Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH HUKUMAN MATI DAN ASAL MULA PEMBENTUKAN HUKUMAN MATI


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum Islam bersifat tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena hukum Islam bersumber kepada al-Qur’an sedangkan al-Qur’an mengklaim dirinya sebagai wahyu Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala firman-Nya) sebagaimana Qur’an Surat 2 (al-Baqarah) ayat 147 “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. Selain itu al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai hakim yaitu pemutus perkara atas semua permasalahan yang ada di mukabumi ini dan menyelesaikan setiap perselisihan diantara manusia, sebagaimana dalam al-Qur’an Surat 36 (Yaasiin) ayat 2 “Demi al-Qur’an sebagai Hakim”.
Vonis yang dikeluarkan oleh Mahkamah Islam melalui hakim didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an, Hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan kedua sumber hukum yang utama tersebut. Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah SWT, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam al-Qur’an Surat 4 ayat 64 “Dan Kami tidak mengutus Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah, Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima Taubat dan Maha Penyayang”.
Ketika Muhamad SAW masih hidup, jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif masih dipegang oleh beliau, maka jika ada umat Islam yang melanggar aturan Allah mereka datang kepada beliau selaku pemegang kekuasaan yudikatif, sebagaimana ayat di atas.
Setelah mereka berada dihadapan beliau, maka proses peradilan pun berjalan untuk menentukan hukuman sesuai al-Qur’an dan putusan itu menjadi yurispundensi bagi hukum Islam. Setelah zaman Muhamad SAW maka diangkatlah hakim untuk memutuskan perkara umat yang dilaksanakan di Mahkamah Islam dan putusannya harus diterima sebagai putusan yang datangnya dari Allah SWT, sebagaimana dalam al-Qur’an Surat 4 ayat 65 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hukuman mati dan asal mula pembentukan hukuman mati?
2.      Apa saja tindak pidana yang diancam hukuman mati dan bagaimana hukuman mati dan HAM?
3.      Bagaimana mekanisme dan elastisitas eksekusi terpidana mati?
4.      Bagaimana perbedaan pandangan terhadap hukuman mati dan hukuman mati di Indonesia?
5.      Bagaimana hukuman mati bagi korupsi dan contohnya?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian hukuman mati dan asal mula pembentukan hukuman mati.
2.      Untuk mengetahui tindak pidana yang diancam hukuman mati dan bagaimana hukuman mati dan HAM.
3.      Untuk mengetahui mekanisme dan elastisitas eksekusi terpidana mati.
4.      Untuk mengetahui perbedaan pandangan terhadap hukuman mati dan hukuman mati di Indonesia.
5.      Untuk mengetahui hukuman mati bagi korupsi dan contohnya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Hukuman Mati
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara pelaksanaan hukuman mati:
1.       Hukuman pancung: hukuman dengan cara potong kepala.
  1. Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi.
  2. Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
  3. Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
  4. Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
  5. Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.[1]
B.  Asal Mula Pembentukan Hukuman Mati
Perkembangan hukuman pidana mati di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak nenek moyang terdahulu sejak masa kerajaan meskipun dalam masa tersebut belum di undangkan secara menyeluruh hanya sebagian yang menggunakannya, dan pada masa penjajahan Belanda mulailah pidana mati di perkuat dan di kenalkan secara menyeluruh oleh pemerintah Belanda kepada masyarakat Indonesia dengan mengundangkan dan menyantumkan hukuman pidana mati dalam kitab undang-undang.
Dalam KUHP Indonesia telah tercantum hukuman pidana mati yang sekiranya telah di tetapkan sebagai suatu pidana pokok meskipun sekarang sedang diproses kembali oleh pemerintah atas penetapan hukuman mati sebagai pidana pokok, akan tetapi dalam tinjauan yang sebenarnya pidana mati mungkin perlu di karena akan dapat menjerakan dan menekan serta menakut-nakuti penjahat, dan relatif tidak menimbulkan sakit jika dilaksanakan dengan tepat.[2]
C.  Tindak Pidana Yang Diancam Hukuman Mati
Dalam hukum pidana Islam, hukuman dapat dibedakan menjadi beberapa macam, tergantung dari aspek mana pembagian itu dilakukan. Eksistensi hukuman mati dapat dilihat pada pembagian hukuman berdasarkan bentuk/sasaran dari hukuman itu sendiri. Pada klasifikasi model ini,  hukuman dapat dikelompokkan sebagai berikut:[3]
1.      ‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik), yaitu hukuman yang ditetapkan atas tubuh manusia. Masuk dalam kategori ini antara lain hukuman bunuh, jilid dan penjara.
2.      ‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis), merupakan pengganti hukuman diberikan dalam bentuk psikologis, seperti nasehat dan peringatan.
3.      ‘Uqubah maliyyah (hukuman denda), yaitu hukuman dalam bentuk materiil seperti hukuman diyat.
Dari klasifikasi di atas, dapat dikatakan bahwa hukuman mati merupakan hukuman fisik yang dijatuhkan pada tindak pidana tertentu. Adapun tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati, berdasarkan nas-nas agama adalah sebagai berikut:
1.      Pembunuhan (al-qatl)
Tidak diragukan lagi bahwa kejahatan yang paling menakutkan bagi manusia adalah pembunuhan. Tindakan pembunuhan diancam pidana berat oleh semua sistem hukum sejak awal sejarah manusia hingga saat ini. Ancaman pidana bagi tindak pidana ini dalam Hukum Pidana Islam dikenal sebagai qishas, yaitu pembalasan bagi pelaku seimbang dengan luka yang diderita korban.
Dalam literatur fiqih, tindak pidana pembunuhan ini disebut juga dengan al-Jinayah `ala an-Nafs al-Insaniyyah[4](kejahatan terhadap jiwa manusia), sebutan ini sama dengan pengertian pembunuhan dalam hukum positif. Dalam KUHP Indonesia sendiri, tindak pidana ini juga dimasukkan dalam Bab XIX: Kejahatan terhadap nyawa.[5]
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan didefinisikan sebagai perbuatan yang melenyapkan nyawa seseorang atau perbuatan seseorang yang mengakibatkan kematian.[6] Pembunuhan yang dilakukan secara sengaja (al-Qatl al-‘Amd) dan sebagai suatu bentuk permusuhan, merupakan tindak pidana yang paling berat dalam hukum pidana Islam dan termasuk dalam kategori dosa besar. Tindak pidana pembunuhan ini diancam dengan sanksi duniawi dan sanksi ukhrawi. Akan tetapi hukum pidana Islam tidak menjatuhkan hukuman mati pada kasus pembunuhan semi sengaja (al-Qatl syibh al-‘Amd) dan  pembunuhan karena tersalah (al-Qatl al-Khata’).
2.      Perampokan(al-hirabah)
Hirabah  atau nama lainnya qat’ at-tariq,  adalah aksi sekelompok orang dalam negara Islam untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan yang secara terang terangan menganggu dan menentang peraturan yang berlaku, perikemanusiaan dan agama. Hirabah merupakan salah satu bentuk pidana hudud.[7]Selain dua istilah di atas, perampokan ini disebut pula sebagai as-sariqah al-kubra (pencurian besar). Penyebutan dengan pencurian besar merupakan makna majasi dari pencurian biasa. Perbedaan mendasar antara pencurian (as-sariqah) dan perampokan (as-sariqah al-kubra) adalah bahwa pencurian  adalah pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan perampokan adalah pengambilan harta secara terang-terangan, dengan aksi kekerasan, baik mereka mengambil harta maupun tidak.[8]
Perampokan dapat terjadi dengan mempergunakan senjata atau tidak, dilakukan di desa atau di kota, ataupun di jalanan umum, baik secara perorangan maupun kelompok.[9] Menurut Sayyid Sabiq termasuk di dalamnya aksi penculikan terhadap anak kecil, para penguasa dan para wanita serta  aksi pemusnahan pertanian  dan peternakan masyarakat. Sedang menurut ulama mahzab Syafi’iyyah,  hirabah harus bertujuan mengambil harta  atau membunuh dengan dukungan kekuatan, sementara orang yang terkena aksi tidak bisa ditolong. Orang yang terkena aksi, menurut ulama fiqih adalah seorang muslim atau zimmi, sedangkan harta yang dirampok itu memang kepunyaan yang sah, baik harta miliknya, titipan orang lain, atau harta yang disewa.Harta itu juga haruslah harta yang halal (maka tidak termasuk khamr dan babi), bukan pula harta persekutuan dengan perampok, telah mencapai satu nisab (ukuran) yaitu sama dengan nisab pencurian, 1 dinar menurut jumhur ulama atau 10 dirham menurut mahzab Hanafiyyah.[10]
Tindak pidana perampokan diancam dengan  hukuman yang sangat berat. Ayat Al-Qur`an yang menunjukan hukuman bagi pelaku tindak pidana ini adalah:
$yJ¯RÎ)(#ätÂty_tûïÏ%©!$#tbqç/Í$ptä©!$#¼ã&s!qßuurtböqyèó¡tƒurÎûÇÚöF{$##·Š$|¡sùbr&(#þqè=­Gs)ãƒ÷rr&(#þqç6¯=|Áãƒ÷rr&yì©Üs)è?óOÎgƒÏ÷ƒr&Nßgè=ã_ör&urô`ÏiBA#»n=Åz÷rr&(#öqxÿYペÆÏBÇÚöF{$#4šÏ9ºsŒóOßgs9Ó÷ÅzÎû$u÷R9$#(óOßgs9urÎûÍotÅzFy$#ë>#xtãíOŠÏàtãÇÌÌÈ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”[11]
Ayat di atas mengandung empat macam hukuman 1)hukuman mati, 2)disalib, 3)dipotong tangan dan kaki bertimbal balik dan 4)dibuang dari tempat kediamannya. Tetapi dalam penerapan hukuman itu para ulama berbeda pendapat. Ulama mazhab Syafi`iyyah, Hanafiyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhkan harus secara berurut, sebagaimana dicamtumkan dalam ayat, serta sesuai dengan bentuk tindak pidana yang dilakukan. Dalam mengurut hukuman sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan pun para ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama mazhab Hanafiyyah, jika pelaku hanya merampas harta, hukumannya potong tangan dan kaki secara silang, bila sampai membunuh hukumannya dibunuh juga, jika membunuh dan merampas, hakim bebas memilih hukumannya, apabila hanya menakut-nakuti/mengganggu keamanan saja maka hukumannya dipenjara dan hukuman ta`zir.
Ulama mazhab Syafi’iyyah dan Hambaliyyah berpendapat, apabila pelaku hanya mengambil harta, maka hukumannya potong tangan dan kaki secra silang, jika membunuh, hukumannya juga dibunuh tapi tidak disalib, jika membunuh dan mengambil harta, hukumannya dibunuh dan disalib; apabila mengganggu keamanan, hukumannya dibuang dari tempat kediamannya.
Adapun menurut mazhab Maliki, penerapan hukuman yang disebutkan dalam ayat itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan setelah dimusyawarahkan dengan para ahli fikih dan pihak-pihak terkait, dengan syarat hakim tersebut harus memilih yang terbaik.[12]

3.      Pemberontakan(al-bagy)
Keharaman pemberontakan telah ditegaskan oleh Al-Quran dan Hadis. Allah berfirman:
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y÷nÎ)n?tã3t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®LymuäþÅ"s?#n<Î)̍øBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAôyèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=ÏtäšúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.[13]

Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bagy. Ulama Hanafiyyah misalnya mendefinisikannya sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.
Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penentangan terhadap imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin.[14]
Para pemberontak bertanggungjawab terhadap tindak pidana secara khusus sebelum dan sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan sewaktu pemberontakan, dapat dipilah menjadi dua yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan langsung. Kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak jembatan, membom gudang senjata, membunuh atau menawan para pemimpin, maka semua itu diancam dengan hukuman pemberontakan yang diserahkan kepada ulil amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila ulil amri tidak memberi ampunan secara umum. Sedangkan kejahatan yang tidak berkaitan langsung, seperti meminum-minuman keras dan zina yang mereka lakukan pada waktu pemberontakan, tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai tindak pidana hudud biasa.[15]
4.      Riddah (keluar dari Islam)
Dalam literatur fiqh, riddah didefinisikan sebagai kembali kepada kekafiran dari Islam atau memutuskan diri dari Islam.[16] As-Sayyid Sabiq menjelaskan lebih rinci bahwa riddah adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran dengan kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik ia laki-laki ataupun perempuan.[17]
Istilah riddah, menurut fuqaha hanya terbatas pada keluarnya seorang Muslim ke agama non-Muslim. Jadi kalau ada non-Muslim yang keluar dari agamanya dan pindah ke agama lain, maka perpindahan tersebut tidaklah dapat dikategorikan riddah.  Alasannya adalah bahwa perpindahan dari orang kafir ke  agama yang juga kafir itu tidak ada perbedaan, karena sama-sama batil, sedangkan perpindahan Muslim kepada agama kafir itu berarti perpindahan dari hidayah dan din al-haqq kepada kesesatan dan kekafiran.
Sanksi riddah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sanksi pokok, sanksi pengganti dan sanksi pelengkap. Sanksi pokok riddah  menurut fuqaha adalah hukuman bunuh, baik yang melakukan itu laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak boleh dibunuh tetapi dipenjara saja dan setiap hari disuruh bertaubat agar ia kembali muslimah dan kalau ia menolak maka ia tetap dipenjara sampai ia mau bertaubat atau mati. Hujjah yang diberikan Abu Hanifah adalah  bahwa Rasulullah melarang membunuh wanita yang kafir sejak semula (al-kufr al-asli), dan andaikan wanita yang kafir sejak semula saja dilarang untuk dibunuh, tentunya larangan ini lebih layak jika ditujukan kepada wanita yang kafir setelah beriman (al-kafir at-tari`).[18]
Sanksi bunuh terhadap orang yang melakukan riddah didasarkan pada hadis Nabi: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.[19]
Hukuman pengganti adalah hukuman yang dijatuhkan setelah gugurnya hukuman asli karena adanya taubat.  Dalam hal ini hukuman had berubah menjadi hukuman ta’zir yang penetapannya diserahkan kepada penguasa. Hukuman tersebut dapat berupa hukuman jilid, penjara, denda atau hukuman lain. Sedangkan hukuman pelengkap bagi murtad adalah berupa penahanan terhadap harta kekayaannya dan pembatasan kecakapan murtad dalam melakukan berbagai transaksi. Pembatasan kecakapan terhadap kekayaan, hanyalah yang bersifat aktif, sedangkan kecakapan yang bersifat pasif tetap dianggap sah.[20] Pembatasan kecakapan tersebut hanyalah bersifat sementara, jika murtad kemudian melakukan taubat.
Dalam konteks kekinian, konsep riddah  ini perlu ditata kembali, karena ternyata penjatuhan hukuman bunuh itu bukan hanya karena riddah itu an sich, tetapi karena  riddah yang diikuti dengan pembelotan, pemberontakan dan pelecehan terhadap agama.[21]
5.      Zina
Zina berarti hubungan kelamin di antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah berkeluarga ataukah masih lajang.[22] Tetapi dari segi sanksinya, terdapat perbedaan antara pezina yang sudah menikah dengan pezina yang masih lajang. Bagi pezina yang masih lajang (gair muhsan), maka hukumannya didera seratus kali, sesuai dengan firman Allah:
èpuÏR#¨9$#ÎT#¨9$#ur(#rà$Î#ô_$$sù¨@ä.7Ïnºur$yJåk÷]ÏiBsps($ÏB;ot$ù#y_(Ÿwur/ä.õè{ù's?$yJÍkÍ5×psùù&uÎûÈûïÏŠ«!$#bÎ)÷LäêZä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#(ôpkôuŠø9ur$yJåku5#xtã×pxÿͬ!$sÛz`ÏiBtûüÏZÏB÷sßJø9$#ÇËÈ
“Perempuan dan laki-laki yang berzina maka deralah setaip orang dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.[23]
Sedangkan bagi pezina yang sudah menikah (muhsan), maka hukumannya adalah dirajam hingga mati. Namun demikian banyak pemikir Muslim yang berpendapat bahwa karena Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang hukuman rajam sampai mati (hukuman tersebut berdasarkan hadis Nabi), maka hukuman ini tidak dapat dibenarkan.[24]
6.      Tindak Pidana Ta’zir
Tindak pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk hukumannya belum ditentukan oleh syara’.[25]Sanksitindak pidana ini bisa berupa nasihat, peringatan, hingga pada hukuman penjara dan dera, bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus yang sangat berat dan membahayakan. Hukuman-hukuman tersebut sepenuhnya penentuannya diserahkan kepada pemerintah dan dalam peradilannya sepenuhnya diserahkan kepada para hakim dengan mempertimbangkan berat-ringannya tindak pidana serta keadaan pelaku tindak pidana tersebut.
Secara sederhana, tindak pidana ta’zir ini dapat terbagi menjadi tiga bagian:[26]
a.    Tindak pidana hudud atau qisas yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, seperti percobaan pencurian, pencurian di kalangan keluarga dan sebagainya.
b.    Tindak pidana yang ditentukan oleh nas agama (Al-Qur`an dan Hadis), namun tidak ditentukan sanksinya, seperti penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan sebagainya.
c.    Tindak pidana yang ditentukan oleh ulil amri (pemerintah) untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai (ruh) ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Dengan demikian, pemerintah dapat saja menjatuhkan hukuman mati misalnya pada kasus-kasus yang sangat berat seperti narkoba dan korupsi dalam jumlah tertentu.
D.  Hukuman Mati dan HAM
Salah satu kritik utama orang-orang Barat terhadap dunia Islam adalah bahwa hukum pidana Islam terlihat begitu primitif, kejam dan keras. Sistem keadilan yang primitif menurut mereka tidak dapat diterapkan pada masyarakat yang beradab.  Sistem hukum pidana Islam masih mengacu pada akar historisnya yang bertumpu pada praktek-praktek dan tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Pada saat itu  tidak ada pengadilan yang terorganisasi dan administrasi penegakkan hukum.  Hukum yang berlaku cenderung menganut prinsip “keadilan pribadi” menurut sang korban untuk melakukan balas dendam, mendapatkan kompensasi dan tebusan terhadap kepentingan pribadinya. Saat ini, sistem hukum yang berpijak pada “keadilan pribadi” ini tampaknya tidak dapat diterima lagi dalam realitas sosial dan politik. Sebagai jawaban atas persoalan di atas, Barat kemudian memainkan penilaian politik dan nilai-nilai budayanya sendiri untuk mengevaluasi sistem hukum pidana Islam.[27]
Hukum pidana Islam juga sering dikritik karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM. Dalam kasus hukuman mati, kritik yang sering dilontarkan orang adalah bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup. Bagi para penentang hukuman mati, alasan teologis juga sering didengungkan. Menurut mereka manusia tidak berhak untuk mengambil nyawa orang lain, karena yang berhak untuk itu hanyalah Allah.
Kritik-kritik di atas, sebenarnya tidak adil karena hanya bersifat sepihak. Mereka hanya memperhatikan hak-hak asasi si pelaku kejahatan  dan mengabaikan hak asasi korban yang telah dirampas oleh pelaku kejahatan. Mereka bahkan seolah-olah tidak merasakan dampak yang akan ditanggung oleh keluarga korban  akibat perbuatan dari pelaku kejahatan tersebut dan juga dampaknya kepada masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya memperhatikan HAM pelaku kejahatan, tetapi seharusnya hukum  yang lebih memperhatikan HAM korban, HAM keluarganya dan HAM masyarakatnya.
Kritik teologis pun sebenarnya sangat lemah dan tidak argumentatif, karena justru sebenarnya Allahlah yang memberi perintah untuk menerapkan hukuman mati tersebut (lihat kembali ayat-ayat yang berkaitan dengan pembunuhan pada paparan sebelumnya).  Sebaliknya, seharusnya yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang memberi wewenang kepada pelaku kejahatan untuk mencabut nyawa orang lain? Nas-nas agama jelas menyatakan bahwa perbuatan semacam ini tidak dibenarkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa hukuman mati, dalam konteks tertentu tidak dimaksudkan untuk merampas hak asasi manusia, tetapi justeru untuk melindungi hak asasi manusia itu sendiri dari perampasan.



E.  Mekanisme dan Elastisitas Eksekusi Terpidana Mati
Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati, yaitu:[28]
1.      Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal, misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari Syadad bin Aus bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian membunuh, maka baguslah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang baiklah cara menyembelihnya.
2.      Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat Rasulullah SAW apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang memenggal lehernya.”
3.      Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan dan menyusukan bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW.
4.      Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, “Rasulullah SAW melarang kita merampas dan mencincang.
5.      Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishaskan, maka Nabi SAW melarang atau menunda qishas tersebut hingga orang yang dianiaya itu sembuh dari lukanya.[29]
6.      Pelaku pembunuh boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain, tidak disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-Qathli (eksekusi yang paling baik), yakni yang mempermudah kematian.[30]
Parameter ataupun ukuran dalam menentukan apakah satu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai dari pelaksanaannya, yaitu: a) Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan yang panjang di samping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b) bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c) tidak sengaja dan mempertahankan harkat martabat terpidana sebagai manusia.
Di Indonesia, persoalan metode, etika ataupun tatacara pelaksanaan eksekusi mati sempat mencuat sejak terpidana Bom Bali I lewat pengacaranya mengajukan judicial review terhadap UU No. 2 Tahun 1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati. Mereka menolak dihukum mati dengan cara ditembak. Alasannya, di samping ingin dihukum berdasarkan hukum Islam, yaitu dipancung atau dipenggal, hukum tembak mati terkadang tidak membuat si terpidana mati seketika. Ada jeda yang relatif lama bagi si terpidana mati untuk merasakan derita dan sakit di saat sakaratul maut.
Hidayat Nurwahid menilai persoalan utama pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan hukuman mati terutama karena eksekusi terpidana mati dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, pelanggaran HAM bukan pada konteks hukuman matinya, tapi seorang yang sudah dijatuhi hukuman mati ternyata proses eksekusinya terlalu lama sehingga menambah beban psikologis bagi terpidana. Sebagai contoh terpidana mati yang harus menjalani hukuman 10-20 tahun penjara terlebih dahulu lalu baru dihukum/dieksekusi mati setelah melewati proses waktu tersebut. Demi kepastian hukum bagi terpidana, eksekusi tidak boleh berlarut-larut, tentunya juga dengan mempertimbangkan hak hukum terpidana seperti grasi dari presiden.
Para ulama sepakat bahwa penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati dengan cara atau alat yang lebih cepat menghabisi nyawa, atau alat yang bisa menyegerakan mati. Ini dimaksudkan agar penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan terpidana mati tidak terlalu lama. Di sini berlaku kaidah ‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’.[31]

F.   Perbedaan Pandangan Terhadap Hukuman Mati
Dapat dimengerti, bila hukuman mati banyak mengundang kontroversi, atau perbedaan pendapat dan pandangan, karena menyangkut hak hidup (hak dasar) atau nyawa seseorang yang tidak akan dapat direhabilitasi bila eksekusi mati telah dilaksanakan. Masih cukup banyak negara di dunia yang mempertahankan hukuman mati (termasuk negara-negara di kawasan ASEAN), antara lain: Rusia (pernah menghapus, tapi memberlakukannya kembali), AS, Perancis, Inggris, Jepang, Korea, RRC, Kuba, Singapura, Malaysia, Thailand. Namun cukup banyak juga yang telah menghapuskannya antara lain : Belanda (negara asal KUHP Indonesia, kecuali dalam pengadilan militer), Portugal, Australia, Swedia, Jerman, Rumania, Denmark, Italia dan negara-negara Skandinavia.
Penjelasan di bawah ini mencoba menggambarkan perbedaan pendapat dan pandangan tersebut:[32]
a.       Yang Tidak Setuju
Kelompok ini berpendapat bahwa hak hidup adalah hal dasar yang melekat pada diri setiap manusia/individu yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau diganggu gugat oleh siapapun.
Hal itu tercantum dalam TAP MPR No. VXII/MPR/1998, tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Maka sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu haruslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Disamping itu berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk hidup (Right to Life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Maka dengan demikian, hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional tersebut, yang seharusnya segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi terhadap segenap warga negara sebagai mana telah diadopsi dalam pasal 28A Amandemen UUD’45.
Selanjutnya dikatakan, bahwa bentuk-bentuk pemidanaan tidak terlepas dari tujuan pemidanaan, yaitu pembalasan dan pencegahan. Yang dimaksudkan dengan pembalasan yaitu pemberian hukuman yang seimbang dengan penderitaan korban, sementara pencegahan dimaksudkan lebih pada agar orang lain jera (takut, khawatir, berpikir 1.000x) untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini, bila hukuman mati dimaksudkan untuk pembalasan maupun untuk pencegahan, ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai, dengan melihat pada kenyataan semakin meningkatnya kasus-kasus pembunuhan (berencana) dan kasus-kasus narkoba.
Artinya menurut kelompok ini, tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Kelompok ini juga mengemukakan bahwa penolakan grasi sebenarnya sudah merupakan “hukuman tambahan” bagi terpidana mati maupun mereka yang masih dalam proses hukum, berupa: gangguan kejiwaan, stress, kekecewaan karena telah sekian lama mendekam di penjara, tetapi juga tetap menjalani hukuman mati, histeris sebelum hukuman mati dilaksanakan dan beban psikologis berat bagi keluarganya.
b.      Yang Setuju
Didalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur dengan jelas.
Maka dari sudut hukum (legalistik) tidak ada hal yang harus diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Memang sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa lampau mengungkapkan, adanya sikap dan pendapat bahwa pidana mati merupakan obat yang paling mujarab untuk menghadapi dan menanggulangi kejahatan-kejahatan berat, dan pada masa sekarang pun pendapat itu masih ada.[33]
Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok ini mengaitkannya dengan 3 (tiga) tujuan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum dan manfaat/kegunaan. Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah dan penegak hukum.
Bagi kelompok ini yang khusus mengacu pada hukum Islam mengatakan, bahwa “Islam mengajarkan agar umat Islam memelihara akal, keturunan, harta, nyawa, dan agama, sebagai prinsip Islam yang wajib dijaga dan jangan sampai dirusak oleh siapapun.” Tindak kejahatan pembunuhan, narkoba, terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib dipelihara. Maka hukuman yang pas bagi pelakunya adalah hukuman mati.
Berkaitan dengan hak asasi manusia, kelompok ini mengemukakan bahwa hak asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak. Hak seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak orang lain (sejarah tentang hak dan kewajiban sudah ada sejak Nabi Adam dan Siti Hawa).
Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup dia bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan dan dibela.
Penghapusan hukuman mati di Indonesia masih belum bisa dilakukan karena institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati ditiadakan, dikhawatirkan situasi di Indonesia makin memburuk. Khusus untuk perkara narkotika dan obat-obatan berbahaya, jika hukuman mati ditiadakan, Indonesia telah mengirimkan pesan yang salah kepada para pengedar.
Berdasarkan data-data yang dihimpun Kejaksaan Agung, Abdul Rahman menjelaskan bahwa selama kurun waktu 1945-2003, dari data statistik, orang yang menjalani hukuman mati ternyata hanya sedikit. Dari 52 orang yang dijatuhi hukuman mati, ternyata hanya 15 orang yang telah dieksekusi selama kurun waktu 58 tahun.
Frans Hendra Winarta (2006) menjelaskan, Indonesia saat ini masih menerapkan hukuman mati terhadap para pengedar narkoba dan tindak pidana terorisme. Kedua kejahatan itu dianggap membahayakan masyarakat dan negara. Para pembuat hukum di parlemen yang mewakili masyarakat mengklasifikasikan kejahatan-kejahatan itu sebagai ancaman terhadap kehidupan di Indonesia.[34]
G. Hukuman Mati di Indonesia
KUHP Indonesia dalam sejarahnya berasal dari Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam Code Penal dan Wetboek Van Strafrecht, masing-masing mencantumkan ancaman hukuman mati untuk kasus-kasus menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Sejarah hukum modern Indonesia mencatat, karena berbagai persoalan yang muncul dan pemikiran yang berkembang, para ahli hukum dan politisi Indonesia menggugat tentang KUHP yang bukan made in Indonesia, tetapi benar-benar made in Pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan untuk kepentingan penjajahan, dan kemudian terus dipertahankan untuk kepentingan penguasa setelah kemerdekaan, sehingga mendorong dengan keras agar KUHP Indonesia direvisi. Tetapi pada kenyataannya, di dalam revisi KUHP Indonesia yang ada dan berrlaku saat ini, ancaman hukuman mati tetap dipertahankan untuk berbagai jenis tindak kejahatan.
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU No.2/PnPs/1964 yang dipedomani sampai saat ini.[35]
Didalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang, pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara, pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat (2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan, pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian dan pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati.
Didalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No.22/97 tentang Narkotika, UU No.5/97 tentang Psikotropika, UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No.31/99 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi.
Artinya, ancaman hukuman mati dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia masih jelas ada, bahkan semakin dikukuhkan dengan terbitnya beberapa UU yang diberlakukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang berkembang di Indonesia, walaupun tidak terbebas dari tudingan, bahwa itu semua dilakukan sebagai langkah kompensasi politik akibat ketidakmampuan pemerintah membenahi sistem hukum yang korup.
Berdasarkan rekaman data tahun 2004 yang ada, tercatat 62 orang yang telah dijatuhi hukuman mati dengan rincian 49 orang laki-laki dan 13 orang wanita, dimana 47 orang diantaranya sedang menunggu eksekusi. Sebelumnya 15 orang telah dilaksanakan eksekusi mati dalam berbagai kasus. Khusus dalam kasus tindak pidana narkoba, sejak tahun 1999 s/d 2006, tercatat jumlah terpidana yang dijatuhi hukuman mati 63 orang, terdiri dari 59 orang laki-laki dan 4 orang wanita dari berbagai kebangsaan (paling banyak Nigeria: 9 orang). Yang telah dieksekusi mati dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2004) baru 2 (dua) orang, yaitu: tahun 1994, terpidana mati Steven (warga negara Malaysia) dan tahun 2004, Ayoodhya Prasaad Chaubey (warga negara India). Untuk terpidana mati kasus tindak pidana narkoba sebanyak 63 orang dan telah dieksekusi mati 3 orang, sehingga yang masih menunggu sebanyak 60 orang.[36]
Walau kini (2007) telah antri 60 orang terpidana mati kasus tindak pidana narkoba, belum juga dieksekusi. Padahal waktu putusan hukuman itu telah sepuluh tahun yang lalu. Perlu diketahui, sejak tahun 1994 hingga tahun 2006 ada 63 putusan hukuman mati bagi pengedar narkoba, namun baru dieksekusi 3 orang tahun 2004 yang lalu, berarti sepanjang 10 tahun masyarakat menanti keadilan. Menurut catatan berbagai lembaga HAM Internasional, jumlah terpidana yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran (Thailand tidak disebutkan, walau sesungguhnya Thailand merupakan negara yang amat sangat keras dan “getol” menjatuhkan hukuman mati terutama dalam kasus-kasus narkoba).



H.  Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba
Pengedar narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan di muka bumi.  Karenanya hukuman bagi  mereka yang membuat kerusakan di muka bumi adalah salah satu dari empat hukuman sesuai kebijakan pemerintah Islam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka  [1] dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang,  [4] atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)
Akan tetapi melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba maka hukuman yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati. Demikian juga hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah Islam adalah hukuman mati (ini disebut  ta’zir yaitu hukuman yang tidak ditetapkan oleh syariat, namun hasil dari penetapan pemerintah Islam. Jika ditetapkan oleh syariat disebut hudud, misalnya hukuman potong tangan).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan negara menjatuhkan sanksi hingga hukuman mati bagi produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba. Ketentuan itu telah disahkan dalam bentuk fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman Bagi Produsen, Bandar, Pengedar dan Penyalahgunaan narkoba per tanggal 30 Desember 2014.
Fatwa itu secara resmi juga telah diumumkan oleh Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin bersama dengan Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat Prof Dr.H Hassanuddin AF, MA dan sekretaris Dr. H.M Asrorun Niam Sholeh, MA pada konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jakarta, pada Selasa (03/03) lalu.


Berikut sejumlah ketentuan hukum dalam fatwa tersebut:
  1. Memproduksi, mengedarkan, dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai hukuman had dan / atau ta’zir.
  2. Produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dahsyat dibanding dengan khamr (minuman keras).
  3. Negara boleh menjatuhkan hukuman ta’zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum.
  4. Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan / atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba.
  5. Penegak hukum yang terlibat dalam produksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukuman.
1.    Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, Tentang Narkotika[37]
Pasal 78 ayat 1 (a) dan 1 (b)
Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 80 ayat 1(a)
Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Pasal 81 ayat 1 (a)
Membawa,mengirim,mengangkut,atau mentransito narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lamal 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,­(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 82 ayat 1 (a)
Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1,000.000.000,-(satu milyar rupiah).

Pasal 84 ayat 1 (a)
Memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain. dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,­(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 85 ayat 1 (a)
Menggunakan narkotika golongan I bagi dirinya sendiri,dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 86 ayat 1 (a)
Orang tua atau wali pencandu yang belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana penjara kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 88 ayat 1 (a)
Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).


Pasal 88 ayat 2
Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana nakotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).[38]

2.    Contoh Kasus Hukuman Mati Bagi Narkoba
8 Terpidana Mati Narkoba Dieksekusi Serentak
Delapan terpidana mati kasus narkoba akhirnya dieksekusi serentak oleh regu tembak di penjara Nusakambangan, Cilacap Rabu dinihari. Mereka didor regu tembak setelah kontroversi panjang, upaya banding, grasi hingga tekanan internasional terhadap presiden Joko Widodo.
Mereka yang ditembak mati adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran warga Australia anggota Bali Nine,tiga warga Nigeria, masing-masing Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise dan Okwudili Oyatanze, seorang warga Ghana, Martin Anderson seorang warga Brazil Rodrigo Galarte dan seorang warga Indonesia, Zainal Abidin.
Sementara seorang perempuan warga Filipina, Mary Jane Veloso, dilaporkan batal dieksekusi. Seorang terpidana mati warga Perancis, Serge Atlaoui untuk sementara juga lolos dari regu tembak, karena masih mengajukan peninjauan kembali.
Eksekusi oleh regu tembak Brimob Polri itu dilakukan pada pukul 00:18 WIB, segera setelah batas waktu 72 jam berakhir, terhitung sejak surat pemberitahuan resmi eksekusi disampaikan kepada terpidana mati.
Terpidana perempuan asal Filipina, Mary Jane Veloso batal dieksekusi terkait adanya bukti hukum baru yang diajukan tim pengacara. Disebutkan, Mary Jane bukan pelaku utama, melainkan hanya korban bandit perdagangan manusia.
Sebelumnya, sampai saat-saat terakhir, Presiden Filipina Benigno Aquino memohon kepada pemerintah Indonesia dan Presiden Jokowi agar tidak melaksanakan eksekusi terhadap warganya, Mary Jane Veloso, satu-satunya perempuan dari sembilan orang yang akan dieksekusi. Inilah untuk ketiga kalinya, Benigno Aquino meminta Presiden Jokowi membatalkan eksekusi mati Mary Jane.
Salah satu alasan yang dikemukakan Presiden Filipina adalah, Mary Jane justru bisa menjadi saksi kunci dalam penyelidikan sindikat narkoba di Filipina. Seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai perekrut Mary Jane untuk membawa koper berisi heroin ke Indonesia, diberitakan telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan Filipina.
 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Pada klasifikasi model ini,  hukuman dapat dikelompokkan menjadi 3: 1) ‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik), 2) ‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis), dan 3) ‘Uqubah maliyyah (hukuman denda). Hukum pidana Islam juga sering dikritik karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM.Masih cukup banyak negara di dunia yang mempertahankan hukuman mati (termasuk negara-negara di kawasan ASEAN).
Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tata cara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati. Pengedar narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan di muka bumi.Akan tetapi melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba maka hukuman yang dipilih oleh para ulama adalah hukuman mati.


DAFTAR PUSTAKA
Audah, ‘Abd al-Qadir.At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i. Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy.
az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr. 1989.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Intermassa. 1997.
Bakr, Abu bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i. Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah. 1910.
Sabiq,As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ocktoberrinsyah, Riddah dan Kebebasan Beragama, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1997.
Djazuli., Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Prada. 1997. Cet ke-2.
Amin,  Islamic Law and Its Implications for Modern World. Skotlandia: Royston Ltd., 1989.
Salam, Abdul Jalil. Polemik Hukuman Mati di Indonesia dan Demokrasi Hukum. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2010
Undang-undang No. 5 Tahun 1997
Al-Qur’an Terjemahan
Wikipedia bahasa Indonesia akses 21-11-2015



[1]. Wikipedia bahasa Indonesia akses 21-11-2015
[2]. Hamzah, pidana mati di Indonesia, Jakarta: ghalia Indonesia, cetakan ke 2, 1985. hlm 14-15
[3]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i (Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy, t.t.), I: 633-4.
[4]. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 217
[5]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Intermassa. 1997., hlm 203.
[6]. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami......... VI: 217.
[7]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam......hlm. 193.
[8]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i...... II: 638
[9]. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh......hlm. 129-130.
[10]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 193.
[11]. Al-Qur’an Terjemahan QS. Al-Maidah (5): 33.
[12]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam......hlm. 194-195
[13]. Al-Qur’an Terjemahan QS. Al-Hujurat (49): 9
[14]Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh........hlm. 106
[15]. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh........hlm. 110
[16]. Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i (Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah, 1910), VII: 134.
[17]. As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II: 381.
[18]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i.......hlm. 720
[19]. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VIII: 50. Hadis diriwayatkan dari Ibn Abbas.
[20]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i.......hlm. 728
[21]. Tesis: Ocktoberrinsyah, “Riddah dan Kebebasan Beragama”, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 1997.
[22]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 195
[23]. Al-Qur’an Terjemahan QS. An-Nur (24): 2
[24]. Topo Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 197
[25]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan  bi al-Qanun al-Wad’i......hlm. 80, 685
[26]. Djazuli., Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Prada. 1997. Cet ke-2. hlm106
[27]. S.H. Amin,  Islamic Law and Its Implications for Modern World (Skotlandia: Royston Ltd., 1989),  hlm. 52.
[28]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI., hlm. 174
[29]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia.....hlm. 175
[30]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia......hlm. 176
[31]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia.....hlm. 176-177
[32]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm. 238
[33]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm. 232
[34]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm. 234
[35]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm. 186
[36]. Abdul Jalil Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm. 188
[37]. [37]. Undang-undang No. 5 Tahun Tahun 1997, tentang Narkotika
[38]. Undang-undang No. 5 Tahun 1997, tentang Narkotika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar