BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan dalam hukum Islam bersifat
tegas dan adil untuk semua pihak. Hal itu menjadi wajar karena hukum Islam
bersumber kepada al-Qur’an sedangkan al-Qur’an mengklaim dirinya sebagai wahyu
Allah yang tidak pernah salah (maha benar Allah dengan segala firman-Nya)
sebagaimana Qur’an Surat 2 (al-Baqarah) ayat 147 “Kebenaran itu adalah dari
Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”.
Selain itu al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai hakim yaitu pemutus perkara
atas semua permasalahan yang ada di mukabumi ini dan menyelesaikan setiap
perselisihan diantara manusia, sebagaimana dalam al-Qur’an Surat 36 (Yaasiin)
ayat 2 “Demi al-Qur’an sebagai Hakim”.
Vonis yang dikeluarkan oleh Mahkamah Islam melalui hakim didasarkan pada
ayat-ayat al-Qur’an, Hadist, dan hukum Islam yang sesuai dengan kedua sumber
hukum yang utama tersebut. Maka vonis itu pada hakekatnya dari hadirat Allah
SWT, yang prosesnya melalui hakim dengan seizin Allah, sebagaimana dalam al-Qur’an
Surat 4 ayat 64 “Dan Kami tidak mengutus Rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin Allah, Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya sendiri
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha penerima Taubat dan Maha
Penyayang”.
Ketika Muhamad SAW masih hidup, jabatan eksekutif, legislatif dan yudikatif
masih dipegang oleh beliau, maka jika ada umat Islam yang melanggar aturan
Allah mereka datang kepada beliau selaku pemegang kekuasaan yudikatif,
sebagaimana ayat di atas.
Setelah mereka berada dihadapan beliau, maka proses peradilan pun berjalan
untuk menentukan hukuman sesuai al-Qur’an dan putusan itu menjadi yurispundensi
bagi hukum Islam. Setelah zaman Muhamad SAW maka diangkatlah hakim untuk
memutuskan perkara umat yang dilaksanakan di Mahkamah Islam dan putusannya
harus diterima sebagai putusan yang datangnya dari Allah SWT, sebagaimana dalam
al-Qur’an Surat 4 ayat 65 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukuman mati dan asal mula pembentukan hukuman mati?
2. Apa saja tindak pidana
yang diancam hukuman mati dan bagaimana hukuman mati dan HAM?
3. Bagaimana mekanisme dan elastisitas eksekusi terpidana mati?
4. Bagaimana perbedaan pandangan terhadap hukuman mati dan hukuman
mati di Indonesia?
5. Bagaimana hukuman mati bagi korupsi dan contohnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hukuman mati dan asal mula pembentukan hukuman
mati.
2. Untuk mengetahui tindak pidana
yang diancam hukuman mati dan bagaimana hukuman mati dan HAM.
3. Untuk mengetahui mekanisme dan elastisitas eksekusi terpidana mati.
4. Untuk mengetahui perbedaan
pandangan terhadap hukuman mati dan hukuman mati di Indonesia.
5. Untuk mengetahui hukuman mati
bagi korupsi dan contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukuman Mati
Hukuman mati adalah
suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan
atas seseorang akibat perbuatannya.
Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari
data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara,
misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Dalam sejarah, dikenal beberapa cara
pelaksanaan hukuman mati:
- Sengatan listrik: hukuman dengan cara duduk di kursi yang kemudian dialiri listrik bertegangan tinggi.
- Hukuman gantung: hukuman dengan cara digantung di tiang gantungan.
- Suntik mati: hukuman dengan cara disuntik obat yang dapat membunuh.
- Hukuman tembak: hukuman dengan cara menembak jantung seseorang, biasanya pada hukuman ini terpidana harus menutup mata untuk tidak melihat.
- Rajam: hukuman dengan cara dilempari batu hingga mati.[1]
B. Asal Mula Pembentukan Hukuman Mati
Perkembangan hukuman
pidana mati di Indonesia sebenarnya sudah berlangsung sejak nenek moyang
terdahulu sejak masa kerajaan meskipun dalam masa tersebut belum di undangkan
secara menyeluruh hanya sebagian yang menggunakannya, dan pada masa penjajahan
Belanda mulailah pidana mati di perkuat dan di kenalkan secara menyeluruh oleh
pemerintah Belanda kepada masyarakat Indonesia dengan mengundangkan dan
menyantumkan hukuman pidana mati dalam kitab undang-undang.
Dalam KUHP Indonesia
telah tercantum hukuman pidana mati yang sekiranya telah di tetapkan sebagai
suatu pidana pokok meskipun sekarang sedang diproses kembali oleh pemerintah
atas penetapan hukuman mati sebagai pidana pokok, akan tetapi dalam tinjauan
yang sebenarnya pidana mati mungkin perlu di karena akan dapat menjerakan dan
menekan serta menakut-nakuti penjahat, dan relatif tidak menimbulkan sakit jika
dilaksanakan dengan tepat.[2]
C. Tindak Pidana Yang Diancam Hukuman Mati
Dalam hukum pidana
Islam, hukuman dapat dibedakan menjadi beberapa macam, tergantung dari aspek
mana pembagian itu dilakukan. Eksistensi hukuman mati dapat dilihat pada pembagian
hukuman berdasarkan bentuk/sasaran dari hukuman itu sendiri. Pada klasifikasi
model ini, hukuman dapat dikelompokkan sebagai berikut:[3]
1. ‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik), yaitu hukuman yang ditetapkan atas
tubuh manusia. Masuk dalam kategori ini antara lain hukuman bunuh, jilid dan
penjara.
2. ‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis), merupakan pengganti hukuman
diberikan dalam bentuk psikologis, seperti nasehat dan peringatan.
3. ‘Uqubah maliyyah (hukuman denda), yaitu hukuman dalam bentuk materiil
seperti hukuman diyat.
Dari klasifikasi di
atas, dapat dikatakan bahwa hukuman mati merupakan hukuman fisik yang
dijatuhkan pada tindak pidana tertentu. Adapun tindak pidana yang dijatuhi
hukuman mati, berdasarkan nas-nas agama adalah sebagai berikut:
1. Pembunuhan (al-qatl)
Tidak diragukan lagi
bahwa kejahatan yang paling menakutkan bagi manusia adalah pembunuhan. Tindakan
pembunuhan diancam pidana berat oleh semua sistem hukum sejak awal sejarah
manusia hingga saat ini. Ancaman pidana bagi tindak pidana ini dalam Hukum
Pidana Islam dikenal sebagai qishas, yaitu pembalasan bagi pelaku seimbang
dengan luka yang diderita korban.
Dalam literatur fiqih,
tindak pidana pembunuhan ini disebut juga dengan al-Jinayah `ala an-Nafs al-Insaniyyah[4](kejahatan
terhadap jiwa manusia), sebutan ini sama dengan pengertian pembunuhan dalam
hukum positif. Dalam KUHP Indonesia sendiri, tindak pidana ini juga dimasukkan
dalam Bab XIX: Kejahatan terhadap nyawa.[5]
Dalam hukum pidana
Islam, pembunuhan didefinisikan sebagai perbuatan yang melenyapkan nyawa
seseorang atau perbuatan seseorang yang mengakibatkan kematian.[6]
Pembunuhan yang dilakukan secara sengaja (al-Qatl al-‘Amd) dan sebagai
suatu bentuk permusuhan, merupakan tindak pidana yang paling berat dalam hukum
pidana Islam dan termasuk dalam kategori dosa besar. Tindak pidana pembunuhan
ini diancam dengan sanksi duniawi dan sanksi ukhrawi. Akan tetapi hukum
pidana Islam tidak menjatuhkan hukuman mati pada kasus pembunuhan semi sengaja
(al-Qatl syibh al-‘Amd) dan pembunuhan karena tersalah (al-Qatl
al-Khata’).
2. Perampokan(al-hirabah)
Hirabah atau nama lainnya qat’ at-tariq, adalah aksi sekelompok
orang dalam negara Islam untuk melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan
harta, pemerkosaan yang secara terang terangan menganggu dan menentang
peraturan yang berlaku, perikemanusiaan dan agama. Hirabah merupakan salah satu
bentuk pidana hudud.[7]Selain
dua istilah di atas, perampokan ini disebut pula sebagai as-sariqah al-kubra
(pencurian besar). Penyebutan dengan pencurian besar merupakan makna majasi
dari pencurian biasa. Perbedaan mendasar antara pencurian (as-sariqah)
dan perampokan (as-sariqah al-kubra) adalah bahwa pencurian adalah
pengambilan harta secara sembunyi-sembunyi, sedangkan perampokan adalah
pengambilan harta secara terang-terangan, dengan aksi kekerasan, baik mereka mengambil harta maupun tidak.[8]
Perampokan dapat
terjadi dengan mempergunakan senjata atau tidak, dilakukan di desa atau di
kota, ataupun di jalanan umum, baik secara perorangan maupun kelompok.[9] Menurut
Sayyid Sabiq termasuk di dalamnya aksi penculikan terhadap anak kecil, para
penguasa dan para wanita serta aksi pemusnahan pertanian dan
peternakan masyarakat. Sedang menurut ulama mahzab Syafi’iyyah, hirabah
harus bertujuan mengambil harta atau membunuh dengan dukungan kekuatan,
sementara orang yang terkena aksi tidak bisa ditolong. Orang yang terkena aksi,
menurut ulama fiqih adalah seorang muslim atau zimmi, sedangkan harta yang
dirampok itu memang kepunyaan yang sah, baik harta miliknya, titipan orang
lain, atau harta yang disewa.Harta itu juga haruslah harta yang halal (maka
tidak termasuk khamr dan babi), bukan pula harta persekutuan dengan
perampok, telah mencapai satu nisab (ukuran) yaitu sama dengan nisab pencurian,
1 dinar menurut jumhur ulama atau 10 dirham menurut mahzab Hanafiyyah.[10]
Tindak
pidana perampokan diancam dengan hukuman yang sangat berat.
Ayat Al-Qur`an yang menunjukan hukuman bagi pelaku tindak pidana ini adalah:
$yJ¯RÎ)(#ätÂt“y_tûïÏ%©!$#tbqç/Í‘$pt䆩!$#¼ã&s!qß™u‘urtböqyèó¡tƒur’ÎûÇÚö‘F{$##·Š$|¡sùbr&(#þqè=Gs)ãƒ÷rr&(#þqç6¯=|Áãƒ÷rr&yì©Üs)è?óOÎgƒÏ‰÷ƒr&Nßgè=ã_ö‘r&urô`ÏiBA#»n=Åz÷rr&(#öqxÿYペÆÏBÇÚö‘F{$#4šÏ9ºsŒóOßgs9Ó“÷“Åz’Îû$u‹÷R‘‰9$#(óOßgs9ur’ÎûÍotÅzFy$#ë>#x‹tãíOŠÏàtãÇÌÌÈ
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya.Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan terhadap mereka di dunia, dan di akhirat
mereka beroleh siksaan yang besar.”[11]
Ayat
di atas mengandung empat macam hukuman 1)hukuman mati, 2)disalib, 3)dipotong
tangan dan kaki bertimbal balik dan 4)dibuang dari tempat kediamannya. Tetapi
dalam penerapan hukuman itu para ulama berbeda pendapat. Ulama mazhab
Syafi`iyyah, Hanafiyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa hukuman yang dijatuhkan
harus secara berurut, sebagaimana dicamtumkan dalam ayat, serta sesuai dengan
bentuk tindak pidana yang dilakukan. Dalam mengurut hukuman sesuai dengan
tindak pidana yang dilakukan pun para ulama berbeda pendapat. Menurut Ulama
mazhab Hanafiyyah, jika pelaku hanya merampas harta, hukumannya potong tangan
dan kaki secara silang, bila sampai membunuh hukumannya dibunuh juga, jika
membunuh dan merampas, hakim bebas memilih hukumannya, apabila hanya
menakut-nakuti/mengganggu keamanan saja maka hukumannya dipenjara dan hukuman
ta`zir.
Ulama
mazhab Syafi’iyyah dan Hambaliyyah berpendapat, apabila pelaku hanya
mengambil harta, maka hukumannya potong tangan dan kaki secra silang, jika
membunuh, hukumannya juga dibunuh tapi tidak disalib, jika membunuh dan
mengambil harta, hukumannya dibunuh dan disalib; apabila mengganggu keamanan, hukumannya
dibuang dari tempat kediamannya.
Adapun
menurut mazhab Maliki, penerapan hukuman yang disebutkan dalam ayat itu
diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan setelah dimusyawarahkan dengan para
ahli fikih dan pihak-pihak terkait, dengan syarat hakim tersebut harus memilih
yang terbaik.[12]
3. Pemberontakan(al-bagy)
Keharaman
pemberontakan telah ditegaskan oleh Al-Quran dan Hadis. Allah berfirman:
bÎ)urÈb$tGxÿͬ!$sÛz`ÏBtûüÏZÏB÷sßJø9$#(#qè=tGtGø%$#(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/(.bÎ*sùôMtót/$yJßg1y‰÷nÎ)’n?tã3“t÷zW{$#(#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$#ÓÈöö7s?4Ó®Lymuäþ’Å"s?#’n<Î)ÌøBr&«!$#4bÎ*sùôNuä!$sù(#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ÉAô‰yèø9$$Î/(#þqäÜÅ¡ø%r&ur(¨bÎ)©!$#=Ït䆚úüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÒÈ
“Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah
kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan
berlaku adillah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”[13]
Ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bagy. Ulama Hanafiyyah misalnya
mendefinisikannya sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang
sah tanpa alasan.
Ulama
Syafi’iyyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penentangan terhadap imam
dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban
dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin.[14]
Para
pemberontak bertanggungjawab terhadap tindak pidana secara khusus sebelum dan
sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan sewaktu pemberontakan, dapat dipilah
menjadi dua yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan
kejahatan yang tidak berkaitan langsung. Kejahatan yang berkaitan langsung
dengan pemberontakan, seperti merusak jembatan, membom gudang senjata, membunuh
atau menawan para pemimpin, maka semua itu diancam dengan hukuman pemberontakan
yang diserahkan kepada ulil amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila ulil amri
tidak memberi ampunan secara umum. Sedangkan kejahatan yang tidak berkaitan
langsung, seperti meminum-minuman keras dan zina yang mereka lakukan pada waktu
pemberontakan, tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai tindak pidana
hudud biasa.[15]
4. Riddah (keluar
dari Islam)
Dalam
literatur fiqh, riddah didefinisikan sebagai kembali kepada kekafiran
dari Islam atau memutuskan diri dari Islam.[16]
As-Sayyid Sabiq menjelaskan lebih rinci bahwa riddah adalah kembalinya
orang Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran dengan kehendaknya sendiri
tanpa ada paksaan dari orang lain, baik ia laki-laki ataupun perempuan.[17]
Istilah
riddah, menurut fuqaha hanya terbatas pada keluarnya seorang Muslim ke
agama non-Muslim. Jadi kalau ada non-Muslim yang keluar dari agamanya dan
pindah ke agama lain, maka perpindahan tersebut tidaklah dapat dikategorikan riddah.
Alasannya adalah bahwa perpindahan dari orang kafir ke agama yang juga
kafir itu tidak ada perbedaan, karena sama-sama batil, sedangkan perpindahan
Muslim kepada agama kafir itu berarti perpindahan dari hidayah dan din
al-haqq kepada kesesatan dan kekafiran.
Sanksi
riddah dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sanksi pokok, sanksi
pengganti dan sanksi pelengkap. Sanksi pokok riddah menurut fuqaha
adalah hukuman bunuh, baik yang melakukan itu laki-laki maupun perempuan. Akan
tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan yang murtad tidak boleh dibunuh
tetapi dipenjara saja dan setiap hari disuruh bertaubat agar ia kembali
muslimah dan kalau ia menolak maka ia tetap dipenjara sampai ia mau bertaubat
atau mati. Hujjah yang diberikan Abu Hanifah adalah bahwa
Rasulullah melarang membunuh wanita yang kafir sejak semula (al-kufr al-asli),
dan andaikan wanita yang kafir sejak semula saja dilarang untuk dibunuh,
tentunya larangan ini lebih layak jika ditujukan kepada wanita yang kafir setelah
beriman (al-kafir at-tari`).[18]
Sanksi
bunuh terhadap orang yang melakukan riddah didasarkan pada hadis Nabi: “Barangsiapa
yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”.[19]
Hukuman
pengganti adalah hukuman yang dijatuhkan setelah gugurnya hukuman asli karena
adanya taubat. Dalam hal ini hukuman had berubah menjadi hukuman ta’zir
yang penetapannya diserahkan kepada penguasa. Hukuman tersebut dapat berupa
hukuman jilid, penjara, denda atau hukuman lain. Sedangkan hukuman pelengkap
bagi murtad adalah berupa penahanan terhadap harta kekayaannya dan pembatasan
kecakapan murtad dalam melakukan berbagai transaksi. Pembatasan kecakapan
terhadap kekayaan, hanyalah yang bersifat aktif, sedangkan kecakapan yang
bersifat pasif tetap dianggap sah.[20]
Pembatasan kecakapan tersebut hanyalah bersifat sementara, jika murtad kemudian
melakukan taubat.
Dalam
konteks kekinian, konsep riddah ini perlu ditata kembali, karena
ternyata penjatuhan hukuman bunuh itu bukan hanya karena riddah itu an
sich, tetapi karena riddah yang diikuti dengan pembelotan,
pemberontakan dan pelecehan terhadap agama.[21]
5. Zina
Zina
berarti hubungan kelamin di antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Tidak menjadi
masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah berkeluarga ataukah
masih lajang.[22]
Tetapi dari segi sanksinya, terdapat perbedaan antara pezina yang sudah menikah
dengan pezina yang masih lajang. Bagi pezina yang masih lajang (gair muhsan),
maka hukumannya didera seratus kali, sesuai dengan firman Allah:
èpu‹ÏR#¨“9$#’ÎT#¨“9$#ur(#rà$Î#ô_$$sù¨@ä.7‰Ïnºur$yJåk÷]ÏiBsps($ÏB;ot$ù#y_(Ÿwur/ä.õ‹è{ù's?$yJÍkÍ5×psùù&u‘’ÎûÈûïÏŠ«!$#bÎ)÷LäêZä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöqu‹ø9$#urÌÅzFy$#(ô‰pkô¶uŠø9ur$yJåku5#x‹tã×pxÿͬ!$sÛz`ÏiBtûüÏZÏB÷sßJø9$#ÇËÈ
“Perempuan
dan laki-laki yang berzina maka deralah setaip orang dari keduanya seratus kali
deraan, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan
hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman”.[23]
Sedangkan bagi pezina yang sudah menikah (muhsan),
maka hukumannya adalah dirajam hingga mati. Namun demikian banyak pemikir
Muslim yang berpendapat bahwa karena Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang
hukuman rajam sampai mati (hukuman tersebut berdasarkan hadis Nabi), maka
hukuman ini tidak dapat dibenarkan.[24]
6. Tindak Pidana Ta’zir
Tindak
pidana ta’zir adalah tindak pidana yang bentuk hukumannya belum ditentukan oleh
syara’.[25]Sanksitindak
pidana ini bisa berupa nasihat, peringatan, hingga pada hukuman penjara dan
dera, bahkan hukuman mati dalam kasus-kasus yang sangat berat dan membahayakan.
Hukuman-hukuman tersebut sepenuhnya penentuannya diserahkan kepada pemerintah
dan dalam peradilannya sepenuhnya diserahkan kepada para hakim dengan
mempertimbangkan berat-ringannya tindak pidana serta keadaan pelaku tindak
pidana tersebut.
Secara
sederhana, tindak pidana ta’zir ini dapat terbagi menjadi tiga bagian:[26]
a. Tindak pidana hudud atau qisas yang syubhat atau
tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, seperti percobaan
pencurian, pencurian di kalangan keluarga dan sebagainya.
b. Tindak pidana yang ditentukan oleh nas agama
(Al-Qur`an dan Hadis), namun tidak ditentukan sanksinya, seperti penghinaan,
saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan sebagainya.
c. Tindak pidana yang ditentukan oleh ulil amri
(pemerintah) untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai (ruh) ajaran Islam
dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
Dengan
demikian, pemerintah dapat saja menjatuhkan hukuman mati misalnya pada
kasus-kasus yang sangat berat seperti narkoba dan korupsi dalam jumlah
tertentu.
D. Hukuman Mati dan HAM
Salah
satu kritik utama orang-orang Barat terhadap dunia Islam adalah bahwa hukum
pidana Islam terlihat begitu primitif, kejam dan keras. Sistem keadilan yang
primitif menurut mereka tidak dapat diterapkan pada masyarakat yang
beradab. Sistem hukum pidana Islam masih mengacu pada akar historisnya
yang bertumpu pada praktek-praktek dan tradisi-tradisi Arab sebelum Islam. Pada
saat itu tidak ada pengadilan yang terorganisasi dan administrasi
penegakkan hukum. Hukum yang berlaku cenderung menganut prinsip “keadilan
pribadi” menurut sang korban untuk melakukan balas dendam, mendapatkan
kompensasi dan tebusan terhadap kepentingan pribadinya. Saat ini, sistem hukum
yang berpijak pada “keadilan pribadi” ini tampaknya tidak dapat diterima lagi
dalam realitas sosial dan politik. Sebagai jawaban atas persoalan di atas,
Barat kemudian memainkan penilaian politik dan nilai-nilai budayanya sendiri
untuk mengevaluasi sistem hukum pidana Islam.[27]
Hukum
pidana Islam juga sering dikritik karena dianggap tidak manusiawi dan
bertentangan dengan HAM. Dalam kasus hukuman mati, kritik yang sering dilontarkan
orang adalah bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup. Bagi para
penentang hukuman mati, alasan teologis juga sering didengungkan. Menurut
mereka manusia tidak berhak untuk mengambil nyawa orang lain, karena yang
berhak untuk itu hanyalah Allah.
Kritik-kritik
di atas, sebenarnya tidak adil karena hanya bersifat sepihak. Mereka hanya
memperhatikan hak-hak asasi si pelaku kejahatan dan mengabaikan hak asasi
korban yang telah dirampas oleh pelaku kejahatan. Mereka bahkan seolah-olah
tidak merasakan dampak yang akan ditanggung oleh keluarga korban akibat
perbuatan dari pelaku kejahatan tersebut dan juga dampaknya kepada masyarakat.
Oleh karena itu, hukum yang adil adalah hukum yang tidak hanya memperhatikan
HAM pelaku kejahatan, tetapi seharusnya hukum yang lebih memperhatikan
HAM korban, HAM keluarganya dan HAM masyarakatnya.
Kritik
teologis pun sebenarnya sangat lemah dan tidak argumentatif, karena justru
sebenarnya Allahlah yang memberi perintah untuk menerapkan hukuman mati
tersebut (lihat kembali ayat-ayat yang berkaitan dengan pembunuhan pada paparan
sebelumnya). Sebaliknya, seharusnya yang menjadi pertanyaan adalah siapa
yang memberi wewenang kepada pelaku kejahatan untuk mencabut nyawa orang lain?
Nas-nas agama jelas menyatakan bahwa perbuatan semacam ini tidak dibenarkan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa hukuman mati, dalam konteks tertentu tidak
dimaksudkan untuk merampas hak asasi manusia, tetapi justeru untuk melindungi
hak asasi manusia itu sendiri dari perampasan.
E. Mekanisme dan Elastisitas Eksekusi Terpidana Mati
Hukum Islam telah
membimbing dan mengarahkan tatacara ataupun etika dalam melaksanakan hukuman
mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati, yaitu:[28]
1. Menghukum mati dengan cara yang paling baik, eksekusi yang tidak
menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, agar si terhukum segera meninggal,
misalnya dengan pedang yang sangat tajam. Hal ini didasarkan pada hadis: dari
Syadad bin Aus bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian membunuh,
maka baguslah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, maka yang
baiklah cara menyembelihnya.
2. Bagian yang dipenggal adalah leher atau tengkuk bagian belakang kepala. Hal
ini didasarkan pada hadis yang meriwayatkan tentang beberapa orang sahabat
Rasulullah SAW apabila mereka mengetahui ada seseorang yang hendak dihukum
mati, maka mereka saling berkata, “Ya Rasulullah, biarkanlah aku saja yang
memenggal lehernya.”
3. Apabila si terhukum sedang hamil, eksekusinya ditunda hingga ia melahirkan
dan menyusukan bayinya maksimal sampai dua tahun setelah melahirkan. Hal ini
juga didasarkan pada hadis Rasulullah SAW.
4. Eksekusi mati tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi
dan merendahkan martabat, seperti dengan mencincangnya atau membakarnya. Hal
ini didasarkan hadis Rasulullah SAW, “Janganlah kalian menyiksa dengan azab
Allah. Dari Abdullah bin Yazid al-Anshari, “Rasulullah SAW melarang kita
merampas dan mencincang.
5. Eksekusi mati tidak boleh dilakukan jika si korban dalam keadaan sakit atau
belum sembuh dari luka yang ditimbulkannya. Dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan bagi si korban apakah memaafkan si pelaku atau tidak. Hal ini
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, ia berkata, “Sesungguhnya
ada seorang laki-laki dicederai (dilukai), kemudian ia minta diqishaskan, maka
Nabi SAW melarang atau menunda qishas tersebut hingga orang yang dianiaya itu
sembuh dari lukanya.[29]
6. Pelaku pembunuh boleh dibunuh dengan “alat apapun” yang mempermudah proses
eksekusi. Menurut mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i, hukuman mati hendaknya
dilakukan dengan menggunakan pedang, atau dipenggal dengan alat yang sangat
tajam, atau digantung dengan tali, atau dengan cara yang lain, tidak
disyaratkan kecuali satu saja, yaitu ihsan al-Qathli (eksekusi yang paling
baik), yakni yang mempermudah kematian.[30]
Parameter ataupun
ukuran dalam menentukan apakah satu tata cara pelaksanaan pidana mati merupakan
sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan tidak biasa, sebenarnya dapat dinilai
dari pelaksanaannya, yaitu: a) Jika cara yang dilakukan menimbulkan penderitaan
yang panjang di samping tidak diperlukan dalam menimbulkan kematian; b)
bertentangan dengan ukuran kesusilaan yang dianut dalam masyarakat; dan c)
tidak sengaja dan mempertahankan harkat martabat terpidana sebagai manusia.
Di Indonesia, persoalan
metode, etika ataupun tatacara pelaksanaan eksekusi mati sempat mencuat sejak
terpidana Bom Bali I lewat pengacaranya mengajukan judicial review
terhadap UU No. 2 Tahun 1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Pidana Mati. Mereka
menolak dihukum mati dengan cara ditembak. Alasannya, di samping ingin dihukum
berdasarkan hukum Islam, yaitu dipancung atau dipenggal, hukum tembak mati
terkadang tidak membuat si terpidana mati seketika. Ada jeda yang relatif lama
bagi si terpidana mati untuk merasakan derita dan sakit di saat sakaratul maut.
Hidayat Nurwahid
menilai persoalan utama pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan hukuman
mati terutama karena eksekusi terpidana mati dibiarkan berlarut-larut.
Menurutnya, pelanggaran HAM bukan pada konteks hukuman matinya, tapi seorang
yang sudah dijatuhi hukuman mati ternyata proses eksekusinya terlalu lama
sehingga menambah beban psikologis bagi terpidana. Sebagai contoh terpidana
mati yang harus menjalani hukuman 10-20 tahun penjara terlebih dahulu lalu baru
dihukum/dieksekusi mati setelah melewati proses waktu tersebut. Demi kepastian
hukum bagi terpidana, eksekusi tidak boleh berlarut-larut, tentunya juga dengan
mempertimbangkan hak hukum terpidana seperti grasi dari presiden.
Para ulama sepakat bahwa
penguasa hendaknya mengeksekusi terpidana mati dengan cara atau alat yang lebih
cepat menghabisi nyawa, atau alat yang bisa menyegerakan mati. Ini dimaksudkan
agar penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan terpidana mati tidak terlalu
lama. Di sini berlaku kaidah ‘menyedikitkan derita dan menyegerakan mati’.[31]
F. Perbedaan Pandangan Terhadap Hukuman Mati
Dapat dimengerti, bila hukuman mati banyak mengundang
kontroversi, atau perbedaan pendapat dan pandangan, karena menyangkut hak hidup
(hak dasar) atau nyawa seseorang yang tidak akan dapat direhabilitasi bila
eksekusi mati telah dilaksanakan. Masih cukup banyak negara di dunia yang
mempertahankan hukuman mati (termasuk negara-negara di kawasan ASEAN), antara
lain: Rusia (pernah menghapus, tapi memberlakukannya kembali), AS, Perancis,
Inggris, Jepang, Korea, RRC, Kuba, Singapura, Malaysia, Thailand. Namun cukup
banyak juga yang telah menghapuskannya antara lain : Belanda (negara asal KUHP
Indonesia, kecuali dalam pengadilan militer), Portugal, Australia, Swedia,
Jerman, Rumania, Denmark, Italia dan negara-negara Skandinavia.
Penjelasan di bawah ini mencoba menggambarkan
perbedaan pendapat dan pandangan tersebut:[32]
a.
Yang Tidak Setuju
Kelompok ini berpendapat bahwa hak hidup adalah hal
dasar yang melekat pada diri setiap manusia/individu yang sifatnya kodrati dan
universal sebagai karunia Tuhan YME, yang tidak boleh dirampas, diabaikan atau
diganggu gugat oleh siapapun.
Hal itu tercantum dalam TAP MPR No. VXII/MPR/1998,
tentang sikap dan pandangan bangsa Indonesia mengenai Hak-Hak Asasi Manusia,
dan juga terangkat dalam Amandemen ke-2 UUD 1945 pasal 28A yang menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Maka sebagai Hukum Dasar Tertinggi (Grundnorm), itu
haruslah menjadi pedoman bagi segenap aturan hukum dibawahnya. Disamping itu
berdasarkan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak untuk
hidup (Right to Life) menyatakan bahwa “Setiap manusia berhak untuk hidup dan
mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”. Maka dengan
demikian, hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional
tersebut, yang seharusnya segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai
bentuk kewajiban negara dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
asasi terhadap segenap warga negara sebagai mana telah diadopsi dalam pasal 28A
Amandemen UUD’45.
Selanjutnya dikatakan, bahwa bentuk-bentuk pemidanaan
tidak terlepas dari tujuan pemidanaan, yaitu pembalasan dan pencegahan. Yang dimaksudkan
dengan pembalasan yaitu pemberian hukuman yang seimbang dengan penderitaan
korban, sementara pencegahan dimaksudkan lebih pada agar orang lain jera
(takut, khawatir, berpikir 1.000x) untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini,
bila hukuman mati dimaksudkan untuk pembalasan maupun untuk pencegahan,
ternyata maksud dan tujuan itu tidaklah tercapai, dengan melihat pada kenyataan
semakin meningkatnya kasus-kasus pembunuhan (berencana) dan kasus-kasus
narkoba.
Artinya menurut kelompok ini, tidak ada korelasi
antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Kelompok ini juga
mengemukakan bahwa penolakan grasi sebenarnya sudah merupakan “hukuman
tambahan” bagi terpidana mati maupun mereka yang masih dalam proses hukum,
berupa: gangguan kejiwaan, stress, kekecewaan karena telah sekian lama mendekam
di penjara, tetapi juga tetap menjalani hukuman mati, histeris sebelum hukuman
mati dilaksanakan dan beban psikologis berat bagi keluarganya.
b.
Yang Setuju
Didalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia,
baik dalam KUHP Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati
ada tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah
diatur dengan jelas.
Maka dari sudut hukum (legalistik) tidak ada hal yang
harus diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas
dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Memang
sejarah hukum pidana di Indonesia pada masa lampau mengungkapkan, adanya sikap
dan pendapat bahwa pidana mati merupakan obat yang paling mujarab untuk
menghadapi dan menanggulangi kejahatan-kejahatan berat, dan pada masa sekarang
pun pendapat itu masih ada.[33]
Dalam menyikapi tentang hukuman mati, kelompok ini
mengaitkannya dengan 3 (tiga) tujuan hukum, yaitu: keadilan, kepastian hukum
dan manfaat/kegunaan. Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati
seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba,
pembunuhan berencana, dll). Dari aspek kepastian hukum, yaitu ditegakkannya
hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan,
bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan tetapi kenyataan
yang dapat diwujudkan dengan tidak pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang
penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian
sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pengadilan pertama sampai dengan
ditolaknya grasi oleh Presiden. Dari aspek manfaat/kegunaan, hukuman mati akan
membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan,
serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah dan penegak hukum.
Bagi kelompok ini yang khusus mengacu pada hukum Islam
mengatakan, bahwa “Islam mengajarkan agar umat Islam memelihara akal,
keturunan, harta, nyawa, dan agama, sebagai prinsip Islam yang wajib dijaga dan
jangan sampai dirusak oleh siapapun.” Tindak kejahatan pembunuhan, narkoba,
terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib dipelihara.
Maka hukuman yang pas bagi pelakunya adalah hukuman mati.
Berkaitan dengan hak asasi manusia, kelompok ini
mengemukakan bahwa hak asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak
disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban
melaksanakan hak. Hak seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan
menghormati hak orang lain (sejarah tentang hak dan kewajiban sudah ada sejak
Nabi Adam dan Siti Hawa).
Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan
hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup dia bukan sesuatu yang perlu
dipertanyakan dan dibela.
Penghapusan hukuman mati di Indonesia masih belum bisa
dilakukan karena institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan,
serta institusi pemasyarakatan masih lemah. Bila hukuman mati ditiadakan,
dikhawatirkan situasi di Indonesia makin memburuk. Khusus untuk perkara
narkotika dan obat-obatan berbahaya, jika hukuman mati ditiadakan, Indonesia
telah mengirimkan pesan yang salah kepada para pengedar.
Berdasarkan data-data yang dihimpun Kejaksaan Agung,
Abdul Rahman menjelaskan bahwa selama kurun waktu 1945-2003, dari data
statistik, orang yang menjalani hukuman mati ternyata hanya sedikit. Dari 52
orang yang dijatuhi hukuman mati, ternyata hanya 15 orang yang telah dieksekusi
selama kurun waktu 58 tahun.
Frans Hendra Winarta (2006) menjelaskan, Indonesia
saat ini masih menerapkan hukuman mati terhadap para pengedar narkoba dan
tindak pidana terorisme. Kedua kejahatan itu dianggap membahayakan masyarakat
dan negara. Para pembuat hukum di parlemen yang mewakili masyarakat
mengklasifikasikan kejahatan-kejahatan itu sebagai ancaman terhadap kehidupan
di Indonesia.[34]
G. Hukuman Mati di Indonesia
KUHP Indonesia dalam
sejarahnya berasal dari Code Penal Perancis dan Wetboek Van Strafrecht Belanda
yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam Code Penal
dan Wetboek Van Strafrecht, masing-masing mencantumkan ancaman hukuman mati
untuk kasus-kasus menyangkut keselamatan negara, keselamatan kepala negara dan
kejahatan-kejahatan sadis lainnya. Sejarah hukum modern Indonesia mencatat,
karena berbagai persoalan yang muncul dan pemikiran yang berkembang, para ahli
hukum dan politisi Indonesia menggugat tentang KUHP yang bukan made in
Indonesia, tetapi benar-benar made in Pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan
untuk kepentingan penjajahan, dan kemudian terus dipertahankan untuk
kepentingan penguasa setelah kemerdekaan, sehingga mendorong dengan keras agar
KUHP Indonesia direvisi. Tetapi pada kenyataannya, di dalam revisi KUHP
Indonesia yang ada dan berrlaku saat ini, ancaman hukuman mati tetap
dipertahankan untuk berbagai jenis tindak kejahatan.
Hukuman mati di
Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu
hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari: Hukuman mati,
hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda; Hukuman tambahan terdiri
dari: Pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman
keputusan hakim. Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU
No.2/PnPs/1964 yang dipedomani sampai saat ini.[35]
Didalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat
ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan
negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111 ayat (2)
tentang melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang, pasal
124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis) tentang
menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara, pasal 140 ayat (3) tentang
pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat (2) dan
pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan,
pasal 444 tentang pembajakan di laut yang mengakibatkan kematian dan pasal 365
ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka
berat atau mati.
Didalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa
Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No.22/97 tentang
Narkotika, UU No.5/97 tentang Psikotropika, UU No.26/2000 tentang Pengadilan
HAM, UU No.31/99 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU
No.1/2002 tentang tindak pidana korupsi.
Artinya, ancaman hukuman mati dalam ketentuan
perundang-undangan di Indonesia masih jelas ada, bahkan semakin dikukuhkan
dengan terbitnya beberapa UU yang diberlakukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan
yang berkembang di Indonesia, walaupun tidak terbebas dari tudingan, bahwa itu
semua dilakukan sebagai langkah kompensasi politik akibat ketidakmampuan
pemerintah membenahi sistem hukum yang korup.
Berdasarkan rekaman data tahun 2004 yang ada, tercatat
62 orang yang telah dijatuhi hukuman mati dengan rincian 49 orang laki-laki dan
13 orang wanita, dimana 47 orang diantaranya sedang menunggu eksekusi.
Sebelumnya 15 orang telah dilaksanakan eksekusi mati dalam berbagai kasus.
Khusus dalam kasus tindak pidana narkoba, sejak tahun 1999 s/d 2006, tercatat
jumlah terpidana yang dijatuhi hukuman mati 63 orang, terdiri dari 59 orang
laki-laki dan 4 orang wanita dari berbagai kebangsaan (paling banyak Nigeria: 9
orang). Yang telah dieksekusi mati dalam kurun waktu 10 tahun (1994-2004) baru
2 (dua) orang, yaitu: tahun 1994, terpidana mati Steven (warga negara Malaysia)
dan tahun 2004, Ayoodhya Prasaad Chaubey (warga negara India). Untuk terpidana
mati kasus tindak pidana narkoba sebanyak 63 orang dan telah dieksekusi mati 3
orang, sehingga yang masih menunggu sebanyak 60 orang.[36]
Walau kini (2007) telah antri 60 orang terpidana mati
kasus tindak pidana narkoba, belum juga dieksekusi. Padahal waktu putusan
hukuman itu telah sepuluh tahun yang lalu. Perlu diketahui, sejak tahun 1994
hingga tahun 2006 ada 63 putusan hukuman mati bagi pengedar narkoba, namun baru
dieksekusi 3 orang tahun 2004 yang lalu, berarti sepanjang 10 tahun masyarakat
menanti keadilan. Menurut catatan berbagai lembaga HAM Internasional, jumlah
terpidana yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina,
Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi dan Iran (Thailand tidak disebutkan, walau
sesungguhnya Thailand merupakan negara yang amat sangat keras dan “getol”
menjatuhkan hukuman mati terutama dalam kasus-kasus narkoba).
H. Hukuman Mati Bagi Pengedar Narkoba
Pengedar narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan
di muka bumi. Karenanya hukuman bagi mereka yang membuat kerusakan
di muka bumi adalah salah satu dari empat hukuman sesuai kebijakan pemerintah
Islam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَاداً أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ
يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ
يُنْفَوْا مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي
الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya, hukuman
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, adalah mereka [1] dibunuh atau [2] disalib, [3] dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bersilang, [4] atau dibuang (keluar
daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia,
dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah: 33)
Akan tetapi melihat besarnya
kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba maka hukuman yang dipilih oleh
para ulama
adalah hukuman mati. Demikian juga hukuman yang ditetapkan oleh pemerintah
Islam adalah hukuman mati (ini disebut ta’zir yaitu hukuman yang
tidak ditetapkan oleh syariat, namun hasil dari penetapan pemerintah Islam.
Jika ditetapkan oleh syariat disebut hudud, misalnya hukuman potong
tangan).
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) membolehkan negara menjatuhkan sanksi hingga hukuman mati
bagi produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba. Ketentuan itu
telah disahkan dalam bentuk fatwa MUI Nomor 53 Tahun 2014 tentang Hukuman
Bagi Produsen, Bandar, Pengedar dan Penyalahgunaan narkoba per tanggal 30
Desember 2014.
Fatwa itu secara resmi juga telah diumumkan oleh Wakil
Ketua Umum MUI Pusat KH Ma’ruf Amin bersama dengan Ketua Komisi Fatwa MUI
Pusat Prof Dr.H Hassanuddin AF, MA dan sekretaris Dr. H.M Asrorun Niam Sholeh,
MA pada konferensi pers di Kantor MUI Pusat, Jakarta, pada Selasa (03/03)
lalu.
Berikut sejumlah ketentuan hukum dalam fatwa tersebut:
- Memproduksi, mengedarkan, dan menyalahgunakan narkoba tanpa hak hukumnya haram, dan merupakan tindak pidana yang harus dikenai hukuman had dan / atau ta’zir.
- Produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba harus diberikan hukuman yang sangat berat karena dampak buruk narkoba jauh lebih dahsyat dibanding dengan khamr (minuman keras).
- Negara boleh menjatuhkan hukuman ta’zir sampai dengan hukuman mati kepada produsen, bandar, pengedar, dan penyalahgunaan narkoba sesuai dengan kadar narkoba yang dimiliki atau tindakan tersebut berulang, demi menegakkan kemaslahatan umum.
- Pemerintah tidak boleh memberikan pengampunan dan / atau keringanan hukuman kepada pihak yang telah terbukti menjadi produsen, bandar, pengedar, dan penyalah guna narkoba.
- Penegak hukum yang terlibat dalam produksi dan peredaran narkoba harus diberikan pemberatan hukuman.
1. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1997, Tentang Narkotika[37]
Pasal 78 ayat 1 (a) dan 1 (b)
Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Pasal 80 ayat 1(a)
Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 81 ayat 1 (a)
Membawa,mengirim,mengangkut,atau mentransito narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lamal 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 82 ayat 1 (a)
Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1,000.000.000,-(satu milyar rupiah).
Pasal 84 ayat 1 (a)
Memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain. dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 85 ayat 1 (a)
Menggunakan narkotika golongan I bagi dirinya sendiri,dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 86 ayat 1 (a)
Orang tua atau wali pencandu yang belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana penjara kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 88 ayat 1 (a)
Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal 78 ayat 1 (a) dan 1 (b)
Menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Pasal 80 ayat 1(a)
Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 81 ayat 1 (a)
Membawa,mengirim,mengangkut,atau mentransito narkotika golongan I dipidana dengan pidana penjara paling lamal 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 82 ayat 1 (a)
Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1,000.000.000,-(satu milyar rupiah).
Pasal 84 ayat 1 (a)
Memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain. dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,(tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 85 ayat 1 (a)
Menggunakan narkotika golongan I bagi dirinya sendiri,dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 86 ayat 1 (a)
Orang tua atau wali pencandu yang belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana penjara kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Pasal 88 ayat 1 (a)
Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal 88 ayat 2
Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana nakotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).[38]
Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana nakotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).[38]
2.
Contoh Kasus Hukuman Mati Bagi
Narkoba
8 Terpidana Mati Narkoba Dieksekusi Serentak
Delapan terpidana mati
kasus narkoba akhirnya dieksekusi serentak oleh regu tembak di penjara
Nusakambangan, Cilacap Rabu dinihari. Mereka didor regu tembak setelah
kontroversi panjang, upaya banding, grasi hingga tekanan internasional terhadap
presiden Joko Widodo.
Mereka yang ditembak
mati adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran warga Australia anggota Bali
Nine,tiga warga Nigeria, masing-masing Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe
Nwolise dan Okwudili Oyatanze, seorang warga Ghana, Martin Anderson seorang
warga Brazil Rodrigo Galarte dan seorang warga Indonesia, Zainal Abidin.
Sementara seorang
perempuan warga Filipina, Mary Jane Veloso, dilaporkan batal dieksekusi.
Seorang terpidana mati warga Perancis, Serge Atlaoui untuk sementara juga lolos
dari regu tembak, karena masih mengajukan peninjauan kembali.
Eksekusi oleh regu
tembak Brimob Polri itu dilakukan pada pukul 00:18 WIB, segera setelah batas
waktu 72 jam berakhir, terhitung sejak surat pemberitahuan resmi eksekusi
disampaikan kepada terpidana mati.
Terpidana perempuan
asal Filipina, Mary Jane Veloso batal dieksekusi terkait adanya bukti hukum
baru yang diajukan tim pengacara. Disebutkan, Mary Jane bukan pelaku utama, melainkan
hanya korban bandit perdagangan manusia.
Sebelumnya, sampai
saat-saat terakhir, Presiden Filipina Benigno Aquino memohon kepada pemerintah
Indonesia dan Presiden Jokowi agar tidak melaksanakan eksekusi terhadap
warganya, Mary Jane Veloso, satu-satunya perempuan dari sembilan orang yang
akan dieksekusi. Inilah untuk ketiga kalinya, Benigno Aquino meminta Presiden
Jokowi membatalkan eksekusi mati Mary Jane.
Salah satu alasan yang
dikemukakan Presiden Filipina adalah, Mary Jane justru bisa menjadi saksi kunci
dalam penyelidikan sindikat narkoba di Filipina. Seorang perempuan yang
disebut-sebut sebagai perekrut Mary Jane untuk membawa koper berisi heroin ke
Indonesia, diberitakan telah menyerahkan diri kepada aparat keamanan Filipina.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan
atas seseorang akibat perbuatannya. Pada klasifikasi model ini, hukuman
dapat dikelompokkan menjadi 3: 1) ‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik), 2)
‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis), dan 3) ‘Uqubah maliyyah
(hukuman denda). Hukum
pidana Islam juga sering dikritik karena dianggap tidak manusiawi dan
bertentangan dengan HAM.Masih cukup banyak negara di dunia
yang mempertahankan hukuman mati (termasuk negara-negara di kawasan ASEAN).
Hukum Islam telah membimbing dan mengarahkan tata cara ataupun etika dalam
melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan yang di ancam hukuman mati.
Pengedar
narkoba termasuk orang yang membuat kerusakan di muka bumi.Akan tetapi melihat besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh pengedar narkoba maka
hukuman yang dipilih oleh para ulama
adalah hukuman mati.
DAFTAR PUSTAKA
‘Audah, ‘Abd al-Qadir.At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i. Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy.
az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr. 1989.
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT.
Intermassa. 1997.
Bakr, Abu bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’
as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i. Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah. 1910.
Sabiq,As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ocktoberrinsyah, Riddah dan Kebebasan Beragama,
Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 1997.
Djazuli., Fiqh Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo Prada. 1997. Cet ke-2.
Amin,
Islamic Law and Its Implications for Modern World. Skotlandia:
Royston Ltd., 1989.
Salam,
Abdul Jalil. Polemik Hukuman Mati di Indonesia dan Demokrasi Hukum.
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. 2010
Undang-undang
No. 5 Tahun 1997
Al-Qur’an Terjemahan
Wikipedia bahasa Indonesia akses 21-11-2015
[1]. Wikipedia
bahasa Indonesia akses 21-11-2015
[2]. Hamzah, pidana
mati di Indonesia, Jakarta: ghalia Indonesia, cetakan ke 2, 1985. hlm 14-15
[3]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi
al-Qanun al-Wad’i (Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy, t.t.), I: 633-4.
[5]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Intermassa. 1997., hlm 203.
[7]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam......hlm. 193.
[8]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun
al-Wad’i...... II: 638
[10]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 193.
[12]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam......hlm. 194-195
[16]. Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ as-Sana’i fi
Tartib asy-Syara’i (Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah, 1910), VII: 134.
[18]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi
al-Qanun al-Wad’i.......hlm. 720
[19]. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar
al-Fikr, 1981), VIII: 50. Hadis diriwayatkan dari Ibn Abbas.
[20]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi
al-Qanun al-Wad’i.......hlm. 728
[21]. Tesis: Ocktoberrinsyah, “Riddah dan Kebebasan
Beragama”, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak
diterbitkan, 1997.
[22]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 195
[24]. Topo Santoso.
Menggagas Hukum Pidana Islam.....hlm. 197
[25]. ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi
al-Qanun al-Wad’i......hlm. 80, 685
[27]. S.H. Amin, Islamic
Law and Its Implications for Modern World (Skotlandia: Royston Ltd., 1989),
hlm. 52.
[28]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia. Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI., hlm. 174
[29]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia.....hlm. 175
[30]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia......hlm. 176
[31]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia.....hlm. 176-177
[32]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm.
238
[33]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi
Hukum.....hlm. 232
[34]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi
Hukum.....hlm. 234
[35]. Abdul Jalil Salam.
Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi Hukum.....hlm.
186
[36]. Abdul Jalil
Salam. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam HAM dan Demokrasi
Hukum.....hlm. 188
[38]. Undang-undang
No. 5 Tahun 1997, tentang Narkotika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar