Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH ILMU HADIS JARH WAT-TA’DIL


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran kedua umat Islam setelah al-Qur’an. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua hadis perlu mendapat pengkajian yang mendalam karena hadis memiliki beberapa fungsi tehadap al-Qur’an, salah satunya adalah melengkapi hukum agama yang tidak diatur di dalam al-Qur’an.
Mempelajari dan mengkaji hadis harus secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi matan, sanad, dan metodologinya. Alasannya, dikarenakan dalam sejarah hadis itu sendiri, pembukuannya dilakukan satu abad setelah nabi hijrah, tepatnya pada masa dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Umar bin abdul Aziz. Bukan hanya itu, pemalsuan hadis juga banyak terjadi, antara lain; golongan pembela Ali bin Abi Thalib yang membuat hadis “barang siapa yang ingin melihat Adam pada ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh pada ketinggian takwanya, ingin melihat Musa pada kehebatannya, ingin melihat Isa pada ibadahnya, maka hendaklah ia melihat Ali.”, Golongan Mu’awiyah yang membuat hadis palsu “yang amanah itu ada tiga, aku (Muhammad), Jibril, dan Mu’awiyah, dan juga golongan ‘Abbasiyah yang membuat hadis “‘Abbas itu orang yang mengurus wasiatku (Muhammad) dan ahli warisku (Muhammad).”[1]
Adanya kenyataan historis tersebut, tentang munculnya pemalsuan hadis, memanipulasi hadis untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok, mengharuskan untuk mengkaji hadis baik dari sisi matan atau sanad secara mendalam.Pemalsuan hadis ini merupakan penggerak utama untuk mengkaji hadis dari sanad dan matan sekaligus, dengan tujuanagar diperoleh hadis yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujah.
Salah satu cabang ilmu hadis yang mengkaji masalah tersebut adalah ilmu jarh wat-ta’dil, ilmu jarh wat-ta’dil merupakan buah manis dari jerih payah para ulama hadis yang telah berusaha maksimal menjaga dan membersihkan hadis-hadis Nabi SAW dari tangan-tangan kotor. Ilmu ini dapat dijadikan sebagai timbangan dalam melihat kualitas perawi, tentang kualitas keadilan dan kedhabitannya, serta kecacatannya. Sehingga dapat diketahui siapa di antara para perawi yang dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak. Bahkan ilmu ini merupakan ilmu yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain.[2]
Menurut ibnu Adi (w. 365 H), penilaian terhadap para perawi ini telah dimulai sejak para sahabat. Para sahabat yang sering memberikan penilaian pada perawi hadis pada masa itu adalah Ibnu Abbas (w. 68 H), Ubaidah Ibnu Tsamit (w. 34 H), dan Anas Ibnu Malik (w. 93 H). Pada masa tabiin orang yang aktif memberikan penilaian terhadap perawi hadis adalah Ibnu Sirin (w. 110 H) dan al-Syabi (w. 103 H), pada masa ini masih sedikit orang yang dipandang cacat dalam meriwayatkan hadis. Sesudah berakhir masa tabiin, sekitar tahun 150 H para ulama seperti Ibnu Said al-Qattan (w. 189 H), Abdul Razaq ibn Human (w. 211 H), memberi perhatian khusus kepada para perawi hadis. Sesudah masa itu, barulah para ahli menyusun kitab jarh wat-ta’dil, yang di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima atau ditolak periwayatannya.[3]
Karya yang pertama-tama sampai kepada kita adalah kitab ma’rifat ar-rijal karya Yahya Ibn Ma’in, kitab ad-dhu’afa’ karya Imam Muhammad Ibn Ismail al-Bukhori (194-256 H) dan telah di cetak di India pada tahun 1325H. Dan bersamanya dicetak pula kitab ad-dhu’afa’wa al-matrukin karya Imam Ahmad ibn Syua’ib Ali An-Nasa’I (215- 303H).
Dengan demikian, sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis. Oleh karena itu suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi tidak memiliki sanad sama sekali, dinyatakan palsu. Secara ekplisit, Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) mengatakan: “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu.” Lebih lanjut Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan hubungan hadis dengan sanad ibarat hubungan hewan dengan kakinya, sehingga jika sanad itu sahih maka hadis diterima, dan sebaliknya.[4]
Penelitian sanad hadis menjadi hal yang sangat penting dalam mengetahui seorang perawi hadis itu seorang yang diterima hadisnya atau ditolak. Oleh karena itu, mempelajari ilmu jarh wat-ta’dilmenjadi sangat penting sebagai seorang muslim. Lebih lanjut, makalah ini disusun untuk menjelaskan tentang konsep dan implementasi jarh wat-ta’dildalam studi hadis. Sehingga dapat diketahui sebuah hadis itu sahih, hasan, atau dha’if.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian, kegunaan, dan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil?.
2.      Apa saja istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu jarh wat-ta’dil?.
3.      Bagaimana konsep ke’adilan dan kedhabitan rawi?.
4.      Bagamana sikap pengkritik rawi hadis dalam mengkritisi rawi hadis?.
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Menjelasakan pengertian, kegunaan, dan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil?.
2.      Menyebutkan istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu jarh wat-ta’dil?.
3.      Menjelaskan konsep ke’adilan dan kedhabitan rawi?.
4.      Menjelaskan sikap pengkritik rawi hadis dalam mengkritisi rawi hadis?.
PEMBAHASAN

Terdapat dua cabang ilmu hadis yang digunakan untuk meneliti kesahihan suatu hadis,yakni ‘ilmuhaditsriwayah, dan ‘ilmu hadits dirayah. ‘Ilmu hadits riwayahobjek kajiannya adalah behubungan dengan menerima dan menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan membukukansebuah hadis. Ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dhabitatau fasiq yang berpengaruh terhadap kualifikasi hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu haditsdirayah. Ilmu haditsdirayah membahas secara khusus keadaan perawi, karena kedudukan perawi sangat penting dalarn menentukan kualifikasi suatu hadis. Cabang ilmu hadis untuk mengetahui hal ihwal perawi ini adalah ilmujarh wat-ta’dil.Jarh wat-ta’dil merupakan cabang ilmu hadis yang sangat penting, ilmu ini mengkritisi kredibilitas perawi, sehingga dapat diketahui apakah sebuah hadis itusahih, hasanatau dha‘if.
Jarh wat-ta’dil memaparkan tentang penilaian atau kritik secara kompleks dan kritis terhadap perawi hadis. Perawi yang dinilai memiliki kecacatan baik dari segi ke‘adilannya atau kedhabitannya, maka dapat menurunkan derajat kesahihan hadis yang diriwayatkan sesuai dengan tingkatan kecacatan yang dimiliki seorang perawi tersebut, dan jika terbukti pernah melakukan hal yang dilarang agama Islam, maka seluruh hadisnya dapat ditolak.
A.    Pengertian Ilmu Jarh wat-Ta’dil
1.      Pengertian Jarh
Secara bahasa, jarh merupakan masdar dari kata jarahayajrahu yang berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan saksi.[5]

Secara istilah ilmu hadis, kata jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak ‘adil dan menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata tajrih menurut istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut.[6]
Adapun pengertian jarh menurut para muhadisin adalah sebagai berikut.
ﺍﻟﺟَﺮْﺡُﻋﻧﺪَﺍﻠﻣُﺣَﺪﺛﻳﻦَﺍﻠﻄَﻌْﻦُﻔﻲﺮَﺍﻮِﻯﺍﻠْﺤَﺪِﻴْﺚِﺒﻤَﺎﻴﺳْﻟُﺐُﺃﻮْﻴُﺧﻞّﺒﻌَﺪَﺍﻠﺗِﻪِﺃﻮْﻀَﺑْﻂِﻳْﻪِ.
Jarh menurut muhaditsin, adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya.[7]

2.      Pengertian Ta’dil
Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘adalah, yang berarti mengemukakan sifat-sifat ‘adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas ke’adilan pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.[8]
Adapun pengertian ta’dilmenurut para muhadisin adalah sebagai berikut.
ﻮَﺍﻠﺗﻌْﺪِﻴﻞُﻋَﻜﺳُﻪُﻮَﻫُﻮَﺘَﺰْﻜِﻳَﺔﺍﻠﺮّﺍﻮِﻱﻮَﺍﻠﺤُﻜﻢُﻋَﻠﻳْﻪِﺒﺄﻨﻪُﻋَﺪْﻞٌﺃﻮْﻀَﺎﺒﻁٌ.
Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumnya bahwa dia adil atau dhabit.[9]

3.      Pengertian Ilmu Jarh wat-Ta’dil
‘Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani mengatakan bahwa ilmu jarh wat-ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.[10]
Adapun pengertian jarh wat-ta’dil menurut para muhaditsin adalah sebagai berikut.
ﻋِﻟْﻢٌﻴُﺑْﺣَﺚُﻋَﻥِﺍﻠﺮّﻭَﺍﺓِﻤِﻦْﺤَﻳْﺚُﻤَﺎﻭَﺮَﺪَﻔِﻲْﺸَﺄﻨِﻬِﻢْﻤِﻣّﺎﻴُﺷْﻧِﻳْﻬِﻢْﺃﻭْﻴُﺰَﻜﻳْﻬِﻢْﺒﺄﻟﻔَﺎﻅٍﻤَﺧْﺻُﻮْﺻَﺔٍ.
Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafadz tertentu.[11]

Jadi bisa dikatakan bahwailmu jarh wat-ta’dil adalah bentuk lain dari penyelidikanterhadap kualitas suatu hadis.Penyelidikan dalam hal ini adalah penyelidikan yang dapat menjadikan suatu dapat diterima (maqbul) atau ditolak (mardud),yang objek penyelidikannya berkaitan dengan sanad atau rawi hadis.
B.     Kegunaan Ilmu Jarh wat-Ta’dil
Ilmu jarh wat-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang‘adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.
Jika ilmu ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis sejak Nabi SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Nabi SAW kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi, dan masalah-masalah yang lainnya yang dikaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.[12]
Ketidaktahuan terhadapbenar atau salahnya suatu riwayat, akan menjadikantercampurnya antara hadis yang benar-benar dari Nabi SAW dan hadis yang palsu (maudhu’).Dengan mengetahui ilmu jarh wat-ta’dil, akan memudahkan dalam menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dha’if, terutama dari segi kualitas rawi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegunaan ilmu jarh wat-ta’dil adalah:
1.      Untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi dapat diterima atau ditolak sama sekali.
2.      Untuk mengetahui kesahihan sanad dari sebuah hadits.
3.      Untuk menyeleksi mana hadits sahih, hasan, ataupun hadits dhaif, dari segi kualitas rawi.
C.    Sasaran Ilmu Jarh wat-Ta’dil
Sasaran adalah sesuatu yang menjadi tujuan (yang dikritik, dimarahi, diteliti, diselidiki, dibidik, dituju, dan sebagainya). Jadi, dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil adalah sesuatu yang menjadi tujuan dari ilmu jarh wat-ta’dil itu sendiri, sesuatu yang diteliti, diselidiki, atau dikritisi di dalam ilmu jarh wat-ta’dil.
Menggaris bawahi pengertian sasaran sebagai sesuatu yang menjadi tujuan, jika dilihat dari uraian pada sub bab sebelumnya, maka, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari ilmu jarh wat-ta’dil adalah untuk memisahkan antara hadis yang murni atau benar-benar berasal dari Nabi SAW dengan hadis yang palsu dengan meneliti ke’adilan dan kedhabitan serta kecacatan seorang rawi hadis. Sehingga tidak terjadi kesesatan akibat dari hadis-hadis palsu yang telah beredar.
Selanjutnya, menggaris bawahi pengertian sasaran sebagai sesuatu yang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa sasaran dari ilmu jarh wat-ta’dil adalah para rawi yang menjadi sanad dari suatu hadis. Adapun yang diteliti dari rawi hadis adalah keadilan, kedhabitannya, dan kecacatannya.
Kesimpulannya, sasaran dari ilmu jarh wat-ta’dil adalah perawi hadis. Ilmu ini mengkritisi tengtang hal ihwal para rawi, membahas kecacatan, ke’adilan, dan kedhabitan rawi yang memberikan berpengaruh besar terhadap kualifikasi haditsnya, sehingga bisa dibedakan mana hadis yang sahih, hasan, atau dhaif.[13]
Lepas dari itu ilmu jarh wat-ta’dilmerupakan cabang dari ilmu rijalulhadits. Ilmu rijalulhadits merupakan ilmu secara khusus membahas perawi hadis, di mana ilmu RijalulHadits memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu tarikh ar-ruwah dan ‘ilmu al-jarh wa at-ta’dil.Ilmu rijalulhadits dalam mengkaji para rawi pada dasarnya memiliki dua ruang bahasan. Pertama, biografi atau sejarah para rawi sebagai cakupan Ilmu tarikh ar-ruwah. Kedua, sebagai kelanjutan tahapan pertama, yakni mengkaji rawi dari aspek kualitas rawi.[14]
Terkait dengan kajian ilmu rijalul hadits, terdapat kitabal-kasyif fii ma’rifati man lahu riwayah fii al-kutubu al-Sittah, kitab yang mengkritisi para perawi hadits dalam kutubbual-sittah. Kitab ini memberi gambaran lebih cermat tentang sasaran dalam ilmu jarh wat-ta’dilkarena memang ilmu jarh wat-ta’dilmerupakan cabang dari ilmu rijalulhadits itu sendiri.
Mempelajari sasaran ini merupakan langkah sebagai pengkayaan terhadap wawasan keilmuan terutama di bidang hadis dan dapat dijadikan alat untuk memahami hadis lebih relevan dengan aspek-aspek kekinian. Oleh karena itu menelaah hadis dari beberapa kitab hadis sangat diperlukan.
D.    Syarat-syarat Bagi Ulama Jarhwat-Ta’dil
Ulama sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu dalam diripenta’dil dan pentajrih, siapa saja yang menekuni bidang ini harus memenuhibeberapa kriteria, yaitu:
1.      Alim
2.      Bertakwa
3.      Wira’i
4.      Jujur
5.      Tidak terkena jarh
6.      Tidak fanatik terhadap sebagian perawi
7.      Mengerti betul sebab-sebab jarh dan ‘adil.[15]
Hal tersebut di atas menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa menjadi ulama jarh wat-ta’dil, untuk menjadi seorang ulama jarh wat-ta’dildibutuhkan persyaratan khusus yang telah disepakati oleh ulama jarh-wat ta’dilyang telah disebutkan di atas.
Hal tersebut senada dengan hadis Nabi “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”Persyaratan tersebut di atas mutlak untuk dipenuhi untuk mengkritik seorang perawi hadis. Agar hadis benar-benar berasal dari orang yang kredibel pada bidang tersebut. Memperbolehkan semua orang menjadi pengkritik rawi sama seperti berobat karena penyakit tapi tidak berobat kedokter, maka hal tersebut akan sangat membahayakan.
E.     Metode Ulama dalam Menjelaskan Hal Ihwal Para Perawi
Ada beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskanhal ihwal para perawi, yaitu:
1.      Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka menyebutkan sifatpositif maupun negatif para perawi. Kejujuran merupakan ideologimereka yang tertancap kuat dan patokan umum yang mereka terapkandalam menjelaskan kebenaran, meski membawa dampak negatif atas dirimereka sendiri.
2.      Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataanulama tentang jarhwat-ta’dil kita bisa menemukankecermatanmereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan merekatentang seluk-beluk perawi yang mereka kritik.
3.      Mematuhi etika jarh wat-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidakakan keluar dari etika penilaian ilmiah.
4.      Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih.[16]
Menjadi ulama jarhwat-ta’dilmerupakan hal yang tidak mudah disamping ada persyaratan tertentu yang khusus dan menjadi ulama jarhwat-ta’dilitu merupakan sesuatu yang bisa diakatakan “pedang bermata dua”. Maksudnya, kritikan seorang ulama jarhwat-ta’dil akan menjadi boomerang bagi pengkritik jika lakukan tidak berhati-hati dan sesuai metodenya.
F.     Sebab-sebab Ditolaknya Riwayat
Ada lima hal yang menjadi penyebab ditolaknya seorang perawi, yaitu:
1.      Dusta
Yang dimaksud dusta ialah bahwa orang itu telah berbuat dusta pada suatuhadis (pernah membuat hadis palsu/maudhu’). Orang yang sudah diketahuipernah berdusta dalam suatu hadis, walaupun hanya satu kali saja seumurhidupnya, tidak diterima hadisnya, meskipun ia bertaubat.
2.      Tertuduh Dusta
Yang dimaksud tertuduh dusta ialah perawi itu telah terkenal berdustadalam pembicaraan, tetapi belum terbukti berdusta dalam meriwayatkan hadis.Hadis orang yang tertuduh dusta dinamai hadis matruk dan orang tersebutdinamai matrukal-hadits. Orang ini apabila bertobat dan baik tobatnya, bolehditerima hadisnya.
Contoh hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لولا النساء لعبد الله حقا.
Rasulullah bersabda: sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah disembah (ditaati) dengan sungguh-sungguh.

Hadistersebut diriwayatkan Yaqub bin Sufyan bin Asyim, dengan sanad terdiri dari: Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin Musayyab, dan Umar bin Khattab. Di antara nama-nama tersebut, Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya pernah dituduh berdusta. Oleh sebab itu, hadis ini disebut hadis matruk.[17]
3.      Fusuq (Melanggar Perintah)
Fusuq yang dimaksud adalah dalam hal amal, amal yang lahir bukandalam hal akidah, karena fusuq dalam urusan akidah termasuk dalam penganutbid’ah. Meskipun dusta termasuk suatu maksiat fusuq, namun ulama mejadikannya tersendiri, karena kecacatan lantaran dusta lebih nyata untukdijadikan dasar menolak hadis.
4.      Jahalah
Tidak dikenal (jahalah) perawinya dijadikan dasar dalam menolak hadisadalah karena orang yang tidak dikenal namanya dan pribadinya, tentu tidakdikenal keadaanya, apakah ia orang yang dapat dipercaya ataukah sebaliknya.Bila seorang perawi ‘adil meriwayatkan dari seorang perawi lain tanpamenyebut namanya, maka periwayatannya itu tidak merupakan penta’dilan.Namun bila perawi ‘adil menyertakan penilaian ‘adil, misalnya dengan mengatakan“telah meriwayatkan kepadaku orang yang aku percayai” atau “orang tsiqat”ataupun “orang yang saya ridhai”, maka terdapat dua pendapat diakalanganulama.[18]
Pertama, penilaian tsiqat seperti itu belum cukup tanpa menyebutkannama, karena bisa jadi perawi yang bersangkutan tsiqat menurutnya, tetapi tidaktsiqat menurut yang lain. Kedua, pentadilan diterima secara mutlak, sama halnyaketika ia menyebut nama perawi yang bersangkutan secara tegas. Hal tersebutdikarenakan perawi ‘adil bisa dipercaya dalam dua keadaan, yaitu ketika menyebutnama secara tegas dan menilai tsiqat perawi yang dikritiknya, dan ketikamenilainya tsiqat atau menyembunyikan namanya.[19]
5.      Penganut Bid’ah
Yang dimaksud penganut bid’ah ialah mempunyai sesuatu yang i’tiqadyang menyalahi agama (al-Quran dan as-Sunnah) dengan tidak sengaja lantarankesamanaran atau kesalahan pengertian. Apabila bid’ah ini karena disengaja,maka dinamakan kufur.[20]
Contoh kasus, penafsir sekaliber Ikrimah pun tak luput dari tuduhan bid’ah bahkan ada yang menandaskan beliau memang benar-benar berpaham Khawarij sekte Ibadhiyah. Namun ulama hadis tetap memandang bolehmeriwayatkan hadis darinya karena beliau mencukupkan keyakinannya untuk dirinya sendiri dan tidakmempromosikannya bid’ahnya kepada orang lain. Hadis Ikrimah banyak ditemukan di kitab-kitab sunnah.Beliau dipuji sebagai ulama yang berwawasan luas, memiliki ketajaman akal serta kuatnya hapalan.[21]
G.    Perawi-perawi yang Tidak Langsung Ditolak Riwayatnya
Perawi-perawi yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterimariwayatnya ialah:
1.      Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
2.      Orang yang banyak sesilapan (menyalahi)nya dan menyalahi imam-imamyang kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnya.
3.      Orang yang banyak lupa.
4.      Orang yang rusak akal di akhir umurnya.
5.      Orang yang tidak baik hafalannya
6.      Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orangterpercaya maupun dari orang yang lemah (tidak terpercaya).[22]
H.    Martabat-martabatJarh wat-Ta’dil
Perawi yang memindahkan hadits tidak semuanya berada pada tingkat yang sama dalam hal hafalan, ilmu dan kedhabitan. Ada hafidz yang tidak diragukan lagi kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya. Ada juga yang sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memilki sifat adil dan jujur.[23]
1.      Martabat-martabatTa’dil
a.       Kata-kata yang menunjukkan mubālaghah (intensitas maksimal) dalam halta’dil dengan bentuk af’al at-tafdhil dan sejenisnya:
1)       ( اوثقالناس) orang paling tsiqah
2)      ( أضبطالناس) orang yang hafalannya paling kuat
3)      ( لیسﻠﻪنظیر ) tiada tandingannya
b.      Kedua, misalnya seperti pernyataan:
1)      ( فلانلایسألﻋﻧﻪ ) fulan tidak dipertanyankan
2)      (فلانلایسألعنﻤﺛﻟﻪ) orang semisal fulan tidak perlu dipertanyakan
c.       Ketiga, julukan yang dikuatkan dengan suatu sifat yang menunjukkan bahwa orang itu terpercaya baik dengan kata yang sama atau kata yangsearti:
1)      ( ثقةحافظ ) orang yang tsiqah lagi hafiz
2)      ( ثقةمأمون ) orang yang tsiqah lagi amanat
3)      ( ثقةثقة ) orang yang tsiqah lagi tsiqah
d.      Keempat, kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yangmenyiratkan kedhabitan:
1)      ( ثبت) orang yang teguh (hati-hati lidahnya)
2)      ( متقن) orang yang meyakinkan ilmunya
3)      (عدلإمامحجة)orang yang ‘adil hujahnya
4)      (عدلضابط...) orang yang ‘adil dan dhabith
e.       Kelima, kata yang menunjukkan sifat ‘adil, tetapi mengggunakan kata yangtidak menyiratkan kedhabithan, misalnya:
1)      ( صدوق) orang yang sangat jujur
2)      ( مأمون ) orang yang memegang amanat
3)      ( لابأسﺒﻪ ) orang yang idak cacat
4)      ( محلةالصدق ) orang yang berstatus jujur
5)      ( صالحالحدیث ) orang yang baik haditsnya
f.       Keenam, kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrih, sepertipenyertaan kata-kata di atas dengan kalimat masyi’ah:
1)      ( شیخوسط ) dia syaikh yang imbang
2)      ( صدوقإنشالله ) insya Allah dia benar
3)      ( صویلح ) orang yang agak baik
4)      ( لیسببعیدمنالصواب ) dia tidak jauh dari kebenaran
Para ahli menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawiyang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagaihujjah, adapun hadits-hadits para rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat berbentuk af’alu yang ditulis dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
2.      Martabat-martabat Jarh
a.       Pertama, dengan kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal aljarh,misalnya:
1)       ( ركنالكذب ) sumber kebohongan
2)       ( أكدبالناس ) orang yang paling berdusta
3)       ( إلیھالمنتھىفىالوضع) padanya terdapat kedustaan yang besar
b.      Kedua, al-jarh dengan kedustaan atau pemalsuan. Misalnya:
1)      ( كذاب ) orang yang pembohong
2)      ( وضاع ) orang yang pendusta
3)      ( دجال ) orang yang penipu
c.       Ketiga, kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagaipendusta, pemalsu atau sejenis. Misalnya:
1)      ( یسرقالحدیث ) orang pencuri hadits
2)      ( متھمبالكذاب ) orang yang tertuduh dusta
3)      ( لیسبثقة ) hafalannya tidak kuat
4)      ( ھالك ) orang yang binas
5)       ( متروك ) orang yang dusta
d.      Keempat, dengan manunjukkan kata-kata yang menunjukkan kedhaifanyang sangat. Misalnya:
1)      (طرحالحدﻴﺛ)orang yang kurang hadisnya
2)      ( لیسبشيء ) orang yang tidak ada apa-apanya
3)      (ضعیفجدا ) orang yang sangat dha’if
4)      ( مردودالحدیث ) orang yang ditolak haditsnya
e.       Kelima, kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if atas perawi ataukerancuan hafalannya. Misalnya:
1)      ( ضعفوه ) ulama mengatakan lemah
2)      ( لایحتجﺒﻪ ) orang yang tidak dapat dibuat hujjah
3)       ( مضطربالحدیث ) hadits mudhtharab (berantakan)
4)      ( ﻠﻪمناكیر ) haditsnya dusta
f.       Keenam, menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkankedhaifannya, akan tetapi dekat dengan ta’dil. Misalnya:
1)      ( ﻔﻳﻪمقال ) perkataan yang rendah
2)      (ﻔﻳﻪضعف ) dinyatakan dha’if
3)      (ﻔﻳﻪجھلة ) ada kebodohan padanya
4)      ( لیسبالمرضى) tidak bisa diterima
5)      ( شيءالخفظ ) hafalan yang buruk
Orang yang mentajrih menurut tingkaatan pertama sampai dengantinggkatan keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapunorang yang mentajrihkan menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya dapat dipakai sebagaii’tibar(tempat pembanding).
I.       Ke’adilan Rawi
1.      Pengertian ‘Adil
Kata adil dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah(tidak memihak) atau sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dalam kamus Maurid(Arab-Ingris), kata عدل bermakna: justice, fairness, equitability, equetabliness,impartiality, unbiasedness.[24]
Namun di dalam hadis ‘adilmerupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknyauntuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akanpercaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar termasuk kedalamnya, jugasebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makan,serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri, sepertimakan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang keji danterlalu berlebihan dalam berkelakar.[25]
2.      Syarat-syarat Ke’adilan Rawi
Pendapat Ulama tentang Kriteria (Syarat-syarat) Periwayatan yang ‘Adil[26]
Nama
Kriteria Periwayat yang Adil
Keterangan
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
A = Beragama Islam
B = Baligh
C = Berakal
D = Taqwa
E = memlihara muru’ah
F = teguh dalam agama
G = tidak berbuat dosa besar
H = menjahui dosa kecil
I = tidak berbuat bid’ah
J = tidak berbuat maksiat
K = tidak berbuat fasik
L = menjauhi hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah
M = baik ahlaknya
N = dapat dipercaya beritanya
O = biasanya benar
JM = jumlah
√ = butir syarat yang ditunjuk oleh ulama yang bersangkutan
1.  Al-Hakim












2.  Ibn al-Shalah










3.  Al-Nawawiy










4.  Ibn Hajar al-‘Asqalaniy










5.  Al-Harawiy










6.  Al-Syawkaniy










7.  Al-Tirmisiy










8.  Ahmad M. Syakir









9.  Nur al-din ‘Itr








10.    M. ‘Ajjaj al-Khatib











11.    Al-Ghazaliy










12.    Ibn Qudamah











13.    Al-Amidiy










14.    Al-Jurjaniy












15.    Al-Khudhariy Bik











Jumlah Ulama yang Menunjuk Butir Syarat
6
5
5
5
14
2
9
8
3
1
7
3
1
1
1

Melihat limabelas butir yang diikhtisarkan ulama tersebut, dapatdisimpulkan bahwa butir-butir syarat yang dapat ditetapkan sebagai unsur-unsur periwayat yang adil ialah.
a.       Beragama Islam
Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi olehperiwayat yang adil. Ulama berbeda pendapat tentang argumen unsur beragamaIslam ini. Kebanyakan berpendapat bahwa orang fasik saja tidak dapt diterimahaditsnya apalagi orang kafir.Kalangan ulama lainnya menyatakan bahwa hadits itu sumber ajaranIslam. Orang yang tidak beragama Islam, bagaimana mungkin dapat diterimaberitanya tentang sumber ajaran ajaran Islam, hanaya orang yang beragama Islamsaja yang dapat diterima beritanya tentang sumber ajaran Islam.
b.      Mukallaf
Syarat berakal itu identik dengan kemampuan seseorang untukmembedakan. Jadi, agar dapat menanggung dan menyampaikan suatu hadits,seseorang harus memasuki usia akil baligh.[27]Orang yang belum atau tidakmemiliki tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang diperbuat dandikatakannya.
c.       Melaksanakan Ketentuan Agama
Orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak merasa beratberbuat berita bohong, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus,dalam hal ini hadits Nabi. Karena, orang yang tidak melaksanakan ketentuanagama tidak dapat dipercaya beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepadarasul.
d.      Memelihara Muru’ah
Orang memelihara rasa malunya berarti orang yang memeliharamuru’ahnya. Muru’ah merupakan satu nilai yang berlaku dalam masyarakat.Orang yang memelihara muru’ahnya tidak akan membuat berita bohong. Karena,orang yang membuat berita bohong adalah orang yang melakukan perbuatanhina. Perbuatan hina adalah perbuatan yang selalu dihindari oleh orang yangmemelihara muru’ahnya.
Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadits telahmenetapkan beberapa cara yaitu:
a.       Melalui popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits.
b.      Penilaian melalui para kritikus hadits.
c.       Penetapan melalui kaidah ilmu jarh wa al-ta’dil.[28]
Jadi, untuk menetapakanke’adilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama agar ke’adilan bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini orang yang menjadi saksi adalah ulama ahli kritikrawi hadis.
J.      Kedhabitan Rawi
1.      Pengertian Dhabit
Pengertian dhabit menurut bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan pengertian dhabit menurut istilah ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.[29]Dhabitjuga diartikan sebagai kemampuan rawi dalam memelihara hadits, baik melalui hafalan maupun catatan, yaitu mampu meriwayatkan hadits itu sebagaimana diterimanya.[30]Maksudnya seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.
2.      Syarat-syarat Kedhabiatan Rawi
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian dhabit, namun apabilapendapat-pendapat ulama tersebut digabungkan, maka butir-butir sifat dhabitadalah sebagai berikut:
a.       Periwayat memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya).
b.      Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya).
c.       Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itudengan baik:
1)      Kapan saja dia menghendakinya
2)      Sampai saat dia menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
Untuk butir (a) tidak semua ulama menyebutkannya. Sedangkan untukbutir (b) ulama sependapat menyatakannya, dan untuk butir (c) pendapat ulamaterbagi kepada dua versi; ada yang tidak membatasi waktu dan ada yangmembatasi waktu. Walaupun terbagi dua pendapat, tetapi pada dasarnya keduapendapat itu sama. Sebab, kemampuan hafalan yang dituntut dari seorangperiwayat, sehingga karenanya dia dapat dinyatakan sebagai seorang yangdhabit, adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain.Periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan tetap dinyatakansebagai periwayat yang dhabit sampai saat sebelum mengalam perubahan.Sedangkan sesudah mengalami perubahan dia dinyatakan tidak dhabit.
Adapun cara penetapan kedhabithan seorang periwayat menurut berbagaipendapat ulama dapat dinyatakan sebagai berikut:
a.       Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.      Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaianriwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yangtelah dikenal kedhabithannya. Tingkat kesesuannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.       Apabila seorang periwayat sesekali mengalami kekeliruan, maka diamasih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit. Tetapiapabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutantidak lagi disebut sebagai periwayat.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan kedhabitanperiwayat secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat kefahamanperiwayat tersebut terhadap hadits yang diriwayatkan. Karena bentuk kedhabitan para periwayat yang dinyatakan bersifatdhabit tidak sama, maka dhabit terbagi dua istilah, yaitu:
a.       Istilahdhabit diperuntukkan bagi periwayat yang
1)      Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya;
2)      Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itukepada orang lain.
b.      Istilahtammdhabit yang bila diindonesiakan dapat dipakai istilahdhabit plus, diperuntukkan bagi periwayat yang:
1)      Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya.
2)      Mampu menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain.
3)      Faham dengan baik hadits yang dihafalnya itu.[31]
Kedhabitan yang dibahas di atas termasuk dalam kategori dhabitshadr.Selain itu ada lagi kedhabitan yang lain yaitu, dhabitkitab. Yang dimaksuddengan periwayat dhabitkitab ialah periwayat yang ada padanya; apabila adakesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya.
K.    Sikap Pengkritik Hadis (Mutasyaddid, Mutawasshith, dan Mutasahhil)
Sementara dalam menilai atau mengkritik seorang periwayat, para kritikus hadis yangmenerapkan lafadz-lafadz di atas, ada yang bersikap mutasyaddid (ketat), mu’tadil ataumutawasshith (moderat), dan mutasahhil (longgar). Pengkritik yang bersikap mutasyaddidantara lain Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Yahya al-Qattan (w. 198 H), Yahya ibn Ma’in (w. 233 H), ‘Ali ibn al-Madini (w. 234), Abu Hatim al-Razi (w. 277), al-Nasa’i (w. 303), dan Ibn al-Jauzy (w. 597 H).
Pengkritik yang bersikap mu’tadil atau mutawassit (pertengahan) yaitu Ahmad ibn Hanbal (241 H), al-Bukhari(w. 256 H),Abu Zur’ah al-Razi(w. 264 H), dan Ibn Hajar al-‘Asqalani(w. 852 H) Pengkritik yang bersikap mutasahil (longgar) antara lain al-Syafi’i(w. 204 H), al- Tirmidzi (w. 279 H), Ibn Khuzaimah (w. 311 H), Ibn Hibban (w. 354 H), al-Tabrani (w. 360 H), al-Hakim (w. 405 H), al-Baihaqi (w. 458 H), al-Mundziri (w.656 H), AbuBakar al- Haitsami (w. 807 H), dan lain-lain.[32]
Perbedaan sikap kritikus ahli hadis dalam menilai para perawi yang terbagi kepada mutasyaddid, mutasahil dan mutawassit, seperti di atas tentu akan mempengaruhi penerimaan komentar mereka terhadap seorang perawi, sehingga para ulama berupaya mencari kaidahkaidah baru untuk mengadopsi sikap-sikap muhadditsin tersebut. Al-Laknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmil,[33] menyatakan: “Jika segolongan ulama dari kalangan mutsyaddid menilaiperawi, maka pernyataannya tentang ke’adilan seorang perawi dapat diterima, sedangkanpenjarhannya tidak bisa langsung diterima kecuali disetujui tokoh lain yang tidak terlaluketat.”
Sementara al-Nasa’i berpendapat: “Tidak ditinggalkan seorang perawi di sisikusehingga sepakat semua orang untuk meninggalkannya. Jika seorang perawi dinyatakan tsiqat oleh Ibn Mahdi dan dinyatakan dha’if oleh Yahya al-Qattan, misalnya, maka perawi tersebut jangan ditinggalkan (dinyatakan dha’if) mengingat betapa ketatnya Yahya al- Qattan.[34]
Dengan demikian, kredibilitas seorang perawi dalam kaitan jarh wat-ta’dilterpengaruh juga pada sikap kritikus, namun tidak secara langsung dan tidak terlalu jauh tingkatannya. Penilaian ta’dil yang datang dari kritikus yang ketat (mutasyaddid) dapat langsung diterima, sedangkan yang datang dari kritikus mutasahil perlu dicarikan lagi orangorang yang mendukung penilaian tersebut. Sebaliknya, penilaian jarh yang datang dari kritikus mutasyaddid perlu dicarikan pendukung, sedangkan yang datang dari kritikus mutasahil dapat langsung diterima.
Mencermati perbedaan sikap para kritikus hadis di atas, maka tidaklah mustahil terjadipertentangan penilaian terhadap seorang periwayat, karenanya ada beberapa pilihan yang ditempuh oleh para kritikus hadis, antara lain:


1.      Ta’dil DidahulukanatasJarh(التعدیلمقدّمعلىالجرح)
Bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi pujian. Penganut prinsip ini beralasan bahwa sifat dasar perawi hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Karenanya bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya. Prinsip ini didukung oleh al-Nasa’i dan al-‘Allamah al-Qasimi,[35] namun pada umumnya para ulama hadis tidak menerima teori tersebut karena kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya, sedangkan kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus yang mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya itu.[36]
2.      Jarh Didahulukanatas Ta’dil(الجرحمقدّمعلىالتعدیل)
Jika seorang perawi hadis dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan-kritikan yang berisi celaan. Penganut prinsip ini beralasan bahwa: a) kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya itu; b) yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah prasangka baik dari pribadi kritikus hadis dan prasangka baik itu harus dikalahkan apabila terdapat bukti ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.[37]
Prinsip ini didukung oleh jumhur ulama hadis, ulama fiqh dan ulama usul fiqh. Menurut Nur al-Din ‘Itr, pendapat ini sangat tepat dan dikutip oleh al-Khatib al-Baghdadi dari jumhur ulama dan disahihkan oleh Ibn al-Salah dan muhaddits lain serta sebagian ulama usul. Mereka berkata bahwa jarh didahulukan atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil itu lebih banyak karena orang yang menta’dilkan hanya memberitakan karakteristik yang tampak baginya, sedangkan orang yang menjarhmemberitakan karakteristik yang tidak tampak dan samar bagi yang menta’dil.[38]
Namun, kaidah ini tidak berarti harus mendahulukan jarh secara mutlak. Dapat dikatakan bahwa kaidah ini terbatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Jarh harus dijelaskan, sebagaimana telah dijelaskan di depan.
b.      Orang yangmenjarhtidak sentimen atas orang yang dijarhatau terlalumempersulit dalam menjarh. Oleh karena itu, tidak dapat diterima jarh al-Nasi’ikepada Ahmad ibn Salih al-Misri karena keduannya saling membenci.
c.       Penjarhtidak menjelaskan bahwa jarh yang ada dapat diterima bagi rawi yangbersangkutan. Untuk itu ia harus mengemukakan alasan yang kuat, seperti kasusTsabit ibn ‘Ajlan al-Anshari di mana menurut al-Uqaili, bahwa “Hadisnya tidakdapat diikuti”. Pernyataan ini diralat oleh Abu al-Hasan ibn al-Qattan bahwa hal itutidak mencacatkannya kecuali bila ia banyak meriwayatkan hadis-hadis munkardan menyalahi para periwayat yang tsiqat. Ralat ini disetujui oleh Ibn Hajar dengan mengatakan hal yang sama.[39]
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan sudut pandang para kritikus mengakibatkan perbedaan mereka dalam jarh wat-ta’dil. Oleh karena itu, al-Dzahabi berkata, “Tidak pernah terjadi kesepakatan dua orang ulama hadis untuk mentsiqatkan seorang perawi yang dha’if dan sebaliknya.” Ini karena rawi yang tsiqat bila ada yang mendha’ifkannya, tiada lain karena dilihat dari suatu sebab yang tidak menjadikannya cacat. Demikian pula bila seorang perawi yang dha’if lalu ada yang mentsiqatkannya, maka tiada lain karena berpegang kepada apa yang tampak secara lahiriah semata-mata.[40]
Pendapat senada dikatakan oleh Tajuddin al-Subki bahwa, “Janganlah kita berpegang secara membabibuta (fanatik) kepada kaidah: jarh muqaddamun ‘ala al-ta’dīl. Orang yang diakui keilmuan dan ke’ādilannya serta banyak yang memuji, sedikit yang mencela dan ada pula tanda-tanda bahwa celaan itu disebabkan fanatik madzhab, tiada dapatlah diterima penilaian jarh yang dihadapkan kepadanya”.[41]
3.      Jika Terjadi Pertentangan antara Kritikus yang Memuji dan Mencela
إذاتعارضالجارحوالمعدلفالحكمللمعدلإلاّإذاثبتالجرحالمفسّر
Jika terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya.

Apabila seorang perawi dipuji oleh kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan. Prinsip ini dipegang oleh jumhur ulama ahli kritik hadis. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa : a) penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslahrelevan dengan upaya penelitian; b) bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya itu dan ia memandang bahwa sebab-sebab itu memang tidak relevan ataupun telah tidak ada lagi, maka kritikannya yang memuji tersebut yang harusdipilih.[42]

4.      Jarh Tidak Diterima kecuali Setelah Ditetapkan
لایقبلالجرحإلاّبعدالتّثبتّخشیةالأشباهفيالمجروحین
Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) karena adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicela.
Apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan, maka kritikan itu tidak dapat diterima kecuali telah dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan nama. Dengan demikian, suatu kritikan harus jelas sasarannya. Prinsip ini dipegang dan didukung jumhur ulama ahli kritik hadis.[43]
5.      Jarh yang Dikemukakan oleh Orang yang Mengalami Permusuhan
الجرحالناشئعنعداوةدنیویةاوعقائدیةلایعتدﺒﻪ
Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan
Apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yangbermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengancelaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Pertentangan pribadi baik dalam masalahdunia maupun akidah dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yangbermusuhan dalam masalah dunia dan akidah dengan periwayat yang dikritik dengan celaandapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.Dari sejumlah teori yang disertai alasannya masing masing itu, maka yang harus dipilihadalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang lebih objektif terhadap para periwayathadis yang dinilai keadaan pribadinya. Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yangsesungguhnya bukanlah untuk mengikuti teori tertentu, akan tetapi untuk memperoleh hasilpenelitian hadis yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit untukdihasilkan.
Kritik terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh ulama ahli kitik hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela dikemukakan bukan untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis yang mereka sampaikan.
Ulama kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat hadis sangat perlu dikemukakan. Kejelekan dan kekurangan yang ditemukan hanya terbatas yang ada hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan hadis.
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu jarh wat-ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian tertentu. Adapun kegunaan ilmu jarh wat-ta’dil: 1) untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi dapat diterima atau ditolak sama sekali, 2) untuk mengetahui kesahihan sanad dari sebuah hadits, 3) untuk menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dha’if, dari segi kualitas rawi. Sedangkan sasaran dari ilmu jarh wat ta’dil adalah perawi hadis. Ilmu ini mengkritisi tengtang hal ikhwal para rawi, membahas kecacatan, keadilan, dan kedhabitan rawi yang memberikan berpengaruh besar terhadap kualifikasi haditsnya.
Syarat-syarat penta’dil dan pentajrih yaitu: 1) ‘alim, 2)bertakwa, 3) wira’i, 4) Jujur, 5) tidak terkena jarh, 6) tidak fanatik terhadap sebagian perawi, 7) mengerti betul sebab-sebab jarh dan ‘adil.Selanjutnya,ada lima hal yang menjadi penyebab ditolaknya seorang perawi, yaitu: 1) dusta, 2) tertuduh dusta, 3) fusuq (melanggar perintah), 4) jahalah, 5)penganut Bid’ah.SedangkanPerawi-perawi yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima riwayatnya ialah: 1) orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya, 2) orang yang banyak sesilapan (menyalahi)nya dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnya, 3) orang yang banyak lupa, 4) orang yang rusak akal di akhir umurnya, 5) orang yang tidak baik hafalannya, 6) orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja. Adapun metode ulama dalam menjelaskan hal ihwal para perawi, yaitu: 1) jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian, 2) kecermatan dalam meneliti dan menilai, 3) mematuhi etika jarẖ wat-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penilaian ilmiah. 4) secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih.Dan pembahasan tentangMartabat-martabat Jarh wat-Ta’dil meliputi lafadz-lafadz yang digunakan untuk menjarh atau menta’dilkan perawi, lafadz-lafadz ini bertingkat baik pada lafadz-lafadz yang digunakan dalam menjarh atau menta’dilkan seorang perawi.
‘Adil merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri dan dhabitmenurut bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan pengertian dhabit menurut istilah ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna.
Dalam menilai atau mengkritik seorang periwayat ada yang bersikap mutasyaddid (ketat), mu’tadil atau mutawasshith (moderat), dan mutasahhil (longgar). Terdapat pertentangan penilaian terhadap seorang periwat, yaitu: 1) ta’dil didahulukanatasjarh, 2) jarh didahulukanatas ta’dil , 3) jika terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, 4) jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan, 5) jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan.
B.     Saran
1.      Metode pembelajaran dalam mata kuliah ini seharusnya diterapkan pada mata kuliah lain karena metode dalam mata kuliah ini sangan mendidik, dan mengajak kepada mahasiswa untuk selalu befikir, membaca dan belajar. Selain itu metode ini sangat efektif untuk membuat mahasiswa menerima apa yang di ajarkan dalam proses pembelajaran.
2.      Bagi mahasiswa, khususnya PAI, agar selalu mengakses wacana apapun mengenai agama dan pendidikan guna menambah cakrawala pemikiran tentang agama dan pendidikan dan wacana apapun tentang sains dan teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Agar memiliki pengetahuan yang luas, dalam bidang agama, pendidikan, dan bidang-bidang yang lain.
3.      DAFTAR PUSTAKA
4.       
5.       
6.      ‘Itr, Nuruddin. 1994. Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda Karya.
7.      Ahmad, Muhammad & Mudzakir, M. 2004. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
8.      Al-Adlabi, SalahuddinIbn Ahmad.1983. Manhaj Naqd al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
9.      Al-Jawabi, Muhammad Tahir.1997. al-Jarh wa al-Ta’dīl; Baina al-Mutasyaddidin wa al-  Mutasahhilin. Tunisia: al-Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab.
10.  Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Pokok-pokok Ilmu Hadis. Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama.
11.  Al-Laknawi, Muhammad Abd al-Hayy. 1987. Al-Raf’u wa al-Takmil fi al-Jarh wa al-Ta’dīl. Beirut: Dar al-Aqsa.
12.  Al-Nasa’I, Ahmad ibn ‘Ali ibn Syu’aib. 1986. Kitab al-Du’afa’ wa al-Matrukin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
13.  Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din.1987. Qowa’id al-Tahdits min Funun Mustalah al-Hadits. Beirut: Dar an-Nafa’is.
14.  Al-Shalih, Subhi. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
15.  Baalbaki, Rohi. 1995. Al-maurid Qāmūs ‘Arabi-Inllizi. Dar el-Elm Lilmalayin.
16.  Idri. 2010. StudiHadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
17.  Ismail, Syuhudi. 1986. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang.
18.  ________. 1987. PengantarIlmuHadis. Bandung: Angkasa.
19.  ________. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
20.  Nabiel, Muhammad. Mafhum Tsiqah ‘Adalah.(www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
21.  Sholahudin, M. Agus & Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadis.Bandung: CV Pustaka Setia.
22.  Smeer, Zeid B.2008. Ulumul Hadis.Malang: UIN Malang Press.
23.  Soetari, Endang. 1997. Ilmu hadis Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Amal Bakti Press.
24.  Suryadi & Suryadilaga, M. Alfatih. 2009. Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH Press.
25.  Suryadi. 2003. MetodologiIlmuRijalilHadits. Yogyakarta: Madani Pustaka.
26.  Zahwu, Muhammad Abu. tth,  al-Hadis wa al-Muhaddisun. Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah.



[1] M. Abdurrahman & Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 111-112.
[2] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 129.
[3]Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 156.

[4] Suryadi & M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH Press, 2009), hlm. 99-100.
[5] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah, tth.).
[6] Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah, tth.).
[7] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mujio, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 77.
[8] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 20-22.
[9] Nuruddin ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mujio, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 78.
[10] Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), hlm. 22-23.
[11] Shubhi Ash-Shalih, ‘Ulumul al-Hadits wa Mushtalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1997), hlm. 109.
[12] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 159.
[13] M. Agus Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hlm. 158.
[14]Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2003 ), hlm. 2.
[15] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 240.
[16] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 238-239.
[17]Muhammad Ahmad & M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 157.
[18] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 180.
[19] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 243.
[20] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 181.
[21] Aidh al-Qorni, al-Bid’ah wa Atsaruha fi al-Dirayat wa al-Riwayat, disertasi, Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.

[22] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 181.
[23] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), hlm. 245.
[24] Rohi Baalbaki, Al-maurid Qāmūs ‘Arabi-Inllizi, (Dar el-Elm Lilmalayin, 1995), hlm. 753.
[25] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 203.
[26] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 129-131.
[27] Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 115.
[28] Idri, StudiHadis,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 162
[29] Syuhudi Ismail, PengantarIlmuHadis, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 179.
[30] Endang Soetari, Ilmu hadis Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 106.
[31] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 135-138. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[32] Muhammad Tahir al-Jawabi, al-Jarh wa al-Ta’dīl; Baina al-Mutasyaddidin wa al-  Mutasahhilin (Tunisia: al-Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab, 1997), hlm. 454-458. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[33] Muhammad Abd al-Hayy al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmil fi al-Jarh wa al-Ta’dīl (Beirut: Dar al-Aqsa, 1987), hlm. 281-282. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[34] Ahmad ibn ‘Ali ibn Syu’aib al-Nasa’i, Kitab al-Du’afa’ wa al-Matrukin (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), hlm. 142. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[35] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qowa’id al-Tahdits min Funun Mustalah al-Hadits (Beirut: Dar an-Nafa’is, 1987), hlm. 196-197. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[36] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 77-78. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[37] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 78. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[38] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 100. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[39] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 100-101. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[40] Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm. 101. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[41] Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qowa’id al-Tahdits min Funun Mustalah al-Hadits (Beirut: Dar an-Nafa’is, 1987), hlm. 197. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[42] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 79. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[43] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian HadisNabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 79. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar