suku dan etnik. Yang dibutuhkan adalah kesepahaman dalam perbedaan dan bukannya
menciptakan keseragaman dalam keragaman sebagaimana yang dilakukan di masa Orde
Baru.
Berangkat
dari paradigma baru ini, muncullah konsep pendidikan agama yang berwawasan
kultural, seperti yang ditawarkan Zakiyuddin Baidhawy dalam bukunya Pendidikan
Agama Berwawasan Multikultural. Konsep ini menawarkan pendekatan dialogis untuk
menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan, dibangun atas
semangat kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami,
menghargai persamaan, perbedaaan, keunikan dan independensi.[3] Model
pendidikan semacam ini memberikan konstruk baru yang bebas dari prasangka
dan stereotipe mengenai agama orang lain, bebas dari bias dan
diskriminasi atas nama apapun, baik itu agama, jender, ras, warna kulit,
kebudayaan, maupun kelas sosial.
Lebih
lanjut beliau menegaskan bahwa klaim berlebihan tentang kebenaran absolut
kelompok keagamaan sendiri, dan klaim kesesatan atas kelompok-kelompok agama
lain, berpotensi meningkatkan sentiment permusuhan antar umat beragama.
Penganjur-pengajur dengan pendekatan teologis dogmatis semacam ini dapat dengan
mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan
anehnya, semua mengatasnamakan Tuhan.[4]
Pendekatan
multikultural dalam pendidikan agama mendapat dukungan luas dari kalangan
akademis, sebagai sebuah pendekatan yang tepat dalam merespon konteks sosial
masyarakat Indonesia yang pluralis.
Demikianlah,
bila dibandingkan dengan kurikulum tahun 2000, dapat dilihat bahwa telah
terjadi pergeseran paradigma yang sangat tajam pada kurikulum PAI di Perguruan
Tinggi Umum tahun 2002.
Kepentingan
politik, tentu saja memiliki andil dalam hal ini. Penulis beranggapan bahwa
pembaruan kurikulum ini, di samping diperuntukkan untuk menyukseskan agenda
reformasi dalam hal penegakan HAM, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat
sipil, serta memupuk kesadaran akan pluralisme, juga untuk meredam lahirnya
kelompok-kelompok radikal yang berbasiskan Islam. Seperti diketahui, isu
terorisme yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam “radikal” di Indonesia,
merupakan salah satu masalah yang mendapat perhatian ekstra serius dari
pemeritah Indonesia di era reformasi. Bahkan kelompok-kelompok Islam “radikal”
di Indonesia mendapat “pengawasan khusus” dari dunia international.
B. Perbedaan Materi Kurikulum
1.
Materi
PAI di PTU pada Kurikulum Tahun 2000
Pada
penyempurnaan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, sesuai
dengan Keputusan Dikti Nomor: 263
tahun 2000, materi pembahasannya terdiri dari 9 pokok bahasan dengan beberapa
sub bahasan masing-masing, sebagaimana yang terlihat pada tabel 1.
Materi
yang disajikan masih terkonsentrasi pada tiga domain utama ajaran Islam, yakni
Akidah, syari’at dan akhlak. Tampak jelas adanya pengulangan dari materi
Pendidikan Agama Islam pada tingkat dasar dan menengah, sehingga pada dasarnya
materi PAI di tingkat perguruan tinggi dapat dianggap sebagai pematangan dari
materi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang telah dipelajari sebelumnya
pada tingkat SLTA ke bawah. Perbedaan yang tampak hanya pada aspek penghayatan
terhadap nilai-nilai (hikmah) yang terkandung dalam ajaran Islam itu, seperti
hikmah salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan yang terkait dengan akidah
masih berkisar pada persoalan rukun iman.
Meskipun
persoalan HAM telah disinggung dalam materi kuruikulum PAI tahun 2000 tersebut,
namun tidak dikaji secara mendalam, melainkan sekedar pelengkap dalam materi
pembahasan tentang akhlak dan takwa.
Dengan
memperhatikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan pada tabel 1 di bawah ini,
dapat dipahami bahwa mata kuliah PAI dalam kurikulum tahun 2000 lebih banyak
menggunakan pendekatan teologis doktriner.
Tabel 1. Materi Pokok Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 263 tahun 2000[5]
Pokok Bahasan
|
Sub Bahasan
|
|
Manusia dan Agama
Agama Islam
Sumber Ajaran Islam
Kerangka Dasar Ajaran Islam
Akidah
Syariat, Ibadah dan Muamalah
Akhlak
Takwa
Ilmu Pengetahuan dalam Islam
|
a. Macam-macam ciptaan
Allah
b. Manusia makhluk
Allah yang paling sempurna
c. Kebutuhan manusia
akan pedoman hidup
a. Macam agama dan
kedudukan agama Islam
b. Peranan agama Islam
dalam menentramkan batin dan membawa kedamaian
a. Sistematika sumber
ajaran Islam
b. Penggunaan akal
sebagai sumber ajaran Islam
a. Akidah, syariat dan
akhlak
b. Agama Islam dan
Ilmu-ilmu keislaman
c. Filsafat, tasawuf
dan pembaharuan dalam Islam
a. Arti dan ruang
lingkup akidah
b. Kemaha-esaan Allah
c. Kiamat, hukum alam
dan akhirat
d. Peranan malaikat
dan makhluk gaib lainnya serta pengaruhnya terhadap manusia
e. Tugas dan peranan
nabi dan rasul
f. Fungsi kitab suci
yang dibawa rasul bagi umatnya
g. Pengertian kada dan kadar
a. Pengertian dan
ruang lingkup syariat Islam
b. Pengertian, tujuan,
kedudukan dan hikmah ibadah dalam Islam
c. Arti salat dan
hikmahnya bagi kehidupan
d. Pelaksanaan dan
hikmah puasa
e. Pelaksanaan dan
hikmah zakat
f. Pelaksanaan dan
hikmah haji
g. Muamalah dalam
Islam
h. Kewarisan dalam
Islam
i. Prinsip kerja sama
umat beragama
a. Pengertian dan
ruang lingkup akhlak yang menghormati HAM, serta perbedaannya dengan moral
dan etika
b. Akhlak terhadap
Allah, manusia dan HAM serta lingkungan hidup
a. Pengertian, ruang
lingkup dan kedudukan takwa yang menghormati HAM
b. Hubungan manusia
dengan Allah
c. Hubungan manusia
dengan sesame manusia
d. Hubungan manusia
dengan diri sendiri
e. Hubungan manusia
dengan lingkungan hidup
a. Kedudukan akal,
wahyu dan ilmu dalam Islam
b. Klasifikasi dan
karakteristik ilmu dalam Islam
c. Kewajiban menuntut
ilmu
d. Disiplin ilmu dalam
Islam
|
Sumber
data: Keputusan Dikti
Nomor:263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
Depdiknas, 2000
2.
Materi PAI di PTU pada Kurikulum Tahun 2002
Berbeda dengan kurikulum PAI sebelumnya, dalam kurikulum PAI tahun 2002
materi yang disajikan lebih responsif terhadap isu-isu kontemporer yang
berkembang di tengah masyarakat, khususnya di era reformasi. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini dipaparkan pokok bahasan dan sub bahasan dalam mata
kuliah PAI di PTU sesuai yang diamanahkan dalam Keputusan. Dikti No. 38 tahun 2002,
tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian
di Perguruan Tinggi, pada pasal 4
dijelaskan tentang dasar substansi kajian mata kuliah Pendidikan agama,
meliputi:
1.
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
·
Keimanan dan ketakwaan
·
Filsafat ketuhanan (teologi)
2.
Manusia
·
Hakekat dan martabat manusia
·
Tanggung jawab manusia
3.
Moral
·
Implementasi iman dan takwa dalam kehidupan
sehari-hari
4.
Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
·
Iman, ilmu, amal sebagai kesatuan
·
Kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu
·
Tanggung jawab ilmuwan terhadap alam dan
lingkungan
5.
Kerukunan antar umat beragama
·
Agama merupakan rahmat bagi semua
·
Hakekat kebersamaan dalam pluralitas beragama
6.
Masyarakat
·
Peran umat beragama dalam mewujudkan masyarakat
madani yang sejahtera
·
Tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan
hak-hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi
7.
Budaya
·
Tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan cara berpikir kritis, bekerja keras dan
bersifat fair.
8.
Politik
·
Konstribusi agama dalam kehidupan politik
berbangsa dan bernegara
9.
Hukum
·
Menumbuhkan kesadaran untuk taat hokum Tuhan
·
Peran agama dalam perumusan dan penegakan hokum
yang adil
·
Fungsi profetik agama dalam hukum (Dikti, 2002).
Dasar substansi pokok bahasan tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam
pokok bahasan dalam mata kuliah Pendidikan Agama untuk masing-masing agama,
artinya, Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi memiliki topik yang sama pada
masing-masing agama, topik itulah yang akan diterjemahkan berdasarkan konsep
atau persepsi dari setiap agama.
Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 Dipertais Depag
menerbitkan buku pedoman Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Dalam buku ini terdapat 9 materi pokok yang
selanjutnya diuraikan dalam beberapa sub bahasan, sebagaimana yang dipaparkan
pada tabel 2 berikut ini:[6]
Tabel 2. Materi Pokok
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Berdasarkan SK. Dikti No. 38
tahun 2002
No
|
Pokok Bahasan
|
Sub Bahasan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
|
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
Hakekat Manusia Menurut Islam
Hukum, HAM dan Demokrasi dalam Islam
Etika, Moral, dan Akhlak
Ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni
Kerukunan antar umat beragama
Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat
Kebudayaan Islam
Sistem Politik Islam
|
a. Filsafat ketuhanan
dalam Islam
b. Keimanan dan
ketakwaan
c. Implementasi iman
dan takwa dalam kehidupan modern
a. Konsep Manusia
b. Eksisitensi dan
martabat manusia
c. Tanggung jawab
manusia
a. Hukum Islam
merupakan bagian dari Agama
b. Ruang lingkup hukum
Islam
c. Tujuan hukum Islam
d. Sumber hukum Islam
e. Konstribusi umat
Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia
f. Fungsi hukum Islam
dalam kehidupan bermasyarakat
g. HAM menurut ajaran
Islam
h. Demokrasi dalam
Islam
a. Konsep etika,
moral, dan akhlak
b. Hubungan tasawuf
dengan akhlak
c. Indicator manusia
berakhlak
d. Akhlak dan
aktualisasinya dalam kehidupan
a. Konsep ipteks dalam
Islam
b. Integrasi, iman,
ilmu dan amal
c. Keutamaan orang
beriman dan berilmu
d. Tanggung jawab para
ilmuwan terhadap alam dan lingkungan
a. Agama Islam
merupakan rahmat bagi seluruh alam
b. Ukhuwah islamiyah
dan ukhuwah insaniyah
c. Kebersamaan umat
beragama dalam kehidupan sosial
a. Konsep masyarakat
madani
b. Peran umat Islam
dalam mewujudkan masyarakat madani
c. Sistem ekonomi
Islam dan kesejahteraan umat
d. Manajemen zakat
e. Manajemen wakaf
a. Definisi kebudayaan
Islam
b. Sejarah intelektual
Islam
c. Nilai-nilai Islam
dalam budaya Indonesia
d. Masjid sebagai
pusat peradaban Islam
a. Pengertian politik
Islam
b. Nilai-nilai dasar
sistem politik dalam Alquran
c. Ruang lingkup pembahasan siyâsahdusturiyyah
|
Uraian
materi PAI di atas menunjukkan wawasan yang lebih luas sebagai sebuah pandangan
hidup yang dinamis dan selalu berdialog dengan konteks sosial. Tidak lagi
mengulang-ulang materi pelajaran SLTA ke bawah yang terbatas pada
persoalan-persoalan rukun iman dan rukun Islam.
Pendidikan Agama Islam
di era sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi[7] dihadapkan kepada perubahan yang
mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang nantinya akan
berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang
budaya dan agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses
pendidikan agama, ada dua hal sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama pendidik
agama Islam, yakni: para pendidik tersebut sudah saatnya membutuhkan pengertian
yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu pemahaman keagamaan yang
sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para pendidik ini harus
bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya memahami budaya yang bermacam-macam
dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.
Jika tidak
demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi
model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut
munculnya ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga
pendidikan, terutama di masa akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam
yang berpikiran moderat untuk mewadahi berbagai macam pemahaman yang cenderung
radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur sistem pendidikan Islam,
khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.[8]
Berbagai
upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini terus
digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan
Agama Islam yang berwawasan multikultural.
C. Standar Proses
1.
Proses pembelajaran dilakukan secara
variatif dengan memperhatikan karakteristik tujuan pembelajaran, peserta didik,
dan bahan kajiannya. Sebagai implikasinya, maka dalam hal-hal tertentu dapat
digunakan pendekatan pembelajaran non-direktif, partisipatif/kolaboratif,
inovatif dan kreatif yang banyak melibatkan mahasiswa dalam setiap kajian bahan
belajar, dalam hal-hal lainnya digunakan pendekatan ditektif.
2.
Media yang digunakan berupa media cetak
dan media elektronik.[9]
D. Standart
Evaluasi
- Cara evaluasi yang digunakan terdiri dari portofolio, yang mengintegrasikan empat indikator, yaitu formatif dan sumatif, tugas-tugas terstruktur, catatan perilaku harian, dan laporan aktivitas di dalam kampus atau diluar kampus yang signifikan dengan pencapaian kompetensi lulusan.
- Alat evaluasi yang digunakan terdiri dati tes, laporan individual dan laporan kelompok.[10]
E. Problem
Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum
Berdasarkan uraian kedudukan Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum di atas, maka ditemukan beberapa problem yang masih
menjadi batu sandungan. Bagaimana mewujudkan tujuan-tujuan tersebut seefektif
mungkin. Beberapa problem tersebut antara lain:
1.
Beban SKS yang minimalis (hanya 2 SKS)
Frekuensi perkuliahan agama yang hanya 2 (dua) SKS dirasa
kurang memadai mengingat harapan yang demikian besar kepada pendidikan agama.
Oleh karena itu bobotnya dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi 4 (empat)
SKS. Kecuali tenaga pendidik (dosen) di perguruan tinggi umum mampu
mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan agama islam dalam mata kuliah lain.
Begitu juga osen untuk mata kuliah pendidikan agama islam. Namun skill ini
masih sulit didapat.
2.
Pola Pembelajaran Yang Berkelanjutan
Perlunya menjabarkan pendidikan agama di perguruan
tinggi, sebagai kelanjutan dari materi pendidikan agama dari TK sampai dengan
SLTA. Apabila pada tingkat TK materi pendidikan agama tekanannya kepada akhlak, tingkat SD kepada ibadah,
tingkat SLTP kepada muamalat, tingkat SLTA kepada munakahat, maka pada
perguruan tinggi materi pendidikan agama diarahkan kepada pengenalan terhadap
perkembangan pemikiran dalam Islam. Penyusunan program
seperti ini secara berkelanjutan dapat pula disusun pada mata kuliah agama lain. Namun pola ini lah
yang belum muncul, bahkan terkadang kita jumpai ada tenaga pendidik yang
menganggap pembelajaran pendidikan agama islam itu ya itu-itu saja dari SD
sampai perguruan tinggi. Paradigma tenaga pendidik yang seperti
ini menunjukkan betapa PAI cenderung dinilai dari segi simbolis-kuantitatif,
dan bukan substansial-kualitatif. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidiknya
pun belum mampu menumbuhkan kesinambungan
pendidikan itu.
3.
Pola
Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah
atau Perguruan Tinggi Umum tampaknya sangat bervariasi. Dalam arti ada yang
cukup puas dengan pola horizontal lateral (independent), yakni bidang studi
(non-agama) kadang-kadang berdiri sendiri tanpa dikonsultasikan dan
berinteraksi dengan nilai-nilai agama, dan ada yang mengembangkan pola relasi
lateral-sekuensial, yakni bidang studi (non agama) dikonsultasikan dengan
nilai-nilai agama. Ada pula yang mengembangkan pola vertical linier,
mendudukkan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi dari berbagai bidang
studi. Namun demikian, pada umumnya dikembangkan ke pola horizontal-lateral
(independent), kecuali bagi lembaga pendidikan tertentu yang memiliki komitmen,
kemampuan, atau political will dalam mewujudkan relasi/hubungan
lateral-sekuensial dan vertical linier.
Dari kutipan diatas dapat dinyatakan bahwa masih banyak
perguruan tinggi umum yang menjadikan PAI sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri. Tidak
terintegrasi dengan mata kuliah
lain. Ibarat syair lagu “Kau di sana, dan aku di sini”.[11]
4.
Tenaga
Pendidik/dosen Agama Islam.
Faktor inilah yang memegang central core (intinya)
pelaksanaan pelajaran agama Islam di Perguruan Tinggi. Bagaimanapun dosen yang
mengajar di Perguruan Tinggi harus sarjana dari suatu Perguruan Tinggi. Hal ini
menyangkut gezaag di mata mahasiswa. Akan ada persoalan : apakah dosen tersebut
harus sarjana agama Islam ataukah sarjana umum yang beragama Islam? Bilamana
kedua-duanya dapat dipandang qualified sudah tentu harus mendapat upgrading
dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan: sarjana agama di-upgrade dalam
pengetahuan umum menurut corak dasar fakultas dimana ia mengajar, sedangkan
sarjana umum yang beragama Islam juga harus di-upgrade dalam pengetahuan agama
Islam yang secara luas. Kedua-duanya mungkin dapat dipakai dengan persyaratan-persyaratan
antara lain punya kepribadian yang dapat jadi suri tauladan mahasiswa serta
masyarakat sekitarnya, memahami metode-metode penyajian yang menarik minat
mahasiswa, punya sikap sosio-kultural yang baik, dan sebagainya. Selain dari
itu, kesediaan dari para pengasuh pendidik agama di perguruan tinggi untuk
mengembangkan kemampuan penalaran akademisnya. Misalnya, untuk mengikuti
program S-2 dan S-3 merupakan hal yang sangat dianjurkan. Karena dengan
demikianlah diharapkan munculnya kemampuan untuk mengembangkan memahami
ajaran-ajaran agama secara komprehensif, dan atas dasar itu tumbuhlah rasa
kebanggaan terhadap ajaran agama yang dianutnya. Karena mengikuti kuliah agama
diharapkan tidak hanya bagi mahasiswa sekedar mengejar target 2 (dua) SKS,
tetapi yang lebih penting lagi
semakin meyakini akan keberadaan ajaran agama yang dianutnya. Namun kebijakan
ini terkadang ditanggapi sebagai suatu pemaksaan. Sehingga tidak jarang, banyak
dosen yang melanjutkan jenjang pendidikannya, tetapi tidak mengikuti proses
pembelajaran yang semestinya. Dosen-dosen seperti ini cenderung
beranggapan ijazah lebih penting daripada proses tersebut. Inilah yang
menyebabkan banyak sarjana-sarjana ‘mandul’ di Indonesia. Sarjana-sarjana yang
motivasi belajarnya telah mati, namun masih tergiur dengan iming-iming tahta. Kemudian seiring perkembangan Teknologi
Informasi saat ini, maka tenaga pendidik untuk Pendidikan Agama di perguruan
tinggi umum juga harus berperan aktif. Karena dunia IT telah merambah ke
berbagai disiplin ilmu. Salah satu cara untuk mengantisipasi dampak negatif IT
adalah dengan memperkenalkan IT dari segi positif-nya. Tenaga pendidik PAI
adalah salah satu personil yang tepat untuk memperkenalkan ini kepada peserta
didik (mahasiswa).
5.
Perilaku
Mahasiswa Yang Menyimpang dari Nilai-Nilai Akademik.
Melalui media cetak
atau pun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan berbagai
perilaku mahasiswa yang jauh dari nilai-nilai akademik. Misalnya saja banyak
mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus VCD
porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi (seperti
pembunuhan yang dilakukan mahasiswa terhadap pacarnya yang sedang hamil), dan
lain-lain. Fenomena di atas menunjukkan betapa pendidikan
agama di perguruan tinggi nyaris ‘tidak tepat sasaran’. Problem pendidikan
agama ini tidak lain cerminan problem hidup keberagamaan di Tanah Air yang
telah terjebak ke dalam formalisme agama. Pemerintah merasa puas sudah
mensyaratkan pendidikan agama sebagai mata kuliah wajib dalam kurikulum. Guru
agama/dosen merasa puas sudah mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum.
Peserta didik merasa sudah
beragama dengan menghafal materi pelajaran agama. Semua pihak merasa puas
dengan obyektifikasi agama dalam bentuk kurikulum dan nilai rapor atau nilai mata kuliah, namun jauh dari implementasinya.
Perlu
juga kita cermati, semata-mata menyalahkan (menganggap gagal) pendidikan agama
untuk kasus seperti ini adalah tidak bijak. Tetapi itulah image yang terkadang hadir di masyarakat.
6.
Lingkungan
Kampus.
Lingkungan
perguruan tinggi berada harus juga dijadikan pendidikan yang bersangkutan dalam
arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan dalam hubungan ini
ialah: apakah dosen dan mahasiswa harus menyesuaikan diri secara alloplastis
atau secara autoplastis? Juga masih dalam masalah lingkungan yaitu yang
langsung berpengaruh pada mahasiswa dalam kampus, atau bahkan dalam kelas perlu
diciptakan religious environment seperti adanya musholla dalam kampus,
peringatan-peringatan hari besar Islam, tatasusila dalam pergaulan, berpakaian, bertingkah laku sopan, dan
sebagainya.
H.M. Ridwan Lubis
mengemukakan kekhawatirannya akan fenomena problem tersebut yang
nantinya berujung pada kegagalan pendidikan agama di perguruan tinggi. Ini
dikhawatirkan akan menimbulkan problem yang serius bagi jalannya pembangunan di
masa depan karena dikhawatirkan munculnya ilmuan yang disatu sisi memiliki
tingkat keahlian yang tinggi dalam disiplin ilmu yang ditekuninya tetapi
mengalami kekosongan batin yaitu landasan etik, moral dan dari ketinggian
profesionalisme itu membawa dampak negatif yaitu tidak diimbanginya penemuan itu dengan kokohnya prinsip-prinsip moral. Padahal
tujuan pendidikan itu seseungguhnya adalah memanusiakan manusia.[12]
Kemudian jika dihubungkan
dengan tujuan
pendidikan Islam itu sendiri, sebagaimana yang dinyatakan Alhaji A.D. Ajijola
dalam Restructure of Islamic Education, yaitu “Islamic education is an
education which trains the sensibility of pupils in such a manner that in their
attitude to life, their actions, decisions and approach to all kinds of
knowledge, they are governed by the spiritual and deeply felt ethical values of
Islam. They are trained, and mentally disciplined, so that they want to acquire
knowledge not merely to satisfy an intellectual curiosity or just for material
worldly benefit, but to develop as rational, righteous beings and bring about
the spiritual, moral and physical welfare of their families, their people,
their country and mankind”. Terjemahan bebasnya adalah Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
melatih kepekaan murid sedemikian rupa dalam menyikapi kehidupan, tindakan
mereka, keputusan dan pendekatan untuk semua jenis pengetahuan, mereka dibangun
secara spiritual dan sangat merasakan nilai-nilai etika Islam. Mereka
dilatih, secara mental disiplin, sehingga mereka ingin memperoleh pengetahuan
bukan hanya untuk memuaskan keingintahuan intelektual atau hanya untuk
keuntungan materi duniawi, melainkan untuk berkembang secara rasional, makhluk
sebenarnya dan bermental spiritual, moral dan sumber kesejahteraan bagi
keluarga mereka, masyarakat disekitar mereka, negara mereka dan umat manusia.[13]
Berdasarkan kutipan tujuan pendidikan Islam di atas,
maka dapat dinyatakan betapa pentingnya solusi guna menyelesaikan beberapa
problem tersebut. Karena problem-problem tersebut jika dibiarkan bisa
ber-transformasi menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
F.
Model
Pengembangan Kurikulum PAI di Universitas Brawijaya dan LP3I Malang
1.
Model
pengembangan Kurikulum PAI di Universitas Brawijaya Malang
Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata kuliah
wajib dalam kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian atau MPK. Pendidikan
Agama Islam di Universitas Brawijaya ini dilaksanakan sebagai mata kuliah paket
oleh masing-masing fakultas yang dilaksanakan di semester 1 dan semestaer 2
yang mana tergantung kebijakan fakultas masing-masing. Pelaksanaan PAI di
universitas Brawijaya ini berbobot 3 sks. Hal ini sesuai ddengna ketentuan dari
pemerintah bahwa mata kuliah agama dan etika islam atau dalam hal ini
pendidikan agama islam diperguruan tinggi umum mencakup maksimum 4 (empat) sks
dari total 144-160 sks pada program sarjana, dengan lama studi 4 (empat) tahun.
Untuk
mancapai tujuan pendidikan nasional, universitas Barwijaya dalam perkuliahan
pendidikan Agma Islam ini tetap berpijak pada kurikulum nasional. Selanjutnya
diadakan pengembangan-pengembangan terhadap kurikulum PAI dalam prakteknya.
Pengembangan
kurikulum pada Hakikatnya merupakan pengembangan komponen-komponen kurikulum
yang membentuk kurikulum itu sendiri. Komponen-komponen kurikulum tersebut
harus dikembangkan, agar tujuanpendidikan dapat dicapai sebagaimana mestinya.
Pengembangan kurikulum diperguruan tinggi dilakukan
oleg beberapa pihak antara lain lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga
pendidikan dan pelatihan atau diklat, para ahli dalam bidangn ilmu,
komponen-komponen terkaitsecara organisatoris kelompok pengajar atau pelatih
(dasar, inti, penunjang, metodologi, kediklatan), yang ahli dan berpengalaman,
orang luar (yang dianggap perlu), nara sumber, dan tenaga lapangan dan guru
yang berpengalaman luas.
Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh universitas
Brawijaya ini terdapaat dua pihak sebagai pengembang kurikulum yaitu pusat
pembinaan agama (PPA) dan para dosen pendidikan Agama Islam.pusat Pembinaan
Agama sebagai lembaga yang mengelola mata kuliah PAI dan menaungi para dosen
pendidikan agama islam. Melalui PPA lahpara dosen mengembangan kurikulum PAI.
Model
pengembangan kurikulum PAI di universitas Brawijaya ini bersifat top dow dan
bottom up. Dikatakan termasuk model pengembang kurikulum yang bersifa top down
karena pengembangn kurikulum PAI tersebut tetap terpacu pada kebijakan Dikti
mengenikti tersebut berubah atau rambu-rambunya. Ketika kurikulum dari Dikti
tersebut berubah atau mengalami pengembangan, maka para pengembang kurikulum
pihak bawah juga mengikutinya begitu pula di universitas Brawijaya Malang.
Pengembangan
kurikulm yang bersifat Bottop up merupakan pengembangan yang dilakukan oleh
para dosen ditingkat Universitas Brawijaya. Rambu-rambu atau silabus yang
berasal dari dikti tersebut selanjurnya diserahkan kepada dosen pendidikan
Agama Islam untuk pengembangannya karena sebenarnya yang memegang peranan dalam
pengembangan kurikulum adalahdosen sebagai perencana dan pelaksana di dalam kelas.
Model
pengembangan kurikulum PAI di universitas Brawijaya Malang jika dilihat dalam
lingkup universitas, maka termasuk model grass roots karena inisiatis dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi berasaldari bawah, yaitu
para dosen. Dan pengembangan kurikulum tersebut hanya satu bidang studi dalam
hal iniyaitu mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Terdapat beberapa langkah
dalam mengembangkan kurikulum model grass roots menurut Taba. Adapun
langkah-langkah tersebut adalah:
a. Diagnosis kebutuhan
b. Perumusan tujuan
c. Pemilihan isi
d. Organisasi konten
e. Pemilihan pengalaman belajar
f. Organisasi kegiatan belajar
g. Evaluasi dan sarana evaluasi.
Langkah
Pengembangan Kurikulum Model Grass Roots
Komponen
kurikulum yang berkaitan
1.
Diagnosis kebutuhan : Materi kurikulum
2.
Perumusan tujuan : Tujuan kurikulum
3.
Pemilihan isi : Materi kurikulum
4.
Organisasi konten : Organisasi kurikulum
5.
Pemilihan pengalaman belajar : Metode
6.
Organisasi kegiatan belajar : Organisasi
kurikulum
7.
Evaluasi dan sarana evaluasi : evaluasi
Pengembangan kurikulm PAI yang dilakukan universitas Brawijaya yang
dalam hal ini dikelola oleh PPA biasanya dilakukan dalam waktu 2 tahun sekali.
Materi yang disampaikan tidak hanya berada di dalam kelas, tetapi dikemvbangkan
diluar perkuliahan melakui forum tutorial dan mentoring.
Tutorial
merupakan forum diskusi untuk membahas permasalahan-permasalahan yang sedang
hangat dibicarakan masyarakat. Sedangkan untuk mentoring materinya adalah
Al-Qur’an. Mahasiswa universitas Brawijaya yang tidak membaca al-Qur’an, maka
melalui mentoring ini bisa mengajari mereka mambaca al-Qur’an. Sedangkan bagi
yang sudah bisa membaca al-quran, maka yang dibahas adalah kandungan al-Qur’an.
Forum mentoring ini dikelola oleh mahasiswa.
Pengembangan kurikulum yang dilakukan oleh para dosen PAI ditempuh
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada bahan pelajaran
dan pendekatan yang berorientasi pada tujuan pengajaran.
Ø Faktor
pendukung dan penghambat dalam
pelaksanaan pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di Universitas
Brawijaya Malang
Dalam suatu
pengembangan kurikulum terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat dalam
pelaksanaannya. Faktor-faktor tersebut tidak terlepas dari komponen dari
kurikulum itu sendiri.
Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama islam di Universitas Brawijaya Malang
yang menjadi faktor pendukungnya adalah adanya perhatian yang bagus dari
pimpinan dalam hal ini yaitu rektor dari Universitas Brawijaya Malang terhadap
para dosen Pendidikan Agama Islam. Selain itu lengkapnya sarana dan prasarana
atau fasilitas yang ada di Universitas Brawijaya menjadi faktor pendukung yang
penting dalam pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam.
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa
hambatan. Hambatan pertama terletak pada pendidik. Pendidik kurang
berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu di sebabkan beberapa hal.
Pertama kurang waktu. Kedua kurang sesuaian pendapat, baik antara sesama
pendidik maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena
kemampuan dan pengetahuan pendidik sendiri.
Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk
pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan
maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum
yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan
pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input
fakta dan pemikiran dari masyarakat. Hambatan lain yang dihadapi oleh
pengembang kurikulum adalah masalah biaya.
Hambatan-hambatan tersebut tidak terjadi dalam
pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam di Universitas Brawijaya Malang.
Yang menjadi penghambat dalam pengembangan kurikulum pendidikan Agama Islam
adalah keterbatasan jumlah dosen Pendidikan Agama Islam.
Jumlah dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas
Brawijaya yang terbatas menjadi kendala dalam pengembangan kurikulum. Ketika
jumlah dosen tersebut sedikit, maka ide-ide yang cemerlang dalam mengembangkan
suatu kurikulum akan sedikit pula.
Selain
karena keterbatasan jumlah dosen Pendidikan Agama Islam dan Jam pembelajaran,
yang menjadi penghambat dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Universitas Brawijaya adalah kurangnya partisipasi dari mahasiswa. Hal ini
dikarenakan adanya mahasiswa yang menganggap bahwa belajar pelajaran agama itu
nomor dua sehingga komitmen serta semangat belajar agama pun kurang. Ketika
kurang adanya partisipasi dari mahasiswa, maka pengembangan-pengembangan
kurikulum yang dilakukan oleh para dosen tidak akan maksimal karena hanya
berjalan satu arah tanpa adanya timbal balik dari para mahasiswa.
2.
Model
pengembangan Kurikulum PAI di LP3I Malang
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran.
Para praktisi pendidikan harus mampu menyusun dan
mengembangkan kurikulum pendidikan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat
peserta didik, tak terkecuali Pendidikan Agama Islam di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan
Profesi Indonesia (LP3I).
Pendidikan Agama Islam yang merupakan salah satu
mata kuliah yang sangat penting dalam pembentukan kepribadian mahasiswa harus
dikembangkan dengan baik agar tujuan dari adanya mata kuliah Pendidikan Agama
tersebut tercapai.
Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi
Indonesia (LP3I) merupakan kampus menyiapkan konsep pendidikan selain
memberikan hard skill tetapi soft skill menjadi perhatian khusus di kampus LP3I
Malang dengan mengimplementasikannya. Kampus yang didirikan pada tahun 1989 cukup
mengedepankan aspek Agama dalam kehidupan ini, seperti adanya
pelajaran-pelajaran khusus Islam yang dimasukan sebagai SKS. Mata kuliah pendidikan
agama Islam di LP3I dilaksanakan
dua periode yaitu pada semester pertama dan semester tiga dengan bobot dua sks.
Kurikulum pendidikan agama Islam di kampus LP3I mentoring yang
langsung diaplikasikan yaitu dengan melakukan shalat dhuha berjamaah sebelum
pemulai perkuliahan agar mahasiswa terbiasa untuk melakukannya meskipun ketika
sudah terjun kedunia kerja nanti.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran paradigma pada kurikulum PAI
di perguruan tinggi umum pasca pemerintahan Orde Baru, khususnya pada kurikulum
PAI tahun 2002. Paradigma
yang dikembangkan melihat Islam sebagai sebuah cara pandang yang bersifat dinamis dan responsif terhadap
kekinian.
2.
Pergeseran paradigma ini berimplikasi
pada perubahan materi pembelajaran PAI di perguruan tinggi umum yang tidak lagi
mengulang-ulang materi yang ada pada tingkat dasar dan menengah, melainkan
lebih akomodatif terhadap isu-isu kontemporer seperti HAM, demokrasi,
pluralisme dan masyarakat madani.
3.
Materi PAI dalam kurikulum tahun 2002
cukup relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia di era reformasi ini, di
samping juga sejalan dengan kebutuhan peserta didik pada tingkat perguruan
tinggi yang memerlukan wawasan keislaman yang lebih luas dan dinamis.
4.
Model pengembangan kurikulum PAI di
universitas Brawijaya ini bersifat top dow dan bottom up. Kurikulum pendidikan agama Islam di kampus LP3I mentoring yang
langsung diaplikasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, 1968. dalam Jurnal of Ecumenical Studies, volume 5,
No. 1, Winter.
Alhaji A.D. Ajijola, 1999. Restructure of Islamic Education. Delhi: Adam publisher & Distributors.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga.
Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam Departemen Agama RI.
2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Keputusan Dikti Nomor:
263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000.
Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor: 38/DIKTI/KEP/2002
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Lubis,
M.Ridwan, 2000. Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan
Masyarakat. Medan: Media Persada.
Mubarak, Zaki. 2008. Geneologi
Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi. Jakarta: LP3ES.
Muhaimin, 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Muhaimin. 2007. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo.
Salinan UU No. 4 Tahun 1950 Tentang
Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran
Salinan UU No. 22 Tahun 1961
Tentang Perguruan Tinggi
Salinan UU No. 2 Tahun 1989 Tentang
Sisdiknas
Salinan PP No. 30 Tahun 1990
Tentang Pendidikan Tinggi
Salinan
SK Mendiknas No.23/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa Salinan UU No.23 Tahun 2003
Tentang Sisdiknas.
[1]. Muhaimin.
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi. (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm. 21.
[2]. Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam Departemen Agama RI,. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam
di Perguruan Tinggi Umum. (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam Departemen Agama RI, 2004), hlm.7
[3]. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural. (Jakarta:
Erlangga, 2007), hlm.
48.
[4]. Mubarak, Zaki. 2008. Geneologi
Islam Radikal di Indonesia, Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi.Jakarta:
LP3ES. Hlm. 77.
[5]. Keputusan Dikti Nomor:
263/DIKTI/KEP/2000 tentang penyempurnaan kurikulum inti Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
Pendidikan Agama pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Depdiknas, 2000
[6]. Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Nomor: 38/DIKTI/KEP/2002
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
[9]. Muhaimin. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi.
(Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm. 300-301
[10]. Muhaimin. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi.
(Jakarta: RajaGrafindo, 2007), hlm 301
[11]. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2007, hlm 23.
[12].
M.Ridwan Lubis, Aktualisasi Nilai-nilai Keislaman Terhadap Pembangunan
Masyarakat (Medan: Media Persada, 2000), hlm. 43
[13]. Alhaji A.D. Ajijola, Restructure
of Islamic Education (Delhi: Adam publisher & Distributors, 1999),
hlm. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar