HISTORIOGRAFI ISLAM, TRADISIONAL, MULTIDIMENSI.
A.
Pendahuluan
Islam telah menjadi kajian yang menarik minat
banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi
dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktriner, tetapi telah menjadi
fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk
formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam
telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan
bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi
mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
interdisipliner.
Kajian agama, termasuk Islam, seperti disebutkan
di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan
humanities, sehingga muncul sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama,
antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana
Barat bukan hanya menjadikan masyarakat Barat sebagai lapangan penelitiannya,
namun juga masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan
orientalisme.
Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih
lama melakukan kajian terhadap fenomena Islam dari pelbagai aspek: sosiologis,
kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan,
jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian
intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai
sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai
sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah berkembang selama
empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang perlu diteliti, baik
itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik,
ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkankan bagi
pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang
tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai dimensinya. Betapa banyak
persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari
dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kearifan
masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab
persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat
Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah ia dijadikan
pendekatan didalam mempelajari agama.
Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu
pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan dapat membidik aneka-ragam
peristiwa masa lampau. Sebab sejarah sebagai suatu metodologi menekankan
perhatiannya kepada pemahaman berbagai gejala dalam dimensi waktu. Aspek
kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri
khas di dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala
agama berdasarkan pendekatan ini haruslah dilihat segi-segi prosesnya dan
perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah
sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai
sesuatu peristiwa, melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang
menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu
dikembangkan di dalam penelitian masalah-masalah
agama.
B.
Pembahasan
1.
Defenisi Ilmu Sejarah
Kata
“sejarah” berasal dari bahasa Arab “syajaratun”, artinya pohon. Apabila
digambarkan secara sistematik, sejarah hampir sama dengan pohon, memiliki
cabang dan ranting, bermula dari sebuah bibit, kemudian tumbuh dan berkembang,
lalu layu dan tumbang. Seirama dengan kata sejarah adalah silsilah, kisah,
hikayat, yang berasal dari bahasa Arab.[1]
Sejarah
dalam dunia Barat disebut Histoire (Perancis), historie
(Belanda), dan history (Inggris), berasal dari bahasa Yunani, istoria
yang berarti ilmu.[2]
Semua kata
tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria yang berarti ilmu.
Dalam penggunaannya, filsof Yunani memakai kata istoria untuk pertelaan
sistematis mengenai gejala alam. Perkembangan selanjutnya, istoria
dipergunakan untuk pertelaan mengenai gejala-gejala terutama hal ikhwal manusia
dalam urutan kronologis. Sementara itu pengetahuan serupa yang tidak kronologis
diistilahkan dengan scientia atau science. Oleh karena itu,
sejarah dalam perspektif ilmu pengetahuan menjadi terbatas hanya mengenai
aktifitas manusia yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu (unik)
yang tersusun secara kronologis.[3]
Menurut
defenisi yang umum, kata history berarti “masa lampau umat manusia”.
Dalam bahasa Jerman disebut geschichte, berasal dari kata geschehen
yang berarti terjadi.[4]
Sedangkan dalam bahasa Arab disebut Tarikh, berasal dari akar kata ta’rikh
dan taurikh yang berarti pemberitahuan tentang waktu dan kadangkala
kata tarikhus syai’i menunjukkan arti pada tujuan dan masa berakhirnya
suatu peristiwa.[5]
Adapun pengertian sejarah menurut para ahli yaitu:
a. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, mendefinisikan sejarah sebagai catatan tentang masyarakat
umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang terjadi
pada watak masyarakat itu.[6]
b. Roeslan Abdulgani
Roeslan Abdulgani, mengemukakan bahwa sejarah ialah ilmu yang meneliti dan
menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta
kemanusiaan di masa lampau beserta kejadian-kejadiannya; dengan maksud untuk
menilai secara kritis seluruh hasil penelitiannya, untuk dijadikan
perbendaharaan-pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan masa sekarang serta
arah progres masa depan. Ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi; pertama
penglihatan ke masa silam, kedua ke masa sekarang, dan ketiga ke masa yang akan
datang. Atau dengan kata lain, dalam penyelidikan masa silam tidak dapat
melepaskan diri dari kenyataan-kenyataan masa sekarang yang sedang dihadapi,
dan sedikit banyak tidak dapat kita melepaskan diri dari perspektif masa depan.
Menurut Sidi Gazalba, Sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan
sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap,
meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi
pengertian dan kepahaman tentang apa yang telah berlalu itu.[7]
Defenisi
sejarah yang lebih umum adalah masa lampau manusia, baik yang berhubungan
dengan peristiwa politik, sosial, ekonomi, maupun gejala alam. Defenisi ini
memberikan pengertian bahwa sejarah tidak lebih dari sebuah rekaman peristiwa
masa lampau manusia dengan segala sisinya.[8]
Dari
beberapa uraian di atas dibuat kesimpulan sederhana bahwa Sejarah adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi
pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.
2.
Sifat-sifat sejarah
Pengertian
istilah sejarah itu juga bisa mengacu kepada dua konsep terpisah. Pertama,
sejarah yang tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan
pengalaman manusia. Kedua, sejarah sebagai suatu cara yang dengannya
fakta-fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis. Konsep sejarah
dengan pengertiannya yang pertama memberikan pemahaman akan arti objektif
tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai suatu aktualitas atau
sebagai peristiwa itu sendiri. Adapun pemahaman atas konsep kedua, sejarah
menunjukkan maknanya yang subjektif, sebab masa lampau itu telah menjadi sebuah
kisah atau cerita. Subjektivitas di dalam proses pengisahan itu, antara lain,
terdapat kesan yang dirasakan oleh sejarawan berdasarkan pengalaman dan
lingkungan pergaulannya yang menyatu dengan gagasan tentang peristiwa sejarah.[9]
Berkaitan
dengan ini, Kuntowijoyo mengatakan bahwa ada beberapa kaidah penting berkaitan
dengan sejarah. Pertama, sejarah itu fakta. Perbedaan pokok
antara sejarah dengan fiksi adalah sejarah menyuguhkan fakta, sedangkan fiksi
menyuguhkan khayalan, imajinasi, atau fantasi.
Kedua, sejarah
itu diakronis, ideografis dan unik. Sejarah itu diakronis,
sedangkan ilmu sosial itu sinkronis. Artinya, sejarah itu memanjang dalam
waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah berusaha melihat
segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Artinya melihat perubahan,
kesinambungan, ketertinggalan, dan loncatan-loncatan. Selain itu, sejarah itu ideografis,
artinya melukiskan (menggambarkan, memaparkan, menceritakan saja). Ilmu sosial
itu nomotetis (bahasa Yunani nomos berarti hukum), artinya berusaha
mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis tentang revolusi, sejarah
dianggap berhasil bila ia dapat melukiskan sebuah revolusi secara mendetil,
sampai hal-hal kecil. Sebaliknya, ilmu sosial akan menyelidiki
revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam
revolusi. Karenanya, sejarah itu bersifat unik, sedangkan ilmu sosial itu
genetik. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal unik, khas hanya berlaku pada
sesuatu, disitu, dan waktu itu. Untuk itulah sejarah juga disebut sebgai ilmu yang
ideografis (bahasa Yunani idios
artinya pembawaan seseorang, kekhasannya). Sejarah menulis hal-hal tunggal dan
hanya berlangsung sekali saja.
Ketiga, sejarah
itu empiris. Inilah yang membedakan sejarah dengan ilmu agama, sejarah
itu empiris, ilmu agama itu normatif. Empiris berasal dari kata Yunani empiria,
artinya pengalaman. Maka, sejarah itu empiris, sebab sejarah bersandar pada
pengalaman manusia yang sungguh-sungguh. Ilmu agama itu normatif tidak berarti
tidak ada unsur empirisnya, hanya saja yang normatiflah yang menjadikan
rujukan.[10]
Sejarah adalah fakta yang benar-benar terjadi bukan yang seharusnya
terjadi, ia adalah realitas bukan idealitas. Oleh karena itu, pendekatan
sejarah amat dibutuhkan dalam upaya kita melakukan studi Islam, karena Islam
itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi
sosial kemasyarakatan.
Maka lapangan
sejarah adalah meliputi segala pengalaman manusia.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah.[11] Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritis untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa, adanya batasan waktu (yaitu masa lampau), adanya pelaku (yaitu manusia) dan daya kritis dari peneliti sejarah.[11] Dengan kata lain di dalam sejarah terdapat objek peristiwanya (what), orang yang melakukannya (who), waktunya (when), tempatnya (where) dan latar belakangnya (why). Seluruh aspek tersebut selanjutnya disusun secara sistematik dan menggambarkan hubungan yang erat antara satu bagian dengan bagian lainnya.
Karena peristiwa
sejarah adalah mengenai apa saja yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan
dialami manusia, atau dalam bahasa metodologis bahwa lukisan sejarah itu
merupakan pengungkapan fakta mengenai apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana
sesuatu telah terjadi, maka pendekatan sejarah atau dapat dikatakan sejarah
sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai
gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala
agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena
itu pengkajian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah
dilihat segi-segi prossesnya, perubahan-perubahan dan aspek diakronisnya.
Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi
pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa,
melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai
peristiwa.
Dari sini kita dapat
mengatakan bahwa sejarah bukan hanya sebagai masa lalu tapi juga ilmu, sejarah
terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Sejarah juga terikat pada penalaran
yang bersandar pada fakta. Kebenaran sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan
untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan
mengungkapkan sejarah secara objektif. Hasil akhir yang diharapkan ialah adanya
kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta. Sejarah dengan demikian
didefenisikan sebagai ilmu tentang manusia yang merekonstruksi masa lalu.
Melalui pendekatan sejarah seseorang
diajak menukik dari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia.
Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan
antara yang terdapat dalam idealis dengan yang ada di alam empiris dan
historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat
dibutuhkan dalam memahami agama, karena itu sendiri turun dalam situasi yang
konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan
ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam
hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia
sampai pada dasarnya kandungan Al-Qur’an, yaitu terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur’an yang merujuk
kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Pernyataan-pernyataan itu mungkin
diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu
Al-Qur’an diturunkan atau bisa jadi istilah-istilah baru yang dibentuk untuk
mendukung adanya konsep-konsep religious yang ingin diperkenalkannya. Yang
jelas, istilah-istilah itu kemudian diintregasikan ke dalam pandangan dunia
Al-Qur’an, dan demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal
banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang
Allah SWT, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar dan
sebagainya adalah konsep-konsep abstrak. Sementara itu juga ditunjukkan
konsep-konsep yang lebih menunjuk kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable),
misalnya konsep tentang fuqara’ (orang-orang fakir), dhu’afa (orang
lemah), mustadl’afin (kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya
(orang kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor)
dan sebagainya.
Selanjutnya jika pada bagian yang berisi
konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi
kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan
untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa historis, dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah
tersenbunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak
sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik yang
menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol
tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas
dari pengamatan Tuhan, atau tentang keganasan samudera yang menyebabkan
orang-orang kafir berdo’a.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu
peristiwa. Dari sini seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks
historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang
memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar misalnya,
yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut
sebagai ilmu Asbab al-Nuzul (Ilmu tentang Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an)
yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu Asbab
al-Nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu
ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan ditujukan untuk memelihara
syari’at dari kekeliruan memahaminya.[12]
3.
Perkembangan
Kajian Islam melalui
Pendekatan Histories (Historiografi
Islam)
Ada dua
faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam sejarah Islam,
yaitu :
Pertama, Al-quran
sebagai kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan
sejarah. Beberapa ayat alquran dengan tegas memerintahkan hal itu. Diantaranya adalah
Q.S.ar-Rum : 9.
óOs9urr& (#rçŽÅ¡o„ ’Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàYu‹sù y#ø‹x. tb%x. èpt7É)»tã tûïÏ%©!$# `ÏB öNÎgÎ=ö6s% 4 (#þqçR%Ÿ2 £‰x©r& öNåk÷]ÏB Zo§qè% (#râ‘$rOr&ur uÚö‘F{$# !$ydrãuHxåur uŽsYò2r& $£JÏB $ydrãuHxå ÷Làiø?uä!%y`ur Nßgè=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ( $yJsù šc%x. ª!$# öNßgyJÎ=ôàu‹Ï9 `Å3»s9ur (#þqçR%x. öNåk|¦àÿRr& tbqßJÎ=ôàtƒ ÇÒÈ
Artinya: dan Apakah mereka tidak Mengadakan perjalanan di muka bumi
dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum
mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah
mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah
mereka makmurkan. dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak Berlaku zalim
kepada mereka, akan tetapi merekalah yang Berlaku zalim kepada diri sendiri.
Al-qur’an bahkan
tidak hanya memerintahkan untuk memeperhatikan perkembangan sejarah manusia.
Tetapi juga menjanjikan banyak kisah-kisah. Sebahagian ulama berpendapat bahwa
dua pertiga isi Alquran itu adalah kisah sejarah. Ini dipaparkan dengan tujuan
agar umat manuasia mengambil I’tibar dari padanya.
Kedua, Ilmu hadits merupakan awal masa perkembangan Islam, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling
tinggi dan paling diperlukan oleh umat Islam pada waktu itu. Ulama bepergian
dari satu kota ke kota lain untuk mencari hadits dan meriwayatkannya,
kemudian lahirlah kitab hadits. Dapat dikatakan bahwa penulisan hadits inilah
yang merupakan perintis jalan menuju perkembangan ilmu sejarah. Bahkan dalam
rangka menyeleksikan hadits yang benar dari yang salah, muncullah ilmu
kritik hadits, baik dari segi periwayatannya maupun dari segi matan ataupun materinya. Ilmu ini pulalah yang dijadikan metode kritik
penulisan sejarah paling awal.
Untuk
melihat lebih jelas keadaan pertumbuhan dan perkembangan historiografi Islam
pada periode awal dan juga perkembangan mutakhirnya
dapat dilihat dalam pembahasan berikut ini :
a.
Historiografi Islam Pada
Periode Awal
Kajian
mengenai pertumbuhan dan perkembangan historiografi Islam periode awal perlu
diadakan tinjauan dari dua segi, yaitu dari segi aliran dan metode. Dari segi
aliran. Menurut Hussein Nashshar historiografi Islam pada periode awal itu
terpola dalam tiga aliran, yaitu:
1)
Aliran
Madinah, mereka mengembangkan penulisan sejarah bertolak dari gaya penulisan
ahli hadits, lalu kemudian mulai berkembang penelitian khusus tentang kisah
peperangan Rasul (al-Maraghi). Orang
pertama yang menyusun al-Maraghi dan
kemudian disebut sebagai simbol peralihan dari penulisan hadits kepada
pengkajian al-Maraghi, ialah Aban
Ibnu Usman Ibn Affan (w.105 H/723 M) dan yang paling terkenal sebagai penulis al-Maraghi adalah Muhammad Ibn Muslim
al-Zuhri (w.124 H/742 M), dari penulisan al-Maraghi
kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan penulisan Sirah Nabawiyah (riwayat
hidup Nabi Muhammad SAW).
2)
Kedua, aliran Iraq. Aliran ini lebih luas dari aliran Madinah dan Yaman, karena memperhatikan
harus sejarah sebelum Islam dan masa Islam sekaligus dan sangat memperhatikan
sejarah para khalifah. Sistem penulisan aliran ini adalah pengungkapan kisah al-ayyam di masa sebelum Islam, kemudian
karena panatisme politik kekabilahan
yang diakibatkan oleh adanya persaingan antara kabilah untuk mencapai kekuasaan, disini dikembangkan model
penulisan silsilah. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan
penulisan sejarah di Iraq adalah pembukuan tradisi lisan. Ini pertama kali di
lakukan oleh Ubaidillah Ibn Abi Rafi’ dengan menulis buku yang berisikan nama
para sahabat yang bersama Amir al-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) ikut dalam
perang Jamal, Siffin dan Nahrawan oleh karena itu, dia dipandang sebagai
sejarawan pertama dalam aliran Iraq ini.
3)
Aliran
Yaman, mereka mengembangkan penulisan sejarah pra-Islam. Di daerah ini jauh
sebelum Islam datang telah berkembang budaya penulisan peristiwa, isinya adalah
cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan, sehingga berita-berita israiliyat masuk dan mempengaruhi
historiografi Islam. Para penulis hikayat-hikayat yang banyak dikutip oleh
sejarawan muslim berikutnya yang terpenting di antaranya adalah Ka’ab al-Ahbar
(w.32 H)
Ketiga aliran penulisan sejarah
tersebut di atas, kemudian melebur dalam karya-karya penulis sejarah
berikutnya, khususnya dalam karya-karya sejarah. Tiga sejarawan besar Ibn Ishaq
(w.207 H/823 M) dengan karyanya al-Maraghi
dan Muhammad Ibn Said (w.230/845 M) dengan karyanya ‘abaqat al-Kabir.
Sedangkan
dari segi metode historiografi Islam periode awal dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
1)
Historiografi
dengan metode riwayat.
Metode ini
tumbuh dan berkembang dari masa awal sampai abad ketiga. Tokoh historiografi
dengan riwayat ini adalah al-‘abari dengan karyanya Tar’k al-Rusul wa la-Muluk.
2)
Historiografi dengan metode dirayah.
Metode ini tumbuh dan berkembang abad keempat
dan kelima Hijrah, pelopornya adalah al-Mas’udi (w.345 H) dengan karyanya Muruj al-‘ahab. Kemudian mengalami
perkembangan dari masa ke masa dan mencapai puncaknya pada diri ibn Khaldun.
b. Historiografi
Islam Modern
Pada
penghujung abad XVIII, barat telah mengalami kemajuan yang luar biasa, walau
pada hakikatnya kebangkitannya tidak terlepas dari pengaruh Islam. Hal ini
dimulai dengan reinainsance pada
berbagai diagram keilmuan. Mereka bukan hanya mengadopsi keilmuan Islam
secara menyeluruh, namun mulai mengembangkannya dalam fase yang sangat
realistis dan cepat. Berbagai macam disiplin ilmu kembali mereka kembangkan,
bukan hanya sekedar kajian sejarah namun sudah mulai mengarah kepada sejarah
sosial yang meninjau culture sebuah kaum.
Akan tetapi,
Kuntowijoyo mengungkapkan, sejarah sosial sudah merupakan gerakan yang sudah
lama namun baru mendapat perhatian sekitar tahun 1950 an yaitu melalui aliran
penulisan Annales Historis Economique et
Sociale.
Perkembangan
selanjutnya, sejarah sosial mengalami perkembangan yang luas dan kearah
tersebut para pemikir serta sejarawan Islam menghadap. Secara ideal, sejarah
sosial ialah studi tentang struktur dan proses tindakan timbal balik manusia
sebagaimana telah terjadi dalam kontek sosio-kultural dalam masa lampau yang
tercatat. Oleh karena itu, sejarah sosial disebut juga dengan total history atau general history.
Kini ke arah
itulah perkembangan penulisan sejarah bergerak, namun penulisan sejarah di dunia Islam tampaknya tidak begitu cepat mengikuti perubahan yang
terjadi di Barat. Para sejarawan arab modern ini masih disibukkan dengan metodologi dan
pendekatan baru yang sebenarnya sudah lama berkembang di Barat.
c. Historiografi Islam Mutakhir
Tarikh adalah sistem penanggalan yang penghitungannya
didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam perkembangan
selanjutnya, tarikh menjadi beragam dan berkembang sesuai perkembangan
pencatatan sejarah itu. Disebut juga penunjukan waktu tentang apa yang
dilakukan perawi hadia dan pemimpin agama. Dalam hal ini diterangkan tanggal
kelahiran dan kematian, kesehatan jasmani dan rohani, kesegaran pikiran,
perjalanan yang dilakukan, ketelitian dan kemampuan ilmu, tingkat keadilan,
kefasikan dan hal-hal khusus lainnya.
Sejarawan pada periode awal muncul nama-nama seperti Aban Ibn Usman
(w.1n5 H). Muhammad Ibn Muslim al-Zuhri (w.124 H) sampai kepada at-Tabari
(w.310 H), kemudian disusul beberapa tokoh terkemuka pada masa pertengahan
seperti Ibn Khaldun (w.808 H), di Penghujung abad 18 awal abad 19, muncul
seorang sejarawan yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan kembali
Arab Islam yang bernama Abd Rahman al-Jabarti (w.124 H/1825 M).
Dengan menggunakan dan mengembangkan corak penulisan sejarah melalui
metode hawliyat ditambah dengan
metode Maudu’iyat (tematik). Baru
pada abad 20 para sejarawan Islam terutama setelah adanya kontak budaya dan
ilmu pengetahuan antara Timur dengan Barat mulai mengembangkan historiografi
Islam dengan metode kajian terhadap sejarah secara menyeluruh, total atau
global, tidak hanya satu aspek sosial saja dengan mencontoh metode dan
pendekatan yang berkembang di dunia Barat.[13]
4.
Langkah Penelitian Sejarah
Adapun prosedur dalam melaksanakan
penelitian sejarah agama adalah; pertama, persiapan sebelum penelitian.
Aspek yang paling penting untuk ditentukan pada tahap ini adalah menentukan
topik penelitian. Topik yang telah dipilih dirumuskan menjadi sebuah judul.
Harus dipahami bahwa antara topik dengan judul itu berbeda. Judul adalah
abstraksi dari topik, yang biasanya dirumuskan pernyataan. Didalam sebuah judul
mencakup unsur objek, subjek, lokasi dan waktu.
Pada umumnya, dalam proposal penelitian
sejarah mencakup sub pembahasan sebagai berikut:
a.
Judul penelitian.
b.
Latar belakang, mengapa sejarah
agama perlu diteliti atau ditulis
c.
Permasalahan yang mencerminkan
fokus persoalan yang akan diteliti, yang diungkapkan dengan pernyataan dan
pertanyaan-pertanyaan
d.
Tujuan serta kegunaan penelitian
yang menjelaskan tentang signifikansi penelitian
e.
Tinjauan terhadap penelitian
terdahulu dalam upaya menunjukkan keaslian penelitian yang akan dilakukan
f.
Landasan teori yang merupakan
kumpulan konsep serta pemikiran-pemikiran sebagai acuan didalam pencarian data
dan penjelasan fakta sejarah
g.
Metode yang digunakan, yaitu cara
atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian sampai dengan penulisan
sejarah atau laporan penelitian
h.
Sistematika atau alur pembahasan
yang akan dilakukan. Ini biasanya terkait dengan rencana kerangka penulisan
sejarah.[14]
Kedua,
pengumpulan sumber sejarah (heuristik). Salah satu yang menentukan kualitas
penulisan sejarah adalah sumber sejarah yang digunakan mempunyai nilai akurat,
autentik dan kredibel, sehingga hasil penulisannya dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Adapun sumber-sumber sejarah itu, antara lain:
a.
Sumber tertulis, seperti prasasti,
arsip, segala dokumen, kitab-kitab, serat, babad, hikayat, buku, majalah, dan
sebagainya. Semuanya dapat dikumpulkan faktanya melalui telaah teks atau library
research.
b.
Sumber visual dan audio-visual,
yaitu foto, film, video, kaset laser disk, CD ROM, dan sebagainya. Sumber
semacam ini ditelaah melalui pengamatan.
c.
Benda-benda sejarah yang dapat
memberikan dan menjadi bukti sejarah
d.
Sumber lisan, yaitu penuturan
lisan dari pelaku sejarah dan atau penyaksi adanya peristiwa sejarah.
Pengumpulan data terhadap sumber tersebut dapat dilakukan dengan metode
wawancara.[15]
Sumber-sumber tersebut didalam proses
pengumpulannya perlu dipertimbangkan apakah ia termasuk sumber primer,
yaitu sumber langsung asli sebagai jejak-jejak sejarah, ataukah termasuk sumber
sekunder, yaitu sumber tidak langsung, yang memberikan informasi adanya
peristiwa sejarah.
Ketiga,
kritik terhadap sumber sejarah. Langkah ini dilakukan setelah sumber
dikumpulkan. Adapun langkahnya adalah;
a.
Kritik ekstern, yaitu kritik
terhadap sumber fisik sumber. Apakah bahan yang dipakai itu asli? Apakah
tulisan tintanya juga asli? Dan sebagainya. Pada intinya disini mempertanyakan
keaslian (otentisitas) sumber sejarah.
b.
Kritik intern, yaitu kritik
terhadap isi sumber. Apakah isi dari pernyataan sumber itu dapat dipercaya?
Caranya dengan membandingkan beberapa sumber yang sama. Apabila isi dari sumber
itu sama benar, maka sumber itu dinyatakan dapat dipercaya kebenarannya (credibilitas-nya).
Keempat,
interpretasi sejarah. Langkah ini sebetulnya merupakan proses atau kegiatan
penelitian yang tak terpisahkan dari langkah penulisan sejarah. Yang dimaksud
interpretasi adalah proses analisis terhadap fakta-fakta sejarah itu sendiri.
Fakta sejarah haruslah objektif, tetapi bukan berarti peneliti tidak memiliki
peluan untuk menerangkan fakta itu atas dukungan teori. Karena itu, proses
interpretasi sejarah juga dimungkinkan masuk unsur-unsur subjektif peneliti,
terutama gaya bahasa dan sistem kategorisasi atau konseptualisasi terhadap
fakta-fakta sejarah berdasarkan teori yang dikembangkan.
Kelima,
penulisan sejarah. Selayaknya sebuah laporan penelitian, penulisan sejarah
merupakan istilah yang dipakai dalam proses pelaporan atas hasil penelitian
sejarah. Dalam hal ini,kerangka penulisan yang sudah dipersiapkan adalah
menjadi patokan, sedangkan pola penyusunan tergantung kepada penulis; apakah
berdasar pola yang dikembangkan secara urut waktu atau periodesasi, ataukah
berdasarkan kepada tema-tema unik sesuai dengan peristiwa sejarah. Demikian
pula model pemaparan atas fakta-fakta sejarah dapat ditempuh secara deduktif
maupun induktif. Satu hal yang penting dicatat bahwa penulisan sejarah biasa
dikembangkan secara kualitatif sehingga antar deskripsi dan analisis fakta
merupakan satu kesatuan didalam pemaparan sejarah.
5.
Ilmu Bantu Sejarah
Pengertian Jejak Masa Lampau dalam
sejarah lebih banyak menunjuk kepadapeninggalan benda hasil budaya dari masa
yang telah lalu.Untuk mengungkap apa yang telah terjadi dimasa lampau, seorang
ahli sejarah tentutidak dapat bekerja sendirian. Sejarah membutuhkan bantuan
disiplin ilmu lain. Dengan demikian, sejarah peradaban islam erat kaitannya
dengan beberapa ilmu, antara lain geografi, sosiologi, antropologi, analogi,
dan ilmu sejarah.[16]
6.
Periodesasi sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah
terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia
lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam
(muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di
Makkah atau tiga belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak
menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW.
Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan
dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang
unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat.
Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya.
Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu,
meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi
yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat
sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya
Negara Madinah.
Perbedaan pendapat
tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam
yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah
Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada
yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam
yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah
membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan
perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama
masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
a. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17
Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610
sampai 661 M;
b. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
c. Masa Daulah Abbasiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
d. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
e. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
f. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
g. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
h. Masa Daulah Utsmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
i. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi
Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah.
Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Menurut Nourouzzaman
Shiddiqie[17],
periodesasi sejarah Islam dapat disusun sebagai berikut:
a. Periode klasik (600-1258)
Periode ini sejak kelahiran Nabi Muhammad saw. Sampai didudukinya Baghdad
oleh Hulagu Khan. Adapun yang menjadi
ciri bagi periode ini, denganmengabaikan adanya dinasti-dinasti yang tumbuh dan
tenggelam dimasa dinasti Abbasiyah, kepadla negara (khalifah) tetap dijabat
oleh seorang dan dianggap sebagai pimpinan tertinggi negara walaupun hanya
sekadar simbol. Dinasti Umayyah barat walaupun tidak mengakui kedaulatan
pemerintahan Abbasiyyah, namun mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai
khalifah.
Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu
pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); kedua:
fase disintegrasi,
b. Periode pertengahan (dari jatuhnya Baghdad sampai ke Penghujung Abad ke-17)
Ciri periode ini ialah bahwa tanpa menghilangkan kenyataan adanya Dinasti
Umayyah di Andalusia, wilayah Islam lainnya telah terpecah berada dibawah tiga
kekuasaan yang saling bermusuhan. Satu kekuasaan berada di Andalusia yang
dipegang Dinasti Usmaniyah, satu lagi berada di Mesir yang dipegang oleh
Dinasti Mamluk, dan yang ketiga kekuasaan yang dipegang oleh Dinasti Ilkhan
dari Mongol yang berkuasa di Persia. Jika dihitung, kekuasaan yang ada di
Andalusia dan dinasti-dinasti kecil lainnya dapatlah dikatakan bahwa ciri
periode ini ialah terpecah belahnya wilayah-wilayah yang dahulu berada dibawah
satu kekuasaan.
c. Periode modern (mulai Abad ke-18).
Ciri periode ini ialah seluruh wilayah kekuasaan Islam, baik langsung
ataupun tidak langsung telah berada di bawah cengkeraman penjajahan Barat,
sampai kemudian setelah Perang Dunia Kedua kembali memperoleh kemerdekaannya.
Dalam periode ini umat Islam berkenalan langsung dengan kebudayaan Barat ini
khususnya dalam bidang kebudayaan dan teknologi telah menggugah kembali
semangat untuk menggelorakan kembali api Islam yang seakan-akan telah padam.
Disamping itu, dalam periode ini pula bangkitnya semangat nasionalisme pada
bangsa-bangsa yang terjajah. Patut dicatat bahwa wilayah Islam tidaklah dijajah
oleh hanya satu bangsa Barat. Hampir semua bangsa Barat saling berupaya untuk
menjajah Timur, yang paling besar diantaranya ialah Inggris dan Prancis,
disamping yang kurang beruntung dalam memenuhi keinginannya menjajah ialah
Jerman dan Itali, dengan tidak melupakan Belanda yang telah menjajah Indonesia.
Dengan demikian, ilayah Islam terpecah-pecah berada dibawah kekuasaan
beberapa bangsa Barat yang juga saling bermusuhan. Oleh karena itu, dapatlah
dipahami mengapa wilayah yang berpenduduk orang-orang Arab dapat terpecah-pecah
dalam beberapa nasionalis, yang berakhir dengan lahirnya kebangsaan Arab Saudi,
Yaman, Oman, Emirat Arab, Kuwait, Irak, Yordania, Lebanon, Syiria, Turki,
Mesir, Sudan, Libia, Aljazair, Maroko, dll.
7. Manfaat dan Kegunaan Sejarah
Sejarah mencatat kondisi kebesaran
Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dimana pada waktu itu
dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.[18] Namun, sangat memilukan
bahwa masyarakat Indonesia yang religius dewasa ini terpuruk dalam himpitan
krisis dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan. Laporan pengamat asing
satu dekade yang lalu tentang indonesia yang memiliki etos kerja yang buruk dan
korupsi yang sangat serius ternyata kini tidak dapat diganggu gugat lagi.[19] Bahkan sekarang terbalik,
negara barat menjadi model bagi negara-negara yang berkembang termasuk
Indonesia.
Oleh karena itu, hendaknya perlu ada
upaya rekonstruksi untuk menata kehidupan, baik ilmu pengetahuan, maupun
teknologi. Sejarah merupakan yang membahas berbagai peristiwa masa lalu, maka
jangan diremehkan dan dibiarkan seiring dengan berlalunya waktu, sebab begitu
besar makna sejarah bagi kehidupan manusia.
historis
dalam studi Islam amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu
sendiri turun dalam situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan. Yaitu bagaimana
melakukan pengkajian terhadap berbagai studi keislaman dengan menggunakan
pendekatan histories sebagai salah satu alat (metodelogi) untuk menyatakan kebenaran
dari objek kajian itu. Pentingnya pendekatan ini, mengingat karena rata-rata disiplin keilmuan
dalam Islam tidak terlepas dari berbagai peristiwa atau sejarah. Baik yang
berhubungan dengan waktu, lokasi dan format peristiwa yang terjadi. Melalui
pendekatan historis dalam studi Islam ditemukan berbagai manfaat yang amat
berharga, guna merumuskan secara benar berbagai kajian keislaman dengan tepat
berkenaan dengan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami
agama keluar dari konteks historisnya.
Seseorang yang ingin memahami
alquran secara benar, maka ia harus mempelajari sejarah turunnya Al-quran (asbab al-Nuzul) dengan demikian ia akan
dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan
hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan
memahaminya.
Mengingat begitu besar peranan
pendekatan historis ini, maka diharapkan akan melahirkan semangat keilmuan
untuk meneliti lebih lanjut beberapa peristiwa yang ada hubungannya terutama
dalam kajian Islam di berbagai disiplin ilmu dan diharapkan dari
penemuan-penemuan ini akan lebih membuka tabir kedinamisan dalam mengamalkan
ajaran murni ini dalam kehidupan yang lebih layak sesuai dengan kehendak syara’, mengingat pendekatan historis
memiliki cara tersendiri dalam melihat masa lalu guna menata masa sekarang dan
akan datang.
Sejarah mempunyai kegunaan
bagi pengembangan dirinya
(intrinsik) dan memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu di luar dirinya (ekstinsik).
Kegunaan intrinsik diantaranya adalah:
a. Sejarah sebagai ilmu,
berkembang dengan cara
(a) perkembangan dalam filsafat, (b)
perkembangan dalam teori
sejarah, (c) perkembangan
dalam ilmu-ilmu lain, (d) perkembangan dalam metode sejarah;
b. sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, bersama dengan mitos sejarah
adalah untuk mengetahui
masa lampau yang
setidaknya menghasilkan dua sikap yaitu menerima dan menolak;
c. Sejarah sebagai pernyataan
pendapat, banyak penulis
sejarah yang menggunakan ilmunya
untuk menyatakan pendapat; dan
d. Sejarah sebagai profesi, sebagai
penulis atau peneliti sejarah.
Adapun kegunaan
ekstrinsik diantaranya adalah
(1) sejarah sebagai
pendidikan moral, (2) sejarah sebagai pendidikan penalaran, (3) sejarah sebagai pendidikan politik, (4)
sejarah sebagai pendidikan kebijakan, (5) sejarah sebagai pendidikan
perubahan, (6) sejarah
sebagai pendidikan masa
depan, (7) sejarah
sebagai pendidikan keindahan, (8) sejarah sebagai ilmu
bantu, (9) sejarah sebagai latar belakang, dan (10) ejarah sebagai
rujukan.[20]
Dengan mengkaji
sejarah, dapat diperoleh informasi tentang aktivitas peradaban Islam dari zaman
Rasulullah sampai sekarang, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, kemajuan,
kemunduran, dan kebangkitan kembali peradaban Islam. Dari sejarah dapat
diketahui segala sesuatu yang terjadi dalam peradaban Islam dengan segala ide,
konsep, institusi, sistem, dan operasionalnya yang terjadi dari waktu kewaktu.
Jadi, sejarah pada dasarnya tidak hanya sekadar memberikan romantisme, tetapi
lebih dari itu merupakan refleksi histori.
C. Penutup
Islam sebagai agama tidak dapat dipungkiri
merupakan fenomena sejarah. Pendekatan sejarah ( historis) dalam studi Islam
amat dibutuhkan dalam melakukan pengkajian terhadapnya sebagai salah satu alat
(metodelogi) untuk menyatakan kebenaran dan objek kajian itu, sehingga dengannya
pemahaman terhadap Islam akan lebih baik.
Sejarah Islam sebagai dari bagian fenomena
sosial memiliki cita rasa yang spesifik dan berbeda dengan agama lainnya. Hal
ini lah yang menjadikan banyaknya pakar yang berbeda pendapat dalam memahami
Islam baik yang berkaitana dengan awal dimulainya sejarah Islam atau dalam
kontek perjalanannya sebagai agama yang mengklaim dirinya sebagai penyempurnaan
agama-agama samawi yang lainnya, bahkan sampai akhir dunia nanti. Sejalan dengan pendidikan sejarah, pada masa awal Islam terjadi
periodesasi, priode Yaman, Madinah dan Irak. Masing-masing periode memiliki
beragam perbedaan yang menimbulkan khazanah keislaman yang lebih luas.
Sesungguhnya pengetahuan sejarah sendiri, telah dikumandangkan oleh Allah
ketika menceritakan beragam manusai lampau, hanya saja penyampaiannya yang
secara global perlu mendapat respon pengetahuan manusia untuk mencari
validitasnya.
Sejarah tidak dapat
dipisahkan dari subjektivitas, hanya saja diminimalisir untuk dapat memberikan
kajian yang jauh lebih baik adanya. Adanya unsur
kepentingan penulis, serta sudut pandang yag berbeda menjadi faktor dominan
untuk meletakkan sejarah pada penilaian sebelah mata. Islamic Studies atau Pengkajian Islam adalah sebuah disiplin yang sangat
tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah
panjangnya mewujud dalam berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya
bagi kegelisahan akademik dari kalangan insider maupun outsider.
Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme atau Islamologi,
maka kajian insider memunculkan model ngaji yang berorientasi
pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi
ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu
sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih
berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari
berbagai aspeknya dengan menggunakan multidisiplin ilmu pengetahuan untuk
mengurai fenomena agama ini. Salah satunya adalah melalui pendekatan sejarah
yang tidak dapat diabaikan begitu saja bagi seseorang yang ingin memahami
tentang Islam dengan benar.
D. DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi dan
Pendidikan, Semarang: Aneka Ilmu, 2004
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004
Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Dr. H. Bisri Affandi, Dirasat Islamiyah III,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Surabaya: Anika Bahagia Offset, 1993
Drs. Nourouzzaman Shiddiqie, M.A, Pengantar
Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983
Hasan Utsman, Metode Penelitian Sejarah,
Jakarta: Departemen Agama RI, 1986
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah,
Jakarta: UI Press, 1986
Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004
Ngainun Na’im, Pengantar Studi Islam,
Yogyakarta: Teras, 2009.
Sidi Gazalba, Pengantar Sejarah Sebagai
Ilmu, Jakarta: Bharata, 1966
William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed), pemahaman
Sejarah Insonesia, sebelum dan Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES,
1982
[1] William H.
Frederick dan Soeri Soeroto (ed), pemahaman Sejarah Insonesia, sebelum
dan Sesudah Revolusi, Jakarta: LP3ES, 1982, h. 1
[2] Louis
Gottschalk, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986, h. 27
[3] Ngainun Na’im,
Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009, h. 97-98
[5] Hasan Utsman, Metode
Penelitian Sejarah, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, h. 6
[6] Dr. H. Bisri
Affandi, Dirasat Islamiyah III, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Surabaya:
Anika Bahagia Offset, 1993, h. 4
[7] Sidi Gazalba, Pengantar
Sejarah Sebagai Ilmu, Jakarta: Bharata, 1966, h.11
[8] Atang Abd.
Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h.
137
[10] Ngainun Na’im,
Pengantar Studi Islam, . . . h. 99-100
[11] Atang Abd.
Hakim, Metodologi Studi Islam, . . . h. 137
[12] Abuddin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 47-48
[14] Ngainun Na’im,
Pengantar Studi Islam, . . . h. 102-103
[15] Ngainun Na’im,
Pengantar Studi Islam, . . . h. 103-104
[16] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2013, h. 9
[17] Drs.
Nourouzzaman Shiddiqie, M.A, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1983, h. 68
[18] Mansur, Peradaban
Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004, h. 7
[19] Abdurrahman
Mas’ud, Antologi Studi dan Pendidikan, Semarang: Aneka Ilmu, 2004, h.
122
[20]
http://fairuzzaman.blogspot.com/p/blog-page_14.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar