BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis
merupakan sumber ajaran kedua umat Islam setelah al-Qur’an. Sebagai sumber
ajaran Islam yang kedua hadis perlu mendapat pengkajian yang mendalam karena
hadis memiliki beberapa fungsi tehadap al-Qur’an, salah satunya adalah
melengkapi hukum agama yang tidak diatur di dalam al-Qur’an.
Mempelajari
dan mengkaji hadis harus secara mendalam dan menyeluruh mencakup sisi matan,
sanad, dan metodologinya. Alasannya, dikarenakan dalam sejarah hadis itu
sendiri, pembukuannya dilakukan satu abad setelah nabi hijrah, tepatnya pada
masa dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Umar bin abdul Aziz. Bukan hanya
itu, pemalsuan hadis juga banyak terjadi, antara lain; golongan pembela Ali bin
Abi Thalib yang membuat hadis “barang siapa yang ingin melihat Adam pada
ketinggian ilmunya, ingin melihat Nuh pada ketinggian takwanya, ingin melihat
Musa pada kehebatannya, ingin melihat Isa pada ibadahnya, maka hendaklah ia
melihat Ali.”, Golongan Mu’awiyah yang membuat hadis palsu “yang amanah
itu ada tiga, aku (Muhammad), Jibril, dan Mu’awiyah, dan juga golongan
‘Abbasiyah yang membuat hadis “‘Abbas itu orang yang mengurus wasiatku
(Muhammad) dan ahli warisku (Muhammad).”[1]
Adanya
kenyataan historis tersebut, tentang munculnya pemalsuan hadis, memanipulasi
hadis untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok, mengharuskan untuk mengkaji hadis
baik dari sisi matan atau sanad secara mendalam.Pemalsuan hadis ini merupakan
penggerak utama untuk mengkaji hadis dari sanad dan matan sekaligus, dengan
tujuanagar diperoleh hadis yang sahih dan dapat dijadikan sebagai hujah.
Salah
satu cabang ilmu hadis yang mengkaji masalah tersebut adalah ilmu jarh
wat-ta’dil, ilmu jarh wat-ta’dil merupakan buah manis dari jerih
payah para ulama hadis yang telah berusaha maksimal menjaga dan membersihkan
hadis-hadis Nabi SAW dari tangan-tangan kotor. Ilmu ini dapat dijadikan sebagai
timbangan dalam melihat kualitas perawi, tentang kualitas keadilan dan kedhabitannya,
serta kecacatannya. Sehingga dapat diketahui siapa di antara para perawi
yang dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak. Bahkan ilmu
ini merupakan ilmu yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain.[2]
Menurut
ibnu Adi (w. 365 H), penilaian terhadap para perawi ini telah dimulai sejak
para sahabat. Para sahabat yang sering memberikan penilaian pada perawi hadis
pada masa itu adalah Ibnu Abbas (w. 68 H), Ubaidah Ibnu Tsamit (w. 34 H), dan
Anas Ibnu Malik (w. 93 H). Pada masa tabiin orang yang aktif memberikan
penilaian terhadap perawi hadis adalah Ibnu Sirin (w. 110 H) dan al-Syabi (w.
103 H), pada masa ini masih sedikit orang yang dipandang cacat dalam
meriwayatkan hadis. Sesudah berakhir masa tabiin, sekitar tahun 150 H para
ulama seperti Ibnu Said al-Qattan (w. 189 H), Abdul Razaq ibn Human (w. 211 H),
memberi perhatian khusus kepada para perawi hadis. Sesudah masa itu, barulah
para ahli menyusun kitab jarh wat-ta’dil, yang di dalamnya diterangkan
keadaan para perawi, yang boleh diterima atau ditolak periwayatannya.[3]
Karya
yang pertama-tama sampai kepada kita adalah kitab ma’rifat ar-rijal
karya Yahya Ibn Ma’in, kitab ad-dhu’afa’ karya Imam Muhammad Ibn Ismail
al-Bukhori (194-256 H) dan telah di cetak di India pada tahun 1325H. Dan
bersamanya dicetak pula kitab ad-dhu’afa’wa al-matrukin karya Imam Ahmad
ibn Syua’ib Ali An-Nasa’I (215- 303H).
Dengan
demikian, sanad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hadis. Oleh karena
itu suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, tetapi
tidak memiliki sanad sama sekali, dinyatakan palsu. Secara ekplisit, Muhammad
ibn Sirin (w. 110 H) mengatakan: “sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama,
maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu.” Lebih lanjut Imam
Nawawi (w. 676 H) menjelaskan hubungan hadis dengan sanad ibarat hubungan hewan
dengan kakinya, sehingga jika sanad itu sahih maka hadis diterima, dan
sebaliknya.[4]
Penelitian
sanad hadis menjadi hal yang sangat penting dalam mengetahui seorang perawi
hadis itu seorang yang diterima hadisnya atau ditolak. Oleh karena itu,
mempelajari ilmu jarh wat-ta’dilmenjadi sangat penting sebagai seorang
muslim. Lebih lanjut, makalah ini disusun untuk menjelaskan tentang konsep dan
implementasi jarh wat-ta’dildalam studi hadis. Sehingga dapat diketahui
sebuah hadis itu sahih, hasan, atau dha’if.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian, kegunaan, dan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil?.
2.
Apa saja
istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu jarh wat-ta’dil?.
3.
Bagaimana
konsep ke’adilan dan kedhabitan rawi?.
4.
Bagamana sikap
pengkritik rawi hadis dalam mengkritisi rawi hadis?.
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Menjelasakan pengertian,
kegunaan, dan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil?.
2.
Menyebutkan
istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu jarh wat-ta’dil?.
3.
Menjelaskan konsep
ke’adilan dan kedhabitan rawi?.
4.
Menjelaskan
sikap pengkritik rawi hadis dalam mengkritisi rawi hadis?.
PEMBAHASAN
Terdapat dua cabang ilmu hadis yang
digunakan untuk meneliti kesahihan suatu hadis,yakni ‘ilmuhaditsriwayah,
dan ‘ilmu hadits dirayah. ‘Ilmu hadits riwayahobjek kajiannya
adalah behubungan dengan menerima dan menyampaikan kepada orang lain,
memindahkan dan membukukansebuah hadis. Ilmu ini tidak membicarakan hal ihwal
perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dhabitatau fasiq yang berpengaruh
terhadap kualifikasi hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu haditsdirayah.
Ilmu haditsdirayah membahas secara khusus keadaan perawi, karena kedudukan
perawi sangat penting dalarn menentukan kualifikasi suatu hadis. Cabang ilmu
hadis untuk mengetahui hal ihwal perawi ini adalah ilmujarh wat-ta’dil.Jarh
wat-ta’dil merupakan cabang ilmu hadis yang sangat penting, ilmu ini mengkritisi
kredibilitas perawi, sehingga dapat diketahui apakah sebuah hadis itusahih, hasanatau
dha‘if.
Jarh wat-ta’dil memaparkan tentang penilaian atau kritik secara kompleks dan
kritis terhadap perawi hadis. Perawi yang dinilai memiliki kecacatan baik dari
segi ke‘adilannya atau kedhabitannya, maka dapat menurunkan derajat
kesahihan hadis yang diriwayatkan sesuai dengan tingkatan kecacatan yang
dimiliki seorang perawi tersebut, dan jika terbukti pernah melakukan hal yang
dilarang agama Islam, maka seluruh hadisnya dapat ditolak.
A.
Pengertian Ilmu
Jarh wat-Ta’dil
1.
Pengertian Jarh
Secara bahasa, jarh merupakan
masdar dari kata jaraha – yajrahu yang berarti akibat atau bekas
luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang dimaksud dapat berkaitan
dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau berkaitan dengan non
fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan seseorang.
Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada
masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan
saksi.[5]
Secara istilah ilmu hadis, kata jarh berarti tampak jelasnya
sifat pribadi atau keadaan seorang rawi yang tidak ‘adil dan menyebabkan
gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata tajrih menurut
istilah berarti pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang
tercela yang menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat
tersebut.[6]
Adapun pengertian jarh menurut para muhadisin adalah sebagai
berikut.
ﺍﻟﺟَﺮْﺡُﻋﻧﺪَﺍﻠﻣُﺣَﺪﺛﻳﻦَﺍﻠﻄَﻌْﻦُﻔﻲﺮَﺍﻮِﻯﺍﻠْﺤَﺪِﻴْﺚِﺒﻤَﺎﻴﺳْﻟُﺐُﺃﻮْﻴُﺧﻞّﺒﻌَﺪَﺍﻠﺗِﻪِﺃﻮْﻀَﺑْﻂِﻳْﻪِ.
Jarh menurut muhaditsin, adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi
sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya.[7]
2.
Pengertian Ta’dil
Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘adalah, yang
berarti mengemukakan sifat-sifat ‘adil yang dimiliki seseorang. Menurut
istilah ilmu hadis, kata ta’dil berarti mengungkap sifat-sifat bersih
yang ada pada diri periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas ke’adilan
pribadi periwayat itu dan riwayatnya dapat diterima.[8]
Adapun pengertian ta’dilmenurut para muhadisin adalah
sebagai berikut.
ﻮَﺍﻠﺗﻌْﺪِﻴﻞُﻋَﻜﺳُﻪُﻮَﻫُﻮَﺘَﺰْﻜِﻳَﺔﺍﻠﺮّﺍﻮِﻱﻮَﺍﻠﺤُﻜﻢُﻋَﻠﻳْﻪِﺒﺄﻨﻪُﻋَﺪْﻞٌﺃﻮْﻀَﺎﺒﻁٌ.
Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap
seorang rawi dan menghukumnya bahwa dia adil atau dhabit.[9]
3.
Pengertian Ilmu
Jarh wat-Ta’dil
‘Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani mengatakan bahwa ilmu jarh
wat-ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam
menilai cacat (kritik: jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi
rekomendasi positif atas (kesalehan: ta’dil) terhadap seorang rawi melalui
lafadz-lafadz penilaian tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz
tersebut.[10]
Adapun pengertian jarh wat-ta’dil menurut para muhaditsin
adalah sebagai berikut.
ﻋِﻟْﻢٌﻴُﺑْﺣَﺚُﻋَﻥِﺍﻠﺮّﻭَﺍﺓِﻤِﻦْﺤَﻳْﺚُﻤَﺎﻭَﺮَﺪَﻔِﻲْﺸَﺄﻨِﻬِﻢْﻤِﻣّﺎﻴُﺷْﻧِﻳْﻬِﻢْﺃﻭْﻴُﺰَﻜﻳْﻬِﻢْﺒﺄﻟﻔَﺎﻅٍﻤَﺧْﺻُﻮْﺻَﺔٍ.
Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan
keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan
lafadz tertentu.[11]
Jadi bisa dikatakan bahwailmu jarh wat-ta’dil adalah bentuk
lain dari penyelidikanterhadap kualitas suatu hadis.Penyelidikan dalam hal ini
adalah penyelidikan yang dapat menjadikan suatu dapat diterima (maqbul)
atau ditolak (mardud),yang objek penyelidikannya berkaitan dengan sanad
atau rawi hadis.
B.
Kegunaan Ilmu Jarh
wat-Ta’dil
Ilmu
jarh wat-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak,
dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang‘adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis
terpenuhi.
Jika
ilmu ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian
bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan
hadis sejak Nabi SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang,
dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Nabi
SAW kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena
terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi, dan masalah-masalah
yang lainnya yang dikaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu
hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang
bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.[12]
Ketidaktahuan
terhadapbenar atau salahnya suatu riwayat, akan menjadikantercampurnya antara
hadis yang benar-benar dari Nabi SAW dan hadis yang palsu (maudhu’).Dengan
mengetahui ilmu jarh wat-ta’dil, akan memudahkan dalam menyeleksi mana
hadis sahih, hasan, ataupun hadis dha’if, terutama dari segi kualitas
rawi.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegunaan ilmu jarh wat-ta’dil adalah:
1.
Untuk
menetapkan apakah periwayatan seorang rawi dapat diterima atau ditolak sama
sekali.
2.
Untuk
mengetahui kesahihan sanad dari sebuah hadits.
3.
Untuk
menyeleksi mana hadits sahih, hasan, ataupun hadits dhaif, dari segi kualitas
rawi.
C.
Sasaran Ilmu Jarh
wat-Ta’dil
Sasaran
adalah sesuatu yang menjadi tujuan (yang dikritik, dimarahi, diteliti, diselidiki,
dibidik, dituju, dan sebagainya). Jadi, dalam pembahasan ini yang dimaksud
dengan sasaran ilmu jarh wat-ta’dil adalah sesuatu yang menjadi tujuan
dari ilmu jarh wat-ta’dil itu sendiri, sesuatu yang diteliti,
diselidiki, atau dikritisi di dalam ilmu jarh wat-ta’dil.
Menggaris
bawahi pengertian sasaran sebagai sesuatu yang menjadi tujuan, jika dilihat
dari uraian pada sub bab sebelumnya, maka, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama
dari ilmu jarh wat-ta’dil adalah untuk memisahkan antara hadis yang murni
atau benar-benar berasal dari Nabi SAW dengan hadis yang palsu dengan meneliti ke’adilan
dan kedhabitan serta kecacatan seorang rawi hadis. Sehingga tidak
terjadi kesesatan akibat dari hadis-hadis palsu yang telah beredar.
Selanjutnya,
menggaris bawahi pengertian sasaran sebagai sesuatu yang diselidiki,
dipelajari, dan sebagainya, maka dapat disimpulkan bahwa sasaran dari ilmu jarh
wat-ta’dil adalah para rawi yang menjadi sanad dari suatu hadis. Adapun
yang diteliti dari rawi hadis adalah keadilan, kedhabitannya, dan
kecacatannya.
Kesimpulannya,
sasaran dari ilmu jarh wat-ta’dil adalah perawi hadis. Ilmu ini
mengkritisi tengtang hal ihwal para rawi, membahas kecacatan, ke’adilan,
dan kedhabitan rawi yang memberikan berpengaruh besar terhadap kualifikasi
haditsnya, sehingga bisa dibedakan mana hadis yang sahih, hasan, atau dhaif.[13]
Lepas
dari itu ilmu jarh wat-ta’dilmerupakan cabang dari ilmu rijalulhadits.
Ilmu rijalulhadits merupakan
ilmu secara khusus membahas perawi hadis, di mana ilmu RijalulHadits
memiliki dua anak cabang, yakni Ilmu tarikh ar-ruwah dan ‘ilmu al-jarh wa
at-ta’dil.Ilmu rijalulhadits dalam mengkaji para rawi pada dasarnya
memiliki dua ruang bahasan. Pertama, biografi atau sejarah para rawi
sebagai cakupan Ilmu tarikh ar-ruwah. Kedua, sebagai kelanjutan
tahapan pertama, yakni mengkaji rawi dari aspek kualitas rawi.[14]
Terkait dengan kajian ilmu rijalul hadits, terdapat
kitabal-kasyif fii ma’rifati man lahu riwayah fii al-kutubu al-Sittah,
kitab yang mengkritisi para perawi hadits dalam kutubbual-sittah. Kitab
ini memberi gambaran lebih cermat tentang sasaran dalam ilmu jarh wat-ta’dilkarena memang
ilmu jarh wat-ta’dilmerupakan cabang dari ilmu rijalulhadits itu
sendiri.
Mempelajari sasaran ini merupakan langkah
sebagai pengkayaan terhadap wawasan keilmuan terutama di bidang hadis dan dapat
dijadikan alat untuk memahami hadis lebih relevan dengan aspek-aspek kekinian.
Oleh karena itu menelaah hadis dari beberapa kitab hadis sangat diperlukan.
D.
Syarat-syarat
Bagi Ulama Jarhwat-Ta’dil
Ulama
sependapat atas kewajiban terpenuhinya syarat-syarat itu dalam diripenta’dil
dan pentajrih, siapa saja yang menekuni bidang ini harus memenuhibeberapa
kriteria, yaitu:
1.
‘Alim
2.
Bertakwa
3.
Wira’i
4.
Jujur
5.
Tidak terkena jarh
6.
Tidak fanatik
terhadap sebagian perawi
7.
Mengerti betul
sebab-sebab jarh dan ‘adil.[15]
Hal
tersebut di atas menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa menjadi ulama jarh
wat-ta’dil, untuk menjadi seorang ulama jarh wat-ta’dildibutuhkan
persyaratan khusus yang telah disepakati oleh ulama jarh-wat ta’dilyang
telah disebutkan di atas.
Hal
tersebut senada dengan hadis Nabi “Jika urusan diserahkan bukan kepada
ahlinya, maka tunggulah kehancuran.”Persyaratan tersebut di atas mutlak
untuk dipenuhi untuk mengkritik seorang perawi hadis. Agar hadis benar-benar
berasal dari orang yang kredibel pada bidang tersebut. Memperbolehkan semua
orang menjadi pengkritik rawi sama seperti berobat karena penyakit tapi tidak
berobat kedokter, maka hal tersebut akan sangat membahayakan.
E.
Metode Ulama
dalam Menjelaskan Hal Ihwal Para Perawi
Ada
beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskanhal ihwal para
perawi, yaitu:
1.
Jujur dan
tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka menyebutkan sifatpositif maupun
negatif para perawi. Kejujuran merupakan ideologimereka yang tertancap kuat dan
patokan umum yang mereka terapkandalam menjelaskan kebenaran, meski membawa dampak
negatif atas dirimereka sendiri.
2.
Kecermatan
dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataanulama
tentang jarhwat-ta’dil kita bisa menemukankecermatanmereka dalam
meneliti dan kedalaman pengetahuan merekatentang seluk-beluk perawi yang mereka
kritik.
3.
Mematuhi etika jarh
wat-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidakakan keluar dari etika penilaian
ilmiah.
4.
Secara global menta’dil
dan secara rinci dalam mentajrih.[16]
Menjadi
ulama jarhwat-ta’dilmerupakan hal yang tidak mudah disamping ada
persyaratan tertentu yang khusus dan menjadi ulama jarhwat-ta’dilitu
merupakan sesuatu yang bisa diakatakan “pedang bermata dua”. Maksudnya,
kritikan seorang ulama jarhwat-ta’dil akan menjadi boomerang bagi
pengkritik jika lakukan tidak berhati-hati dan sesuai metodenya.
F.
Sebab-sebab
Ditolaknya Riwayat
Ada
lima hal yang menjadi penyebab ditolaknya seorang perawi, yaitu:
1.
Dusta
Yang dimaksud dusta ialah bahwa orang itu telah berbuat dusta pada
suatuhadis (pernah membuat hadis palsu/maudhu’). Orang yang sudah diketahuipernah
berdusta dalam suatu hadis, walaupun hanya satu kali saja seumurhidupnya, tidak
diterima hadisnya, meskipun ia bertaubat.
2.
Tertuduh Dusta
Yang dimaksud tertuduh dusta ialah perawi itu telah terkenal
berdustadalam pembicaraan, tetapi belum terbukti berdusta dalam meriwayatkan
hadis.Hadis orang yang tertuduh dusta dinamai hadis matruk dan orang
tersebutdinamai matrukal-hadits. Orang ini apabila bertobat dan baik
tobatnya, bolehditerima hadisnya.
Contoh hadis:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لولا النساء لعبد
الله حقا.
Rasulullah bersabda: sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah
disembah (ditaati) dengan sungguh-sungguh.
Hadistersebut diriwayatkan Yaqub bin Sufyan bin Asyim, dengan sanad
terdiri dari: Muhammad bin Imran, Isa bin Ziyad, Abdur Rahim bin Zaid dan
ayahnya, Said bin Musayyab, dan Umar bin Khattab. Di antara nama-nama tersebut,
Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya pernah dituduh berdusta. Oleh sebab itu, hadis
ini disebut hadis matruk.[17]
3.
Fusuq (Melanggar Perintah)
Fusuq yang dimaksud
adalah dalam hal amal, amal yang lahir bukandalam hal akidah, karena fusuq
dalam urusan akidah termasuk dalam penganutbid’ah. Meskipun dusta termasuk
suatu maksiat fusuq, namun ulama mejadikannya tersendiri, karena
kecacatan lantaran dusta lebih nyata untukdijadikan dasar menolak hadis.
4.
Jahalah
Tidak dikenal (jahalah) perawinya dijadikan dasar dalam
menolak hadisadalah karena orang yang tidak dikenal namanya dan pribadinya,
tentu tidakdikenal keadaanya, apakah ia orang yang dapat dipercaya ataukah
sebaliknya.Bila seorang perawi ‘adil meriwayatkan dari seorang perawi
lain tanpamenyebut namanya, maka periwayatannya itu tidak merupakan penta’dilan.Namun
bila perawi ‘adil menyertakan penilaian ‘adil, misalnya dengan
mengatakan“telah meriwayatkan kepadaku orang yang aku percayai” atau “orang tsiqat”ataupun
“orang yang saya ridhai”, maka terdapat dua pendapat diakalanganulama.[18]
Pertama, penilaian tsiqat
seperti itu belum cukup tanpa menyebutkannama, karena bisa jadi perawi yang
bersangkutan tsiqat menurutnya, tetapi tidaktsiqat menurut yang
lain. Kedua, pentadilan diterima secara mutlak, sama halnyaketika ia
menyebut nama perawi yang bersangkutan secara tegas. Hal tersebutdikarenakan
perawi ‘adil bisa dipercaya dalam dua keadaan, yaitu ketika menyebutnama
secara tegas dan menilai tsiqat perawi yang dikritiknya, dan
ketikamenilainya tsiqat atau menyembunyikan namanya.[19]
5.
Penganut Bid’ah
Yang dimaksud penganut bid’ah ialah mempunyai sesuatu yang i’tiqadyang
menyalahi agama (al-Quran dan as-Sunnah) dengan tidak sengaja
lantarankesamanaran atau kesalahan pengertian. Apabila bid’ah ini karena
disengaja,maka dinamakan kufur.[20]
Contoh kasus, penafsir sekaliber Ikrimah pun tak luput dari tuduhan
bid’ah bahkan ada yang menandaskan beliau memang benar-benar berpaham
Khawarij sekte Ibadhiyah. Namun ulama hadis tetap memandang bolehmeriwayatkan
hadis darinya karena beliau mencukupkan keyakinannya untuk dirinya sendiri dan
tidakmempromosikannya bid’ahnya kepada orang lain. Hadis Ikrimah banyak
ditemukan di kitab-kitab sunnah.Beliau dipuji sebagai ulama yang berwawasan
luas, memiliki ketajaman akal serta kuatnya hapalan.[21]
G.
Perawi-perawi
yang Tidak Langsung Ditolak Riwayatnya
Perawi-perawi
yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterimariwayatnya
ialah:
1.
Orang yang
diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
2.
Orang yang
banyak sesilapan (menyalahi)nya dan menyalahi imam-imamyang kenamaan/terpercaya
dalam riwayat-riwayatnya.
3.
Orang yang
banyak lupa.
4.
Orang yang
rusak akal di akhir umurnya.
5.
Orang yang
tidak baik hafalannya
6.
Orang yang
menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orangterpercaya maupun
dari orang yang lemah (tidak terpercaya).[22]
H.
Martabat-martabatJarh
wat-Ta’dil
Perawi
yang memindahkan hadits tidak semuanya berada pada tingkat yang sama dalam hal
hafalan, ilmu dan kedhabitan. Ada hafidz yang tidak diragukan lagi
kehandalannya. Ada yang lebih rendah kedhabitan dan hafalannya. Ada juga yang
sedikit melakukan kesalahan atau sering lupa dan salah, meski memilki sifat
adil dan jujur.[23]
1. Martabat-martabatTa’dil
a.
Kata-kata yang
menunjukkan mubālaghah (intensitas maksimal) dalam halta’dil dengan
bentuk af’al at-tafdhil dan sejenisnya:
1)
( اوثقالناس) orang paling tsiqah
2)
( أضبطالناس) orang yang hafalannya paling kuat
3)
( لیسﻠﻪنظیر ) tiada tandingannya
b.
Kedua, misalnya
seperti pernyataan:
1)
( فلانلایسألﻋﻧﻪ ) fulan tidak dipertanyankan
2)
(فلانلایسألعنﻤﺛﻟﻪ) orang semisal fulan tidak perlu dipertanyakan
c.
Ketiga, julukan
yang dikuatkan dengan suatu sifat yang menunjukkan bahwa orang itu terpercaya
baik dengan kata yang sama atau kata yangsearti:
1)
( ثقةحافظ ) orang yang tsiqah lagi hafiz
2)
( ثقةمأمون ) orang yang tsiqah lagi amanat
3)
( ثقةثقة ) orang yang tsiqah lagi tsiqah
d.
Keempat,
kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yangmenyiratkan kedhabitan:
1)
( ثبت) orang yang teguh (hati-hati lidahnya)
2)
( متقن) orang yang meyakinkan ilmunya
3)
(عدلإمامحجة)orang yang ‘adil hujahnya
4)
(عدلضابط...) orang yang ‘adil
dan dhabith
e.
Kelima, kata
yang menunjukkan sifat ‘adil, tetapi mengggunakan kata yangtidak
menyiratkan kedhabithan, misalnya:
1)
( صدوق) orang yang sangat jujur
2)
( مأمون ) orang yang memegang amanat
3)
( لابأسﺒﻪ ) orang yang idak cacat
4)
( محلةالصدق ) orang yang berstatus jujur
5)
( صالحالحدیث ) orang yang baik haditsnya
f.
Keenam,
kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrih, sepertipenyertaan kata-kata di
atas dengan kalimat masyi’ah:
1)
( شیخوسط ) dia syaikh yang imbang
2)
( صدوقإنشالله ) insya Allah dia benar
3)
( صویلح ) orang yang agak baik
4)
( لیسببعیدمنالصواب ) dia tidak jauh dari kebenaran
Para ahli menggunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
rawi-rawiyang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat
sebagaihujjah, adapun hadits-hadits para rawi yang dita’dilkan menurut
tingkatan kelima dan keenam hanya dapat berbentuk af’alu yang ditulis dan baru
dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
2. Martabat-martabat Jarh
a.
Pertama, dengan
kata-kata yang menunjukkan mubalaghah dalam hal aljarh,misalnya:
1)
( ركنالكذب ) sumber kebohongan
2)
( أكدبالناس ) orang yang paling berdusta
3)
( إلیھالمنتھىفىالوضع) padanya terdapat kedustaan yang besar
b.
Kedua, al-jarh
dengan kedustaan atau pemalsuan. Misalnya:
1)
( كذاب ) orang yang pembohong
2)
( وضاع ) orang yang pendusta
3)
( دجال ) orang yang penipu
c.
Ketiga,
kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagaipendusta, pemalsu atau
sejenis. Misalnya:
1)
( یسرقالحدیث ) orang pencuri hadits
2)
( متھمبالكذاب ) orang yang tertuduh dusta
3)
( لیسبثقة ) hafalannya tidak kuat
4)
( ھالك ) orang yang binas
5)
( متروك ) orang yang dusta
d.
Keempat, dengan
manunjukkan kata-kata yang menunjukkan kedhaifanyang sangat. Misalnya:
1)
(طرحالحدﻴﺛﻪ)orang
yang kurang hadisnya
2)
( لیسبشيء ) orang yang tidak ada apa-apanya
3)
(ضعیفجدا ) orang yang sangat dha’if
4)
( مردودالحدیث ) orang yang ditolak haditsnya
e.
Kelima,
kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if atas perawi ataukerancuan
hafalannya. Misalnya:
1)
( ضعفوه ) ulama mengatakan lemah
2)
( لایحتجﺒﻪ ) orang yang tidak dapat dibuat hujjah
3)
( مضطربالحدیث ) hadits mudhtharab (berantakan)
4)
( ﻠﻪمناكیر ) haditsnya dusta
f.
Keenam,
menyifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkankedhaifannya, akan tetapi
dekat dengan ta’dil. Misalnya:
1)
( ﻔﻳﻪمقال ) perkataan yang rendah
2)
(ﻔﻳﻪضعف
) dinyatakan dha’if
3)
(ﻔﻳﻪجھلة ) ada kebodohan padanya
4)
( لیسبالمرضى) tidak bisa diterima
5)
( شيءالخفظ ) hafalan yang buruk
Orang yang mentajrih menurut
tingkaatan pertama sampai dengantinggkatan keempat, haditsnya tidak dapat
dibuat hujjah sama sekali. Adapunorang yang mentajrihkan menurut tingkatan kelima
dan keenam, haditsnya dapat dipakai sebagaii’tibar(tempat pembanding).
I.
Ke’adilan Rawi
1.
Pengertian ‘Adil
Kata adil dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti tidak berat
sebelah(tidak memihak) atau sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dalam kamus
Maurid(Arab-Ingris), kata عدل bermakna: justice, fairness, equitability,
equetabliness,impartiality, unbiasedness.[24]
Namun di dalam hadis ‘adilmerupakan sifat yang tertancap
dalam jiwa yang mendorong pemiliknyauntuk senantiasa bertakwa dan memelihara
harga diri. Sehingga jiwa kita akanpercaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa
besar termasuk kedalamnya, jugasebagian dosa kecil, seperti mengurangi
timbangan sebiji, mencuri sesuap makan,serta menjauhi perkara-perkara mubah
yang dinilai mengurangi harga diri, sepertimakan di jalan, buang air kecil di
jalan, berteman dengan orang-orang keji danterlalu berlebihan dalam berkelakar.[25]
2.
Syarat-syarat Ke’adilan
Rawi
Pendapat Ulama
tentang Kriteria (Syarat-syarat) Periwayatan yang ‘Adil[26]
Nama
|
Kriteria
Periwayat yang Adil
|
Keterangan
|
||||||||||||||
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
I
|
J
|
K
|
L
|
M
|
N
|
O
|
A = Beragama Islam
B = Baligh
C = Berakal
D = Taqwa
E = memlihara muru’ah
F = teguh dalam agama
G = tidak berbuat dosa besar
H = menjahui dosa kecil
I = tidak berbuat bid’ah
J = tidak berbuat maksiat
K = tidak berbuat fasik
L = menjauhi hal yang dibolehkan yang dapat merusak muru’ah
M = baik ahlaknya
N = dapat dipercaya beritanya
O = biasanya benar
JM = jumlah
√ = butir syarat yang ditunjuk oleh ulama yang bersangkutan
|
|
1.
Al-Hakim
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
2.
Ibn al-Shalah
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
3.
Al-Nawawiy
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
4.
Ibn Hajar
al-‘Asqalaniy
|
|
|
|
√
|
√
|
|
√
|
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
5.
Al-Harawiy
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
|
6.
Al-Syawkaniy
|
|
|
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
7.
Al-Tirmisiy
|
|
|
|
|
√
|
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
8.
Ahmad M.
Syakir
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
|
|
|
|
|
√
|
|
|
√
|
|
|
9.
Nur al-din
‘Itr
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
10.
M. ‘Ajjaj
al-Khatib
|
|
|
|
|
√
|
√
|
|
|
|
|
√
|
|
√
|
|
|
|
11.
Al-Ghazaliy
|
|
|
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
|
|
12.
Ibn Qudamah
|
|
|
|
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
13.
Al-Amidiy
|
|
|
|
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
√
|
|
|
√
|
|
14.
Al-Jurjaniy
|
|
|
|
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
15.
Al-Khudhariy
Bik
|
|
|
|
√
|
√
|
|
√
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jumlah Ulama
yang Menunjuk Butir Syarat
|
6
|
5
|
5
|
5
|
14
|
2
|
9
|
8
|
3
|
1
|
7
|
3
|
1
|
1
|
1
|
Melihat limabelas butir yang diikhtisarkan ulama tersebut,
dapatdisimpulkan bahwa butir-butir syarat yang dapat ditetapkan sebagai
unsur-unsur periwayat yang adil ialah.
a.
Beragama Islam
Keislaman
merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi olehperiwayat yang adil. Ulama
berbeda pendapat tentang argumen unsur beragamaIslam ini. Kebanyakan
berpendapat bahwa orang fasik saja tidak dapt diterimahaditsnya apalagi orang
kafir.Kalangan ulama lainnya menyatakan bahwa hadits itu sumber ajaranIslam.
Orang yang tidak beragama Islam, bagaimana mungkin dapat diterimaberitanya
tentang sumber ajaran ajaran Islam, hanaya orang yang beragama Islamsaja yang
dapat diterima beritanya tentang sumber ajaran Islam.
b.
Mukallaf
Syarat
berakal itu identik dengan kemampuan seseorang untukmembedakan. Jadi, agar
dapat menanggung dan menyampaikan suatu hadits,seseorang harus memasuki usia
akil baligh.[27]Orang
yang belum atau tidakmemiliki tanggung jawab tidak dapat dituntut apa yang
diperbuat dandikatakannya.
c.
Melaksanakan
Ketentuan Agama
Orang
yang tidak melaksanakan ketentuan agama Allah tidak merasa beratberbuat berita
bohong, baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus,dalam hal ini
hadits Nabi. Karena, orang yang tidak melaksanakan ketentuanagama tidak dapat
dipercaya beritanya, termasuk berita yang disandarkan kepadarasul.
d.
Memelihara Muru’ah
Orang
memelihara rasa malunya berarti orang yang memeliharamuru’ahnya. Muru’ah
merupakan satu nilai yang berlaku dalam masyarakat.Orang yang memelihara
muru’ahnya tidak akan membuat berita bohong. Karena,orang yang membuat berita
bohong adalah orang yang melakukan perbuatanhina. Perbuatan hina adalah
perbuatan yang selalu dihindari oleh orang yangmemelihara muru’ahnya.
Untuk mengetahui adil tidaknya periwayat hadis, para ulama hadits
telahmenetapkan beberapa cara yaitu:
a.
Melalui
popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits.
b.
Penilaian
melalui para kritikus hadits.
c.
Penetapan
melalui kaidah ilmu jarh wa al-ta’dil.[28]
Jadi, untuk menetapakanke’adilan periwayat diperlukan
kesaksian dari ulama agar ke’adilan bisa dipertanggungjawabkan. Dalam
hal ini orang yang menjadi saksi adalah ulama ahli kritikrawi hadis.
J.
Kedhabitan Rawi
1.
Pengertian Dhabit
Pengertian dhabit menurut bahasa dapat berarti yang kokoh,
yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan sempurna. Sedangkan pengertian dhabit
menurut istilah ialah orang yang memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna.
Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkannya itu, serta mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki.[29]Dhabitjuga
diartikan sebagai kemampuan rawi dalam memelihara hadits, baik melalui hafalan
maupun catatan, yaitu mampu meriwayatkan hadits itu sebagaimana diterimanya.[30]Maksudnya
seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari hafalannya dan
memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian atau pengurangan bila ia
meriwayatkan dari tulisannya.
2.
Syarat-syarat Kedhabiatan
Rawi
Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian dhabit, namun
apabilapendapat-pendapat ulama tersebut digabungkan, maka butir-butir sifat dhabitadalah
sebagai berikut:
a.
Periwayat
memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya).
b.
Periwayat itu
hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya).
c.
Periwayat itu
mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itudengan baik:
1)
Kapan saja dia
menghendakinya
2)
Sampai saat dia
menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.
Untuk butir (a) tidak semua ulama menyebutkannya. Sedangkan untukbutir
(b) ulama sependapat menyatakannya, dan untuk butir (c) pendapat ulamaterbagi
kepada dua versi; ada yang tidak membatasi waktu dan ada yangmembatasi waktu.
Walaupun terbagi dua pendapat, tetapi pada dasarnya keduapendapat itu sama.
Sebab, kemampuan hafalan yang dituntut dari seorangperiwayat, sehingga
karenanya dia dapat dinyatakan sebagai seorang yangdhabit, adalah
tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain.Periwayat yang
mengalami perubahan kemampuan hafalan tetap dinyatakansebagai periwayat yang dhabit
sampai saat sebelum mengalam perubahan.Sedangkan sesudah mengalami perubahan
dia dinyatakan tidak dhabit.
Adapun cara penetapan kedhabithan seorang periwayat menurut
berbagaipendapat ulama dapat dinyatakan sebagai berikut:
a.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b.
Kedhabitan periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaianriwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yangtelah dikenal
kedhabithannya. Tingkat kesesuannya itu mungkin hanya sampai ke tingkat makna
atau mungkin ke tingkat harfiah.
c.
Apabila seorang
periwayat sesekali mengalami kekeliruan, maka diamasih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang dhabit. Tetapiapabila kesalahan itu sering terjadi, maka
periwayat yang bersangkutantidak lagi disebut sebagai periwayat.
Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan kedhabitanperiwayat
secara implisit ialah hafalannya dan bukan tingkat kefahamanperiwayat tersebut
terhadap hadits yang diriwayatkan. Karena bentuk kedhabitan para
periwayat yang dinyatakan bersifatdhabit tidak sama, maka dhabit
terbagi dua istilah, yaitu:
a.
Istilahdhabit
diperuntukkan bagi periwayat yang
1)
Hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya;
2)
Mampu
menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itukepada orang lain.
b.
Istilahtammdhabit
yang bila diindonesiakan dapat dipakai istilahdhabit plus, diperuntukkan
bagi periwayat yang:
1)
Hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya.
2)
Mampu
menyampaikan dengan baik hadits yang dihafalnya itu kepda orang lain.
3)
Faham dengan baik
hadits yang dihafalnya itu.[31]
Kedhabitan yang dibahas
di atas termasuk dalam kategori dhabitshadr.Selain itu ada lagi kedhabitan
yang lain yaitu, dhabitkitab. Yang dimaksuddengan periwayat dhabitkitab
ialah periwayat yang ada padanya; apabila adakesalahan tulisan dalam kitab, dia
mengetahui letak kesalahannya.
K.
Sikap
Pengkritik Hadis (Mutasyaddid, Mutawasshith, dan Mutasahhil)
Sementara dalam menilai atau mengkritik seorang periwayat, para
kritikus hadis yangmenerapkan lafadz-lafadz di atas, ada yang bersikap mutasyaddid
(ketat), mu’tadil ataumutawasshith (moderat), dan mutasahhil
(longgar). Pengkritik yang bersikap mutasyaddidantara lain Syu’bah
ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Yahya al-Qattan (w. 198 H), Yahya ibn Ma’in (w. 233
H), ‘Ali ibn al-Madini (w. 234), Abu Hatim al-Razi (w. 277), al-Nasa’i (w.
303), dan Ibn al-Jauzy (w. 597 H).
Pengkritik yang bersikap mu’tadil atau mutawassit (pertengahan)
yaitu Ahmad ibn Hanbal (241 H), al-Bukhari(w. 256 H),Abu Zur’ah al-Razi(w. 264
H), dan Ibn Hajar al-‘Asqalani(w. 852 H) Pengkritik yang bersikap mutasahil (longgar)
antara lain al-Syafi’i(w. 204 H), al- Tirmidzi (w. 279 H), Ibn Khuzaimah (w.
311 H), Ibn Hibban (w. 354 H), al-Tabrani (w. 360 H), al-Hakim (w. 405 H),
al-Baihaqi (w. 458 H), al-Mundziri (w.656 H), AbuBakar al- Haitsami (w. 807 H),
dan lain-lain.[32]
Perbedaan sikap kritikus ahli hadis dalam menilai para perawi yang
terbagi kepada mutasyaddid, mutasahil dan mutawassit, seperti di
atas tentu akan mempengaruhi penerimaan komentar mereka terhadap seorang
perawi, sehingga para ulama berupaya mencari kaidahkaidah baru untuk mengadopsi
sikap-sikap muhadditsin tersebut. Al-Laknawi dalam al-Raf’u wa
al-Takmil,[33]
menyatakan: “Jika segolongan ulama dari kalangan mutsyaddid menilaiperawi,
maka pernyataannya tentang ke’adilan seorang perawi dapat diterima,
sedangkanpenjarhannya tidak bisa langsung diterima kecuali disetujui
tokoh lain yang tidak terlaluketat.”
Sementara al-Nasa’i berpendapat: “Tidak ditinggalkan seorang perawi
di sisikusehingga sepakat semua orang untuk meninggalkannya. Jika seorang
perawi dinyatakan tsiqat oleh Ibn Mahdi dan dinyatakan dha’if oleh
Yahya al-Qattan, misalnya, maka perawi tersebut jangan ditinggalkan (dinyatakan
dha’if) mengingat betapa ketatnya Yahya al- Qattan.[34]
Dengan demikian, kredibilitas seorang perawi dalam kaitan jarh
wat-ta’dilterpengaruh juga pada sikap kritikus, namun tidak secara langsung
dan tidak terlalu jauh tingkatannya. Penilaian ta’dil yang datang dari
kritikus yang ketat (mutasyaddid) dapat langsung diterima, sedangkan
yang datang dari kritikus mutasahil perlu dicarikan lagi orangorang yang
mendukung penilaian tersebut. Sebaliknya, penilaian jarh yang datang
dari kritikus mutasyaddid perlu dicarikan pendukung, sedangkan yang
datang dari kritikus mutasahil dapat langsung diterima.
Mencermati perbedaan sikap para kritikus hadis di atas, maka
tidaklah mustahil terjadipertentangan penilaian terhadap seorang periwayat,
karenanya ada beberapa pilihan yang ditempuh oleh para kritikus hadis, antara
lain:
1.
Ta’dil DidahulukanatasJarh(التعدیلمقدّمعلىالجرح)
Bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi
pujian. Penganut prinsip ini beralasan bahwa sifat dasar perawi hadis adalah
terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian.
Karenanya bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka
yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya. Prinsip ini didukung oleh
al-Nasa’i dan al-‘Allamah al-Qasimi,[35]
namun pada umumnya para ulama hadis tidak menerima teori tersebut karena
kritikus yang memuji tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat
yang dinilainya, sedangkan kritikus yang mengemukakan celaan adalah kritikus
yang mengetahui ketercelaan periwayat yang dinilainya itu.[36]
2.
Jarh Didahulukanatas Ta’dil(الجرحمقدّمعلىالتعدیل)
Jika seorang perawi hadis dinilai tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah
kritikan-kritikan yang berisi celaan. Penganut prinsip ini beralasan bahwa: a)
kritikus yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi periwayat yang
dicelanya itu; b) yang menjadi dasar untuk memuji seorang periwayat adalah
prasangka baik dari pribadi kritikus hadis dan prasangka baik itu harus
dikalahkan apabila terdapat bukti ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang
bersangkutan.[37]
Prinsip ini didukung oleh jumhur ulama hadis, ulama fiqh dan ulama
usul fiqh. Menurut Nur al-Din ‘Itr, pendapat ini sangat tepat dan dikutip oleh
al-Khatib al-Baghdadi dari jumhur ulama dan disahihkan oleh Ibn al-Salah dan muhaddits
lain serta sebagian ulama usul. Mereka berkata bahwa jarh didahulukan
atas ta’dil meskipun yang men-ta’dil itu lebih banyak karena orang
yang menta’dilkan hanya memberitakan karakteristik yang tampak baginya,
sedangkan orang yang menjarhmemberitakan karakteristik yang tidak tampak
dan samar bagi yang menta’dil.[38]
Namun, kaidah ini tidak berarti harus mendahulukan jarh secara
mutlak. Dapat dikatakan bahwa kaidah ini terbatas dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Jarh harus dijelaskan, sebagaimana telah dijelaskan di depan.
b.
Orang yangmenjarhtidak
sentimen atas orang yang dijarhatau terlalumempersulit dalam menjarh.
Oleh karena itu, tidak dapat diterima jarh al-Nasi’ikepada Ahmad ibn Salih
al-Misri karena keduannya saling membenci.
c.
Penjarhtidak menjelaskan bahwa jarh yang ada dapat diterima bagi
rawi yangbersangkutan. Untuk itu ia harus mengemukakan alasan yang kuat,
seperti kasusTsabit ibn ‘Ajlan al-Anshari di mana menurut al-Uqaili, bahwa
“Hadisnya tidakdapat diikuti”. Pernyataan ini diralat oleh Abu al-Hasan ibn
al-Qattan bahwa hal itutidak mencacatkannya kecuali bila ia banyak meriwayatkan
hadis-hadis munkardan menyalahi para periwayat yang tsiqat. Ralat
ini disetujui oleh Ibn Hajar dengan mengatakan hal yang sama.[39]
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan sudut pandang para kritikus
mengakibatkan perbedaan mereka dalam jarh wat-ta’dil. Oleh karena itu,
al-Dzahabi berkata, “Tidak pernah terjadi kesepakatan dua orang ulama hadis
untuk mentsiqatkan seorang perawi yang dha’if dan sebaliknya.”
Ini karena rawi yang tsiqat bila ada yang mendha’ifkannya, tiada
lain karena dilihat dari suatu sebab yang tidak menjadikannya cacat. Demikian
pula bila seorang perawi yang dha’if lalu ada yang mentsiqatkannya,
maka tiada lain karena berpegang kepada apa yang tampak secara lahiriah
semata-mata.[40]
Pendapat senada dikatakan oleh Tajuddin al-Subki bahwa, “Janganlah
kita berpegang secara membabibuta (fanatik) kepada kaidah: jarh muqaddamun
‘ala al-ta’dīl. Orang yang diakui keilmuan dan ke’ādilannya serta
banyak yang memuji, sedikit yang mencela dan ada pula tanda-tanda bahwa celaan
itu disebabkan fanatik madzhab, tiada dapatlah diterima penilaian jarh yang
dihadapkan kepadanya”.[41]
3.
Jika Terjadi
Pertentangan antara Kritikus yang Memuji dan Mencela
إذاتعارضالجارحوالمعدلفالحكمللمعدلإلاّإذاثبتالجرحالمفسّر
Jika
terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, maka yang harus dimenangkan
adalah kritikan yang memuji kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan
tentang sebab-sebabnya.
Apabila seorang perawi dipuji oleh kritikus tertentu dan dicela
oleh kritikus lainnya, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji,
kecuali bila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang bukti-bukti
ketercelaan periwayat yang bersangkutan. Prinsip ini dipegang oleh jumhur ulama
ahli kritik hadis. Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa : a)
penjelasan ketercelaan yang dikemukakan itu haruslahrelevan dengan upaya penelitian;
b) bila kritikus yang memuji telah mengetahui sebab-sebab ketercelaan periwayat
yang dinilainya itu dan ia memandang bahwa sebab-sebab itu memang tidak relevan
ataupun telah tidak ada lagi, maka kritikannya yang memuji tersebut yang
harusdipilih.[42]
4.
Jarh Tidak Diterima kecuali Setelah Ditetapkan
لایقبلالجرحإلاّبعدالتّثبتّخشیةالأشباهفيالمجروحین
Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara
cermat) karena adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang
dicela.
Apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama
periwayat lain, lalu salah seorang dari periwayat itu dikritik dengan celaan,
maka kritikan itu tidak dapat diterima kecuali telah dipastikan bahwa kritikan
itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan nama. Dengan demikian,
suatu kritikan harus jelas sasarannya. Prinsip ini dipegang dan didukung jumhur
ulama ahli kritik hadis.[43]
5.
Jarh yang Dikemukakan oleh Orang yang Mengalami Permusuhan
الجرحالناشئعنعداوةدنیویةاوعقائدیةلایعتدﺒﻪ
Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah
keduniawian tidak perlu diperhatikan
Apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan
yangbermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik
dengancelaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Pertentangan pribadi
baik dalam masalahdunia maupun akidah dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang
tidak jujur. Kritikus yangbermusuhan dalam masalah dunia dan akidah dengan
periwayat yang dikritik dengan celaandapat berlaku tidak jujur karena didorong
oleh rasa kebencian.Dari sejumlah teori yang disertai alasannya masing masing
itu, maka yang harus dipilihadalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang
lebih objektif terhadap para periwayathadis yang dinilai keadaan pribadinya.
Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yangsesungguhnya bukanlah untuk
mengikuti teori tertentu, akan tetapi untuk memperoleh hasilpenelitian hadis yang
lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran itu sendiri sulit untukdihasilkan.
Kritik terhadap para periwayat hadis yang telah dikemukakan oleh
ulama ahli kitik hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji
saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal-hal yang tercela
dikemukakan bukan untuk menjelek-jelekkan mereka melainkan untuk dijadikan
pertimbangan dalam hubungannya diterima atau tidak dapat diterima riwayat hadis
yang mereka sampaikan.
Ulama kritik hadis tetap menyadari bahwa mengemukakan kejelekan
seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan penelitian hadis dalam hubungannya sebagai salah satu sumber ajaran
islam, maka kejelekan atau kekurangan pribadi periwayat hadis sangat perlu
dikemukakan. Kejelekan dan kekurangan yang ditemukan hanya terbatas yang ada
hubungannya dengan kepentingan penelitian periwayatan hadis.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu jarh wat-ta’dil ialah
ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat (kritik: jarh)
dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif atas (kesalehan: ta’dil)
terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian tertentu. Adapun kegunaan
ilmu jarh wat-ta’dil: 1) untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
rawi dapat diterima atau ditolak sama sekali, 2) untuk mengetahui kesahihan
sanad dari sebuah hadits, 3) untuk menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun
hadis dha’if, dari segi kualitas rawi. Sedangkan sasaran dari ilmu jarh
wat ta’dil adalah perawi hadis. Ilmu ini mengkritisi tengtang hal ikhwal
para rawi, membahas kecacatan, keadilan, dan kedhabitan rawi yang memberikan
berpengaruh besar terhadap kualifikasi haditsnya.
Syarat-syarat penta’dil dan pentajrih
yaitu: 1) ‘alim, 2)bertakwa, 3) wira’i, 4) Jujur, 5) tidak
terkena jarh, 6) tidak fanatik terhadap sebagian perawi, 7) mengerti
betul sebab-sebab jarh dan ‘adil.Selanjutnya,ada lima hal yang
menjadi penyebab ditolaknya seorang perawi, yaitu: 1) dusta, 2) tertuduh dusta,
3) fusuq (melanggar perintah), 4) jahalah, 5)penganut Bid’ah.SedangkanPerawi-perawi
yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima riwayatnya
ialah: 1) orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya,
2) orang yang banyak sesilapan (menyalahi)nya dan menyalahi imam-imam yang
kenamaan/terpercaya dalam riwayat-riwayatnya, 3) orang yang banyak lupa, 4)
orang yang rusak akal di akhir umurnya, 5) orang yang tidak baik hafalannya, 6)
orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja. Adapun metode ulama dalam
menjelaskan hal ihwal para perawi, yaitu: 1) jujur dan tuntas dalam memberikan
penilaian, 2) kecermatan dalam meneliti dan menilai, 3) mematuhi etika jarẖ
wat-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika
penilaian ilmiah. 4) secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih.Dan
pembahasan tentangMartabat-martabat Jarh wat-Ta’dil meliputi
lafadz-lafadz yang digunakan untuk menjarh atau menta’dilkan
perawi, lafadz-lafadz ini bertingkat baik pada lafadz-lafadz yang digunakan
dalam menjarh atau menta’dilkan seorang perawi.
‘Adil merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong
pemiliknya untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri dan dhabitmenurut
bahasa dapat berarti yang kokoh, yang kuat, yang tepat, yang hafal dengan
sempurna. Sedangkan pengertian dhabit menurut istilah ialah orang yang
memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna.
Dalam menilai atau mengkritik seorang periwayat ada yang bersikap mutasyaddid
(ketat), mu’tadil atau mutawasshith (moderat), dan mutasahhil
(longgar). Terdapat pertentangan penilaian terhadap seorang periwat, yaitu:
1) ta’dil didahulukanatasjarh, 2) jarh didahulukanatas
ta’dil , 3) jika terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan
mencela, 4) jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan, 5) jarh
yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan.
B.
Saran
1. Metode pembelajaran dalam mata kuliah ini seharusnya diterapkan
pada mata kuliah lain karena metode dalam mata kuliah ini sangan mendidik, dan
mengajak kepada mahasiswa untuk selalu befikir, membaca dan belajar. Selain itu
metode ini sangat efektif untuk membuat mahasiswa menerima apa yang di ajarkan
dalam proses pembelajaran.
2. Bagi mahasiswa, khususnya PAI, agar selalu mengakses wacana apapun
mengenai agama dan pendidikan guna menambah cakrawala pemikiran tentang agama
dan pendidikan dan wacana apapun tentang sains dan teknologi, ekonomi, dan lain-lain.
Agar memiliki pengetahuan yang luas, dalam bidang agama, pendidikan, dan bidang-bidang
yang lain.
3. DAFTAR
PUSTAKA
4.
5.
6. ‘Itr, Nuruddin. 1994. Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda Karya.
7. Ahmad, Muhammad & Mudzakir, M. 2004. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia.
8. Al-Adlabi, SalahuddinIbn Ahmad.1983. Manhaj Naqd
al-Matan. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.
9. Al-Jawabi, Muhammad Tahir.1997. al-Jarh wa al-Ta’dīl;
Baina al-Mutasyaddidin wa al-
Mutasahhilin. Tunisia: al-Dar al-‘Arabiyyah li al-Kitab.
10. Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. 2007. Pokok-pokok Ilmu Hadis. Terj.
M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama.
11. Al-Laknawi, Muhammad Abd al-Hayy. 1987. Al-Raf’u wa al-Takmil fi
al-Jarh wa al-Ta’dīl. Beirut: Dar al-Aqsa.
12. Al-Nasa’I, Ahmad ibn ‘Ali ibn Syu’aib. 1986. Kitab al-Du’afa’ wa
al-Matrukin. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
13. Al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din.1987. Qowa’id al-Tahdits min
Funun Mustalah al-Hadits. Beirut: Dar an-Nafa’is.
14. Al-Shalih, Subhi. 1993. Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Terj. Tim
Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus.
15. Baalbaki, Rohi. 1995. Al-maurid Qāmūs ‘Arabi-Inllizi. Dar
el-Elm Lilmalayin.
16. Idri. 2010. StudiHadis. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
17. Ismail, Syuhudi. 1986. Metodologi Penelitian Hadis Nabi.
Jakarta: Bulan Bintang.
18. ________. 1987. PengantarIlmuHadis. Bandung: Angkasa.
19. ________. 1995. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan
Bintang.
20. Nabiel, Muhammad. Mafhum Tsiqah ‘Adalah.(www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
21. Sholahudin, M. Agus & Suyadi, Agus. 2009. Ulumul Hadis.Bandung:
CV Pustaka Setia.
22. Smeer, Zeid B.2008. Ulumul Hadis.Malang: UIN Malang Press.
23. Soetari, Endang. 1997. Ilmu hadis Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung:
Amal Bakti Press.
24. Suryadi & Suryadilaga, M. Alfatih. 2009. Metodologi
Penelitian Hadis. Yogyakarta: TH Press.
25. Suryadi. 2003. MetodologiIlmuRijalilHadits. Yogyakarta:
Madani Pustaka.
26. Zahwu, Muhammad Abu. tth, al-Hadis wa al-Muhaddisun. Mesir: Matba’ah
al-Ma’rifah.
[1] M. Abdurrahman
& Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2011), hlm. 111-112.
[2] Zeid B. Smeer,
Ulumul Hadis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 129.
[3]Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), hlm. 156.
[4] Suryadi &
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: TH
Press, 2009), hlm. 99-100.
[5] Muhammad Abu
Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah, tth.).
[6] Muhammad Abu
Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, (Mesir: Matba’ah al-Ma’rifah, tth.).
[7] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mujio, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 77.
[8] Salahuddin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1983), hlm. 20-22.
[9] Nuruddin ‘Itr,
Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, terj. Mujio, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1994), hlm. 78.
[10] Salahuddin Ibn
Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,
1983), hlm. 22-23.
[11] Shubhi
Ash-Shalih, ‘Ulumul al-Hadits wa Mushtalahuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li
al-Malayin, 1997), hlm. 109.
[12] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 159.
[13] M. Agus
Sholahudin & Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2009), hlm. 158.
[14]Suryadi,
Metodologi Ilmu Rijalil Hadits, (Yogyakarta: Madani Pustaka, 2003 ),
hlm. 2.
[15] Muhammad ‘Ajaj
al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 240.
[16] Muhammad ‘Ajaj
al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 238-239.
[17]Muhammad Ahmad &
M. Mudzakir, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 157.
[18] Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), hlm. 180.
[19] Muhammad ‘Ajaj
al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 243.
[20] Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), hlm. 181.
[21] Aidh al-Qorni,
al-Bid’ah wa Atsaruha fi al-Dirayat wa al-Riwayat, disertasi, Dinukil
dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses
tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[22] Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), hlm. 181.
[23] Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra), hlm. 245.
[24] Rohi Baalbaki,
Al-maurid Qāmūs ‘Arabi-Inllizi, (Dar el-Elm Lilmalayin, 1995), hlm. 753.
[25]
Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Qodirun Nur
dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 203.
[26]
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,
1995), hlm. 129-131.
[27] Subhi
ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Terj. Tim Pustaka Firdaus,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm 115.
[28] Idri, StudiHadis,(Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 162
[29] Syuhudi
Ismail, PengantarIlmuHadis, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 179.
[30] Endang
Soetari, Ilmu hadis Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Amal Bakti
Press, 1997), hlm. 106.
[31] Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
hlm. 135-138. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[32] Muhammad Tahir
al-Jawabi, al-Jarh wa al-Ta’dīl; Baina al-Mutasyaddidin wa al- Mutasahhilin (Tunisia: al-Dar
al-‘Arabiyyah li al-Kitab, 1997), hlm. 454-458. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum
Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53
WIB.
[33] Muhammad Abd
al-Hayy al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmil fi al-Jarh wa al-Ta’dīl
(Beirut: Dar al-Aqsa, 1987), hlm. 281-282. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum
Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53
WIB.
[34] Ahmad ibn ‘Ali
ibn Syu’aib al-Nasa’i, Kitab al-Du’afa’ wa al-Matrukin (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1986), hlm. 142. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah
‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[35] Muhammad Jamal
al-Din al-Qasimi, Qowa’id al-Tahdits min Funun Mustalah al-Hadits
(Beirut: Dar an-Nafa’is, 1987), hlm. 196-197. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum
Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53
WIB.
[36] Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm. 77-78. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[37] Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm. 78. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[38] Nur al-Din
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm.
100. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[39] Nur al-Din
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm.
100-101. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[40] Nur al-Din
‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hlm.
101. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[41] Muhammad Jamal
al-Din al-Qasimi, Qowa’id al-Tahdits min Funun Mustalah al-Hadits
(Beirut: Dar an-Nafa’is, 1987), hlm. 197. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum
Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu), diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53
WIB.
[42] Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 79.
Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
[43] Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian HadisNabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm. 79. Dinukil dari Muhammad Nabiel, Mafhum Tsiqah ‘Adalah (www.academia.edu),
diakses tanggal 3 Mei 2015 jam 10:53 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar