Mansur

SITUS PENDIDIK : Ust.MANSUR,A.Ma,S.Pd.I,M.Pd.I,Gr.

Minggu, 13 Mei 2018

MAKALAH HISTORIOGRAFI ISLAM, TRADISIONAL, MULTIDIMENSI


HISTORIOGRAFI ISLAM, TRADISIONAL, MULTIDIMENSI.

A.  Pendahuluan
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.
Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya. Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.
Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam penelitian masalah-masalah agama.
B.   Pembahasan
1.    Defenisi Ilmu Sejarah
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab “syajaratun”, artinya pohon. Apabila digambarkan secara sistematik, sejarah hampir sama dengan pohon, memiliki cabang dan ranting, bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan berkembang, lalu layu dan tumbang. Seirama dengan kata sejarah adalah silsilah, kisah, hikayat, yang berasal dari bahasa Arab.[1]
Sejarah dalam dunia Barat disebut Histoire (Perancis), historie (Belanda), dan history (Inggris), berasal dari bahasa Yunani, istoria yang berarti ilmu.[2]
Semua kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria yang berarti ilmu. Dalam penggunaannya, filsof Yunani memakai kata istoria untuk pertelaan sistematis mengenai gejala alam. Perkembangan selanjutnya, istoria dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala terutama hal ikhwal manusia dalam urutan kronologis. Sementara itu pengetahuan serupa yang tidak kronologis diistilahkan dengan scientia atau science. Oleh karena itu, sejarah dalam perspektif ilmu pengetahuan menjadi terbatas hanya mengenai aktifitas manusia yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu (unik) yang tersusun secara kronologis.[3]
Menurut defenisi yang umum, kata history berarti “masa lampau umat manusia”. Dalam bahasa Jerman disebut geschichte, berasal dari kata geschehen yang berarti terjadi.[4] Sedangkan dalam bahasa Arab disebut Tarikh, berasal dari akar kata ta’rikh dan taurikh yang berarti pemberitahuan tentang waktu dan kadangkala kata tarikhus syai’i menunjukkan arti pada tujuan dan masa berakhirnya suatu peristiwa.[5]
Adapun pengertian sejarah menurut para ahli yaitu:
a.    Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, mendefinisikan sejarah sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu.[6]
b.    Roeslan Abdulgani
Roeslan Abdulgani, mengemukakan bahwa sejarah ialah ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian-kejadiannya; dengan maksud untuk menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya, untuk dijadikan perbendaharaan-pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan masa sekarang serta arah progres masa depan. Ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi; pertama penglihatan ke masa silam, kedua ke masa sekarang, dan ketiga ke masa yang akan datang. Atau dengan kata lain, dalam penyelidikan masa silam tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan masa sekarang yang sedang dihadapi, dan sedikit banyak tidak dapat kita melepaskan diri dari perspektif masa depan.
Menurut Sidi Gazalba, Sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kepahaman tentang apa yang telah berlalu itu.[7]
Defenisi sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Defenisi ini memberikan pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa masa lampau manusia dengan segala sisinya.[8]
Dari beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan sederhana bahwa Sejarah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
2.    Sifat-sifat sejarah
Pengertian istilah sejarah itu juga bisa mengacu kepada dua konsep terpisah. Pertama, sejarah yang tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman manusia. Kedua, sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis. Konsep sejarah dengan pengertiannya yang pertama memberikan pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai suatu aktualitas atau sebagai peristiwa itu sendiri. Adapun pemahaman atas konsep kedua, sejarah menunjukkan maknanya yang subjektif, sebab masa lampau itu telah menjadi sebuah kisah atau cerita. Subjektivitas di dalam proses pengisahan itu, antara lain, terdapat kesan yang dirasakan oleh sejarawan berdasarkan pengalaman dan lingkungan pergaulannya yang menyatu dengan gagasan tentang peristiwa sejarah.[9]
Berkaitan dengan ini, Kuntowijoyo mengatakan bahwa ada beberapa kaidah penting berkaitan dengan sejarah. Pertama, sejarah itu fakta. Perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi adalah sejarah menyuguhkan fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi, atau fantasi.
Kedua, sejarah itu diakronis, ideografis dan unik. Sejarah itu diakronis, sedangkan ilmu sosial itu sinkronis. Artinya, sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah berusaha melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Artinya melihat perubahan, kesinambungan, ketertinggalan, dan loncatan-loncatan. Selain itu, sejarah itu ideografis, artinya melukiskan (menggambarkan, memaparkan, menceritakan saja). Ilmu sosial itu nomotetis (bahasa Yunani nomos berarti hukum), artinya berusaha mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis tentang revolusi, sejarah dianggap berhasil bila ia dapat melukiskan sebuah revolusi secara mendetil, sampai hal-hal kecil. Sebaliknya, ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam revolusi. Karenanya, sejarah itu bersifat unik, sedangkan ilmu sosial itu genetik. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal unik, khas hanya berlaku pada sesuatu, disitu, dan waktu itu. Untuk itulah sejarah juga disebut sebgai ilmu yang ideografis (bahasa Yunani  idios artinya pembawaan seseorang, kekhasannya). Sejarah menulis hal-hal tunggal dan hanya berlangsung sekali saja.
Ketiga, sejarah itu empiris. Inilah yang membedakan sejarah dengan ilmu agama, sejarah itu empiris, ilmu agama itu normatif. Empiris berasal dari kata Yunani empiria, artinya pengalaman. Maka, sejarah itu empiris, sebab sejarah bersandar pada pengalaman manusia yang sungguh-sungguh. Ilmu agama itu normatif tidak berarti tidak ada unsur empirisnya, hanya saja yang normatiflah yang menjadikan rujukan.[10]
Sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya terjadi, ia adalah realitas bukan idealitas. Oleh karena itu, pendekatan sejarah amat dibutuhkan dalam upaya kita melakukan studi Islam, karena Islam itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Maka lapangan sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah.[11] Dengan kata
lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Karena peristiwa sejarah adalah mengenai apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan dialami manusia, atau dalam bahasa metodologis bahwa lukisan sejarah itu merupakan pengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana sesuatu telah terjadi, maka pendekatan sejarah atau dapat dikatakan sejarah sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu pengkajian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prossesnya, perubahan-perubahan dan aspek diakronisnya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa,  melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai peristiwa.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa sejarah bukan hanya sebagai masa lalu tapi juga ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkapkan sejarah secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah adanya kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta. Sejarah dengan demikian didefenisikan sebagai ilmu tentang manusia yang merekonstruksi masa lalu.
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada dasarnya kandungan Al-Qur’an, yaitu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep religious yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian diintregasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur’an, dan demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah SWT, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan sebagainya adalah konsep-konsep abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang fuqara’ (orang-orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor) dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersenbunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik yang menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan, atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdo’a.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu Asbab al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.[12]
3.    Perkembangan Kajian Islam melalui Pendekatan Histories (Historiografi Islam)
Ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam sejarah Islam, yaitu :
Pertama, Al-quran sebagai kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah. Beberapa ayat alquran dengan tegas memerintahkan hal itu. Diantaranya adalah Q.S.ar-Rum : 9.
óOs9urr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# (#rãÝàYusù y#øx. tb%x. èpt7É)»tã tûïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% 4 (#þqçR%Ÿ2 £x©r& öNåk÷]ÏB Zo§qè% (#râ$rOr&ur uÚöF{$# !$ydrãuHxåur uŽsYò2r& $£JÏB $ydrãuHxå ÷Làiø?uä!%y`ur Nßgè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ( $yJsù šc%x. ª!$# öNßgyJÎ=ôàuÏ9 `Å3»s9ur (#þqçR%x. öNåk|¦àÿRr& tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÒÈ  
Artinya: dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak Berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.
Al-quran bahkan tidak hanya memerintahkan untuk memeperhatikan perkembangan sejarah manusia. Tetapi juga menjanjikan banyak kisah-kisah. Sebahagian ulama berpendapat bahwa dua pertiga isi Alquran itu adalah kisah sejarah. Ini dipaparkan dengan tujuan agar umat manuasia mengambil I’tibar dari padanya.
Kedua, Ilmu hadits merupakan awal masa perkembangan Islam, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling tinggi dan paling diperlukan oleh umat Islam pada waktu itu. Ulama bepergian dari satu kota ke kota lain untuk mencari hadits dan meriwayatkannya, kemudian lahirlah kitab hadits. Dapat dikatakan bahwa penulisan hadits inilah yang merupakan perintis jalan menuju perkembangan ilmu sejarah. Bahkan dalam rangka menyeleksikan hadits yang benar dari yang salah, muncullah ilmu kritik hadits, baik dari segi periwayatannya maupun dari segi matan ataupun materinya. Ilmu ini pulalah yang dijadikan metode kritik penulisan sejarah paling awal.
Untuk melihat lebih jelas keadaan pertumbuhan dan perkembangan historiografi Islam pada periode awal dan juga perkembangan mutakhirnya dapat dilihat dalam pembahasan berikut ini :
a.    Historiografi Islam Pada Periode Awal
Kajian mengenai pertumbuhan dan perkembangan historiografi Islam periode awal perlu diadakan tinjauan dari dua segi, yaitu dari segi aliran dan metode. Dari segi aliran. Menurut Hussein Nashshar historiografi Islam pada periode awal itu terpola dalam tiga aliran, yaitu:
1)      Aliran Madinah, mereka mengembangkan penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang pertama yang menyusun al-Maraghi dan kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada pengkajian al-Maraghi, ialah Aban Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW).
2)      Kedua, aliran Iraq. Aliran ini lebih luas dari aliran Madinah dan Yaman, karena memperhatikan harus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus dan sangat memperhatikan sejarah para khalifah. Sistem penulisan aliran ini adalah pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian karena panatisme politik kekabilahan yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.
3)      Aliran Yaman, mereka mengembangkan penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh sebelum Islam datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan mempengaruhi historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Ka’ab al-Ahbar (w.32 H)     
Ketiga aliran penulisan sejarah tersebut di atas, kemudian melebur dalam karya-karya penulis sejarah berikutnya, khususnya dalam karya-karya sejarah. Tiga sejarawan besar Ibn Ishaq (w.207 H/823 M) dengan karyanya al-Maraghi dan Muhammad Ibn Said (w.230/845 M) dengan karyanya ‘abaqat al-Kabir.
Sedangkan dari segi metode historiografi Islam periode awal dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1)   Historiografi dengan metode riwayat.
Metode ini tumbuh dan berkembang dari masa awal sampai abad ketiga. Tokoh historiografi dengan riwayat ini adalah al-‘abari dengan karyanya Tar’k al-Rusul wa la-Muluk.
2)    Historiografi dengan metode dirayah.
Metode ini tumbuh dan berkembang abad keempat dan kelima Hijrah, pelopornya adalah al-Mas’udi (w.345 H) dengan karyanya Muruj al-‘ahab. Kemudian mengalami perkembangan dari masa ke masa dan mencapai puncaknya pada diri ibn Khaldun.
b.    Historiografi Islam Modern
Pada penghujung abad XVIII, barat telah mengalami kemajuan yang luar biasa, walau pada hakikatnya kebangkitannya tidak terlepas dari pengaruh Islam. Hal ini dimulai dengan reinainsance pada berbagai diagram keilmuan. Mereka bukan hanya mengadopsi keilmuan Islam secara menyeluruh, namun mulai mengembangkannya dalam fase yang sangat realistis dan cepat. Berbagai macam disiplin ilmu kembali mereka kembangkan, bukan hanya sekedar kajian sejarah namun sudah mulai mengarah kepada sejarah sosial yang meninjau culture sebuah kaum.
Akan tetapi, Kuntowijoyo mengungkapkan, sejarah sosial sudah merupakan gerakan yang sudah lama namun baru mendapat perhatian sekitar tahun 1950 an yaitu melalui aliran penulisan Annales Historis Economique et Sociale.
Perkembangan selanjutnya, sejarah sosial mengalami perkembangan yang luas dan kearah tersebut para pemikir serta sejarawan Islam menghadap. Secara ideal, sejarah sosial ialah studi tentang struktur dan proses tindakan timbal balik manusia sebagaimana telah terjadi dalam kontek sosio-kultural dalam masa lampau yang tercatat. Oleh karena itu, sejarah sosial disebut juga dengan total history atau general history.
Kini ke arah itulah perkembangan penulisan sejarah bergerak, namun penulisan sejarah di dunia Islam tampaknya tidak begitu cepat mengikuti perubahan yang terjadi di Barat. Para sejarawan arab modern ini masih disibukkan dengan metodologi dan pendekatan baru yang sebenarnya sudah lama berkembang di Barat.

c.  Historiografi Islam Mutakhir
Tarikh adalah sistem penanggalan yang penghitungannya didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam perkembangan selanjutnya, tarikh menjadi beragam dan berkembang sesuai perkembangan pencatatan sejarah itu. Disebut juga penunjukan waktu tentang apa yang dilakukan perawi hadia dan pemimpin agama. Dalam hal ini diterangkan tanggal kelahiran dan kematian, kesehatan jasmani dan rohani, kesegaran pikiran, perjalanan yang dilakukan, ketelitian dan kemampuan ilmu, tingkat keadilan, kefasikan dan hal-hal khusus lainnya.
Sejarawan pada periode awal muncul nama-nama seperti Aban Ibn Usman (w.1n5 H). Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H) sampai kepada at-Tabari (w.310 H), kemudian disusul beberapa tokoh terkemuka pada masa pertengahan seperti Ibn Khaldun (w.808 H), di Penghujung abad 18 awal abad 19, muncul seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali Arab Islam yang bernama Abd Rahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M).
Dengan menggunakan dan mengembangkan corak penulisan sejarah melalui metode hawliyat ditambah dengan metode Maudu’iyat (tematik). Baru pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total atau global, tidak hanya satu aspek sosial saja dengan mencontoh metode dan pendekatan yang berkembang di dunia Barat.[13]
4.    Langkah Penelitian Sejarah
Adapun prosedur dalam melaksanakan penelitian sejarah agama adalah; pertama, persiapan sebelum penelitian. Aspek yang paling penting untuk ditentukan pada tahap ini adalah menentukan topik penelitian. Topik yang telah dipilih dirumuskan menjadi sebuah judul. Harus dipahami bahwa antara topik dengan judul itu berbeda. Judul adalah abstraksi dari topik, yang biasanya dirumuskan pernyataan. Didalam sebuah judul mencakup unsur objek, subjek, lokasi dan waktu.
Pada umumnya, dalam proposal penelitian sejarah mencakup sub pembahasan sebagai berikut:
a.    Judul penelitian.
b.    Latar belakang, mengapa sejarah agama perlu diteliti atau ditulis
c.    Permasalahan yang mencerminkan fokus persoalan yang akan diteliti, yang diungkapkan dengan pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan
d.   Tujuan serta kegunaan penelitian yang menjelaskan tentang signifikansi penelitian
e.    Tinjauan terhadap penelitian terdahulu dalam upaya menunjukkan keaslian penelitian yang akan dilakukan
f.     Landasan teori yang merupakan kumpulan konsep serta pemikiran-pemikiran sebagai acuan didalam pencarian data dan penjelasan fakta sejarah
g.    Metode yang digunakan, yaitu cara atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian sampai dengan penulisan sejarah atau laporan penelitian
h.    Sistematika atau alur pembahasan yang akan dilakukan. Ini biasanya terkait dengan rencana kerangka penulisan sejarah.[14]
Kedua, pengumpulan sumber sejarah (heuristik). Salah satu yang menentukan kualitas penulisan sejarah adalah sumber sejarah yang digunakan mempunyai nilai akurat, autentik dan kredibel, sehingga hasil penulisannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Adapun sumber-sumber sejarah itu, antara lain:
a.    Sumber tertulis, seperti prasasti, arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat, babad, hikayat, buku, majalah, dan sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan faktanya melalui telaah teks atau library research.
b.    Sumber visual dan audio-visual, yaitu foto, film, video, kaset laser disk, CD ROM, dan sebagainya. Sumber semacam ini ditelaah melalui pengamatan.
c.    Benda-benda sejarah yang dapat memberikan dan menjadi bukti sejarah
d.   Sumber lisan, yaitu penuturan lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa sejarah. Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode wawancara.[15]
Sumber-sumber tersebut didalam proses pengumpulannya perlu dipertimbangkan apakah ia termasuk sumber primer, yaitu sumber langsung asli sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah termasuk sumber sekunder, yaitu sumber tidak langsung, yang memberikan informasi adanya peristiwa sejarah.
Ketiga, kritik terhadap sumber sejarah. Langkah ini dilakukan setelah sumber dikumpulkan. Adapun langkahnya adalah;
a.    Kritik ekstern, yaitu kritik terhadap sumber fisik sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli? Apakah tulisan tintanya juga asli? Dan sebagainya. Pada intinya disini mempertanyakan keaslian (otentisitas) sumber sejarah.
b.    Kritik intern, yaitu kritik terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya? Caranya dengan membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya (credibilitas-nya).
Keempat, interpretasi sejarah. Langkah ini sebetulnya merupakan proses atau kegiatan penelitian yang tak terpisahkan dari langkah penulisan sejarah. Yang dimaksud interpretasi adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah itu sendiri. Fakta sejarah haruslah objektif, tetapi bukan berarti peneliti tidak memiliki peluan untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori. Karena itu, proses interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif peneliti, terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkan.
Kelima, penulisan sejarah. Selayaknya sebuah laporan penelitian, penulisan sejarah merupakan istilah yang dipakai dalam proses pelaporan atas hasil penelitian sejarah. Dalam hal ini,kerangka penulisan yang sudah dipersiapkan adalah menjadi patokan, sedangkan pola penyusunan tergantung kepada penulis; apakah berdasar pola yang dikembangkan secara urut waktu atau periodesasi, ataukah berdasarkan kepada tema-tema unik sesuai dengan peristiwa sejarah. Demikian pula model pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara deduktif maupun induktif. Satu hal yang penting dicatat bahwa penulisan sejarah biasa dikembangkan secara kualitatif sehingga antar deskripsi dan analisis fakta merupakan satu kesatuan didalam pemaparan sejarah.
5.    Ilmu Bantu Sejarah
Pengertian Jejak Masa Lampau dalam sejarah lebih banyak menunjuk kepadapeninggalan benda hasil budaya dari masa yang telah lalu.Untuk mengungkap apa yang telah terjadi dimasa lampau, seorang ahli sejarah tentutidak dapat bekerja sendirian. Sejarah membutuhkan bantuan disiplin ilmu lain. Dengan demikian, sejarah peradaban islam erat kaitannya dengan beberapa ilmu, antara lain geografi, sosiologi, antropologi, analogi, dan ilmu sejarah.[16]
6.    Periodesasi sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
a.    Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
b.    Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
c.    Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
d.   Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
e.    Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
f.     Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
g.    Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
h.    Masa Daulah Utsmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
i.      Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie[17], periodesasi sejarah Islam dapat disusun sebagai berikut:
a.    Periode klasik (600-1258)
Periode ini sejak kelahiran Nabi Muhammad saw. Sampai didudukinya Baghdad oleh Hulagu Khan.  Adapun yang menjadi ciri bagi periode ini, denganmengabaikan adanya dinasti-dinasti yang tumbuh dan tenggelam dimasa dinasti Abbasiyah, kepadla negara (khalifah) tetap dijabat oleh seorang dan dianggap sebagai pimpinan tertinggi negara walaupun hanya sekadar simbol. Dinasti Umayyah barat walaupun tidak mengakui kedaulatan pemerintahan Abbasiyyah, namun mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai khalifah.
Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); kedua: fase disintegrasi,
b.    Periode pertengahan (dari jatuhnya Baghdad sampai ke Penghujung Abad ke-17)
Ciri periode ini ialah bahwa tanpa menghilangkan kenyataan adanya Dinasti Umayyah di Andalusia, wilayah Islam lainnya telah terpecah berada dibawah tiga kekuasaan yang saling bermusuhan. Satu kekuasaan berada di Andalusia yang dipegang Dinasti Usmaniyah, satu lagi berada di Mesir yang dipegang oleh Dinasti Mamluk, dan yang ketiga kekuasaan yang dipegang oleh Dinasti Ilkhan dari Mongol yang berkuasa di Persia. Jika dihitung, kekuasaan yang ada di Andalusia dan dinasti-dinasti kecil lainnya dapatlah dikatakan bahwa ciri periode ini ialah terpecah belahnya wilayah-wilayah yang dahulu berada dibawah satu kekuasaan.
c.    Periode modern (mulai Abad ke-18).
Ciri periode ini ialah seluruh wilayah kekuasaan Islam, baik langsung ataupun tidak langsung telah berada di bawah cengkeraman penjajahan Barat, sampai kemudian setelah Perang Dunia Kedua kembali memperoleh kemerdekaannya. Dalam periode ini umat Islam berkenalan langsung dengan kebudayaan Barat ini khususnya dalam bidang kebudayaan dan teknologi telah menggugah kembali semangat untuk menggelorakan kembali api Islam yang seakan-akan telah padam. Disamping itu, dalam periode ini pula bangkitnya semangat nasionalisme pada bangsa-bangsa yang terjajah. Patut dicatat bahwa wilayah Islam tidaklah dijajah oleh hanya satu bangsa Barat. Hampir semua bangsa Barat saling berupaya untuk menjajah Timur, yang paling besar diantaranya ialah Inggris dan Prancis, disamping yang kurang beruntung dalam memenuhi keinginannya menjajah ialah Jerman dan Itali, dengan tidak melupakan Belanda yang telah menjajah Indonesia.
Dengan demikian, ilayah Islam terpecah-pecah berada dibawah kekuasaan beberapa bangsa Barat yang juga saling bermusuhan. Oleh karena itu, dapatlah dipahami mengapa wilayah yang berpenduduk orang-orang Arab dapat terpecah-pecah dalam beberapa nasionalis, yang berakhir dengan lahirnya kebangsaan Arab Saudi, Yaman, Oman, Emirat Arab, Kuwait, Irak, Yordania, Lebanon, Syiria, Turki, Mesir, Sudan, Libia, Aljazair, Maroko, dll.
7.    Manfaat dan Kegunaan Sejarah
Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.[18] Namun, sangat memilukan bahwa masyarakat Indonesia yang religius dewasa ini terpuruk dalam himpitan krisis dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan. Laporan pengamat asing satu dekade yang lalu tentang indonesia yang memiliki etos kerja yang buruk dan korupsi yang sangat serius ternyata kini tidak dapat diganggu gugat lagi.[19] Bahkan sekarang terbalik, negara barat menjadi model bagi negara-negara yang berkembang termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, hendaknya perlu ada upaya rekonstruksi untuk menata kehidupan, baik ilmu pengetahuan, maupun teknologi. Sejarah merupakan yang membahas berbagai peristiwa masa lalu, maka jangan diremehkan dan dibiarkan seiring dengan berlalunya waktu, sebab begitu besar makna sejarah bagi kehidupan manusia.
historis dalam studi Islam amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan. Yaitu bagaimana melakukan pengkajian terhadap berbagai studi keislaman dengan menggunakan pendekatan histories sebagai salah satu alat (metodelogi) untuk menyatakan kebenaran dari objek kajian itu. Pentingnya pendekatan ini, mengingat karena rata-rata disiplin keilmuan dalam Islam tidak terlepas dari berbagai peristiwa atau sejarah. Baik yang berhubungan dengan waktu, lokasi dan format peristiwa yang terjadi. Melalui pendekatan historis dalam studi Islam ditemukan berbagai manfaat yang amat berharga, guna merumuskan secara benar berbagai kajian keislaman dengan tepat berkenaan dengan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya.
Seseorang yang ingin memahami alquran secara benar, maka ia harus mempelajari sejarah turunnya Al-quran (asbab al-Nuzul) dengan demikian ia akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
Mengingat begitu besar peranan pendekatan historis ini, maka diharapkan akan melahirkan semangat keilmuan untuk meneliti lebih lanjut beberapa peristiwa yang ada hubungannya terutama dalam kajian Islam di berbagai disiplin ilmu dan diharapkan dari penemuan-penemuan ini akan lebih membuka tabir kedinamisan dalam mengamalkan ajaran murni ini dalam kehidupan yang lebih layak sesuai dengan kehendak syara’, mengingat pendekatan historis memiliki cara tersendiri dalam melihat masa lalu guna menata masa sekarang dan akan datang. 
Sejarah  mempunyai  kegunaan  bagi  pengembangan  dirinya  (intrinsik)  dan memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu di luar dirinya (ekstinsik).
Kegunaan intrinsik diantaranya adalah:
a.    Sejarah  sebagai  ilmu,  berkembang  dengan  cara  (a)  perkembangan  dalam filsafat,  (b)  perkembangan  dalam  teori  sejarah,  (c)  perkembangan  dalam ilmu-ilmu lain, (d) perkembangan dalam metode sejarah;
b.    sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, bersama dengan mitos sejarah adalah  untuk  mengetahui  masa  lampau  yang  setidaknya  menghasilkan  dua sikap yaitu menerima dan menolak;
c.    Sejarah  sebagai  pernyataan  pendapat,  banyak  penulis  sejarah  yang menggunakan ilmunya untuk menyatakan pendapat; dan
d.   Sejarah sebagai profesi,  sebagai penulis atau peneliti sejarah.
Adapun  kegunaan  ekstrinsik  diantaranya  adalah  (1)  sejarah  sebagai  pendidikan moral, (2) sejarah sebagai pendidikan penalaran,  (3) sejarah sebagai pendidikan politik, (4) sejarah sebagai pendidikan kebijakan, (5) sejarah sebagai pendidikan perubahan,  (6)  sejarah  sebagai  pendidikan  masa  depan,  (7)  sejarah  sebagai pendidikan keindahan, (8) sejarah sebagai  ilmu  bantu, (9) sejarah sebagai latar belakang, dan (10) ejarah sebagai rujukan.[20]
Dengan mengkaji sejarah, dapat diperoleh informasi tentang aktivitas peradaban Islam dari zaman Rasulullah sampai sekarang, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan kebangkitan kembali peradaban Islam. Dari sejarah dapat diketahui segala sesuatu yang terjadi dalam peradaban Islam dengan segala ide, konsep, institusi, sistem, dan operasionalnya yang terjadi dari waktu kewaktu. Jadi, sejarah pada dasarnya tidak hanya sekadar memberikan romantisme, tetapi lebih dari itu merupakan refleksi histori.
C.  Penutup
Islam sebagai agama tidak dapat dipungkiri merupakan fenomena sejarah. Pendekatan sejarah ( historis) dalam studi Islam amat dibutuhkan dalam melakukan pengkajian terhadapnya sebagai salah satu alat (metodelogi) untuk menyatakan kebenaran dan objek kajian itu, sehingga dengannya pemahaman terhadap Islam akan lebih baik.
Sejarah Islam sebagai dari bagian fenomena sosial memiliki cita rasa yang spesifik dan berbeda dengan agama lainnya. Hal ini lah yang menjadikan banyaknya pakar yang berbeda pendapat dalam memahami Islam baik yang berkaitana dengan awal dimulainya sejarah Islam atau dalam kontek perjalanannya sebagai agama yang mengklaim dirinya sebagai penyempurnaan agama-agama samawi yang lainnya, bahkan sampai akhir dunia nanti. Sejalan dengan pendidikan sejarah, pada masa awal Islam terjadi periodesasi, priode Yaman, Madinah dan Irak. Masing-masing periode memiliki beragam perbedaan yang menimbulkan khazanah keislaman yang lebih luas. Sesungguhnya pengetahuan sejarah sendiri, telah dikumandangkan oleh Allah ketika menceritakan beragam manusai lampau, hanya saja penyampaiannya yang secara global perlu mendapat respon pengetahuan manusia untuk mencari validitasnya.
Sejarah tidak dapat dipisahkan dari subjektivitas, hanya saja diminimalisir untuk dapat memberikan kajian yang jauh lebih baik adanya. Adanya unsur kepentingan penulis, serta sudut pandang yag berbeda menjadi faktor dominan untuk meletakkan sejarah pada penilaian sebelah mata. Islamic Studies atau Pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi, maka kajian insider memunculkan model ngaji yang berorientasi pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Salah satunya adalah melalui pendekatan sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami tentang Islam dengan benar.

D.  DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi dan Pendidikan, Semarang: Aneka Ilmu, 2004
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Dr. H. Bisri Affandi, Dirasat Islamiyah III, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1993

Drs. Nourouzzaman Shiddiqie, M.A, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983

Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004

Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bharata, 1966
William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed), pemahaman Sejarah Insonesia, sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES, 1982


[1] William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed), pemahaman Sejarah Insonesia, sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES, 1982, h. 1
[2] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986, h. 27
[3] Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009, h. 97-98
[4] Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986, h. 27
[5] Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, h. 6
[6] Dr. H. Bisri Affandi, Dirasat Islamiyah III, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1993, h. 4
[7] Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bharata, 1966, h.11
[8] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h. 137
[9] Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, . . . h. 98
[10] Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, . . . h. 99-100
[11] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, . . . h. 137

[12] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 47-48
[14] Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, . . . h. 102-103
[15] Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam, . . . h. 103-104
[16] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2013, h. 9
[17] Drs. Nourouzzaman Shiddiqie, M.A, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983, h. 68
[18] Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004, h. 7
[19] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi dan Pendidikan, Semarang: Aneka Ilmu, 2004, h. 122
[20] http://fairuzzaman.blogspot.com/p/blog-page_14.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar